Peran dan Risalah Wanita; Hubungan Wanita dan Pria (1)

Rate this item
(0 votes)
Peran dan Risalah Wanita; Hubungan Wanita dan Pria (1)

#beritadunia.net Wanita adalah bagian dari keindahan penciptaan manusia. Bagian yang indah ini secara alami dengan sedikit dibarengi rasa malu. Ciri khas [rasa malu] ini adalah bagian yang indah dan lembut dari wujud kemanusiaan. Rasa malu ini telah dicerabut, juga hal-hal yang seharusnya dipenuhi  melalui aturan dan undang-undang seperti kebutuhan biologis manusia baik yang ada pada wanita maupun pria. Namun hal ini telah disebarkan di tengah-tengah masyarakat dengan tanpa undang-undang dan aturan. Ini merupakan pengkhianatan paling besar yang dilakukan terutama terhadap wanita dan selanjutnya terhadap umat manusia; wanita maupun pria. Yang melakukan hal ini adalah politik Barat. (pidato dalam pertemuan besar bersama kalangan elit kaum wanita, 13/4/1386)

 

Iffah dan hijab; nilai dan kepribadian wanita

 

Kondisi kehormatan dan kesucian diri wanita dan hijab merupakan sesuatu yang membedakan wanita dari pria dalam berinteraksi. Yang memberikan kepribadian manusiawi kepada wanita. Yang memberikan lapangan pekerjaan, perjuangan, studi dan berpikir padanya, dan mengeluarkannya dari hanya sekedar alat pemuas. Yang memberikan nilai kepadanya. Yang memberikan kepribadian kepadanya. Garis ini adalah garis Islam. Garis keimanan.

 

Wanita Iran, wanita muslimah revolusioner, tidak bisa menyimpang dan berpisah dari garis ini dan jalan yang dipilihnya. (pidato dalam pertemuan bersama menteri dan para mahasiswi marakez Tarbiyat Moallem, 12/2/1363)

 

Aktivitas sosial dengan adanya percampuran wanita dan pria

 

Islam telah menentukan batasan dalam berbagai macam aktivitas. Batasan ini bukan terkait pada wanita dan bolehnya dia untuk beraktivitas. Tapi terkait pada percampuran wanita dan pria. Dan Islam sangat sensitif terhadap masalah ini. Islam meyakini bahwa harus ada pembatas antara pria dan wanita di semua tempat; di jalan, di kantor, di kantor perdagangan. Di antara wanita dan pria telah ditentukan sebuah hijab dan batasan. Percampuran wanita dan pria tidak seperti percampuran wanita dengan wanita dan pria dengan pria. Hal ini harus dijaga. Pria harus menjaga, wanita juga harus menjaga. Bila sensitivitas Islam terkait tentang hubungan dan berbagai model percampuran pria dan wanita ini dijaga, maka semua pekerjaan di kancah sosial yang bisa dilakukan oleh kaum pria, juga bisa dilakukan oleh kaum wanita bila mereka memiliki kekuatan dari sisi jasmani, semangat dan kesempatan. (pidato dalam pertemuan bersama kaum wanita Khouzestan, 20/12/1375)

 

Bolehnya wanita dan pria berbicara dan berpartisipasi dalam kancah sosial dengan menjaga aturan Islam

 

Untuk mencegah wanita dari terjangkitnya budaya masa rezim despotik, maka infiltrasi anasir-anasir dengan sarana seksualnya yang berakibat pada kefasadan harus kita cegah. Hal terbaik yang harus dilakukan untuk masalah ini adalah menggunakan pakaian yang benar, menghindari dandanan, pertemuan dan pergaulan tertentu di semua lingkungan. Tentunya bukan berarti kami katakan bahwa wanita dengan pria tidak boleh berbicara sama sekali dan jangan keluar ke tengah-tengah masyarakat. Bila seseorang ingin memaknai ucapan ini maka itu adalah sebuah taktik. (wawancara tentang kedudukan wanita di Republik Islam, 4/12/1362)

 

Kokohnya rumah tangga dan terjaminnya kebahagiaan, hasil tidak adanya percampuran wanita dan pria

 

Islam sangat memerhatikan masalah rumah tangga. Untuk mencegah kegoncangan pilar-pilar rumah tangga, Islam menilai harus dan wajib menjaga aturan dan batasan di lingkungan sosial. Budaya Islam adalah budaya tidak adanya percampuran wanita dan pria. Islam memperketat masalah ini dengan tujuan menjamin kebahagiaan dan kemajuan kehidupan wanita dan pria. Dan poin ini berseberangan dengan kehendak para penguasa dan kaum feodal penyembah syahwat dunia dimana mereka berusaha mencerabut hijab antara wanita dan pria. (pidato dalam pertemuan bersama para perawat, 20/7/1374)

 

Menggunakan lingkungan sehat rumah tangga bergantung pada pembatasan dalam berinteraksi

 

Melihat non mahram hukumnya haram, sementara hijab hukumnya wajib, ini merupakan sebuah mukadimah supaya terwujud adanya lingkungan yang sehat di tengah-tengah masyarakat. Itulah mengapa kami menilai bahwa di dalam masyarakat Islam, harus ada batasan-batasan terkait interaksi wanita dan pria. Bukan karena penghinaan terhadap wanita. Bukan karena menentang kelezatan seksual. Bukan karena menindas kebutuhan biologis. Bahkan sebaliknya. Tepat karena supaya manusia; yakni wanita dan pria menggunakannya di dalam lingkungan sehat rumah tangga. (khutbah shalat Jumat, 18/7/1365)

