کمالوندی
Republik Islam Iran Mendukung Afghanistan
Menteri Dalam Negeri Iran Ahmad Vahidi mengatakan Republik Islam mendukung Afghanistan.
"Afghanistan adalah salah satu tetangga asli Iran dan Republik Islam selalu mendukung dan terus mendukung negara tersebut," kata Vahidi kepada wartawan Iran Press, Kamis (26/8/2021).
Dia menuturkan Iran sangat menyadari krisis di Afghanistan, sebagian warga negara Afghanistan telah kembali ke negara mereka dan sebagian lain akan kembali melalui koordinasi pejabat pemerintah Kabul.
"Tidak ada masalah di perbatasan Iran-Afghanistan," tegas Vahidi.
Iran, lanjutnya, selalu menyambut baik pembicaraan intra-Afghan dan berharap bahwa berbagai faksi akan mencapai hasil positif melalui negosiasi untuk menyelesaikan persoalan di Afghanistan.
Mengacu pada penarikan pasukan Amerika dari Afghanistan, Vahidi menegaskan AS tidak membawa apa pun selain kesengsaraan bagi masyarakat setempat.
12 Tentara AS Tewas dalam Ledakan di Kabul
Media-media internasional mencatat bahwa ledakan di Kabul telah menewaskan sedikitnya 12 tentara Amerika Serikat.
Seperti dikutip laman Farsnews, Kamis (26/8/2021) malam, sedikitnya 12 tentara AS tewas dalam dua ledakan bom di dekat Bandara Internasional Hamid Karzai Kabul, Afghanistan.
Dua pejabat AS, yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan kepada Reuters bahwa setidaknya 12 personel AS tewas. Menurut mereka, jumlah itu bisa berubah dan diperkirakan akan meningkat.
Sejumlah media awalnya melaporkan tiga tentara AS terluka dalam ledakan itu. The Wall Street Journal kemudian mengutip pejabat Washington melaporkan bahwa empat marinir Amerika tewas dan tiga lainnya terluka.
Juru bicara Pentagon, John Kirby mengonfirmasi bahwa sejumlah personel militer AS tewas dan lainnya dirawat karena luka-luka. Namun, dia tidak menyebutkan angkanya atau pangkat mereka.
Para pejabat Washington mengatakan ada sekitar 5.200 tentara Amerika yang memberikan pengamanan di Bandara Internasional Hamid Karzai Kabul.
Kelompok teroris Daesh mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut. Taliban menyebut aksi itu sebagai serangan teroris. Surat kabar Politico mengutip sebuah sumber AS melaporkan bahwa pelaku bom bunuh diri itu seorang teroris Daesh.
Jumlah Tentara AS yang Tewas dalam Ledakan Kabul Bertambah
Jumlah tentara Amerika Serikat yang tewas dalam serangan bom bunuh diri di ibu kota Afghanistan bertambah menjadi 13 orang.
Televisi ABC News melaporkan pada Jumat (27/8/2021) pagi bahwa seorang tentara AS lainnya yang terluka parah dalam ledakan di dekat Bandara Internasional Hamid Karzai Kabul telah meninggal sehingga jumlah tentara AS yang tewas mencapai 13 orang.
Pentagon mengatakan Kamis malam bahwa 12 tentara AS tewas dalam ledakan bom di dekat bandara Kabul. Menurut Pentagon, 15 tentara lainnya terluka.
Kepala Komando Pusat Pentagon, Jenderal Kenneth McKenzie mengatakan bahwa ia memperkirakan Daesh akan menyerang lagi.
“Kami percaya itu adalah keinginan mereka untuk melanjutkan serangan ini dan kami melakukan segala yang kami bisa untuk bersiap,” ujarnya.
Taliban Akan Umumkan Kabinet Bulan Depan
Taliban akan mengumumkan pemerintahan baru Afghanistan pada awal September depan, di mana para pemimpin mereka akan duduk di kabinet.
Seorang pemimpin senior Taliban yang berbicara dengan Nikkei Asia secara anonim mengatakan bahwa dewan kepemimpinan (syura) bertemu baru-baru ini di istana presiden di Kabul.
"Dua dari tiga wakil pemimpin organisasi, Mullah Yaqoob dan Sirajuddin Haqqani telah ditugaskan untuk menyelesaikan daftar kabinet. Salah satu dari keduanya diperkirakan akan menduduki jabatan perdana menteri," tambahnya seperti dikutip Afghan Voice Agency (AVA), Jumat (27/8/2021).
"Tidak ada kemungkinan untuk melantik pejabat dari pemerintah sebelumnya pada periode pertama," ungkapnya.
Namun, sumber tersebut tidak merinci komposisi kabinet Taliban.
Islamophobia di Barat (50)
Parlemen Denmark pada Mei 2018 menyetujui undang-undang yang melarang pemakaian burka dan niqab di tempat umum. Ratusan orang melakukan aksi protes di Denmark untuk menolak undang-undang tersebut.
Para pengunjuk rasa mengenakan niqab di Kopenhagen. Sekitar 1.300 warga Denmark dari kalangan Muslim dan non-Muslim turun ke jalan-jalan untuk memprotes larangan niqab dan menuduh pemerintah melanggar hak perempuan dalam masalah berpakaian.
Para pengunjuk rasa yang rata-rata mengenakan niqab atau burka, bergerak dari distrik sayap kiri, Norrebro ke kantor polisi Bellahoj di pinggiran ibukota. Di sana, mereka membentuk rantai manusia dan kemudian bergerak kembali ke Norrebro sebelum membubarkan diri.
Para demonstran meneriakkan slogan-slogan "Tidak ada tempat untuk orang-orang rasis di jalan kami" dan "Hidup saya, pilihan saya" selama aksi yang berlangsung tiga jam itu.
"Kita perlu mengirim sinyal kepada pemerintah bahwa kita tidak akan tunduk pada diskriminasi dan undang-undang yang secara khusus menargetkan minoritas agama," tegas Sabina (21 tahun), seorang mahasiswa yang mengenakan niqab kepada kantor berita Reuters, dan meminta agar nama lengkapnya tidak ditulis.
Sabina adalah satu dari sekitar 150-200 wanita Muslim di Denmark yang setiap hari mengenakan pakaian niqab atau burqa yang menutupi wajah atau seluruh tubuh. Warga Muslim berjumlah sekitar 5 persen dari 5,7 juta populasi Denmark.
