Risalah Huquq Imam Sajjad (as)

Rate this item
(2 votes)
Risalah Huquq Imam Sajjad (as)

Manusia adalah mutiara penciptaan dan kebanggaan alam semesta. Keberadaan manusia telah membuat jagad raya menjadi indah dan penuh arti. Setiap sudut bumi menjadi terang dengan pancaran cahaya akal dan logika manusia dan dunia ini menjadi gelap jika pelita akal dipadamkan. Manusia sebagai makhluk yang paling mulia telah menampilkan ciptaan dengan indah. Hal ini karena hubungan manusia dengan alam semesta ibarat batu permata yang diikat di cincin. Keindahan dan keagungan batu permata ini bersumber dari nama dan sifat-sifat Sang Pencipta yang terukir padanya dan juga ruh Ilahi yang ditiupkan ke jasad mereka. Dalam surat al-Baqarah ayat 31, Allah Swt berfirman, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman; “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”

Manusia diciptakan dari tanah liat dan dari ketiadaan melangkah ke alam wujud berkat ruh Tuhan. Karena kemuliaan manusia, para Malaikat diperintahkan untuk bersujud kepadanya. Allah Swt dalam al-Quran membicarakan tentang keagungan manusia dan menampakkan keindahan dan nila-nilai yang mereka miliki. Meski demikian, Allah Swt juga mengingatkan orang-orang yang berbuat maksiat dan tidak bersyukur. Oleh karena itu, Allah Swt memerintahkan Rasul-Nya untuk membantu manusia mengenal Sang Pencipta dan meniti jalan kesempurnaan sehingga mereka tidak tersesat dan tidak terampas hak-haknya.

Manusia harus memahami bahwa mereka mampu menggapai kesempurnaan dan menjadi khalifah Allah di muka bumi dan menghiasi alam ini dengan keindahan dan kesucian. Masalah ini akan terwujud jika manusia mengenal hak dan kebutuhannya dalam menapak jalan kesempurnaan dan kebahagiaan. Untuk meraih kebahagiaan dan ketenangan, manusia harus menyusun program dan langkah-langkah yang diperlukan. Mereka akan sampai pada puncak kemuliaan dengan pengetahuan dan ilmu. Ini adalah logika al-Quran bahwa manusia tidak diciptakan untuk kesia-siaan. Dalam surat al-Mu’minun ayat 115, Allah Swt berfirman, “Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”

Salah satu kriteria khusus manusia adalah kemampuannya menciptakan dunianya sendiri. Dunia mereka adalah apa yang terpahat dalam lembaran hati kecilnya. Jika mereka menghiasi batin sucinya dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka mereka akan memiliki dunia yang indah dan elok dipandang. Namun jika mereka mengotori diri dengan berbagai kehinaan, maka mereka akan membangun dunia yang penuh dengan penyimpangan dan kotoran. Oleh karena itu, masyarakat ideal dan teladan tidak mungkin dapat dibangun selama kemanusiaan insan belum mencapai puncaknya.

Langkah-langkah pertama yang harus diambil oleh manusia adalah menghindari dosa dan tidak mengikuti dorongan hawa nafsu sehingga mereka bisa sampai pada posisi yang aman dan meyakinkan. Mutiara kemanusiaan harus dikembangkan dalam diri sehingga dapat menerima pesan-pesan langit dan kandungan wahyu. Hal ini tidak akan terwujud kecuali manusia mengenal dirinya dan Tuhannya dan memiliki tujuan hidup.

Pesan para utusan Allah Swt tentang menjaga kemuliaan dan hak-haknya akan menyadarkan manusia sehingga mereka memiliki kehidupan yang bahagia dan mulia. Para Imam dan Ahlul Bait Nabi as telah menunjukkan manusia tata cara dan ritual untuk menggapai keberuntungan. Setiap Imam memiliki metode khusus dalam membimbing umat manusia. Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as, putra Imam Husein as, selain memaparkan makrifat dan metode kehidupan dalam bentuk doa dan munajat, juga mengenalkan manusia dengan hak-haknya lewat sebuah buku panduan yang bernama “Risalah Huquq.”

