کمالوندی
Fungsi dan Peran Masjid (10)
Salah satu ibadah khusus yang dilakukan di masjid adalah i'tikaf. Ibadah dan mengingat Allah Swt tentu saja baik dilakukan di setiap tempat dan waktu, tapi menurut sejumlah ayat dan riwayat, sebagian tempat memiliki keutamaan khusus yang punya pengaruh besar dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt dan terkabulkannya doa. Masjid – sebagai rumah Allah dan tempat paling mulia – ditetapkan sebagai satu-satunya tempat untuk i'tikaf.
I'tikaf adalah sebuah ibadah yang istimewa dan ibadah ini tidak dianjurkan untuk dilakukan di setiap masjid. I'tikaf biasanya dilaksanakan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Kufah, dan jika tidak berkesempatan melakukan di tempat-tempat tersebut, maka ia bisa dikerjakan di Masjid Jami' di setiap daerah. Maksud dari Masjid Jami' di setiap kota atau daerah adalah tempat yang menjadi konsentrasi mayoritas masyarakat untuk menunaikan shalat dan jumlah pengunjungnya melebihi dari masjid-masjid lain di kota tersebut.
I'tikaf merupakan salah satu ritual ibadah yang paling komplit dan indah, di mana dilakukan pada kondisi dan tempat khusus. Hukum i'tikaf adalah sunnah dan seseorang boleh memilih antara melakukannya atau tidak, namun statusnya bisa berubah menjadi wajib setelah seseorang memulai dan melanjutkan i'tikaf, di mana ia tidak bisa meninggalkannya di tengah jalan.
Para fuqaha berbeda pendapat tentang waktu minimal untuk beri'tikaf. Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah – dari fuqaha Ahlu Sunnah – berpendapat bahwa waktu minimal untuk beri'tikaf adalah satu hari satu malam. Akan tetapi, para fuqaha Syiah mengatakan i'tikaf dilakukan dalam waktu minimal tiga hari tiga malam.
Dari segi waktu, i'tikaf tidak terbatas pada waktu tertentu dan satu-satunya keharusan dari i'tikaf adalah melakukan puasa, maka ritual ini secara syariat harus dikerjakan pada waktu yang dibolehkan berpuasa. Oleh karena itu, orang yang tidak dapat berpuasa seperti musafir, sakit, atau sengaja tidak berpuasa, maka i'tikaf mereka tidak sah. Ibadah ini juga tidak bisa dilakukan pada hari-hari seperti hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, di mana puasa diharamkan.
Namun, waktu terbaik untuk melakukan i'tikaf adalah sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Waktu lain yang baik untuk beri'tikaf adalah Ayyaamul Bidh (hari-hari putih) yaitu pada tanggal ke-13, 14, dan 15 di setiap bulan Hijriyah, di mana memiliki keutamaan untuk berpuasa.
Salah satu syarat sah i'tikaf adalah berkesinambungan hadir di masjid. Dalam hal ini, Imam Ali as berkata, "Pelaku i'tikaf tidak boleh keluar dari masjid kecuali untuk keperluan mendesak dan langsung kembali setelah ia terpenuhi." (Kitab Ushul al-Kafi, jilid 4) Beberapa dari keperluan darurat yang membolehkan pelaku i'tikaf keluar dari masjid adalah shalat Jumat, menyertai (tasyi') jenazah, besukan mendesak kepada orang sakit, memenuhi kebutuhan orang mukmin dan semisalnya.
Perlu diingat bahwa setelah kebutuhan darurat terpenuhi, pelaku i'tikaf tidak boleh berdiam diri di luar dan harus segera kembali ke tempat i'tikaf. Masalah pemenuhan kebutuhan seorang mukmin benar-benar sangat penting di mana pelaku i'tikaf diperbolehkan untuk keluar dari masjid dan langsung kembali setelah tugas tersebut selesai. Tugas mulia ini dianggap bagian dari i'tikaf dan tidak terpisah darinya.
Maimun bin Mehran mengisahkan bahwa suatu hari aku bersama Imam Hasan as melakukan i'tikaf di masjid dan aku duduk di sampingnya ketika seorang laki-laki datang dan berkata, "Wahai putra Rasulullah Saw, aku punya utang pada seseorang dan ia ingin menyeretku ke penjara." Imam Hasan menjawab, "Sekarang aku tidak punya uang untuk melunasi utangmu." Orang tersebut lalu berkata, "Ikutilah aku untuk berbicara dengannya."
Imam Hasan as kemudian memakai sepatunya dan langsung bergerak. Aku (Maimun bin Mehran) berkata kepada beliau, "Wahai putra Rasulullah, apakah engkau telah melupakan i'tikafmu?" Imam menjawab, "Aku tidak lupa, tapi aku mendengar ayahku berkata bahwa Rasul Saw bersabda, 'Barang siapa yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan saudaranya seagama, maka ia seperti telah beribadah kepada Allah selama seribu tahun, di mana hari-harinya diisi dengan puasa dan malam-malamnya dengan shalat.'"
Mengenal Masjid Kufah
Pada kesempatan ini, kita akan mengenal lebih jauh tentang Masjid Kufah sebagai salah satu dari empat masjid agung di dunia Islam. Diriwayatkan bahwa suatu hari, Imam Jakfar Shadiq as turun dari tunggangannya ketika sudah mendekati Masjid Kufah. Para sahabat lalu bertanya kepada beliau seputar alasan dari tindakan itu, Imam Shadiq as berkata, "Di sini adalah batas Masjid Kufah dan batasan ini ditentukan oleh Nabi Adam as, dan aku tidak suka masuk ke batasan ini dengan tunggangan."
Perawi kemudian bertanya, "Jika batas Masjid Kufah seperti yang engkau jelaskan, lalu apa yang membuat ia berubah?" Imam Shadiq menjawab, "Penyebab utama perubahan ini adalah badai pada masa Nabi Nuh as. Kemudian raja-raja Khosrow, Nu'man bin Munzir, dan kemudian Ziyad bin Abu Sufyan melakukan beberapa perubahan." (Man la yahduruhu al-Faqih, jilid 1)
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Masjid Kufah sudah ada sejak zaman Nabi Adam as sebagai tempat ibadah. Namun terjadi perubahan di sepanjang sejarah dan dilakukan pemugaran di berbagai periode. Masjid Kufah memiliki luas lebih dari 11.000 meter persegi dan dindingnya setinggi 10 meter. Halaman terbuka masjid adalah 5.642 meter persegi, dan luas shabistan (ruang utama shalat pada malam hari) adalah 5.520 meter persegi.
Masjid ini dipercantik dengan 187 buah pilar dan empat menara dengan ketinggian 30 meter. Ia memiliki lima gerbang dengan nama masing-masing Bab al-Sudda (atau lebih dikenal Bab Amirul Mukminin), Bab Kinda, Bab al-Anmat, Bab al-Fil, dan Bab al-Thu'bān.
Masjid Kufah menjadi tempat di mana Imam Ali as terluka parah oleh pukulan pedang beracun Abdurrahman Ibnu Muljam saat bersujud dalam shalat subuh. Imam Ali aktif melakukan shalat di masjid tersebut dan menyampaikan khutbah, dan pada akhirnya beliau gugur syahid di tempat suci ini. Di luar masjid terdapat makam Muslim ibn 'Aqil, Hani bun Urwah, dan Mukhtar al-Thaqafi.
Sejak awal berdiri, Masjid Kufah merupakan pusat pendidikan dan kebudayaan kota. Ketika Imam Ali as datang ke Kufah pada tahun 36 Hijriyah, pertama kali yang dikunjunginya adalah Masjid Kufah. Di sana beliau menyampaikan ceramah kepada masyarakat. Begitu menetap di Kufah, Imam Ali as mengajarkan tafsir al-Quran dan ilmu-ilmu lainnya di tempat tersebut. Di sana beliau memiliki banyak murid di antaranya Kumail bin Ziyad dan Ibnu Abbas.
Muslim ibn 'Aqil adalah cucu Abu Thalib dan sepupu Imam Husein as dari kabilah Bani Hasyim. Pada masa Imam Husein, Muslim ditunjuk sebagai wakilnya untuk mengevaluasi situasi dan pengambilan baiat dari masyarakat Kufah. Ia berangkat ke kota tersebut dan mampu mengumpulkan 18.000 orang yang menyatakan kesetiaan kepada Imam Husein as.
Namun, situasi berubah seketika dengan pengangkatan dan pelantikan Ubaidillah bin Ziyad sebagai penguasa Kufah. Pengangkatan ini membuat penduduk Kufah ketakutan sehingga mencabut dukungan mereka kepada Muslim bin 'Aqil. Tidak lama kemudian, Muslim bin Aqil berhasil ditangkap dan atas perintah Ubaidillah ia dibunuh pada hari Arafah tahun 60 Hijriyah.
Pasca kesyahidan Muslim bin Aqil, Ibnu Ziyad juga memerintahkan untuk membunuh Hani bin ‘Urwah. Kepala kedua orang tersebut yang telah dipisahkan dari tubuhnya, kemudian dibawa ke Syam untuk diperlihatkan kepada Yazid bin Muawiyah.
Masjid Kufah
Spirit seluruh ajaran Islam menyeru kepada perkumpulan dan hidup bersosial, sementara mengasingkan diri dan menjauhkan dari masyarakat tidak ada tempat dalam Islam. Tapi, agama ini juga memperkenalkan i'tikaf sebagai sebuah kesempatan untuk kembali mengenali diri dan Allah Swt sehingga manusia bisa kembali merekatkan hubungan batinnya dengan Sang Pencipta.
I'tikaf adalah sebuah kesempatan untuk memeriksa kembali dan mengevaluasi kondisi jiwa dan batin manusia, dengan fokus pada kapasitas, perilaku, hati, dan pikirannya. Mereka harus merenungkan kembali bagaimana kualitas hubungannya dengan Tuhan. I'tikaf mencakup shalat, puasa, membaca al-Quran, bertaubat, dan beristighfar. Semua jenis ibadah ini memiliki tujuan yang sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Namun setiap jenis ibadah juga memiliki tujuan masing-masing, seperti shalat yang akan mencegah manusia dari perbuatan keji dan munkar, dan puasa akan memperbesar tingkat kesabaran dan mengontrol emosi. I'tikaf sendiri juga memiliki tujuan yang spesifik yaitu melatih pemutusan kontak dari segala hal selain Allah dan memfokuskan diri kepada-Nya.
Pelaku i'tikaf – selama berdiam diri di masjid – memutuskan hubungannya dengan semua perkara duniawi dan seluruh waktunya digunakan untuk ibadah. Ia tidak akan berkelana ke rumah orang lain saat sedang berada di rumah Allah, dan tidak akan menggerakkan lisannya kecuali untuk membaca firman Tuhan dan berdoa.
Pelaku i'tikaf akan menempatkan kehendaknya di jalan kehendak Allah Swt dan di sepanjang hari, ia meninggalkan makan-minum demi ridha-Nya dan menyibukkan diri dengan shalat. Ia benar-benar larut dalam penghambaan Tuhan sehingga ia berkata, "Ya Allah, berilah aku kesempurnaan perpisahan dari makhluk untuk mencapai diri-Mu."
I'tikaf adalah sebuah amalan yang dianggap bagian dari kegiatan ibadah dalam syariat Nabi Ibrahim as, dan para pengikut beliau sudah terbiasa dengan i'tikaf. Nabi Sulaiman as juga melakukan i'tikaf di Baitul Maqdis dan memfokuskan diri untuk ibadah. Nabi Musa as – di tengah tanggung jawab besar dan kesibukannya membimbing umat – meninggalkan masyarakat untuk beberapa waktu demi berkhalwat dengan Allah Swt di Bukit Tursina.
Nabi Zakaria as – sosok yang bertanggung jawab untuk mengurusi masyarakat – juga melakukan i'tikaf di Baitul Maqdis, termasuk merawat Sayidah Maryam as. Rasulullah Saw seperti para kakeknya, mengamalkan syariat Nabi Ibrahim dan salah satu ritual agama Ibrahim adalah i'tikaf. Beliau memilih Gua Hira' sebagai tempat berkhalwat dengan Allah Swt. Setelah diutus menjadi nabi dan hijrah ke Madinah, Rasul melakukan i'tikaf di Masjid Nabawi dan menyibukkan diri dengan ibadah.