Berdasarkan undang-undang tersebut, polisi dapat memerintahkan perempuan untuk melepas niqab mereka atau memerintahkan mereka meninggalkan tempat umum. Menteri Kehakiman Denmark, Soren Pape Poulsen mengatakan aparat keamanan akan mendenda mereka dan meminta mereka pulang. Denda dimulai dari 1.000 krone Denmark ($ 160) untuk pelanggaran pertama dan hingga 10.000 krone untuk yang keempat kalinya.
Terlepas dari bahasanya yang umum, undang-undang ini secara luas ditafsirkan sebagai diskriminasi terhadap Muslim Denmark serta melanggar hak perempuan untuk kebebasan berekspresi dan beragama. Para kritikus menganggap undang-undang itu sebagai alasan utama meningkatnya sentimen anti-imigran, mengingat sangat sedikit sekali jumlah wanita Muslim di Denmark yang benar-benar mengenakan penutup wajah.
"Jika maksud dari undang-undang ini adalah untuk melindungi hak-hak perempuan, ini jelas-jelas gagal," kata Fotis Filippou, Wakil Direktur Amnesty International untuk Eropa. "Sebaliknya, undang-undang ini mengkriminalisasi perempuan akan cara mereka berpakaian," tambahnya.
Aksi protes terhadap UU larangan burka dan niqab di Denmark.
Martin Henriksen, seorang anggota parlemen dari partai sayap kanan Rakyat Denmark – yang mengusulkan larangan itu – mengatakan ia sangat senang dengan kemajuan aturan tersebut. "Kami percaya ini adalah langkah penting bagi negara kami dan kami berharap ini akan mengilhami negara lain untuk melakukan hal yang sama. Itu tidak dapat disandingkan dengan budaya dan nilai-nilai Denmark," ujarnya.
Henriksen menjelaskan bahwa Partai Rakyat Denmark ingin melawan "Islam politik" dan "kelompok-kelompok fundamentalis."
Sikap ini menunjukkan bahwa aturan yang melarang penggunaan burqa sepenuhnya bermotif politik dan harus dipandang dalam konteks Islamophobia di Denmark. Sejauh ini belum ada laporan pelanggaran hukum, atau kejahatan dan aksi terorisme dengan mengenakan burka dan niqab, sehingga ia harus dilarang dengan alasan keamanan.
Di Austria, Prancis, dan Belgia juga ada larangan penggunaan burka dan niqab. Semua negara ini mengklaim bahwa larangan itu tidak menargetkan agama tertentu. Namun, mereka tidak melarang penggunaan penutup kepala, sorban Sikh, dan kippah Yahudi. Kontradiksi ini adalah contoh lain dari bentuk sentimen anti-Islam yang dijalankan di sejumlah negara Eropa.
Seorang wanita Muslim Denmark menjadi orang pertama yang didenda karena mengenakan niqab. Sara, sanita keturunan Turki ini, dijerat dengan hukum baru mengenai larangan penggunaan burka dan niqab di tempat umum. Dia didenda 1.000 krone karena menolak melepas cadarnya. Dia adalah anggota kelompok Kvinder I Dialog (Women In Dialogue) yang menentang larangan penggunaan burka dan niqab di Denmark.
"Saya harus menjadi diri saya sendiri dan bertindak berdasarkan apa yang saya yakini, atau saya harus berlutut di hadapan sesuatu yang saya anggap salah. Mandela dipenjara selama 27 tahun karena berperang melawan Apartheid. Tetapi ketika dia dibebaskan, dia menjadi Presiden Afrika Selatan," ujar Sara kepada wartawan Deutsche Welle.
Para pendukung larangan burka dan nikaq menganggap model pakaian seperti itu sebagai "simbol penindasan terhadap perempuan" dan tidak dapat diterima. Namun, para kritikus mengatakan penerapan aturan semacam itu selain melanggar hak individu, juga merupakan keputusan yang tidak perlu dan tidak proporsional.
Amnesty International menyebut aturan yang diloloskan oleh parlemen Denmark, sebagai perlakuan diskriminatif terhadap hak-hak perempuan. Para pendukung larangan ini bahkan tidak memiliki alasan, yang bisa memuaskan lembaga-lembaga yang lahir dari sistem liberal demokrasi Barat.
Fotis Filippou, Wakil Direktur Amnesty International untuk Eropa, mengatakan, "Semua wanita harus bebas berpakaian sesuka mereka dan mengenakan pakaian yang mengekspresikan identitas atau keyakinan mereka. Larangan ini akan berdampak sangat negatif pada wanita Muslim yang memilih untuk mengenakan niqab atau burka.
Semua aturan yang diterapkan di Eropa atas nama membela hak-hak perempuan, pada dasarnya mengejar satu tujuan yaitu meningkatkan pembatasan terhadap wanita Muslim di Eropa.
Gelombang kekerasan terhadap wanita berjilbab di negara-negara Barat meningkat di tengah kegiatan kampanye pembelaan hak-hak perempuan di seluruh dunia. Studi menunjukkan bahwa kekerasan ini diarahkan untuk menolak ajaran Islam yang menyerukan perdamaian dan keadilan.
Surat kabar Amerika, The Huffington Post melaporkan bahwa kubu anti-Islam menyembunyikan pemikiran mereka di balik klaim melindungi kaum perempuan. Mereka berpendapat bahwa Islam mendiskriminasikan antara wanita dan laki-laki. Mereka mengaku ingin menyelamatkan perempuan, tapi justru mengabaikan suara wanita Muslim yang ingin mengamalkan ajaran agamanya.
Amani al-Khatahtbeh, seorang remaja New Jersey dan pendiri majalah MuslimGirl.com dalam wawancaranya dengan The Huffington Post, menuturkan, "Islamophobia telah menjadi sebuah perang terhadap gender. Industri Islamophobia secara strategis menggunakan tubuh wanita Muslim untuk melanggengkan kebencian terhadap Islam, seperti dengan mengatakan bahwa wanita Muslim dipaksa berhijab. Dengan cara ini, mereka menyebarkan ideologi rasis terhadap negara-negara Muslim."
"Hasilnya adalah bahwa komunitas Muslim yang paling rentan adalah wanita yang mengenakan jilbab, mereka menjadi target yang lebih terpolarisasi dan serangan kebencian. Orang-orang fanatik anti-Muslim benar-benar mengubah [wanita Muslim] menjadi simbol dari semua yang mereka benci," jelasnya.
Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Institute for Social Policy and Understanding pada tahun 2017, wanita Muslim merasa lebih takut terhadap keselamatan dirinya daripada pria Muslim (47 persen vs 31 persen). Wanita Muslim menderita trauma emosional pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan pria Muslim (19 persen vs 9 persen). Jumlah wanita Muslim yang mendaftar untuk kursus membela diri, mungkin dua kali lipat lebih banyak daripada pria Muslim.