Risalah itu memuat 15 hak yang berhubungan dengan manusia. Hak-hak tersebut merupakan hak alamiah manusia dan tidak ada pihak atau aturan apapun yang dapat merampas hak-hak itu dari manusia. Manusia dapat menggapai kehidupan yang sehat dan mulia dengan mempelajari dan menjaga hak-hak tersebut. Risalah Huquq Imam Sajjad as membuka pembahasannya dengan sebuah kalimat yang ditujukan kepada manusia, Imam Zainal Abidin as berkata, “Ketahuilah bahwa Allah Swt telah menetapkan sejumlah hak atasmu. Setiap gerakan dan diammu, setiap anggota badan yang engkau pergunakan dan setiap fasilitas yang engkau gunakan pakai dan lain-lain, semuanya memiliki hak atas dirimu...Hak Allah Swt yang paling besar atasmu adalah kewajibanmu menghormati hak-hakNya. Hak-hak inilah adalah dasar dan akar bagi seluruh hak lainnya. Dan apa yang diwajibkan Allah Swt atas kalian adalah hak-hak kalian atas diri kalian sendiri, dan hak-hak itu meliputi diri kalian dari kepala hingga kaki.”
 
Hak Allah

Kata “Hak” memiliki beberapa arti dan salah satu pengertiannya adalah keistimewaan dan ketentuan yang ditetapkan bagi seseorang yang sekaligus menuntut orang lain untuk menjaga dan menghormatinya. Kriteria paling penting dari hak manusia adalah kepemilikan individu yang dibawa sejak lahir dan bukan pemberian orang lain. Setiap individu dengan sendirinya mengantongi segudang hak dan pihak lain wajib menjaga dan menghormati hak-hak tersebut. Menurut Imam Sajjad as, hak-hak yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia meliputi seluruh kehidupan mereka, sebab semua yang dimiliki manusia berasal dari Allah Swt. Kemampuan kita untuk bergerak, berbicara, melihat, mendengar, atau membangun komunikasi dengan orang-orang sekitar, semua berasal dari pemberian dan anugerah Tuhan. Oleh karena itu, kita memiliki kewajiban untuk menjaga samudera nikmat yang dilimpahkan kepada kita.

Dari sisi kedudukan, seluruh hak yang dimiliki manusia tidak berada pada satu tingkatan, tapi masing-masing memiliki posisi tersendiri. Karena itu, Imam Sajjad as menyebut “Hak Allah Swt” sebagai hak yang paling besar. Berdasarkan konsep ini, individu yang telah merampas hak orang lain, selain meminta maaf kepada pemilik hak, juga harus memohon ampunan kepada Allah Swt. Misalnya, orang yang mencela atau menuduh sembarang terhadap orang lain, ia harus meminta maaf kepada orang yang bersangkutan karena telah menjatuhkan harga dirinya. Namun pemberian maaf semata tidak akan menyelesaikan masalah. Karena ia telah melecehkan hak sesama dan melanggar perintah Tuhan, maka ia juga harus memohon maaf kepada Allah Swt.

Lewat kajian mendalam, Imam Sajjad as menilai penyebab munculnya penyimpangan untuk mencegah manusia dari kesalahan mengikuti hawa nafsu, menzalimi dan mencela orang lain. Oleh karena itu, menistakan hak-hak orang lain sama dengan melanggar hak-hak Tuhan. Namun perlu diketahui bahwa manusia baru dapat menunaikan kewajiban Allah Swt ketika ia mengenal kebesaran dan keagungan-Nya.

Mustahil dapat memahami manusia dengan baik dan memilah jalan kesempurnaan dari penyimpangan tanpa terlebih dahulu mengenal Sang Pencipta. Allah Swt berfirman bahwa Ia lebih dekat kepada manusia ketimbang dirinya sendiri. Dalam surat Qaaf ayat 16, Allah Swt berfirman, “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” Dalam surat al-Anfaal ayat 24, Allah Swt juga berfirman, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah ibarat dinding antara manusia dan hatinya.” Sang Pencipta Maha Mengetahui segala kebutuhan hamba-Nya. Dia juga mengetahui jalan yang akan mengantarkan manusia kepada kesempurnaan atau jalan yang akan menjerumuskannya ke dalam kehinaan.

