Tantangan Imigran Muslim di Eropa (6)

Rate this item
(0 votes)
Tantangan Imigran Muslim di Eropa (6)

 

Perjalanan para imigran Muslim ke Eropa mulai disoroti dari aspek keamanan dan ini menjadi salah satu tantangan bagi mereka. Pemerintah-pemerintah Eropa dengan mempolitisasi isu keamanan, berusaha memperoleh simpati publik, menjawab masalah krisis identitas di Eropa, dan menerapkan pembatasan ekstrim bagi imigran.

Pemerintah Eropa memandang isu migrasi sebagai ancaman keamanan demi melegitimasikan kebijakannya untuk melawan para pengungsi dan pencari suaka, sekaligus memperoleh dukungan publik.

Dengan begitu, kebijakan yang tidak bisa diterapkan dalam situasi normal, sepertinya akan memperoleh legalitas dan menjustifikasi perilaku ekstra-yudisial dan bahkan tindakan represif pemerintah Eropa terhadap imigran Muslim dengan alasan menjamin keamanan nasional.

Pengalaman mencatat bahwa pemerintah Eropa secara sengaja mempolitisasi isu ancaman keamanan dalam kasus-kasus seperti, masalah imigran Muslim. Dengan cara ini, mereka ingin memperluas kekuasaan dan wewenangnya dengan dalih melawan apa yang disebut gangguan keamanan dari sisi imigran Muslim.

Secara umum dan dari sudut pandang teoritis, rasa tidak aman bukanlah sebuah persoalan yang selalu datang dan pasti, tetapi tergantung pada situasi dan kondisi, dan definisi rasa tidak aman juga akan berbeda-beda. Rasa tidak aman terkadang sengaja diciptakan oleh penguasa dan kemudian berpura-pura mengatasinya.

Di Eropa, penguasa mengesankan fenomena seperti migrasi dan pencarian suaka sebagai gangguan keamanan sehingga bisa menerapkan kebijakan ekstrim untuk menghadapi imigran Muslim. Kebijakan ini akan menambrak banyak aturan hukum humaniter internasional jika diterapkan dalam situasi normal.

Sekuritisasi atau politisasi isu keamanan ini akan mempengaruhi banyak aspek lain seperti, masalah budaya, bahasa, kondisi kesehatan imigran, dan bahkan perbedaan mereka dengan penduduk asli, dan pada akhirnya persoalan utama terlupakan begitu saja.

Negara-negara Eropa ingin melepas tanggung jawabnya mengenai penyelesaian masalah para imigran di wilayah mereka dengan mengangkat isu-isu lain. Untuk lari dari tanggung jawab ini dan menjustifikasi pembatasan ekstrim, pemerintah Eropa justru menuduh para imigran telah menyalahgunakan kebebasan yang ada di Benua Biru.

Mengaitkan masalah imigran dan pencari suaka dengan isu keamanan sebenarnya bertentangan dengan kepentingan pertumbuhan ekonomi Eropa. Politisasi isu keamanan juga akan meningkatkan harapan publik Eropa agar pemerintahan mereka memperluas kebijakan pembatasan terhadap pendatang.

Padahal, negara-negara Eropa akan memperoleh keuntungan ekonomi dengan kedatangan imigran. Negara-negara industri Eropa membutuhkan tenaga kerja murah untuk menggerakkan roda ekonominya dan ini akan menguntungkan pengusaha setempat. Penerapan pembatasan ketat terhadap imigran justru akan meningkatkan kekhawatiran tentang pelanggaran HAM.

Ketika negara-negara Eropa pada 1970-an memberlakukan serangkaian larangan resmi mengenai migrasi tenaga kerja, masalah pendatang juga menjadi perdebatan di antara para pejabat Eropa.

Eropa kemudian menerapkan pembatasan penerimaan imigran menyusul kampanye besar-besaran tentang peningkatan kejahatan, pelanggaran hak-hak individu, pengangguran, masalah sosial, ancaman budaya dan agama, serta ketidakstabilan politik.

Dengan demikian, isu pendatang telah bergeser dari masalah sosial menjadi masalah keamanan. Misalnya, dalam upaya mengaitkan isu pendatang dengan keamanan pasca pemilu Inggris pada 2005, pemimpin partai konservatif Michael Howard berbicara tentang hubungan pencari suaka dengan terorisme.

