
کمالوندی
Peringatan Tragedi Penembakan IR 655 oleh USS Vincennes
Setiap tanggal 3 Juli, masyarakat Iran memperingati tragedi penembakan pesawat sipil negara ini di atas perairan Teluk Persia oleh kapal perang Amerika Serikat. Dalam acara tersebut, mereka melemparkan bunga ke laut, lokasi jatuhnya IR 655.
Rapor Amerika Serikat dipenuhi dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Watak jahat dan arogan telah menyatu dengan kepribadian para pejabat pemerintah AS.
Selama 40 tahun sejak kemenangan Revolusi Islam, AS berulang kali melakukan kejahatan terhadap rakyat Iran. Salah satu dokumen kejahatan itu adalah serangan rudal terhadap pesawat penumpang sipil Iran.
Kapal perang AS, USS Vincennes pada 3 Juli 1988 menembak jatuh pesawat sipil Iran di atas perairan Teluk Persia. Penerbangan 655 (IR 655) merupakan sebuah penerbangan terjadwal oleh Iran Air dari Tehran menuju Dubai, via Bandar Abbas. Sebanyak 290 penumpang dan awak kabin gugur, di mana terdapat 66 anak, 53 wanita, dan 46 warga negara asing.
Warga negara asing dalam tragedi ini berasal dari Uni Emirat Arab, India, Pakistan, Italia, dan Yugoslavia.
Wakil Presiden AS waktu itu, George H. W. Bush menyebut tindakan itu sesuai dengan hukum AS untuk membantu memastikan kelancaran transfer minyak dan menjaga jalur perdagangan maritim.
Serangan rudal AS terhadap pesawat penumpang merupakan pelanggaran hukum udara internasional dan aturan dasar untuk menjamin keselamatan dan keamanan maskapai penerbangan internasional. Namun, pemerintah AS tidak pernah menyampaikan permintaan maaf karena membunuh rakyat Iran dan komandan kapal perang itu, William Rogers justru menerima medali Legion of Merit atas pengabdiannya.
Setelah insiden itu, para pejabat Washington dalam sebuah langkah terkoordinasi berusaha menyesatkan opini publik dan menolak bertanggung jawab atas insiden tersebut. Presiden AS saat itu, Ronald Reagan mengatakan pesawat itu bergerak ke arah USS Vincennes dan untuk itu dipukul dengan rudal demi mempertahankan diri dari potensi serangan.
Jenderal William J. Crow, salah satu kepala staf gabungan AS, menyatakan bahwa USS Vincennes melepaskan tembakan dengan tujuan membela diri.
Pada hari-hari berikutnya, Gedung Putih juga menyusun beberapa skenario untuk membenarkan langkah militer AS menggunakan hak membela diri.
Di antara skenario itu adalah: "Sebuah jet tempur F-14 Tomcat bersembunyi di belakang pesawat penumpang Airbus; pesawat Airbus sedang melakukan misi bunuh diri; operasi ini dilakukan bersamaan dengan operasi kapal cepat Iran dan ini adalah bagian dari operasi yang direncanakan pagi itu."
Klaim ini dipaparkan oleh para komandan militer dan pejabat senior AS untuk menutupi sebuah tindakan, yang jelas-jelas melanggar prinsip hukum internasional. Namun, semua kebohongan ini terbongkar seiring berjalannya waktu.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa pemerintah AS berencana menyalahkan pilot Iran atas penembakan pesawat penumpang sipil itu. Namun, semua argumen yang mereka susun untuk membuat narasi palsu ini secara perlahan terbongkar.
Kepala Staf Gabungan di bawah Presiden Reagan, William Crowe dalam konferensi pers setelah penembakan jatuh penerbangan 655, menyebut tindakan itu sebagai sebuah langkah pertahanan yang tepat.
"Rute penerbangan pesawat Iran langsung menukik ke bawah dan mengarah ke USS Vincennes. Ketika pesawat itu tidak mengindahkan peringatan berulang kami, Vincennes menembaknya untuk melindungi dirinya dari potensi serangan," katanya.
Klaim lain Crowe adalah bahwa Airbus Iran telah keluar dari wilayah udaranya dan karena itu, komandan Angkatan Laut AS William Rodgers keliru mengidentifikasi pesawat itu sebagai jet tempur tempur F-14 Tomcat.