Pada 2017, Tell MAMA mencatat total 1.330 laporan. Dari laporan ini, 1.201 diverifikasi sebagai anti-Muslim atau Islamophobia dan terjadi di Inggris antara Januari dan Desember 2017. Data 2017 menunjukkan bahwa hampir 6 dari 10 korban kebencian anti-Muslim di jalanan adalah perempuan, dan 8 dari 10 pelaku adalah laki-laki.
Matthew Feldman, salah satu pendiri Centre for Fascist, Anti-Fascist and Post-Fascist Studies di Universitas Teesside yang menganalisis data Tell MAMA, mengatakan bahwa secara umum telah terjadi kekerasan terhadap Muslim, tapi jumlah korban lebih banyak wanita karena identitas mereka terlihat dari pakaiannya daripada laki-laki.
Islamophobia di Barat (49)
Edisi kali ini menyoroti kemenangan timnas sepak bola Prancis pada Piala Dunia 2018 Rusia, di mana sepertiga pemainnya tercatat sebagai Muslim. Fakta ini menarik perhatian sejumlah media dan pengguna Twitter.
Setelah kemenangan Prancis pada Piala Dunia 2018 Rusia dan mengingat kontribusi pemain Muslim dan imigran dalam kemenangan ini, akhirnya banyak pengguna Twitter menekankan perlunya mengakhiri kebijakan xenofobia dan Islamophobia di negara itu.
Paul Pogba, salah satu pencetak gol timas Prancis di laga final, dan enam rekan satu timnya adalah Muslim. Hampir 80 persen dari pemain timnas Prancis di Piala Dunia 2018 merupakan anak-anak imigran dan sepertiga dari mereka beragama Islam. Imigran membentuk sepuluh persen dari total populasi Prancis.
Setelah Prancis membawa pulang trofi Piala Dunia, banyak pengguna Twitter berpendapat bahwa pemerintah Paris harus mengakhiri pendekatan standar ganda terhadap warga imigran dan Muslim.
Seorang pengguna Twitter menulis, "Terlepas dari semua undang-undang anti-Islam yang diadopsi Prancis, tidak boleh dilupakan bahwa orang-orang Muslim-lah yang membantu Prancis memenangkan Piala Dunia."
Menurut pengguna lain, orang-orang Afrika dan Muslim mempersembahkan kemenangan untuk Prancis dan sekarang Paris harus memberi mereka keadilan.
Pengguna lain menyebut kebijakan anti-asing dan anti-Muslim yang diadopsi Prancis sebagai memalukan, karena orang-orang Muslim dan Afrika berkontribusi atas kemenangan Prancis pada Piala Dunia 2018.
Prancis memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa. Lembaga-lembaga resmi Prancis memperkirakan jumlah Muslim di negara itu mencapai enam juta orang. Namun, Muslim Prancis menghadapi semua bentuk diskriminasi, pembatasan, dan serangan bermotif rasial.
Prancis memelopori gerakan anti-Islam di Eropa dengan melarang pelajar Muslimah mengenakan jilbab di sekolah-sekolah pada pertengahan 1990-an. Larangan ini tidak terbatas pada penggunaan jilbab di sekolah, tapi kehadiran perempuan dan wanita berjilbab juga dibatasi di banyak ruang publik di Prancis.
Tindakan pemerintah Paris membatasi warga Muslim didasari pada tuntutan kelompok sayap kanan dan anti-Islam. Gerakan-gerakan pro-Zionis juga sangat mendukung pembatasan itu.
Paul Pogba dan rekan-rekannya di Piala Dunia 2018 Rusia.
Saat ini komunitas Yahudi Eropa memiliki jumlah terbesar di Perancis. Zionis dan rezim Zionis memiliki lobi berpengaruh di pemerintah Prancis. Banyak pejabat politik, intelijen, dan keamanan Prancis memiliki ikatan dengan Yahudi karena garis keturunan atau alasan lain.
Mereka selalu berusaha mencari dukungan pemerintah Paris dengan membesar-besarkan isu anti-Semitisme dan menutupi kejahatan rezim Zionis di wilayah Palestina pendudukan.
Prancis menghadapi beberapa serangan terorisme dalam beberapa tahun terakhir. Tindakan ini berakar pada perlakuan diskriminatif pemerintah Prancis terhadap warga Muslim serta dukungan negara itu kepada kelompok-kelompok takfiri dan teroris di Suriah, Irak, dan Libya.
Realitas kehidupan di Barat menunjukkan bahwa kontribusi umat Islam secara umum baik mereka yang tinggal di Prancis, Jerman atau Inggris, berguna dan positif. Warga Turki memainkan peran penting dalam membangun Jerman pasca Perang Dunia II. Pada saat yang sama, kaum Muslim di Afrika Utara berimigrasi ke Prancis selama era kolonialisme dan tetap setia pada negara dan Konstitusi Prancis meskipun menghadapi diskriminasi dan perlakuan buruk.
Kebijakan anti-Islam dan pelanggaran hak-hak sipil Muslim, menyebabkan sebagian pemuda merasa tidak nyaman. Prancis yang mengaku mendukung kebebasan berekspresi, telah membantai jutaan Muslim di Afrika Utara selama abad ke-19 dan 20 Masehi. Bahkan sampai berakhirnya Perang Dunia II, Prancis melanjutkan praktik kolonialisme di Afrika Utara.
Namun, pemerintah Paris memandang pemicu tindakan teroris di Prancis adalah ekstremisme Islam dan al-Quran dalam mendukung kekerasan, tanpa melihat sejarah perlakuan buruk Prancis terhadap Muslim Afrika khususnya Aljazair, dan konsekuensi mendukung kelompok teroris takfiri seperti Daesh di Suriah.
Prancis kemudian melakukan kampanye anti-Muslim dan Islamophobia serta menjustifikasi pengekangan terhadap warga Muslim meskipun itu melanggar hukum kebebasan beragama yang dijamin oleh Konstitusi Prancis dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Kampanye ini hanya akan menyebabkan komunitas Muslim termarginalkan.
Orang-orang Muslim yang sekarang menjadi pemain timnas Prancis, bekerja keras tanpa menikmati dukungan khusus dan mereka berhasil tampil sebagai pemain profesional di dunia dan diundang ke timnas. Mereka menganggap kemenangan dalam Piala Dunia sebagai kehormatan besar bagi diri mereka sendiri dan Prancis.
Muslimah Prancis memprotes larangan penggunaan jilbab.
