Islamophobia di Barat (6)

Rate this item
(0 votes)
Islamophobia di Barat (6)

 

Islamophobia di Barat berakar dari propaganda anti-Islam yang dilakukan selama bertahun-tahun. Negara-negara Barat – lewat bantuan media dan dengan memanfaatkan interpretasi keliru yang dihadirkan oleh beberapa kelompok dalam Islam seperti Wahabi – menyusun program jangka panjang untuk merusak citra Islam yang menyerukan perdamaian dan keadilan.

Rasulullah Saw diutus dengan membawa ajaran tauhid dan kasih sayang, dan risalahnya menjadi penyempurna atas ajaran para nabi terdahulu. Beliau menghadapi banyak kesulitan dalam menyampaikan risalahnya dan bahkan kehilangan orang-orang terdekatnya.

Rasulullah menyampaikan pesannya melalui dakwah dan bahkan setelah menguasai seluruh Jaziarah Arab dan mendirikan pemerintahan Islam di Madinah, dakwah masih tetap menjadi metode terpenting dalam menyampaikan pesan Ilahi, bukan pedang.

Tidak ada seorang pun yang masuk Islam dengan paksaan dan seseorang bisa tetap mempertahankan keyakinannya dan hidup damai berdampingan dengan masyarakat Muslim di bawah perlindungan pemerintahan Islam. Bahkan orang-orang yang memusuhi Islam dan selama belum menghunuskan pedangnya atas orang Muslim, hak-hak mereka tetap terjaga di tengah masyarakat Islam dan tidak satu pun berhak menyerang mereka.

Selama 10 tahun masa pemerintahan Rasulullah Saw di Madinah, kaum Muslim hanya memerangi kabilah-kabilah yang menghunuskan perang atas mereka. Kaum Muslim bahkan memperlakukan para tawanan perang secara manusiawi di mana banyak dari mereka memilih masuk Islam secara sukarela.

Sejarah Islam mendokumentasikan banyak kisah tentang pembelaan Rasulullah Saw dan Imam Ali as terhadap hak-hak warga non-Muslim dan mencegah terjadinya penindasan, yang mungkin dilakukan oleh individu Muslim terhadap mereka.

Islam dengan ajaran luhurnya serta kebesaran jiwa dan moral para tokohnya, mustahil menjadi penebar kekerasan, radikalisme, dan terorisme. Sebagian individu telah melakukan kejahatan di Suriah dan Irak serta beberapa negara lain atas nama Islam, tetapi mayoritas Muslim khususnya minoritas Muslim di negara-negara Barat, termasuk komunitas agama yang mencintai perdamaian dan taat hukum.

Minoritas agama Yahudi, Kristen, dan pengikut agama lain juga bebas menjalankan keyakinannya di negara-negara Muslim dan menjalani kehidupan yang damai bersama masyarakat Muslim. Di Republik Islam Iran, minoritas agama Kristen, Yahudi, Zoroaster, dan Kristen Assyria bahkan memiliki perwakilan di parlemen.

Kelompok-kelompok takfiri dan teroris adalah minoritas yang sangat kecil di tengah masyarakat Muslim. Namun, Barat melakukan generalisasi dengan mengaitkan perilaku dan kejahatan mereka kepada seluruh Muslim. Propaganda dan konspirasi ini bertujuan untuk memajukan tujuan politik Barat di negara-negara Muslim.

Pemerintah dan media-media Barat secara bias mengaitkan tindakan dan kejahatan kelompok teroris takfiri dengan Islam, dan memperkenalkan Islam sebagai agama sponsor kekerasan dan radikalisme.

Salah satu sosok yang telah meningkatkan kampanye Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Barat adalah Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Menurut penelitian yang dilakukan Pew Research Center, sekitar setengah dari Muslim Amerika mengalami berbagai bentuk perlakuan rasis sejak Trump berkuasa.

Pew Research Center telah melakukan survei melalui telepon terhadap 1.001 orang Muslim dewasa Amerika mulai 23 Januari hingga 2 Mei 2017 lalu. Mereka berbicara tentang kecemasan dan kegelisahan yang luas tentang kondisi di Amerika setelah tampilnya presiden yang tidak ramah terhadap Muslim.

"Secara keseluruhan, Muslim di Amerika Serikat merasakan banyak diskriminasi terhadap kelompok agama mereka, mencurigai Presiden Donald Trump, dan berpikir warga Amerika tidak melihat Islam sebagai bagian dari masyarakat utama AS," tulis Pew Research Center.