Tempo dulu, sekelompok masyarakat Hijaz – yang berpegang pada agama yang lurus – juga melakukan i'tikaf dengan berkhalwat dan meninggalkan keramaian untuk beberapa waktu. Mereka menyibukkan diri dengan ibadah dan memikirkan keagungan ciptaan Tuhan dan terus berjuang mencari kebenaran.
Dalam ajaran Islam, i'tikaf adalah menetap di sebuah tempat yang suci untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. I'tikaf merupakan sebuah kesempatan emas sehingga manusia menemukan jati dirinya setelah tenggelam dalam kemegahan dunia. Para pelaku i'tikaf akan melepaskan dirinya dari belenggu materi untuk meraih rahmat, ampunan, dan kasih sayang Tuhan.
Pada akhir bulan Ramadhan, masyarakat muslim secara serentak melakukan i'tikaf dan mereka memilih tempat-tempat istimewa sebagai lokasi untuk berkhalwat seperti, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Kufah.
Keutamaan Masjid Kufah
Pada bagian ini, kita akan berkenalan dengan Masjid Agung Kufah, Irak yang sangat populer di tengah kaum muslim. Masjid Kufah adalah sebuah masjid besar di Dunia Islam. Bagi kaum muslim Syiah, masjid ini merupakan masjid penting keempat setelah Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid al-Aqsa. Menurut beberapa riwayat, orang pertama yang mendirikan Masjid Kufah adalah Nabi Adam as dan kemudian direkonstruksi oleh Nabi Nuh as setelah badai.
Pada tahun 17 Hijriyah, pasukan Islam menduduki Madain. Saat itu kondisi air dan udara di sana sangat buruk hingga membuat tidak nyaman para tentara. Melihat kondisi tersebut, Hudzaifah melaporkannya kepada khalifah lewat sepucuk surat. Khalifah kemudian memerintahkan Sa'ad bin Abi Waqash supaya mengutus Salman dan Hudzaifah untuk mencari daerah baru yang lebih layak. Salman menelusuri daerah sebelah barat Sungai Furat sedangkan Hudzaifah sebelah timurnya. Setelah lama tidak menemukan daerah yang bagus, akhirnya mereka sampai di Kufah. Mereka sepakat bahwa Kufah adalah daerah yang tepat untuk dijadikan pangkalan militer. Mereka lalu salat dua rakaat dan berdoa pada Allah Swt agar menjadikan daerah tersebut sebagai tempat yang tenang dan kokoh.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Ali as berkata kepada masyarakat Kufah, "Allah telah memberikan sesuatu kepada kalian di mana tidak diberikan kepada siapapun, Dia menganugerahkan kedudukan khusus untuk tempat ini (Masjid Kufah). Masjid ini adalah rumah Adam as, tempat Nuh, tempat tinggal Idris, tempat ibadah Ibrahim dan saudara saya, Khidr, dan salah satu dari empat masjid yang dipilih oleh Allah untuk umat-Nya. Akan datang suatu masa di mana masjid ini akan menjadi tempat shalat Imam Mahdi dan setiap orang mukmin."
Sejak awal pembangunannya, Masjid Kufah menjadi salah satu pusat penting politik dan budaya kota Kufah. Sepanjang sejarah, Masjid Kufah telah didatangi para nabi dan imam maksum di antaranya Imam Ali as, Imam Hasan, Imam Husein dan sebagian imam lainnya.
Masjid Kufah di Irak
Pada tahun 36 Hijriyah, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as datang ke Masjid Kufah dan beliau berkali-kali shalat dan menyampaikan ceramah di tempat mulia itu. Imam Ali as juga menggunakannya sebagai pengadilan dan pusat pemerintahan, dan pada akhirnya beliau menjemput kesyahidannya di mihrab masjid tersebut.
Begitu menetap di Kufah, Imam Ali as mengajarkan tafsir al-Quran dan ilmu-ilmu lainnya. Di sana beliau memiliki banyak murid di antaranya adalah Kumail bin Ziyad dan Ibnu Abbas. Mihrab Imam Ali as di Masjid Kufah menjadi salah satu tempat istimewa bagi kaum muslim khususnya para pecinta Ahlul Bait. Mihrab itu menjadi tempat Imam Ali mendirikan shalat dan bermunajat kepada Allah Swt.
Masjid Kufah memiliki banyak Maqam (kedudukan/tempat yang digunakan untuk beribadah) dan tempat-tempat penting yang populer di masyarakat antara lain; Rahbah Amirul Mukminin, ini adalah tempat yang dulu digunakan Imam Ali as untuk menjawab pertanyaan umat tiap sebelum shalat atau pada kesempatan lain. Dakkatul Qadza, ia adalah tempat yang digunakan Imam Ali as untuk memutuskan perkara hukum masyarakat.
Maqam Nabi Adam as. Tiang ketujuh Masjid Kufah dikenal dengan Maqam Nabi Adam. Di sana dulu Nabi Adam as bertaubat dan Allah Swt menerima taubatnya. Kemudian ada Maqam Malaikat Jibril as. Tiang kelima Masjid Kufah ditetapkan sebagai Maqam Jibril. Pada Malam Mi'raj, saat Nabi Muhammad Saw diberangkatkan oleh Allah dari Masjidil Haram menuju Masjid al-Aqsa, ketika melewati Kufah, Malaikat Jibril as berkata kepada Nabi Saw, “Ya Rasulallah, saat ini engkau ada di depan Masjid Kufah,” atas izin Allah Swt di sana Nabi Saw melakukan dua rakaat salat."
Maqam Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as. Tiang ketiga Masjid Kufah adalah tempat shalat Imam Sajjad. Abu Hamzah al-Tsumali berkata, “Aku melihat Ali bin Husein as memasuki Masjid Kufah dan melakukan shalat dua rakaat lalu berdoa. Saat akan kembali ke Madinah beliau ditanya seseorang, ‘Untuk apa engkau kemari? Imam menjawab, ‘Aku meziarahi ayahku dan shalat di masjid ini.'"
Tempat istimewa lain di Masjid Kufah adalah lokasi terdamparnya kapal Nabi Nuh as. Menurut sejumlah riwayat, bahtera Nabi Nuh as terdampar di Masjid Kufah setelah sekian lama melewati terjangan badai.
Fungsi dan Peran Masjid (9)
Ibadah merupakan salah satu rukun agama, sementara tempat terbaik dan paling mulia untuk berhubungan dengan Allah Swt adalah masjid. Di masjid, manusia dapat lebih mudah untuk membangun kontak dengan Allah dibanding tempat-tempat lain.
Oleh karena itu, masyarakat Muslim memilih beri'tikaf di Masjid dan menyibukkan diri dengan kegiatan ibadah seperti, mengerjakan shalat, berpuasa, membaca al-Quran, dan berdoa.
Spirit seluruh ajaran Islam menyeru kepada perkumpulan dan hidup bersosial, sementara mengasingkan diri dan menjauhkan dari masyarakat tidak ada tempat dalam Islam. Tapi, agama ini juga memperkenalkan i'tikaf sebagai sebuah kesempatan untuk kembali mengenali diri dan Allah Swt sehingga manusia bisa kembali merekatkan hubungan batinnya dengan Sang Pencipta.
I'tikaf adalah sebuah kesempatan untuk memeriksa kembali dan mengevaluasi kondisi jiwa dan batin manusia, dengan fokus pada kapasitas, perilaku, hati, dan pikirannya. Mereka harus merenungkan kembali bagaimana kualitas hubungannya dengan Tuhan. I'tikaf mencakup shalat, puasa, membaca al-Quran, bertaubat, dan beristighfar. Semua jenis ibadah ini memiliki tujuan yang sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Namun setiap jenis ibadah juga memiliki tujuan masing-masing, seperti shalat yang akan mencegah manusia dari perbuatan keji dan munkar, dan puasa akan memperbesar tingkat kesabaran dan mengontrol emosi. I'tikaf sendiri juga memiliki tujuan yang spesifik yaitu melatih pemutusan kontak dari segala hal selain Allah dan memfokuskan diri kepada-Nya.
Pelaku i'tikaf – selama berdiam diri di masjid – memutuskan hubungannya dengan semua perkara duniawi dan seluruh waktunya digunakan untuk ibadah. Ia tidak akan berkelana ke rumah orang lain saat sedang berada di rumah Allah, dan tidak akan menggerakkan lisannya kecuali untuk membaca firman Tuhan dan berdoa.
Pelaku i'tikaf akan menempatkan kehendaknya di jalan kehendak Allah Swt dan di sepanjang hari, ia meninggalkan makan-minum demi ridha-Nya dan menyibukkan diri dengan shalat. Ia benar-benar larut dalam penghambaan Tuhan sehingga ia berkata, "Ya Allah, berilah aku kesempurnaan perpisahan dari makhluk untuk mencapai diri-Mu."
I'tikaf adalah sebuah amalan yang dianggap bagian dari kegiatan ibadah dalam syariat Nabi Ibrahim as, dan para pengikut beliau sudah terbiasa dengan i'tikaf. Nabi Sulaiman as juga melakukan i'tikaf di Baitul Maqdis dan memfokuskan diri untuk ibadah. Nabi Musa as – di tengah tanggung jawab besar dan kesibukannya membimbing umat – meninggalkan masyarakat untuk beberapa waktu demi berkhalwat dengan Allah Swt di Bukit Tursina.
Nabi Zakaria as – sosok yang bertanggung jawab untuk mengurusi masyarakat – juga melakukan i'tikaf di Baitul Maqdis, termasuk merawat Sayidah Maryam as. Rasulullah Saw seperti para kakeknya, mengamalkan syariat Nabi Ibrahim dan salah satu ritual agama Ibrahim adalah i'tikaf. Beliau memilih Gua Hira' sebagai tempat berkhalwat dengan Allah Swt. Setelah diutus menjadi nabi dan hijrah ke Madinah, Rasul melakukan i'tikaf di Masjid Nabawi dan menyibukkan diri dengan ibadah.
Tempo dulu, sekelompok masyarakat Hijaz – yang berpegang pada agama yang lurus – juga melakukan i'tikaf dengan berkhalwat dan meninggalkan keramaian untuk beberapa waktu. Mereka menyibukkan diri dengan ibadah dan memikirkan keagungan ciptaan Tuhan dan terus berjuang mencari kebenaran.
Dalam ajaran Islam, i'tikaf adalah menetap di sebuah tempat yang suci untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. I'tikaf merupakan sebuah kesempatan emas sehingga manusia menemukan jati dirinya setelah tenggelam dalam kemegahan dunia. Para pelaku i'tikaf akan melepaskan dirinya dari belenggu materi untuk meraih rahmat, ampunan, dan kasih sayang Tuhan.
Pada akhir bulan Ramadhan, masyarakat muslim secara serentak melakukan i'tikaf dan mereka memilih tempat-tempat istimewa sebagai lokasi untuk berkhalwat seperti, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Kufah.
Pada bagian ini, kita akan berkenalan dengan Masjid Agung Kufah, Irak yang sangat populer di tengah kaum muslim. Masjid Kufah adalah sebuah masjid besar di Dunia Islam. Bagi kaum muslim Syiah, masjid ini merupakan masjid penting keempat setelah Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid al-Aqsa. Menurut beberapa riwayat, orang pertama yang mendirikan Masjid Kufah adalah Nabi Adam as dan kemudian direkonstruksi oleh Nabi Nuh as setelah badai.