Para pemain Muslim ini bangga dengan Prancis. Sama seperti orang tua mereka yang berperang untuk Prancis pada Perang Dunia I dan II. Beberapa tahun yang lalu, kuburan sejumlah tentara Muslim Prancis yang terbunuh selama Perang Dunia I dan II dirusak oleh kelompok anti-Islam dan Zionis.
Mereka menghancurkan batu nisan makam tentara Muslim dan menuliskan gambar salib di atasnya. Presiden Prancis waktu itu, Nicolas Sarkozy mengatakan batu nisan yang telah dirusak itu milik tentara Muslim Prancis, dan menyebut tindakan tersebut sebagai noktah hitam dalam sejarah Prancis.
Lalu, apakah serangan ke masjid-masjid, ancaman membunuh wanita berjilbab, serangan terhadap pelajar Muslimah, dan penyampaian pidato kebencian terhadap warga Muslim, bukankah ini noktah hitam bagi Prancis, negara yang mengklaim dirinya sebagai tanah lahirnya kebebasan berekspresi dan demokrasi. Tindakan memelopori pembatasan terhadap umat Islam di Eropa, bukankah sebuah aib bagi pemerintah Prancis?
Salah satu penggunan Twitter, Shahab Esfandiyari dalam sebuah pesan menulis, "Prancis yang terhormat, selamat atas kemenangan Piala Dunia. 80 persen dari tim Anda adalah imigran Afrika. Jadi, tolong akhiri rasisme dan heterofobia di Prancis. 50 persen dari tim Anda adalah Muslim. Tolong akhiri Islamophobia di Prancis. Mereka memberi Anda Piala Dunia kedua. Tolong berikan mereka keadilan."
Diharapkan bahwa dengan kemenangan yang telah dipersembahkan orang-orang Muslim kepada timnas Prancis, gelombang Islamophobia akan dihentikan selamanya di negara itu dan membuka mata dunia tentang kebohongan-kebohongan yang dibuat untuk menyudutkan Islam.
Islamophobia di Barat (48)
Senat Prancis dalam sebuah laporan tentang ancaman terorisme, menyatakan keprihatinan atas penyebaran Salafisme. Laporan ini merekomendasikan mobilisasi lembaga-lembaga pemerintah dan menyiapkan kerangka hukum untuk melawan Salafisme secara efektif di Prancis.
Komite Investigasi Senat memeriksa kesiapan badan-badan pemerintah untuk melawan ancaman baru terorisme pasca bubarnya kelompok teroris Daesh. Komite menyetujui penguatan beberapa badan pemerintah dan memperkirakan bahwa badan-badan tersebut tidak cukup untuk melawan ancaman baru terorisme.
Komite Investigasi Senat menyesalkan bahwa tidak adanya keberanian pemerintah telah menyebabkan suburnya paham Salafisme di masyarakat Prancis. Pengawasan lembaga keamanan terhadap orang-orang yang berafiliasi dengan kelompok Salafi, tidak mampu mencegah tindakan terorisme yang melibatkan mereka.
Masyarakat Muslim tercatat sebagai komunitas agama terbesar kedua di Prancis dengan jumlah sekitar 5 juta orang dan memiliki 2.500 masjid dan tempat ibadah. Sejak pertengahan dekade 1990-an, masyarakat Muslim Prancis menghadapi berbagai pembatasan dalam menjalankan agamanya termasuk larangan penggunaan jilbab bagi pelajar Muslimah di sekolah.
Dengan maraknya aksi teror di Prancis dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Muslim di negara itu selalu dikaitkan dengan setiap aksi terorisme. Setiap serangan teror di Prancis selalu diikuti dengan gelombang kekerasan dan tuduhan miring terhadap warga Muslim di media-media Prancis.
Padahal, tindakan keji itu dilakukan sekelompok kecil orang yang mengaku dirinya Muslim, tapi keliru dalam menafsirkan ajaran Islam. Namun, pemerintah Prancis dan Barat selalu menggunakan diksi terorisme Islam. Jika serangan terorisme dilakukan seorang Yahudi, Kristen, atau Budha, mereka tidak akan mencapnya sebagai terorisme Yahudi atau terorisme Kristen dan atau terorisme Budha. Padahal, tindakan terorisme yang dilakukan orang Yahudi, Kristen, Budha, atau Hindu, tidak sedikit kasusnya di dunia.
Kejahatan rezim Zionis terhadap warga Palestina.
Tiada hari bagi orang Zionis – yang menyebut dirinya Yahudi – tanpa menumpahkan darah warga Palestina. Di Amerika, setiap hari ada laporan tentang kejahatan yang dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya sebagai Kristen. Di Myanmar, warga Muslim Rohingya disiksa dan dibunuh dengan cara yang paling keji oleh orang-orang Budha. Di Kashmir, banyak Muslim meninggal dunia di tangan warga Hindu.
Kejahatan tersebut tidak pernah dianggap sebagai terorisme Yahudi atau Kristen, Budha, dan Hindu. Tapi jika ada orang yang mengaku dirinya Muslim dan melakukan tindakan terorisme, aksi ini langsung dikaitkan dengan Islam dan melabelinya sebagai terorisme Islam.
Tidak ada kata lain untuk menyebut pendekatan Barat ini kecuali upaya menyebarkan Islamophobia dan sentimen anti-Islam serta tindakan untuk membatasi warga Muslim menjalani ajaran agamanya.
Padahal menurut prinsip-prinsip liberalisme, setiap manusia bebas dalam memilih dan mempraktikkan keyakinannya. Namun, pemerintah Barat mencitrakan Islam sebagai ancaman sehingga memiliki alasan untuk mengekang warga Muslim menjalani hidup berdasarkan prinsip kebebasan yang diyakini Barat.
Mengenai kegiatan kelompok Salafi termasuk aksi terornya, perlu dicatat bahwa gerakan Salafi-Wahabi merupakan buah dari kebijakan pemerintah Prancis dan beberapa negara Barat di Eropa serta beberapa negara Muslim di wilayah Asia Barat.
Interpretasi keliru terhadap ajaran Islam selalu ditemukan di sepanjang sejarah Islam, tapi gerakan ini tidak pernah menemukan kesempatan seperti sekarang ini di mana mampu menyulut perang dan merusak keamanan beberapa negara Muslim di kawasan. Mereka bahkan memperluas tindakan terorismenya sampai ke wilayah Eropa.
Lembaga-lembaga penelitian, pakar politik, dan media di Barat percaya bahwa Al Qaeda dan Taliban di Afghanistan serta Daesh di Irak dan Suriah, terbentuk dan memperoleh kekuatan karena kebijakan Amerika Serikat dan beberapa negara Barat.
