کمالوندی
Adab Membaca Al-Qur’an menurut Al-Qur’an dan Sunnah Maksumin As
Al-Qur’an adalah Kalamullah (firman-firman Allah Swt) yang menjadi mukjizat kenabian terakhir Nabiullah Muhammad Saw yang menyempurnakan dan menjadi pelengkap kitab-kitab Samawi sebelumnya. Sebagai penyempurna, kitab suci terakhir yang memuat ajaran-ajaran Ilahiah yang berlaku sampai akhir zaman, maka sudah semestinya Al-Qur’an menjadi kitab suci yang bebas dari segala bentuk tahrif (perubahan). Allah Swt sendiri menjamin kesucian Al-Qur’an dari berbagai bentuk perubahan, baik penambahan maupun pengurangan dengan berfirman, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Qs. Al-Hijr: 9). Kesucian Al-Qur’an dari perubahan adalah keyakinan semua umat Islam sejak generasi awal sampai hari ini, sementara pandangan yang menyebutkan Al-Qur’an mengalami perubahan baik itu berupa penambahan maupun pengurangan, maka itu pandangan yang batil dan bertentangan dengan aqidah Islamiyah sendiri. Syaikh Shaduq rahimahullah, salah seorang ulama besar Syiah (w. 381 H) dalam kitabnya “Al-I’tiqād fi Din al-Imāmiyah” halaman 59 menulis, “Akidah kami (penganut mazhab Imamiyah) mengenai Al-Qur’an yang diturunkan untuk Nabi Muhammad Saw, tidak mengalami sedikitpun perubahan. Barangsiapa yang mengatakan bahwa kami meyakini Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw lebih banyak dari Al-Qur’an yang ada saat ini, maka dia adalah pendusta.”
Setiap yang mengaku muslim, tidak ada satupun yang tidak pernah bersentuhan dengan Al-Qur’an disepanjang hidupnya. Mencintai Al-Qur’an adalah bagian dari hidup seorang muslim yang tidak terpisahkan. Sejak lahir, dikeluarga muslim, sang bayi akan diperdengarkan lantunan ayat suci Al-Qur’an pada saat ia diaqiqah atau momen hari kesyukuran atas kelahirannya. Ketika hadir di majelis-majelis yang memperingati hari-hari penting Islam (Maulid, Isra Mi’raj, Nuzulul Qur’an dan lain-lain). Ketika bulan Ramadhan, khususnya pada malam-malam Qadr, membacanya dalam shalat, ketika malam dan hari Jum’at, membaca di rumah-rumah, di pesta pernikahan, membacanya didalam perjalanan atau paling minimal, sengaja menghafal surah-surah pendek untuk mengusir syaitan dan menolak bala. Intinya, betapa Al-Qur’an dengan hidup seorang muslim itu sangat dekat, sehingga mushaf Al-Qur’an menjadi properti yang wajib ada disetiap rumah kaum Muslimin, yang semuanya meyakini, membaca Al-Qur’an mengandung fadhilah/keutamaan yang sangat besar.
Untuk lebih mendapatkan manfaat Al-Qur’an dan fadhilah yang lebih besar ketika membacanya, ada baiknya kita memenuhi adab-adab dalam membaca Al-Qur’an sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an sendiri dan sebagaimana yang disampaikan oleh Nabiullah Muhammad Saw dan para Aimmah As.
Keutamaan Membaca Al-Qur’an
Untuk memotivasi diri agar termasuk golongan yang akrab dengan Al-Qur’an, maka yang terlebih dahulu dilakukan, adalah mengetahui fadhilah dan keutamaan membaca Al-Qur’an.
Membaca Al-Qur’an adalah perintah langsung dari Allah Swt, yang menunjukkan adanya hikmah besar yang terkandung dibalik perintah tersebut. Allah Swt berfirman. “فَاقْرَؤُوا ما تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ” Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an. (Qs. Al-Muzammil: 20). Prinsip ibadah yang diperintahkan dalam Islam, adalah semakin mudah amalan yang diperintahkan, semakin menunjukkan pentingnya dan besarnya keutamaan ibadah tersebut di sisi Allah Swt. Shalat misalnya, Allah Swt memberikan kemudahan-kemudahan dalam pelaksanaannya, jika tidak bisa berdiri, maka dibolehkan melaksanakannya dengan duduk, berbaring dan seterusnya. Jika tidak bisa menggunakan air yang disebabkan kondisi tertentu, maka dibolehkan bertayammum. Kemudahan-kemudahan tersebut diberikan, karena Allah Swt menghendaki agar amalan shalat tidak ditinggalkan disebabkan besarnya fadhilah yang terkandung di dalamnya. Shalat adalah amalan pertama di hari dihisabnya amal-amal dan shalat pulalah yang menjaga keterikatan batin seorang hamba dengan Khaliknya. Demikian juga dengan membaca Al-Qur’an. Allah Swt memerintahkan agar membaca yang mudah dari Al-Qur’an, agar membaca Al-Qur’an tersebut jangan sampai ditinggalkan. Allah Swt berfirman, “. Sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan. Adakah orang yang mau ingat?” (Qs. Al-Qamar: 17). Membaca Al-Qur’an adalah tarikat untuk senantiasa mengingat Allah Swt dalam setiap keadaan.
Fadhilah lainnya dari membaca Al-Qur’an sebagaimana yang disampaikan Nabiullah Muhammad Saw kepada sahabatnya, Salman al Farisi Ra. Nabi Saw bersabda, “Wahai Salman, bacalah Al-Qur’an, karena bacaan Al-Qur’an dapat menjadi kafarah/pelebur dosa-dosa, menjadi hijab/penghalang antara manusia dengan api neraka dan menjadi penyebab amannya seseorang dari azab Ilahi.” (Bihār al-Anwār, jld. 89, hlm. 17).
Ketika Nabi Muhammad Saw ditanya mengenai amalan yang dapat menjaga dan meningkatkan keimanan kepada Allah Swt, beliau Saw menjawab, “Bacalah Al-Qur’an pada setiap keadaan.” (Bihār al-Anwār, jld. 66, hlm. 392).
Mengenai keutamaan membaca Al-Qur’an, Imam Ja’far as-Shadiq As berkata, “Al-Qur’an adalah surat yang dikirim Allah Swt untuk hamba-hambaNya. Karenanya sudah semestinya setiap Muslim membacanya minimal 50 ayat setiap harinya.”
Waktu-waktu yang Utama untuk Membaca Al-Qur’an
Allah Swt memberikan pahala setiap seorang muslim membaca Al-Qur’an, kapanpun itu. Namun Allah Swt menyampaikan adanya waktu-waktu yang khusus yang ketika membaca Al-Qur’an di waktu-waktu itu pahala dan keutamaannya jauh lebih besar. Diantara waktu-waktu utama untuk membaca Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
Bulan Ramadhan
Imam Baqir As berkata, “Segala sesuatu memiliki musim semi, dan musim semi Al-Qur’an adalah bulan Ramadhan.” (Wasail al-Syiah, jld. 4, hlm. 852).
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Barangsiapa yang membaca satu ayat dari Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, seperti seseorang yang membaca keseluruhan Al-Qur’an pada bulan-bulan lainnya.” (Amali Shaduq, hlm. 95).
Dari sabda Rasulullah Saw diatas menunjukkan besarnya perbandingan antara membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan dengan bulan selainnya. Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam bulan Ramadhan disamakan pahala dan kedudukannya dengan membaca satu Al-Qur’an penuh yang dibaca diluar bulan Ramadhan. Belum lagi ketika membacanya pada malam al-Qadr, salah satu malam di bulan Ramadhan yang beribadah di dalamnya lebih utama dari ibadah selama 1000 bulan, maka tentu keutamaannya jauh lebih berlipat ganda lagi.
Setelah Melaksanakan Shalat Wajib
Disunnahkan dan sangat diutamakan bagi setiap muslim sehabis mendirikan shalat 5 waktu yang wajib untuk berzikir, berdoa dan membaca Al-Qur’an. Hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan amalan ini dirangkum dalam kitab ‘Urwatu al-Wutsqa, jilid 1 halaman 332. Dan juga para ulama marja taklid sangat menekankan hal ini karena besarnya keutamaan membaca Al-Qur’an sehabis mendirikan shalat fardhu. Diantara karakteristik muslim Syiah sebagaimana yang dijabarkan Imam Shadiq As, adalah membaca minimal 50 ayat Al-Qur’an setiap harinya. Karena itu para ulama menganjurkan, jika terjebak dalam kesibukan harian, dan untuk mempermudah maka setidaknya membaca 10 ayat Al-Qur’an setiap habis mendirikan shalat 5 waktu, sehingga dalam sehari semalam, sunnah membaca 50 ayat Al-Qur’an tidak ditinggakan.
Disepertiga Malam
Membaca Al-Qur’an dipertigaan malam mengandung keutamaan dan fadhilah yang sangat besar dan juga memberi pengaruh positif yang sangat membekas pada kondisi ruhaniah pembacanya. Membaca Al-Qur’an pada sepertiga malam adalah perintah langsung Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw, “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit atau lebihkan dari seperdua itu, ban bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (Qs. al-Muzammil: 1-4). Pada ayat ke-enam Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.”
Membaca Al-Qur’an disepertiga malam atau lebih masyhur dikenal dengan waktu sahur, dikatakan waktu yang tepat untuk khusyuk dan waktu itu bacaan Al-Qur’an jauh lebih berkesan karena kita melakukannya dalam keheningan, disaat kebanyakan manusia memilih tetap terlelap dalam tidurnya. Sehingga amalan yang dilakukan dalam kesendirian inipun lebih menjauhkan seorang muslim dari sifat riya.
Pada Malam dan Hari Jum’at
Bejibun hadits dari Rasulullah Saw dan Maksumin As mengenai keutamaan malam dan hari Jum’at termasuk dilipatgandakannya pahala dari amalan-amalan saleh yang dilakukan didalamnya, termasuk membaca Al-Qur’an. Bahkan sejumlah hadits dari Rasulullah Saw secara khusus memaparkan keutamaan beberapa surah pilihan yang memiliki keutamaan besar ketika dibaca pada malam dan hari Jum’at. Seperti membaca surah al-Kahfi, Yasin, al-Waqiah dan lain-lain.
Adab Membaca Al-Qur’an
Untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar dari amalan membaca Al-Qur’an, sudah semestinya kita memperhatikan dan mengamalkan adab-adab ketika membacanya. Diantaranya sebagai berikut:
Dalam Keadaan Suci
Sangat diutamakan ketika membaca Al-Qur’an dalam keadaan suci yaitu memiliki wudhu. Imam Ali bin Abi Thalib As berkata, “Ketika seorang hamba tidak memiliki wudhu, maka janganlah membaca Al-Qur’an sampai kemudian dia mengambil wudhu terlebih dahulu.” (Bihār al-Anwār, jld. 10, hlm. 105).
Bersiwak (Menyikat Gigi) Sebelum Membaca Al-Qur’an
Imam Ali As berkata, “Mulut kamu adalah jalan keluarnya bacaan Al-Qur’an, karena itu bersihkanlah terlebih dahulu dengan siwak, sebelum engkau membacanya.” (Man Lā Yahdhuru al-Faqih, jld. 1, hlm. 81).
Membaca dengan Suara yang Indah
Rasulullah Saw bersabda, “Bacalah Al-Qur’an dengan suara yang indah, sebab suara yang indah semakin menambah keindahan Al-Qur’an.” (‘Uyun Akhbār al-Ridhā, jld. 2, hlm 69).
Pada hadits yang lain Rasulullah Saw bersabda, “Bacalah Al-Qur’an dengan lahn Arab dan suara yang indah.” (Al-Kāfi, jld. 2, hlm. 614).
Menghadap Kiblat
Disaat membaca Al-Qur’an, diutamakan menghadap kiblat dan dalam keadaan tuma’ninah, baik itu berdiri, maupun duduk. (‘Urwatu al-Wutsqa, jld. 1, hlm. 548). Meski dianjurkan tu’maninah (kondisi tubuh dalam keadaan tenang) namun melakukannya dengan bersandar di dinding bukan sesuatu yang dilarang, dan tidak pula dianggap makruh.
Membaca dengan Mushaf
Membaca dengan menggunakan mushaf lebih diutamakan dan mengandung pahala yang lebih besar. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada yang lebih sulit bagi Syaitan dari menggoda manusia selain ketika membaca Al-Qur’an, itupun ketika membacanya dengan mushaf dan memusatkan pandangannya pada mushaf.” (Bihār al-Anwār, jld. 92, hlm. 202).
Ishaq bin Ammar bertanya kepada Imam Ja’far as-Shadiq As, “Saya menghafal Al-Qur’an, apakah membacanya dengan mushaf lebih baik atau membacanya dengan hafalanku?”.
Imam Ja’far As menjawab, “Membacanya dengan mushaf jauh lebih baik. Apakah engkau tidak mendengar, memandang kepada tulisan Al-Qur’an adalah amalan ibadah?.” (Mahajatah al-Baidhāh, jld. 2, hlm. 231).
Membaca Do’a Sebelum Tilawah
Imam Ja’far as-Shadiq As diriwayatkan setiap hendak memulai membaca Al-Qur’a, ia membaca doa terlebih dahulu:
أَللهُمَّ اِنّی أَشْهَدُ أَنَّ هذا کِتابُکَ المُنَزَلُ مِنْ عِنْدِکَ عَلی رَسولِکَ محمّد بن عبدالله، وَ کَلامُکَ النَّاطِقُ عَلی لِسانِ نَبِیِّکَ، جَعَلْتَهُ هادِیاً مِنْکَ اِلی خَلْقِکَ وَ حَبْلاً مُتَّصِلاً فیما بَیْنَکَ وَ بَیْنَ عِبادِکَ. أَللهمَّ إِنّی نَشَرْتُ عَهْدَکَ وَ کِتابَکَ، اللهمَّ فَاجْعَلْ نَظَری فیهِ عِبادَةً، وَ قِرائَتی فِیهِ فِکْراً، وَ فِکْری فیهِ اعْتِباراً، وَاجْعَلْنی مِمَّنِ اتَّعَظَ بِبَیانِ مَواعِظِکَ فیهِ وَاجْتَنَبَ مَعاصیکَ، وَ لا تَطْبَعْ عِنْدَ قِرائَتی عَلی سَمْعی، وَ لا تَجْعَلْ عَلی بَصَریی غِشاوَةً، وَ لا تَجْعَلْ قِرائَتی قِرائَةً لا تَدَبُّرَ فیها، بَلِ اجْعَلْنی أتَدَبَّرُ آیاتِهِ وَ أَحْکامَهُ، آخِذاً بِشَرائِعِ دینِکَ، وَ لا تَجْعَلْ نَظَری فیهِ غَفْلَةً وَ لا قِرائَتی هَذَراً، إِنَّکَ أَنْتَ الرَّؤُوفُ الرَّحیمُ.
(Makārim al-Akhlāq, hlm. 343).
Membaca Doa Isti’ādzah dan Basmalah
Sebelum membaca Al-Qur’an disunnahkan untuk mengawalinya dengan membaca Isti’adzah terlebih dahulu, yaitu A’udzu billahi min asySyaithanirrajim, dengan maksud untuk meminta perlindungan dari Allah Swt agar tidak dipengaruhi dan terhindar dari tipudaya/was-was Syaitan ketika membaca Al-Qur’an. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca Basmalah. Allah Swt berfirman, “Apabila kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (Qs. An-Nahl: 98).
Membaca dengan Tartil
Yang dimaksud membaca dengan tartil adalah memenuhi kaidah tajwid dari bacaan Al-Qur’an. Yaitu tidak membacanya dengan tergesa-gesa, sehingga melalaikan kaidah-kaidah tajwid seperti panjang pendeknya harakat dan lafadz huruf, waktu-waktu harus berhenti dan seterusnya. Membaca dengan tartil adalah perintah langsung dari Allah Swt. Allah Swt berfirman, “…bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (Qs. al-Muzammil: 4).
Imam Ja’far as-Shadiq As berkata, “Janganlah membaca Al-Qur’an dengan tergesa-gesa, melainkan bacalah dengan tartil (perlahan-lahan). Ketika kau membaca ayat yang menceritakan mengenai surga, maka berhentilah dan berdoalah agar Allah Swt memasukkanmu ke dalam surga. Begitupun ketika engkau membaca ayat mengenai siksa api neraka, berhentilah sejenak, dan mohonlah kepada Allah Swt agar engkau dihindarkan dari siksa api neraka.” (Ushul al-Kāfi, jld/ 2, hlm. 617).
Fokus dan Tadabbur
Dengan memahami dan menyadari bahwa bacaan Al-Qur’an adalah firman-firman Allah Swt yang seolah-oleh berbincang langsung dengan kita, maka sudah semestinya ketika membaca Al-Qur’an harus dibarengi kesadaran penuh, fokus dan penuh keseriusan sehingga bisa mentadabburi bacaan Al-Qur’an dengan baik. Dengan seolah-olah berbincang dengan Allah Swt maka disaat membaca Al-Qur’an tidak dilakukan dengan bermain-main, sikap santai, dan sambil berbicara dengan orang lain.
Allah Swt berfirman, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supayamereka merenungkan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Qs. Shad: 29).
Imam Ali bin Abi Thalib As berkata, “Tidak ada kebaikan pada bacaan Al-Qur’an yang tidak disertai dengan tadabbur.” (Bihār al-Anwār, jld. 2, hlm. 49).
Mendapatkan manfaat yang lebih besar dari bacaan Al-Qur’an bergantung dari bacaan yang disertai dengan tadabbur dan kemampuan untuk fokus pada bacaan. Namun bukan berarti bahwa jika seseorang bukan ahli tadabbur, maka dia tidak mendapatkan manfaat dari bacaannya. Siapapun yang membaca Al-Qur’an dengan niat Lillahi Ta’ala akan mendapatkan manfaat dan keberkahan dari bacaannya, namun bagi yang membacanya disertai dengan tadabbur dengan merenungkan ayat-ayatnya maka manfaat dan keberkahan yang didapatnya jauh lebih besar dan lebih sempurna.
Bersih dari Riya
Hal yang terpenting dari adab membaca Al-Qur’an adalah ketulusan niat. Amalan yang tidak disertai keikhlasan karena Allah Swt maka amalan tersebut tidak memiliki arti dan akan sia-sia. Ikhlas adalah ruh dari ibadah, termasuk ruh dari amalan membaca Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an harus diniatkan Lillahi Ta’ala, bukan karena hendak dipuji orang lain sebagai orang yang saleh, sebagai qari yang memiliki bacaan dengan suara yang merdu ataupun niat-niat yang ternodai hasrat besar meraup keuntungan materi.
Imam Ja’far as-Shadiq As berkata, “Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an karena hendak mendapatkan sesuatu dari manusia, maka kelak di hari Kiamat dia akan datang dalam keadaan wajahnya tidak memiliki daging.” (Tsawāb al-A’māl, hlm. 280).
Menaaati Perintah-perintah dalam Al-Qur’an
Kewajiban yang terpenting terkait dengan Al-Qur’an, adalah mengamalkan perintah-perintah yang termaktub dalam Al-Qur’an termasuk menjauhi hal-hal yang dilarang.
Allah Swt berfirman, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu..” (Qs. Al-A’raf: 3).
Pada bagian lain, “Dan Al-Qur’an itu adalah kitab penuh berkah yang Kami turunkan (kepadamu), maka ikutilah kitab ini dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat..” (Qs. Al-An’am: 155).
Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah beriman kepada Al-Qur’an, yang menghalalkan apa yang diharamkan.” (Bihār al-Anwār, jld. 74, hlm. 161).
Imam Hasan al Mujtaba As berkata, “Sedekat-dekatnya manusia dengan Al-Qur’an adalah yang mengamalkannya, meskipun tidak menghafal ayatnya. Dan sejauh-jauhnya manusia dengan Al-Qur’an adalah yang tidak mengamalkannya, meskipun ia telaten membacanya.” (Arsyād al-Quluub, jld. 1, hlm. 79).
Membaca doa Khatamul Qur’an
Setiap selesai membaca Al-Qur’an, disunannahkan untuk membaca do’a penutup Al-Qur’an. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As meriwayatkan bahwa setiap Rasullah Saw habis membaca Al-Qur’an, beliau membaca doa berikut:
أَللهمَّ ارْحَمْنی بِالقرآنِ وَاجْعَلْهُ لی اِماماً وَ نُوراً وَ هُدًی وَ رَحْمَةً. أَللهمَّ ذَکِّرْنی مِنهُ ما نَسیتُ وَ عَلِّمْنی مِنهُ ما جَهِلْتُ، وَارْزُقْنی تِلاوَتَهُ آناءَ اللَّیلِ وَالنَّهارِ، وَاجْعَلْهُ حُجَّةً لی یارَبَّ العالمینَ.