Terkadang manusia menistakan Tuhan dan ajaran agama serta melabuhkan dirinya dalam amukan badai kehidupan. Namun langkah dan usahanya tidak akan disertai ketenangan dan kepuasaan karena tidak memiliki sandaran yang kuat. Manusia modern merupakan contoh nyata dalam masalah ini. Manusia telah mencicipi hidup tanpa agama selama berabad-abad dan memusatkan perhatiannya kepada kapitalisme dan sekularisme. Kini mereka mulai memahami realita ini bahwa jalan keselamatan adalah kembali kepada ajaran agama. Jalan keselamatan adalah mendengar kalam Ilahi tentang kedudukan manusia dan mengikutsertakan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.

Setelah menyebut “Hak Allah Swt” sebagai hak yang paling penting, Imam Sajjad as mengingatkan bahwa seluruh anggota badan manusia seperti kepala, mata, dan lain-lain memiliki hak atas diri manusia. Jika manusia tidak menjaga hak-haknya, maka ia tidak akan pernah bisa menjaga hak-hak orang lain. Sebelum Imam Sajjad as mengundang umat manusia untuk menyimak semua hak-hak yang berhubungan dengan mereka, terlebih dahulu beliau menyebutkan daftar orang-orang yang memiliki hak atas setiap manusia seperti ibu, ayah, keluarga, tetangga, guru, saudara, dan masyarakat umum. 

Imam Sajjad as berkata, “Sungguh beruntung orang-orang yang mendapat pertolongan dan karunia Allah Swt sehingga dapat menunaikan setiap hak yang diwajibkan atasnya.”
 
Hak Jiwa atas Manusia (Bagian 1)

Hak-hak manusia menurut Islam tidak hanya menyoroti masalah hak sosial dan kemanusiaan seorang insan, tapi juga mengangkat masalah kewajiban (taklif) dan tanggung jawab. Isu-isu ini termasuk masalah yang kurang mendapat perhatian dalam kajian hak asasi manusia produk Barat. Kemuliaan manusia menurut definisi Islam tidak hanya terletak pada kepemilikan hak-hak maksimal, tapi kebesaran manusia terletak pada penerimaan tanggung jawab dan pelaksanaan komitmen dan janji-janjinya. Sebab tanggung jawab dan tugas yang sesuai dengan kemampuan dan kapasitas manusia memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan dan kesempurnaan manusia itu sendiri.

Di era kekinian, para sosiolog dan pakar hukum telah banyak mengetengahkan masalah hak-hak manusia dalam berbagai kesempatan, namun kita sama sekali tidak menemukan kajian tentang hak untuk mengembangkan dan meningkatkan spiritual manusia dalam dokumen-dokumen Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal manusia yang memiliki kemampuan dalam bidang sains dan juga telah mencapai kemajuan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, dapat dan layak untuk mencapai puncak kesempurnaan dan keutamaan dalam bidang spiritual.

Imam Sajjad as ketika menjelaskan hak pertama yang ada pada pundak manusia, mengatakan, “Setelah hak Allah Swt sebagai hak yang paling besar, engkau adalah semata-mata hamba-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dalam menjalankan ibadah dan penghambaan. Saat engkau telah menjadi hamba yang ikhlas dan taat, maka Allah Swt akan mencukupkan dunia dan akhiratmu dan Dia akan menjaga hal-hal yang engkau cintai dari dunia dan akhirat ini untukmu.”

Jelas bahwa hak-hak Allah Swt atas hamba-Nya lebih besar dari yang kita gambarkan. Dalam perspektif al-Quran, nikmat Tuhan tidak dapat dikalkulasi dan juga manusia tidak akan mampu menunaikan karunia pemberian Allah Swt. Seorang penyair mengatakan, “Aku tidak mampu bertahan tanpa Engkau, Karunia-Mu tidak mampu aku hitung, Jika setiap helai bulu di tubuhku menjadi lisan, Aku tetap tidak mampu mensyukuri satu nikmat dari seribu nikmat yang Engkau anugerahkan.”