Pada tahun 17 Hijriyah, pasukan Islam menduduki Madain. Saat itu kondisi air dan udara di sana sangat buruk hingga membuat tidak nyaman para tentara. Melihat kondisi tersebut, Hudzaifah melaporkannya kepada khalifah lewat sepucuk surat. Khalifah kemudian memerintahkan Sa'ad bin Abi Waqash supaya mengutus Salman dan Hudzaifah untuk mencari daerah baru yang lebih layak. Salman menelusuri daerah sebelah barat Sungai Furat sedangkan Hudzaifah sebelah timurnya. Setelah lama tidak menemukan daerah yang bagus, akhirnya mereka sampai di Kufah. Mereka sepakat bahwa Kufah adalah daerah yang tepat untuk dijadikan pangkalan militer. Mereka lalu salat dua rakaat dan berdoa pada Allah Swt agar menjadikan daerah tersebut sebagai tempat yang tenang dan kokoh.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Ali as berkata kepada masyarakat Kufah, "Allah telah memberikan sesuatu kepada kalian di mana tidak diberikan kepada siapapun, Dia menganugerahkan kedudukan khusus untuk tempat ini (Masjid Kufah). Masjid ini adalah rumah Adam as, tempat Nuh, tempat tinggal Idris, tempat ibadah Ibrahim dan saudara saya, Khidr, dan salah satu dari empat masjid yang dipilih oleh Allah untuk umat-Nya. Akan datang suatu masa di mana masjid ini akan menjadi tempat shalat Imam Mahdi dan setiap orang mukmin."
Sejak awal pembangunannya, Masjid Kufah menjadi salah satu pusat penting politik dan budaya kota Kufah. Sepanjang sejarah, Masjid Kufah telah didatangi para nabi dan imam maksum di antaranya Imam Ali as, Imam Hasan, Imam Husein dan sebagian imam lainnya.
Pada tahun 36 Hijriyah, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as datang ke Masjid Kufah dan beliau berkali-kali shalat dan menyampaikan ceramah di tempat mulia itu. Imam Ali as juga menggunakannya sebagai pengadilan dan pusat pemerintahan, dan pada akhirnya beliau menjemput kesyahidannya di mihrab masjid tersebut.
Begitu menetap di Kufah, Imam Ali as mengajarkan tafsir al-Quran dan ilmu-ilmu lainnya. Di sana beliau memiliki banyak murid di antaranya adalah Kumail bin Ziyad dan Ibnu Abbas. Mihrab Imam Ali as di Masjid Kufah menjadi salah satu tempat istimewa bagi kaum muslim khususnya para pecinta Ahlul Bait. Mihrab itu menjadi tempat Imam Ali mendirikan shalat dan bermunajat kepada Allah Swt.
Masjid Kufah memiliki banyak Maqam (kedudukan/tempat yang digunakan untuk beribadah) dan tempat-tempat penting yang populer di masyarakat antara lain; Rahbah Amirul Mukminin, ini adalah tempat yang dulu digunakan Imam Ali as untuk menjawab pertanyaan umat tiap sebelum shalat atau pada kesempatan lain. Dakkatul Qadza, ia adalah tempat yang digunakan Imam Ali as untuk memutuskan perkara hukum masyarakat.
Maqam Nabi Adam as. Tiang ketujuh Masjid Kufah dikenal dengan Maqam Nabi Adam. Di sana dulu Nabi Adam as bertaubat dan Allah Swt menerima taubatnya. Kemudian ada Maqam Malaikat Jibril as. Tiang kelima Masjid Kufah ditetapkan sebagai Maqam Jibril. Pada Malam Mi'raj, saat Nabi Muhammad Saw diberangkatkan oleh Allah dari Masjidil Haram menuju Masjid al-Aqsa, ketika melewati Kufah, Malaikat Jibril as berkata kepada Nabi Saw, “Ya Rasulallah, saat ini engkau ada di depan Masjid Kufah,” atas izin Allah Swt di sana Nabi Saw melakukan dua rakaat salat."
Maqam Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as. Tiang ketiga Masjid Kufah adalah tempat shalat Imam Sajjad. Abu Hamzah al-Tsumali berkata, “Aku melihat Ali bin Husein as memasuki Masjid Kufah dan melakukan shalat dua rakaat lalu berdoa. Saat akan kembali ke Madinah beliau ditanya seseorang, ‘Untuk apa engkau kemari? Imam menjawab, ‘Aku meziarahi ayahku dan shalat di masjid ini.'"
Tempat istimewa lain di Masjid Kufah adalah lokasi terdamparnya kapal Nabi Nuh as. Menurut sejumlah riwayat, bahtera Nabi Nuh as terdampar di Masjid Kufah setelah sekian lama melewati terjangan badai.
Fungsi dan Peran Masjid (8)
Salah satu rukun dasar agama-agama samawi khususnya Islam adalah ibadah dan salah satu bagian penting ibadah tidak lain kecuali berdoa dan bermunajat kepada Allah Swt serta bercengkrama dengan-Nya. Aspek penting dalam munajat ini adalah kekhusyukan hati dan kehadiran jiwa yang sepenuhnya fokus kepada Allah Swt.
Tentu tidak mudah untuk bisa khusyu' dan membutuhkan banyak syarat dan faktor untuk mencapai kondisi itu; salah satunya adalah tempat ibadah dan tentu tidak ada tempat yang lebih baik dari masjid.
Oleh sebab itu, setiap kali al-Quran berbicara tentang masjid, maka ia akan menekankan aspek-aspek ibadah sebagai fungsi utama bangunan suci itu. Dalam surat al-'Araf ayat 29, Allah Swt berfirman, "Katakanlah: 'Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan.' Dan (katakanlah): 'Luruskanlah wajah (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya…'"
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa masjid adalah poros penghambaan secara tulus dan simbol penghambaan ini adalah mendirikan shalat. Para pemuka agama juga sangat menekankan fungsi masjid sebagai tempat ibadah. Hukum dan adab yang terkait masjid bertujuan untuk menghadirkan dan memelihara kekhusyukan dalam beribadah kepada Allah di tempat suci tersebut. Jadi, Islam menganggap setiap tindakan yang menghalangi masjid memainkan fungsi utamanya sebagai perbuatan tercela.
Salah satu hukum dan adab masjid adalah menunaikan shalat tahiyatul masjid yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan rumah Allah. Setelah memasuki masjid dan sebelum duduk, individu Muslim akan mengerjakan dua rakaat shalat tahiyatul masjid. Dalam hal ini, kebanyakan fuqaha berkata bahwa maksud dari shalat tahiyat adalah untuk menghindari pelecehan masjid akibat langsung duduk tanpa mengerjakan shalat." Jadi, dapat disimpulkan bahwa duduk di masjid dan menyibukkan diri dengan perkara duniawi adalah perbuatan tercela.
Hal utama yang perlu dilakukan setelah memasuki masjid dan sebelum duduk adalah mengerjakan shalat; apakah itu shalat wajib atau shalat sunnah. Namun, alangkah utamanya jika kita memulai dengan shalat tahiyatul masjid dan kemudian baru menyibukkan diri dengan ibadah-ibadah lain. Abu Dzar al-Ghifari berkata, "Suatu hari aku bertemu Rasulullah di masjid dan beliau bersabda, 'Wahai Abu Dzar! Masjid memiliki salam dan tahiyat yang khusus untuknya.' Aku lalu bertanya, 'Apa itu tahiyat masjid?' Beliau bersabda, 'Menunaikan shalat dua rakaat.'"
Sebenarnya, shalat tahiyatul masjid merupakan salam seorang mukmin kepada masjid, dan ia dianggap sebagai puncak penghormatan dan pemuliaan rumah Allah Swt. Dengan perbuatan ini, orang yang shalat seakan ingin menunjukkan bahwa masjid adalah makhluk yang memiliki akal dan perasaan dan tidak seperti tempat-tempat lain, di mana manusia bisa berlalu-lalang sesuka hati.
Masjid Al Aqsa.
Bagian-bagian Penting Masjid al-Aqsa.
Pada bagian ini, kita akan kembali berkenalan dengan Masjid al-Aqsa sebagai tempat suci ketiga umat Islam. Masjid al-Aqsa terletak di sebuah bukit kecil di sudut tenggara kota tua al-Quds, dengan pagar dinding berbentuk poligon yang tidak teratur. Di bagian selatan bukit, terdapat sebuah masjid dengan kubah agak kehijau-hijauan yang populer sekarang sebagai Masjid al-Aqsa. Seperti yang kami katakan, tempat itu meskipun populer dengan sebutan Masjid al-Aqsa, namun ia sama sekali bukan keseluruhan Masjid al-Aqsa, ia hanya sebagian dari Masjid al-Aqsa yang dianggap suci dalam Islam.
Salah satu bangunan suci lain yang terletak di komplek Masjid al-Aqsa adalah Masjid Kubah Shakhrah (Kubah Batu). Kubah Shakhrah adalah sebuah bangunan persegi delapan (oktagonal) berkubah emas yang terletak persis di sebelah kiri Masjid al-Aqsa dan termasuk bangunan tertinggi di komplek tersebut. Masjid ini disebut dengan Kubah Shakhrah karena keberadaan batu yang diyakini sebagai tempat pijakan Nabi Muhammad Saw saat melakukan mi'raj.
Di bawah batu tersebut terdapat sebuah lubang berbentuk gua batu yang bisa dipakai untuk mendirikan shalat dan oleh sebab itu, ia disebut Masjid Shakhrah. Ada 12 tiang yang berfungsi sebagai penopang kubah emas. Kubah tersebut memiliki tinggi hampir 35 meter dengan diameter 20 meter. Kubah ini berdiri di atas batu yang diyakini menjadi tempat Rasulullah berdiri sebelum peristiwa Isra Mi'raj. Di bagian dalam kubah dihiasi ayat-ayat al-Quran. Adapun di bagian luar kubah dilapisi logam khusus yang memancarkan warna kuning keemasan.
Masjid Kubah Shakhrah merupakan salah satu dari peninggalan warisan arsitektur Islam yang bernilai seni tinggi. Masjid Kubah Shakhrah memiliki empat pintu masuk. Pada umumnya pintu barat merupakan pintu masuk dan keluarnya jamaah shalat dan di bagian selatan terdapat Babul Mekkah.
Di sebelah timur Kubah Shakhrah berdiri sebuah bangunan yang disebut Kubah Silsilah atau Kubah Rantai. Sebelumnya terdapat sebuah batu besar di tempat tersebut yang diyakini sebagai singgasana Nabi Daud as untuk menemui masyarakat dan menangani berbagai permasalahan mereka serta menjelaskan hukum-hukum syariat. Kebiasaan Nabi Daud ini digambarkan dengan jelas dalam surat Sad ayat 26.
Kubah Mi'raj adalah sebuah kubah mandiri yang dibangun di sebelah utara Kubah Shakhrah. Kubah ini didirikan sebagai monumen untuk mengenang perjalanan Rasulullah Saw menuju langit. Tempat ini diyakini sebagai titik di mana Nabi Muhammad Saw naik ke langit (mi'raj).
Bagian lain yang terdapat dalam komplek Masjid al-Aqsa adalah Tembok Buraq. Tembok ini disebut Tembok Buraq karena diyakini sebagai tempat untuk mengikat Buraq pada malam mi'raj. Oleh karena itu, kaum Muslim membangun sebuah masjid dengan nama Masjid al-Buraq di tempat tersebut. Namun, warga Yahudi mengklaim bahwa Tembok Buraq merupakan bagian dari sisa-sisa Kuil Sulaiman. Warga Yahudi belum memberikan bukti apapun untuk membuktikan klaimnya itu.
Warga Yahudi menggunakan Tembok Buraq sebagai tempat untuk meratapi dan menyesali pembangkangan kaum Yahudi terhadap perintah Nabi Musa as di masa lalu. Mereka menamainya dengan "Tembok Ratapan" atau "Dinding Nudbah."
Pada tahun 1922 hingga 1948, kaum Yahudi mengklaim memiliki tempat tersebut di era imperialisme Inggris. Dengan alasan itulah mereka menduduki Palestina. Klaim ini membangkitkan kemarahan rakyat Palestina dan pecahlah Kebangkitan Buraq pada tahun 1929. Dalam kebangkitan itu, 116 warga Muslim gugur syahid dan sekitar 232 lainnya terluka dan lebih dari 1000 warga Palestina ditangkap.
