Isu Nuklir Iran dan Konferensi Keamanan Munich

Rate this item
(0 votes)
Isu Nuklir Iran dan Konferensi Keamanan Munich

Hotel Bayerischer Hof pada hari Jumat (6/2/2015), menjadi tuan rumah untuk pembicaraan nuklir Iran dan Kelompok 5+1 bersamaan dengan dibukanya Konferensi Keamanan Munich.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry bertemu timpalannya dari Iran, Mohammad Javad Zarif untuk mendiskusikan perkembangan perundingan nuklir antara Iran dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB plus Jerman.

Penjajakan Kerry dan Zarif bertujuan untuk menetapkan proses perundingan nuklir dan berlangsung selama 2,5 jam. Setelah pertemuan ini, Zarif juga melakukan pembicaraan dengan mitranya dari Jerman, Frank-Walter Steinmeier. Menlu Iran juga bertemu dengan rekannya dari Oman, Yusuf bin Alawi di sela-sela Konferensi Keamanan Munich. Sebelumnya, Oman menyelenggarakan satu putaran perundingan nuklir Iran dan Kelompok 5+1.

Pada Sabtu (7/2/2015), Zarif akan melanjutkan penjajakannya dengan menlu Inggris, Rusia, dan juga sekjen Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Menurut agenda, Zarif pada hari Ahad, akan menghadiri sebuah acara diskusi dengan melibatkan Menlu Perancis Laurent Fabius, Menlu AS John Kerry, dan Menlu Jerman Frank-Walter Steinmeier di Konferensi Keamanan Munich.

Para Deputi Menlu Iran, Abbas Araqchi dan Majid Takht-e-Ravanchi turut menemani Zarif selama kunjungan di Munich.

Selama beberapa bulan terakhir, menlu Iran melakukan sejumlah pertemuan bilateral dengan pejabat dari AS, Inggris, Jerman, Rusia, dan Cina. Sebelumnya, menlu Iran dan AS juga telah melakukan dialog di sela-sela Konferensi Ekonomi Dunia di Davos, Swiss.

Pertemuan tersebut tentu saja rumit dan kompleks. Akan tetapi dapat menjadi peluang untuk bergerak ke arah tujuan dengan menghapus hambatan-hambatan utama untuk mencapai kesepakatan final. Oleh karena itu, pembicaraan antara Zarif dan Kerry mendapat sorotan luas banyak pihak.

Para pejabat Washington sedang berupaya untuk mempertahankan rezim sanksi sebagai sebuah instrumen untuk menekan Tehran. Kebijakan itu berangkat dari apa yang mereka sebut sebagai ÔÇ£keprihatinan terhadap program nuklir Iran.ÔÇØ Mereka akan menggunakan isu ini sebagai alat politik dalam perundingan nuklir.

Sebagian dari tindakan itu diambil setelah melakukan koordinasi dengan lobi Zionis di Kongres AS. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan isi kesepakatan Jenewa.

Selain menerapkan tekanan dan mengajukan tuntutan yang berlebihan, AS juga melihat urgensitas untuk merampungkan perundingan tersebut. Dapat dikatakan bahwa perundingan itu bertujuan untuk mencapai sebuah kesepakatan yang menjamin hak-hak Iran dalam masalah nuklir. Di samping itu, kedua pihak ingin membangun kepercayaan tentang aspek damai program nuklir Iran.

Negosiasi itu membutuhkan sebuah sikap yang seragam yaitu, tekad untuk mencapai kesepakatan final. Tentu saja, sebuah perjanjian yang mengakui hak-hak dan wibawa bangsa Iran. Namun, pertanyaannya di sini adalah, apakah kedua pihak dapat mencapai kesepakatan sesuai dengan tenggat waktu yang sudah disepakati bersama?

Para pejabat Washington tampaknya bergerak lebih agresif setelah dicapainya kesepakatan Jenewa. Akan tetapi, dinamisasi politik itu lebih terfokus untuk mempertahankan sikap-sikap masa lalu dan meneruskan sanksi. Sebenarnya, kebijakan itu telah menghalangi kedua pihak untuk mencapai kesepakatan final.

 

Menlu Iran dalam satu komentarnya di Munich, mengatakan bahwa apa yang mereka (Kelompok 5+1) sampaikan adalah keinginan untuk menyukseskan perundingan, tapi perlu kita lihat apakah mereka juga memiliki tekad politik sehingga keinginan itu sejalan dengan keputusan politik.

Read 1799 times