Karena itu, Imam Sajjad as menganggap sebagian hak-hak Allah Swt lebih utama dari seluruh hak lain dan kewajiban terbesar manusia terhadap Sang Pencipta adalah beribadah dan tidak menyekutukan-Nya. Syirik dan politeisme ibarat sarang laba-laba yang rapuh dan tidak memiliki pondasi dan orang-orang yang menyembah selain Allah Swt, pada dasarnya telah bersandar pada tumpuan yang rapuh dan keropos. Dalam pandangan al-Quran, barang siapa yang menyekutukan Allah Swt, maka ia telah kehilangan sandaran dan basis yang aman dan tengah melangkah cepat ke arah kehancuran.

Orang seperti ini seakan-akan tengah terjun bebas dari langit dan disambar oleh burung-burung di tengah perjalanan sebagai santapan mereka atau badai menerbangkannya ke tempat terasing. Dalam surat al-Haj ayat 31, Allah Swt berfirman, “Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.”

Karena itu, orang musyrik akan menanggung kerugian yang besar. Akan tetapi tauhid dan penghambaan adalah pembersih hati dari kelalaian dan kebodohan. Tauhid mengajak kita memuji Sang Pencipta dengan lisan dan hati dan menyingkirkan jauh-jauh rasa cinta kepada selain Allah Swt dari lubuk hati kita. Jangan sampai kita lalai dari mengingat Allah Swt dan juga tidak mencari selain-Nya dalam bertindak dan beramal.

Hamba Allah Swt yang hakiki meyakini bahwa Sang Pencipta tidak ada sekutu dan serupa yang menyamai-Nya. Semua makhluk membutuhkan-Nya dan Dia tidak butuh terhadap segala sesuatu. Ia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ke arah manapun kita menatap, hanya wajah-Nya yang kita saksikan. Dunia adalah ciptaan-Nya dan berdiri kokoh atas kehendak-Nya.

Pada dasarnya Tuhan yang diperkenalkan oleh Islam adalah Sang Pencipta Yang Maha Pengatur dan Maha Bijaksana yang telah menciptakan cinta dan semangat dalam diri manusia. Keyakinan terhadap tauhid akan mengantarkan manusia ke puncak kesempurnaan dan derajat yang tinggi. Untuk itu, sangat layak Dia menjadi tumpuan dan harapan manusia. Oleh sebab itu, seruan pertama para Nabi terhadap umatnya adalah mengesakan Tuhan dan mengucap kalimat syahadat.

Pada masa sekarang, para ilmuan juga menyinggung poin tersebut, yaitu fitrah bertuhan dan kecenderungan kepada hal-hal yang sakral telah tertanam dalam naluri manusia. Jika manusia tidak menemukan Tuhan Yang Maha Esa, maka mereka akan mencari objek lain untuk disembah dan diangungkan. Imam Sajjad as mengingatkan bahwa rasa haus pengembaraan manusia mencari hakikat akan terobati ketika ia menemukan Tuhan dan melakukan penghambaan dengan tulus di hadapan-Nya. Saat itu, Sang Pencipta juga akan menjamin dunia dan akhirat hamba yang tulus tadi dan menjaganya dari kejelekan setan dan godaan hawa nafsu yang merusak.

Namun jika manusia lalai terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, pada dasarnya ia telah menghancurkan hakikat kemanusiaannya dan mendidik selain dirinya. Menyangkut masalah ini, Ustad Syahid Murtadha Muthahhari mengatakan, “Manusia yang mengira hakikat dirinya hanya terbatas pada jasad dan apa yang dikerjakan hanya untuk kepentingan raganya, maka ia telah melupakan dirinya sendiri dan menganggap orang lain sebagai dirinya.”

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Maulawi, “Ia ibarat seorang yang memiliki sepetak tanah dan dengan kerja keras, ia membangun rumah di atas tanah tersebut dan menghiasinya dengan permadani dan kain hias, namun pada saat ia ingin menempati rumah itu, tiba-tiba ia sadar telah membangun rumah di atas lahan milik orang lain, sementara tanah miliknya dibiarkan kosong dan tidak terawat.”
 