Pembantaian terhadap rakyat Palestina telah mendorong lahirnya sebuah komite internasional investigasi independen. Di akhir misinya pada Januari 1930, komite tersebut mengumumkan Tembok Buraq sebagai milik kaum Muslim. Namun, rezim Zionis tetap mengklaim bahwa Masjid al-Aqsa telah dibangun di atas reruntuhan Kuil Sulaiman dan terus melakukan konspirasi untuk menghancurkan kiblat pertama kaum Muslim dan membangun kembali Kuil Sulaiman.
Fungsi dan Peran Masjid (7)
Ibadah dan penghambaan memiliki kedudukan yang tinggi di semua agama samawi dan atas dasar ini, tempat-tempat ibadah juga punya keistimewaan yang besar.
Dalam Islam, masjid adalah rumah Allah Swt serta pusat untuk kegiatan ibadah dan berdoa. Tetapi hal yang penting adalah bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang menetapkan ajarannya pada basis sosial kemasyarakatan, dan hukum dan aturan-aturannya dijabarkan dalam konteks sosial ini.
Prinsip shalat – sebagai tiang agama – juga dibangun atas landasan berjamaah. Namun tidak ada larangan jika seseorang ingin mendirikannya sendirian. Oleh karena itu, Rasulullah Saw bersama Imam Ali dan Sayidah Khadijad ra – sebagai Muslim pertama – melakukan shalat secara berjamaah. Pada suatu hari, Afif al-Kindi datang ke Makkah dan melihat sebuah pemandangan unik ketika warga lain asyik menyembah berhala di sekitar Ka'bah. Tiga orang berdiri menghadap ke arah Masjid al-Aqsa untuk beribadah.
Afif al-Kindi kemudian bertanya kepada Abbas Ibn Abdul Muthallib, “Wahai Abbas, siapa mereka dan apa yang sedang mereka lakukan?" Abbas menjawab, "Sosok yang berdiri di depan adalah Muhammad, keponakanku, sementara anak laki-laki yang berdiri di samping kanannya adalah Ali, keponakanku yang lain, dan wanita yang ikut shalat bersama mereka adalah Khadijah, istri dari Muhammad. Di kolong bumi ini, hanya ada tiga orang yang mengamalkan ajaran itu."
Salah satu fungsi masjid adalah untuk pelaksanaan shalat berjamaah dan shalat Jumat. Shalat berjamaah dilakukan dengan irama keteraturan dan mengikuti gerakan imam. Kaum Muslim berdiri dalam barisan yang rapi dan bahu mereka saling bersentuhan. Seakan mereka ingin berkata bahwa kami sedang berada dalam satu gerbong untuk menuju penghambaan Allah Swt.
Kaum Muslim bersama-sama mengangkat tangan di hadapan Allah Swt dan melakukan ruku' dan sujud di hadapan-Nya. Hati mereka menyatu untuk tujuan yang sama dan mereka semakin sadar bahwa kita semua bersaudara. Barisan shalat berjamaah tidak mengenal antara kaya dan miskin, semua orang berdiri sejajar dan hanya kadar ketakwaan yang membedakan mereka. Dalam kondisi ini, solidaritas, persaudaraan, dan semangat gotong royong kian menguat di antara mereka.
Memakmurkan masjid dan mendirikan shalat berjamaah memiliki keutamaan yang besar dan Allah Swt berjanji, "Jika jumlah peserta yang shalat berjamaah lebih dari 10 orang, dan seandainya laut menjadi tinta dan pohon-pohon di bumi menjadi pena, sementara jin, manusia, dan malaikat menjadi juru tulis, maka mereka tidak akan mampu menulis pahala satu raka'at darinya." Ketika orang buta mendatangi Rasulullah Saw untuk meminta keringanan agar bisa absen shalat berjamaah di masjid, beliau bersabda, "Bentangkanlah seutas tali antara rumahmu dan masjid dan dengan itu, berangkatlah untuk shalat berjamaah."
Ada banyak ayat al-Quran yang berbicara tentang keistimewaan shalat berjamaah. Shalat berjamaah bahkan tidak akan gugur sekali pun kaum Muslim sedang berperang dengan musuh. Dalam surat An-Nisa ayat 101, Allah Swt berfirman, "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu."
Pada ayat 102 surat An-Nisa, Allah berfirman, "Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata."
Ayat tersebut menjelaskan tentang tata cara shalat khauf kepada Rasulullah Saw dan para sahabat, dan tidak mentolerir mereka untuk meninggalkan shalat berjamaah, tapi memberikan solusi bagi kaum Muslim untuk tetap shalat berjamaah.
Sejarah Singkat Masjid al-Aqsa
Pada segmen ini, kita akan berkenalan dengan Masjid al-Aqsa sebagai tempat suci ketiga umat Islam. Pada suatu hari, Abu Dzar Al-Ghifari bertanya kepada Nabi Muhammad Saw, "Wahai Rasulullah, masjid apakah yang pertama kali dibangun di muka bumi?" Rasul menjawab, "Masjidil Haram." Kemudian aku kembali bertanya, lalu masjid yang mana lagi wahai Rasulullah? Beliau menjawab, "Masjid al-Aqsa."
Menurut sejumlah riwayat, Nabi Adam as membangun pondasi Masjid al-Aqsa 40 tahun setelah pembangunan Baitullah Al-Haram. Hampir 2000 tahun Sebelum Masehi, Nabi Ibrahim as dan kemudian putra-putranya Ya'qub dan Ishak as, merenovasi bangunan tersebut. Bertahun-tahun kemudian, Nabi Sulaiman as kembali merenovasi Masjid al-Aqsa.
Pada tahun 636 Masehi, Khalifah Umar Ibn Khattab – setelah penaklukan Quds – datang ke wilayah itu dan mendirikan shalat di sebuah tempat di Kompleks al-Haram al-Sharif dan disitu kemudian dibangun sebuah masjid yang dikenal dengan Jami’ al-Qibli sebagai inti dari Masjid al-Aqsha. Pada era Dinasti Umayyah, bangunan Qubbatu Shakhrakh (Dome of The Rock) dibangun dan Jami' al-Qibli juga direnovasi.
Oleh karena itu, Masjid al-Aqsa adalah masjid kedua yang dibangun di muka bumi setelah Masjidil Haram di Makkah, sebagai salah satu tempat yang paling suci milik umat Islam. Masjid al-Aqsa juga pernah menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum akhirnya datang perintah untuk mengubah arah kiblat ke Baitullah (Ka'bah) di Makkah. Alasan lain kesucian Masjid al-Aqsa karena ia pernah disinggahi oleh Rasulullah Saw dalam perjalanan Isra dan Mi'raj.
Allah Swt dalam firmannya menceritakan peristiwa Isra dan Mi'raj pada ayat pertama surat Al-Isra, "Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Nama Masjid al-Aqsa berasal dari keterangan dalam al-Quran pada surah Al-Isra' ayat pertama. Kata Qusa berarti jauh dan Aqsa bermakna yang paling jauh. Ini karena masjid tersebut terletak sangat jauh dari kota Makkah dan Masjid al-Haram. Mi'raj Nabi Muhammad Saw dimulai dari Masjid al-Aqsa dan mengandung sebuah poin penting yaitu tujuan Mi'raj adalah untuk memperoleh makrifat dan perkembangan spiritual, dan masjid dapat menjadi landasan terbaik untuk perjalanan spiritual seorang mukmin.
Proses pembangunan dan perbaikan yang dilakukan di komplek Masjid al-Aqsa al-Mubarak berlangsung selama 30 tahun, mulai dari tahun 685 sampai 715 Masehi. Perbaikan itu membentuk bangunan komplek Masjid al-Aqsa al-Mubarak seperti yang kita lihat saat ini. Komplek bangunan itu mencakup; al-Jami’ al-Qibli (memiliki kubah berwarna kehitaman atau perunggu) berada di titik paling ujung bagian selatan al-Aqsa al-Mubarak dari arah kiblat.
Qubbatu Shakhrakh (kubah warna emas) berada di tengah-tengah komplek Masjid al-Aqsa al-Mubarak, dan Mushalla al-Marwani yang terletak di sebelah tenggara al-Aqsa al-Mubarak, serta Masjid al-Buraq, dan ada sekitar 2000 situs tempat suci lainnya, yang mencakup masjid, bangunan, kubah, menara, dan gerbang.
Mengenai kedudukan Masjid al-Aqsa, Rasulullah Saw bersabda, "Jika seseorang mendirikan shalat di rumahnya, ia hanya memperoleh satu pahala shalat. Jika di masjid, ia akan menerima pahala 25 shalat dan jika di masjid jami', ia akan diganjar dengan pahala 500 shalat. Namun, jika ia mendirikan shalat di Masjid al-Aqsa al-Mubarak, ia akan memperoleh pahala 50 ribu shalat."
Di hadis lain, Rasulullah bersabda, "Janganlah memaksakan perjalanan kecuali dengan tujuan tiga masjid ini; Masjidil Haram, Masjidku (Masjid Nabawi), dan Masjid al-Aqsa."
Fungsi dan Peran Masjid (6)
Membangun masjid adalah bagian dari keteladanan praktis Rasulullah Saw. Budaya tradisi memakmurkan masjid kembali pada seruan al-Quran di mana dalam surat an-Nur ayat 36 disebutkan, "Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang."
Masjid adalah rumah Allah Swt dan orang-orang yang rajin mengunjungi tempat suci ini, mereka akan memperoleh rahmat khusus dari-Nya.
Allah Swt akan mencurahkan kebaikan dan berkah kepada masyarakat karena kemuliaan masjid dan ahli masjid. Seperti sabda Rasulullah Saw ini, "Barang siapa yang mendatangi masjid, ia adalah tamu Allah dan Dia akan menjamu tamunya dengan anugerah spiritual dan meterial." Masyarakat Muslim pada awal permulaan Islam memperlihatkan minat yang luar biasa dalam pembangunan masjid. Minat yang besar ini terilhami dari keteladanan perilaku Rasulullah Saw.
Sejak awal hijrah ke Madinah, Rasul Saw membangun Masjid Quba dan Masjid Nabawi dengan tangannya sendiri. Setelah itu beliau juga mendirikan masjid lain di kampung-kampung para kabilah. Sosok mulia ini mendatangi tempat tinggal mereka untuk membangun masjid dan menentukan arah kiblat. Acara peresmian masjid biasanya diisi dengan mendirikan shalat berjamaah yang dipimpin oleh Rasulullah Saw.
Rasul Saw selalu memilih tempat tertentu untuk mendirikan shalat kemana saja beliau pergi. Dengan keteladanan ini, beliau ingin menggalakkan budaya pembangunan masjid. Tapi, jangan mengira bahwa masjid-masjid yang dibangun oleh Rasulullah Saw adalah sebuah bangunan yang megah dan mewah. Beliau mendirikan pusat kegiatan umat Islam ini dengan sangat sederhana dan memakai material bangunan biasa seperti, batu, pohon kurman, dan tanah liat.
Jabir bin Usamah berkata, "Suatu hari aku menyaksikan Rasul Saw bersama sekelompok sahabat di pasar Madinah. Kemudian aku bertanya kepada salah seorang dari mereka, 'Dari mana kalian datang?' Ia menjawab, 'Kami baru saja kembali dari kampungmu. Rasul Saw pergi ke sana untuk membangun sebuah masjid dan menentukan arah kiblat.' Ketika aku kembali ke kampungku, aku menyaksikan masjid itu dengan sebatang kayu sebagai petunjuk arah kiblat." (Asadul Ghabah fi Makrifati Shahabah)
Rasul Saw telah membangun banyak masjid dengan tangannya sendiri atau menentukan lokasi pembangunan dan menentukan arah kiblatnya dan mendirikan shalat di sana. Oleh karena itu, masjid adalah manifestasi dan identitas utama Islam dan kaum Muslim. Semua kegiatan Rasulullah Saw ini sejalan dengan misi Islam untuk memupuk persatuan dan kesolidan kaum Muslim.
Ketika Rasulullah Saw mengetahui ada sekelompok orang munafik yang membangun masjid untuk tujuan memecah belah kaum Muslim, beliau memerintahkan untuk menghancurkan dan membakar bangunan itu. Menurut al-Quran, masjid ini dibangun dengan tujuan untuk memecah belah kaum Muslim dan sebuah basis untuk memerangi Nabi Saw. Al-Quran menyebut bangunan itu sebagai masjid dhirar karena membawa kemudharatan dan kerugian bagi kaum Muslim.