Presiden Reagan mengatakan, "Vincennes telah menembak jatuh pesawat itu 'dalam tindakan defensif yang tepat' dan bahwa pesawat Iran 'langsung menuju ke Vincennes' dan 'gagal mengindahkan peringatan yang berulang-ulang.'"
Padahal, Airbus milik Iran Air itu berada dalam penerbangan terjadwal dan tidak seperti yang diklaim oleh para pejabat Washington, mengubah arah menuju kapal perang mereka.
Pada hari-hari berikutnya, para pejabat AS atau awak kapal USS Vincennes mengeluarkan komentar dan pernyataan yang seragam terkait insiden penembakan pesawat penumpang Iran.
Namun, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) pada Desember 1988 menyatakan bahwa USS Vincennes melepaskan rudal ketika posisinya berada di wilayah Iran dan ini benar-benar melanggar hukum internasional.
Pada 1991, tiga tahun setelah insiden tragis itu, Laksamana Crowe akhirnya mengakui di acara ABC Nightline bahwa kapal perang AS sebenarnya berada di perairan teritorial Iran ketika insiden itu terjadi.
Dokumen terbaru terkait kejahatan itu diterbitkan oleh majalah Amerika, VICE, dengan mengungkapkan bagaimana Inggris membantu AS menutupi tragedi penembakan pesawat penumpang sipil Iran.
Dalam laporan yang disusun oleh Solomon Hughes, majalah VICE menulis, "Presiden Ronald Reagan dan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher, bertukar surat dan meminta agar tanggung jawab insiden tersebut dilimpahkan ke Iran dengan cara apapun. Dalam surat-surat itu, mereka menekankan bahwa pernyataan resmi harus dibuat sedemikian rupa untuk menunjukkan bahwa AS menembak jatuh pesawat itu untuk mempertahankan diri."
Di salah satu suratnya, Reagan menyatakan keprihatinannya atas permintaan Iran kepada PBB untuk mengutuk pembunuhan warga sipil oleh AS. Dia meminta agar insiden itu tidak merusak kepentingan bersama AS dan Inggris di wilayah Teluk Persia dan tidak memengaruhi kehadiran pasukan di kawasan.
Media-media melaporkan bahwa Inggris secara terbuka mendukung klaim AS di mana Iran harus disalahkan atas insiden itu. Reagan mengakui pemerintah Thatcher dengan cepat mendukung klaim AS bahwa mereka telah menembak jatuh pesawat itu untuk membela diri.
Sebelum surat-surat tersebut, Kementerian Luar Negeri Inggris mengirim sebuah telegram rahasia ke Kedutaan AS di London. Pesan rahasia ini meminta AS untuk membangun opini bahwa USS Vincennes meluncurkan rudal setelah diserang oleh Iran dan kapal perang ini telah mengeluarkan peringatan kepada sebuah pesawat diidentifikasi, tetapi tidak memperoleh jawaban dan kemudian meluncurkan rudal untuk membela diri.
Sementara itu, seorang pakar militer Rusia, Yuri Lyamin dalam sebuah wawancara dengan media Sputnik, mengatakan AS sengaja mengambil langkah itu. Mereka ingin menunjukkan kepada Iran bahwa mereka akan menembak jatuh pesawat apapun bahkan sipil, jika mereka menganggapnya sebagai ancaman bagi kapal mereka. Ini adalah elemen lain dari penggunaan taktik kekuatan.
Pada 7 Agustus 1988, George H. W. Bush mengatakan "Saya tidak akan pernah meminta maaf atas nama Amerika Serikat, saya tidak peduli apa faktanya, saya bukan tipe orang yang meminta maaf atas nama Amerika."
Hari ini watak Amerika belum berubah dan Amerika era Trump masih mempertahankan kebijakan anti-kemanusiaan, yang menjadi kebanggaan para pemimpin negara itu. AS akan mencari pembenaran apapun untuk menggunakan kekuatan dan mengejar ambisinya.
Rakyat Spanyol Protes Rencana Aneksasi Tepi Barat
Rakyat Spanyol meminta pemerintah negara ini dan pemerintah Eropa lainnya mengakui secara resmi negara Palestina sebagai respon atas arogansi Israel dan pelanggaran hukum internasional.