Hak Jiwa atas Manusia (Bagian 2)

Salah satu syarat kesuksesan manusia adalah pengenalan terhadap diri sendiri (mengenal diri). Seorang ilmuan besar Islam, Imam Muhammad al-Ghazali mengatakan, “Tidak ada yang lebih dekat dengan engkau selain dirimu sendiri, jika engkau tidak mengenal dirimu, bagaimana engkau akan mengenal orang lain?” Pengenalan diri adalah sebuah proses mengenali seluruh dimensi wujud kita dan kapasitas yang kita miliki. Pengenalan diri seperti; “dari mana kita datang, untuk apa kita datang, dan akan kemana kita melangkah”, adalah kunci mengenal Zat Yang Maha Esa dan Maha Bijaksana. Imam Ali as berkata, “Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya.”

Manusia dengan kemampuan luar biasanya, memiliki dimensi materi (lahir) yang disebut dengan raga dan juga dimensi non materi (batin) yang dinamakan jiwa dan ruh. Hakikat manusia terletak pada ruh dan jiwanya. Jika ia bersih dan suci, maka akalnya juga akan tercerahkan dan mampu membedakan antara jalan yang benar dengan yang keliru. Dengan kata lain, kebahagiaan dan kesempurnaan luhur manusia bergantung pada program pensucian dan pencerahan jiwa, sebab jasad manusia lebih cenderung mengikuti hawa nafsu. Sebagai contoh, indera penglihatan kita akan menelusuri sebuah pemandangan setelah menerima dorongan hawa nafsu. Karena itu, manusia harus berupaya mengenal jiwanya dan menjaganya dari polusi berupa noda dan dosa sehingga tidak menyimpang dari jalan yang benar.

Menurut para ilmuan, saat ini psikoanalisis dan pengenalan diri merupakan metode penting untuk memahami penyakit-penyakit jiwa dan mental. Imam Ali as juga menganjurkan kita untuk menyingkap berbagai macam penyakit jiwa dan mental lewat metode pengenalan diri. Imam Ali as berkata, “Para pemikir wajib menelusuri dan menyelami jiwanya dan harus mengenal penyakit-penyakit jiwa dan ruhnya dalam konteks iman, akidah, akhlak, dan tatakrama. Selanjutnya, mereka harus merekam dalam benaknya atau menulis dalam catatannya penyakit-penyakit tersebut. Kemudian mereka harus mengambil langkah serius untuk menghilangkan penyakit jiwa dan ruh itu.”

Secara umum, ketika para kekasih dan wali Allah Swt ingin mendorong manusia untuk meraih nilai-nilai luhur, terlebih dahulu mereka menyadarkan manusia pada batinnya sehingga mampu menyingkap hakikat wujudnya. Manusia yang menyelami batinnya dengan teliti dan mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan dimensi internalnya, maka ia akan menemukan kedudukannya di dunia ini. Manusia akan memahami bahwa kehinaan, kebohongan, nifak dan kerusakan tidak selaras dengan esensi wujudnya. Ia adalah sosok yang bebas dan punya ikhtiyar untuk menentukan masa depannya dan menjaga keasrian dunia.

Manusia adalah ciptaan Tuhan dan keistimewaannya tidak diperoleh secara kebetulan sehingga bisa bersikap arogan dan mengeksploitasi segala yang diinginkan. Dari sisi lain, kapasitas dan kedudukan manusia juga tidak mengizinkannya untuk meremehkan atau menganggap rendah dirinya sendiri dan atau membiarkan orang-orang lain menginjak-injak hak dan harga dirinya.

Pengenalan diri akan memberikan arti dan makna lain bagi kehidupan manusia dan akan membuka peluang untuk meraih kebaikan dan keutamaan moral. Dalam kitab suci al-Quran, Allah Swt menyinggung masalah tersebut dan menyatakan bahwa jiwa manusia diciptakan dengan baik dan juga telah diilhami dengan kecenderungan untuk berbuat baik dan taqwa, namun keberuntungan hanya milik orang-orang yang mensucikan diri.

