کمالوندی

کمالوندی

Senin, 05 Desember 2016 22:26

Ayatollah Seyyed Mohammad Shahroodi

Ayatollah Seyyed Mohammad Shahroodi
 

Siapapun yang bersaksi atas "Keesaan Allah" dan "Kenabian Muhammad (SAW)" adalah Muslim, kehidupan dan hartanya harus dihormati dan dilindungi. Mengambil propertinya (hartanya), membantai ataupun menuduh orang lain sebagai sesat dan menyebabkan perpecahan di antara kaum muslimin tidaklah diperbolehkan. Apapun yang oleh seorang (atau golongan) kaum muslimin yang dianggap suci harus dihormati. Dan Ibadah (ritual suci) dan bangunan mereka tidak boleh dinodai dan dihina.

 

Seyyed Mohammad Shahroodi

Ketua Dewan Tertinggi Perkumpulan Guru-guru Hauzah Qom

 

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

 

{و لا تسبوا الذين يدعون من دون الله فيسبوا الله عدوا بغير علم}

 

Allah SWT berfirman:

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan

 

Al-Quran secara eksplisit melarang kita dari berkata kotor, mengutuk dan melaknat siapa saja yang menyimpang dari jalan yang benar karena hal ini justru akan membuat mereka tidak menghormati Sang Pencipta alam semesta.

 

Dengan memperhatikan dengan seksama ayat suci Al-Qur’an diatas, maka kita bisa melihat sebuah gambaran umum sebagai berikut:

 

Melakukan sesuatu yang dapat memancing permusuhan dan menyebabkan orang lain melakukan perbuatan yang salah adalah dilarang.

 

Oleh karena itu, berkata kotor, mengutuk, dan memaki apapun yang dihormati pada kelompok tertentu, terutama jika mereka adalah pengikut agama surgawi dan ilahi, tidaklah diperbolehkan.

 

Jelas bahwa jika tindakan, baik secara langsung ataupun tidak langsung mengakibatkan pembunuhan, pembantaian, penghancuran dan hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, maka dengan yakin mereka telah melanggar hukum (syariat Islam), dan mereka juga harus bertanggung jawab baik di dunia dan di akhirat.

 

Seperti mengutuk dan melaknat dalam dunia maya ataupun nyata, dalam bentuk puisi, pujian, bahkan pidato atau berkabung, dikemas dalam teater ataupun dalam bentuk sinema video.

 

Tidak peduli apa sifat tindakannya, yang mana dapat memicu pembunuhan, pembantaian, dan kerusakan pada kehidupan, kehormatan dan harta benda.

 

Dengan menelaah muqoddimah diatas, di dunia di mana tidak ada yang tersisa dari rahasia, (karena adanya) satelit, pasukan keamanan, jaringan mata-mata, dan media massa modern yang cepat, mulai dari internet, radio, televisi, ponsel dengan perangkat media lainnya, yang berperan menyiarkan hal-hal yang berkaitan diatas.

 

Mengutuk para pemimpin agama yang saleh, terutama para nabi ilahi, para khalifah Islam dan penerus mereka, yang menonjol dalam Islam, termasuk khalifah di era awal Islam, istri-istri Nabi dan anak-anaknya tidaklah diperbolehkan.

 

Efek dari tindakan ini tidak hanya menyebabkan perpecahan dan dispersi antara ummat Islam, tetapi juga merupakan sumber dari berbagai konflik di berbagai belahan dunia Islam, dan itu jelas dilarang agama.

 

Tindakan dan perilaku para imam, terutama komandan yang setia, Imam Ali, adalah bukti klaim ini.

 

Dan secara umum, berkata kotor, mengutuk dan melaknat bukanlah cara yang efektif untuk menyatakan ide yang benar.

 

Kita tidak seharusnya mengabaikan hasil dari penelitian yang menunjukkan fakta oleh para sarjana, ilmuwan dan para elit, baik secara individu maupun kelompok, di pusat-pusat penelitian ilmiah, pendidikan dan penelitian dari hauzah dan universitas yang mana harus dilakukan jauh dari bias, tidak memihak dan tidak dipolitisasi .

 

Kemajuan ilmiah di semua bidang humaniora, studi ideologi agama atau disiplin ilmu lainnya tergantung pada imparsialitas dan obyektivitas, bukan persahabatan atau permusuhan.

 

Diharapkan bahwa berbagai golongan umat Islam dapat mengetahui keadaan dunia saat ini, mempertimbangkan masalah ini lebih hati-hati, dan bertindak lebih peka dan rasional sehingga mereka akan dilindungi oleh Allah SWT. Amin.

 

Mohammad Yazdi

 

Ketua Dewan Tertinggi Perkumpulan Guru-guru Hauzah Qom

 Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

 

{و لا تسبوا الذين يدعون من دون الله فيسبوا الله عدوا بغير علم}

 

Allah SWT berfirman:

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan

 Al-Quran secara eksplisit melarang kita dari berkata kotor, mengutuk dan melaknat siapa saja yang menyimpang dari jalan yang benar karena hal ini justru akan membuat mereka tidak menghormati Sang Pencipta alam semesta.

 Dengan memperhatikan dengan seksama ayat suci Al-Qur’an diatas, maka kita bisa melihat sebuah gambaran umum sebagai berikut:

 Melakukan sesuatu yang dapat memancing permusuhan dan menyebabkan orang lain melakukan perbuatan yang salah adalah dilarang.