Menurut laporan laman pusat informasi Palestina, ratusan warga Spanyol dan Pelestina yang berdomisili di negara ini Rabu (1/7/2020) mengikuti di sebuah konsentrasi yang digelar di kota Barcelona mengecam rencana aneksasi Tepi Barat Sungai Jordan dan dukungant erhadap banga Palestina.
Di aksi demo yang digelar di depan gedung walikota Barcelona, berbagai perwakilan partai Spanyol juga turut serta.
Sementara itu, aksi serupa juga digelar di kota Zaragoza.
Para peserta di aksi ini meminta pemerintah Spanyol dan seluruh pemerintah Eropa mengakui secara resmi negara Palestina sebagai respon atas kebijakan ekspansif Israel dan langkah Tel Aviv melanggar hukum serta resolusi internasional.
Demonstran juga menekankan pentingnya menghentikan kerja sam adengan Israel dan menjatuhkan hukuman serta sanksi terhadap rezim ini untuk memaksa Zionis mematuhi hukum internasional.
Rezim Zionis dengan dukungan pemerintah Amerika berencana menerapkan aneksasi 30 persen wilayah Tepi Barat ke wilayah pendudukan pada awal Juli 2020, namun mendapat penentangan masyarakat internasional, PBB dan berbagai negara Eropa serta represi publik dunia. Akhirnya rencana ini ditangguhkan Israel.
Polling terbaru; Warga AS Nilai Trump Presiden Lemah
Hasil jajak pendapat terbaru di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari seperempat warga negara ini tidak puas atas kinerja Donald Trump.
Hasil jajak pendapat terbaru lembaga poling PEW menunjukkan, 87 persen warga Amerika menilai Trump presiden lemah dan mereka tidak puas dengan kinerja presiden ini. Demikian dilaporkan FNA Kamis (2/7/2020).
Berdasarkan jajak pendapat ini, jika hari ini pilpres Amerika digelar, Joe Biden akan mengalahkan Trump dengan dukungan 57 persen suara, sementara Trump meraih 44 persen suara.
Kebijakan kontroversial, skandal moral, perilaku yang tidak dapat diprediksi dan kesalahan manajemen Donald Trump mendorong popularitasnya di tengah warga menurun.
Upaya AS Memperpanjang Embargo Senjata Iran
Embargo senjata terhadap Republik Islam Iran yang diberlakukan Dewan Keamanan PBB di bawah Resolusi Nomor 2231 akan berakhir pada 18 Oktober 2020. Namun Amerika Serikat berambisi untuk memperpanjang embargo senjata Iran tersebut.
AS tidak ingin kekuatan pertahanan Iran semakin meningkat jika embargo senjata tersebut berakhir. Oleh karena itu, pemerintahan Presiden Donald Trump berusaha keras agar embargo senjata terhadap Iran diperpanjang.
Dalam konteks upaya tersebut, AS menyusun draf resolusi di Dewan Keamanan PBB untuk memperpanjang embargo senjata terhadap Iran. Namun, langkah Washington itu menuai kritik keras dari Rusia.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova pada hari Kamis, 2 Juli 2020 mengumumkan kembali penolakan Moskow terhadap draf resolusi yang diusulkan AS di Dewan Keamanan untuk memperpanjang embargo senjata Iran.
Dia menegaskan, draf ini berisi klausul-klausul yang tidak ada hubungannya dengan penyelesaian isu-isu terkait dengan program nuklir Iran.
Menurut Zakharova, draf resolusi yang diusulkan AS ke Dewan Keamanan untuk memperpanjang tanpa batas embargo senjata terhadap Iran mencakup langkah-langkah yang sejalan dengan kebijakan Washington untuk menerapkan tekanan maksimum terhadap Tehran. Draf ini juga membahas masalah yang tidak ada hubungannya dengan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan program nuklir Iran.
Rusia telah berulang kali menegaskan bahwa penerapan pembatasan baru terhadap Iran tidak dapat dibenarkan, dan langkah itu tidak konstruktif dalam upaya untuk mempertahankan perjanjian nuklir JCPOA (Rencana Aksi Komprehensif Bersama) dan kesepakatan atas program nuklir Iran.