Pengenalan diri dan pensucian jiwa (Tazkiyyatun Nafs) memiliki beragam cara. Salah satu metode penting dalam masalah ini adalah perenungan atau kontemplasi (tafakkur) dan menyendiri. Manusia perlu melakukan instrospeksi diri dan mengevaluasi setiap tindakan yang telah dilakukan. Menyangkut masalah ini, para pakar psikologi menyarankan kita untuk berdiam diri di sebuh ruangan yang jauh dari gangguan dan kebisingan guna memusatkan pikiran. Kita dapat mengubah kepribadian kita dengan cara mengeveluasi pekerjaan sehari-hari. Selain itu, dengan mewujudkan energi positif dalam diri sendiri, kita akan mampu memilih nilai-nilai dan tujuan-tujuan baru bagi kehidupan kita.

Ketika Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as ditanya tentang orang yang paling penting dan memiliki karakter sempurna di tengah seluruh masyarakat, Imam menjawab, “Orang yang tidak menilai dunia sama dengan jiwanya.” Artinya ia adalah orang menghargai kemuliaan dan harga diri. Dan jika seluruh isi dunia berada di salah satu timbangan, sementara kemuliaan dan harga diri berada di bagian lain, maka ia tidak akan bersedia melakukan transaksi dalam masalah ini.
 
Hak Jiwa atas Manusia (Bagian 3)

Dalam diri manusia tertanam potensi kebahagiaan dan kesengsaraan. Barang siapa yang menjaga jiwanya dari bisikan hawa nafsu dan berbagai macam godaan, maka ia telah mempermudah langkahnya menuju jalan kesempurnaan dan akan menemukan kebenaran dan hakikat.

Saat itu, cahaya kebenaran akan menerangi setiap sisi manusia, menghadirkan kebahagiaan dan mensucikan jiwa dan raga dari debu-debu dosa dan kotoran. Kebenaran akan memusnahkan rasa iri, dengki, dan seluruh penyakit jiwa dan moral dari masyarakat. Manusia yang haus kebenaran tidak akan pernah merasa puas kecuali setelah mengenal dirinya dan melangkah di jalan yang benar.

Manusia yang mengabaikan sifat-sifat batinnya akan terseret ke dalam lembah kesesatan, sebab polusi dan gangguan jiwa dan batin sangat merusak diri manusia. Oleh karena itu, kebahagiaan manusia tidak mungkin terwujud tanpa kesehatan dan kesucian jiwa dan keseimbangan potensi-potensi jiwa. Hawa nafsu berupa ketamakan, amarah, iri dan seluruh kecenderungan-kecenderungan negatif lain harus dibenahi.

Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as dalam kitab “Risalatul Huquq” menilai langkah menyucikan jiwa atau tazkiyatun-nafs sebagai tugas manusia. Setelah menjelaskan hak dan kewajiban terhadap Allah Swt, Imam Sajjad as menyebutkan kewajiban kedua manusia yaitu kewajiban atas jiwanya. Imam Ali Zainal Abidin as berkata, “Kewajibanmu atas dirimu adalah memanfaatkan seluruh potensi dan kemampuan yang diberikan Allah Swt dan melangkah di jalan ketaatan. Karena itu, tunaikanlah hak lisanmu, pendengaranmu, penglihatanmu, kedua tanganmu, kedua kakimu, dan...Mintalah pertolongan Allah Swt dalam menunaikan hak-hak tersebut dan bertawakkallah kepada-Nya.”

Kecenderungan dan daya tarik akan menciptakan sebuah ikatan dan ketertarikan antara manusia dengan lingkungan sekitar. Manusia akan terdorong untuk mendekati obyek luar tadi. Manusia yang tunduk di hadapan tuntutan hawa nafsunya, maka ia telah menyerahkan nasibnya kepada sebuah kekuatan luar. Sebuah kekuatan yang akan menyeret manusia ke segala arah. Namun di sisi lain, menguasai hawa nafsu dan membentuk diri akan membangun kepribadian manusia. Ketika manusia mampu menguasai hawa nafsunya dengan tekad dan semangat, maka ia dapat membebaskan diri dari segala macam bahaya. Menguasai diri dan hawa nafsu merupakan tujuan utama pendidikan agama khususnya Islam.