Pemerintah Barat – demi memajukan agendanya – memicu krisis di negara-negara Muslim dengan memberikan dukungan politik, finansial, dan militer kepada kelompok Salafi-Wahabi yang beroperasi di negara-negara Muslim. Sumber pemikiran dan pendanaan utama kelompok ini berasal dari para penguasa Wahabi di Arab Saudi.
Arab Saudi adalah sekutu dekat Prancis dan Amerika serta negara-negara Eropa, yang mengaku memperjuangkan tegaknya demokrasi dan memerangi terorisme. Paris memberikan dukungan kepada Riyadh dalam menyulut perang di Suriah dan Irak.
Pemerintah Paris membiarkan ribuan pemuda Muslim Prancis berangkat ke Suriah dan Irak untuk bertempur. Mereka merupakan orang-orang yang belajar di masjid-masjid dan lembaga-lembaga yang berada di bawah asuhan ulama Wahabi di Prancis dan negara-negara lain Eropa.
Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman (kiri) dan Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Sepertiga anggota Daesh di Suriah adalah warga negara Eropa, termasuk Prancis. Jadi mustahil sejumlah besar warga Eropa ini bisa pergi ke Irak dan Suriah tanpa sepengetahuan lembaga keamanan dan intelijen mereka.
Kekhawatiran Senat Prancis mengenai aktivitas gerakan Salafi di negara itu juga mengacu pada warga negara Eropa yang pernah pergi ke Irak dan Suriah. Senat Prancis menyatakan keprihatinan atas keberadaan orang-orang yang mereka sebut Salafi, tetapi para senator sama sekali tidak berbicara tentang pentingnya meninjau ulang hubungan Prancis dengan Saudi, negara yang menjadi sumber ekstremisme di kawasan.
Saat ini pemerintah Paris dengan menjual senjatanya kepada Riyadh, sejatinya telah terlibat langsung dalam pembantaian rakyat Yaman, yang dilakukan oleh militer Saudi dan Uni Emirat Arab.
Padahal, 75 persen orang Prancis dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga YouGov, mendesak pemerintah untuk menghentikan ekspor senjata ke negara-negara agresor Yaman termasuk Arab Saudi. 69 persen responden menyerukan peran yang lebih besar parlemen Prancis dalam mengontrol penjualan senjata ke luar negeri.
Tuntutan itu mendorong para legislator Prancis dan bahkan Sebastien Nadot – sekutu presiden Prancis – membuka penyelidikan tentang legalitas penjualan senjata ke Saudi Cs yang terlibat dalam perang Yaman.
Senat Prancis jika benar-benar prihatin dengan ancaman teroris Salafi di Prancis, maka pertama-tama mereka harus meninjau ulang hubungan negara itu dengan Saudi dan menghentikan penjualan senjata ke Riyadh. Namun, kecil kemungkinan para senator Prancis akan mengambil langkah semacam ini.
Prancis dan pemerintah Eropa lainnya mengadopsi kebijakan standar ganda dalam memerangi terorisme, dan selama ada standar ganda, maka ancaman terorisme akan tetap ada.
Islamophobia di Barat (47)
Politisi anti-Islam dari Belanda, Geert Wilders menentang keanggotaan Turki di Uni Eropa. Setelah Recep Tayyip Erdogan memenangi pemilu presiden Turki, Wilders dalam sebuah pesan video menyatakan Uni Eropa tidak akan pernah menerima keanggotaan Turki.
Ketua Partai Kebebasan (PVV) – partai terbesar kedua di parlemen Belanda – dalam pesannya kepada rakyat Turki mengatakan, "Lupakanlah keanggotaan di Uni Eropa, kalian bukan orang Eropa dan tidak akan pernah menjadi anggota Uni Eropa. Seluruh nilai-nilai seperti kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia yang dibela Eropa, tidak dapat disandingkan dengan dengan Islam."
Geert Wilders dikenal anti-Islam dan anti-imigran di Belanda. Dia menyerukan pembatasan terhadap kegiatan sosial warga Muslim dan penghapusan simbol-simbol agama Islam termasuk masjid di Belanda dan seluruh Eropa. Sebelumnya dia pernah menyerukan agar al-Quran dilarang dan menyebut Islam sebagai keyakinan totalitarian.
Wilders menjustifikasi penghinaan terhadap sakralitas Islam sebagai kebebasan berekspresi. Ia mulai dikenal luas di dunia setelah memproduksi sebuah film pendek anti-Islam yang berjudul "Fitna" pada tahun 2008.
Turki telah mengajukan permohonan keanggotaan di Uni Eropa sejak sekitar enam dekade lalu. Organisasi itu menerima permohonan Turki pada 2005. Namun keanggotaan ini membutuhkan proses panjang.
Negara pemohon harus menyelaraskan kondisi politik, ekonomi, peradilan, sosial, dan budayanya dengan Uni Eropa. Untuk dapat memperoleh keanggotaan penuh, Turki harus memenuhi 35 bab negosiasi yang harus disetujui oleh semua negara anggota Uni Eropa.
Negara pemohon harus menegosiasikan satu per satu isi bab tersebut dengan Uni Eropa serta melakukan reformasi dan langkah-langkah untuk menyesuaikan dirinya dengan ketentuan blok Eropa.
Namun, syarat keanggotaan Turki di Uni Eropa dan kondisi perundingan dengan Ankara, benar-benar berbeda dengan para kandidat lain yang ingin menjadi anggota. Perbedaan perlakuan ini disebabkan oleh keengganan beberapa negara kunci blok Eropa seperti Prancis, Jerman, Austria, dan Belanda, untuk menerima kehadiran Turki.
Permohonan Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa diterima karena beberapa pertimbangan politik dan ekonomi. Misalnya, Uni Eropa pada 2005 secara bersamaan dengan Turki, juga menerima permohonan keanggotaan dari Kroasia. Kroasia bergabung dengan Uni Eropa setelah tujuh tahun negosiasi pada 2013.
Tetapi, negosiasi Eropa dengan Turki belum mengalami kemajuan walaupun satu bab dari 35 bab syarat keanggotaan. Ada banyak alasan untuk menolak kehadiran Turki di Uni Eropa. Salah satu alasan paling penting adalah populasi Turki yang mayoritas beragama Islam. Para penentang Turki selalu beralasan bahwa Uni Eropa adalah sebuah komunitas Kristen dan tidak ada ruang untuk negara Muslim Turki.
Mantan Presiden Prancis, Valerie Giscard d’Estaing pernah menyatakan bahwa Turki bukanlah negara Eropa dan bergabungnya Turki ke Uni Eropa akan menjadi akhir dari Eropa.
