Islamophobia di Barat (31)

Rate this item
(0 votes)
Islamophobia di Barat (31)

 

Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam wawancaranya dengan Journal de Dimanche cetakan Paris pada Februari 2018, berbicara tentang rencananya untuk mereorganisasi Islam dan kaum Muslim.

Macron mengatakan bahwa ia sudah menyiapkan rencana dan metode untuk memajukan programnya tentang reorganisasi Islam di Prancis, di mana akan dilaksanakan secara bertahap.

Dia menekankan perlunya mengorganisir kegiatan-kegiatan Islam di Prancis dan ia akan mempresentasikan programnya itu pada paruh pertama tahun 2018. Namun, Macron menolak mengungkapkan programnya secara rinci sampai ia selesai disusun. Dia mengklaim bahwa ia berusaha untuk membangun hubungan yang logis antara Republik Prancis dan Islam sehingga nilai-nilai republik dihormati dalam setiap kegiatan lembaga-lembaga Islam di negara tersebut.

“Dua masalah sedang dipertimbangkan: pertama hubungan antara Muslim dan Republik Prancis, dan yang lainnya, mengorganisir kegiatan-kegiatan keagamaan mereka di negara ini,” ujar Macron.

Sebelumnya, Macron dalam pertemuan dengan para pemimpin agama di Prancis menuturkan bahwa mereformasi struktur kegiatan-kegiatan Islam di negaranya tidak bisa dihindari.

Prancis menghadapi banyak serangan teroris dalam beberapa tahun terakhir. Sebagian besar pelaku, meskipun berasal dari keluarga Muslim, lahir dan besar di Prancis. Munculnya Daesh di Irak dan Suriah mendorong sejumlah warga Prancis pergi ke daerah konflik di Timur Tengah dengan lampu hijau lembaga-lembaga intelijen dan keamanan Barat. Sebab, kebijakan pemerintah Paris adalah menggulingkan pemerintahan Bashar al-Assad.

Pemerintah Paris lebih suka misi ini dilakukan oleh beberapa Muslim dari Prancis dan negara-negara Eropa lainnya, yang hanya menyandang identitas Islam, namun tindakan mereka tidak ada hubungannya dengan ajaran Islam.

Sebagian pejabat Paris percaya bahwa dengan membiarkan pemuda ekstrem berangkat ke Suriah, pihaknya akan terbebas dari bayang-bayang mereka dan juga mencapai tujuannya menggulingkan pemerintah Damaskus.

Secara bersamaan, lembaga-lembaga politik dan media Prancis mengkampanyekan Daesh dengan tujuan untuk merusak citra Islam. Dengan cara ini, mereka menjustifikasi kebijakan intervensif dan anti-Islam Prancis dan negara-negara Eropa lainnya di Suriah dan Irak di hadapan publik Barat.

Kejahatan keji takfiri dan teroris Daesh juga menyediakan peluang emas bagi kubu ekstrem kanan dan anti-Islam di Prancis dan negara-negara Eropa lainnya. Mereka memiliki kesempatan untuk membenarkan ideologi dan tindakan anti-Islamnya serta memperkenalkan Islam sebagai ancaman bagi masyarakat Prancis.

Kubu anti-Islam di Prancis dan negara-negara Eropa lainnya mempublikasikan kejahatan Daesh secara besar-besaran, namun para ulama dan politisi di banyak negara Muslim menangkal propaganda itu dengan menegaskan bahwa tindakan Daesh tidak ada hubungannya dengan Islam.

Perlu dicatat bahwa mayoritas korban kejahatan Daesh adalah orang Muslim dari berbagai mazhab. Mereka kehilangan nyawanya karena bangkit melawan teroris Daesh. Kubu anti-Islam dan media di Prancis menyebut Daesh sebagai Negara Islam dan para jihadis, sehingga dengan mudah mengaitkan kejahatan kelompok takfiri dan teroris ini dengan Islam.

Akibat propaganda ini, kelompok ekstrem kanan dan kubu anti-Islam telah tumbuh selama dua tahun terakhir dan mendapat sambutan dari banyak warga Prancis, terutama kaum muda dan masyarakat miskin.