Imam Sajjad as menilai langkah mensucikan diri atau tazkiyatun-nafs sebagai sebuah hak dan kewajiban manusia sehingga mereka tidak terpesona oleh berbagai hiasan dunia sekaligus dapat menjaga kemuliaan dirinya. Karena itu, manusia harus menemukan kebesaran dan keagungan dirinya dan perlu berpikir tentang esensi wujudnya.

Imam Ali bin Abi Thalib as dalam sebuah untaian kata yang indah berkata, “Wahai manusia, penawar penyakit pada dirimu ada dalam dirimu sendiri. Engkau tidak melihat penawar itu. Rasa sakitmu juga berasal dari dirimu sendiri tapi engkau tidak menyadarinya. Engkau ibarat buku alam semesta dan jika engkau menyelami dirimu dengan teliti, maka sebagian besar hakikat akan nampak. Apakah engkau mengira bahwa dirimu hanya sebuah benda kecil di alam semesta, padahal dalam dirimu terdapat sebuah alam besar.”

Manusia perlu mengenal hakikat eksistensi dirinya dan berjalan pada jalur yang benar hingga bisa sampai pada tujuan penciptaan, yaitu ibadah dan ketaatan kepada Allah Swt. Dalam surat adz-Dzaariyaat ayat 56, Allah Swt berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”

Melihat tujuan penciptaan yang dipaparkan al-Quran, Imam Sajjad as menilai hak jiwa manusia yang paling besar adalah mematuhi dan menghambakan diri kepada Allah Swt dan tujuan luhur ini tidak boleh dilupakan begitu saja, terlebih badai kehidupan sekarang membuat manusia lalai untuk memikirkan tujuan penciptaan.

Paham-paham berbahaya berupa pemikiran dan budaya telah mengepung umat manusia dan kita selalu menyaksikan peristiwa-peristiwa baru yang lahir dari “Manusia Berperadaban”. Imam Sajjad as yakin bahwa orang-orang yang melangkah meraih tujuan penciptaan dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa, ia termasuk golongan yang menunaikan kewajiban atas dirinya. Manusia yang memahami penghambaan dan keagungan Sang Pencipta akan sampai pada kebesaran dan saat itulah ia akan mencapai derajat yang lebih tinggi dibanding makhluk-makhluk yang lain. Sementara orang yang melalaikan tujuan penciptaan, maka ia telah mendahulukan penghambaan kepada selain Tuhan dan melecehkan hakikat kemanusiaannya.

Kebergantungan terhadap pangkat, jabatan, dan harta benda dan bersandar pada kekuatan-kekuatan besar termasuk contoh penyembahan kepada selain Allah Swt. Pada dasarnya, manusia yang menyembah selain Allah Swt tidak mengenal hak dan kewajibannya. Manusia perlu menggunakan berbagai sarana pendukung guna menunaikan kewajiban-kewajibannya termasuk anggota badan yang ia miliki. Allah Swt dengan menciptakan dua tangan, kaki, penglihatan dan lain-lain, bermaksud mengantarkan manusia ke puncak kesempurnaan dan membebaskannya dari berbagai belenggu duniawi.
 
Hak Jiwa atas Manusia (Bagian 4)

Konsep pembentukan diri dan mensucikan jiwa memainkan peran penting dalam kebahagiaan manusia. Karena itu seluruh utusan Allah Swt menempatkan masalah pensucian jiwa dan pendidikan generasi umat manusia sebagai misi utama mereka. Para nabi as berupaya mendidik manusia untuk mencapai derajat kesempurnaan dan derajat yang tinggi. Keberadaan naluri dan hawa nafsu dalam diri manusia juga sebagai kelaziman hidup mereka dan dipandang perlu demi meniti jalan kesempurnaan. Namun jika naluri ini keluar dari batas-batas kewajaran dan lepas dari kontrol, maka ia akan menguasai dan menentukan langkah-langkah pemiliknya.