Lalu, mengapa ia menganggap masuknya Turki ke Uni Eropa sebagai akhir dari organisasi itu? Apakah ini sebuah pandangan pribadi? Ungkapan yang pendek ini memiliki makna yang sangat dalam, tapi tidak susah untuk mencari tafsirnya.
Tafsir ungkapan mantan presiden Prancis ini bisa dibaca dari kalimat terkenal yang diucapkan oleh mantan Kanselir Jerman, Helmut Kohl bahwa Uni Eropa adalah Christian Club.
Mantan Presiden Prancis, Nicholas Sarkozy dan Kanselir Jerman Angela Merkel, termasuk di antara politisi yang menentang keras bergabungnya Turki ke dalam Uni Eropa. Mereka mendukung Turki untuk memperoleh “priviledged partnership” dibandingkan dengan “full membership.” Tetapi, Ankara menolak status kemitraan istimewa ini.
Sementara itu, negara-negara seperti Spanyol dan Polandia serta Partai Sosial-Kristen Jerman, menyerukan agar ajaran Kristen dapat diterima sebagai inti dari identitas Eropa. Namun, permintaan ini bertentangan dengan pandangan para perancang proyek integrasi Eropa. Proyek integrasi Eropa melampaui masalah ras, etnis, dan agama.
Proyek integrasi ini – yang dikenalkan pasca Perang Dunia II – bertujuan untuk menghapus semua perselisihan dan permusuhan serta membawa negara lebih dekat bersama dan meningkatkan hubungan mereka. Tetapi apa yang terjadi di Eropa sekarang adalah justru memperkuat sekat-sekat identitas, etnis, dan agama, dan membatasi masalah integrasi hanya pada isu ekonomi dan perdagangan. Jika ini yang dikejar, tentu ia telah melenceng dari ide para perancang integrasi Eropa.
Setelah Perang Dunia II, para perancang proyek integrasi Eropa membentuk Komunitas Batubara dan Baja Eropa, dan melalui pasar bersama ini, mereka berharap tercipta integrasi di sektor-sektor lain, mengurangi konflik internal Eropa secara drastis, dan memenuhi kepentingan negara-negara Eropa melalui kerja sama dan konvergensi di semua bidang.
Protes terhadap perilaku rasis dan Islamophobia di Inggris.
Proses integrasi di Eropa telah berjalan sebaliknya seiring dengan bangkitnya partai-partai ekstrem kanan dan anti-Islam. Jika 10 tahun lalu, masalah kebijakan luar negeri dan keamanan kolektif menjadi salah satu perdebatan penting dalam proses integrasi Eropa, maka saat ini perdebatan utama Eropa terfokus pada masalah identitas, budaya, dan sosial.
Ini terjadi setelah partai-partai ekstrem kanan dan anti-Islam bangkit di beberapa negara Eropa. Partai Kebebasan (PVV) pimpinan Geert Wilders bahkan menjadi partai terbesar kedua di parlemen Belanda. Salah satu isu perdebatan di bidang sosial adalah mengenai cara-cara menghalau pengungsi dan imigran.
Dengan perkembangan ini, aksesi Turki ke Uni Eropa menjadi jauh lebih sulit daripada sebelumnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, menyusul kebijakan yang diambil oleh Presiden Erdogan, telah muncul banyak ketegangan antara Ankara dan Eropa. Beberapa negara Eropa seperti Jerman dan Belanda, bahkan tidak mengizinkan partai AKP melakukan kampanye terkait amandemen konstitusi di tengah imigran Turki.
Penentangan Wilders dan para politisi kanan ekstrem dan anti-Islam terhadap keanggotaan Turki di Uni Eropa, telah melampaui perseteruan politik antara pemerintah Eropa dan Ankara. Oposisi ini sekarang berakar pada Islamophobia.
Mereka sama sekali tidak mau menerima Turki Islami dengan penduduk 85 juta Muslim di Uni Eropa. Alasan mereka menolak keanggotaan Turki adalah karena interpretasi keliru para politisi Barat tentang Islam. Mereka menganggap Islam sebagai paham radikalisme.
Padahal, keyakinan dan pandangan kubu ekstrem kanan dan anti-Islam di Eropa seperti Geert Wilders, sama sekali tidak sesuai dengan ajaran agama Kristen dan bahkan dengan paham liberal demokrasi di Barat.
Eropa sangat terpukul dengan kebangkitan partai-partai kanan ekstrem dan rasis pada dekade 1930-an. Eropa masih syok jika mengingat pengalaman pahit kebangkitan Nazi di Jerman dan Fasis di Italia pada dekade 1930-an. Proyek integrasi Eropa dirancang untuk mencegah terulangnya tragedi Perang Dunia II, namun semuanya berbalik sekarang.
Islamophobia di Barat (46)
Mahkamah Agung Amerika Serikat memperkuat larangan warga dari beberapa negara Muslim masuk ke wilayah AS. Larangan ini diberlakukan Presiden Donald Trump sejak awal dia menjabat tahun 2017.
Pada 27 Januari 2017, Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang masuk warga dari tujuh negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Larangan itu bertujuan untuk "melindungi bangsa dari penyusupan teroris asing ke Amerika Serikat."
Tujuh negara Muslim yang warganya dilarang masuk AS adalah Iran, Irak, Suriah, Sudan, Libya, Somalia, dan Yaman.
Perintah kontroversial ini memicu gelombang protes dan kritik terhadap presiden AS. Ini adalah tindakan pertama Trump mengobarkan Islamophobia dan menunjukkan sentimennya terhadap Muslim.
Para jaksa dari beberapa negara bagian AS menilai keputusan Trump dilatari oleh fanatisme dan sentimen anti-Islam serta bertentangan dengan Konstitusi AS. Karena banyaknya gugatan, Pengadilan Tinggi AS menangguhkan pelaksanaan perintah eksekutif Trump sehingga semua gugatan dapat diproses oleh pengadilan.
Trump kemudian merevisi perintahnya dan melarang warga dari lima negara Muslim (Iran, Suriah, Libya, Somalia, dan Yaman) memasuki Amerika, dan menambahkan nama Korea Utara dan Venezuela dalam daftar larangan.
Dengan perubahan itu, Trump telah meredam kritikan terhadap perilaku anti-Islam yang diadopsinya, sekaligus meningkatkan tekanan terhadap Korea Utara dan Venezuela karena membangkang kepada AS.
Para hakim Mahkamah Agung AS – mayoritas mereka dari kubu konservatif – mengukuhkan perintah eksekutif Trump, yang melarang perjalanan bagi warga dari lima negara Muslim ditambah Korea Utara dan Venezuela ke Amerika. Dalam putusan tersebut, lima hakim agung mendukung dan empat hakim agung menolak.