Mengenai motivasi pembangunan masjid tersebut, Allah Swt dalam surat at-Taubah ayat 107 berfirman, "Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka Sesungguhnya bersumpah, 'Kami tidak menghendaki selain kebaikan.' Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya)."
Sekelompok orang yang berpura-pura Islam ingin mendirikan sebuah basis untuk memerangi agama Islam dan berniat merusak Islam dari dalam. Namun tindakan berani Rasulullah Saw dalam menghancurkan masjid dhirar, menunjukkan bahwa simbol-simbol kebatilan harus dihancurkan meskipun ia tampak suci dan sakral secara lahiriyah.
Sejarah Masjid Nabawi
Pada awal pembangunan, Masjid Nabawi benar-benar sangat sederhana dan jauh dari segala kemewahan. Dinding-dingingnya terbuat dari batu dan tanah liat, sementara atapnya ditopang oleh pohon-pohon kurma. Ada delapan pilar yang sangat populer di antara tiang-tiang lain, karena ia memiliki nilai historis dan keutamaan sejak periode Rasulullah Saw. Saat ini pilar-pilar tersebut dicat warna putih sebagai pembeda dari pilar-pilar baru yang dibangun untuk pemugaran masjid.
Salah satu pilar yang terkenal dan memiliki keutamaan adalah Pilar Taubat atau pilar Abu Lubabah. Karena pengkhianatannya terhadap Rasulullah Saw dalam peristiwa Bani Quraidhah, akhirnya Abu Lubabah Abu bin Abdul Mundzir mengikat dirinya di tiang Masjid Nabawi sampai akhirnya turunlah surat al-Anfal ayat 28 dan Allah Swt menerima taubatnya.
Pada tahun kelima hijriah, kaum musyrik menyerang kota Madinah dan mendapati parit yang digali oleh umat Islam untuk melindungi kota. Mereka kemudian berniat membangun persekutuan dengan Yahudi Bani Quraidhah, yang tinggal di bagian selatan kota tersebut dan membujuk mereka untuk membuka gerbang kota. Yahudi Bani Quraidhah terikat perjanjian dengan Rasulullah Saw, tapi tetap bersekutu dengan kaum musyrik dan ingkar janji.
Setelah perang usai, Rasulullah Saw mendatangi Bani Quraidhah dan mengepung mereka. Abu Lubabah bin Mundzir kemudian diutus untuk berbicara dengan kaum Yahudi tersebut. Ia memiliki hubungan persahabatan dengan Bani Quraidhah dan bersimpati dengan mereka serta memerintahkan mereka untuk membangkang. Menurut Abu Lubabah, ketika itu menyadari kesalahannya dan kakinya tidak beranjak dari tempatnya karena merasa berdosa.
Untuk membebaskan dirinya dari beban dosa, Abu Lubabah langsung lari ke Masjid Nabawi tanpa terlebih daluhu memberi laporan kepada Rasulullah Saw. Ia mengikat dirinya di salah satu pilar masjid dan bertahan di sana sampai Allah Swt mengampuninya. Ketika ada orang yang menyampaikan berita tentang pengampunan dirinya, Abu Lubabah berkata, "Tidak. Aku tidak akan membuka ikatanku sebelum Rasulullah datang membukanya."
Sejak masa itu, Pilar Abu Lubabah mulai dikenal dengan tiang taubat. Ada beberapa riwayat yang menyebutkan tentang keutamaan mendirikan shalat dan beribadah di samping pilar tersebut. Saat ini Pilar Taubah termasuk pilar kedua dari arah kamar dan pusara suci Rasulullah Saw.
Pilar al-Mukhalqah sebagai tempat shalat Nabi Saw dan pilar yang paling dekat dengan mihrab beliau. Makna dari al-Mukhalqah adalah al-Muthayyabah yang diberi minyak wangi. Dari kata al-khaluq yang artinya parfum. Jabir bin Abdullah ra berkata, “Nabi Saw bersandar pada sebatang pohon kurma (yang awalnya terletak pada tempat di mana tiang ini berada) ketika melakukan khutbah Jumat, kaum Ansar dengan hormat menawarkan sebuah mimbar, jika beliau menyetujuinya."
Kemudian ada Pilar Aisyah yang terletak di tengah tiang-tiang utama Masjid Nabawi. Pilar ini juga disebut Pilar al-Qur’ah atau tiang undian. Tiang ini juga disebut dengan tiang Muhajirin. Karena orang-orang Muhajirin sering duduk di dekatnya. Rasulullah Saw bersabda, “Ada tempat yang sangat penting di dalam Masjid Nabawi yang mulia, jika seorang mengetahuinya, mereka akan mengadakan undian untuk mendapatkan kesempatan agar bisa shalat di sana."
Pilar Tahajud, di mana Rasulullah Saw selalu berdiri di samping pilar tersebut untuk melaksanakan shalat malam atau tahajud dan pada abad-abad berikutnya, dibangunlah sebuah mihrab di sana untuk mengenang dan menghormati Nabi Saw, yang populer dengan Mihrab Tahajud. Pilar ini terletak di belakang rumah Sayidah Fatimah as.
Pilar Murabba’ah al-Qabr yang bermakna segi empat di dekat makam, karena pilar ini terletak di barat laut kamar Rasulullah Saw. Ia juga dikenal dengan Pintu Jibril dan sebagai akses untuk menuju ke rumah Ali as dan Fatimah as. Mengenai keutamaan pilar tersebut, Abi al-Hamra' berkata, "Aku menyaksikan Rasulullah mendatangi pintu rumah Ali, Fatimah, Hasan dan Husein selama 40 hari dan bersabda, 'Salam atas kalian Ahlul Bait' dan membacakan surat al-Ahzab ayat 33, 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.'"
Pilar Sarir yang menempel dengan jendela kamar Nabi Saw dari arah selatan. Disebut Pilar Sarir karena beliau melakukan ibadah di samping tiang tersebut pada hari-hari i'tikaf seperti sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan beliau juga menggunakan tempat itu sebagai alas tidur.
Pilar lain di Masjid Nabawi adalah Pilar al-Mahras atau al-Hars atau dikenal juga dengan Pilar Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Dikatakan bahwa pada awal kehadiran Rasulullah Saw di Madinah, karena dikhawatirkan ada yang hendak mencederai beliau, Imam Ali as duduk di samping pilar tersebut untuk mengawal Rasulullah Saw. Imam Ali as juga sering mendirikan shalat di samping pilar tersebut.
Dan terakhir adalah Pilar Wufud; sebuah tiang yang menempel dengan jendela kamar Nabi Saw. Wufud artinya ‘tamu utusan’ karena dulu Nabi Saw duduk di dekat pilar itu ketika menerima utusan dari kabilah-kabilah Arab yang datang menemuinya.
Posisi Undang-Undang dalam Al-Quran dan Sunnah (3)
Tak syak, satu dari faktor penting keberhasilan Nabi Saw dalam menyebarkan budaya dan peradaban Islam adalah sikap beliau yang taat kepada hukum. Nabi Muhammad Saw sangat perhatian terkait pelaksanaan hukum-hukum ilahi.
Ketika orang-orang berlaku buruk kepada pribadinya, yang dilakukan adalah memaafkan mereka, tapi ketika ada yang melanggar hukum-hukum ilahi, Nabi Saw tidak akan memaafkannya. Karena hukum adalah pelindung keamanan dan penopang eksistensi masyarakat. Nabi Saw sangat serius dalam menjaga pelaksanaan hukum dan tidak akan mengorbankan masyarakat demi seseorang.
Ayatullah Jakfar Sobhani, marji besar Iran terkait sikap para pemimpin agama menulis, "Pribadi-pribadi langit pasti melaksanakan undang-undang ilahi dengan berani dan tidak mengikutkan perasaan, hubungan keluarga serta kepentingan materi. Nabi Muhammad Saw merupakan pelopor dalam pelaksanaan hukum-hukum Islam." Nabi Saw sebagai pemimpin yang taat undang-undang secara nyata membuktikan bahwa untuk menciptakan masyarakat yang displin, maka itu harus dimulai dari pemimpinnya yang taat kepada hukum.
Sebagaimana telah diketahui bahwa Nabi Muhammad Saw diutus oleh Allah Saw untuk membentuk pemerintah, sementara dalam proses pembentukan pemerintah yang paling penting adalah jaminan pelaksanaan hukum-hukum ilahi. Pemerintahan agama dan ilahi akan memberikan kesucian bagi kehidupan manusia di seluruh dimensinya lewat pelaksanaan hukum-hukum ilahi.
Dari sini, pemerintahan islam pada dasarnya adalah pemerintahan hukum ilahi atas manusia. Yakni, pemerintahan Islam sendiri bukan prinsip, tapi sarana yang tujuannya adalah melaksanakan hukum-hukum ilahi. Penerapan undang-undang yang baik bakal menciptakan keadilan, kesejahteraan, keteraturan, pertumbuhan dan kemajuan di tengah masyarakat. Oleh karenanya, pemerintah berkewajiban untuk melaksanakan hukum tanpa pilih kasih.
Nabi Muhammad Saw berusaha keras untuk mengikis kebiasaan Jahiliah, merasa superior di banding yang lain dan jurang sosial di antara warga Arab yang muslim. Untuk itu sudah banyak langkah yang ditempuh oleh beliau, sehingga jelas bagi semua bahwa antara orang miskin dan budak tidak ada bedanya dari sisi kemanusiaan dengan orang-orang kaya dan tokoh. Rasulullah Saw dalam menjalankan undang-undang hanya memperhatikan kebenaran dan tidak pernah pilih kasih.
Beliau menilai upaya mempertahankan undang-undang sebagai faktor yang menjaga keselamatan rakyat dan pemerintah. Sebaliknya, melawan hukum bakal menjerumuskan masyarakat kepada kehancuran. Itulah mengapa beliau dengan tegas melarang adanya diskriminasi dalam pelaksanaan undang-undang. Beliau bersabda, "Bani Israil binasa dikarenakan satu sebab dimana mereka menjalankan hukum hanya untuk orang kecil, sementara mereka tidak menerapkannya kepada para tokoh dan orang-orang berpengaruh."
Nabi Muhammad Saw tidak pernah mengizinkan seseorang menilai dirinya lebih tinggi dari undang-undang. Dengan dasar ini, Nabi Saw selama masa risalahnya mencegah setiap bentuk penyalahgunaan dari orang-orang terdekatnya. Beliau tidak pernah memberikan kesempatan kepada mereka dengan alasan kekeluargaan atau kedekatan dengannya untuk mendapatkan perlakuan istimewa di tengah-tengah masyarakat.
Diriwayatkan dari Imam Shadiq as bahwa ketika diturunkan ayat zakat, beberapa orang dari Bani Hasyim mendatangi Nabi Saw dan memohon agar mereka diberi tanggung jawab mengumpulkan zakat dengan alasan kedekatan keluarga. Karena mereka tahu bahwa orang yang membagikan zakat termasuk orang-orang yang mendapat bagian zakat. Nabi Saw bersabda, "Sedekah dan Zakat diharamkan kepada saya dan Bani Hasyim." Setelah itu beliau menambahkan, "Apakah kalian berpikir bahwa saya dan kalian lebih baik dari yang lain?"
Sepanjang masa risalahnya, Nabi Muhammad Saw senantiasa menjadikan keadilan sebagai pedoman segala aktivitasnya. Imam Ali as dalam menjelaskan sirah Nabi Saw berkata, "Jalan dan perilaku beliau seimbang, metodenya benar dan kokoh, ucapannya mencerahkan kebenaran dari kebatilan dan hukum yang dikeluarkannya bersifat adil."