Al-Quran menilai fenomena ini sebagai bentuk penghambaan terhadap hawa nafsu dan sumber kelalaian dan kekufuran. Sebab dimana saja hawa nafsu berkuasa, maka agama dan akal akan terpinggirkan.

Menurut perspektif al-Quran, manusia yang dibekali naluri berada di persimpangan jalan dan harus memilih antara jalan yang lurus dengan jalan yang menyimpang. Dari satu sisi, ada daya tarik positif yang mengarahkan manusia kepada kesucian dan kesempurnaan. Daya tarik lain berupa kecenderungan negatif dan godaan syaitan yang akan menyeret manusia ke lembah kehinaan dan materialis. Kedua potensi utama ini ada dalam diri manusia.

Kitab suci al-Quran menilai nafs memiliki beberapa tingkatan dan sifat-sifat tertentu. Ada tiga jenis nafs sebagaimana yang digambarkan oleh Al-Quran, salah satunya adalah “al-Nafs al-Ammarah”. Nafsu jenis ini akan mendorong manusia pada kejelekan dan kejehatan. Dalam surat Yusuf ayat 53, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.”

Al-Nafs al-Ammarah terdapat dalam setiap diri manusia dan terkadang menguasai perilaku mereka, tapi kadang-kadang manusia yang mengalahkan nafsu itu. Jika keinginan dan nafsu manusia tidak disalurkan melalui aturan tertentu dan dibiarkan lepas tanpa kontrol, maka setan dan godaannya akan menancapkan kakinya di lubuk hati dan jiwa manusia dan merampas tali kekang pikiran dan kehendak manusia. 

Jenis lain nafsu manusia yang disinggung al-Quran adalah “al-Nafs al-Lawwamah” atau jiwa yang mencela dirinya. Al-Nafs al-Lawwamah akan mereaksi setiap perbuatan menyimpang dan mencela manusia karena melakukan perbuatan jelek. Nafsu seperti ini juga terdapat dalam diri setiap manusia dan mencegahnya agar tidak melakukan perbuatan kotor. Nafsu jenis ini memiliki pengaruh penting terhadap nasib manusia hingga al-Quran pun dalam salah satu suratnya bersumpah dengan al-Nafs al-Lawwamah.

Al-Nafs al-Lawwamah akan memperkuat keyakinan manusia tentang Sang Pencipta dan Hari Kiamat. Nafsu ini juga memperingatkan manusia terhadap perilaku keliru dan menyimpang. Karenanya, al-Nafs al-Lawwamah berperan memperbaiki diri manusia khususnya bagi orang-orang yang yakin bahwa Allah Swt selalu mengawasi perbuatan mereka.

Jenis lain nafsu manusia versi al-Quran adalah al-Nafs al-Mutmainnah. Pada tahap ini, manusia sudah terlepas dari barbagai keraguan yang bersumber dari al-Nafs al-Ammarah dan membuatnya tenang dan damai karena punya hubungan dengan Allah Swt. Dalam al-Quran ayat 27-30 surat al-Farj, Allah Swt berfirman, “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”

Al-Nafs al-Mutmainnah akan menghadirkan sebuah ketenangan yang didapat dari keimanan yang tulus dan murni. Orang-orang yang berjiwa tenang yakin terhadap jalan yang dipilihnya dan juga meyakini janji-janji Tuhan. Dengan kata lain, mereka adalah orang-orang yang menaati perintah Sang Pencipta dan selalu bersikap tenang dalam menghadapi badai kehidupan, sebab mereka menyandarkan diri kepada sandaran yang sangat meyakinkan.

Secara umum dapat kita katakan bahwa benih-benih petunjuk dan kesempurnaan begitu juga dengan dekadensi dan kemerosotan terdapat dalam diri manusia. Manusia harus mengambil manfaat dari sumber-sumber petunjuk hingga terbebas dari kesesatan dan keterpurukan.

Imam Sajjad as dalam kitab “Risalatul Huquq” memperingatkan manusia untuk menjaga dan menunaikan kewajiban-kewajibannya. Imam as juga mengingatkan manusia untuk menunaikan hak-hak anggota badan hingga dapat meraih keberuntungan dan kebahagiaan.

Read 2564 times