(Bihār al-Anwār, jld. 92, hlm. 206).
Demikianlah diantara adab-adab membaca Al-Qur’an menurut ayat-ayat Al-Qur’an sendiri dan petunjuk dari Maksumin As.
Sebagai penutup, ada baiknya kita membaca pesan dari Imam Baqir As mengenai tiga golongan pembaca Al-Qur’an. Beliau As berkata, “Pembaca Al-Qur’an itu terbagi atas tiga golongan:
Pertama, yang membaca Al-Qur’an untuk popularitas, ia mendapatkan keuntungan dari raja dan pujian dari masyarakat.
Kedua, yang membaca Al-Qur’an bahkan menghafalnya, namun tidak mengamalkannya.
Ketiga, yang membaca Al-Qur’an dan ia menyembuhkan penyakit-penyakit hatinya dengan itu. (Amāli Shaduq, hlm 202).
***
Ismail Amin
[Studi di Jurusan Tafsir Al-Qur’an pada Program Pasca Sarjana Mostafa International University Qom, Republik Islam Iran]
Mengapa Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab dan mengapa tidak dengan bahasa lain?
Bahasa merupakan media yang paling penting dalam menjalin hubungan dan komunikasi di antara umat manusia.
Allah Swt memandang kemampuan berbahasa dan bertutur kata sebagai anugerah besar yang diberikan kepada manusia sebagaimana firman-Nya pada pembukaan surah al-Rahman. Para nabi yang diutus oleh Allah Swt untuk memberikan petunjuk kepada manusia harus bertutur kata dan berbicara dengan mereka dengan bahasa kaum tempat para nabi tersebut diutus. Dengan bahasa kaum tersebut, para nabi menjelaskan aturan-aturan moral, hukum dan akidah kepada mereka.
Dengan memerhatikan pelbagai kondisi sebelum pengutusan (bi'tsat) di kalangan Arab, Allah Swt mengutus Nabi saw kepada kaum Arab, sehingga dengan demikian Nabi saw harus bertutur kata dengan bahasa mereka dan membawa mukjizat yang dapat dipahami oleh mereka. Karena itu, Al-Qur’an, sebagai mukjizat Nabi saw, juga diturunkan dalam bahasa Arab. Meski demikian tipologi esensial bahasa Arab seperti, struktur, elokuensi dan retorika bahasa Arab tentu saja tidak boleh diabaikan begitu saja.
Adapun terkait dengan pertanyaan tentang mengapa Nabi Pamungkas Allah Swt adalah nabi yang berbahasa Arab, sehingga konsekuensinya bahasa yang digunakan juga adalah bahasa Arab? Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa:
Dengan memerhatikan bahwa bangsa Arab adalah orang-orang yang fanatik dengan metode, ajaran dan keturunan mereka (faktor internal penjagaan) dan sepanjang perjalanan sejarah, tiada satu pun penguasa atau pemerintahan yang dapat memaksa mereka mengganti bahasanya (tiadanya faktor eksternal) dan tersedianya pelbagai faktor dalam bahasa Arab untuk menjelaskan berbagai persoalan dalam format lafaz tanpa adanya ambiguitas dan kekaburan, semenanjung Hijaz dan bahasa Arab merupakan sebaik-baik jalan pembelaan natural dan non-adikodrati agama dan penjagaan agama pamungkas dan kitabnya.
Maka itu, salah satu dalil mengapa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab adalah untuk menjaga dan memelihara keabadiannya. Salah satu sunnah Ilahi adalah mengutus para nabi dan rasul kepada manusia untuk memberikan petunjuk kepada mereka. Para nabi juga—dalam berinteraksi dengan orang-orang yang kepadanya mereka diutus—menggunakan bahasa kaum tersebut.
Karena bahasa merupakan satu-satunya media komunikasi antarmanusia dan para nabi pun harus menggunakan media ini. Tutur kata para nabi dengan bahasa kaum merupakan salah satu sunnah Ilahi yang pasti.
Allah Swt berfirman, Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka (QS Ibrahim [23]: 4) Sunnah ini juga berlaku bagi para nabi yang seruannya mendunia.
Meski diutus untuk memberikan petunjuk kepada seluruh manusia, seperti para nabi ulul azmi, namun mereka berkata-kata dengan bahasa sebuah kaum dimana apabila mereka menggunakan bahasa selain bahasa kaum maka syariat nabi tersebut tidak akan dipahami oleh masyarakat pengguna bahasa tersebut.
Al-Qur'an merupakan sebuah hakikat dan realitas metabahasa (di atas bahasa). Sebelum Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, ia berada pada sebuah tingkatan wujud (hakikat) yang pada tingkatan tersebut akal manusia tidak dapat mencapainya. Allah Swt menurunkan Al-Qur'an dari kediaman aslinya dan membuatnya dapat dipahami oleh manusia dan mengenakan busana redaksi Arab padanya. Dengan demikian, manusia dapat mengenal dan mencerap aneka hakikat yang terpendam di dalamnya.[1]
Karena itu, inti dan pokok Al-Qur'an berada di atas format bahasa dan terkandung dalam sebuah bahasa khusus. Namun, terkait dengan persoalan mengapa Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab, maka dalam menjawab persoalan ini harus dikatakan bahwa: terpisah dari tipologi esensial bahasa Arab yang bahasa ini merupakan bahasa yang memiliki struktur dan berada di puncak kefasihan dan retorika di antara bahasa-bahasa yang ada di dunia, Nabi Saw diutus pada suatu kaum yang berbicara dengan menggunakan bahasa Arab dan untuk menyampaikan pesan Ilahi, maka beliau harus menunjukkan sebuah mukjizat yang dapat dipahami oleh masyarakat Arab sehingga mereka tidak mengingkarinya, beriman kepada Allah Swt dan berupaya untuk menyebarkan agama.
Akan tetapi, dapat dipahaminya agama bukan berarti bahwa seluruh al-Qur'an dapat dipahami; lantaran seluruh hakikatnya tidak terbatas, melainkan bermakna memahami bahasa dan memahami secara global dari sebagian hakikatnya. Masyarakat jahilah Arab prapengutusan Nabi Saw, hidup dalam kondisi yang sangat mengenaskan dan atas dasar ini, Allah Swt mengutus Nabi Saw di kalangan kaum Arab.
Terkait dengan kondisi masyakarat jahiliah pra-Islam dan kedatangan Rasulullah Saw, Ali As bersabda, “Allah mengutus Nabi ketika manusia sedang tersesat dalam kebingungan dan sedang bergerak ke sana sini dalam kejahatan. Hawa nafsu telah menyelewengkan mereka dan tipu daya telah menyimpangkan mereka.
Kejahilan yang amat sangat telah membuat mereka menjadi tolol. Mereka dibingungkan oleh ketidakpastian hal-hal dan kejahatan jahiliah. Kemudian Nabi Saw berusaha sebaik-baiknya dalam memberikan kepada mereka nasehat yang tulus. Beliau sendiri berjalan di jalan yang benar dan memanggil (mereka) kepada kebijaksanaan dan nasehat yang baik.”[2]
Dalam kondisi seperti ini, yang menjadi penyebab diutusnya Rasulullah Saw di kalangan Arab, karena itu Al-Qur'an harus disampaikan dalam bahasa Arab, bukan dengan bahasa lain. Akan tetapi, apa yang penting adalah bahwa pemanfaatan Al-Qur'an tidak hanya terbatas pada bahasa Arab saja. Allah Swt berfirman, Dan jika Kami jadikan Al-Qur’an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab, tentulah mereka mengatakan, “Mengapa jelas ayat-ayatnya? Apakah (patut Al-Qur’an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab?” Katakanlah, “Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan pada telinga orang-orang yang tidak beriman terdapat sumbatan, sedang Al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS Fushshilat [41]: 44)
Akan tetapi, boleh jadi pertanyaan lain mengemuka di sini yaitu mengapa nabi terakhir dari sisi Allah Swt harus seorang nabi yang berbahasa Arab sehingga kitabnya juga harus berbahasa Arab? Mengapa bukan bahasa Persia, Inggris dan seterusnya? Di sini kami memandang perlu menyebutkan beberapa poin sebelum menjawab pertanyaan ini:
A. Tatkala persoalan terkait dengan Nabi Pamungkas Saw maka harus ada beberapa orang yang menerima pesan dan menjaganya dengan baik (faktor internal yang menjaga).
B. Dari sisi lain sebagian orang berada pada tataran ingin melenyapkan agama dan para penjaganya, sebagaimana hal ini kita saksikan pada sejarah seluruh nabi (faktor eksternal untuk mengubah). Karena itu, solusi untuk berhadapan dengan dua faktor ini harus dipikirkan sebelumnya.
C. Dari sisi lain, tidak mesti bahwa untuk menjaga agama dan Al-Qur'an harus senantiasa—khususnya pascawafatnya Rasulullah saw—melalui mukjizat dan tindakan-tindakan adikodrati. Dengan memerhatikan beberapa pendahuluan ini, sekarang mari kita alihkan perhatian pada manusia dan lingkungan hidup mereka sehingga kita dapat menyaksikan pada lingkungan dan kondisi yang mana beberapa poin berikut ini cocok diterapkan:
Pertama: Orang-orang Arab adalah orang-orang yang memiliki fanatisme tinggi terhadap bahasa, cara, ajaran, metode sedemikian sehingga mereka tidak bisa dipisahkan dari bahasa dan kebudayaan mereka. Bahkan hingga pada masa kini mereka, meski dengan adanya serangan propaganda globalisme, tidak rela melepaskan pakaian (jubah) tradisional mereka (faktor internal).
Kedua: Orang-orang Arab Hijaz tidak hanya tidak melepaskan bahasa ibu mereka melainkan sepanjang sejarah, tiada satu pun pemerintahan atau penguasa asing yang mampu memaksa mereka untuk melupakan bahasa mereka. Artinya, mereka tidak menerima pengaruh dari luar (tiadanya faktor eksternal untuk mengubah budaya orang Arab ini).
Ketiga: Bahasa orang-orang Arab Hijaz dengan banyaknya kata ganti (dhamir, pronomina), perbedaan kata ganti orang kedua tunggal, kata ganti orang pertama tunggal, jamak, perbedaan formula maskulin (mudzakkar) dan feminin (muannats), ragam jumlah kalimat jamak, kata kiasan, dan seterusnya merupakan beberapa keunggulan bahasa Arab dalam mengekspresikan banyak persoalan dalam bahasa yang sederhana tanpa adanya ambiguitas dan kekaburan.
Dengan memerhatikan beberapa poin di atas, untuk menjaga kelestarian agama pamungkas dan kitabnya, Semenanjung Hijaz dan bahasa Arab merupakan sebaik-baik jalan untuk membela agama secara natural dan non-adikodrati. Al-Qur'an dengan aneka macam daya tarik internalnya, irama dan bacaannya, membuka benak orang-orang Arab Badui yang mencintai ucapan-ucapan yang sarat makna dan fasih dan terpelihara dari ragam jenis penyimpangan redaksional dan literal. Karena itu, diturunkannya Al-Qur'an dalam bahasa Arab adalah untuk menjaga dan memelihara kelestariannya.[3]
Namun, dapat dikatakan bahwa turunnya Al-Qur'an dalam bahasa Arab, merupakan kemurahan dan anugerah bagi orang-orang yang berbahasa Arab. Sekiranya diturunkan bukan dalam bahasa Arab, maka orang-orang yang berbahasa Arab yang sangat berstrata tidak akan beriman kepadanya. Allah Swt berfirman, Dan kalau Al-Qur’an itu Kami turunkan kepada salah seorang dari golongan bukan Arab, lalu ia membacakannya kepada mereka (orang-orang kafir), niscaya mereka tidak akan beriman kepadanya (QS Al-Syu'ara [26]: 198-199) []
Catatan Kaki:
[1] Al-Mîzân (Terjemahan Persia), jil. 18, hal. 122-123.
[2] Nahj al-Balâghah, Khotbah 95.
[3] Fashlnâme-ye Bayyinât, No. 27, hal. 38-41.
Kedudukan Al-Quran dalam Mazhab Islam Syiah
Ayatullah Sayyid Milani Mengatakan bahwa Alquran adalah penjelas segala sesuatu dan juga penjelas bagi dirinya (quran). Ayatullah Ja'far Subhani mengatakan Alquran adalah asas bagi syariat Islam, dan sunnah nabawiah yang menjadi qarinah baginya, Alquran adalah cahaya yang jelas untuk dirinya dan menerangi selainnya dan Alquran seperti Matahari yang menyinari sekelilingnya. Allah SWT berfirman didalam surat Al-Isra 9 :
إِنَّ هذَا الْقُرْآنَ يَهْدي لِلَّتي هِيَ أَقْوَمُ وَ يُبَشِّرُ الْمُؤْمِنينَ الَّذينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْراً كَبيراً
Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa mereka memiliki pahala yang besar.
Allah berfirman didalam surat Annahl ayat 89:
وَ نَزَّلْنا عَلَيْكَ الْكِتابَ تِبْياناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَ هُدىً وَ رَحْمَةً وَ بُشْرى لِلْمُسْلِمينَ
Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al-Qur'an) ini untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Dan juga secara jelas Allah menjadikan Quran sebagai pembeda antara Haq dan Bathil surat Al-Furqan ayat pertama:
تَبارَكَ الَّذي نَزَّلَ الْفُرْقانَ عَلى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعالَمينَ نَذيراً
Maha Agung nan Abadi Dzat yang telah menurunkan al-Furqân (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.
Tahrif quran sudah menjadi isu yang sengaja dilemparkan oleh sebagian golongan kepada mazhab ahlulbait as, isu yang masih hangat di masyarakat dan tanpa disadari menjadi sebuah doktrin bagi sebagian golongan untuk menyudutkan mazhab lainnya tanpa didasari dalil-dalil yang jelas, berikut ini penjelasan dan pengenalan mengenai apa itu tahrif dan penjelasan ulama syiah dalam menolak keberadaan tahrif didalam Alquran.
A. Makna Takhrif dan Pembagiannya
Tahrif secara lughawi : Tafsirulkalam ‘alagheiri wajhin /harrafa assyai ‘an wajhi (menyelewengkan sesuatu pada arah tertentu) Seperti dalam al-Qur'an ayat Annisa : 46
يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَواضِعِهِ
Mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya
Attabarsi mengatakan : Yufassiruunaha ‘ala gheiri ma unzilat ( menafsirkan sesuatu selain apa yang diturunkan)
Secara Istilah ada beberapa bentuk dalam memahami tahrif :
Tahrif maknawi : tahrif madlul kalam atau yufassiru ‘ala wajhin yuwafiqu ra'yu almufassir sawaun awafiqu alwaqi' am la ( menafsirkan pada bentuk tertentu yang sesuai dengan Ra'yu mufassir baik itu sesuai dengan yang sebenarnya atau tidak) .
Bentuk tahrif ini banyak dilakukan oleh sebagian mufassir sehingga jauh dari makna yang sebenarnya. Mazhab Syiah meyakini bahwa Allah SWT menurunkan ayat tidak sendiri atau tidak telanjang tanpa penjelasan, akan tetapi berikut takwil dan tafsir ayat tersebut secara terperinci, seperti didalam hadits dan qaul para ulama Syiah. Sehingga seperti yang dikatakan Syeikh Mufid bahwa tangan-tangan orang dzalim inilah yang hendak menghapus dan menyembunyikan keterangan yang jelas berupa tafsir dan takwil alquran tersebut, bukan menghilangkan ayat Alquran, tetapi penjelasannya.
Tahrif Qira'ah:
Perubahan Harakat , huruf dengan masih terjaga keutuhan Quran , seperti membaca Yathhuran atau yathhuranna , yang satu menggunakan nun khafifah yang lain menggunakan tsaqilah.
Perubahan Lahjah/dialek , seperti lahjah Hijaz berbeda dengan lahjah iraq dan iran bahkan dengan libanon dan di daerah sekitarnya, semisal : Qaf , sebagian mengucapkan dengan Gaf.
Tahrif Perubahan Kata:
Seperti kata "asra'u" dengan "Amdhu" , dan "Alhakim" dengan "Al'adil" Tahrif seperti ini tidak terjadi di dalam Alquran. Walaupun sebagian hadits didalam mazhab Suni menceritakan perubahan itu.
Tahrif penambahan, pengurangan kalimat dan ayat:
Tahrif sejenis inipun tidak terjadi didalam Alquran, walaupun ada keterangan hadits dhaif baik itu dalam literatur mazhab Suni ataupun Syiah. tahrif perubahan kata dan penambahan serta pengurangan kalimat atau ayat inilah yang akan dibahas pada pembahasan kita kali ini.
Dalil Ketiadaan Tahrif Al-Qur'an
a) Dalil dari ayat Alquran
Ayat al Hifdz
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَ إِنَّا لَهُ لَحافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Al-Hijr ayat-9)
"Adzikr" yang dimaksud disini adalah Alquran.
Dan dilam ayat ini terdapat makna janji Allah SWT sendirilah yang menjaga keaslian Alquran itu sendiri.
Ayat Nafi al Bathil
إِنَّ الَّذينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جاءَهُمْ وَ إِنَّهُ لَكِتابٌ عَزيزٌ لا يَأْتيهِ الْباطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزيلٌ مِنْ حَكيمٍ حَميدٍ
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al-Qur'an ketika Al-Qur'an itu datang kepada mereka, (mereka juga tidak tersembunyi dari Kami), dan sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah kitab yang mulia.
Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur'an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
(Alfushilat : 41-42)
Makna Addzikr disini adalah Alquran, dan "Adzikr" dikatakan "Al-kitab al'aziz", jadi makna Addzikr disini adalah Quran. Al-bâthil berlawanan dengan Al-haq (kebenaran), dan Alquran Adalah kebenaran dalam lafadz dan maknanya atau makna-maknanya, serta hukumnya yang abadi, pengetahuannya bahkan dasar-dasarnya sesuai dengan fitrah manusia. Seperti yang dikatakan Syeikh Thabarsi dalam Majma Al-bayan mengenai ayat ini ,dikatakan : Alquran tidak ada hal yang tanaqudh (kontradiktif) dalam lafadznya tidak ada kebohongan dalam khabarnya, tidak ada yang ta'arudh (berlawanan), tidak ada penambahan dan pengurangan. Sehingga pantaslah kalau ayat Alquran ini saling menjelaskan yang satu dengan yang lainnya.
Ayat Jam'ul Qur'an dan Qiraatnya
لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ
إِنَّ عَلَيْنا جَمْعَهُ وَ قُرْآنَهُ
فَإِذا قَرَأْناهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنا بَيانَهُ
"Janganlah kamu gerakkan lidahmu karena tergesa-gesa ingin (membaca) Al-Qur'an.
Karena mengumpulkan dan membacanya adalah tanggungan Kami.
Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.
Kemudian, penjelasannya adalah (juga) tanggungan Kami."
(Al-Qiyamah : 17-19)
Allah SWT lah yang menjaga , mengumpulkan, membacanya, dan menjelaskannya juga.
Disinilah yang diyakini mazhab Syiah Bahwa Wahyu itu bukan hanya Ayat alquran yang ada di tangan kita tetapi meliputi juga wahyu penjelasan, takwil, dan keterangan-keterangan lainnya kepada nabi saww yang bukan termasuk ayat seperti Alquran yang ada pada tangan kita, sehingga dalam hal ini Imam Ali as menuliskannya secara lengkap dalam Qurannnya yang makruf dikenal sebagai Quran Ali yang diperintahkan oleh Rasulullah saww. Sehingga banyak yang keliru memahami Quran Ali disini. Quran Ali memang memiliki banyak ayat tetapi bukan ayat seperti yang ada didepan kita, tetapi ayat-ayat penjelasan secara terperinci, meliputi asbab annuzul, tafsir, takwil, dan keterangan penjelasan lainnya yang dinamakan didalam sebagai riwayat sebagai ayat sehingga berjumlah 17000 ayat. Tetapi bukanlah ayat Alquran secara asas, hanya ayat penjelasan, tafsir, takwilnya.
b). Dalil riwayat dari orang-orang Maksum as
Hadits Ghadir
Semisal dalam kitab Alihtijaj 1/60 Syeikh Attabarsi:
(معاشر الناس) تدبروا القرآن وافهموا آياته وانظروا إلى محكماته ولا تتبعوا متشابهه، فوالله لن يبين لكم زواجره ولا يوضح لكم تفسيره إلا الذي أنا آخذ بيده ومصعده إلى - وشائل بعضده - ومعلمكم إن من كنت مولاه فهذا علي مولاه، وهو علي بن أبي طالب عليه السلام أخي ووصيي،
Di dalam peristiwa Ghadir Khum yang makruf pada tanggal 18 Julhijjah
Nabi saww bersabda : Wahai kaum manusia sekalian, pelajarilah Alquran, dan fahamilah ayat-ayatnya, dan lihatlah pada ayat Muhkamah janganlah mengikuti yang mutasyabihah, dan Allah tidak akan menjelaskankan makna bathinnya dan menerangkan tafsirnya kecuali aku yang mengangkat tangannya dan yang mengangkat lengannya, dan yang menunjukkan kamu sesungguhnya barangsiapa yang Aku Maulanya maka ali Maulanya juga dan dia Ali ibn Abi thalib as saudaraku dan washiku.