 Oleh karena itu, berkata kotor, mengutuk, dan memaki apapun yang dihormati pada kelompok tertentu, terutama jika mereka adalah pengikut agama surgawi dan ilahi, tidaklah diperbolehkan.

 Jelas bahwa jika tindakan, baik secara langsung ataupun tidak langsung mengakibatkan pembunuhan, pembantaian, penghancuran dan hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, maka dengan yakin mereka telah melanggar hukum (syariat Islam), dan mereka juga harus bertanggung jawab baik di dunia dan di akhirat.

 Seperti mengutuk dan melaknat dalam dunia maya ataupun nyata, dalam bentuk puisi, pujian, bahkan pidato atau berkabung, dikemas dalam teater ataupun dalam bentuk sinema video.

 Tidak peduli apa sifat tindakannya, yang mana dapat memicu pembunuhan, pembantaian, dan kerusakan pada kehidupan, kehormatan dan harta benda.

 Dengan menelaah muqoddimah diatas, di dunia di mana tidak ada yang tersisa dari rahasia, (karena adanya) satelit, pasukan keamanan, jaringan mata-mata, dan media massa modern yang cepat, mulai dari internet, radio, televisi, ponsel dengan perangkat media lainnya, yang berperan menyiarkan hal-hal yang berkaitan diatas.

 Mengutuk para pemimpin agama yang saleh, terutama para nabi ilahi, para khalifah Islam dan penerus mereka, yang menonjol dalam Islam, termasuk khalifah di era awal Islam, istri-istri Nabi dan anak-anaknya tidaklah diperbolehkan.

 Efek dari tindakan ini tidak hanya menyebabkan perpecahan dan dispersi antara ummat Islam, tetapi juga merupakan sumber dari berbagai konflik di berbagai belahan dunia Islam, dan itu jelas dilarang agama.

 Tindakan dan perilaku para imam, terutama komandan yang setia, Imam Ali, adalah bukti klaim ini.

 Dan secara umum, berkata kotor, mengutuk dan melaknat bukanlah cara yang efektif untuk menyatakan ide yang benar.

 

Kita tidak seharusnya mengabaikan hasil dari penelitian yang menunjukkan fakta oleh para sarjana, ilmuwan dan para elit, baik secara individu maupun kelompok, di pusat-pusat penelitian ilmiah, pendidikan dan penelitian dari hauzah dan universitas yang mana harus dilakukan jauh dari bias, tidak memihak dan tidak dipolitisasi .

 

Kemajuan ilmiah di semua bidang humaniora, studi ideologi agama atau disiplin ilmu lainnya tergantung pada imparsialitas dan obyektivitas, bukan persahabatan atau permusuhan.

 

Diharapkan bahwa berbagai golongan umat Islam dapat mengetahui keadaan dunia saat ini, mempertimbangkan masalah ini lebih hati-hati, dan bertindak lebih peka dan rasional sehingga mereka akan dilindungi oleh Allah SWT. Amin.

 

Mohammad Yazdi

 

Ketua Dewan Tertinggi Perkumpulan Guru-guru Hauzah Qom

Senin, 05 Desember 2016 22:07

Ayatullah Mohammad Reza MahdaviKani

Dengan Nama Allah, yang Maha Pemurah, lagi Maha Penyayang

 Pertanyaan- Ada pertanyaan yang sering (ditanyakan) akhir-akhir ini, yaitu; Kepada siapakah syariat Islam itu dapat diterapkan? Apakah semua Muslim Sunni, Syiah dan sekte lainnya harus setuju dengan penerapan syariat Islam?

 Seseorang yang bersaksi atas keesaan Allah SWT dan Kenabian Nabi Muhammad (SAW) adalah seorang Muslim, kecuali mereka merasa dan menunjukkan kebencian dan permusuhan terhadap Ahlul Bait Nabi yang suci.

 Syiah dari Ahlul Bait Nabi (SAW) diperintahkan untuk memperlakukan semua Muslim dengan hormat, kehangatan dan persahabatan.

 Dan mereka harus menghadiri salat berjamaah dan upacara pemakaman, mengunjungi mereka jika mereka sakit, dan menahan diri dari setiap permusuhan dan perselisihan dengan Muslim, karena semua ini adalah apa-apa yang musuh-musuh Islam inginkan.

 Syiah harus menghormati semua agama dan menyadari hasutan dari musuh-musuh Islam, karena musuh takut akan kebangkitan Islam.

 

 قال الله تعالي: {و اعتصموا بحبل الله جميعا و لا تفرقوا و اذكروا نعمت الله عليكم إذ كنتم أعداء فألف بين قلوبكم فأصبحتم بنعمته إخوانا ...} (آل عمران: 103)

 

 “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara;… (Q.S. Al-i-Imran: 103)."

 

اللهم انصر الاسلام واهله واخذل الکفر واهله.

 

"Semoga Allah memberikan kemenangan bagi Islam dan para pengikutnya, dan menghinakan kekafiran dan orang-orang kafir"

 Menuduh (amalan) Muslim sebagai bid'ah, membunuh dan menjarah properti mereka adalah dilarang dalam agama dan dianggap sebagai dosa besar.

 

{من قتل نفسا بغير نفس أو فساد في الأرض فكأنما قتل الناس جميعا}. (مائده: 32)

 

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (Q.S. Al-Maidah: 32)

Perkumpulan Ulama Tehran dan Dewan Agung.

