Mafatih Al-Hayat: Tafakur dan Tadabur

Rate this item
(0 votes)
Mafatih Al-Hayat: Tafakur dan Tadabur

Urgensi Tafakur dan Tadabur Al-Quran dan Hadis senantiasa mengajak manusia untuk berpikir.

Dalam al-Quran berpikir termasuk sifat orang-orang yang berakal.[1]

 

Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Ibnu Mas’ud! Setiap kali engkau ingin melakukan satu pekerjaan harus berdasarkan ilmu. Jangan lakukan pekerjaan tanpa berpikir dan ilmu. Karena Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali[2].”[3]

 

Begitu juga beliau bersabda, “Salat dua rakaat ringan dibarengi tadabur lebih baik dari salat malam.”[4]

 

Di tempat lain Rasulullah Saw bersabda, “Sifat orang berakal; setiap kali ingin berbicara, ia berpikir terlebih dahulu. Bila ucapan itu bermanfaat, ia mengatakannya dan beruntung, tapi bila tidak bermanfaat, ia diam dan berada dalam keselamatan.”[5]

 

Imam Shadiq as berkata:

 

“Seseorang mendatangi Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah! Nasihatilah aku.’

 

Rasulullah berkata kepadanya, ‘Apakah engkau akan melakukannya bila aku menasihatimu?’

 

Pertanyaan itu disampaikan beliau hingga tiga kali.

 

Setiap kali Rasulullah bertanya demikian, orang itu menjawab, ‘Iya, wahai Rasulullah!’

 

Kemudia Rasulullah berkata kepadanya, ‘Saya menasihatimu agar setiap kali engkau ingin melakukan sesuatu, pikirkan akibat dari perbuatan itu. Bila pekerjaan itu bakal memberimu hidayah, maka lakukanlah, tapi bila hanya membuat sesat, maka hindarilah.”[6]

 

Imam Ali as berkata, “Ketahuilah bahwa tidak ada kebaikan pada ibadah yang tidak ada tafakur di dalamnya.”[7]

 

Beliau berkata, “Tidak ada kebaikan pada bacaan yang tidak ada tadabur padanya.”

 

Begitu juga ketika berwasiat kepada anaknya Muhammad bin Hanafiah, beliau berkata, “Barangsiapa yang ingin melakukan satu pekerjaan tanpa memperhatikan akibatnya, maka ia meletakkan dirinya pada kondisi yang sangat buruk dan tidak diinginkannya. Sementara memikirkan segalanya sebelum melakukan pekerjaan membuatnya tidak akan menyesal.”[8]

 

Ibnu Kawwa bertanya kepada Imam Ali as tentang ciri khas Islam.

 

Imam Ali as menjawab, “Sesungguhnya Allah mensyariatkan Islam dan menjadikannya pakaian bagi siapa yang berpikir jauh ke depan dan menyebabkan orang cerdas memahami.”[9]

 

Beliau juga berkata, “Ibadah terbaik adalah senantiasa berpikir tentang Allah dan kekuatan-Nya.”[10]

 

Imam Ridha as berkata, “Ibadah bukannya banyak-banyak salat dan puasa. Tapi ibadah yang hakiki adalah memikirkan urusan Allah.”[11]

 

Tadabur dan Manajemen

 

Rasulullah Saw kepada seseorang berkata, “Saya menasihatimu agar setiap kali ingin melakukan pekerjaan, maka pikirkan akibatnya. Bila menambah perkembangan dirimu, maka lakukanlah, tapi bila justru menambah kefasadan dan kehancuran, maka tinggalkan!”[12]

 

Begitu juga beliau bersabda, “Allah Swt mencintai seseorang yang ketika bekerja, ia melakukannya dengan baik dan mantap.”[13]

 

Imam Ali as berkata, “Tegaknya kehidupan seseorang pada program yang baik dan parameternya adalah manajemen yang baik.”[14]

 

Imam Shadiq as berkata, “Ada tiga hal yang mencegah seseorang mencapai posisi yang tinggi; tidak semangat, manajemen tidak maksimal dan ketidakmampuan berpikir.”[15]

 

Sekaitan dengan masalah ini, Salman al-Farisi ketika ia mendapatkan bagiannya, ia lalu memisahkan makanannya untuk setahun, hingga tiba pemberian yang yang akan datang.[16]

 

Imam Jawad as berkata, “Mengungkap sesuatu yang belum kokoh justru merusaknya.”[17]

 

Tidak Memaksa Diri

 

Islam memiliki program untuk segala dimensi kehidupan manusia dan tidak ada kewajiban baik dalam masalah ibadah, akhlak dan materi maupun spiritual yang melampaui batas. Ahlul Bait as di segala bidang menasihati umatnya agar hidup dengan nyaman, normal dan tidak memaksa diri.

