Islamophobia di Barat (32)

Rate this item
(0 votes)
Islamophobia di Barat (32)

 

Fenomena Islamophobia dan sentimen anti-Muslim berkembang luas di Inggris, dan hal ini juga diakui oleh para politisi negara itu. Ketua Partai Buruh Inggris, Jeremy Corbyn mengecam keras Islamophobia selama berkunjung ke sebuah masjid di utara London pada Februari 2018.

“Islamophobia adalah masalah nyata dalam masyarakat kita, seperti bentuk-bentuk lain dari rasisme,” kata Corbyn di masjid Finsbury Park. “Wanita Muslim menghadapi pelecehan rasis secara rutin di jalanan Inggris,” tambahnya. Menurutnya, Islam adalah simbol perdamaian dan pengorbanan.

Salah seorang anggota kabinet Inggris di era Perdana Menteri David Cameron, Sayeeda Warsi dalam sebuah pernyataan pada Februari 2018 mengatakan, cara beberapa media Inggris menggambarkan Islam dan Muslim secara negatif jauh lebih buruk daripada tahun 2011.

Berbicara di hadapan Komite Urusan Dalam Negeri Parlemen Inggris tentang “kejahatan rasial dan konsekuensinya,” Warsi menuturkan Muslim Inggris terus-menerus menjadi sasaran oleh media-media cetak tertentu.

“Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara tentang penggambaran negatif ini oleh media-media cetak” tambahnya. Warsi menjelaskan bahwa gadis-gadis Muslim yang mengenakan jilbab dan mudah diidentifikasi sebagai Muslim sekarang hadir di tengah masyarakat dengan rasa takut.

Dia mendesak perdana menteri Inggris dan pemimpin partai oposisi untuk berbicara tentang kontribusi positif umat Islam kepada publik Inggris.

Pada kesempatan itu, Ketua Persatuan Jurnalis Nasional Inggris, Chris Frost mengakui fakta itu dan menyebutnya sebagai masalah besar. Dia mengatakan kepada komite bahwa beberapa bukti yang ia kumpulkan mengerikan, yaitu bagaimana beberapa editor memerintahkan wartawan mereka untuk menulis cerita dengan cara tertentu.

“Salah satu cara terbaik menjual koran adalah membuat orang percaya bahwa ada ancaman yang mereka hadapi. Dengan adanya Daesh, umat Islam menjadi sasaran dan diperkenalkan sebagai ancaman,” ungkapnya.

Frost mencatat bahwa sebanyak 64 persen publik Inggris menerima informasi tentang Islam dan Muslim melalui media, dan sebagian besar tidak mencari informasi lebih lanjut.

Kampanye Visit My Mosque Day.
Di tengah meningkatnya serangan Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Inggris dan banyak negara Eropa lainnya, masyarakat Muslim juga meningkatkan aktivitasnya untuk memperkenalkan Islam sebagai agama yang menyerukan keadilan, perdamaian, dan hidup damai berdampingan.

Pada 18 Februari 2018, masyarakat Muslim menjamu semua lapisan masyarakat di 200 masjid di seluruh Inggris sebagai bagian dari kampanye nasional “Visit My Mosque Day.” Ini adalah program tahunan yang diselenggarakan oleh Dewan Muslim Inggris (MCB) dengan tujuan memperkuat hubungan antara Muslim dan warga negara lainnya serta para pengikut agama-agama lain.

Dalam program ini, masyarakat non-Muslim menjadi tamu di masjid-masjid di kotanya untuk belajar lebih banyak tentang Islam dan Muslim. Pada 2018, jumlah masjid Inggris yang berpartisipasi dalam kampanye Visit My Mosque Day lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.

Riset yang dilakukan oleh MCB menemukan bahwa 90% orang Inggris tidak pernah mengunjungi masjid, dan satu dari empat orang mengatakan mereka tidak mengenal Muslim. Hampir tiga perempat belum pernah ke tempat ibadah agama lain. Sekitar 5 juta orang Muslim tinggal di Inggris atau 5% dari total populasi negara itu. Ada 1.750 masjid di seluruh Inggris.

Sekretaris Jenderal Dewan Muslim Inggris (MCB), Harun Khan mengatakan, “Ini tidak baik untuk kohesi sosial. Di tengah meningkatnya intoleransi dan kesalahpahaman, kita semua harus membuka pintu bagi orang lain.”