Moustafa Bayoumi, profesor bahasa Inggris dan penulis buku "This Muslim American Life: Dispatches from the War on Terror" menuturkan, "Ada banyak alasan untuk khawatir bahwa Mahkamah Agung AS akan memutuskan mendukung Trump."
Momentum awal penentangan terhadap larangan telah melemah setelah berbulan-bulan pertempuran hukum. "Saya khawatir bahwa kita semua akan lelah oleh pemerintahan tanpa belas kasihan ini. Sementara itu, pemerintahan Trump menempatkan masalah xenophobia dan Islamophobia bersama-sama di jalur yang berbahaya," kata Bayoumi.
Perlu dicatat bahwa warga Arab Saudi tidak dimasukkan dalam daftar larangan berkunjung ke AS. Padahal 15 dari 19 pelaku serangan 11 September adalah warga negara Saudi. Namun, warga Saudi secara bebas dapat berkunjung ke negara tersebut. Pengecualian ini menunjukkan bahwa ada motivasi yang lebih besar daripada isu keamanan dalam larangan imigrasi Trump.
Surat kabar The New York Times dalam sebuah laporan mengenai perintah eksekutif Trump pada 26 Juni 2018 menulis bahwa ini adalah sebuah trik yang sudah diperhitungkan oleh presiden AS yang haus perang untuk menebarkan ketakutan di tengah rakyat Amerika dan menyebarkan aroma xenophobia di negara itu.
Menurut media tersebut, perintah baru Trump melarang warga dari beberapa negara lain memasuki AS, akan menimbulkan pertanyaan penting di benak setiap orang, 'Apakah keputusan ini benar-benar membuat Amerika lebih aman?' Seperti yang disimpulkan dari pendapat orang-orang Amerika, jawaban untuk pertanyaan ini adalah 'tidak'."
Larangan ini menargetkan negara-negara yang tidak melanggar atau bahkan tidak mempermasalahkan standar screening untuk memasuki wilayah AS.
The New York Times menambahkan perintah eksekutif Trump benar-benar anti-Islam dan dimasukkannya dua negara (Korea Utara dan Venezuela) ke dalam daftar tersebut, hanya untuk mengelabui opini publik dan membenarkan putusan para hakim agung yang menyetujui larangan imigrasi presiden.
Adapun Korea Utara, jumlah warga negara itu yang memasuki Amerika setiap tahunnya tidak mencapai puluhan. Dalam kasus Venezuela, larangan tersebut hanya berlaku untuk para pejabat pemerintah Maduro (musuh bebuyutan Trump) dan anggota keluarga mereka.
Yang lebih penting, sama sekali tidak ada warga dari negara-negara terlarang itu yang melakukan serangan mematikan terhadap AS dalam dua dekade terakhir.
Presiden Donald Trump.
Trump juga telah memberlakukan screening yang sangat ketat untuk orang-orang yang akan masuk ke Amerika. Sistem pemeriksaan dan penyaringan AS untuk penerbitan visa adalah sistem yang paling sempurna dan paling akurat dari jenisnya di dunia. Dengan penyaringan yang ketat ini, maka risiko ancaman dan serangan teroris oleh turis asing di negara itu, secara drastis berkurang.
Mengenai pemikiran dan kepribadian anti-Islam Trump, The New York Times menulis, "Trump pada dasarnya adalah seorang presiden yang selalu dan tanpa malu-malu menunjukkan permusuhan lamanya terhadap para pengikut sebuah agama besar. Trump bahkan membuktikan sentimennya ini dalam bentuk tindakan. Contohnya adalah larangan warga negara Muslim untuk memasuki Amerika atau permusuhannya yang luar biasa terhadap para imigran."
Setelah Trump berkuasa, aktivitas kelompok-kelompok radikal kanan termasuk kelompok anti-Islam di Amerika meningkat.
Southern Poverty Law Center (SPLC), sebuah lembaga yang mengawasi penegakan hak-hak sipil di AS, dalam sebuah laporannya menyatakan bahwa pada 2017 yang bertepatan dengan tahun pertama kepresidenan Donald Trump, jumlah kelompok anti-Islam di Amerika meningkat dari 101 menjadi 114 kelompok.
Lembaga tersebut juga mencatat bahwa jumlah kelompok radikal kanan di Amerika meningkat 20 persen selama tiga tahun terakhir. Pada 2017, 954 kelompok radikal kanan melakukan aktivitas di negara itu dan jumlah mereka tumbuh 4 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Peningkatan kebencian anti-Muslim dipicu oleh retorika rasis Trump, termasuk janji kampanyenya untuk melarang Muslim memasuki Amerika. Dalam 10 hari pertama setelah pemilihannya, SPLC mendokumentasikan 867 insiden yang berhubungan dengan bias, termasuk lebih dari 300 yang menargetkan imigran atau Muslim. (
Islamophobia di Barat (45)
Edisi kali ini akan menyoroti tentang kondisi Muslim Inggris setahun setelah serangan mobil terhadap kerumunan jamaah shalat di sebuah masjid di kota London.
Setahun setelah serangan teroris rasis Inggris terhadap Muslim di London, Dewan Muslim Inggris menyatakan dalam sebuah rilis bahwa tidak ada tindakan yang diambil dalam perang melawan kejahatan rasial dan juga perang melawan Islamophobia di Inggris.
"Dibandingkan dengan tahun 2016, jumlah serangan terhadap Muslim dan pusat-pusat kegiatan umat Islam di Inggris meningkat dua kali lipat," tambahnya.
Dewan Muslim Inggris dalam keterangannya, mengutip statemen Perdana Menteri Inggris Theresa May, yang mengatakan ekstremisme, termasuk Islamophobia telah dipaksakan di negara ini. Pemerintah akan mengalokasikan anggaran untuk melindungi tempat-tempat ibadah, tetapi setahun setelah serangan itu, perang melawan kebencian dan Islamophobia di Inggris, belum ada kemajuan.
Menurut Dewan, fenomena Islamophobia di Inggris sudah sangat meresahkan. Masjid-masjid di kota Manchester dan Leeds diserang sejak seorang pria, Darren Osborne melakukan serangan teror di dekat Masjid Finsbury Park di London. Surat gelap disebarkan untuk menghasut orang-orang menyerang Muslim di kota-kota Inggris dan bubuk putih yang mencurigakan dikirim ke sejumlah rumah warga Muslim.