 

Mohammad Reza MahdaviKani

Senin, 05 Desember 2016 22:06

Ayatullah Asif Mohseni

 Dalam Nama Allah, Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang

 Ini adalah respon terhadap pertanyaan yang dikirim ke Ayatullah oleh Seyyed Ali Ghazi Asgar selaku penanggung jawab peziarah Iran dan perwakilan tertinggi Rahbar dalam urusan Haji dan Ziarah.

 Pertanyaannya menyangkut pembantaian dan kejahatan yang dilakukan oleh kekuatan arogan internasional dan agen-agen mereka yang menuduh orang lain sesat (terutama) terhadap Muslim Syiah dan Sunni. Mereka memfitnah Islam di seluruh dunia dan menabur benih perpecahan agama dan pemikiran di kalangan umat Islam tanpa dasar agama atau pemikiran yang benar. Inilah sebabnya mengapa hari ini Islam dan negara-negara Muslim berada dalam situasi sangat sulit.

 Pertama, bagi siapa saja yang percaya kepada keesaan Allah, misi Nabi Muhammad Al-Mustafa, tertutupnya kenabian (setelah Nabi Muhammad SAW) dan hari kiamat adalah seorang Muslim.

 Kedua, menyerang kehidupan, harta, dan kehormatan umat Islam dengan tegas dilarang.

 Ketiga, semua Muslim adalah saudara, dan mereka harus menyebarkan Islam dengan mempertahankan persaudaraan Islam di antara mereka sendiri, dan menerima perbedaan kecil diantara mereka.

 Keempat, menyebabkan sengketa dan perpecahan di antara para pengikut Islam, dihitung sebagai pengkhianatan terhadap Islam.

 

Ayatollah Asif Mohseni, Afghanistan.

Senin, 05 Desember 2016 22:05

Ayatullah Salehi Modarres

Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang

Pernyataan dibawah Ini adalah jawaban terhadap pertanyaan yang dikirim kepada Ayatullah oleh Seyyed Ali Ghazi Asgar sebagai penanggung jawab peziarah Iran dan perwakilan Rahbar (Pemimpin Tertinggi Revolusi Iran) dalam urusan Haji dan Umrah.

Pertanyaannya menyangkut pembantaian dan kejahatan yang dilakukan oleh kekuatan arogan internasional dan agen-agen mereka yang menuduh orang lain sesat (terutama) terhadap Muslim Syiah dan Sunni. Mereka memfitnah Islam di seluruh dunia dan menabur benih perpecahan agama dan pemikiran di kalangan umat Islam tanpa dasar agama atau pemikiran yang benar. Inilah sebabnya mengapa hari ini Islam dan negara-negara Muslim berada dalam situasi sangat sulit.

 Setelah perlunya menolak kemusyrikan, masalah kedua yang perlu ditekankan bagi umat Islam adalah kesatuan umat Islam.

 

بني الاسلام على دعامتين کلمة التوحيد و وحدت الکلمه.

 

"Islam didasarkan pada dua prinsip: Tauhid dan Persatuan".

 Oleh karena itu, hal-hal yang menyebabkan kerusakan pada kehidupan, harta, dan kehormatan kaum muslimin adalah salah satu dosa terbesar dan larangan dalam Islam.

 Islam tidak mengizinkan menghina keyakinan agama dari setiap sekte atau golongan umat Islam yang lainnya.

 Di sisi lain, serangan bunuh diri terhadap Muslim dan pembantaian mereka di berbagai negara adalah salah satu bentuk agama yang melanggar hukum. Salah satu wujud kerusakan dan termasuk dalam dosa tak termaafkan yang pada akhirnya akan membawa mereka ke dalam api neraka.

 Muslim Syiah dan Muslim Sunni harus menyadari plot musuh, pemecah belah umat dan mereka yang menuduh orang lain sesat.

 Ini adalah kewajiban semua Muslim untuk menunjukkan wajah Islam yang sebenarnya kepada dunia, Islam yang merupakan agama kasih sayang dan kebaikan. Mereka diminta untuk menyebarkan Islam, menjaga persaudaraan dan persatuan mereka.

 

Mohammad Hashem Salehi

 

12/2/92

 

Ayatollah Salehi Modarres - Afghanistan

Selain kaum Khawarij dan Nawasib, bagi siapa yang bersaksi atas Keesaan Allah dan Kenabian Nabi Muhammad (SAW) adalah seorang Muslim dan semua hukum Islam tentang perkawinan, warisan, penghormatan terhadap kehidupan dan properti serta yang lain-lain berlaku baginya. Mereka yang telah menciptakan perpecahan di antara umat Islam dan menuduh (amalan) umat Islam lainnya dengan bid'ah tidaklah memahami tentang realitas Islam sebernarnya, dan tak diragukan lagi bahwa mereka baik agen langsung dari para penjajah, atau bertindak sejalan dengan upaya jahat dari penjajah untuk menghancurkan dasar-dasar Islam, mencabut agama Nabi suci (SAW), dan telah menghilangkan tentang Ke-Kudus-annya dari fikiran mereka. Serangan bunuh diri dari kelompok-kelompok ini hanya justru memperlancar isu bidah dan menjadi musuh bebuyutan umat Islam:

 

{قل هل ننبئكم بالأخسرين أعمالا * الذين ضل سعيهم في الحياة الدنيا و هم يحسبون أنهم يحسنون صنعا}

 

"Katakanlah: Sudikah Anda kami beritahu tentang orang-orang yang telah kehilangan sebagian besar amal perbuatan mereka, yaitu mereka yang telah membuang segala jerih upayanya di kehidupan ini, tapi mereka mengira bahwa mereka telah memperoleh kebaikan dari amal perbuatan mereka.."

