Islamophobia di Barat (10)

Rate this item
(0 votes)
Islamophobia di Barat (10)

 

Kampanye Islamophobia tidak hanya terjadi di negara-negara Barat, tetapi pemerintah dan media-media Barat telah memprovokasi sentimen anti-Muslim di wilayah lain dalam beberapa tahun terakhir.

Salah satu tragedi yang terjadi saat ini adalah genosida Muslim Myanmar di tengah kebisuan lembaga-lembaga pembela HAM dan pemerintah Barat. Minoritas Muslim Rohingya menderita akibat diskriminasi dan pendekatan rasis. Budha Myanmar bahkan tidak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negara Myanmar dan memperlakukan mereka secara diskriminatif.

Para ekstremis Budha masih terus melakukan kekerasan terhadap warga Muslim Rohingya. Dalam kasus terakhir, ekstremis Budha membunuh ratusan ribu orang Rohingya dan mengusir puluhan ribu lainnya dengan membakar rumah-rumah mereka.

Muslim Rohingya yang berusaha menyelamatkan diri juga menghadapi bahaya lain karena Bangladesh membatasi arus pengungsi. Para pengungsi ini tidak memiliki akses terhadap makanan dan air bersih. Gambar-gambar yang tersebar luas memperlihatkan kondisi tragis yang dihadapi mereka.

Militer Myanmar secara langsung juga melibatkan diri dalam pembunuhan orang-orang Rohingya dengan alasan memerangi milisi. Myanmar tidak memiliki sumber daya alam dan posisi strategis yang bisa diandalkan sehingga dapat menyita perhatian Barat, yang mengaku sebagai “pahlawan HAM.”

Aung San Suu Kyi, politisi dan aktivis terkenal Myanmar menerima Hadiah Nobel Perdamaian karena perlawanannya terhadap junta militer selama bertahun-tahun, tetapi sayangnya, ia tidak menggunakan pengaruh dan popularitasnya untuk melawan kekerasan dan diskriminasi rasial terhadap Muslim Rohingya.

Apa yang sedang terjadi di Myanmar dan perbatasan Bangladesh, tidak ada bedanya dengan apa yang menimpa rakyat Irak dan Suriah dalam beberapa tahun terakhir. Bedanya, Muslim Myanmar sedang menghadapi serangan terorisme, di mana pelakunya tidak dianggap sebagai teroris oleh dunia internasional.

Perbatasan Bangladesh – tempat ribuan Muslim Rohingya terkatung-katung – tidak menarik perhatian media-media dan pemerintah Barat bila dibandingkan dengan perbatasan Eropa. Gambar dan berita tentang kondisi tragis Muslim Rohingya tidak begitu menarik perhatian para pemimpin Eropa, jika dibandingkan dengan arus pengungsi yang menyerbu benua itu selama dua tahun terakhir.

Nyawa pengungsi Suriah dan Irak tentu saja tidak begitu berharga bagi para pemimpin Eropa. Hal yang membuat mereka peduli semata-mata untuk mempertahankan klaimnya tentang pembelaan hak asasi manusia. Di satu sisi, para pemimpin Eropa ingin menutupi perbatasannya terhadap pengungsi dan di sisi lain, kebijakan ini bertentangan dengan klaim dan deklarasi HAM Eropa.

Namun di wilayah yang jaraknya ribuan kilometer dari Eropa, ekstremis Budha tidak dianggap ancaman bagi Eropa, dan begitu juga dengan Muslim yang tertindas, tidak dipandang sebagai kasus yang bisa merusak reputasi pemerintah Barat, yang mengaku pembela HAM dan nilai-nilai kemanusiaan.

Penderitaan Suu Kyi dalam memperjuangkan kebebasan dan melawan junta militer, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kejahatan ekstremis Budha Myanmar terhadap Muslim Rohingya. Penderitaan Suu Kyi membuat terkenal dan dianggap layak menerima Hadiah Nobel Perdamaian.

Saat ini ribuan Muslim Myanmar mengalami penderitaan yang jauh lebih buruk dari Suu Kyi demi memperoleh kebebasan dan kehidupan yang bermartabat, namun tidak ada seorang pun di Barat yang bersedia menatap gambar pria, wanita, dan anak-anak Muslim Rohingya dan memprotes tragedi kemanusiaan di sana. Muslim Rohingya seakan-akan bukan manusia sehingga tidak pantas mendapat perhatian dari “para pahlawan HAM” di Barat.

Sikap standar ganda Barat dalam membela kebebasan dan hak asasi manusia bukan sesuatu yang bisa disembunyikan dari mata dunia. Salah satu contoh dari standar ganda Barat dalam membela kebebasan dan demokrasi adalah sikap bungkam mereka dalam menyaksikan minoritas agama dan etnis yang paling tertindas dunia di Myanmar.

Pertemuan para pemimpin Barat dengan Aung San Suu Kyi hanya menyinggung tentang aktivitas wanita ini dalam memperjuangkan kebebasan dan Hadiah Nobel Perdamaian yang diraihnya, tanpa sedikit pun berbicara mengenai genosida Muslim Rohingya di Myanmar.

Muslim Rohingya hanya memiliki dunia Islam, yang sedang dilanda konflik, perang, dan perpecahan, tetapi masih ada sedikit harapan untuk memberikan perhatian dan menangani krisis yang dihadapi kaum Muslim dunia. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan lembaga-lembaga HAM internasional diharapkan dapat mengobati penderitaan Muslim Rohingya di Myanmar.

Republik Islam Iran senantiasa menunjukkan kepedulian dan reaksi terhadap penindasan yang terjadi di berbagai belahan dunia, demikian juga dengan tragedi yang menimpa Muslim Rohingya.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Bahram Ghassemi dalam sebuah pernyataan mengatakan, tindakan tidak manusiawi dan kekerasan terhadap Muslim Rohinya terus berlanjut di Myanmar.

“Dalam kerangka menghormati hak-hak dasar dan martabat manusia, pemerintah Republik Islam menyampaikan keprihatinan serius terhadap perampasan hak-hak Muslim di Myanmar, yang telah menyebabkan banyak kematian dan eksodus paksa. Kami mengumumkan kekecewaan kami terhadap berlanjutnya situasi tragis ini, pembunuhan, dan eksodus Muslim Myanmar,” tegasnya.

Dia menambahkan bahwa jika negara-negara Muslim menentang genosida di Myanmar dengan suara bulat, para pelaku kekerasan mengerikan ini pasti akan mundur.

Republik Islam Iran menyerukan persatuan dunia Islam dalam mendukung warga Rohingya sebagai tugas kolektif negara-negara Muslim. Iran bersama Indonesia, Malaysia, dan Turki telah mengambil langkah-langkah di forum internasional untuk memperjuangkan hak-hak Muslim Rohingya. Sejauh ini, Iran juga telah mengirim bantuan kemanusiaan dan tim medis dari Organisasi Bulan Sabit Merah untuk membantu Muslim Rohingya di Bangladesh.

Read 628 times