Salah satu isi penting dari JCPOA dan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 2231 adalah pencabutan sanksi senjata Iran setelah lima tahun pelaksanaan perjanjian nuklir tersebut. Untuk itu, AS berusaha keras untuk mencegah agar hal itu tidak terjadi.
Sejak pertengahan tahun 2019, AS melancarkan perang psikologis yang luas dan berlanjut hingga sekarang. Para pejabat senior Washington, terutama Menteri Luar Negeri Mike Pompeo melontarkan berbagai klaim dan tuduhan.
Pompeo mengklaim bahwa berakhirnya embargo senjata Iran akan menciptakan perlombaan senjata di kawasan dan memperkuat kekuatan regional Iran dan sekutunya, serta membahayakan keamanan Israel.
Langkah selanjutnya adalah pemerintahan Trump fokus pada upaya untuk meyakinkan anggota Dewan Keamanan agar mendukung keinginan AS. Draf resolusi usulan AS meminta Dewan Keamanan untuk melarang penjualan, penyediaan atau pemindahan senjata atau barang-barang terkait, oleh Iran.
Draf tersebut juga melarang negara-negara untuk menjual, menyediakan dan atau memindahkan senjata atau barang-barang terkait, ke Iran, kecuali setelah mendapat persetujuan dari sebuah komite di Dewan Keamanan.
Draf usulan Amerika meminta negara-negara untuk melakukan pemeriksaan jika mereka memiliki bukti kuat bahwa kargo mereka mungkin berisi barang-barang terlarang dari Iran. Draf resolusi ini juga meminta negara-negara untuk memeriksa kapal-kapal di perairan terbuka dengan dalih serupa.
Selain itu, draf usulan Amerika di Dewan Keamanan PBB meminta negara-negara untuk melakukan penyitaan aset dan larangan bepergian terhadap mereka yang melanggar sanksi senjata.
Menlu AS pada hari Rabu mengatakan, pemerintah AS tidak sedang berusaha untuk memperpanjang embargo senjata Iran untuk waktu yang singkat, dan kami ingin melakukan semua langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa ketentuan-ketentuan Resolusi 2231 tetap bertahan lama.
Sementara itu, dua kekuatan internasional yang merupakan rival Amerika: Rusia dan Cina, meyakini bahwa langkah Washington itu diambil hanya didasarkan pada tujuan dan keinginan ilegal Amerika untuk menerapkan tekanan maksimum terhadap Iran.
Menurut Moskow dan Beijing, upaya Washington ini tidak hanya bertentangan dengan isi Resolusi Dewan Keamaann PBB Nomor 2231 dan JCPOA, namun juga ditujukan untuk menghancurkan perjanjian nuklir tersebut dan menciptakan konfrontasi masyarakat internasional dengan Iran.
Satu hal penting adalah sebuah draf resolusi untuk bisa sah menjadi resolusi di Dewan Keamanan memerlukan persetujuan sedikitnya sembilan anggota tanpa ada veto dari salah satu lima anggota tetap dewan ini. Rusia dan Cina adalah dua anggota tetap Dewan Keamanan yang memiliki hak veto, dan kedua negara tersebut telah mengumumkan penolakan terhadap draf usulan Amerika.
Oleh karena itu, para pejabat AS memahami dengan baik bahwa mereka tidak memiliki keberuntungan untuk bisa meloloskan draf resolusi itu. Namun mereka tetap berusaha untuk menekan Dewan Keamanan dengan menggunakan sarana dan klaimnya, termasuk mengaktifkan "mekanisme pemicu".
Meski ada upaya maksimal dari AS untuk meloloskan draf resolusi usulannya, namun sekutu Washington di Eropa juga telah mengumumkan penolakan mereka terhadap upaya AS itu. Untuk itu, Presiden Republik Islam Iran Hassan Rouhani menyebut dukungan tegas 14 anggota Dewan Keamanan PBB kepada JCPOA dan Resolusi Nomor 2231 dalam sidang 30 Juni lalu sebagai pertunjukan kekalahan politik AS saat berhadapan dengan Republik Islam Iran.
Dubes AS Dilarang Masuk Malaysia
Duta Besar AS untuk Malaysia dilarang memasuki negara itu setelah kembali dari perjalanan tiga bulan ke Washington.