 

Insya Allah, semua umat Islam akan tetap waspada terhadap trik dan tipuan musuh, dan akan tetap teguh serta tabah dalam sumbangsi demi kemuliaan dan kehormatan Islam.

 

Seyyed Musa Shobeiri Zanjani

 

3 Rajab, 1434

Selasa, 18 Oktober 2016 23:55

Banyak-banyaklah Mengingat Allah

"

Barang siapa yang berpaling dari mengingat Tuhan Yang Maha Pemurah, Kami kuasakan atasnya setan (yang menyesatkan), lalu setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Qs. Az-Zukhruf: 36).

Dari ayat suci ini jelas dan terang, bahwa untuk tidak terjebak pada penguasaan syaitan maka kita tidak boleh lalai apalagi berpaling dari mengingat Allah SWT. Keutamaan mengingat Allah bukan sekedar agar terhindar dan terlepas dari godaan dan gangguan syaitan, namun lebih dari itu, mengingat Allah adalah ibadah yang lebih besar keutamaannya dibanding ibadah-ibadah yang lain. Allah SWT berfirman, “…dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (Qs. Al-Ankabut: 45). Dikatakan mengingat Allah (dzikrullah) lebih besar keutamaannya karena pada hakikatnya setiap ibadah yang dilakukan (shalat, zakat, puasa, naik haji, jihad, ‘amar ma’ruf nahi munkar dan lain-lain) adalah dalam rangka semata-mata untuk mengingat Allah. Ayatullah Husain Mazhahiri dalam kitabnya Jihad an-Nafs menafsirkan firman Allah SWT, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Qs. Thaha: 41) dengan mengartikan, “Tidak ada Tuhan yang memberikan pengaruh di alam wujud selain Aku, dan wajib atas kamu beribadah kepada-Ku dengan tujuan mengingat Aku, yang merupakan sebesar-besarnya kewajiban.”

Hal lain yang menunjukkan keutamaan dzikrullah dibanding ibadah lain, misalnya dalam shalat, haji, zakat, puasa ataupun jihad pengamalannya memiliki syarat-syarat, batasan-batasan, situasi dan kondisi tertentu, dan waktu-waktu yang telah ditentukan, sementara zikir tidak. Allah SWT memerintahkan, “Hai orang-orang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Qs. Al-Ahzab: 41). Jika ibadah lain yang dituntut adalah kualitasnya, zikir sedikit berbeda, yang dituntut adalah kuantitasnya. Puasa misalnya, kita hanya diwajibkan untuk melakukannya di bulan Ramadhan saja, haji hanya pada Dzulhijjah saja, shalat fardhu pada waktu-waktu dan tempat yang telah ditentukan namun zikir bisa dilakukan kapan, dimana saja dan dalam setiap keadaan. Perintah Allah untuk berzikir sebanyak-banyaknya, menunjukkan tidak ada batasan waktu untuk berzikir. Allah menyifatkan ibadah-ibadah yang lain dengan ‘amalan shâlihâ bukan ‘amalan katsîrâ. Namun khusus untuk zikir, Al-Quran memakai kata sifat dzikran katsîrâ bukan dzikran shâlihâ. Ini juga bisa diartikan, betapa pun jelek kualitas zikir kita, kita tetap dianjurkan untuk berzikir sebanyak-banyaknya. Zikir dianjurkan untuk dilakukan dalam setiap keadaan, sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, bahkan dalam keadaan sibuk mencari rezeki sekalipun. Allah SWT berfirman, “Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Qs. Al-Jumuah: 10). 7. Sungguh indah Allah SWT yang menyampaikan, “Kaum laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (Qs. An-Nur: 37-38).

Orang-orang yang senantiasa mengingat Allah disebut oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang berakal (Ulil Albab). Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Ali-Imran: 190-191). Jika Allah SWT menjadikan zikir sebanyak-banyaknya sebagai tanda dari Ulil Albab (orang-orang yang berakal) maka bagi yang zikirnya sedikit, Allah menyebutnya sebagai tanda kemunafikan. Allah SWT berfirman tentang orang-orang munafik, “…dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (Qs. An-Nisa’: 142). Sedangkan bagi yang sama sekali lalai dan berpaling dari zikrullah maka Allah menyifatkannya sebagai teman-teman syaitan, “Barang siapa yang berpaling dari mengingat Tuhan Yang Maha Pemurah, Kami kuasakan atasnya setan (yang menyesatkan), lalu setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Qs. Az-Zukhruf: 36). Bahkan dalam ayat lain dikatakan termasuk dalam golongan syaitan, “Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi. (Qs. Al Mujaadilah: 19). Naudzubillah.

Zikrullah adalah aktivitas Anbiyah as dan para Aimmah as, mereka tidak pernah lepas dari mengingat Allah SWT. Sebagaimana yang diriwayatkan Ibn Asakir dalam Tarikh Dimasyq, II, hal. 439, Rasulullah saww sampai menyebut Imam Ali as sebagai orang yang selalu berzikir (da’im az-zikr). Dalam banyak ayat, secara khusus Allah SWT memerintahkan kepada kekasih-Nya Muhammad saww untuk senantiasa berzikir, “…Dan sebutlah nama Tuhan-mu pada (waktu) pagi dan petang. Dan di malam hari, bersujud dan bertasbihlah kepada-Nya pada sebagian besar malam.” (Qs. Al-Insan: 25-26). Zikir bisa dilakukan dengan dua cara, zikir secara lisan (lafzhi) sebagaimana dalam perintah, “Sebutlah!”dan zikir dengan hati (qalbi) sebagaimana dalam perintah, “Ingatlah!”.. Keduanya sangat berpengaruh pada jiwa. Lewat berzikir dan mengingat Allah maka pintu-pintu jalan bagi syaitan untuk memberi pengaruh akan tertutup rapat, baik syaitan dari kalangan jin maupun manusia. Zikir juga dapat menghilangkan was-was, keraguan dan menentramkan batin, Allah SWT berfirman, “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Qs. Ar Ra'd: 28).

