Islamophobia di Barat (7)

Rate this item
(0 votes)
Islamophobia di Barat (7)

 

Sekelompok warga Muslim pada Sabtu subuh (5 Agustus 2017) mendatangi Masjid Dar Al Farooq Bloomington di Minnesota, Amerika Serikat untuk menunaikan shalat. Namun, ledakan bom telah mengejutkan seluruh jemaah dan untungnya tidak ada yang terluka dalam insiden itu.

Ketua Dar Al Farooq Islamic Center, Mohamed Omar mengatakan tempat ini sebelumnya juga menerima ancaman lewat telepon dan email. "Dar Al Farooq sebelum ini melakukan aktivitas sebagai pusat keluarga dan pemuda Al Farooq. Semua tetangga masih tidur saat ledakan terjadi dan suara ledakan membuat warga terkejut," jelasnya.

Direktur Eksekutif Dewan Gereja Minnesota, Curtiss DeYoung meletakkan sebuah karangan bunga di luar masjid dengan pesan yang berbunyi, "Saya dan teman-teman saya telah mengunjungi masjid ini pada bulan Ramadhan dan di sini kami berada di samping Muslim."

Dia kemudian mengikuti aksi solidaritas yang diselenggarakan di halaman belakang masjid untuk memberikan dukungan kepada warga Muslim. Dalam pidatonya, DeYoung berkata, "Serangan terhadap masjid adalah serangan terhadap sinagog, serangan terhadap gereja, dan serangan terhadap semua komunitas agama. Kita harus menghadapi kebencian semacam ini. Untuk itu, kita semua berdiri di samping kalian Muslim."

"Kami di sini menunjukkan solidaritas dan dukungan bagi umat Islam tidak hanya di pusat ini, tetapi juga bagi umat Islam di seluruh negara bagian kami dan dunia," tambahnya.

Jika sebuah gereja Kristen di Amerika dibom, ia akan disebut sebagai aksi terorisme dan Presiden Donald Trump akan berteriak bahwa itu adalah perang melawan agama Kristen dan peristiwa ini akan menjadi salah satu liputan utama tidak hanya di Amerika, tetapi di seluruh dunia. Namun, di Amerika hampir setiap pekan terjadi serangan terhadap salah satu masjid atau pusat kegiatan umat Islam.

Dua insiden anti-Muslim dalam kurun waktu kurang dari seminggu terjadi di Amerika, tetapi itu hanyalah puncak gunung es dari gelombang teror yang telah diarahkan terhadap Muslim Amerika pada masa Trump. Selama tiga bulan pertama 2017, empat masjid dibakar dalam insiden yang dianggap sebagai pembakaran.

Gambar dari masjid-masjid yang hancur mulai dari Florida dan Texas hingga Washington mengingatkan kita pada gambar-gambar gereja milik warga kulit hitam yang dibakar oleh supremasi kulit putih dalam beberapa dekade terakhir.

Warga Muslim melakukan pawai di New York. (Dok)
American Civil Liberties Union (ACLU) bahkan telah mempublikasikan peta 50 negara bagian, yang menunjukkan lokasi masjid-masjid yang dibakar di Amerika. Peta ini sungguh sangat mengejutkan, di mana hampir tidak ada negara bagian yang terbebas dari insiden serangan terhadap masjid. Meskipun ini mengkhawatirkan, tetapi tidak mengejutkan setelah Trump berkuasa.  

Para pendukung Islamophobia di Amerika mengejar dua tujuan utama dalam menargetkan masjid dan pusat kegiatan umat Islam. Pertama, menciptakan rasa takut di antara warga Muslim sehingga mencegah mereka meramaikan masjid-masjid, dan kedua memprovokasi Muslim untuk melakukan serangan serupa terhadap tempat ibadah agama lain dan mengesankan mereka sebagai anti-Amerika.

Dengan demikian, mereka akan mencapai tujuan utamanya yaitu memperkenalkan warga Muslim sebagai teroris dan mencitrakan Islam sebagai agama pendukung radikalisme dan kekerasan.

Pendiri ACT for America (salah satu kelompok anti-Muslim di AS), Brigitte Gabriel mengatakan seorang Muslim yang taat dan percaya Al Quran, tidak bisa menjadi warga negara Amerika Serikat yang loyal.

Serangan dan perilaku rasis terhadap Muslim di Amerika meningkat beberapa kali lipat sejak Trump berkuasa. Pada dasarnya, kampanye Islamophobia meluas di Amerika dengan alasan memerangi terorisme.