“Muslim di seluruh Inggris menegaskan bahwa berbeda dengan apa yang digambarkan media, kami adalah masyarakat yang terbuka dan fleksibel. Tahun lalu, lebih dari 10.000 orang mengikuti acara Visit My Mosque Day,” jelasnya.

Konferensi, Islam di Eropa, Prospek dan Tantangan.
Tentu saja, cara melawan Islamophobia dan sentimen anti-Muslim tidak terbatas pada membuka pintu masjid untuk masyarakat non-Muslim. Cara lain yang bisa dilakukan adalah menggelar seminar dan konferensi untuk memperkenalkan ajaran Islam, seperti yang diadakan di berbagai negara.

Pada 7 Februari 2018, kota Qum – salah satu pusat pendidikan Syiah di dunia – mengadakan konferensi untuk memperkenalkan Islam. Konferensi ini mengusung tema “Islam di Eropa, Prospek dan Tantangan” dan dihadiri oleh para profesor dan cendekiawan dari universitas-universitas Eropa dan hauzah ilmiah di kota Qum.

Pertemuan ini membahas empat topik utama yaitu: Kapasitas Islam untuk Berinteraksi dengan Eropa, Prospek dan Tantangan dalam Hubungan Islam-Eropa, Kapasitas Eropa untuk Berinteraksi dengan Islam dan Muslim, serta Sejarah Interaksi Islam-Eropa. Konferensi ini mempertemukan para cendekiawan dari Inggris, Kroasia, Republik Ceko, Kanada, Italia, dan Belanda serta beberapa cendekiawan Iran.

Para pembicara dalam konferensi tersebut antara lain: Robert Gleave, pakar Islamologi di Universitas Exeter, Andrew J. Newman, pakar studi Islam dan Persia di Univesitas Edinburgh, Inggris, Joseph Ellul, dosen Universitas Roma, dan Vedran Obucina dari Universitas Kroasia, serta profesor dari Republik Ceko dan Belanda.

Di awal konferensi, Direktur Institut al-Hikmah Qum, Hujjatul Islam DR. Malek Afzali mengatakan, “Islam seperti semua agama di dunia adalah sumber perdamaian dan empati, serta berjuang melawan diskriminasi dan ketidakadilan. Namun, selama beberapa dekade terakhir, kami menyaksikan penyebaran Islamophobia di berbagai negara terutama benua Eropa.”

“Beberapa penyebab munculnya fenomena ini adalah aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok takfiri seperti, Daesh dan Taliban serta propaganda media Zionis terhadap Islam,” ungkapnya.

Konferensi, Islam di Eropa, Prospek dan Tantangan.
Hujjatul Islam Afzali menegaskan bahwa tidak satu pun dari kedua kelompok tersebut (pendukung Islamophobia dan takfiri) yang memahami Islam yang hakiki dan keduanya keliru dalam menafsirkan teks-teks agama Islam.

Sementara itu, Ayatullah Mahdi Hadavi Tehrani mengatakan beberapa orang di Barat bahkan berpikir tentang genosida, sama seperti apa yang terjadi di Myanmar yaitu pengusiran warga Muslim adalah solusi untuk mengakhiri radikalisme.

Dalam paparannya yang disampaikan dalam bahasa Inggris, ia menekankan koeksistensi (hidup berdampingan secara damai), dialog, dan saling memahami sebagai cara paling penting untuk menyelesaikan masalah tersebut. Menurut Ayatullah Hadavi Tehrani, ini adalah tanggung jawab yang penting dan kita harus memiliki gambaran yang benar antara satu sama lain.

Berbicara tentang masalah ekstremisme, Ayatullah Hadavi Tehrani menjelaskan, “Ekstremisme Islam bukan satu-satunya bentuk ekstremisme dan bahkan ada ekstremisme non-agama. Kita juga menghadapi ekstremis Yahudi dan Kristen. Ekstremisme Yahudi adalah Zionisme di mana ideologinya dikritik oleh banyak orang Yahudi di dunia. Kita menyaksikan ekstrimisme non-agama yaitu sekularisme. Ada juga ekstrimisme Buddha di Myanmar dan ekstrimisme Hindu di India.”

Ia menuturkan bahwa solusi untuk persoalan Islamophobia adalah Tadabbur. Tadabbur dalam Islam merupakan sebuah pendekatan sistematis lengkap yang tidak hanya berarti berpikir, tetapi sebuah sistem untuk membandingkan agama satu sama lain secara adil dan pada akhirnya kita akan mencapai sikap saling pengertian. 

Read 533 times