Kebijakan pemerintah Eropa – mendukung teroris dan Daesh – akhirnya gagal di Suriah dan Irak setelah mendapat perlawanan dari bangsa-bangsa Muslim Suriah dan Irak dan dengan dukungan pihak-pihak seperti Republik Islam Iran, Hizbollah Lebanon, warga Muslim dari Afghanistan dan Pakistan, serta dukungan pemerintah Rusia.

Ancaman kelompok takfiri dan teroris sekarang berbalik ke arah Eropa. Para pemuda Eropa termasuk Prancis – yang berangkat ke Suriah dan Irak dengan lampu hijau dari lembaga intelijen dan keamanan Barat – telah kembali ke Eropa dengan membawa pengalaman tempur dan keahlian di bidang teror.

Dalam situasi seperti itu, Emmanuel Macron terdorong untuk mereorganisasi kegiatan lembaga-lembaga Islam di Prancis, dan menyusun panduan interaksi antara Muslim Prancis dan warga lain.

Ada banyak alasan untuk tidak optimis terhadap rencana Macron. Minoritas Muslim terbesar di Eropa hidup di Prancis. Populasi Muslim Prancis diperkirakan lebih dari enam juta orang. Islam adalah agama kedua Prancis setelah Kristen. Namun, Prancis telah mempelopori undang-undang pembatasan untuk warga Muslim.


Pada 10 Februari 2004, pemerintah Prancis untuk pertama kalinya melarang penggunaan jilbab bagi pelajar dan mahasiswi Muslimah di sekolah dan kampus dengan alasan melanggar undang-undang sekuler. Selama masa kepresidenan Nicolas Sarkozy, pembatasan ini semakin diperketat dengan slogan-slogan anti-Islam yang disuarakan oleh Front Nasional Prancis.

Delapan bulan setelah berkuasa, Macron juga berusaha untuk mengatur hubungan komunitas Muslim atas dasar undang-undang sekuler. Pemerintah Prancis kemungkinan besar akan meningkatkan pengawasan terhadap lembaga-lembaga Islam dan membatasi kaum Muslim yang menjalani syariat Islam dalam kehidupan mereka.

Pada dasarnya, Macron – seperti Jacques Chirac – ingin menciptakan Islam ala Prancis dan menyesuaikannya dengan undang-undang sekuler. Setiap program yang diterapkan Macron untuk membatasi kegiatan Muslim, akan menjadi model bagi negara-negara Eropa lainnya.

Ketua Dewan Muslim Prancis (CFCM), Ahmet Ogres meminta Presiden Macron untuk tidak ikut campur dalam pengorganisasian Islam. “Prancis adalah negara sekuler. Macron seharusnya hanya memberikan saran saja, dan pelaksanaan reformasi merupakan tanggung jawab Dewan Islam,” tegasnya. Ogres juga mengecam serangan media terhadap Islam dan Muslim di Prancis.

Jika Prancis dan negara-negara Eropa lainnya benar-benar khawatir dengan ketertarikan pemuda Muslim terhadap ekstremisme, kekerasan, dan terorisme, maka mereka harus meninjau kembali hubungannya dengan negara-negara Muslim seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang menyediakan dukungan politik, finansial, dan militer kepada kelompok takfiri dan teroris, termasuk Daesh.

Para pemimpin Barat mengakui fakta tersebut, tetapi mereka tidak mengambil tindakan apapun. Sebaliknya, negara-negara Eropa selalu menyebut Arab Saudi sebagai sekutu strategis. Pemerintah Eropa termasuk Prancis adalah pengekspor utama senjata ke Saudi.

Jika pemerintah Eropa benar-benar ingin mencerabut akar ekstremisme dan terorisme, mereka harus melawan negara yang menyebarkan paham radikal di masyarakat. Tetapi tidak ada keinginan seperti itu di Prancis atau di negara-negara Barat lainnya.

Mereka membutuhkan kehadiran kelompok-kelompok takfiri dan teroris sehingga bisa membenarkan intervensinya di Timur Tengah, sebagai salah satu wilayah yang paling strategis di dunia. 

Read 543 times