Satu dari simbol persamaan dalam sirah Nabi Muhammad Saw adalah kesamaan khumus, zakat dan sedekah yang harus dikeluarkan oleh umat Islam. Model pajak yang diambil dari semua pemasukan dan kekayaan setiap muslim yang lebih dari ketentuan yang ada dan tidak ada yang mendapat keistimewaan dalam hal ini. Sebagian besar pemasukan dari pajak ini dialokasikan untuk orang-orang yang tidak mampu dan miskin. Dengan demikian, kekuasaan dan kekayaan tidak bertumpuk pada sekelompok orang saja, sekaligus mencegah kemiskinan dan menjadi sarana bagi keadilan sosial.
Satu lagi dari kelaziman persamaan dalam sebuah masyarakat adalah tersedianya fasilitas yang sama bagi semua masyarakat untuk tumbuh dan menyempurna. Salah satu contoh pentingnya adalah fasilitas pendidikan. Yakni, dalam sebuah masyarakat, setiap orang tanpa memandang kelompok masyarakat tertentu, hanya dapat melanjutkan pendidikannya berdasarkan kelayakan dan potensi yang dimilikinya. Dengan usaha keras seseorang dapat melewati pelbagai tahapan kesempurnaan dan kelayakan.
Sekaitan dengan hal ini, Rasulullah Saw bersabda, "Menuntut ilmu bagi setiap muslim adalah wajib." Dari hadis ini dapat dipahami bahwa diskriminasi dalam pendidikan dan upaya mendapatkan pendidikan yang layak serta fasilitasnya tidak memiliki tempat dalam sirah Nabi Saw. Gerakan universal ini dan pernyataan Rasulullah tentang persamaan dalam menuntut ilmu akan mendapat tersendiri dengan melihat kondisi waktu itu yang sarat diskriminasi dalam segala bidang. Pada waktu itu hanya orang mampu dan kaya saja yang mendapat kesempatan untuk menuntut ilmu, tapi di Madinah, kota Nabi Saw tidak terlihat lagi tanda-tanda diskriminasi semacam itu.
Dalam sirah perilaku Nabi Muhammad Saw, keadilan dalam menjalankan hukum dilakukan dengan bentuknya yang paling sempurna. Dinukil dalam peristiwa penaklukan kota Mekah, ada seorang perempuan dari kabilah Bani Makhzum yang melakukan pencurian dan dari sisi pengadilan telah terbukti bahwa ia mencuri. Keluarga perempuan itu yang masih mengikuti pola sistem kelas sosial di masa Jahiliah menilai pelaksanaan hukuman terhadap perempuan itu menjadi noktah hitam bagi keluarga besarnya. Oleh karenanya, mereka berusaha untuk menghentikan pelaksanaan hukuman itu.
Mereka mengirim Usamah bin Zaid yang sama dicintai Rasulullah Saw seperti ayahnya agar Nabi Saw sudi memberikan pengampunan. Tapi ketika Usamah hendaknya membuka mulut meminta pengampunan, wajah Nabi Saw terlihat marah dan dengan keras berkata, "Di mana ada tempat pengampunan? Apakah boleh kita tidak melakukan hukum ilahi?" Usamah mengetahui kesalahan yang diperbuatnya dan langsung meminta maaf kepada Rasulullah.
Sore hari itu juga, Rasulullah Saw menyampaikan pidatonya di hadapan umat Islam demi menghilangkan pikiran diskriminasi dalam pelaksanaan hukum dari benak masyarakat. Beliau berbicara tentang masalah keadilan dalam melaksanakan undang-undang dan bersabda, "Umat-umat terdahulu mengalami kemunduran dan bahkan kehancuran dikarenakan melakukan diskriminasi dalam melaksanakan hukum. Bila ada satu dari kalangan priyayi melakukan kesalahan, mereka tidak menghukuminya, tapi bila orang tidak mampu melakukan kesalahan yang sama, mereka langsung menghukumnya. Demi Allah yang jiwaku berada di tangannya! Saya akan tegar dan tegas dalam melaksanakan keadilan, sekalipun pelaku kejahatan itu adalah dari keluargaku."
Bila diperhatikan,Nabi Muhammad Saw tidak melakukan diskriminasi dalam melaksanakan undang-undang dan tidak menerima wasilah siapapun untuk memaafkan pelaku kejahatan. Nabi Saw begitu keras melarang umat Islam untuk meliburkan hukum ilahi. Beliau melaksanakan semua hukum ilahi secara adil terhadap semua orang, bahkan kepada dirinya sendiri.
Posisi Undang-Undang dalam Al-Quran dan Sunnah (2)
Sebagaimana telah disebutkan dalam penjelasan sebelumnya bahwa undang-undang dan supremasi hukum telah menjadi perhatian manusia sejak awal kehidupan sosialnya.
Sepanjang sejarah, banyak orang yang berusaha menyusun undang-undang dan memberikan kekuatan hukum padanya demi mencipakan keteraturan di tengah masyarakat dan atau memiliki tujuan lainnya. Tapi pengalaman manusia menunjukkan bahwa undang-undang manusia ternyata tidak mampu menciptakan masyarakat yang taat hukum. Karena ketaatan terhadap hukum menjamin kebahagiaan manusia di seluruh bidang. Bahkan boleh dikata para pelaksana undang-undang juga tidak menjaga kehormatan undang-undang dan juga tidak mengamalkannya.
Satu-satunya undang-undang yang dapat menciptakan masyarakat yang sehat dan taat hukum adalah undang-undang ilahi. Begitu juga hanya para nabi dan pengganti mereka yang benar-benar taat hukum dan menjadikan hukum sebagai pedoman aktivitas mereka serta mengamalkannya dengan baik dan benar. Hanya mereka yang benar-benar menjaga kehormatan hukum ilahi. Di antara undang-undang ilahi, ajaran Islam yang memberikan kehidupan ini merupakan yang paling sempurna dari sekian undang-undang ilahi yang pernah diturunkan oleh Allah Swt. Ajaran Islam sebagai penyempurna semua undang-undang ilahi dan dibawa oleh pamungkas para nabi.
Hasil pertama dari undang-undang adalah keteraturan dan undang-undang sama dengan menghormati aturan. Menyepelekan undang-undang yang mengawasi perilaku sosial manusia yang paling sederhana sekalipun dapat merusak wajah masyarakat, bahkan bisa menciptakan krisis dan kebuntuan. Dalam sebuah masyarakat yang tidak menghormati supremasi hukum, maka dapat dibayangkan setiap orang dapat melakukan perbuatan apa saja yang diinginkannya. Dan ini merupakan kondisi terburuk yang bisa dibayangkan dalam sebuah masyarakat. Stress, kerusuhan dan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain menjadi hasil alami dari ketiadaan hukum.
Ketika al-Quran diturunkan kepada manusia, masyarakat Arab waktu itu tidak teratur, terpisah dan berpecah belah. Tapi al-Quran berhasil memperbaiki masyarakat terkebelakang masyarakat Arab itu dengan ajaran lahit yang benar seperti disebutkan dalam al-Quran, "... dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya ..." (QS. Ali Imran 103)
Sesuai dengan ayat-ayat al-Quran, ciri khas lain dari masyarakat Arab waktu itu adalah syirik, mengingkari Ma'ad atau hari kebangkitan, percaya hal-hal khurafat, kebobrokan moral, penindasan, menaati setan, kebodohan dan kesesatan. Di tengah-tengah semua kebobrokan, kesulitan dan perpercahan yang ada di masyarakat Arab waktu itu, Allah Swt menurunkan al-Quran. Dengan demikian, al-Quran berhasil mengubah nasib masyarakat Arab waktu itu dengan undang-undang yang komprehensif. Undang-undang ilahi menggantika segala kecemasan dengan ketenangan, kekacauan dengan keteraturan, kebuasan dengan persahabatan dan lain-lain. Kinerja agama dapat terulang kembali di setiap masa. Setiap masyarakat yang ingin berjalan dengan kaidah agama dapat meriah kebahagiaan.
Satu lagi harapan dari supremasi hukum adalah menciptakan keadilan. Yakni, semua menginginkan undang-undang dilaksanakan secara adil. Undang-undang harus tidak berpihak dan menentukan hak setiap orang dengan adil. Sekaitan dengan hal ini, diharapkan undang-undang dilaksanakan sedemikian rupa sehingga akal sehat dan hati nurani manusia dapat menerimanya. Undang-undang yang adil harus berdasarkan akal dan sesuai dengan kebutuhan riil manusia, bukan mengikuti kepentingan kelompok dan hawa nafsu pribadi.
Al-quran menyebut tujuan pengutusan para nabi dan pengiriman kitab langit untuk menegakkan keadilan. Satu prinsip keadilan dalam Islam adalah semua manusia sama di hadapan hukum. Pada dasarnya setiap manusia tidak memiliki kelebihan dibandingkan lainnya. Pencipta dan tujuan penciptaan semua manusia adalah sama. Tidak ada seorang yang diciptakan untuk menjadi hamba bagi lainnya dan tidak ada kelompok tertentu yang menjadi pemimpin bagi lainnya. Berdasarkan undang-undang al-Quran, hanya takwa yang menjadi tolok ukur kelebihan satu orang dengan lainnya, itupun di akhirat.
Undang-undang Islam yang adil dapat ditemukan dalam al-Quran dan Sunnah. Undang-undang ini mengatur seluruh dimensi kehidupan manusia. Dengan kata lain, dengan melaksanakan undang-undang ilahi, maka keadilan akan tercipta di segala bidang. Pemerintah yang berdasarkan undang-undang Islam akan berlaku adil, pengadilan menjadi tempat orang-orang lemah mendapatkan hak-haknya, penyusunan undang-undangpun dilakukan berdasarkan keadilan. Setiap orang sama di hadapan hukum dan semua memiliki hak yang sama. Keadilan sosial dan ekonomi juga akan tercipta.
Hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan hubungan di antara manusia termasuk yang telah diatur dalam al-Quran dan Sunnah Nabi dan Ahli Bait as. Setiap bagian dari hubungan ini memiliki undang-undang yang detil. Mengamalkan undang-undang ini berarti mengatur hubungan ini sesuai dengan takarannya. Demi mengontrol dan menghilangkan faktor-faktor yang menghancurkan manusia, al-Quran telahmenyiapkan undang-undang yang komprehensif dan abadi. Mengamalkannya akan membuat masyarakat selamat dari kegelapan dan meraih kesempurnaan hakikinya. Supremasi hukum dan mengamalkan undang-undang ilahi bakal memekarkan segala potensi yang ada. Undang-undang ilahi juga menentukan batasan kebebasan manusia, mencegah terjadinya penindasan dan mengajak semua manusia untuk bersama-sama menuju kesempurnaan.
Masalah penting lainnya terkait undang-undang adalah jaminan pelaksanaannya. Al-Quran menyebut iman kepada Allah dan percaya akan Ma'ar atau hari kebangkitan sebagai jaminan pelaksanaan undang-undang ilahi. Artinya, jaminan pelaksanaan undang-undang ilahi ada dalam diri manusia sendiri. Pribadi mukmin bukan hanya tidak membutuhkan "polisi" untuk melaksanakan perintah ilahi, tapi dirinya sendiri menjadi motifator bagi orang lain untuk melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan buruk. Iman merupakan modal maknawi paling penting manusia. Iman hakiki memiliki dampak dan hasil yang banyak dan luar biasa seperti tegar dalam menghadapi segala masalah, layak mendapat berkah dunia dan langit dan jelas dan tegas dalam mengambil keputusan.
Manusia beriman dengan penuh keikhlasan serius mengenal hukum dan perintah Allah lalu mengamalkannya. Dengan kata lain, orang beriman adalah orang-orang yang berserah diri di hadapan Allah. Setiap penyerahan diri ini semakin mutlak di hadapan undang-undang ilahi, kesiapan untuk mengamalkannya akan semakin besar. Iman dan amal saleh merupakan dua wajah yang saling memperkuat. Hasilnya, yang paling berpengaruh dalam memperluas undang-undangadalah memperdalam keimanan. Dengan cara ini, setiap orang tanpa ada pengawas tetap akan mengamalkan undang-undang.