Terakhir, untuk tulisan ini. Ada hadits qudsi yang diriwayatkan secara muttafaq ‘alaihi, yakni diriwayatkan oleh dua Imam ahli hadits Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Imam Bukhari dan Imam Muslim, sehingga sulit untuk melemahkan kedudukannya, sayangnya sering dipenggal secara sepihak oleh pihak tertentu. Dari Abu Hurairah, Allah SWT berfirman lewat lisan Nabiullah Muhammad saw, “Aku terserah kepada persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Jika ia mengingat-Ku (berzikir) dalam dirinya, Aku akan menyebutnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di dalam sebuah jama’ah, Aku akan menyebutnya di dalam jama’ah yang lebih baik dari mereka”.

Ya, ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, dalam setiap keadaan, dalam keadaan berkesendirian, dalam keadaan berjama'ah....

 Qom, 27 Maret 2010

Selasa, 18 Oktober 2016 23:54

Penyifatan Tuhan dalam Al-Quran dan Hadis

Sebagaimana yang telah kami katakan, mustahil bagi manusia untuk mengenal hakikat dzat Tuhan. Pengenalan rasionalitas atas-Nya hanya bersifat universal atau pengenalan melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Atas dasar ini, salah satu tujuan utama al-Quran yang dalam berbagai ayatnya berbincang tentang sifat-sifat Tuhan adalah melakukan rekonstruksi, memperdalam, dan memperluas pengenalan manusia terhadap Tuhan. Ratusan ayat al-Quran kadangkala secara langsung membahas tentang sifat-sifat Tuhan dan menyebutkan tentang asma Tuhan. Dari sebagian ayat bisa pula ditemukan adanya prinsip-prinsip universal dalam penyifatan Tuhan.

Meskipun demikian, perlu diingat bahwa mengenali Tuhan melalui sifat-sifat-Nya merupakan cara yang sangat rumit karena membutuhkan ketelitian dan kecermatan yang tinggi, karena sedikit saja kita salah menganalisanya bisa mengarahkan kita kepada pen-tasybih-an atau “penyerupaan” yang berujung pada kehilangan sebagian makrifat kita dari al-Quran.

Salah satu hal yang mendasar untuk dilakukan adalah berpegang pada ayat-ayat yang muhkam (ayat-ayat yang memiliki makna yang jelas) tentang sifat-sifat Ilahi untuk dijadikan pijakan dalam menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabiyah (ayat-ayat yang tidak memiliki makna yang jelas), seperti menafsirkan ayat-ayat yang secara lahiriah menyifati Tuhan dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

Di sini kita akan melakukan pengamatan sepintas terhadap perspektif al-Quran dalam penyifatan Tuhan dan metode manusia mengenali sifat-sifat-Nya, sedangkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat khusus akan dibahas pada tema-tema yang berkaitan dengannya.

 

Bukan tasybih dan ta’thil

Al-Quran pada satu sisi menegaskan bahwa pengenalan terhadap hakikat dzat Tuhan merupakan hal yang mustahil bagi manusia, Tuhan bersabda, “Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.”[1] (Qs. Thahaa: 110)

Dari sisi lain, dalam berbagai ayat telah dijelaskan bahwa Tuhan tidak memiliki sedikitpun kemiripan dengan maujud lain dan tidak ada sesuatupun yang bisa digambarkan setara dengan dzat suci-Nya. Ayat ini pada dasarnya merupakan ayat muhkam yang menegaskan kesalahan berpikir aliran Tasybih dan segala konsep yang memandang ada kemiripan antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Dia bersabda, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (Qs. As-Syura:11)

Pada pembahasan Tauhid dipahami bahwa ayat-ayat tersebut berkaitan dengan tauhid dzat, akan tetapi sepertinya ayat-ayat tersebut selain menafikan kemiripan maujud lain dengan dzat Tuhan, juga menafikan kemiripan antara sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat selain-Nya. Sebenarnya ayat itu menceritakan bahwa baik dari sisi dzat mutlak Tuhan maupun dari sifat-sifat-Nya tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya dan tidak ada pula sesuatu yang bisa digambarkan mempunyai kemiripan dan kesamaan dengan-Nya. Makna ayat ini bisa ditemukan pula dalam sebagian ayat seperti pada ayat terakhir surah at-Tauhid.[2]

Ayat al-Quran di atas dalam posisinya menjelaskan kesalahan maktab Tasybih, selain itu juga menafikan segala bentuk kemiripan dan kesetaraan Tuhan dengan eksistensi lain dalam dzat dan sifat. Pada ayat-ayat yang lain juga mengetengahkan tentang sifat-sifat salbi Tuhan seperti penafian kebinasaan dan keterikatan dengan ruang dan waktu dimana akan dibahas kemudian dalam tema “sifat-sifat negasi dan salbi Tuhan”.