Hadits Ghadir merupakah hadits fauqu mutawatir di kalangan umat Islam. Dan saya sengaja mengambil sebuah contoh hadits ghadir dari mazhab syiah yang menunjukkan keterjagaan Quran dari tahrif . Dikatakan disana bahwa perintah mentadabbur quran dan memahaminya dan melihat yang muhkamah bukan mutasyabihah melazimkan bahwa Alquran pada saat itu telah terkumpul tersusun, tidak ada perubahan.
Hadits Tsaqalain
Hadits Ini juga merupakan hadits mutawatir di kalangan umat Islam :
إني تارك فيكم الثقلين كتاب الله و عترتي أهل البيتي، ما إن تمسكتم بهما لن تضلوا بعدي أبداً...
Rasulullah saww bersabda : Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian semua dua pusaka yang berat yang pertama Kitabullah dan kedua itrati Ahlulbaiti , yang berpegangteguh padanya maka tidak akan tersesatkan selama-lamanya setelahku...
Keterangan :
- Perintah Tamassuk (berpegang teguh) adalah far'u (bagian) dari wujud Alquran di tangan almutamassikin (orang yang berpegang teguh), jadi sesuatu yang mustahil perintah berpegang teguh kepada Quran yang tidak wujud atau tidak diyakini keutuhannya dari kurang atau lebihnya ayat atau surat dalam Alquran.
Hadits yang menjelaskan bahwa Qur'an kuat rukunnya
Imam Ali as berkata :
و كتاب الله بين اظهاركم ناطق لا يعيا لسانه، و بيت لا تهدم أركانه، و عزّ لا تهزم أعوانه
Dan kitabullah yang hadir padamu yang Nathiq tidak lelah lidahnya, dan rumah yang tidak roboh rukun (tiangnya), dan mulia tidak terputus pertolongannya. ( khutbah 133 nahjul balaghah)
Hadits Perintah untuk merujuk kepada al-Qur'an
Perintah untuk merujuk pada quran ,dan hadits yang sesuai dengannya telah dipakai dan yang tidak sesuai dengan quran harus ditinggalkan, merupakan bukti yang sangat jelas tentang ketiadaan tahrif dalam alquran. Hal ini melazimkan Alquran sebagai pokok asas untuk merujuk, dan asas melazimkan keaslian dan keutuhannya, Karena bagaimana mungkin memerintahkan untuk merujuk kepada Quran sedangkan yang menjadi sumber nya diragukan keasliaannya, hal ini mustahil.
محمد بن يعقوب: عن علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن النوفلي، عن السكوني، عن أبي عبدالله (عليه السلام) قال: «قال رسول الله (صلى الله عليه و آله): إن على كل حق حقيقة، و على كل صواب نورا، فما وافق كتاب الله فخذوه، و ما خالف كتاب الله فدعوه».
( الكافي 1: 55/ 1)
"Muhammad Ibn Ya'qûb berkata : dari Ali Ibn Ibrâhîm dari ayahnya dari An-Naufali dari As-Saukani, dari Abu Abdillah bersabda : Rasulullah saww bersabda : Sesungguhnya dari segala hal yang benar adalah sebuah hakikah kebenaran, dan dari segala pahala adalah cahaya, dan apa-apa yang sesuai dengan kitabullah maka ambillah dan yang bertolak belakang dengan kitabullah tinggalkanlah".
قول الإمام الصادق عليه السّلام: «إذا ورد عليكم حديثان مختلفان فأعرضوهما على كتاب اللّه، فما وافق كتاب اللّه فخذوه، و ما خالف كتاب اللّه فردّوه ...» (وسائل الشيعة : 18:84)
"Perkataan Imam As-Sâdiq as : Jikalau datang kepadamu dua hadits yang berbeda maka rujuklah kepada kitabullah , mana yang sesuai dengan Quran maka ambillah dan yang tidak sesuai tolaklah".
Isi dari hadits tersebut tidak lain dari perintah merujuk kepada Alquran maka hadits yang tidak sesuai dengan Quran maka tinggalkanlah dan yang sesuai ambillah, bahkan ditegaskan bahwa yang sesuai dengan Quran itu dariku (Maksumin as) dan yang tidak sesuai itu bukan dariku.
Hadits semodel ini banyak di dalam literatur Syiah, saya menuliskan sebagian hanya sebagai sebuah gambaran saja.
Anjuran Imam Maksum as untuk mengkhatamkan Qur'an
من ختم القرآن بمكة من جمعة إلى جمعة و أقل من ذلك ، و خنمه في يوم الجمعة، كتب الله له الأجر و الحسنات من أوّل جمعة كانت إلى آخر جمعة تكون فيها، و إن ختم في سائر الأيام فكذلك.
Imam Baqir as berkata : Barangsiapa yang mengkhatam Alquran di Mekkah dari hari Jumat ke hari Jumat lagi atau lebih sedikit dari itu, dan mengkhatamnya di hari Jumat, Allah SWT menuliskannya pahala (yang banyak) dan kebaikan ( yang berlimpah) dari awal jum'at sampai akhir Jum'at. Dan yang mengkhatam di hari lainnyapun seperti demikian (pahalanya) juga.
Khatam Quran menunjukkan Alquran telah ada dan terkumpul seperti yang ada sekarang. Karena Khatam melazimkan membaca dari awalnya sampai akhirnya, karena kalau adanya tahrif berupa kurang ayat maka tidak bisa dikatakan "khatam" kalau dikatakan adanya penambahan ayat, maka tidak ada wujudnya dan yang wujud di tangan syiah dari zaman Imam Ali as ataupun di zaman Imam Baqir as sekalipun sama dengan muslimin lainnya, lalu bagaimana bisa dikatakan adanya tahrif kurang dan tambah di dalam mazhab Syiah?
Dalil kitab yang ada ditangan kaum muslimin sudah lengkap
كتاب ربكم فيكم، مبيناً حلالح و حرامه و فرائضه و فضائله و ناسخه و منسوخه....
Kitab yang ada di tanganmu (kaum Muslim), penjelas halal dan haramnya , fardhu dan fadhailnya, nasikh dan mansukhnya...
Menjelaskan kesempurnaan alquran yang ada di tangan muslimin
(Nahjulbalaghah , khutbah 1:23)
Surat Imam Ridha as
Perlu kita ketahui bahwa Imam Ridha as adalah Imam ke delapan di zaman kekhalifahan zalim Abbasiah Al-makmun yang bukan syiahnya.
وأن جميع ما جاء به محمد بن الله هو الحق المبين والتصديق به وبجميع من مضى قبله من رسل الله وأنبيائه وحججه والتصديق بكتابه الصادق العزيز الذي (لا يأتيه الباطل من بين يديه ولا من خلفه تنزيل حكيم حميد) وأنه المهيمن على الكتب كلها، وأنه حق من فاتحته إلى خاتمته نؤمن بمحكمه ومتشابهه وخاصه وعامه ووعده ووعيده وناسخه ومنسوخه وقصصه وأخباره لا يقدر أحد من المخلوقين، أن يأتي بمثله وأن الدليل بعده والحجة على المؤمنين
Imam Ridha as berkata : Sesungguhnya Jami' (seluruh) apa yang diturunkan Muhammad ibn abdillah adalah Haqqul mubin, dan membenarkan dengannya seluruh (kitab ) sebelumnya dari utusan Allah SWT dan para nabi-Nya, dan yang menjadi hujjah (keasliannya) dan membenarkannya adalah Kitabullah Assadiq alaziz ayat- Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur'an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Dan Hujjah ayat tersebut menjaga seluruh kitab ( quran) seluruhnya (kandungannya), dan Alquran benar dari mulai Fatihahnya sampai akhirnya , kami mengimani Almuhkamah dan mutasyabihah, alkhashah dan ‘amah , janji dan ancamannya, nasikh dan mansukhnya, kisah dan akhbarnya, tidak ada seorangpun dari makhluk yang mampu membuat sepertinya, dan dalil setelahnya serta Hujjah bagi orang Mukmin.
-sangat jelas pernyataan Imam Ridha as membenarkan Quran yang ada di tangan Makmun yang bukan syiahnya.
Peintah mengumpulkan Qur'an di masa Nabi Saw
Perlu diketahui para Ulama syiah dengan analisa yang terperinci dan detail berkesimpulan bahwa Quran telah tersusun di jaman Nabi saww seperti sekarang ini, karena banyak dalil yang menunjukkan hal itu, baik itu di dalam kitab-kitab mazhab Syiah ataupun Suni. Dan yang setelahnya adalah ikhtilaf dalam masalah qiraah, seperti yang dilakukan penyatuan qiraah di zaman Utsman bin Affan - jadi Khalifah Utsman bukanlah menyusun al-quran tetapi menyatukan qiraahnya dan kesepakatan tulisan dalam huruf seperti titik dan harakat, sebagian berpendapat urutan suratnya-,walaupun setelahnya masih terjadi perbedaan yang mencapai qiraah tujuh sebagian mengatakan sampai sepuluh.
علي بن الحسين، عن أحمد بن أبي عبد الله، عن علي بن الحكم عن سيف، عن
أبي بكر الحضرمي، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: إن رسول الله صلى الله عليه
وآله قال لعلي: يا علي القرآن خلف فراشي في المصحف والحرير والقراطيس فخذوه واجمعوه ولا تضيعوه كما ضيعت اليهود التوراة، فانطلق علي فجمعه في ثوب أصفر، ثم ختم عليه في بيته ....dari Abi Abdillah as, Rasul saww bersabda kepada Ali as : Wahai Ali Alquran yang ada dibalik tilam/kasur, didalam mushhaf dan kain serta kertas, ambillah dan kumpulkanlah janganlah kau telantarkannya /menghilangkannya seperti orang-orang Yahudi menelantarkan/menghilangkan tauratnya, maka bersegeralah Ali untuk mengumpulkannya dan menyusunnya di dalam kain yang kuat (dijilid) yang kuning, kemudian menyelesaikannya di rumahnya. (Alamah majlisi -Biharulanwar 89/48)
Penyusunan dan pengumpulan Quran di zaman rasulullah saww banyak tertulis di dalam kitab rujukan umat Islam, sebagian dari hadits Suni seperti yang dinukil Al-khawarizmi di dalam kitab Al-manaqib dari Ali ibn Ribah sesungguhnya Ali ibn Abi thalib as dan ibn Ka'ab mengumpulkan dan menyusun Alquran Alkarim di zaman rasulullah saww.
c). Pernyataan para ulama Syiah Syeikh Shaduq (wafat-318 H)
Kitab Ali'tiqad 59-60
اعتقادنا أن القرآن الذي أنزله الله على نبيه محمد صلى الله عليه و آله هو ما بين الدفتين و هو ما في أيدي الناس ليس بأكثر من ذلك ، ومبلغ سوره عند الناس مائة و أربع عشرة سورة ، وعندنا أن الضحى وألم نشرح سورة واحدة ولإيلاف وألم تر كيف سورة واحدة ، ومن نسب إلينا أنا نقول أكثر من ذلك فهو كاذب "
Keyakinan Kami bahwa Quran yang diturunkan Allah kepada nabinya Muhammad saww dan quran itu diantara dua sisi, dan dia yang ada di tangan manusia (sekarang) yang tidak ada lebih dari hal itu yaitu yang berjumlah 114 surat, dan di kita(syiah) , surat dhuha dan alam nasyrah dianggap satu surah, dan alilaf dengan alam tara kaifa dianggap satu surah, dan yang menuduh kita lebih dari demikian maka hal itu bohong.
Syeikh Mufid ( wafat 413 H)
Kitab Awailul Almaqalat , hal 54 - 56
وقد قال جماعة من اهل الامامة : انه لم ينقص من كلمة ولا من آية ولا من سورة ..) الخ .. لتعلم مدى كذبه ودجله
Dan berkata ulama Jamaah dari Ahli Imamah (Syiah) : bahwa sesungghunya Quran tidak ada kurang dari kalimat dan tidak pula dari ayat dan tidak pula dari surah ....sampai kamu tahu siapa yang membohonginya dan menipunya. (orang yang mengatakan adanya tahrif)
Syeikh Murtadha ( wafat 436 H)
Risalah aljwabiah alula
لأن القرآن معجزة النبوة ومأخذ العلوم الشرعية والاحكام الدينية' وعلماء المسلمين قد بلغوا في حفظه وحمايته الغاية حتى عرفوا كل شئ اختلف فيه اعرابه وقراءته.. فكيف يجوز ان يكون مغيراً أو
منقوصاً مع العناية الصادقة والضبط الشديد ! وقال : ان القران كان على عهد رسول الله (ص) مجموعاً مؤلفاً على ما هو عليه
الآن ..)
... Sesungguhnya Quran sebuah mukjizah , yang meliputi ilmu-ilmu Syar'iyyah dan Ahkam diniyyah, dan Ulama Muslimin telah banyak menghapalnya dan menjaganya sampai dimana mereka mengetahui segala kekeliruan ( kalau terjadi) didalamnya pada i'rabnya dan bacaannya, dan bagaimana bisa Quran itu terdapat perubahan atau kekurangan sedangkan banyak yang menjaganya dan menghapalnya dengan sangat banyaknya , maka dia berkata : sesungguhnya Quran di zaman rasulullah saww telah terkumpul , ditulis seperti sekarang ini.
Syeikh Thaifah -Syeikh Thusi ( 460 H)-syeikh thaifah adalah ulama ijma' yang penting didalam mazhab Syiah.
Albayan fi tafsir Quran juz 1 hal 3
أما الكلام في زيادته ونقصانه فمّما لايليق به ‘لأن الزيادة فيه
مجمع على بطلانها'
Dan pernyataan dalam ziadah ( lebih ) dan kurang dari quran tidak layak karena kelebihan (ziadah) adalah secara sepakat merupakan sebuah kebathilan.
Syeikh Tabarsi (548 H)
(اما الزيادة فمجمع على بطلانها' واما القول بالنقيصة فالصحيح من مذهب أصحابنا الامامية خلافه .
Ziadah (kelebihan) dan kekurangan ayat (didalam Alquran) secara ijma adalah bathil maka yang betul dalam mazhab Imamiah (syiah) adalah tidak sependapat dengannya (dengan kekurangan dan kelebihan)
( Majma Al-bayan juz 1 hal 15) Sayyid Ali ibn Thawus Alhilli ( 663 H)
إنَ رأي الإمامة هو عدم التحريف
Sesungguhnya pandangan Syiah Imamiah adalah ketiadaan tahrif Quran ( Sa'du AsSu'ud 144) Alamah Hilli (728 H)
جعل القول بالتحريف متنافياً مع ضرورة تواتر القرآن بين المسلمين
Anggapan Tahrif berlawanan dengan dharuriyat tawatur Alquran diantara muslimin
( Ajwibah Al-Masail Al-Muhawiah 121) Almaula Muhaqiq Ahmad Ardabili (993 H)
جعل العلم بنفي التحريف ضرورياً من المذهب .
Telah sampai tinggkatan al-‘ilm (qath'i) terhadap penafian tahrif adalah kedaruriatan Mazhab (syiah)
(Majma Alfaidah jilid 2 hal 218) Sayyid Nurullah Tastari Al-Mustasyhid (1029 H)
ما نسب الى الشيعة الامامية من القول بوقوع التغيير في القرآن ليس مما قال به جمهور الامامية' انما قال به شرذمة قليلة منهم لااعتداد بهم فيما بينهم
Barangsiapa yang menisbatkan kepada syiah mengenai pendapat adanya perubahan dalam Quran bukanlah pendapat Jumhur Imamiah (syiah) ,mereka yang mengatakan perubahan hanyalah segolongan kecil dari mereka dikarenakan keyakinan mereka dengan apa yang ada diantara mereka ( Akhbariun)
(Kitab Mashaib An-Nashaib atau Al-Ala' Arrahman 1/25) Al-Maula Muhaddits Muhammad ibn Hasan Feidz Al-kasyani (1090 H)
: (على هذا لم يبق لنا اعتماد بالنص الموجود' وقد قال تعالى :{ وَاِنهُ لكتاب عَزيز لا يَأتيهِ الباطل من بين يديه ولا من خَلفه} وقال :{ وإنا نَحنُ نَزلنَا الذِكرَ وإنا لهُ لَحافِظون}. وأيضاً يتنافى مع روايات العرض على القرآن . فما دل على وقوع التحريف مخالف لكتاب الله وتكذيب له فيجب رده والحكم بفساده أو تأويله .
Setelah meriwayatkan sebuah hadits mengenai tahrif.... terhadap hal itu tidak ada bagi kita keyakinan (taharif) dikarenakan adanya nash Quran, Allah berfirman :
sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah kitab yang mulia, Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur'an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya
dan firman allah Ta'ala :
Sesungguhnya kami yang menurunkan Alquran dan kamilah yang menjaganya.
Dan juga berlawanan dengan riwayat-riwayat mengenai Quran , oleh sebab hadits apa saja saja yang menunjukkan tahrif quran berlawanan dengan Kitabullah dan merupakan suatu kedustaan dan maka wajib bagi kita untuk menolaknya dan menghukuminya dengan kefasidan, atau dengan menak'wilnya.
(tafsir Shâfi jilid 1 hal 33)
Syeikh Muhammad Ibn Hasan Hurr Al-Amili (1104 H)
: إن من تتبع الاخبار وتفحص التواريخ والآثار علم -علماً قطعياً- بأن القرآن قد بلغ أعلى درجات التواتر' وأن آلآلف الصحابة كانوا يحفظونه ويتلونه' وأنه كان على عهد رسول الله (ص) مجموعاً مؤلفاً
Sesungguhnya barangsiapa yang menelusuri akhbar (rwiayat) dan meneliti Tarikh , dan atsar , telah diketahui - dengan ilmu Qath'i-sesungguhnya Quran telah mencapai yang paling tinggi derajatnya pada tingkatan mutawatir dan ribuan dari shahabat menghapal quran dan membacanya dan hal itu pada zaman rasulullah saww telah terkumpul dan tertulis quran tersebut ( Al-fushul Al-Muhimmah fi ta'lif Al-Ummah hal 166) Syeikh Ja'far kabir Kasyiful Ghitha (1228 H)
كذلك جعله من ضرورة المذهب بل الدين واجماع المسلمن واخبار النبي والأئمة الطاهرين .
...oleh sebab itu menjadikannya (penolakan tahrif) dari daruriat Mazhab (syiah) bahkan agama (Islam umumnya) dan Ijma Muslimin serta Akhbar dari Nabi saww dan Imam suci as.
( Kasyifulghtha , kitabulquran min Ashalat hal 298)
Syeikh Muhammad ibn Husein Kasyiful ghitha ( 1373 H)
جعل رفض احتمال التحريف أصلاً من اصول المذهب .اصل الشيعة واصولها
Penolakan terhadap kemungkinan Tahrif adalah bagian dari Ushul Mazhab , hal itu merupakan keaslian Syiah dan ushulnya.
Dan masih banyak lagi pernyataan ulama mutaqaddimin (terdahulu) ....
Ulama Mutaakkhirin sudah jelas dengan ijma' nya menolak tahrif quran diantaranya :
Sayyid Khui
إنَ من يدَعي التحريف يخالف بداهة العقل
(sesungguhnya yang beranggapan adanya tahrif maka berlawanan dengan kebadihiahan aqal ) (Al-Bayan fi tafsir Al-quran : 220)
Imam Khumaeni
...والآن وبعد أن أصبحت صورته الكتبية في متناولنا بعد أن نزلت بلسان الوحي على مراحل ومراتب من دون زيادة أو نقصان وحتى لو حرف واحد.