Seluruh masalah, penyimpangan dan pelanggaran terhadap undang-undang kembali pada tidak adanya iman yang hakiki kepada Allah Swt. Padahal, seorang mukmin meyakini bahwa Allah mengetahui segala yang tampak dan tersembunyi. Begitu juga keyakinan ini membuat seorang yang melanggar hukum mendapat dua balasan; dunia dan akhirat. Balasan akhirat lebih penting dan lebih sulit. Jadi, bila seorang yang melanggar hukum dapat meloloskan diri dari hukuman di dunia, maka ia tidak akan pernah bisa selamat dari hukuman akhirat. Melaksanakan ajaran-ajaran agama akan diberikan balasan yang lebih baik di akhirat. Keyakinan seperti ini memiliki dampak luar biasa dalam perilaku individu dan sosial seseorang dan yang lebih penting mereka akan terjaga dari ketergelinciran dan pelanggaran terhadap hukum.
Kehidupan sosial yang sehat akan terwujud bila orang-orang menghormati hukum, batasan dan hak orang lain, menilai keadilan sebagai sesuatu yang suci dan mengasihi sesama. Dalam masyarakat yang semacam ini, setiap orang akan mencintai sesuatu bagi orang seperti ia mencintainya untuk dirinya sendiri. Bila ia tidak menyukai sesuatu, ia tidak akan melakukannya kepada orang lain. Selain itu, sesama anggota masyarakat saling percaya. Penguatan nilai-nilai positif akhlak dalam jiwa manusia dan penghormatan setiap orang akan nilai-nilai akhlak akan memunculkan semangat ketaatan dalam dirinya dan membuatnya lebih komitmen mengikuti undang-undang. Individu dan masyarakat yang komitmen terhadap akhlak tentu lebih memiliki kecenderungan untuk menaati undang-undang.
Banyak perintah akhlak dalam Islam yang memiliki dimensi sosial. Bila perintah akhlak ini dilaksanakan, maka secara alami orang yang melaksanakannya akan melaksanakan undang-undang. Melaksanakan satu prinsip akhlak memiliki dampak positif dan banyak bagi masyarakat. Bila semua tunduk pada hak dan undang-undang, maka kelazimannya adalah semua menghormati supremasi hukum. Setiap orang akan berusaha mendahulukan hak orang lain, bukannya melanggar hak orang lain. Manusia harus belajar bahwa sekalipun di alam pikiran, ia harus tetap menghormati hak orang lain.
Begitu pentingnya akhlak, sehingga Nabi Muhammad Saw menyebut tujuan pengutusan untuk menyempurnakan akhlak mulia. Karena dengan adanya akhlak, dengan sendirinya ada penghormatan terhadap undang-undang dan melaksanakannya. Tak syak bahwa satu dari faktor terpenting kesuksesan Nabi Saw dalam menyebarkan budaya dan peradaban Islam adalah sikap beliau yang taat pada hukum. Bahkan prinsip terpenting dalam sirah kehidupan beliau adalah taat pada undang-undang ilahi. Melindungi kehormatan undang-undang dan hukuman bagi pelanggar kehormatan undang-undang dengan keadilan memiliki posisi penting dalam agama Islam. Rasulullah Saw sendiri sangat memperhatikan masalah ini.
Posisi Undang-Undang dalam Al-Quran dan Sunnah
Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa undang-undang, baik itu dalam bentuk adat, tradisi atau undang-undang tertulis, senantiasa mengatur kehidupan manusia. Tanpa adanya aturan sosial, manusia tidak akan pernah bisa hidup. Terlebih lagi setelah hubungan sosial manusia menjadi semakin kompleks, kebutuhan adanya aturan dalam kehidupannya menjadi hal yang penting.
Undang-undang merupakan kumpulan perintah dan larangan yang menentukan cara berperilaku manusia dalam kehidupan sosial.Tanpa adanya aturan, kehidupan manusia akan bermasalah dan muncul kekacauan.
Ketika masyarakat menginginkan hidup sosial, bekerjasama dengan yang lain dan membagi kerjasama ini di antara mereka, maka muncul benturan antara kepentingan dan keinginan mereka. Siapa yang menginginkan saham yang lebih dari lain atau menentukan cara menyikapi orang lain sesuai dengan keinginannya yang tidak disukai orang lain, maka yang muncul adalah ketegangan di antara mereka. Untuk mencegah terjadinya perselisihan ini, harus ditentukan batasan-batasan dan menyusun undang-undang. Bila hal ini tidak dilakukan, maka kehidupan sosial manusia akan goyah dan fondasinya akan hancur. Pertanyaannya, sejak kapan dan di mana undang-undang ini disusun dan ditampilkan, sekalipun sederhana
Tampaknya undang-undang yang paling tua dan komprehensif untuk pertama kalinya di kerajaan Babel yang disusun oleh Hamurabi. Ia berkuasa sejak tahun 2123 hingga 2080 SM di Babel (sekarang Irak). Piagam dunia yang dibuatnya lebih banyak terkait dengan urusan seperti menuduh orang lain, bersumpah bohong, menyuap hakim, tidak adil dalam menghukumi, hubungan antara pemilik dan budak, hukum perdagangan dan hak-hak keluarga. Tapi latar belakang undang-undang ilahi sudah ada pada masa Nabi Nuh as yang lebih tua dari piagam Hamurabi.
Nabi Nuh as sendiri merupakan satu dari Nabi Ulul Azmi yang memiliki syariat dan hidup sebelum Nabi Musa dan Isa as. Berkembang luasnya masyarakat dan munculnya perselisihan terkait kepentingan materietnis dan lain-lain menyebabkan para nabi membawa undang-undang yang sesuai untuk masyarakatnya demi menyelesaikan perselisihan dan menunjukkan jalan kebahagiaan. Undang-undang ini dibawa mereka kepada manusia dalam bentuk agama yang secara bertahap semakin menyempurna, sehingga Nabi Muhammad Saw pamungkas para nabi membawa undang-undang Islam secara sempurna.
Undang-undang Islam dalam bentuk kitab langit yang disebut al-Quran dibawa oleh Rasulullah Saw untuk manusia. Dengan demikian, al-Quran itu sendiri menjadi buku undang-undang Islam. Dalam buku undang-undang ini termuat program untuk membimbing manusia, bagaimana hubungan sosial, perintah dan larangan baik yang bersifat hukum maupun moral dan lain-lain. Al-Quran menjadi penjelas undang-undang ilahi. Di sini, undang-undang ilahi memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan undang-undang lain yang disusun oleh manusia.
Undang-undang yang tepat dan komprehensif semestinya dapat menjawab kebutuhan materi dan spiritual manusia. Pelaksanaan undang-undang ini dengan sendirinya menjadi sarana bagi kesempurnaan dan pertumbuhan semua potensi manusia baik di bidang materi maupun spiritual, sekaligus menciptakan ketenangan bagi manusia. Mencermati ayat-ayat al-Quran dengan mudah menemukan hakikat ini bahwa pembuat undang-undang ini adalah Allah Swt yang Maha Kuasa dan Bijaksana. Undang-undang yang sesuai untuk manusia memiliki parameter dan bila penyusunnya tidak mengetahuinya, maka ia tidak akan dapat menyusun undang-undang seperti ini.
Satu dari parameter yang harus ada dalam sebuah undang-undang adalah kebenaran sebagai porosnya. Yakni, para penyusun undang-undang harus memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi setiap individu dan kelompok-kelompok masyarakat. Undang-undang yang dihasilkan jangan sampai menekan sebagian orang atau kelompok masyarakat dan tidak juga memberikan kelebihan yang tidak rasional kepada sejumlah orang atau kelompok. Undang-undang harus menguntungkan semua orang dan kelompok. Dengan kata lain, menjamin maslahat setiap pribadi atau kelompok dan menyesuaikannya dengan maslahat orang atau kelompok lain. Undang-undang yang harus menyoroti maslahat dan mafsadah individu dan masyarakat, ada jaminan pelaksanaan dan mendukung kesempurnaan spiritual dan tujuan penciptaan manusia.
Apakah manusia yang menyusun undang-undang memiliki parameter yang diinginkan? Tak syak bahwa pengetahuan manusia terbatas. Manusia tidak dapat membangun Madinah Fadhilah atau utopia yang sempurna berdasarkan aturan dan undang-undang yang sudah ada sebelumnya. Kekurangan paling utama dari undang-undang buatan manusia bersumber dari kebodohannya. Pengetahuan biasa manusia yang didapat lewat panca indera dan akal berperan besar dalam menjamin kebutuhan hidupnya.Tapi untuk mengenal jalan kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki baik dari sisi individu dan sosial, materi dan spiritual serta duniawi dan ukhrawi, panca indera dan akal saja tidak cukup. Bila tidak ada jalan lain untuk menutupi kekurangan ini, maka tujuan Allah dalam menciptakan manusia tidak pernah terealisasi. Jalan itu adalah wahyu yang diberikan kepada para nabi.
Menguasai segala dimensi kehidupan manusia dan menentukan arah bagi manusia bukan saja sulit bagi satu ada beberapa orang, tapi ribuan pakar di pelbagai disiplin ilmu humaniora juga tidak dapat mengungkap formula yang kompleks ini dan membuat undang-undang yang detil dan lengkap. Undang-undang yang menjamin semua maslahat individu dan sosial serta materi dan spiritual manusia. Proses perubahan undang-undang yang terjadi berkali-kali sepanjang sejarah manusia menunjukkan bahwa sekalipun telah ada upaya serius dari para pakar, tapi tetap saja mereka masih belum mampu membuat sebuah sistem hukum yang benar dan sempurna. Tentu saja untuk menyusun undang-undang ini telah ada upaya untuk memanfaatkan semaksimal mungkin sistem hukum ilahi dan syariat ilahi.
Undang-undang ilahi memiliki banyak pembagian dan telah disinggung dalam al-Quran. Satu bagiannya disebut "undang-undang takwini". Yakni sistem yang mengatur alam ini dan ciri khasnya telah ditanamkan pada semua makhluk. Dalam surat Thaha ayat 50 telah dijelaskan mengenai undang-undang takwini ini yang dikenal dengan hidayah umum. Allah Swt berfirman, "Musa berkata, 'Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk." Setiap jenis makhluk memiliki jalur khusus untuk mencapai kesempurnaannya dan tidak ada kesalahan dalam menjalani jalur ciptaan yang telah ditentukan bagi masing-masing jenis makhluk.
Bentuk lain dari undang-undang ilahi adalah "undang-undang tasyri'i" yang hanya khusus bagi manusia. Undang-undang ini mengatur hubungan antara makhluk dan khalik dan begitu juga hubungan antara individu masyarakat secara adil. Allah Swt menyampaikan undang-undang ini lewat orang-orang pilihan yang diutus kepada manusia. Hidayah ini juga biasa disebut hidayah tasyri'i. Dalam surat al-Baqarah pada ayat 213 disebutkan, "..., Maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan ..."
Ayat 213 surat al-Baqarah ini mengisyaratkan satu kenyataan bahwa satu dari alasan pengutusan para nabi adalah menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan undang-undang ilahi. Dengan demikian, Allah Swt tidak membiarkan begitu saja kebutuhan manusia akan hidayah dan undang-undang. Dalam banyak ayat al-Quran, Allah Swt telah menyinggung hakikat ini bahwa Kami telah menunjukkan jalan hidayah kepada manusia. Al-Quran sendiri merupakan kitab undang-undang langit terakhir dan wahyu ilahi yang menjadi metode terbaik dalam mendapatkan hidayah. Allah Swt dalam al-Quran surat al-Isra ayat 9 berfirman, "Sesungguhnya al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar."
Undang-undang ilahi dari sisi substansi dan bingkai amal memiliki perbedaan mendasar dengan undang-undang buatan manusia. Tujuan dari seluruh undang-undang manusia adalah membimbing individu untuk memanfaatkan kelebihan materi dan duniawi yang ada dengan lebih baik dan banyak. Sementara kebahagiaan dan kesempurnaan manusia tidak terbatas hanya pada hal-hal yang bersifat materi. Kesempurnaan ruh dan dimensi batin manusia lebih dalam dan penting, sementara pada saat yang sama undang-undang manusia tidak mampu menyentuhnya. Dapat dikatakan bahwa kebahagiaan manusia ada pada pemahaman dan pelaksanaan undang-undang ilahi yang tidak ada kekurangan di dalamnya.