Duta Besar AS untuk Malaysia, Kamala Shirin Lakhdhir dalam wawancara dengan koran Malaysia, The Star baru-baru ini mengumumkan pihaknya sedang melanjutkan pembicaraan mengenai akses masuk dirinya dan sesama diplomat lain ke Kuala Lumpur.
Kedutaan Besar AS telah meminta Kementerian Luar Negeri Malaysia untuk pengetesan Covid-19 bagi duta besar Amerika Serikat di pusat tes swasta. Tetapi pihak Kementerian Luar Negeri Malaysia menegaskan masalah para diplomat terkait dengan komite khusus dari kementerian ini, yang bertindak sesuai dengan protokol karantina.
Penyebaran Covid-19 menyebabkan tidak ada pengecualian bagi orang asing yang telah pergi dan harus kembali ke Malaysia. Mereka harus dikarantina selama dua pekan. Kedutaan Besar AS memperkirakan bahwa karantina selama 14 hari akan menelan biaya sebesar 250.000 dolar atau satu juta ringgit.
Selain AS, duta besar dari sejumlah negara juga menghadapi masalah serupa di Malaysia setelah mereka kembali ke negaranya.
Pemerintah Malaysia menjalankan aturan yang ketat dalam penanganan Covid-19.
Mahathir: AS Lakukan Terorisme di Afghanistan
Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad menyebut pembunuhan warga sipil oleh Amerika Serikat di berbagai negara termasuk Afghanistan sebagai tindakan teroris.
Mahathir Mohamad dalam wawancara dengan televisi Al-Jazeera baru-bru ini mempersoalkan sepak terjang AS yang menginvasi Afghanistan dengan dalih terorisme, tapi dia sendiri melakukannya.
"Terorisme tidak hanya terbatas pada kelompok-kelompok militan Muslim, tetapi juga dilakukan Amerika Serikat," kata Mahathir.
Ia juga meragukan validitas argumentasi yang disampaikan AS dalam masalah serangan teroris 11 September 2001.
Menurut Mahathir, video menunjukkan menara ketiga di dekat menara kembar World Trade Center di New York yang hancur dalam serangan itu, tetapi pihak Amerika Serikat hanya berbicara tentang hancurnya menara kembar, dan tidak menyinggung sama sekali menara ketiga.
Menlu Yordania: Palestina Harus Jadi Negara Merdeka !
Menteri Luar Negeri Yordania, Ayman Al Safadi mengatakan bahwa Palestina harus menjadi negara merdeka yang diperjuangkan hingga tercapai.
Al Safadi dalam statemen yang disampaikan hari Rabu (24/6/2020) mengatakan bahwa isu Palestina senantiasa menjadi prioritas utama Yordania.
"Masalah Palestina menjadi penyebab utama konflik di kawasan, dan penyelesaiannya berdasarkan prinsip-prinsip yang adil dan diterima oleh bangsa-bangsa dunia akan menjadi satu-satunya cara untuk membangun keamanan dan stabilitas," ujar Menlu Yordania.
Al-Safadi menyalahkan rezim Zionis atas keputusannya menganeksasi sebagian daerah di Tepi Barat yang dimasukkan dalam wilayah pendudukan.
Diplomat senior Yordania ini menyerukan dukungan publik internasional, terutama negara-negara Arab untuk mewujudkan perdamaian di kawasan.
"Amman saja tidak dapat menyelesaikan konflik antara Palestina dan rezim Zionis. Oleh karena itu, negara-negara Muslim, Arab dan asing harus memainkan perannya untuk mengatasi masalah ini sebagai tanggung jawab bersama," tegas Al Safadi.
Rezim Zionis berencana menganeksasi 30 persen Tepi Barat pada awal Juli di bawah rencana AS-Zionis "Kesepakatan Abad" yang didukung pemerintah Presiden Donald Trump.(
Hamas Serukan Revolusi untuk Lawan Pendudukan Tepi Barat
Juru bicara gerakan perlawanan Islam Palestina, Hamas mengatakan, langkah yang diambil pejuang revolusioner Palestina, Asem Al Barghouti adalah satu-satunya jalan untuk melawan berlanjutnya penjajahan rezim Zionis Israel.