Demikian juga, al-Quran meninggikan dzat Tuhan dari segala bentuk penyerupaan dan pen-tasybih-an. Pada banyak ayat setelah menukilkan pemikiran-pemikiran keliru dari para musyrikin tentang Tuhan, al-Quran menegaskan poin bahwa penyifatan mereka atas Tuhan adalah tidak layak untuk maqam suci ketuhanan (uluhiyat), Dia bersabda, “Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, Padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan”, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan.”[3] (Qs. al- An’am: 100).“Mereka tidak Mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha Perkasa.”[4] (Qs. al-Hajj: 84)

Ketika berhadapan dengan kelompok ayat seperti di atas, bisa jadi kita menyangka bahwa al-Quran hanya memiliki makrifat Tuhan secara terbatas dan tidak memberikan makrifat atas-Nya kepada manusia lewat penjabaran akal serta pemahaman rasional. Akan tetapi kesimpulan seperti ini merupakan sebuah kesimpulan yang tergesa-gesa dan tidak benar, dengan melakukan kontemplasi terhadap ayat-ayat yang lain akan menjadi jelas bahwa al-Quran selain menegaskan pensucian Tuhan secara mutlak dari sifat-sifat makhluk, juga menekankan tentang adanya kemungkinan untuk mengenali-Nya.

Ayat-ayat yang bisa menjadi saksi paling baik untuk klaim ini sangat banyak dimana di dalamnya menyebutkan tentang asma dan sifat-sifat Tuhan. Dengan memperhatikan bahwa al-Quran mengajak manusia untuk berfikir dan berkontemplasi tentang ayat-ayat-Nya maka tidak bisa diterima bahwa penyebutan asma Tuhan secara berulang pada ayat-ayat yang berlainan murni hanya sekedar sebuah bacaan tanpa memberikan makna.[5]

Oleh karena itu, al-Quran dalam masalah penyifatan Tuhan menolak mutlak metode tasybih maupun metodeta’thil lalu mengambil jalan tengah antara keduanya, dari satu sisi metode ini meletakkan sifat-sifat jamal dan jalal-Nya pada jangkauan pemahaman manusia, dan di sisi lain menegaskan ketakserupaan Dia dalam dzat dan sifat dengan makhluk serta mengingatkan bahwa sifat-sifat Tuhan jangan dipahami sedemikian sehingga menyebabkan pen-tasybih-an dengan selain-Nya, tapi seharusnya makna-makna dari sifat-sifat Ilahi ini dilepaskan dari warna kemakhlukan dan keterbatasan serta diletakkan sebagaimana selayaknya untuk dzat suci Tuhan.

Tentunya jumlah ayat-ayat yang secara tegas menafikan pandangan tasybih lebih banyak dari ayat-ayat yang menolak pandangan ta’thil, hal ini muncul mungkin karena para penganut teisme lebih sering terkontaminasi dengan pandangan tasybih dibandingkan dengan pandangan ta’thil.

Sifat Tuhan dalam Hadis

Dengan merujuk pada literatur-luteratur hadis, menjadi jelas bahwa pembahasan sifat Tuhan dalam hadis juga mengikuti langkah al-Quran. Dalam sebuah hadis dari Amirul Mukminin Ali as dikatakan bahwa dalam tafsir ayat 110 surah Thaha, beliau bersabda, “Semua makhluk mustahil meliputi Tuhan dengan ilmu, karena Dia meletakkan tirai di atas mata hati, tak satupun pikiran yang mampu menjangkau dzat-Nya dan tak ada satu hatipun yang bisa menggambarkan batasan-Nya, oleh karena itu, jangan kalian menyifati-Nya kecuali dengan sifat-sifat yang diperkenalkan oleh-Nya, sebagaimana Dia berfirman, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.”[6]

Imam Ali as pada awal perkataannya menjelaskan bahwa tak ada satupun makhluk yang meliputi dzat Tuhan. Secara lahiriah, maksud dari “meletakkan tirai pada mata hati” adalah keterbatasan pengenalan makhluk yang menyebabkan ketidakmampuannya meliputi dzat tak terbatas Tuhan. Imam Ali as dalam kelanjutan tema ini menegaskan  bahwa dalam menyifati Tuhan kita harus mencukupkan diri dengan menggunakan sifat-sifat yang telah Dia perkenalkan kepada kita.

Tentang hal ini terdapat beberapa riwayat, sebagai contoh kita bisa melihat dalam “Khutbah Asybâh“, beliau bersabda, “Sesungguhnya berbohonglah mereka yang meletakkan sesuatu setara bagi-Mu, mereka menyerupakan-Mu dengan patung-patung sembahan dan memakaikan pakaian makhluk kepada-Mu dengan khayalannya dan menganggap-Mu sebagaimana benda jasmani yang memiliki organ dan mereka menisbahkan indera-indera makhluk kepada-Mu sesuai dengan pikirannya”[7]

Dengan demikian, metode pensucian al-Quran yang bukan tasybih dan ta’thil telah jelas dalam sebagian hadis itu. Mungkin salah satu dalil yang paling tegas untuk klaim ini adalah perkataan Imam Ali as yang bersabda, “Akal-akal tidak dapat menjangkau semua sifat-Nya dan tidak pula terhalang memahami sebagian dari sifat-Nya untuk memakrifat-Nya.”[8]

Selain itu, sebuah hadis yang dinukilkan dari Rasulullah saw dan ahluibaitnya dalam masalah makrifat Tuhan, dalam hadis itu dijelaskan mengenai makrifat berharga atas sifat-sifat Tuhan dan jelas bahwa makrifat ini bersandar pada realitas bahwa manusia pada batas tertentu mampu mengenali Tuhan melalui pengenalan sifat-sifat-Nya.