Kelebihan undang-undang ilahi adalah hubungannya yang erat dengan moral. Apa yang membuat undang-undang berpengaruh di tingkat individu dan sosial kembali pada adanya kekuatan moral dan komitmen individu dan masyarakat untuk mengamalkan undang-undang. Karakter moral agama menyebabkan ajaran-ajaran agama dapat menyebar ke seluruh dunia dan orang-orang mukmin dengan tenang dapat mengamalkan undang-undangnya. Dalam keyakinan mereka, ajaran ilahi terbentuk berdasarkan maslahat hakiki dan nilai-nilai moral manusia. Dengan dasar ini, seorang muslim komitmen dengan kewajibannya. Kewajiban ibadah pada dasarnya merupakan bentuk ujian penghambaan dan dengan mengamalkannya, seorang mukmin akan semakindekat dengan Allah Swt.
Sesuai dengan ajaran agama, nilai hakiki manusia sesuai dengan seberapa dekatnya dengan Allah. Dari sini, kita melihat banyak hukum dan undang-undang dalam al-Quran yang dijelaskan disertai dengan peringatan yang pada gilirannya merupakan peringatan moral. Sebagai contoh, berpuasa dengan takwa, jihad dengan mengingat Allah, perceraian dengan menjauhi bersikap zalim, menaati Allah dan Nabi disertai dengan sikap hormat dan mengeluarkan hukum disertai keadilan. Hubungan erat ini menyebabkan manusia dengan mudah dan senang melaksanakan undang-undang ilahi. Karena beramal disertai takwa dan menuruti nasihat akhlak membuat manusia semakin dekat kepada Allah Swt.
Mari Mengenal Lingkungan (6)
Penggunaan kata Wetland berasal dari bahasa Inggris yaitu wet berarti basah dan land adalah tanah atau lahan. Jadi wetland diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai lahan basah. Namun tidak semua bahasa mempunyai padanan kata atau arti yang sama dari bahasa Inggris ini. Menurut Steve Elsworth dalam A Dictionary of The Environment mengartikan Lahan basah (wetland) adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman.
Wilayah-wilayah itu sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal. Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk rawa bakau), paya, dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong ke dalam air tawar, payau atau asin.
Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem. Di atas lahan basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi (masyarakat tetumbuhan), seperti hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan bakau, paya rumput dan lain-lain. Margasatwa penghuni lahan basah juga tidak kalah beragamnya, mulai dari yang khas lahan basah sepertibuaya, kura-kura, biawak, ular, aneka jenis kodok, dan pelbagai macam ikan; hingga ke ratusan jenis burung dan mamalia, termasuk pula harimau dan gajah.
Pada sisi yang lain, banyak kawasan lahan basah yang merupakan lahan yang subur, sehingga kerap dibuka, dikeringkan dan dikonversi menjadi lahan-lahan pertanian. Baik sebagai lahan persawahan, lokasipertambakan, maupun sebagai wilayah transmigrasi. Mengingat nilainya yang tinggi itu, di banyak negara lahan-lahan basah ini diawasi dengan ketat penggunaannya serta dimasukkan ke dalam program-program konservasi dan rancangan pelestarian keanekaragaman hayati semisal Biodiversity Action Plan.
Lahan basah digolongkan baik ke dalam bioma maupun ekosistem. Lahan basah dibedakan dari perairan dan juga dari tataguna lahanlainnya berdasarkan tingginya muka air dan juga tipe vegetasi yang tumbuh di atasnya. Lahan basah dicirikan oleh muka air tanah yang relatif dangkal, dekat dengan permukaan tanah, pada waktu yang cukup lama sepanjang tahun untuk menumbuhkan hidrofita, yakni tetumbuhan yang khas tumbuh di wilayah basah.
Sementara menurut Konvensi Ramsar, lahan basah/Wetland didefinisikan sebagai berikut; “Lahan basah adalah wilayah payau, rawa, gambut, atau perairan, baik alami maupun buatan, permanen atau temporer (sementara), dengan air yang mengalir atau diam, tawar, payau, atau asin, termasuk pula wilayah dengan air laut yang kedalamannya di saat pasang rendah (surut) tidak melebihi 6 meter.” Lahan basah dapat pula mencakup wilayah riparian(tepian sungai) dan pesisir yang berdekatan dengan suatu lahan basah, pulau-pulau, atau bagian laut yang dalamnya lebih dari 6 meter yang terlingkupi oleh lahan basah.”
Jadi lahan basah dapat dikatakan sebagai suatu wilayah genangan atau wilayah penyimpanan air yang memiliki karakteristik terresterial dan aquatik. Contoh yang dapat diambil adalah : rawa-rawa, mangrove, payau, daerah genangan banjir, hutan genangan serta wilayah sejenis lainnya.
Konvensi Ramsar tahun 1971 merupakan suatu instrumen perjanjian internasional yang telah dibuat dan dibentuk untuk memobilisasi tindakan dan melindungi wilayah lahan basah dari kehilangan yang cepat di seluruh dunia. Konvensi Ramsar atau Wetlands Convention terdiri dari 12 pasal dan ditandatangani di kota Ramsar, Iran pada tanggal 2 Februari 1971 oleh 35 negara, 21 dari Eropa dan 13 dari negara berkembang.
Konvensi ini kemudian baru berlaku pada tanggal 21 Desember 1975 setelah memenuhi syarat ratifikasi berlakunya konvensi. Tujuan dari terbentuknya Konvensi ini adalah menghindari hilangnya lahan basah dan menjamin pelestariannya, mengingat kepentingannya dalam proses ekologi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya seperti spesies flora dan fauna. Karena itu para pihak peserta mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan setelah menandatangani atau tunduk pada konvensi ini. Kewajiban umum setiap pihak adalah menjaga pelestarian lahan basah di wilayah jurisdiksi teritorialnya dan kewajiban khususnya adalah turut serta melindungi lahan basah yang memiliki kepentingan internasional yang termasuk dalam daftar yang telah ditentukan konvensi.
Berdasarkan data yang tercatat di Konvensi Ramsar saat ini ada sekitar 2186 lahan basah dengan luas 209 juta hektar. Inggris memiliki 170 lahan basah, Mexico 142 lahan basah, Spanyol 74 lahan basah, Swedia 66 lahan basah dan Australia memiliki 65 lahan basah. Sementara itu, Kanada dengan 130 ribu kilometer lahan basah, mencatat rekor dalam kasus ini. Adapun Republik Islam Iran juga memiliki sekitar 22 lahan basah yang tercatat di Konvensi Ramsar. Salah satu persyaratan lahan basah untuk dapat dicatat di konvensi ini adalah adanya minimal 20 ribu burung yang berhijrah setiap tahunnya.
Dua jenis umum lahan basah yang dikenal yaitu tidal wetland dan non-tidal wetland.
Pertama Tidal wetland : adalah lahan basah yang berhubungan dengan estuari, dimana air laut bercampur dengan air tawar dan membentuk lingkungan dengan bermacam-macam kadar salinitas. Fluktuasi pemasukan air laut yang tergantung pada pasang surut seringkali menciptakan lingkungan yang sulit bagi vegetasi, salah satu yang dapat beradaptasi disini adalah tumbuuhan mangrove dan beberapa tanaman yang tahan terhadap salinitas.
Kedua Non-tidal wetland : adalah lahan basah yang biasanya berada di sepanjang aliran sungai, di bagian yang dangkal dikelilingi oleh tanah kering. Keberadaannya tergantung musim, dimana mereka akan mengering pada satu atau beberapa musim di setiap tahunnya. Tipe ini bisa di ditemui di Amerika atau Alaska.
Lahan basah yang menempati 6 persen bumi merupakan salah satu keajaiban alam dan pemandangan indah. Lahan basah memainkan peran penting dalam menjaga akuatik, tumbuhan, hewan dan manusia. Keberadaan tumbuhan dan hewan khusus di lahan basah selain menciptakan pemandangan indah, juga dari keragaman biologis memiliki urgensitas tersendiri. Lahan basah termasuk faktor yang melahirkan lingkungan hidup di dunia dan juga dapat disebut sebagai tempat kelahiran flora serta fauna.
Kawasan lahan basah seperti rawa-rawa, hutan bakau, hutan air payau pada mulanya belum disadari sebagai kawasan yang berguna dan menguntungkan. Hal ini mengingat resiko tinggi yang dihadapi oleh penduduk yang tinggal di daerah sekitarnya. Sebagai contoh yang cukup mengganggu bagi mereka di mana bahaya timbulnya penyakit seperti malaria dari nyamuk yang tinggal di rawa-rawa atau serangan hewan liar seperti ular, buaya, serta jenis lain, kadang-kadang datang ke perkampungan penduduk yang tinggal di sekitar daerah rawa. Sehingga daerah rawa tersebut dianggap sebagai wilayah yang kurang bermanfaat serta tidak menarik untuk didatangi.
Namun demikian di beberapa tempat ternyata penduduknya sangat tergantung hidupnya pada adanya lahan ini, misalnya penduduk yang tinggal di daerah pantai amat tergantung pada ikan atau udang yang habitatnya ada yang bergantung pada muara sungai atau hutan bakau. Adanya rawa-rawa ternyata merupakan tempat penyerapan air sehingga bila hujan datang maka daerah ini sangat menguntungkan bagi resapan air hujan.
Jika rawa-rawa dihancurkan akan menyebabkan air hujan tidak tertampung dan terserap yang dapat mengakibatkan timbulnya banjir. Selain itu ternyata rawa-rawa atau beberapa jenis lahan basah lainnya berfungsi menjadi habitat beberapa spesies flora dan fauna. Sehingga mampu untuk mendukung peningkatan populasi bagi flora dan fauna yang cenderung punah. Di sinilah peran lahan basah dalam membantu proses keseimbangan alam secara alami antara mahluk hidup dengan lingkungannya.
Lahan basah memiliki banyak manfaat, baik dari segi ekologis, ekonomi, pariwisata maupun penelitian ilmiah. Di antara manfaat tersebut adalah membantu menyerap unsur-unsur hara yang penting serta bahan makanan yang berguna bagi Mahluk hidup sekitarnya. Menyediakan air sepanjang tahun khususnya ke akuifer (pengisian kembali air tanah) dan lahan basah lain. Mengendalikan terjadinya luapan air pada musim penghujan. Menjernihkan air buangan serta dapat menyerap bahan-bahan polutan dengan kapasitas tertentu. Mencegah intrusi air asin.
Lahan basah juga membantu melindungi daerah pantai dari aktivitas gelombang dan badai. Mengendalikan erosi serta mampu menahan lumpur. Penting untuk konservasi khususnya siklus spesies tanaman, ekosistem, bentang alam, proses alam, komunitas. Kontribusi pada kelangsungan proses dan sistem alami yang ada; proses dan sistem ekologi, penyerapan karbon, mengontrol kadar garam tanah dan pengembangan tanah asam sulfat.
Selain itu, lahan basah memiliki sisi ekonomi seperti Sumber produk alami dalam dan di luar lahan. Sebagai habitat yang banyak memberikan spesies flora dan fauna yang dapat dimanfaatkan untuk pengobatan tradisionil penduduk. Sebagai sumber makanan. Produksi energi. Obyek turisme. Dapat dijadikan suaka alam dan kawasan perlindungan.
Dengan demikian lahan basah dapat disebut sebagai nikmat besar Tuhan yang diberikan kepada makhluknya. Namun manusia sebagai salah satu makhluk Ilahi malah merusak lingkungan ini dengan menebar polusi serta mengancam kehidupan ekosistem di kawasan ini. Anggapan bahwa lahan basah tidak dapat dimanfaatkan merupakan ancaman terbesar bagi lahan ini. Pengeringan lahan basah dan mengubahnya menjadi lahan pertanian atau zona industri merupakan ancaman terbesar. Menurut data yang dihimpun sejak tahun 1900 hingga kini, tercatat 64 persen lahan basah musnah dan sampai saat ini proses perusakan lahan basah di dunia masih terus berlanjut.



