Warga Muslim AS yang mengalami perlakuan diskriminatif cenderung meningkat, di mana 48% responden mengatakan mereka mengalami setidaknya satu insiden diskriminatif berdasarkan agama selama setahun terakhir, dibandingkan dengan 40% selama satu dekade lalu.


Bentuk diskriminasi yang paling umum adalah diperlakukan dengan rasa curiga (32%), diperlakukan diskriminatif oleh aparat keamanan bandara (19%), disebut dengan ejekan dan sindiran (18%), disikapi secara rasis oleh penegak hukum (10%), dan terancam atau diserang secara fisik (6%).

Rasa tidak aman di samping perlakuan diskriminatif telah mempengaruhi kehidupan sehari-hari warga Muslim Amerika secara signifikan. Sebanyak 74% Muslim Amerika mengatakan Presiden Trump tidak ramah terhadap mereka.

Dalam 10 hari pertama pasca kemenangan Trump, Southern Poverty Law Center (SPLC) melaporkan 867 insiden pelecehan dan intimidasi terhadap warga Muslim. SPLC juga melaporkan peningkatan jumlah kelompok anti-Muslim di Amerika dari 34 pada 2015 menjadi 101 pada 2016.

Dewan Hubungan Amerika-Islam melaporkan peningkatan 57% dalam insiden anti-Muslim pada tahun yang sama. Salah satu kelompok anti-Muslim di negara itu adalah ACT for America.

Menurut laporan surat kabar The Washington Post pada 21 Juli 2017, lusinan acara diselenggarakan di bawah kampanye "March Against Sharia" di seluruh Amerika pada Juni 2017.

Khizr Khan, anggota dari People For the American Way mengatakan, "Panitia mengaku acara itu bukan anti-Muslim, tetapi tidak ada keraguan bahwa kampanye itu ingin mengesankan syariat sebagai ancaman terhadap Konstitusi, dan mendorong lahirnya undang-undang anti-syariah di tingkat nasional. Mereka ingin menggambarkan Muslim Amerika sebagai bukan orang Amerika."

Kampanye melawan syariat mencerminkan kesalahpahaman yang mendalam tentang apa itu syariat. Dan yang lebih buruk lagi adalah menyalahkan semua Muslim atas tindakan keji dari segelintir orang yang melakukan kekerasan terhadap orang lain atas nama Islam. Tuduhan salah alamat seperti ini dapat menyebabkan munculnya tragedi demi tragedi.

Pendiri ACT for America, Brigitte Gabriel mengatakan bahwa seorang Muslim yang taat dan percaya Al Quran, tidak bisa menjadi warga negara Amerika Serikat yang loyal.

Orang-orang Kristen konservatif yang mendukung para pejabat Republik, berpendapat bahwa Islam bukanlah agama tetapi sebuah ideologi totaliter, dan oleh karena itu Muslim Amerika tidak dilindungi di bawah Amandemen Pertama UU Kebebasan Beragama. Kampanye anti-Islam ini telah membangkitkan pandangan negatif terhadap Muslim Amerika.

Perilaku rasis terhadap Muslim di Amerika meningkat beberapa kali lipat sejak Trump berkuasa. Beberapa hari setelah berkantor di Gedung Putih, Trump melarang warga dari enam negara Muslim memasuki Amerika dengan alasan menangkal terorisme.

Padahal, warga dari enam negara tersebut sama sekali tidak terlibat dalam serangan teroris di Amerika selama beberapa tahun terakhir. Salah satu negara itu adalah Iran, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, tidak ada laporan apapun tentang kekerasan yang melibatkan warga negara Iran di Amerika. Warga Iran yang tinggal di Amerika termasuk salah satu dari komunitas asing yang hidup berbaur dengan masyarakat setempat.

Trump melarang warga dari enam negara Muslim memasuki Amerika dengan alasan memerangi terorisme dan juga menandatangani kontrak senjata ratusan miliar dolar dengan Arab Saudi selama kunjungannya ke Riyadh pada 2017. Padahal, 15 dari 19 pelaku serangan teroris 11 September adalah warga negara Arab Saudi.

Dokumen terpercaya yang disusun komisi khusus di Kongres AS menunjukkan bahwa para pelaku serangan teroris 11 September mendapat dukungan politik dan finansial dari pemerintah Arab Saudi.

Namun, tidak boleh diabaikan bahwa kampanye Islamophobia di Amerika telah mendorong sebagian pihak untuk mempelajari landasan pemikiran Islam. Kajian ini akhirnya melahirkan simpati dengan warga Muslim dan penentangan terhadap kampanye Islamophobia di Amerika.

Read 541 times