 

Rasulullah Saw dalam beberapa hadis bersabda:

 

“Saya tidak suka dengan orang-orang yang suka memaksa diri.”[18]

 

“Jangan paksa tamumu dengan sesuatu yang memberatinya.”[19]

 

“Jangan memaksa dirimu karena tamu.”[20]

 

“Penghormatan seseorang kepada saudara seagamanya adalah menerima hadiahnya, memberi apa yang dimiliki sebagai hadiah kepadanya dan tidak memaksanya.”[21]

 

Imam Ali as berkata, “Kehidupan paling nikmat adalah mencapakkan sikap memaksa diri.”[22]

 

Kepada anaknya, Imam Ali as berkata, “Anakku! Rezeki ada dua macam; yang kamu cari dan yang mencarimu. Oleh karenanya, bila engkau tidak mendatanginya, ia akan menemuimu. Jangan paksakan kesedihan setahunmu di atas kesedihan seharimu. Cukup bagimu memikirkan setiap hari yang engkau hadapi.”[23]

 

Imam Shadiq as berkata, “Seorang mukmin tidak memaksa dirinya demi teman-temannya.”[24]

 

Beliau juga berkata, “Hatiku berat kepada mereka yang bekerja keras untukku, sementara aku menahan diri dari mereka. Hatiku ringan kepada mereka yang ada bersamaku, sama rasanya seperti aku seorang diri.”[25]

 

Di tempat lain beliau berkata, “Bila engkau kedatangan tamu, jamu ia sesuai dengan yang engkau miliki. Tapi bila engkau yang mengundangnya, hendaknya engkau menjamunya lebih dari yang ada.”[26]

 

Suatu hari beliau berkata, “Tidak boleh seorang mukmin menghinakan dirinya sendiri.”

 

Para sahabatnya bertanya, “Bagaimana ia menghinakan dirinya?”

 

Beliau menjawab, “Ia melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.”[27]

 

Dikutip dari beliau, “Memaksakan diri bukan termasuk akhlak orang-orang Saleh dan slogan orang-orang Muttaqin. Allah Swt berfirman kepada Rasul-Nya, ‘Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas dakwahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.’ Nabi Muhammad Saw bersabda, “Kami para nabi dan wali berlepas tangan dari sikap memaksa. Takutlah kepada Allah dan bersikap istiqamah agar Allah membuatmu tidak berada dalam kondisi terpaksa. Allah akan memberikanmu keimanan. Jangan menyibukkan diri dengan makanan yang akhirnya kotoran, pakaian yang akhirnya lusuh, rumah yang akhirnya rusak, harta yang akhirnya warisan, teman yang akhirnya perpisahan, kejayaan yang akhirnya kehinaan, martabat yang akhirnya derita dan kehidupan yang akhirnya penyesalan.”[28]

 

Parameter Kebijaksanaan

 

Imam Ali as berkata, “Ukur pemikiran masyarakat dengan enam hal; bergaul, berdagang, meraih posisi, pemecatan, kekayaan dan kemiskinan.”[29] (Saleh Lapadi)

 

Sumber: Mafatih Al-Hayat, Ayatullah Javadi Amoli, Markaz Nashr Esra, 1391 HS, cetakan 7.

 
[1] . QS. Al-Imran: 190-191, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
[2] . QS. An-Nahl: 92.
[3] . Makarim al-Akhlaq, hal 458.
[4] . Makarim al-Akhlaq, hal 300.
[5] . Tuhaf al-Uqul, hal 28-29.
[6] . Al-Kafi, jilid 8, hal 150.
[7]. Al-Kafi, jilid 1, hal 36.
[8]. Wasail as-Syiah, jilid 15, hal 281-282.
[9]. Al-Kafi, jilid 2, hal 49.
[10]. Ibid, jilid 2, hal 55.
[11]. Ibid, jilid 2, hal 55.
[12]. Qurb al-Isnad, hal 32.)
[13]. Al-Jami’ as-Shaghir, jilid 1, hal 284.
[14]. Ghurar al-Hikam, hal 354.
[15]. Tuhaf al-Uqul, hal 315.
[16]. Tuhaf al-Uqul, hal 351.
[17]. Tufah al-Uqul, hal 457.
[18]. Al-Kafi, jilid 6, hal 276.
[19]. Makarim al-Akhlaq, hal 135.
[20]. Al-Jami’ as-Shaghir, jilid 2, hal 688.
[21]. Al-Kafi, jilid 6, hal 276.
[22]. Ghurar al-Hikam, hal 478.
[23]. Al-Faqih, jilid 4, hal 386.
[24]. Al-Kafi, jilid 2, hal 47.
[25]. Mustdrak al-Wasail, jilid 9, hal 155.
[26]. Al-Mahasin, hal 410.
[27]. Al-Kafi, jilid 5, hal 64.
[28]. Bihar al-Anwar, jilid 70, hal 394-395.
[29]. Ghurar al-Hikam, hal 343.

Read 2247 times