Darren Osborne, seorang anggota kelompok supremasi kulit putih dan ekstremis sayap kanan, mencoba menabrakkan mobil vannya ke arah orang-orang yang sedang melakukan pawai peringatan Hari Quds Sedunia di London, tetapi ia terlambat datang ke lokasi acara karena kemacetan. Akhirnya ia mengalihkan serangannya ke Pusat Kesejahteraan Muslim Finsbury Park di utara London.
Dia menabrakkan mobil vannya ke arah kerumunan Muslim yang baru selesai melaksanakan shalat di pusat tersebut. Serangan itu menewaskan Makram Ali (51 tahun) dan menciderai 12 lainnya.
Satu tahun setelah kejadian itu, Dewan Muslim Inggris mengatakan bahwa pemerintah tidak mengambil tindakan yang tepat untuk mengurangi kejahatan kebencian dan meluasnya Islamophobia.
Massoud Shajara, ketua Komisi Hak Asasi Manusia Islam London, mengatakan Islamophobia telah menjadi bagian dari realitas yang mengkhawatirkan di masyarakat Inggris. Menurutnya, media dan para politisi berperan dalam meningkatkan sentimen anti-Muslim.
"Mereka menjadikan Islamophobia sebagai alat dan menghubungkan undang-undang anti-terorisme kepada Islam dan Muslim untuk melegitimasi Islamophobia dan membuatnya mengakar. Meningkatnya sentimen anti-Muslim dan kebangkitan kanan ekstrem sekarang telah mengancam seluruh masyarakat Eropa," ujarnya.
Lebih dari 50 anggota parlemen Inggris, tokoh agama, aktivis politik, dan serikat dagang di Inggris dalam sebuah surat terbuka, memperingatkan bahwa kebangkitan sayap kanan ekstrem dapat menimbulkan sebuah ancaman bagi masyarakat multikultural Inggris.
Surat tersebut menyoroti tentang protes berdarah setelah pendiri kelompok sayap kanan anti-Islam, Liga Pertahanan Inggris (EDL), Tommy Robinson dijatuhi hukuman 13 bulan penjara karena menghina pengadilan.
"Protes-protes berdarah yang dilakukan oleh kubu ekstrem untuk menuntut pembebasan Robinson, telah menimbulkan pertanyaan serius bagi mereka yang menghargai keberagaman masyarakat kita," tambahnya.
Sebuah koalisi dari para tokoh Inggris, juga menuduh Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah mendorong kebangkitan kelompok sayap kanan, dan ia memainkan peran penting dalam melindungi kaum rasis sayap kanan.
"Di mana pun dukungan untuk sayap kanan meningkat, maka rasisme dan kekerasan juga akan tumbuh. Mari bersama-sama kita melindungi masyarakat multikultural kita dari penyebaran kebencian dan perselisihan," seru surat tersebut.
Salah satu kebanggaan masyarakat Eropa adalah gerakan menuju multikulturalisme dan integrasi di antara berbagai etnis dan agama. Salah satu tujuan utama proyek integrasi Eropa dan pembentukan Uni Eropa adalah untuk menciptakan masyarakat multikultural dan menciptakan istilah baru kewarganegaraan Eropa, bukan warga Inggris, Prancis, Jerman, atau Polandia.
Konstitusi Uni Eropa yang dirancang untuk menciptakan integrasi Eropa, ditolak oleh rakyat Belanda dan Prancis dalam sebuah referendum. Meski demikian, para pemimpin Eropa tetap menekankan tekadnya untuk membentuk sebuah masyarakat multikultural, karena negara-negara Eropa harus bergerak menuju konvergensi. Landasan stabilitas dan keamanan Eropa juga berdiri di atas konsep masyarakat multikultural.
Negara-negara Eropa bertetangga dengan negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Laut Mediterania adalah pemisah antara Eropa dengan benua Afrika dan Asia Barat. Benua Afrika dan Asia Barat merupakan daerah koloni bagi negara-negara kolonial Eropa sebelum pecahnya Perang Dunia II.
Banyak dari warga Afrika dan Asia Barat kemudian bermigrasi ke negara-negara Eropa selama periode kolonialisme. Migrasi ini berlanjut setelah banyak dari negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaan. Pemerintah Eropa menyambut kehadiran mereka di negaranya, mengingat kebutuhan Eropa akan tenaga kerja yang murah dan muda.
Namun, bentuk dan model migrasi ke Eropa telah berubah setelah berakhirnya Perang Dingin dan munculnya krisis, serta perang saudara di Afrika, Asia Barat, dan Asia Selatan. Jika sebelumnya migrasi bertujuan untuk bekerja dan belajar di Eropa, maka sekarang muncul gelombang pencari suaka dengan maksud memperbaiki hidupnya atau lari dari konflik.
Para pengungsi ini rata-rata berasal dari negara-negara Muslim di Afrika, Asia Barat, dan Asia Selatan. Fenomena ini kemudian memicu sentimen anti-imigran dan anti-Muslim di Eropa.
Di tengah kebangkitan ekstrimisme sayap kanan dan munculnya gerakan anti-imigran dan anti-Muslim di Eropa, partai-partai kanan dan kiri tradisional di benua tersebut bergabung dengan partai-partai ekstremis dan rasis demi mempertahankan basis massanya.
Masalah Brexit juga erat kaitannya dengan isu imigran dan rencana penerapan pembatasan ketat bagi pengungsi yang ingin ke Inggris. Pemerintah mantan Perdana Menteri David Cameron meminta Uni Eropa memberikan konsesi khusus untuk membatasi aliran imigran ke Eropa.
Cameron tidak menyangka bahwa mayoritas orang Inggris akan memilih untuk keluar dari Uni Eropa. Ia menggelar referendum Brexit dan ternyata rakyat Inggris benar-benar memutuskan keluar dari Uni Eropa.
Kubu kanan ekstrem sekarang memiliki pengaruh besar di hampir semua negara Eropa. Mereka kini berkuasa di Italia, Austria, Hongaria, Polandia, dan Republik Ceko. Di Jerman, sayap kanan ekstrem, Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) tercatat sebagai partai oposisi terbesar di Bundestag.
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah dan media-media Barat justru menyebarkan sentimen anti-imigran dan anti-Islam di tengah masyarakat. Dengan kebijakan ini, mereka ingin mengurangi partisipasi warga Muslim di tengah masyarakat Eropa, memarginalkan mereka, dan mencegah masuknya imigran ke Eropa, terutama Muslim.
Beberapa negara Eropa secara terbuka menyatakan bahwa mereka menolak menerima warga Muslim dalam skema kuota imigran, yang diputuskan oleh Uni Eropa.



