Pengadilan militer Israel, Ofer, di barat Ramallah, Rabu (24/6/2020) menjatuhkan vonis empat kali hukuman penjara seumur hidup kepada Asem Al Barghouti karena dituduh membunuh dua tentara Israel, dan seorang pemukim Zionis pada akhir tahun 2018 lalu.
Situs berita Palestina, Safa News melaporkan, Jubir Hamas, Hazem Qasem menuturkan, langkah yang diambil Asem Al Barghouti adalah jalan pasti yang akan ditempuh untuk melawan proyek penggabungan sebagian wilayah Tepi Barat oleh Israel, dan ia akan menjamin berhentinya pembangunan distrik Zionis serta terusirnya Israel dari seluruh tanah Palestina.
Israel berencana menggabungkan 30 persen wilayah Tepi Barat ke wilayah pendudukan dengan dukungan prakarsa Presiden Amerika, Kesepakatan Abad.
Siap Gempur AS, Pasukan Hashd al-Shaabi Datangi Zona Hijau Baghdad
Pasukan Hashd al-Shaabi Irak memasuki Zona Hijau Baghdad setelah pasukan teroris Amerika menyerang markas Kata'ib Hizbullah Irak di distrik al-Dora di selatan Baghdad.
Pasukan teroris AS bersama dengan 40 kendaraan lapis baja menyerang markas Kata'ib Hizbullah Irak di distrik al-Dora pada Jumat (26/6/2020) dini hari. Serangan ini didukung oleh pasukan kontra-terorisme Irak yang berada di bawah AS. Sedikitnya 13 komandan dan anggota Kata'ib Hizbullah Irak ditangkap.
Sementara itu, kubu perlawanan Irak memperingatkan bahwa jika orang-orang yang ditangkap tidak dibebaskan, mereka akan menyerukan pasukannya untuk perang habis-habisan dengan pasukan pendudukan.
Akun Telegram milik pasukan perlawanan Irak menyatakan bahwa semua kelompok perlawanan memberikan waktu 24 jam kepada amerika untuk membebaskan anggota Kata'ib Hizbullah.
Kelompok Ashab al-Kahf Irak juga memperingatkan bahwa jika anggota pasukan Kata'ib Hizbullah tidak dibebaskan, Kedutaan AS di Baghdad akan diserang.
Hamas Sebut Aneksasi Tepi Barat sebagai Deklarasi Perang
Juru bicara Brigade Ezzedine al-Qassam, Abu Obeida mengatakan rencana rezim Zionis menganeksasi Tepi Barat, Palestina adalah deklarasi perang.
"Jika aneksasi beberapa bagian dari Tepi Barat dilakukan, kubu perlawanan akan mengambil tindakan yang membuat musuh Zionis mengigit jarinya sebagai tanda penyesalan," tegasnya dalam sebuah pernyataan hari Kamis (25/6/2020) seperti dikutip kantor berita Shehab.
Abu Obeida lebih lanjut mengatakan prioritas Hamas adalah mencapai kesepakatan pertukaran tawanan. Kesepakatan ini sebagai bentuk komitmen terhadap para pahlawan Palestina yang ditawan.
Jubir sayap militer Hamas ini menegaskan, para pemimpin rezim penjajah perlu mengetahui bahwa kubu perlawanan punya banyak opsi dalam kasus pertukaran tawanan.
"Larangan-larangan yang dilanggar dalam kesepakatan Wafa al-Ahrar (kesepakatan Shalit) dapat terulang kembali pada kesepakatan baru," ujarnya.
Seorang tentara rezim Zionis, Gilad Shalit ditawan selama operasi yang dilakukan di perbatasan timur Gaza pada 25 Juni 2006. Shalit kemudian ditukar dengan 1.027 tawanan Palestina yang merupakan sebuah pencapaian besar bagi kubu perlawanan.
Israel telah mengumumkan rencananya untuk mencaplok beberapa bagian di Tepi Barat dengan dukungan pemerintahan Donald Trump. Langkah ini merupakan bagian dari prakarsa yang diperkenalkan oleh AS, Kesepakatan Abad.
Di antara butir penting Kesepakatan Abad adalah menetapkan Quds sebagai ibukota rezim Zionis, menyerahkan 30 persen dari wilayah Tepi Barat kepada Israel, menghapus hak kepulangan pengungsi Palestina, dan melucuti senjata kelompok perlawanan.