Dan sekarang setelah menjadi bentuk secara kitabiah dan kita menerimanya setelah turun dengan lisan wahyu para tahapan dan susunan tanpa adanya lebih dan kurang walalupun satu huruf pun. Alquran annaql akbar 1/66 dan puluhan para maraji mutaakhirin dalam kitabnya dan fatwanya masing-masing.
Kesimpulan : Alquran merupakan Kitab Tsiql Akbar (pusaka besar) yang terjamin keasliannya Dengan dalil yang mutawatir dan kuat Alquran yang sekarang sama dengan di zaman nabi saww, bahkan ditegaskan bahwa Alquran telah tersusun dan terkumpul sejak zaman Nabi saw. Hadits-hadits yang mengandung tahrif adalah hadits dhaif (lemah) dan sangat jarang. Hadits-hadits lemah tersebut terdapat didalam litelatur Suni dan Syiah dan para ulama telah sepakat dalam penolakan hadits tersebut. Hadits-hadits yang mengandung tahrif bertolak belakang dengan dhahir kitab Alquran Quran Ali bukanlah quran yang berbeda dengan Quran yang ada ditangan muslimin sekarang, akan tetapi perbedaan terletak pada adanya keterangan penjelasan, takwil dan tafsir didalam Quran Ali. Alquran syiah sama dengan alquran muslimin umumnya.
Al-Quran, Kitab Yang Tak Mungkin Ditahrif
Syi’ah dengan berbagai tuduhan dan tudingan tetap berkeyakinan bahwa Quran yang ada ditangan kita dan yang ada di tangan semua orang muslim adalah Quran yang sama yang diturunkan pada kita Muhammad Saw;tidak bertambah dan berkurang walau satu kalimatpun. Masalah ini begitu jelas dipahami dari kitab-kitab tafsir, ushul fiqih dan lainnya dengan berbagai dalil aqli dan naqil.
Syi’ah dengan berbagai tuduhan dan tudingan tetap berkeyakinan bahwa Quran yang ada ditangan kita dan yang ada di tangan semua orang muslim adalah Quran yang sama yang diturunkan pada kita Muhammad Saw;tidak bertambah dan berkurang walau satu kalimatpun. Masalah ini begitu jelas dipahami dari kitab-kitab tafsir, ushul fiqih dan lainnya dengan berbagai dalil aqli dan naqil. Kita meyakini sesuai dengan ijma’ para ulama Islam baik Syi’ah atau Ahli sunnah bahwa Quran tidak bertambah dan juga menurut kesepakatan moyoritas muhaqqiq bahwa tidak ada yang terkurangi dari Al-Quran sedikitpun. Memang ada sedikit dari dua kelompok tersebut meyakini bahwa Quran ada yang bekurang akan tetapi keyakinan mereka tidak didukung oleh cendikiawan-cendikiawan terkenal Islam. Dua Kitab Dari Dua Kelompok Diantara mereka adalah Ibnul-Khatib Misry dari golongan ahli sunnah yang menulis kitab Al-Furqan fi Tahrifil Quran dimana kitab tersebut telah tersebar pada tahun 1948M ( 1367 H.Q). Universitas Al-Azhar pada waktu yang tepat menyadari keberadaannya mahaminya hal teesebut dan akhirnya mengumpulkan berkas-berkas itu dan melenyapkannya. Akan tetapi beberapa berkas darinya masih di tangan beberapa orang. Begitu juga dengan kitab Faslul Khitab fi Tahrifi Kitab Rabbil Arbab yang ditulis oleh salah satu muhaddis yang bernama Haji Nuri dan telah dicetak pada tahun 1291H.Q , para pemuka hauzah ilmiah Najaf mengingkarinya dan mengeluarkan perintah untuk mengumpulkannya dan ditulislah beberapa kitab yang banyak yang menentang kitab tersebut, diantara para ulama yang mengkritik dan menentang kitab tersebut adalah: 1. Seorang faqih yang terpilih yang bernama marhum Syekh Mahmud bin Abi Qasim yang terkenal dengan Muarrab Tehrani (wafat pada tahun 1313) yang mana beliau menulis kitab Kasyful Irtiyab fi Adami Tahrifil Kitab. 2. Marhum Allamah Sayyid Muhammad Husain Syahristani (wafat pada tahun 1315) beliau menulis kitab lain dalam rangka menolak kitab Faslul Khitab karnya Haji Nuri yang bernama Hifdzul Kitabisy Syarif ‘an Syubhatil Qaul bit Tahrif. 3. Marhum Allamah Balaghi (wafat pada Tahun 1352) salah seorang muhaqqiq hauzah ilmiyah Najaf yang terkenal dengan karangannya kitabTafsiru Alau Rahman, merupakan salah satu ulama yang menulis kitab untuk menjawab isi kitab Faslul Khitab.[1] 4. Kami juga mendapatkan dalam kitab Anwarul-Usul pembahasan yang cukup luas tentang tidak adanya tahrif Quran Majid dan kami juga memberikan jawaban yang memuaskan pada syubhah-Syubhah kitab Faslul-Khitab. Marhum Haji Nuri walaupun seorang alim akan tetapi dia sebagaimana perkataan Allamah Balaghi selalu bersandar pada hadis-hadis dzaif dan lemah, dan dia sendiri merasa menyesal setelah tersebarnya kitab tersebut, semua pembesar hauzah ilmiyah Najaf menyimpulkan bahwa penyesalannya dikarenakan kesalaha-kesalahannya yang jelas tersebut.[2] Yang menarik perhatian adalah Haji Nuri setelah bukunya tersebar dan dikarenakan serangan yang ditujukan kepadanya, untuk membela diri terpaksa dia menulis risalah yang isinya adalah maksud saya dari kitab tersebut adalah tidak adanya tahrif dalam al-Quran akan tetapi dari ungkapan-ungkapan yang saya pakai telah ........salah difahami.[3] Marhum Allamah Sayyid Hibbatuddin Syahristani mengatakan: ketika aku berada di Samira, berkata Marhum Mirza Syirazi Buzurg, Samira dirubah menjadi markas ilmu-ilmu Syi’ah, setiap aku memasuki suatu acara aku mendengarkan jeritan-jeritan dalam rangka menentang Haji Nuri dan kitab yang ia tulis dan sebagian dari mereka menyebutkannya dengan kalimat-kalimat yang buruk. [4] Dengan ini semua apakah masih bisa perkataan Syekh Nuri dinisbatkan dengan akidah Syi’ah? Sebagian dari mutaassib wahabi kitab Faslul-Khitab ini dibut sebagai alasan dan memaksa menisbatkan masalah tahrif Quran pasa Syi’ah, sedangkan: 1. Kalau hanya dengan satu kitab bisa dijadikan dalil bahwa Syi’ah meyakini hal ini maka masalah tahrif Quran ini juga harus dinisbatkan pada Ahli Sunnah, karena Ibnu Khatib Misri juga menulis kitab Alfurqan fi Tahrifil Quran. Jika protes para ulama al-Azhar terhadap kitab tersebut merupakan dalil akan ketiadak benaran isi kitab tersebut, maka penolakan dan protes para ulama Najaf terhadap kitab Faslul-Kihitab juga merupakan dalil yang sama akan ketidakbenaran isi kitab. 2. Dalam tafsir Qurtubi dan Durul-Mantsur yang mana kedua kitab tersebut termasuk kitab tafsir yang makruf di kalangan ahli sunnsh, dinukil dari Aisyah (istri nabi Saw) dimana dia mengatakan:” sesungguhnya surah Al- Ahzab memiliki 200 ayat, maka yang tersisa hanya 73 ayat saja.[5] Lebih dari itu, dalam kitab Bukhari dan Muslim riwayat semacam itu juga yang mengesankan tahrif Quran dapat dijumpai dalam kedua kitab standar tersebut.[6] Akan tetapi, tidak bisa kita mengatakan akan tahrif Quran dengan berlandaskan kepada seorang penulis atau beberapa riwayat lemah. 3. Mayoritas riwayat yang dinukil oleh Haji Nuri dinukil dari tiga perawi yang mazhabnya tidak jelas atau seorang pembohog atau kondisi tidak diketahui; Ahmad bin Muhammad Al-Yasari, Ali bin Muhammad Kufi dan Abu Jarud. 4. Pada dasarnya tuduhan tahrif Quran yang dinisbahkan kepada sebuah sekte imbas dan citra buruknya mengarah kepada agama Islam sendiri. Karena hal inilah yang diinginkan oleh para musuh Islam. 5. Para qari’ dan hafiz Quran dari Iran (yang secara note bene pengikut Syi’ah) yang kerap kali mendapat peringkat terbaik dalam musabaqah qurani, terlebih para hafiz kecil, serta ribuan hafiz setiap tahunnya yang muncul dari negeri ini, semuanya membaca dan menghafal al-Quran yang sama dengan Quran yang ada di tangan musimin. Dalil Aqli Dan Naqli Di dalam al-Quran terdapa banyak ayat yang menegaskan bahwa kitab agung ini tidak akan ditahrif. Allah berfirman:” sesungguhnya Kami telah menurunkan dzikr dan Kamilah yang akan menjaganya.[7] Dalam ayat lain disebutkan:” Dan sesungguhnya dia adalah kitab yang tidak ada tandingannya, tidak akan sesuatu (yang batil) yang akan mengahmpirinya; baik dari depan, belakang, karena dia diturunkan dari Dzat yang bijak danterpuji.[8] Selain itu, para pencatat wahyu yang jumlahnya sekitar 14 orang hingga 400 orang senantiasa siogap dan dengan cepat mencatat ayat-ayat yang baru turun kepada Rasulullah Saw. Terdapat ratusan para hafiz di zaman itu saat ayat turun mereka langsung menghafalnya. Bacaan kitab ini saat itu merupakan ibadah penting yang dibaca siang dan malam. Di samping itu, Quran merupakan kitab pedoman kehidupan kaum muslimin yang selalu hadir di tengah-tengah kehidupan. Dengan memperhatikan bukti-bukti di atas, akal sehat tidak mungkin membenarkan bahwa dia dapat dirubah; ditambah atau dikurangi. Dalam riwayat yang dinukil dari para maksum juga telah ditekankan keterjagaan Quran dari tahrif. Amirul mukminin Ali a.s. dalam Nahjul balaghah bersabda:” Allah telah menurunkan kepada kalian sebuah kitab yang menjadi penjelas segala sesuatu, dan Dia menganugrahkan usia Rasulullah Saw sampai agama yang diridhai itu sempurna melalui al-Quran.[9] Catatan Kaki: [1] Alaur-Rahman, jilid 1, hal 25. [2] Alaur-Rahman, jilid 2, hal 311. [3] Adz-Dzariah, jilid 16, halaman 231. [4] Burhane Rusyan, halaman 143. [5] Yafsir Qurthubi, jilid 14, halaman 113 dan Durul-Mantsur, jilid 5, halaman 180 [6] Shahih Bukhari, jilid 8, halaman 208-211 dan shahih Muslim, jilid 4, halaman 167 dan jilid 5, halaman 116. [7] Surah Hijr, ayat 9. [8] Surah Fushilat, ayat 41 dan 42. [9] Nahjul Balaghah, khutbah 86.
Tauhid dan Syirik dalam Pandangan Al-Qur'an
Tauhid merupakan pembahasan yang paling penting di dalam al-Qur’an al-Karim dan seluruh kitab-kitab samawi. Para nabi dan para washi telah mengajak umat manusia kepada ketauhidan dan memberi peringatan kepada mereka dari bahaya syirik dan menyembah berhala.
Tema yang kami pilih dalam pembahasan tafsir tematik pada bagian kedua ini adalah tauhid dan syirik. Tema ini termasuk masalah penting yang banyak disinggung dan dibicarakan oleh ayat-ayat al-Qur’an di dalam berbagai suratnya. Diantara ayat yang menjelaskan tema tersebut adalah ayat 31 dalam surat al-Haj. Ayat yang mulia itu berbunyi:
"Barangsiapa yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh".
Tema perumpaman di atas, yaitu tauhid dan syirik merupakan persoalan yang mendapat perhatian semua agama. Keduanya itu diserupakan dengan langit dan jatuh darinya. Perhatikanlah penjelasan yang akan kami sajikan berikut ini.
Penjelasan
Allah Swt berfirman: "Barangsiapa yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit".
Di dalam ayat ini tauhid diserupakan dengan langit dan syirik diserupakan dengan jatuh dari langit yang memiliki matahari, bulan dan bintang yang merupakan sumber cahaya, sinar dan keberkahan.
Di samping itu bahwa langit itu sendiri memiliki keindahan dan keagungan tertentu.
Tauhid merupakan sumber cahaya dan keagungan Tuhan dan mendatangkan keberkahan dan sinar penerang bagi monoteisme. Adappun syirik sebagaimana jatuh dari langit tauhid.
Dengan memperhatikan mukaddimah ini, ayat di atas berkata: "Mereka yang menolak untuk bertauhid kepada Allah Swt dan menjadikan syarik (teman) bagi-Nya dan keluar dari barisan monoteisme, sama dengan orang yang jatuh dari langit". Sudah pasti orang yang jatuh dari langit ke bumi itu tidak mungkin hidup lagi.
Allah Swt berfirman : "Lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh".
Seorang musyrik yang jatuh dari langit ke bumi tidak akan selamat, karena -ketika tergantung di udara- hanya ada satu di antara dua jalan yang pada akhirnya mati atau hancur. Dua jalan tersebut ialah:
Pertama: Dia menjadi mangsa burung-burung buas pemakan daging dan bangkai yang terbang di udara. Masing-masing burung itu akan memakan sebagian daging yang ada di tubuhnya, sehingga ia tidak sampai ke bumi kecuali tinggal tulangnya saja.
Kedua: Dia akan ditiup angin kencang yang akan melemparkannya ke tempat yang jauh yang tidak ada manusia untuk menyelamatkannya.
Kesimpulannya bahwa seorang musyrik itu di dalam ayat ini diserupakan dengan seseorang yang jatuh dari langit ke bumi dan di tengah perjalanannya itu ia disergap burung-burung pemangsa daging dan bangkai atau ia akan ditiup oleh angin kencang ke tempat yang jauh yang tidak mungkin dijangkau oleh mansuia.
Pesan-pesan ayat
1. Apakah yang dimaksud dengan burung-burung ?
Tidak menutup kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan burung-burung itu adalah hawa nafsu.[1]
Seseorang yang musyrik itu menjadi mangsa hawa nafsunya. Sebagian dari hawa nafsu itu mempermalukan seseorang, sebagian lainnya menghilangkan kemanusiaannya, dan sebagian lagi menghilangkan keberanian, kehormatannya dan lain sebagainya. Pada akhirnya tidak ada lagi yang tersisa dari seorang musyrik. Karena burung-burung hawa nafsu telah melahap apa yang terdapat pada dirinya, baik kepribadiannya maupun kemanusiaannya.
2. Apakah yang dimaksud dengan angin?
Bisa jadi yang dimaksudkan dengan angin yang disinggung di dalam ayat tersebut dan yang melemparkan seorang musyrik ke tempat yang jauh yang sulit dijangkau oleh manusia adalah setan-setan pengkhianat.[2] Maka seorang musyrik itu, apabila ia dapat lolos dari burung-burung hawa nafsu, dia akan ditawan oleh angin setan pendurhaka. Dia akan dibawa ke suatu tempat yang tidak ada lagi penolong baginya sehingga ia akan hidup dalam kesesatan dan akhirnya celaka.
3. Orang-orang musyrik tidak pernah mendapatkan ketentraman
Sesungguhnya grafitasi bumi itu merupakan nikmat Allah Swt. Karena dengan grafitasi itu menjadikan segala sesuatu menjadi seimbang. Tanpa grafitasi maka segala sesuatu yang ada di muka bumi ini tidak akan eksis dan seimbang. Kita lihat bahwa rumah-rumah, Sawah-Sawah, pabrik-pabrik, sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit menjadi eksis pada tempatnya masing-masing berkat adanya grafitasi yang membuatnya seimbang. Grafitrasi ini berpusat di bumi, dan semakin kita jauh dari bumi, maka grafitasi semakin berkurang. Segala sesuatu itu akan kehilangan keseimbangannya apabila berada di luar grafitasi bumi. Oleh karena itu para astronot mengikuti training dan latihan di tempat-tempat yang hampa udara dan tidak terdapat grafitasi sebelum mereka berangkat ke laur angkasa untuk beberapa waktu lamanya.
Eksperimen yang dilakukan untuk hampa dari grafitasi adalah jatuh secara bebas dari tempat-tempat yang memiliki ketinggian tertentu. Ketika itu seseorang dapat merasakan suatu kehidupan yang belum pernah ia alamai sebelumnya. Karena itu, para dokter berpendapat bahwa kebanyakan dari ortang-orang yang jatuh dari tempat yang tinggi, akan mengalami terhentinya detak jantung sebelum sampai ke permukaan bumi.
Seorang musyrik -ketika jatuh dari langit- merasakan kehilangan keseimbangan. Pada saat itu kegoncangan jiwa menyelimuti seluruh wujud dirinya. Demikianlah, seseorang yang jatuh dari tauhid dan menuju kepada kemusyrikan, tidak akan merasakan ketenangan dan ketentraman dalam dirinya. Dia akan merasakan adanya goncangan dan kegelisahan. Ketenangan dan ketentraman hanya di peroleh di bawah naungan tauhid, jauh dari kemusyrikan dan penyembahan berhala. Allah Swt berfirman : "Ketahuilah, bahwa dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tentram".[3] Masalah ini telah diakui bahkan oleh orang-orang musyrik itu sendiri. Terdapat firman Allah di dalam surat al-Ankabut ayat: 65:
"Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya". Hal itu karena mereka mengetahui dengan baik bahwa tidak seorang pun yang mampu mendatangkan ketenangan selain Allah Swt. Oleh karena itu mereka berdoa dengan penuh keikhlasan kepada-Nya. Adapaun patung-patung, mereka telah mengetahui, tidak akan mampu menyelamatkannya. Tetapi ketauhidan mereka hanya bersifat sementara saja. Setelah mereka telah sampai di tepi pantai dan kapal mereka telah bersandar, mereka kembali lagi kepada kemusyrikan.
Kesimpulannya bahwa syirik dan menyembah patung-patung itu menyebabkan kepada kegoncangan jiwa dan kegelisahan. Sementara tauhid kepada Allah Swt akan mendatangkan ketenangan dan ketentraman.
4. Orang musyrik tidak memiliki kehendak
Seseorang -sebelum jatuh- memiliki kehendak. Tetapi ketika telah jatuh dan tergantung di udara, kehendaknya itu sirna dan tidak dapat lagi mengambil suatu keputusan. Dan demikian pula, seseorang yang musyrik ketika jatuh dari langit tauhid, ia akan kehilangan kehendak dan kemampuan untuk mengambil keputusan.
Pentingnya tuhid
Tauhid merupakan pembahasan yang paling penting di dalam al-Qur’an al-Karim dan seluruh kitab-kitab samawi. Para nabi dan para washi telah mengajak umat manusia kepada ketauhidan dan memberi peringatan kepada mereka dari bahaya syirik dan menyembah berhala.
Di dalam ajaran agama, tidak ada persoalan yang lebih penting selain tauhid. Buktinya adalah terdapat sebuah ayat al-Qur’an yang diulang-ulang pada dua tempat, yaitu pada surat an-Nisa ayat 48 dan 116. Ayat itu berbunyi: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni orang musyrik kepada-Nya, tetapi mengampuni dosa-dosa selainnya bagi orang yang dikehendaki-Nya".
Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa maksud dari ampunan adalah ampunan yang tanpa bertaubat. Adapun dengan bertaubat, maka Allah pun akan mengampuninya. Kebanyakan sahabat -kecuali sebagian kecil saja seperti Imam Ali As- sebelumnya adalah sebagai orang-orang musyrik. Dan ketika mereka masuk Islam dan bertaubat, maka Allah mengampuni dosa-dosa syirik mereka.