Howard dalam sebuah pidato pada 29 Maret 2005 mengatakan, "Saat ini kita menghadapi ancaman teroris nyata di Inggris, ancaman terhadap keselamatan kita, cara hidup kita, dan kebebasan kita. Tapi kita sama sekali tidak tahu siapa yang datang atau meninggalkan negara kita. Ada seperempat juta pencari suaka yang gagal tinggal di negara kita hari ini. Tidak ada yang tahu siapa mereka atau di mana mereka berada. Untuk mengalahkan ancaman teroris, kita perlu tindakan, bukan ucapan. Tindakan untuk mengamankan perbatasan kita."

Saat ini, sekuritisasi migrasi dan masalah ancaman keamanan telah menjadi sebuah isu yang umum di tingkat Uni Eropa dan negara-negara Eropa. Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi juga mengakui bahwa migrasi dan pencarian suaka di Uni Eropa telah bergeser menjadi isu keamanan.


PBB dalam sebuah penelitian menyatakan bahwa munculnya kekhawatiran baru bagi negara-negara dunia, terutama pasca peristiwa 11 September 2001, telah menggeser masalah pencarian suaka ke isu keamanan. Para pencari suaka bukannya dianggap sebagai korban, tapi dicitrakan sebagai pemicu rasa tidak aman.

Di Uni Eropa, banyak dari pejabat politik terutama ultra-nasionalis sayap kanan dan kubu konservatif secara terbuka berbicara tentang hubungan migrasi dengan terorisme dan ekstremisme. Mereka secara sadar atau tidak mengaitkan masalah migrasi dengan banyak ancaman sosial di Eropa termasuk terorisme.

Inggris dengan standar ganda ingin mengesankan bahwa mereka tidak begitu mengaitkan persoalan migrasi dengan isu keamanan dibanding negara-negara lain Eropa. Pemerintah Inggris mencoba memperoleh dukungan publik sehingga memiliki tenaga kerja dengan upah murah. Namun, pemerintah juga perlu meredam kekhawatiran publik terkait bahaya keamanan yang mungkin ditimbulkan oleh imigran.

Meski demikian, Inggris mengadopsi undang-undang anti-terorisme baru pada musim gugur 2001. UU ini akan memungkinkan pemerintah untuk menahan atau mengusir pendatang yang dicurigai terlibat aktivitas terorisme. Pada musim dingin 2001, Inggris telah mengumpulkan banyak informasi pribadi dari para imigran Muslim.

Menariknya, paling tidak setengah dari para terduga teroris yang ditangkap di Inggris di bawah undang-undang baru anti-teror bukan warga asing, tetapi warga Inggris sendiri. Katakanlah jika semua terduga teroris yang ditangkap adalah warga asing, apakah pengusiran mereka dari Inggris akan menjadi cara efektif mengurangi ancaman atau tidak?

Isu ini sempat menjadi sebuah perdebatan penting di parlemen Inggris, terutama antara tahun 2002 hingga 2004. Banyak anggota parlemen mendorong pemerintah untuk mengubah pendekatannya terkait penangkapan atau pengusiran terduga teroris.


Arus imigran dianggap akan memperburuk krisis identitas di Eropa, dan persoalan ini mulai menjadi tema perdebatan di kancah politik. Para politisi Eropa menyoroti isu-isu yang berhubungan dengan eksistensi, homogenitas etnis, dan identitas budaya di Eropa serta krisis identitas.

Namun, para pemimpin Eropa bukannya mencari solusi yang rasional dan praktis untuk memecahkan masalah itu, tetapi malah mengangkat isu keamanan dalam kaitannya dengan arus imigran. Menurut pemerintah Eropa, imigran Muslim adalah salah satu faktor yang memperlemah peradaban Barat, tradisi-tradisi nasional, dan homogenitas sosial Eropa. Jika tren ini dibiarkan, maka identitas negara-negara Eropa akan berubah.

Oleh karena itu, masyarakat Eropa umumnya memperkenalkan imigran Muslim sebagai warga asing yang berbahaya. Pemerintah dan media-media Eropa memanfaatkan isu terorisme untuk mengambil pendekatan keamanan terhadap imigran dan menghubungkan fenomena migrasi dengan terorisme.

Banyak pemerintah Eropa memandang imigran sebagai perusak tatanan sosial dan memperlemah peradaban Barat. Menurut mereka, imigran akan merusak tradisi nasional dan keseragaman masyarakat Eropa. Mereka menganggap pendatang bukan sebagai orang asing dan pekerja murah, tetapi unsur yang akan mengubah demografi masyarakat Eropa. 

Read 589 times