[1]. Tentunya, penyimpulan ayat bersandar pada bahwa dhamir pada “bihi” kembali kepada Tuhan, akan tetapi terdapat pula kemungkinan bahwa dhamir di atas kembali pada perbuatan orang-orang yang bersalah.

[2]. “… Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”, Qs. at-Tauhid: 5

[3].  Juga rujuk: surah Anbiya: 22, Mukminun: 91 dan Az-Zuhruf: 82.

[4].  Ayat seperti ini terdapat pula pada surah al-An’am: 91, Az-Zumar: 67.

[5].  Qs. An-Nisa: 82, Muhammad: 24, as-Shad: 29.

[6]. Al-Hawizi, Tafsir Nur ats-Tsaqalain, jilid 3, hal. 394, hadis 117. Riwayat ini melegitamasi bahwa dhamir “bihi” pada ayat “La yuhithuna bihi ‘ilman” kembali kepada Tuhan.

[7]. Nahjul Balaghah, khutbah 91.

[8] . Nahjul Balaghah, khutbah 49.

[Mohammad Adlany]

Selasa, 18 Oktober 2016 23:52

Keridhaan Allah Selalu Lebih Besar

Ridha berasal dari bahasa arab yang secara etimologi terbentuk dari kata-kata rhadiya-yardhaa, yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang biasa kita padankan dengan kata ikhlas atau puas menerima ataupun telah merestui sesuatu bagaimanapun keadaannya. Di antaraasma’ul husna (nama-nama Allah yang indah) kita mengenal, Ar-Ridhwan, yang artinya, yang Maha Meridhai. Kata ridha dalam berbagai variannya terulang setidaknya 32 kali dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an.

Dari beberapa ayat tersebut, kita bisa mengklasifikasikan kelompok orang-orang yang diridhai Allah.

Pertama, orang-orang yang beriman, takut kepada Tuhannya dan mengerjakan kebajikan. Terdapat dalam surah Al-Bayyinah ayat 7 dan 8. Allah SWT berfirman, “Sungguh orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhan-nya.” Juga pada surah Al-Mujaadilah ayat 22 dan Al-Haaqqah ayat 21.

Kedua, Assabiquna awwalun, generasi awal Islam yang pertama-tama masuk Islam dari golongan Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik. (baca Qs. At-Taubah: 100 dan juga Al-Fath ayat 29).

Ketiga, orang-orang yang benar. Allah SWT berfirman, “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Qs. Al-Maidah: 119).

Keempat, orang-orang yang ridha terhadap pemberian dan keputusan Allah. Allah SWT berfirman, “Jika mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan rasul-Nya kepada mereka, dan berkata, “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah”, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (Qs. At-Taubah: 59).

Kelima, orang-orang yang bersegera menuju Allah, “Dia (Musa) berkata, ‘…aku bersegera kepada-Mu ya Tuhanku, agar Engkau ridha (kepadaku).” (Qs. Taahaa: 84). Ataupun dalam surah Al-Fajr ayat 28, “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”

Keenam, orang-orang yang setia pada perjanjiannya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Qs. Al-Fath: 18).

Ketujuh, orang-orang yang bersyukur, “…dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu” (Qs. Az-Zumar: 7).

Kedelapan, orang-orang yang diberi izin untuk memberi syafaat termasuk orang-orang berdosa yang disyafaati, “Pada hari itu tidak berguna syafa'at, kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (Qs. Thaahaa: 109). Juga terdapat dalam surah Al-Anbiyaa’ ayat 8 dan surah An-Najm ayat 26).

Kesembilan, orang-orang yang menyeru untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat, “Dan ia menyuruh ahlinya (umatnya) untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.” (Qs. Maryam: 55). Juga pada surah ar-Rum ayat 38-39. Termasuk orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari (Qs. Al-Kahfi: 28).

Kesepuluh, orang-orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu dan jiwanya tenang dalam ketaatan, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (Qs. Al-Fajr: 27-28).

Kesebelas, orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah (baca surah Al-Lail ayat 20, Al-Insan ayat 9, Al-Baqarah: 265 dan lain-lain).

Keduabelas, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah. Penjelasan mengenai hal ini terdapat dalam surah Al-Mumtahanah ayat pertama, Al-Hasyr ayat 8 dan Al-Ankabut ayat 69.

Ketigabelas, orang-orang yang senantiasa berkurban. (Qs. Al-Hajj: 37) Juga pada surahAl-Baqarah ayat 207, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”

Dari penjabaran di atas, setidaknya ada tiga belas kelompok yang mendapat keridhaan Allah. Sementara yang tidak diridhai Allah hanya ada tiga kelompok. Pertama, orang-orang kafir, “Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Qs. Az-Zumar: 7). Kedua, kelompok orang-orang yang berkhianat, “..dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Yusuf: 52). Ketiga, orang-orang yang fasik, “Sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (Qs. At-Taubah: 96). Jika dibandingkan jumlah kelompok mereka yang diridhai dibanding yang tidak, menunjukkan keridhaan Allah lebih besar dalam banyak hal. Ada satu hal lagi yang mesti kita perhatikan, ayat yang berbunyi, “Rhadiallahu ‘anhum wa radhuu ‘anhu, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya” dan yang semakna dengan itu hanya berulang setidaknya empat kali. Hal ini berarti, keridhaan Allah terhadap hamba-Nya jauh lebih besar dari keridhaan hamba kepada Tuhan-Nya.