Apabila seorang pendurhaka mati sebelum bertaubat, maka dosa-dosanya tidak akan diampuni Allah apabila ia seorang musyrik. Bahkan tidak ada harapan untuk dapat diampuni. Tetapi apabila maksiat dan dosa-dosanya itu selain kemusyrikan, maka ada kemungkinan akan diampuni oleh Allah Swt dan para wali-Nya pun akan memberikan syafaat kepadanya. Adapun orang musyrik tidak akan diampuni dosanya dan juga tidak akan mendapatkan syafaat. Dengan demikian bahwa syirik itu tidak akan mendapatkan tempat ampunan dan syafaat. Dari sini dapat diketahui betapa penting, berharga dan agungnya masalah tauhid di dalam kehidupan dunia dan akhirat. Sesungguhnya tauhid merupakan sumber kebahagiaan. Sedangkan syirik sumber kesengsraan dan menghancurkan seluruh kebaikan.
Pertanyaan yang terkadang tersirat di hati kita adalah: Apa sebab masalah tauhid dianggap begitu penting? Dan apa sebab syirik itu mendapat kecaman sedemikian rupa?
Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah: Filsafat mengenai pentingnya masalah tauhid dan dikecamnya kemusyrikan adalah beberapa perkara. Kami akan jelaskan berikut ini sebagian darinya:
Pertama: Manfaat dan keberkahan yang paling utama dari tauhid adalah bersatunya masyarakat dan umat manusia. Sesungguhnya umat manusia berbeda-beda satu sama lainnya dalam bahasa, adat istiadat, akidah, pemikiran, budaya, dan lain sebagainya. Misalnya di satu negara seperti Indonesia yang merupakan bagian kecil dari dunia, terdapat berbagai macam bahasa, budaya dan suku. Bandingkanlah dengan negara-negara lainnya diseluruh belahan dunia. Terdapat ribuan bahasa, suku, dan budaya. Tetapi gerangan apakah mata rantai penghubung di antara masyarakat dunia itu? Apakah titik-titik persamaan di anatara mereka? Apabila berbagai bangsa dan pemerintahan itu diputuskan hidup di bawah sebuah pemerintahan yang bersifat mendunia, apakah titik persamaan di anatara mereka?
Tidak diragukan lagi bahwa tauhid yang mengakar di dalam keyakinan mereka merupakan faktor terpenting yang menjadikan mereka bersatu. Tauhid merupakan poros yang paling baik untuk mempersatukan mereka dan sebagai tambang yang sangat kokoh sehingga mereka semua dapat berpegang dengannya.
Allah Swt telah menjelaskan masalah ini di dalam ayat 64 pada surat al-Imran: "Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah".
Persatuan tersebut nampak sekali ketika musim haji di dataran Hijaz. Kita saksikan jutaan muslimin dari berbagai negara dengan warna kulit, bahasa, budaya, dan adat istiadat yang berbeda-beda. Mereka seluruhnya serempak menyembah Allah Swt dengan menghadap Ka'bah. Mereka bagaikan berbagai sungai yang jernih yang sedang mengalir menuju satu lautan yang tak bertepi yang bersumber dari bukit-bukit kemanusiaan yang luhur dan berkumpul di sekitar Ka'bah. Di sana mereka mengumandangkan kekhudu'an dan kepasrahan mereka kepada Al-Haq Swt.
Dalam acara shalat jum'at yang dilakukan di Makkah al-Mukarramah -sebelum pergi ke Arafah, biasanya- dihadiri lebih dari satu juta muslimin. Shalat tersebut merupakan shalat jum'at terbesar bagi kaum muslimin dalam setahun. Mereka berdiri tegap di dalam satu barisan penghambaan dan mengangkat kedua tangan mereka secara serempak di dalam takbir sambil berdoa dan mengagungkan-Nya. Mereka melakukan ruku' dan sujud secara serempak bersama-sama. Sungguh betapa hal itu melambangkan keindahan persatuan dan persaudaraan sesama muslim.[4]
Betapa indah dan menariknya apabila persatuan umat Islam dunia yang berbagai macam budaya ini, berpegang teguh kepada "tali Allah".
Dengan demikian, persatuan merupakan efek dan manfaat yang sangat penting bagi tauhid. Sebaliknya dengan syirik yang mengakibatkan kepada perpecahan dan ikhtilaf. Orang-orang Arab jahiliyah mempunyai patung sebanyak 360 buah. Hal ini berarti ikhtilaf dan perpecahan mereka mencapai 360 kelompok kecil dan masyarakat mereka terbagi kepada 360 bagian walaupun mereka masyarakat kecil. Sudah tentu bahwa mayarakat semacam itu tidak lepas dari pertikaian, pertentangan, pembunuhan, kemungkaran dan tidak memperoleh ketenangan dan kebahagiaan. Tetapi masyarakat yang bernaung di bawah bendera tauhid dan petunjuk Islam dan Rasulullah, pasti lebih unggul di bandingkan masyarakat mana pun.
Kedua: Efek dan manfaat tauhid yang lainnya adalah memberikan semangat dan kekuatan kepada orang-orang yang bertauhid. Sementara kemusyrikan itu akan mencabut semangat dan kekuatan orang-orang musyrik.
Ketika kaum muslimin berada di kota Makkah dan jumlah mereka masih sangat sedikit, kaum musyrikin melakukan makar dan kezaliman terhadap Rasulullah Saw dan kaum muslimin. Setiap hari kaum musyrikin berusha menciptakan kezaliman yang baru untuk memadamkan cahaya Islam dan mengikis akar-akarnya.
Pada suatu hari para pemuka Quraisy datang menjumpai Abu Thalib untuk melakukan perdamaian kepada Rasulullah Saw. Setelah perdebatan yang agak alot di antara dua pihak, Rasulullah Saw berkata kepada Abu Jahal: "Ajaklah mereka untuk menerima satu kalimat yang akan membuat mereka kuat dan menguasai orang-orang Arab dan orang-orang Ajam pun akan mengikuti ajaran mereka". Abu Jahal berkata: "Satu kalimat saja mudah, aku siap menerimamu dengan sepuluh kalimat". Rasulullah Saw bersabda:"Ucapkanlah 'La Ilaaha Illallah', (tiada Tuhan kecuali Allah) dan tinggalkanlah ssekutu yang selain Allah".[5]
Ungkapan yang disampaikan oleh Rasulullah Saw hingga kini masih merupakan solusi bagi umat manusia yang telah jenuh dengan berbagai peperangan, ikhtilaf dan pertikaian. Hal itu karena bernaung di bawah pohon tauhid yang baik adalah merupakan solusi satu-satunya untuk memecahkan problema ini sekaligus memperoleh kekuasaan dan kemuliaan dengan keamanan, ketenangan, ketentraman dan keadilan yang sejati.
Marilah coba kita pikirkan, bagaimana Islam telah merubah Arab jahiliyah di kota Makkah dan Madinah, dimana mereka tenggelam dalam ikhtilaf dan pertikaian berdarah, menjadi bangsa yang kuat dan mulia dan mampu -di bawah bendera ukhuwwah dan persatuan- membuka belahan barat dan timur dunia kurang dari setengah abad? Bukankah kemuliaan itu merupakan buah dari tauhid dan berpegang kepada tali Allah?
Ketiga: Tauhid menyebabkan ketenangan dan ketentraman masyarakat. Sebab utama terjadinya berbagai kejahatan dan maksiat di dunia ini adalah kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala. Dan syirik itu tidak terbatas hanya pada menyembah kayu dan batu saja. Bahkan syirik itu mencakupi setiap ibadah dan ketundukan kepada selain Allah baik yang berupa kedudukan, hawa nafsu dan lain sebagainya. Ini semua merupakan bagian dari kemusyrikan. Seseorang ketika menyembah hal-hal tersebut, ia lalai dari mengingat Allah sehingga ia berani melakukan berbagai perbuatan dosa, maksiat dan berbagai kejahatan.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam riwayat bahwa setan mengecup uang dirham dan dinar yang dicetak pertama kali di dunia. Kemudian ia memandangnya dan meletakkannya di hadapan kedua matanya, lalu menempelkannya ke bagian dadanya dan berkata: "Engkau adalah permata dan buah hatiku. Aku tidak peduli lagi kepada anak Adam apabila mereka tidak lagi menyembah patung karena telah mencintaimu. Cukuplah bagiku bahwa mereka itu betul-betul mencintaimu".[6]
Kemusyrikan masih saja terdapat di mana-mana pada zaman kita sekarang ini, sekalipun logika dan pemikiran telah menggeser kebodohan. Berapa banyak tindak kejahatan yang dilakukan akibat menumpuk uang dan harta kekayaan?! Tidak lagi ada keamanan dan ketentraman pada masyarakat zaman sekarang ini. Bahkan pertikaian dan kegelisahan telah menguasai mereka. Sekiranya manusia itu bertauhid, pasti mereka akan memperoleh keamanan, ketenangan, dan ketentraman.
Untuk mencapai masyarakat yang bertauhid, langkah pertama, kita harus menghancurkan tempat-tempat berhala yang terdapat di dalam hati kita. Setiap kali kita menemukan tempat-tempat penyembahan patung-patung tersebut dan patung-patung yang terdapat di sekitar diri kita, haruslah kita pecahkan. Betapa indah dan senangnya kondisi hati yang seperti Ka'bah setelah kemenangan Islam dimana patung-patung di sekitarnya telah dihancurkan.
Sesungguhnya hati sebagian orang mirip dengan Ka'bah sebelum Islam yang dipenuhi dengan patung-patung. Yaitu patung-patung yang berupa kekayaan, harta benda, wanita, anak-anak, kedudukan, pangkat, angan-angan dan lain sebagainya.
Hati adalah Baitullah. Kita harus membersihkannya dari semua jenis patung dan kemusyrikan, agar kita dapat memandang pemilik aslinya.[]
[1] . Lihat Al-Amtsal 10 : 306.
[2] . Lihat tafsir al-Amtsal 10 : 306 – 307..
[3] . Surat Ar-Ra'd : 28
[4] . Sangat disayangkan bahwa shalat dan pertemuan besar ini, tidak digunakan untuk menyelesaikan berbagai problem umat Islam pada saat sekarang ini. Tetapi yang terjadi hanyalah imam jum'at mengulang-ulang masalah yang terjadi atas kaum muslimin sejak ratusan tahun.
[5] . Lihat Furughu Abadiyat 1: 222, Al-Muntazhim 2: 369 dan Majma'ul Bayan 8: 343.
[6] . Mizanul Hikmah, bab3750, hadits ke 19026.
Pandangan Al-Qur'an Mengenai Kufur Nikmat
Sebagai contoh, apabila sebuah aturan sudah tidak lagi berfungsi di sebuah masyarakat atau negara tertentu, dan orang-orang kayanya tidak lagi memberikan hak-hak fakir dan miskin, maka keseimbangan ekonomi akan hilang dari masyarakat ini dan efek buruknya akan kembali kepada kelompok kaya itu sendiri. Penyebabnya adalah semata karena keengganan mereka memberikan bantuan dan berinfak kepada saudara-saudaranya yang fakir dan miskin.
Ada dua pesan yang dibawa oleh al-Qur’an al-Karim dan selanjutnya disampaikan oleh Rasulullah Saw dan para Washi beliau As. Dua pesan itu adalah kabar gembira dan kabar menakutkan (peringatan). Kabar gembira (basyiran) itu beliau sampaikan buat orang-orang yang beriman. Sedangkan peringatan (nadziran) beliau sampaikan buat orang-orang yang ingkar dan kafir. Sebagaimana Allah Swt telah menegaskan akan menambahkan balasan, ganjaran dan keberkahan bagi orang-orang yang mensyukuri segala pemberian dan nikmat-nikmat-Nya, demikian pula Dia mengancam dengan siksa dan berbagai bencana terhadap orang-orang yang mengkufuri nikmat-nikmat-Nya. Tulisan kali ini mengenai tafsir tematik dan atas ayat-ayat pilihan pada kesempatan kali ini adalah tentang kufur nikmat.
Sehubungan dengan mengkufuri nikmat, Allah Swt berfirman di dalam surat an-Nahl ayat 112 dan 113 sebagai berikut:
وَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً قَرْيَةً كانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتيها رِزْقُها رَغَداً مِنْ كُلِّ مَكانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللهِ فَأَذاقَهَا اللهُ لِباسَ الْجُوعِ وَ الْخَوْفِ بِما كانُوا يَصْنَعُونَ. وَ لَقَدْ جاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْهُمْ فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمُ الْعَذابُ وَ هُمْ ظالِمُونَ.
Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itulah Allah mengenakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya. Karena itu, mereka dimusnahkan oleh azab Ilahi dan mereka adalah orang-orang yang zalim”.
Dua ayat di atas ingin menjelaskan tempat kembali orang-orang yang tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah Swt, dan bahkan mereka mengkufurinya. Karenanya Allah Swt menimpakan siksa yang berat kepada mereka.
Penjelasan
Di dalam ayat tersebut Allah Swt berfirman: (قَرْيَةً وَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً)“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan dengan sebuah negeri atau kota”. Al-Quran al-Majid menyerupakan dan membuat perumpamaan orang-orang kafir yang mengingkari nikmat-nikmat Allah dengan sebuah kampung[1] berpenduduk yang memiliki kekayaan matertial dan imaterial yang melimpah. Kampung ini dicirikan dengan empat karakter berikut ini:
1. ”(dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman”. (كانَتْ آمِنَةً)
Ciri pertama kampung atau negara ini adalah sebuah kampung atau negara yang aman. Memang, rasa aman adalah termasuk nikmat Ilahi yang paling penting. Karenanya ia didahulukan penyebutannya dari nikmat-nikmat lainnya.
Sebenarnya, apabila suatu tempat atau suatu daerah yang berpenduduk telah kehilangan keamanannya, maka ia juga akan kehilangan sistem ekonomi yang baik. Demikian juga, ia akan kehilangan kenyamaan belajar-mengajar, serta pengembangkan keahlian dan kegiatan industri. Bahkan pelaksanaan ibadah, dan syi’ar-syi’ar agama pun menjadi tidak kondusip dan tidak semarak lagi. Artinya sebuah kegiatan tidak akan bisa berjalan secara maksimal tanpa terciptanya sebuah keamanan.
Masyarakat dan bangsa Indonesia tentu tidak akan lupa ketika menghadapi berbagai problem di tengah-tengah perjuangan suci membela tanah air dan mengusir penjajahan Belanda. Dan termasuk kesulitan yang dialami oleh umat islam pada waktu itu dalam pelaksanaan ibadah. Sebagian kaum muslimin di tengah-tengah shalatnya mendengar suara bom dan tembakan sehingga membuat mereka khawatir dan tidak tenang dalam beribadah. Mereka merasakan ketidaksempurnaan pelaksanaan shalatnya. Karena itu, kondisi aman merupakan kenikmatan yang sangat besar yang berpengaruh terhadap cara pelaksanaan ibadah.
Ketika telapak kaki Ibrahim al-Khalil As menapak di tanah Makkah yang tandus dan kemudian beliau membangun Baitullah al-Haram, beliau As berdo`a untuk penduduk Makkah kelak dengan sebuah do`a yang diabadikan oleh Allah Swt di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 126 sebagai berikut:
وَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَ ارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ قَالَ وَ مَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيْلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَ بِئْسَ الْمَصِيْرُ.
”Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Wahai Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizki berupa buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku akan beri kesenangan sementara, tetapi kemudian Aku seret ia secara paksa untuk menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”.
Di dalam ayat ini kita membaca bahwa do`a pertama yang dipanjatkan nabi Ibrahim As untuk penduduk kota ini adalah keamanan.
Di dalam suatu negara, apabila sebagian saja penduduknya melalaikan keamanan, maka seluruh masyarakatnya akan merasakan penderitaan yang berat dan tidak merasa aman dalam menjalani kehidupan. Sesungguhnya perampok-perampok yang bersenjata, baik dengan senjata api atau bukan, tetap dikategorikan sebagai pengganggu dan perusak keamanan, karena ulahnya itu akan menimbulkan akibat yang dahsyat berupa hilangnya kemanan dan ketentraman. Demikian juga orang-orang yang melalaikan keamanan wilayahnya yang luas, mereka dikategorikan sebagai para perusak di muka bumi ini, dan balasan bagi mereka adalah kehancuran dan siksa yang pedih.
2. ”lagi tenteram”. (مُطْمَئِنَّةً)
Sebelum itu, kota tersebut dicirikan sebagai kota yang penuh dengan keamanan, namun keamanannnya tidaklah tetap dan permanen, kemudian ciri berikutnya adalah memiliki keamanan yang tetap dan permanen. Tentram atau mutmainnah yang disebutkan ayat ini menunjukkan pada keamanan yang bersifat tetap dan permanen.
3. ”rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat”. (يَأْتيها رِزْقُها رَغَداً مِنْ كُلِّ مَكانٍ)
Sebagaimana telah disebutkan tadi bahwa keamanan harus mencakup semua bidang, termasuk diantaranya adalah bidang ekonomi yang sehat dan kuat. Negara yang aman dari gangguan ini pasti akan memberikan rizki kepada penduduknya dari segala arah dan tempat. Ia menyediakan berbagai lahan pekerjaan yang banyak dan bermacam-macam.
4. ”Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri”. (وَ لَقَدْ جاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْهُمْ)
Allah Swt, di samping memberikan kenikmatan-kenikmatan material (keamanan dan ketentraman), juga memberikan kenikmatan-kenikmatan imaterial (maknawi), yaitu berupa pengutusan seorang nabi maksum (terjaga dari dosa) dan seorang bijak dari kalangan mereka sendiri sehingga pengetahuan dan pendidikan mereka menjadi sempurna.
Dari ayat tersebut dapat kita pahami bahwa penduduk kota atau negara ini menikmati empat jenis kenikmatan dan hidup dalam kemewahan, hanya saja mereka tidak mau bersyukur kepada Allah Swt atas nikmat-nikmat-Nya ini.
Allah Swt berfirman: “tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan”.
(فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللهِ فَأَذاقَهَا اللهُ لِباسَ الْجُوعِ وَ الْخَوْفِ)
Penduduk negeri ini telah berlaku kufur dengan tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Bahkan nikmat-nikmat tersebutlah yang telah menyebabkan mereka berlaku sombong, congkak dan egois, setelah berlaku zalim dan tidak mensyukuri nikmat-nikmat tersebut secara benar. Maka, akibat dari sikap semacam itu, turulah azab Ilahi kepada mereka. Sebagai efeknya, Allah Swt memberi mereka makanan yang pahit, yaitu kelaparan dan mencabut kondisi aman dari mereka. Setiap saat mereka dihantui aksi para pencuri dan perampok, kondisi perekonomian yang tidak menentu serta kehidupan melarat akibat dari hilangnya keamanan negeri mereka.
Barangkali timbul pertanyaan di dalam hati dari sebagian kita, bahwa ungkapan“adzâqahâ (Allah merasakan kepada mereka)” tidaklah sesuai dengan ungkapan libâas(pakaian), yang tepat adalah ungkapan albasahâ (-Allah- memakaikannya -kepada mereka-)?
Jawabnya adalah: Terdapat dua poin penting terkait penggunaan kata adzâqa bersamalibâs. Berikut ini kami paparkan kedua poin tersebut:
a. Libas (pakaian) mencakupi seluruh badan, demikian juga azab Ilahi telah meliputi seluruh perkampungan atau negara tersebut.
b. Terkait ungkapan adzâqahâ, yang harus diperhatikan adalah bahwa penginderaan dan penyingkapan seseorang kepada sesuatu, itu dilakukan melalui beberapa tahapan;
Seseorang memahami atau menangkap sesuatu itu melalui alat indera pendengaran, sebagaimana ketika ia mendengar suara api, ia akan memahami adanya sebuah kebakaran.
Terkadang seseorang melihat api dan langsung menangkapnya melalui penginderaan mata. Alat penginderaan ini jauh lebih tinggi dari alat indera sebelumnya.
Terkadang ada orang yang menyentuh api sehingga mengetahui betul keberadaannya. Penginderaan seperti ini jauh lebih tinggi dibanding dua cara pengindraaan sebelumnya.
Terkadang juga seseorang memahami sesuatu melalui rasa (dzauq), dan ini jauh lebih sempurna lagi dari pengetahuan melalui ketiga indera di atas. Tujuan penggunaan kata adâqa(dzauq) pada ayat tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan kedahsyatan kemampuan mereka dalam memahami dan merasakan adzab Ilahi dan makanan yang pahit tadi. Allah Swt berfirman: ”disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”.
)بِما كانُوا يَصْنَعُونَ(
Artinya perbuatan penduduk kampung atau negara tersebut telah menyebabkan turunnya adzab Ilahi. Mereka benar-benar telah memancing datangnya azab yang efeknya akan dirasalan oleh mereka sendiri.