 

Interaksi dengan non mahram; sarana kecurigaan dan hasud

 

Saya selalu menyarankan kepada para lelaki muda bahwa kalian dalam berinteraksi dengan non mahram bahkan dengan mahram, jangan sampai bersikap dan berbicara yang sekiranya memaksa istri kalian bersikap hasud. Saya juga menganjurkan kepada para wanita muda bahwa kalian dalam menghadapi para pria asing, jangan sampai bertindak dan berbicara yang sekiranya akan membangkitkan rasa hasud dan cemburu suami kalian. Hasud ini akan memunculkan kecurigaan dan akan melemahkan pilar-pilar kasih sayang dan membakar dari akarnya. (khutbah nikah, 10/9/1379)

 

Perlunya penjagaan semua orang, khususnya para wanita dari memamerkan diri

 

Manusia berada dalam ancaman bahaya. Para pria berada dalam ancaman bahaya. Para wanita berada dalam ancaman bahaya. Para pemuda berada dalam ancaman bahaya. Para lanjut usia berada dalam ancaman bahaya. Orang pandai, orang bodoh, semuanya dalam ancaman bahaya. “Walmukhlishuna Fi Khatharin ‘Adzim” sekarang di manakah mukhlis [orang yang ikhlas]? Kita semua berada di bawah standar ini. Bila kita sampai pada batas standar, telah menjadi orang yang mukhlis, tetap saja masih dalam “khatharin adzim” [bahaya besar]. Baiklah. Kita harus hati-hati. Musuh dunia kita, musuh akhirat kita, musuh kemuliaan kita, musuh pemerintahan Republik Islam kita, menggunakan titik kelemahan kita. Dari rasa syahwat kita, dari rasa marah kita, dari kecintaan kita pada kekuatan, dari kesukaan kita memamerkan diri, kita harus hati-hati. Para wanita juga harus berhati-hati. Para remaja putri juga harus berhati-hati. (pidato dalam pertemuan bersama para pembaca kidung Ahlul Bait, 23/2/1391)

 

Takabbur dan tidak tawadhu dalam berbicara dengan pria non mahram

 

Takabbur itu tidak baik bagi semua manusia. Kecuali bagi para wanita di hadapan para pria non mahram. Wanita harus takabbur di hadapan pria non mahram. “Fa La Takhdha’na Bilqauli” wanita ketika berbicara dengan pria non mahram tidak boleh tawadhu. Ini untuk menjaga kemuliaan wanita. Inilah yang diinginkan oleh Islam dan inilah teladan wanita muslimah. (pidato dalam pertemuan bersama kumpulan para wanita, 25/9/1371)

 

Menghadapi pria tanpa tawadhu

 

Kitalah yang mengatakan bahwa wanita dengan menjaga pakaian dan hijabnya dengan benar, berarti ia sedang menjaga kemuliaan dirinya. Dia telah mengangkat lebih tinggi dirinya dari batasan yang diinginkan oleh para lelaki bejat dunia – di semua zaman dan tempat senantiasa ada pria yang bejat. Di dalam al-Quran, dikatakan kepada wanita, “Fa La Takhdha’na Bilqauli” (QS. Ahzab, ayat 32) jangan tawadhu. Pembahasannya adalah masalah tawadhu. Wanita dalam menghadapi pria [non mahram] jangan sampai dengan sikap tawadhu. (pidato dalam pertemuan bersama anggota pusat himpunan para wanita, 15/2/1371)

 

Takabbur [Kesombongan] wanita di hadapan pria non mahram

 

Sungguh takabbur bagi semua orang hukumnya haram dan termasuk dosa. Kecuali bagi wanita. Takabbur bagi pria hukumnya haram. Tapi bagi wanita hukumnya sunnah. Yakni terkait pada pria non mahram, wanita harus sombong. Wanita harus demikian menghadapinya. Terkadang kesombongan ini ada pada seorang wanita dengan kewibawaanya yang sesuai dengan Islam meskipun katakanlah bahwa ia tidak memakai cadur [pakaian panjang, khas wanita Iran].

 

Kemuliaan dan kewibawaan wanita di hadapan pria itupun bisa terwujud meski dengan tanpa memakai cadur, dan benar dan ada. (pidato dalam pertemuan bersama menteri dan para direktur kementrian kebudayaan dan bimbingan Islam, 4/9/1371)

 

Batas antara wanita dan pria; penyembuh sensasi kebutuhan biologis

 

Islam memiliki cara penyembuhan yang sangat bagus bagi sensasi kebutuhan bioligis wanita dan pria. Yakni menurut kami, menurut saya, penyembuhan ini benar-benar sebuah penyembuhan. Yakni dengan menetapkan batasan antara wanita dan pria. Namun budaya yang datang telah lama mencerabut batasan itu dan bahkan sudah terlupakan. Dengan menerima begitu saja prinsip budaya Eropa, pada dasarnya ingin menafikan fenomena dan efek budaya [Eropa] tersebut, dan itu akan menemui masalah. (wawancara tentang kedudukan wanita di Republik Islam, 4/12/1363) (Emi Nur Hayati)

 

Sumber: Naghs wa Resalat-e Zan I, Ifaf wa Hejab Dar Sabke Zendegi-e Irani-Eslami

 

Bargerefteh az bayanat-e Ayatullah al-Udhma Khamenei, Rahbare Moazzam-e Enghelab-e Eslami.

Read 1707 times