Ridha Ilahi, Karunia Terbesar

Keridhaan Allah sesungguhnya adalah sebesar-besarnya karunia Allah yang diberikan-Nya kepada manusia. Melalui Kumayl ibn Ziyad, imam Ali as mengajarkan kepada kita sebuah rangkaian do’a yang panjang, yang dikenal dengan nama Do’a Kumayl atau Do’a Hadhrat Khaidir. Diantara penggalannya, Imam Ali as bermunajat dengan mengucap, “…wa taj’alani biqismika radhiyan qani’an, wa fi jami’il-ahwali mutawadhi’an, dan jadikan aku ridha dan qana’ah akan pemberian-Mu, dan dalam segala keadaan tunduk dan patuh kepada-Mu.” Pada penggalan do’a ini, kita melihat, Imam Ali as lebih mendahulukan memohon maqam keridhaan dan qana’ah dibanding memohon ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya.

Pada umumnya di antara kita, menilai sebesar-besarnya karunia Allah pada hamba-Nya adalah keimanan, ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya (sehingga sering diulang-ulang di setiap khutbah). Namun, setidaknya oleh Imam Ali as, tidak. Karunia terbesar Allah adalah keridhaan-Nya. Mengapa?. Ayatullah Husain Mazhahiri ketika mensyarah penggalan do’a tersebut membantu kita menemukan jawabannya. Dalam kitab Syarh_e wa Tafsir_e Dua_ye Kumayl, beliau menulis, “Sebab, bahkan oleh Rasulullah saww sendiri dengan berbagai ibadah yang beliau lakukan, ketaatan, perjuangan dan kesetiaannya di jalan Allah, kemudian semuanya itu diletakkan pada satu sisi timbangan, sementara anugerah berupa akal, pemikiran, kekuatan, kemaksuman dan anugerah lainnya berada pada sisi timbangan lainnya, maka karunia dan pemberian Ilahi masih lebih berat dibanding semua ibadah, ketaatan dan perjuangan beliau saww.” Beliau (semoga Allah merahmatinya) melengkapkan jawabannya dengan menukilkan, kisah Nabi Musa as dan Nabi Daud as yang berkata, “Bagaimana mungkin kami mampu untuk bersyukur kepada-Mu dengan sepenuhnya. Sementara kecenderungan untuk bersyukur kepada-Mu itu sendiri adalah anugerah dan karunia dari-Mu, dan itu juga memerlukan syukur yang lain?”. Allah kemudian menurunkan wahyu kepada keduanya, “Jika demikian, maka Aku telah ridha akan syukurmu.”

Ya, demikianlah, pada hakikatnya sekuat dan segigih apapun kita beribadah dan taat kepada-Nya, dapat dikatakan itu tidak sesuai dengan keinginan-Nya sebab tidak sebanding dengan besarnya anugerah dan karunia yang telah diberikan. Karenanya untuk menerima amal-amal hamba-Nya, Allah mendasarkan pada sifatnya, Ar-Ridhwan, yang Maha Meridhai dan bukan pada sifatnya yang Maha Adil. Sebab jika sekiranya perlakukan Allah pada hamba-hamba-Nya berdasarkan pada keadilan-Nya, maka tidak ada seorangpun yang bisa meraih kenikmatan dan kebahagiaan di dunia dan  akhirat, terlebih lagi kenikmatan dunia bagi orang-orang yang kafir dan durhaka kepada-Nya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Nabiullah saww itu beristighfar, memohon ampun kepada Allah setiap harinya sampai 70 kali. Kalau kita ingin sedikit kritis, sebenarnya, apa faedah Rasulullah saww memohon ampun kepada Allah, sementara yang beliau lakukan  keseluruhannya adalah kebaikan yang dijadikan tauladan, terlebih lagi bukankah beliau telah disucikan oleh Allah?. Bagi Rasulullah, istighfar bukan hanya untuk memohon pengampunan dari kesalahan dan dosa, namun juga berkaitan dengan amal kebaikan. Yakni, permohonan ampun dari setiap kebaikan yang telah dilakukan, dimaksudkan adalah sudilah kiranya Allah mengampuni kekurangan dan cacat dari amal kebaikan yang telah dilakukan. Kita sadar, bahwa kebaikan semacam apapun pada akhirnya tetaplah kurang dan cacat jika dibanding dengan kebaikan Allah yang tercurah buat kita. Istighfar Rasulullah adalah, permohonan agar kiranya dalam memperhitunngkan setiap amal ibadah, Allah lebih mendahulukan keridhaan-Nya dan bukan keadilan-Nya. Bisa jadi inilah falsafahnya, dalam bacaan shalat mayyit, kita diminta untuk membaca do’a,“Allahummagfirh lihadzal mayyit, Ya Allah, ampunilah seluruh dosa dan kesalahan jenazah ini.” Kita tidak diminta untuk mendoakan, “Semoga Allah memberi balasan yang setimpal atas kebaikan-kebaikannya”, namun sayangnya, doa semacam ini yang sering kita hadiahkan buat si mayyit.

Untuk tidak membuat tulisan ini terlalu panjang, insya Allah nanti kita lanjutkan.

Ada banyak kesalahan dan kekurangan tentunya, namun semoga Allah ridha terhadap tulisan ini…

“Wa ridhawaanum minallahi akbaru, …. dan keridhaan Allah, (selalu) lebih besar.”

 (Qs. At-Taubah: 72)

Wallahu’alam bishshawwab

 

Ismail Amin

Mahasiswa Universitas Internasional Al Mustafa Republik Islam Iran