Sebagai contoh, apabila sebuah aturan sudah tidak lagi berfungsi di sebuah masyarakat atau negara tertentu, dan orang-orang kayanya tidak lagi memberikan hak-hak fakir dan miskin, maka keseimbangan ekonomi akan hilang dari masyarakat ini dan efek buruknya akan kembali kepada kelompok kaya itu sendiri. Penyebabnya adalah semata karena keengganan mereka memberikan bantuan dan berinfak kepada saudara-saudaranya yang fakir dan miskin.
Karenanya, dalam sebuah riwayat disebutkan: ”Apabila orang-orang kaya kikir dengan kewajibannya, maka orang-orang fakir akan menjual akhiratnya dengan dunianya”[2].
Artinya bahwa kefakiran telah menyebabkan maraknya tindak pencurian, dan akhirnya berkembang pada hilangnya keamanan di sebuah masyarakat. Demikian ini seperti disebutkan dalam sebuah riwayat: ”jagalah harta-harta kalian dengan sedekah”[3].
Artinya bahwa cara menjaga harta bukanah dengan membangga-banggakannya, melainkan dengan mensedekahkan sebagiannya, sehingga api kefakiran tidak sampai menyala dan membakar keamanan masyarakat, yang pada akhirnya dapat mengancam harta-harta mereka.
Pesan-pesan ayat
Melalui ayat tersebut, paling tidak ada dua pesan yang bisa kita ambil sebaai ibrat dan pelajaran penting.
1. Azab dan malapetaka adalah akibat perbuatan manusia
Di antara yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat al-Qur’an dan terutama dari kedua ayat di atas ialah bahwa problema yang kita hadapi dan malapetaka yang menimpa kita, sebenarnya adalah hasil dari perbuatan kita juga. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menzalimi seorang pun.
Misalnya, apabila mayoritas para pemuda di sebuah masyarakat atau negara tidak merasakan kehidupan yang layak, bahkan terancam tidak bisa melakukan pernikahan, padahal negara mempunyai kekayaan yang melimpah, sementara di pihak lain terdapat sekelompok orang yang hidup dengan bergelimpangan fasilitas mewah, mereka memberikan berbagai fasilitas wah bernilai milyaran rupiah serta biyaya pernikahan besar kepada anak-anaknya, maka jika demikian, akan berkembanglah segala keburukan, tindak kriminal dan ketidakamanan. Dengan demikian jelaslah bahwa penyebab segala kebrutalan dan keburukan ini adalah karena individu-indibidu masyarakat atau negara itu sendiri.
Al-Qur’an al-Karim di dalam surat ar-Rum ayat ke 41 menjelaskan sebagai berikut:
ظَهَرَ الْفَسادُ فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ بِما كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذيقَهُمْ بَعْضَ الَّذي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ.
”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Sungguh benar, bahwa sumber segala bencana dan problema adalah karena ulah manusia itu sendiri. Seorang ayah yang kerjanya hanya memikirkan bagaimana mengumpulkan harta serta membangga-banggakannya, ia lupa pada pendidikan anak-anak dan keluarganya, jika pada masa berikunya ia menemukan berbagai permasalahan amoral dan malapetaka dari anak-anaknya yang telah menjadi korban NARKOBA, maka janganlah menyalahkan siapapun kecuali dirinya sendiri, karena dia sendirilah penyebab semua problema yang telah menimpanya itu.
Salah seorang ulama kota suci Qum bercerita bahwa pada tahun 1342 HS, yaitu pada masa kekuasaan Reza Pahlevi yang merupakan boneka Amerika pada saat itu, pemerintah melakukan penangkapan terhadap sejumlah politikus dan agamawan. Kemudian mereka dijebloskan ke dalam penjara . Seorang ulama yang termasuk ditangkap dan ditahan itu berkata, "Selama beberapa hari di dalam penjara, kami mendengar suara-suara yang menakutkan. Kami menduga bahwa suara-suara itu adalah akibat dari tekanan yang dilakukan para sipir penjara kepada mereka. Tetapi dugaan kami itu salah, karena kemudian kami ketahui bahwa suara-suara itu adalah teriakan-teriakan para pecandu NARKOBA yang ketagihan dan sudah saatnya untuk mengkonsumsi obat-obat haram dan terlarang tersebut.Namun karena di dalam penjara mereka tidak bisa lagi mendapatkannya, maka mereka merasakan kesakitan yang sangat dahsyat dan berteriak-teriak secara histeris dan menakutkan." Tidak diragukan lagi bahwa kondisi ini adalah akibat dari ulah perbuatan mereka sendiri. Tidak ada yang harus disalahkan, kecuali diri mereka sendiri. Bahkan lebih dari itu, para pengguna narkotik itu menyebarkan kerusakan moral di tengah-tengah masyarakat secara luas dan dengan leluasa, mereka menawarkan dan menjual narkotik tersebut kepada para pemuda lainnya sehingga semua pemuda menjadi rusak.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya para musuh Islam telah menempuh berbagai macam cara untuk menjerumsukan para pemuda kita ke dalam sebuah perangkap jahat, dan NARKOBA adalah salah satu dari jalan yang mereka tempuh. Mereka mengetahui bahwa seorang pemuda yang telah mengkonsumsi dan kecanduan obat-obatan narkotika ini akan kehilangan kehendaknya, sehingga ia bisa diarahkan kemana saja sesuai yang mereka inginkan.
2. Apakah kampung itu ada wujudnya?
Yang dapat dipahami dari ayat tersebut ialah bahwa kampung yang memiliki empat karakter tersebut benar-benar ada wujud nyatanya. Karena itu, telah terajdi diskusi dan perbedaan pendapat di kalangan para mufassir dalam menjawab apa nama kampung tersebut.
Terdapat beberapa kemungkinan mengenai nama kampung tersebut. Sebagai contoh, di sini saya akan menyebutkan dua nama saja;
1. Beberapa mufassir meyakini bahwa kampung yang dimaksud pada ayat tersbut adalah kota Makkah[4]. Makkah diyakini sebagai perwujudan dari kampung yang aman dan tentram. Sebagaimana dalam kenyataannya, kota ini dianugerahi berbagai macam kenikmatan, meskipun beberapa kenikmatan tidak ada di sana, namun sebagian yang tidak ada itu masih bisa didatangkan dan diinpor dari wilayah dan negara-negara lain yang memilikinya. Karenanya, ia benar-benar memiliki segala macam kenikmatan.
Ketika Rasulullah Saw berhijrah dari Makkah menuju Madinah, Makkah pada saat itu dilanda kekeringan selama tujuh tahun. Malapetaka ini diakibatkan oleh kekufuran penduduknya terhadap nikmat yang disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada mereka. Kekeringan tersebut telah mendorong Rasulullah Saw untuk mengirimkan bantuan bahan makanan kepada mereka dari kota Madinah. Kekeringan ini pun telah menyebabkan hilangnya rasa aman di dalam kota tersebut.
Sungguh benar, bahwa kufur terhadap nikmat itu akan diikuti oleh azab Ilahi, dan ini merupakan sunnah Ilahiyah yang benar-benar terjadi di setiap tempat dan zaman. Setiap kali kekufuran terhadap nikmati terulang di suatu tempat, maka azab Ilahi pun akan terulang di tempat tersebut. Tidak terkecuali bencana yang menimpa negara kita.
2. Sebagian mufassir lain meyakini bahwa yang dimaksud dengan kota tersebut adalah kota Saba[5], sebagaimana disebutkan di dalam surat Saba. Negara Saba adalah negara yang amat makmur. Di sana terdapat sebuah bendungan bernama Maarib. Dengan adanya bendungan ini, negri Saba berubah menjadi negri yang gemah ripah loh jinawi, dimana kenikmatan berupa makanan dan perhiasan melimpah ruah hingga melebihi kebutuhan penduduknya. Cukup dengan berjalan di jalan-jalannya dan meletakkan wadah di kepala, maka setelah beberapa saat dengan sendirinya wadah tersebut akan dipenuhi beraneka macam buah-buahan di pinggiran jaran.
Sesungguhnya kota ini telah memperoleh berbagai kenikmatan, kenyamanan dan ketentraman. Namun sangat disayangkan, penduduknya lebih memilih mengkufuri nikmat-nikmat ini dan meninggalkan syukur kepada Allah Swt. Maka Allah Swt mewahyukan kepada tikus-tikus untuk menghancurkan kota ini. Tikus-tikus ini menggerogoti bendungan Maarib tersebut hingga sedikit demi sedikit bendungan ini pun jebol pada malam hari. Airnya membanjiri seluruh wilayah kota dan menghancurkan jalan-jalan, kebun, pepohonan, rumah dan apapun yang ada di dalamnya. Kehancurannya mencapai titik paling parah hingga memaksa penduduknya hijrah ke tempat lain, dan kota tersebut kini tidak lagi bisa dihuni.
Kita yang hidup pada msa sekarang ini, secara nyata dan jelas tengah merasakan buah pengkufuran nikmat Allah Swt. Apabila kita tidak mau memperbaiki hubungan kita dengan Allah Swt, tidak mau bersyukur, tidak mau bertaubat, tidak mau beribadah secara benar dan tetap bergelimpangan dalam maksiat, maka kehancuran negara dan masyarakat kita ini akan semakin parah.
Sebelum perang dunia ke dua, Eropa merupakan negara yang tenggelam dalam berbagai macam kenikmatan. Kota-kotanya makmur dan memiliki kemajuan budaya dan tekonologi luar biasa hebat. Ia memiliki jenis kenikmatan apapun. Namun karena kekufurannya terhadap nikmat, mereka dilanda perang terbuka yang menelan korban jiwa hampir tigapuluh juta jiwa, dan tigapuluh juta lainnya terluka. Efek dari perang tersebut adalah kehancuran sebagian besar wilayah Eropa.
Atas dasar ini, ayat-ayat tersebut merupakan peringatan kepada kita agar tidak mengkufuri nikmat-nikmat Allah, baik materil maupun imateril. Kita betul-betul harus mensyukurinya.
Harapan dan doa saya, semoga apa yang telah kita kaji pada kesempatan pertemuan ini, dapat kita pahami dengan benar dan dapat pula kita amalkan dengan baik dan ikhlas sehingga bisa membuahkan dan melahirkan apa yang kita harapkan dan idam-idamkan, yaitu berupa kemanan dan ketentrama yang sejati dan abadi. []
[1] Istilah qaryah (kampung) dalam al-Qur`an tidaklah berarti sama dengan kota sekarang. Secara umum ia berarti sebuah kawasan yang berpenduduk, baik berbentuk kota besar maupun kota kecil. Istilah qaryah ini dimaksudkan sebagai ibu kota Mesir pada masa nabi Yusuf a.s.
[2] Bihârul Anwar, juz 47, hal. 741. dan Nahjul Balaghah, pada Kalimat_Kalimat Ringkas”, kalimat ke 364.
[3] Ibid, Nahjul Balaghah, kalimat ke 146.
[4] Lihatlah Tafsir Majma` al-Bayân, juz 6, hal. 39. dan At-Tibyân, juz 6, hal. 432.
[5] Lihat tafsir al-Amtsal, juz 8, hal. 311-312.
Perintah Birrul Walida’in dalam Al-Qur’an
Perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua dalam Al-Qur’an kurang lebih berulang sebanyak 13 kali. Seperti surah Al-Baqarah, ayat 83, 180 dan 215, An-Nisa ayat 36, An-Na’am: 151, Isra’: 23 dan 24, Al Ahkaf: 15, Al Ankabut: 8, Luqman: 14, Ibrahim: 41, An Naml: 10 dan surah Nuh: 28. Jika melihat dari ayat-ayat tersebut, setidaknya kita bisa mengklasifikasikan ada 6 macam bentuk perintah Allah SWT untuk berbuat baik kepada kedua orangtua.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Qs. Al-Israa: 23)
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi penghormatan dan pemuliaan kepada kedua orangtua. Apapun bentuk pelecehan dan sikap merendahkan orangtua maka Islam lewat pesan-pesan moralnya telah melarang dan mengharamkannya. Bahkan durhaka kepada kedua orangtua termasuk diantara dosa-dosa besar yang dilarang keras. Dengan melihat ayat di atas, terutama pada frase, “wa laa taqullahumaa ‘uff’, janganlah kamu mengatakan kepada keduanya, perkataan ‘ah’…” menunjukkan untuk bentuk pelecehan dan sikap merendahkan kedua orangtua yang paling kecil sekalipun Islam tidak luput untuk memberikan penegasan atas pelarangannya.
Imam Shadiq as bersabda, “Kalau sekiranya dalam berhubungan dengan kedua orangtua ada bentuk pelecehan yang lebih rendah dari melontarkan kata ‘ah’, niscaya Allah telah melarangnya.” (Ushul Kafi, Jilid 2, hal. 349).
Birrul Walidain berasal dari dua kata, birru dan al-walidain. Imam Nawawi ketika mensyarah Shahih Muslim memberi penjelasan, bahwa kata-kata Birru mencakup makna bersikap baik, ramah dan taat yang secara umum tercakup dalam khusnul khuluq (budi pekerti yang agung). Sedangkan, walidain mencakup kedua orangtua, termasuk kakek dan nenek. Jadi, birrul walidain adalah sikap dan perbuatan baik yang ditujukan kepada kedua orangtua, dengan memberikan penghormatan, pemuliaan, ketaatan dan senantiasa bersikap baik termasuk memberikan pemeliharaan dan penjagaan dimasa tua keduanya.
Perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua dalam Al-Qur’an kurang lebih berulang sebanyak 13 kali. Seperti surah Al-Baqarah, ayat 83, 180 dan 215, An-Nisa ayat 36, An-Na’am: 151, Isra’: 23 dan 24, Al Ahkaf: 15, Al Ankabut: 8, Luqman: 14, Ibrahim: 41, An Naml: 10 dan surah Nuh: 28. Jika melihat dari ayat-ayat tersebut, setidaknya kita bisa mengklasifikasikan ada 6 macam bentuk perintah Allah SWT untuk berbuat baik kepada kedua orangtua.
Pertama, dalam bentuk perintah untuk berbuat baik dengan sebaik-baiknya, seperti dalam surah Al-Isra’ ayat 23 dan 24. Termasuk dalam hal ini, memberikan penjagaan dan pemeliharaan di hari tua keduanya dan mengucapkan kepada keduanya perkataan yang mulia.
Kedua, dalam bentuk wasiat. Allah SWT berfirman, “Dan Kami berwasiat kepada manusia untuk (berbuat) kebaikan kepada dua orang tuanya.” (Qs. Al-Ankabut: 8). Begitupun pada surah Al-Ahqaf ayat 15, Allah SWT berfirman, “Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula).”
Ketiga, dalam bentuk perintah untuk bersyukur. Allah SWT berfirman, “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, karena hanya kepada-Ku-lah kembalimu.” (Qs. Luqman: 14).
Keempat, perintah untuk mendo’akan kedua orangtua. Allah SWT berfirman, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhan-ku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku pada waktu kecil.” (Qs. Al-Israa: 24). Mendo’akan kedua orangtua adalah tradisi para Anbiyah as. Nabi Ibrahim as dalam do’anya mengucapkan, “Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat ).” (Qs. Ibrahim: 41). Begitu juga Nabi Nuh as, dalam lantunan do’anya, beliau berujar, “. Ya Tuhan-ku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku..” (Qs. Nuh: 28).
Kelima, perintah untuk berwasiat kepada kedua orangtua. Allah SWT berfirman, “Diwajibkan atas kamu, apabila (tanda-tanda) kematian telah menghampiri salah seorang di antara kamu dan ia meninggalkan harta, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah: 180).
Keenam, perintah untuk berinfaq kepada keduanya. Allah SWT berfirman, “… Setiap harta yang kamu infakkan hendaklah diberikan kepada kedua orang tua, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan setiap kebajikan yang kamu lakukan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (Qs. Al-Baqarah: 215).
Allah SWT dalam tujuh tempat pada Al-Qur’an setelah memerintahkan untuk hanya menyembah kepada-Nya dan tidak mempersekutukannya, perintah selanjutnya adalah berbuat baik kepada kedua orangtua. Dalam surah An-Nisa’ ayat 36 Allah SWT berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua..” Perintah Allah SWT untuk berbuat baik kepada kedua orangtua, setelah perintah untuk mentauhidkanNya lainnya terdapat pada surah Al-Baqarah: 83, Al-An’am: 151, Al-Israa: 23, An-Naml: 19, Al-Ahqaaf: 15 dan surah Al-Luqman ayat 13 dan 14. Dari ayat-ayat ini, telah sangat jelas dan terang betapa agung dan mulianya berbuat baik kepada kedua orangtua. Perintah untuk berbuat baik kepada keduanya, ditempatkan setelah perintah untuk hanya menyembah kepada-Nya.
Berhubungan dengan ketaatan kepada kedua orangtua, Al-Qur’an hanya dalam satu hal memberikan sebuah pengecualian. Allah SWT berfirman, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti mereka, dan pergaulilah mereka di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lantas Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. Luqman: 15). Ketaatan seorang hamba kepada Allah adalah ketaatan mutlak, tanpa pengecualian. Sementara ketaatan kepada orangtua dengan pengecualian, selama keduanya tidak meminta untuk mempersekutukan Tuhan. Kalau kita memperhatikan ayat-ayat Allah berkenaan dengan hubungan kaum muslimin dengan kaum musyrikin, maka akan kita temukan perintah Allah untuk berlepas diri dari kaum musyrikin disampaikan secara keras dan tegas. Terutama pada ayat-ayat awal surah At-Taubah. Namun berkenaan dengan kedua orangtua, Allah SWT menyampaikan perintah secara lembut, dikatakan, kalau permintaan keduanya berkaitan dengan syirik kepada Allah, janganlah menaati keduanya. Selanjutnya ditambahkan, kekafiran dan kemusyrikan kedua orangtua tidaklah menjadi penyebab secara mutlak terputusnya hubungan dengan keduanya, namun tetap diperintahkan untuk berbuat ahsan kepada keduanya di dunia.
Perintah untuk tetap berhubungan, memuliakan, menyayangi dan berbuat baik kepada kedua orangtua meskipun keduanya kafir ataupun musyrik juga masih memiliki pengecualian ataupun persyaratan. Yakni, selagi keduanya tidak menunjukkan permusuhan dan penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Qs. Al-Mujaadilah: 22). Perintah yang lebih tegas mengenai hal ini, disampaikan oleh Allah SWT pada awal surah Al-Mumtahanah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu.” Dan selagi keduanya meskipun termasuk golongan orang-orang kafir ataupun musyrik tidak ada halangan untuk tetap berlaku adil terhadap keduanya, yakni tetap berbuat baik dan berkasih sayang kepada keduanya selagi keduanya tidak menunjukkan permusuhan dan kebencian kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. Al-Mumtahanah: 8).
Apabila, kedua orangtua termasuk dari golongan orang-orang kafir ataupun musyrik, perintah Allah SWT untuk tetap mempergauli, menjalin hubungan dan berbuat baik kepada keduanya hanya sebatas di dunia ini atau sebatas keduanya masih hidup. Tidak ada hak bagi setiap orang yang beriman untuk mendo’akan keselamatan bagi kedua orangtuanya di akhirat, yang meninggalnya dalam keadaan tidak berserah diri kepada Allah, tidak mengimani-Nya ataupun mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (Qs. At-Taubah: 113).
Namun, jika kedua orangtua termasuk orang-orang yang beriman, maka berbuat baik kepada keduanya tidak hanya berlaku di dunia saja, namun hatta keduanya telah meninggal dunia, perintah untuk tetap berbuat baik kepada keduanya masih terus berlaku, dan menjadi kewajiban bagi segenap kaum mukminin untuk menunaikannya. Diantara bentuk berbuat baik kepada orangtua setelah meninggalnya adalah memohonkan ampun bagi keduanya. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, mendo’akan kedua orangtua adalah juga perintah dari Allah SWT dan termasuk diantara tradisi para Anbiyah as. Sebagaimana do’a Nabi Ibrahim as,“Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat ).” (Qs. Ibrahim: 41). Pada hakikatnya, mendo’akan keselamatan bagi kedua orangtua, bukan hanya setelah keduanya wafat, namun juga termasuk bentuk kebaikan semasa hidup keduanya, dalam keadaan dekat maupun jauh.
Satu hal yang mesti kita ingat, kebaikan hidup, keimanan ataupun kesalehan yang kita peroleh, tidak semata dari jerih upaya sendiri, kemungkinan ada kaitannya dengan do’a dan kesalehan orang-orang tua sebelum kita yang terijabah oleh Allah SWT. Sebagaimana telah diceritakan dalam Al-Qur’an mengenai do’a Nabi Ibrahim as, “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Baqarah: 128). Ataupun secara umum disampaikan oleh Allah SWT dalam surah Al-A’raaf ayat 189, “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur."