Untungnya, masyarakat Muslim menyikapi serangan anti-Islam itu dengan cerdas. Mereka tidak terseret dalam permainan berbahaya ini dan memilih memberikan pencerahan tentang agama Islam. Salah satu langkah yang diambil masyarakat Muslim adalah membuka pintu-pintu masjid dan pusat kegiatan Islam untuk seluruh warga Amerika dan menjawab pertanyaan mereka seputar ajaran Islam.

Warga Muslim Illinois meluncurkan program "Open Mosque Day" bagi seluruh warga Amerika guna mengenalkan mereka dengan ajaran Islam. Puluhan warga Illinois mendatangi salah satu masjid di negara bagian itu untuk bertanya seputar Islam dan secara langsung berkomunikasi dengan warga Muslim dan imam masjid.

Program Open Mosque Day ini disambut oleh warga Amerika dari berbagai agama dan kelompok dan bagi banyak orang, ini menjadi pengalaman pertama mereka berkunjung ke sebuah masjid dan pusat kegiatan umat Islam.

Michelle Goodenough, salah satu peserta kegiatan tour di Islamic Center of DeKalb, Illinois menuturkan bahwa Minggu lalu, seorang pastur di gereja berbicara tentang persatuan di masyarakat dan menekankan pentingnya untuk memperluas persekutuan kami di luar pintu gereja dan keikutsertaan saya dalam tour ini juga untuk menjalin persahabatan dengan warga Muslim Amerika.

Peserta lain, Carol Hajic mengatakan bahwa ia telah membaca tentang Islam dan senang mendengar jawaban atas pertanyaan-pertanyaan umum secara langsung. “Aku pikir penjelasan mengapa engkau (Direktur Islamic Center of DeKalb) melepas sepatumu ketika memasuki masjid, bisa dimengerti dan logis, karena kalian bersujud di sini dan tentu saja tempat ini harus bersih,” ujarnya.

Pada kesempatan itu, Direktur Islamic Center of DeKalb, Mohammed Labadi berbicara tentang pentingnya shalat lima waktu bagi kaum Muslim dan menjawab pertanyaan dari para pengunjung.

Di negara-negara Eropa dan Amerika, satu hari telah dipilih sebagai hari pintu masjid terbuka untuk menyambut semua orang dari berbagai agama dan kelompok di masjid-masjid. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar tentang Islam dan Muslim.

Sebuah riset menunjukkan bahwa meskipun kampanye Islamophobia meningkat di Amerika, tetapi tingkat ketertarikan masyarakat untuk mengenal Islam dan tingkat usaha mereka untuk menyampaikan solidaritas dengan Muslim juga mencatat peningkatan.

Masyarakat Muslim melakukan berbagai terobosan untuk memperkenalkan Islam kepada warga Amerika. Ayaz Virji adalah warga India-Amerika yang tinggal di desa Dawson, barat Minnesota, ikut berjuang untuk melawan Islamophobia di Amerika. Ia adalah seorang dokter lulusan Universitas Georgetown dan memutuskan untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat setelah Trump terpilih sebagai Presiden AS.

Sebagai dokter, dia memberikan pelayanan yang tulus kepada pasien dan mulai disenangi oleh banyak orang meskipun ia imigran Muslim asal India. Ayaz Virji kemudian memanfaatkan popularitas ini untuk memberikan pemahaman yang benar tentang Islam kepada penduduk Dawson.

Direktur Dewan Hubungan Islam Amerika (CAIR) cabang Minnesota, Jaylani Hussein mengenai kegiatannya dalam berdakwah menuturkan, "Salah satu langkah (melawan Islamophobia) adalah merekrut warga non-Muslim Texas untuk menjadi anggota tim manajemen krisis sebagai reaksi atas serangan rasial terhadap Muslim."

"Para relawan dari non-Muslim menerima pelatihan sehingga bisa menjawab komentar yang menyerang Islam. Permusuhan terhadap warga Muslim meningkat pasca pemilu presiden dan setelah Trump melarang imigran Muslim memasuki Amerika. Banyak warga Amerika tertarik untuk bergabung dalam tim ini dan melawan kebijakan rasis Trump," tuturnya.

Menurut Jaylani Hussein, para pembela Muslim perlu mengambil beberapa langkah sederhana seperti, membagikan kenangan baiknya bersama Muslim di media sosial atau berpartisipasi dalam pengumpulan bantuan sosial untuk imigran.

Read 551 times