Pada ayat lainnya, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (Qs. Al-Ahqaaf: 15)
Diceritakan pula, mengenai dua anak yatim piatu yang mendapat pertolongan dari Allah SWT lewat perantaraan dua nabi-Nya, Nabi Musa as dan Nabi Khidir as, karena kesalehan kedua orangtua mereka sebelumnya, “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya." (Qs. Al-Kahfi: 82). Dari penjabaran ayat-ayat ini, kita bisa mengambil sebuah falsafah hidup, bahwa jika mendoa’kan keselamatan dan kesalehan bagi anak adalah fitrah dari orangtua, maka sebuah tuntunan nurani pula jika sebagai anak, kita tidak boleh luput dalam mendo’akan keselamatan dan memohonkan ampunan bagi kedua orangtua dan orang-orang sebelumnya.
Izinkanlah saya mengakhiri tulisan ini, dengan mengutip nasehat Imam Ja’far Shadiq as mengenai betapa pentingnya perintah berbuat baik kepada kedua orangtua.
Imam Shadiq as bersabda, “Apa yang menghalangi seseorang berbuat baik kepada kedua orang tuanya?, apakah keduanya masih hidup atau telah meninggal dunia, shalatlah, bersedekahlah, naik hajilah dan berpuasalah dengan menghadiahkan pahala untuk keduanya.” (Ushul Kafi, Jilid 2, hal. 159).
Pada kesempatan lain Imam Shadiq as bersabda, “Seseorang yang berbuat baik kepada kedua orangtuanya semasa keduanya masih hidup namun ketika keduanya telah meninggal dunia, hutang-hutangnya tidak dilunasi, dan tidak pernah memohonkan ampun bagi kedua orangtunya, maka Allah mencatatnya sebagai anak yang durhaka. Sementara seseorang yang berbuat durhaka kepada kedua orangtuanya semasa hidupnya, namun ketika keduanya telah wafat, melunasi hutang-hutang keduanya dan memohonkan ampun bagi kedua orang tuanya, maka Allah akan mencatatnya sebagai anak yang berbakti kepada kedua orangtuanya.” (Ushul Kafi, jilid 2, hal. 163).
Semoga, kita termasuk orang-orang yang berbakti dan berbuat kebaikan kepada kedua orangtua, ada dan tiadanya keduanya di sisi kita. Seperti begitu, insya Allah.
Rabbi, irhamhumaa kamaa rabbayani shagiiraa…
Qom, 30 Maret 2010/ 12 Farvardin 1389 HS
Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran
NABI SAW TIDAK PERNAH STRES SAAT MENERIMA WAHYU
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw ketika didatangi oleh malaikat Jibril dengan membawa ayat: “Bacalah hai Muhammad dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan,” sampai ayat ke-5 dari surat Al-`Alaq, beliau pulang ke rumahnya dalam keadaan gemetar dan dan menggigil. Lalu beliau berkata kepada Khadijah: “Aku menghawatirkan diriku.” Lalu Khadijah berkata: “Bergembiralah! Demi Allah, Dia tidak akan menghinakan (menjerumuskan)mu selama-lamanya.” Lalu Khadijah pergi bersama Rasul menemui Waraqah bin Naufal–pada zaman Jahiliyah dia seorang yang beragama Nasrani. Lalu Rasulullah saw memberitahu apa yang telah beliau lihat. Waraqah berkata: “Inilah namus (wahyu atau Jibril) yang pernah diturunkan kepada Musa.1 Karena ucapan Waraqah, Nabi menjadi tenang dalam menjalani masa depannya. Jika bukan karena ucapan Waraqah, dia (Rasul) sudah ingin terjun dari tebing gunung—demikianlah yang diriwayatkan Ibnu Sa`ad dalam Thabaqat-nya). Adapun riwayat lengkapnya sebagai berikut: “Takkala Nabi saw sedang menyendiri di gua Hira’, tiba-tiba beliau mendengar suara menggema memanggil-manggilnya. Beliau ketakutan dan mengangkat kepalanya. Tidak disangka-sangka beliau melihat sosok makhluk yang menakutkan sedang memanggilnya. Lalu beliau pun bertambah takut dan tidak dapat bergerak maju dan mundur. Kemudian beliau berusah memalingkan wajahnya dari makhluk yang menyeramkan itu, namun yang dilihatnya itu meliputi langit semuanya.” Tragedi dramatis itu berjalan beberapa saat dan beliau pun tidak dapat mengontrol dirinya dan lupa akan jiwanya, sehingga hampir saja beliau mengambil keputusan untuk nekat terjun dari puncak gunung karena begitu berat beban rasa takutnya. Pada saat itu Khadijah mengutus seseorang untuk mencari Nabi di gua Hira’ namun tidak menemukannya. Kemudian setelah sosok wajah yang menyeramkan itu sirna dari penglihatan Nabi, beliau kembali dengan segala macam ketakutan dan kegelisahan yang meliputinya. Akhirnya beliau sampai di rumahnya dalam keadaan gemetar seperti menderita penyakit demam. Beliau memandang istrinya dengan sayu dan lesu seakan-akan minta pertolongan dan perlindungan. Beliau berkata: ‘Hai Khadijah, apakah gerangan yang sedang kualami?” Kemudian beliau pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya, dan merebahkan diri dalam dekapan Khadijah dengan ketakutan yang membayanginya; perasaan yang mungkin hanya merupakan tipuan mata. Beliau berkata: “Aku mengkhawatirkan diriku dan aku yakin bahwa aku telah kemasukan jin.” Khadijah tidak tega dan dan memandangnya dengan penuh keprihatinan dan keharuan, seraya berkata: “Tidak, wahai suamiku. Bergembiralah dan teguhkanlah hatimu. Demi Allah, dia tidak akan mengecewakanmu. Mak demi Dzat yang nyawa Khadijah di tangan-Nya, sesungguhnya saya mengharapkan engkau menjadi nabi umat ini. Engkau selalu menjalin ikatan tali keluarga, menghormati tamu, menolong yang lemah, dan engkau tidak pernah melakukan kejelekan sama sekali.” Begitulah seterusnya ia berusaha menenangkan dan menghibur hati suaminya dengan kata-kata yang menyenangkan. Kemudian Khadijah mengadakan percobaan yang membawa keberhasilan. Ia berkata: “Hai suamiku, beritahukan kepadaku tentang orang yang mendatangimu itu!” Beliau menjawab: “Ya.” Ia berkata lagi: “Maka jika ia nanti mendatangimu kembali beritahulah aku.” Tidak lama kemudian malaikat itu pun datang kembali, lalu Rasulullah saw berkata: “Hai Khadijah, inilah dia telah datang kepadaku.” Lalu Khadijah berkata: “Ya, berdirilah dan duduklah di paha kiriku.” Nabi menuruti perintahnya dan duduk di paha kirinya. Khadijah bertanya: “Apakah engkau masih melihatnya?” Nabi menjawab: “Masih.” Setelah itu, beliau pindah ke paha kanan istrinya. Dan Khadijah bertanya lagi: “Apakah engkau masih melihatnya?” Beliau menjawab: “Ya.” Khadijah lalu berkata: “Pindahlah ke pangkuanku!” Beliau mematuhi perintahnya dan duduk di pangkuan Khadijah. Kemudian Khadijah membuka dan melemparkan kerudungnya, dan Rasul masih duduk terdiam di pangkuannya. Khadijah bertanya untuk ketiga kalinya: ““Apakah engkau masih melihatnya?” Kali ini Rasulullah saw menjawab: “Tidak.” Khadijah lalu berkata dengan penuh keceriaan: “Hai suamiku, gembiralah dan tetaplah teguh! Ia adalah malaikat dan bukanlah setan.” Untuk meneguhkan percobaan yang pernah dilakukan dengan penuh keberhasilan itu, maka Khadijah menuju saudara sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal, seorang penganut agama Nasrani, yang rajin membaca kitab kuno dan buku-buku agama. Ternyata Waraqah berkata dengan mantap: “Mahasuci! Seandainya engkau mempercayaiku wahai Khadijah! Ia telah didatangi oleh an Namus (Jibril) yang pernah mendatangi Musa as, maka katakanlah kepadanya, hendaklah ia tetap tabah dan selalu teguh. Ia sesungguhnya adalah Nabi bagi umat ini. Seandainya aku ditakdirkan hidup di zaman ini, niscaya aku akan beriman kepadanya.” Kemudian Khadijah pulang menemui suaminya dan menceritakan apa yang telah ia dengar dari Waraqah. Setelah itu, Nabi saw menjadi tenang dan dapat menguasai dirinya. Seketika itu pula ketakutannya sirna. Hal ini menimbulkan keyakinan yang mantap pada dirinya, bahwa ia adalah seorang Nabi.2 Sanggahan atas Riwayat Tersebut Nabi saw sangat mulia di sisi Allah. Tidak mungkin beliau dilepaskan begitu saja dalam kegelisahan dan ketakutan di saat-saat kritis yang merupakan detik-detik perubahan besar dalam lembaran hidup beliau. Masa transisi yang sangat vital dari seorang manusia sempurna yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, menjadi manusia utusan dan bertanggung jawab atas umat dan masyarakat seutuhnya. Sebelum memasuki babak yang menentukan dan kritis seperti itu, beliau telah melangkah maju ke depan ke arah kesempurnaan manusia yang sangat agung dan mulia dalam perjalanan yang dahsyat. Dimulai dari alam ciptaan (manusia) menuju kepada Pencipta (Allah SWT), dan setelah mencapai puncak lalu kembalilah ia ke alam ciptaan (makhluk) dengan membawa kebenaran dari yang Yang Maha Pencipta sebagaimana yang digambarkan oleh seorang filosof, al Hakim Shadruddin al Syirazi. Dengan demikian dapat kita sadari bahwa detik-detik yang menentukan itu merupakan jalur penghubung antara dua perjalanan: perjalanan pergi dan perjalanan kembali dalam situasi yang genting. Mahasuci Allah, Ia tidak akan membiarkan kekasih-Nya mengalami kepedihan dan kegelisahan, justru setelah ia sampai pada puncak pertemuan, di mana ia akan dipilih sebagai utusan-Nya kepada manusia. Tidak mungkin Dia membiarkannya dalam ketakutan yang membahayakan, kemudian menakutinya dengan wajah yang serba menyeramkan sehingga beliau hampir tidak mampu lagi untuk mengendalikan dirinya, terkacaukan jalan pikirannya dan nyaris membawa kematian akibat makhluk tersebut. Bukankah Muhammad lebih mulia di sisi Allah daripada Ibrahim al Khalil, Musa al Kalim, dan nabi-nabi yang lain? Mereka tidak ditinggalkan sendirian pada saat-saat yang genting seperti itu sehingga meminta bantuan kepada orang lain. Muhammad saw adalah lebih mulia daripada mereka. Sungguh mengherankan analisa ahli sejarah yang mengutamakan logika seorang Khadijah yang sebelumnya tidak mengetahui sama sekali tentang rahasia-rahasia dan isyarat kenabian daripada seorang manusia sempurna dan utama, yang telah memikul misi Allah SWT. Kemudian Khadijah mengadakan percobaan yang dimengerti apa maksudnya oleh Rasulullah saw dalam upaya meyakinkan perkataannya dan didukung oleh perkataan Waraqah bin Naufal. Aneh sekali ketika terdapat keyakinan dan perasaan puas pada diri Nabi saw saat mendengar keterangan dari istrinya dan kesaksian yang diberikan oleh pendeta tua—Waraqah bin Naufal. Sehingga beliau dapat diyakinkan bahwa yang datang itu wahyu dari Allah Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana? Jika dikatakan bahwa Waraqah membaca kitab-kitab kuno, maka kami bertanya, apakah ada di zaman itu kitab-kitab agama yang tidak mengalami perubahan dan campur tangan manusia? Bukankah mimpi yang pernah dialami Nabi Muhammad saw itu benar adanya? Bukankah ucapan salam yang diucapkan oleh Jibril pada awal pertemuan, assalamu alaikum wahai pesuruh Allah, telah beliau dengar? Begitu pula ucapan salam dari setiap pepohonan dan bebatuan setiap kali beliau lewat di depannya dalam perjalanan pulan kembali ke rumah Khadijah? Bukankah beliau menyadari sepenuhnya apa yang dirasakan dirinya selama beliau menyendiri di gua Hira’ sehingga beliau tidak perlu diyakinkan oleh istrinya dan pendeta Nasrani itu? Justru keberadaan beliau di gua Hira' berangkat dari kesadaran spiritual dan usaha untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk konsentrasi penuh menjemput wahyu. Khalwat adalah cara terbaik yang beliau pilih sebagai sarana perenungan dan media tafakur yang paling efektif dimana jauhnya beliau dari kebisingin duniawi dan polusi syirik yang menghiasi wajah kota Mekah membuat beliau mau tidak mau harus memilih tempat "yang sehat dan segar". Dan, gua Hira adalah pilihan terbaik untuk merealisasikan tujuan ini. Lagi pula, jika memang riwayat itu benar, mengapa Waraqah tidak segera beriman padahal ia tahu bahwa beliau (Muhammad) adalah seorang Nabi? Terbukti di dalam sejarah bahwa Waraqah meninggal dalam keadaan belum beriman. Sedangkan riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw melihatnya dalam mimpi bahwa Waraqah sedang mengenakan pakaian putih adalah maudhu` (palsu dan tak dapat dipercaya). Sebab jalur riwayatnya terputus dan tidak bersambung. Jika memang terbukti bahwa ia masuk Islam dan beriman, maka sudahlah pasti namanya akan tercantum di dalam golongan orang-orang yang beriman pada permulaan Islam (as sabiqunal awwalun). Ibu Asakir berkata: “Saya belum pernah menemukan seseorang pun yang mengatakan bahwa ia (Waraqah) telah masuk Islam.”2 Waraqah masih hidup beberapa waktu sejak Nabi diutus. Bahkan telah disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Waraqah pernah berjalan dan melihat Bilal sedang disiksa.3 Jadi, Muhammad saw tidak pernah mengalami stres saat menerima wahyu. Beliau berada di puncak kesadaran dan mengerti bahwa yang datang kepada beliau itu adalah Jibril yang membawa pesan-pesan Ilahi untuknya dan umatnya. Bahkan atas nikmat agung risalah ini, beliau sangat bergembira.
Sejarah Hidup Ummu Salamah
Dengan Menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Nama sebenarnya beliau adalah Hind dan beliau adalah putri dari Umayyah bin al-Mughiroh bin Abdillah bin Makhzum.
Omar Reza kehaleh telah menjelaskan bahwa beliau dalam bukunya yang terkenal dengan nama "A’laamu an-Nisa’" dan mengatakan bahwa ada klaim yang berbeda tentang nama ayahnya dan dikatakan bahwa Hind adalah putri dari Sahl bin Mughiroh bin Abdillah bin Makhzum atau Huzaifah. Ibn saad menyatakan bahwa ayahnya adalah Suhail Zad al rakb bin Mughiroh dan gelarnya adalah Zad al rakb.
Beliau adalah wanita sangat murah hati dan dalam perjalanan hidupnya beliau gunakan untuk memenuhi dan membantu hal-hal yang diperlukan teman-temannya.
Ada beberapa klaim yang berbeda mengenai namanya. Dia juga disebut Ramlah. Ibn Abd al Bar meyakini bahwa namanya adalah Hind dan mengklaim bahwa beberapa ulama juga memiliki pendapat yang sama. (A’lamu Nisa’ Jilid 5 halaman 21 Dan 22)
Ibu dari Ummu Salamah adalah Atikah, putri Amr bin Rabiah bin Malik. Beberapa ulama mengakui bahwa Atikah adalah bibi dari nabi suci (saw) (ebn e Asir, alkamel fi Jilid altarikh 1 halaman 594 yang diterbitkan di Beirut pada tahun 1497 H.)
Ummi Salamah adalah seorang wanita terhormat dan bijaksana, beliau dibesarkan di sebuah keluarga bangsawan. Beliau meninggal pada tahun 63 H dalam usianya 84 tahun. Beberapa ulama mengklaim bahwa beliau berusia sampai 90 tahun dan meninggal pada tahun 61 H. Beliau dilahirkan sekitar 20 tahun sebelum hijrah (Hijrah Nabi Suci Muhammad (saw) dan para pengikutnya dari Makah ke Madinah, yang diakui sebagai awal kalender Hijriah ) dan menikah dengan Abdullan bin Makhzum. Ketika Islam mulai tersebar, beliau memeluk Islam bersama-sama dengan suaminya.
Salah satu lawan beliau adalah kakaknya sendiri, yang mana telah tewas dalam perang Uhud dengan tentara Muslim. Karena penyiksaan dan permusuhan dari orang musyrik yang tak tertahankan untuk pasangan muda ini, mereka akhirnya berhijrah ke Ethiopia dengan kelompok Muslim lainnya pada tahun ke-5 Kenabian (pengangkatan nabi suci Muhammad sebagai utusan terakhir dari Allah SWT), tapi setelah beberapa saat mereka kembali ke Makah. Mereka punya anak pertama mereka "Salamah" di Ethiopia. Mereka memutuskan untuk berhijrah ke Madinah pada tahun 13 kenabian. Bani Makhzum memberikan beberapa kesulitan dan tidak mengizinkan beliau untuk pergi ke Madinah, tapi akhirnya beliau berhasil berhijrah sampai ke Madinah.
Abu Salamah terluka dalam perang Uhud dan syahid pada tahun ke-4 Hijrah. Setelah kesyahidannya, Khalifah pertama dan kedua ingin menikahinya tetapi ditolak. Pada tahun yang sama nabi (saw) mengajukan pernikahan kepada beliau dia akhirnya pun diterima.
Ummu Salamah adalah seorang wanita yang mulia dan sangat berbudi luhur, sebanyak istri lain dari nabi suci (saw), terkhusus (Aisyah dan Hafsah) sangat cemburu dengan beliau.
Pada suatu hari Ummu Salamah bertanya kepada Nabi Suci (saw), mengapa nama laki-laki telah disebutkan dalam program hijrah, akan tetapi nama perempuan tidak disebutkan? Menanggapi pertanyaan ini Allah Yang Maha Kuasa menurunkan ayat 195 di surat Ali-Imran.
Ummu Salamah juga berpartisipasi dalam perang Khaibar dan telah menyatakan keinginannya untuk menjadi seperti seorang pria dan ikut dalam perang, oleh karena itu ayat 32 Surat an-Nisa’ pun diturunkan kepada nabi suci (saw).
Ummu Salamah adalah di antara perawi hadis dari nabi suci (saw) dan Sayyidah Fatimah (as) (putri tercinta Nabi (saw) .Beliau adalah lawan berat Muawiyah dan pada saat yang sama pengikut yang kuat dari Imam Ali (sebagai Imam pertama sekte Syiah dan penerus Nabi (saw) dengan dalil Ghadir Khom sebagai peristiwa besar dalam perjalanan sejarah umat Islam).
Ummu Salamah menemani Nabi (saw) dalam berbagai pertempuran dan juga dalam haji terakhir Nabi (SAW).
Selama periode 3 khalifah (sekitar 25 tahun) beliau digunakan untuk membantu mereka jika diperlukan.
Ummu Salamah selalu mendukung Imam Ali (a.s.), terutama pada periode Muawiyah. Beliau menulis kepada Muawiyah dan menekankan bahwa Imam Ali (a.s.) dicintai oleh Allah Yang Maha Kuasa dan Nabi (saw). Sadarilah bahwa jika Ali (a.s.) terkutuk dan terganggu, maka Nabi (saw) dan Allah SWT menjadi marah, (Elam al nisa halaman 225).
Ummu Salamah telah meriwayatkan dari Nabi (saw) "Barang siapa yang mengagumi Imam Ali (a.s.) maka dia sudah menyenangkan saya dan Allah SWT dan jika tidak suka terhadap Imam Ali (a.s.), jelas ia telah mengganggu saya dan Allah SWT."
Ummu Salamah mengklaim bahwa Jibril memberitahu Nabi (saw) bahwa Imam Hussein (a.s.) akan syahid di Irak. "Nabi suci (saw) meminta Jibril untuk menunjukkan tanah Karbala dan Jibril menawarkan beberapa tanah Karbala dan Ummu Salamah pun percaya., Nabi suci (saw) menegaskan bahwa" Anda akan melihat bahwa satu hari , tanah ini akan berubah menjadi darah. Kemudian cucu saya dibunuh. "Ummi Salamah pun menyimpang tanah tersebut dengan hati-hati dan melihatnya setiap hari dan berkata, ketika tanah itu berubah menjadi darah, maka hari itu akan menjadi hari yang besar.
Dalam riwayat lain, Ummu Salamah mengatakan bahwa: Suatu hari Nabi (saw) menangis, saya menanyakan alasan beliau menangis dan menjawab: "Baru saja Jibril menyingkap bahwa di masa depan pengikut Anda akan membunuh anak Anda (Imam Hussein a.s.) di Karbala. "Juga dia telah meriwayatkan dari Nabi (saw) bahwa Imam Hussein (a.s.) akan dibunuh pada tahun 60 A.H.
Abwab al Manakib di Sunan Tirmidzi meriwayatkan: Pada suatu sore Ummu Salmah sedang tidur dan bermimpi nabi Kudus (saw) menangis dan dalam kondisi tertekan dan mengatakan bahwa saya baru saja datang dari peristiwa kesyahidan Imam Hussein (a.s) dan saya melihat orang-orang yang telah syahid di Karbala.
Tirmidzi, menegaskan kembali bahwa Ummu Salamah menyebut tanah Karbala
dan melihat bahwa tanah itu telah berubah menjadi darah.
Ummu Salamah adalah istri terakhir dari Nabi (saw) yang telah wafat pada tahun 63 Hijrah dan telah menyaksikan kesyahidan Imam Hussein (a.s.)
Ummu Salamah setelah wafat dimakamkan di pekuburan Baqi’.
Disusun oleh; Seyyed Abd al Hussein reis al sadat
Rujukan:
-Zahry, altabaghat al kobra Jilid 8 halaman 94
-Belathery, al nesab al eshraf, Jilid 1 halaman 190
- Zahabi, SIER Elam al nobla, Jilid 2 halaman 209
Sejarah Hidup Juwairiyah binti Al-Harits
Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Pertempuran Bani Mustalaq
Pada tahun keenam Hijrah, tepatnya pada bulan Sya'ban, telah tersebar berita ke Madinah bahwa Harits bin Abi Diraar, kepala suku Bani Mustalaq, sedang mengumpulkan senjata dan pasukan militer untuk menyerang Madinah. Nabi memutuskan untuk dapat mengalahkan mereka di tanah mereka sendiri, oleh karena itu, tentara-tentara kaum muslimin bersama dengan nabi, bergerak ke arah mereka sampai mereka sampai di salah satu mata air di tanah mereka dengan nama Muraysi di wilayah Qadid. Awalnya, nabi (SAW) memerintahkan untuk mengajak mereka mememluk Islam, tapi mereka menolak ajakan tersebut dan pertempuran pun terjadi. Umat Islam pun berhasil keluar sebagai pemenang, dan mendapatkan banyak rampasan perang dan tahanan, seperti; dua ribu unta, lima ribu domba dan dua ratus keluarga tahanan. Di antara tahanan tersebut, adalah putri berusia dua puluh tahun dari Harits bin Abi Diraar, kepala suku. Nama lengkap ayahnya adalah Harits bin Abi Diraar bin Habib bin Ha'idh bin Maalik bin al-Mustalaq bin Sa'id bin Amr bin Rabi'ah bin Haarithah bin Khuzaa'ah.
Pemicu Pertempuran Bani Mustalaq
Suku Bani Mustalaq, yang berjarak lima manzil (hitungan jarak pada waktu itu) dari Madinah, telah merencanakan untuk mengepung kota Madinah dengan bantuan sekutunya dari suku-suku Arab lainnya. Nabi (SAW) diberitahu tentang ini oleh karena itu Nabi mengirim seseorang dengan nama Barid ke tanah mereka untuk melihat masalah ini secara langsung. Ia berkomunikasi kepala suku tak dikenal dan belajar memahami strategi lawan. Setelah kembali ke Madinah, ia laporan segala yang didapatnya. Ia membawa beberapa berita bermanfaat untuk nabi (SAW). Pada saat yang sama, mata-mata mereka tertangkap di kalangan umat Islam, dan terpaksa tidak dapat memberikan kabar kepada komplotannya atas apa yang telah terjadi. Setelah mengetahui rencana mereka, nabi (SAW) pun mengambil ofensif dan menyerang mereka duluan. Keberanian para tentara Muslim dan membuat para lawan takut dan para prajurit musuh pun tercerai berai yang berakhir pada dengan sepuluh kematian dari sisi mereka dan satu syahid dari pihak Muslim. Dengan kekalahan mereka, banyak kekayaan datang untuk tentara Islam dan perempuan mereka dibawa sebagai tawanan.
Alasan Berbagai Pertempuran di zaman Nabi (SAW)
Kemampuan militer dan kekuatan Islam sangat signifikan pada tahun keenam Hijrah, sejauh bahwa kelompok khusus dari mereka dengan bebas dan mudah bisa pergi ke dekat Makkah dan kembali tanpa masalah; tapi kekuatan militer mereka tidak dimaksudkan untuk menaklukkan tanah dan penjarahan kekayaan mereka. Jika bukan karena orang musyrik merampas kebebasan umat muslim, dan jika mereka telah mengizinkan umat Islam untuk menyebarkan agama mereka tanpa pelecehan, maka Nabi (SAW) pun tidak akan pernah terpaksa untuk menggunakan kekerasan, namun, karena umat Islam dan para mubaligh mereka yang terus menerus dalam bahaya dan terancam oleh musuh-musuh mereka, maka pemimpin negara Islam tidak punya pilihan selain untuk memperkuat pasukan pertahanan Islam.
Alasan pertempuran Nabi (SAW) yang berlangsung sampai hari-hari terakhirnya adalah salah satu dari hal berikut:
a) Pembalasan untuk pelanggaran yang tidak manusiawi dari orang musyrik, seperti yang terjadi dalam pertempuran Badar, Uhud dan Khandaq.
b) Menghukum para pemberontak yang telah membunuh umat Muslim dan delegasinya ditengah-tengah padang pasir dan daerah terpencil, atau karena mereka telah merusak perjanjian dengan kaum Muslimin dan karena jika tidak melakukan perang maka Islam terancam akan punah, seperti yang terjadi dalam pertempuran dengan tiga suku Yahudi dan Bani al-Hayyaan.
c) Untuk menetralisir mobilisasi yang berkembang dari suatu suku yang menentang dan membuat persiapan untuk menyerang Madinah setelah mengumpulkan senjata yang diperlukan dan sumber daya militernya.
Juwairiyah
Juwairiyah binti Harits (670 atau 677 M) adalah seorang putri Arab dan putri sulung dari suku Khuzaa'ah. Ayahnya adalah kepala suku Bani Mustalaq. Setelah kekalahan dalam pertempuran, kekayaan mereka diamankan dan laki-laki juga perempuan mereka dibawa sebagai tawanan, salah satu wanita tawanan tersebut adalah Barrah, putri Harits yang kemudian dikenal dengan nama Juwairiyah. Beliau adalah istri dari Naafi' bin Safwaan, sepupu dari pihak ayah, yang tewas dalam pertempuran.
Beliau menjadi bagian dari rampasan dari Tsabit bin Qais bin Shammaas Ansaari dan sepupunya. Mereka sepakat bahwa dia bebas setelah membayar tujuh mithqaals emas. Pada waktu itu, tawanan perang bisa membebaskan diri dengan membayar uang tebusan.
Tebusan ditentukan oleh Tsabit untuk kebebasan Barrah beberapa kali lebih banyak dari jumlah yang biasanya dan beliau sendiri tidak mampu membayar, jadi beliau mencari bantuan kepada nabi (SAW) melalui Ali (a.s).
Kisah yang diceritakan oleh Aisyah:
Halabi menceritakan kisah melalui perkataan Aisyah seperti sebagai berikut:
Aisyah telah meriwayatkan bahwa Juwairiyah adalah seorang wanita cantik. Semua yang melihat beliau maka akan tertarik padanya. Dalam perjalanan dengan nabi, ketika kami berada dekat dengan hamparan Muraysi', Juwairiyah datang ke nabi dan meminta beliau untuk kontrak mukaatabah (kontrak kebebasan imbalan uang dari seorang budak) dengan dia, maka Aisyah pun marah dan cemburu karena tahu bahwa nabi akan melihat keindahan yang sama seperti yang Aisyah lihat.
Dalam riwayat lain, Aisyah mengatakan bahwa Juwairiyah berdiri di belakang tirai untuk kontrak mukaatabah dengan nabi. Ketika Aisyah menatapnya, Aisyah melihat kecantikan di wajahnya dan yakin bahwa ketika nabi juga melihat dirinya, ia juga akan senang. Beliau berkata kepadanya: "Aku akan membayar tebusan kontrak mukaatabah Anda dan juga akan menikah. Beliau menikahi putri kepala pemberontak dan ini mengakibatkan ikatan bisa dipecahkan antara nabi dan suku ini, dan banyak dari perempuan yang telah ditawan yang tanpa syarat dibebaskan hanya karena hubungan ini. Salah satu hasil dari nikah ini adalah kebebasan seratus tahanan perempuan.
Aisyah juga telah meriwayatkan: "Saya tidak tahu apakah ada wanita yang lebih diberkati untuk sukunya daripada Juwairiyah?"
Suku Bani Mustalaq semua memeluk Islam dan kemudian diberkati oleh Allah. Juwairiyah pindah ke rumah nabi. Rumahnya berada di dekat rumah-rumah dari Ummahatul Mukminin; Ummu Salamah, Aisyah dan Hafsah.
Kisah dari Para Sejarawan
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sejarawan mengenai cerita ini sampai penawanan Juwairiyah dan datang beliau ke nabi; mereka semua sepakat tentang semua apa yang telah diriwayatkan memang telah terjadi. Namun ada, perbedaan mengenai apa yang terjadi setelah itu; ada dua riwayat di sini:
Riwayat Pertama:
Nabi memilih Juwairiyah untuk dirinya sendiri dan setelah membagi harta rampasan perang dan tahanan kepada pasukan Muslim, beliau kembali ke Madinah. Kemudian ayah Juwairiyah ini, Harits, datang ke Madinah dengan sejumlah unta untuk membayar kebebasan putrinya. Dalam perjalanan, ia menyembunyikan dua unta ini di daerah Aqiq karena masih sayang untuk tetap memilikinya, dan datang ke nabi dengan sisa unta, kemudian meminta putrinya dengan menggantinya dengan tebusan yang dia bawa, dia pun mengatakan: "Wahai Nabi Allah, putri saya tidak bisa menjadi tawanan perang, karena dia adalah gadis yang mulia dan terhormat. "nabi menjawab," Jika demikian, lantas mengapa unta yang anda bawa anda sembuyikan lembah itu?! "Setelah mendengar hal ini, Harits dan anaknya memeluk Islam. Nabi memberikan pilihan kepada Juwairiyah untuk tinggal bersama beliau atau kembali ke ayahnya. Harits mengakui bahwa keputusan nabi memang adil. Akan tetapi, dia kemudian pergi ke Juwairiyah dan menanyakan ke putrinya: "Putriku!! Jangan mempermalukan suku Anda dengan tinggal di sini " Juwairiyah menjawab:" Tapi aku telah memilih Allah dan nabi-Nya "Ayahnya berkata:"Semoga Anda dikutuk! Melakukan apapun yang Anda inginkan! "Nabi kemudian membebaskan Juwairiyah dan beliau menjadi salah satu istrinya.
Riwayat Kedua:
Setelah membagikan rampasan, Juwairiyah diberikan kepada Tsabit dan sepupunya sebagai bagian mereka dari rampasan. Mereka menetapkan tebusan dari tujuh mithqaals emas untuk kebebasannya. Juwairiyah kemudian datang ke nabi yang sedang duduk di dekat air. Beliau mengumumkan bahwa sudah memeluk Islam dan mengatakan tentang tebusan kepada Nabi untuk meminta bantuan. Nabi berkata: "Saya akan membayar uang tebusan Anda dan juga akan membawa Anda sebagai istri saya."
Beliau adalah istri pertama Nabi yang tidak berasal dari suku Quraish.
Aisyah yang mana bersama nabi (SAW) dalam pertempuran ini, yang juga ditemani oleh Ummu Salamah, meriwayatkan cerita seperti ini:
"Juwairiyah adalah seorang gadis cantik yang siapa pun melihatnya, maka akan jatuh cinta dengannya. Saya dan nabi duduk di waktu musim semi di Muraysi' ketika beliau meminta Nabi (SAW) untuk membantunya agar menebusnya. Beliau berkata: "Wahai Rasulullah, saya adalah seorang yang baru memeluk Islam dan saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Anda adalah utusan-Nya. Saya Juwairiyah, putri Harits bin Abi Diraar, yang mana ayah saya adalah kepala sukunya dan Anda tahu apa yang telah menimpa saya. Saya telah diberikan sebagai bagian dari Tsabit bin Qays dan sepupunya dan mereka telah menetapkan tebusan untuk kebebasan saya tapi saya tidak mampu membayar. Saya berharap bahwa Anda membantu saya. Nabi berkata: "Ada pilihan yang lebih baik juga." Dia bertanya: "Dan apa itu?" Beliau menjawab: "Saya akan membayar tebusan dan Anda juga akan menikah" Juwairiyah mengatakan: "Baiklah, saya akan melakukannya." Nabi mengirim pesan kepada Tsabit untuk meminta beliau. Tsabit berkata: "Demi Allah, beliau adalah milik mu yaa Rasul Allah!" Nabi membayar tebusan dan membebaskannya. Ketika orang-orang mengetahui bahwa Nabi telah menikah dengannya dan menjadi pengantin pria dari suku Bani Mustalaq, maka mereka membebaskan tawanan mereka yang telah diambil sebagai rampasan perang dan peristiwa ini membuahkan hasil hingga terbebasnya seratus keluarga Bani Mustalaq. Jadi, saya tidak tahu wanita lain lebih diberkati dan bermanfaat bagi sukunya selain dari Juwairiyah."
Mas Kawin Juwairiyah
Ketika kembali dari Muraysi', nabi meninggalkannya dengan seorang pria dari Anshar dan memerintahkan dia melindunginya dan pergi ke Madinah. Kebebasan beliau (dari harta rampasan perang) adalah dianggap sebagai mas kawin beliau, dan menurut beberapa riwayat, ditambah dengan kebebasan empat puluh, atau semua tawanan Bani Mustalaq.
Tapi Juwairiyah sendiri menggambarkan kisah seperti ini: "Ketika Nabi membebaskan saya dan menikah dengan saya, Demi Allah saya tidak menyebutkan suku saya [yang telah diambil sebagai tahanan]. Itu adalah umat Islam sendiri yang [sukarela] membebaskan mereka. Seorang gadis kecil yang mana saudara sepupu saya datang kepada saya dan memberitahu saya kebebasan mereka, dan saya bersyukur kepada Allah.
Juga telah dikatakan bahwa mas kawinnya adalah empat ratus dirham, dan bahwa ia mengubah namanya dari Barrah ke Juwairiyah, karena nabi mengatakan bahwa Barrah, yang secara harfiah berarti 'reputasi', adalah bentuk kekaguman diri, meskipun nama ini adalah yang umum kemudian. Nabi memerintahkan beliau untuk berjilbab dan mewajibkan pada dirinya (Juwairiyah) seperti juga wajibnya hal ini bagi istri-istri nabi yang lainnya.
Alasan Perubahan Nama
Tidak dapat diketahui secara pasti mengapa namanya berubah. Nabi mengubah nama dari sejumlah istri-istrinya, seperti Zainab binti Jahsy, Ummu Salmah, Maymunah dan Juwairiyah, sekaligus menjaga nama-nama lain, seperti Barrah binti Abi Najwah dan Barrah binti Sufyan, dan lain-lain.
Dari Pernikahan Hingga Wafatnya
Beliau tinggal dengan nabi selama lima tahun, akan tetapi tidak memiliki anak darinya dan akhirnya, pada tahun 56 H dan menurut beberapa riwayat lain 50 H, beliau wafat di Madinah. Jenazahnya dikawal sampai kuburan Baqi' dan dikuburkan di situ. Dikatakan bahwa Marwaan al-Hakam, penguasa Madinah pada waktu itu, dan Abu Haatam Hayyaan mensholatkan jenazah beliau.
Juwairiyah adalah seorang wanita solihah dan taat, beliau berpuasa hampir setiap hari dan menghabiskan sebagian besar malam dalam beribadah. Dari beberapat riwayat diceritakan tentang kesalehan dan ibadahnya yang menunjukkan maqom yang tinggi setelah beliau menjadi istri nabi (SAW).
Dalam bukunya Rayahin al-syari'ah, Dhabihullah Mahallati mengatakan: Juwairiyah adalah seorang wanita yang menarik dan lembuh dalam berbicara.
Beliau telah meriwayatkan hadits dari Nabi, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ubaid bin Sabbaaq, keponakannya Tufayl dan lain-lain juga telah meriwayatkan darinya. Syekh Tusi juga telah menganggap beliau sebagai salah satu ‘ashab’ (sahabat) dalam buku rijal nya.
Dia adalah seorang wanita pandai dan juga periwayat hadits yang hidup 39 tahun setelah wafatnya Nabi (SAW).
Referensi:
Dzahabi, Taarikh Islam wa Wafayaat al-Mashaahir wa al-A'laam, edisi kedua, 1992, vol. 2, h. 259 / Khalifah bin Khayyaat, Taarikhe Khalifeh, vol. 1, h. 36 / Ibn Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyyah, vol. 2, h. 290.
Maghaazi, edisi kedua, vol. 1, h. 407.
Maghaazi, ibid, h. 410./ Tabaqaat al-Kubraa, h. 49.
Dayyar Bakri, Syaikh Husain. Taarikh Khamis vi Ahwaal Anfus al-Nafis, h. 474./ Shaafi'i Halabi. Abu al-Faraj. Sirah Halabiyyah, edisi kedua, vol. 2, h. 380.
Taarikh Tabari, vol. 2, h. 260.
Ibid.
Shahid Khatibi, Husain, Shureshiyane Bani Mustalaq, pasal 34.
Miqrizi, Ahmad ibn Ali, Imtaa 'al-Istimtaa', hal. 84.
Halabi Ali bin Burhan al-Din, Al-Sirah al-Halabiyyah min Sirat al-Amin al-Ma'mun, vol. 2, h. 86-87.
Syaikh Mufid, Al-Irshaad fi Ma'rifat Hujajillah ala al-Ibaad, vol. 1, h. 118.
Sirah Halabiyyah, ibid, h. 295./ Ibn Hisyam, vol. 2, h. 290./ Manaaqib, h. 201.
Ibn Hisyam, vol. 2, h. 295./ Ibnu Asaakir. Taarikh Damishq. vol. 3. h. 218.
Sirah Halabiyyah, ibid, h. 382./ Manaaqib, h. 201./ Al-Irshaad, h. 118.
Ibn Hisyam. Ibid.
Maghaazi, h. 411./ tabaqaat al-Kubraa, vol. 8, h. 92./ Ibn Hisyam, ibid, h. 294.
Abd al-Rahman Suhayli, Al-Ruwad al-Alf fi Syarh al-Sirah al-Nabawiyyah, vol. 6, h. 406./ Ibn Hisyam, h. 295.
Imtaa 'al-Asmaa', vol. 1, h. 206./ Baladhuri, Ansaab al-Ahraaf, vol. 1, h. 443.
Sirah Halabiyyah, ibid, h. 383.
Ansaab al-Ashraaf, h. 442, Taarikh Khamis, h. 474.
Maghaazi, p 307. Ansaab al-Ashraaf, ph. 441-442.
Tabaqaat al-Kubraa, vol. 8, h. 94./ Maghaazi, h. 413.
Al-Sahih min Sirat al-Nabiyy al-A'dham, h. 313.
Taarikh Khamis, vol. 1, h. 475.
Sirah ibn Ishaq, h. 263.
Tabaqaat al-Kubraa, h. 95./ Ansaab al-Ashraaf, vol. 1, h. 443
Asqalani, Ibnu Hajar, Al-Isaabah fi Tamyiz al-sahabat, vol. 8, h. 74.
Ibnu Atsir, Usd al-Ghaabah, vol. 6, h. 57./ Al-Isaabah, ibid.
Ditulis oleh: Maryam Masdari



























