کمالوندی
Fatimah Az-Zahra: Teladan Utama Manusia Dan Kemanusiaan
Kebutuhan terhadap sosok atau figur untuk diteladani adalah naluri alamiah yang ada dalam diri tiap manusia. Hal itu merupakan jalan manusia menuju kesempurnaan dan kebahagiaan.
Demikian disampaikan Ustad Ahmad Hidayat dalam peringatan Haul Sayyidah Fatimah Az-Zahra as pada hari Jumat (4/2) lalu bertempat di kantor Dana Mustadhafin, Duren Tiga Jakarta Selatan.
Ustad Ahmad menilai, seringkali orang keliru dalam memilih figur yang dimaksudkan. Ada satu hal yang sering dilupakan bahwa ketika seseorang mencari figur idola sebenarnya ia ingin merefleksikan dirinya seperti orang yang hendak dijadikannya teladan terbaik dalam hidupnya. Namun demikian, banyak orang memaknainya sebatas material saja. Padahal bukan itu yang dibutuhkan naluri.
Banyak orang misalnya menjadikan artis sebagai figur idola karena kecantikannya, kepandaian berakting, dan sebagainya. Bahkan ada yang sampai histeris seperti merasakan puncak kebahagiaan ketika bertemu dengan artis yang diidolakannya itu. Inilah yang disebut sebagai menilai figur secara materialnya saja.
Adapun sosok Fatimah Az-Zahra as adalah tipe manusia yang tidak saja menjadi simbol bagi kaum perempuan. Namun simbol bagi manusia dan kemanusiaan. Karena itulah di dalam tradisi umat Islam secara umum ada peringatan Maulid Nabi dan seterusnya. Termasuk juga peringatan syahadah Sayyidah Fatimah di dalamnya, dengan tujuan kembali menggali sosok Fatimah Az-Zahra as untuk menjawab kebutuhan tadi. Karena naluri membutuhkan figur bukan sekadar aspek fisik tapi juga spiritualnya.
Maka ketika kita menjadikan Fatimah az Zahra sebagai figur teladan setelah mengenali sifat-sifatnya, lalu kita berusaha menjadi seperti beliau, maka kita akan merasakan sebuah peristiwa spiritual yang memuaskan jiwa. “Itulah kelebihan menjadikan sosok tertentu sebagai figur teladan yang tidak sebatas pada aspek materialnya saja,” tutur Ustad Ahmad.
Lalu, siapakah Fatimah Az-Zahra, yang namanya sedemikian agung hingga patut untuk dijadikan figur teladan? Dalam hal ini, Ustad Ahmad menyampaikan bahwa Fatimah Az-Zahra as adalah wanita paling agung sepanjang masa. “Tidak ada satu pun pengkaji tentang manusia mulia di dunia ini yang tidak menyimpulkan bahwa Fatimah Az-Zahra as melampaui seluruh manusia kecuali Rasulullah SAW,” tambahnya.
Sejak ibundanya, Khadijah meninggal dunia, Fatimah masih berusia lima tahun. Beliau menggantikan ibundanya mendampingi dan merawat Rasulullah dalam segala rintangan dan cobaan. Hingga akhirnya Rasulullah memberinya gelar Ummu Abiha yang berarti, ibu dari ayahnya. Bisa dibayangkan, peran apa yang Fatimah lakukan dalam usia belianya? Itulah salah satu keutamaan beliau yang tidak dimiliki manusia selainnya.
Fatimah merupakan hamba Allah yang juga terikat dengan hukum-hukum syariat sebagaimana manusia lain, namun tingkat ketaatannya kepada Allah melebihi yang lainnya meski menurut riwayat, beliau hanya hidup di dunia selama 18 tahun. Usia yang sangat singkat namun menorehkan prestasi ketakwaan yang sangat tinggi, sehingga dengannya beliau tercatat sebagai manusia khusus di mata Allah SWT dan Rasulullah Saw.
Pernah Rasulullah bersabda, “Kalau aku rindu mencium aroma surga, aku menemui Fatimah Az-Zahra untuk merasakan bagaimana aroma surganya Allah SWT.” Dengannya, Fatimah Az-Zahra mendapat julukan al hawra’ al insiyah atau wewangian surga, aroma surgawi yang dihidupkan Allah di tengah kehidupan manusia. Atau bisa juga diartikan bidadari yang bertajalli dalam bentuk manusia.
Dan masih banyak lagi keutamaan Fatimah Az-Zahra, mulai dari ketaatan dan bakti terhadap suaminya, kesabaran mendampingi dan merawat ayahnya, serta ahli ibadah di hadapan Tuhannya. Dengan memperingati Syahadah Fatimah Az-Zahra as, Ustad Ahmad mengharapkan agar jamaah yang hadir dapat mengambil inspirasi dari figur agung puteri kesayangan Rasulullah itu. (
Pelajaran Cinta Dan Benci
Cinta dan benci merupakan dua hal yang saling berlawanan. Cinta menggambarkan penerimaan, kesepakatan, kerinduan, rasa ingin menyatu, memiliki, mengikuti dan bahkan berkorban bagi seseorang terhadap sesuatu yang dia cintai. Sedangkan benci kebalikannya, menggambarkan penolakan, ketidaksukaan yang sangat, dan rasa jijik serta ingin menjauhi terhadap sesuatu yang dia benci. Mungkinkah pada diri seseorang timbul cinta dan benci pada obyek yang sama?
Hal ini tentu tidak mungkin terjadi karena cinta berlawanan dengan benci, dan tentu hukum logika menafikan premis bergabungnya cinta dan benci dari satu subyek (individu) terhadap obyek yang sama, karena ketika seseorang cinta terhadap sesuatu mustahil dia membenci sesuatu yang dia cintai tersebut dan hukum ini juga berlaku sebaliknya. Ini sesuatu yang sangat jelas.
Dengan demikian, dalam diri seseorang tidaklah mungkin timbul cinta dan benci pada obyek yang sama. Tetapi seseorang dapat mencintai sesuatu hal dan membenci sesuatu hal lainnya. Uniknya cinta dan benci ternyata dapat timbul pada obyek yang sama manakala subyek yang mencinta dan membenci berbeda. Mengapa hal ini bisa terjadi? Di sinilah letak keunikannya, dan ketika kita dapat memahami ini akan dapat membuka cakrawala berfikir kita dan juga menimbulkan perasaan ‘cinta saja’ terhadap segala sesuatu, sekaligus menghapus rasa benci terhadap sesuatu yang lain.
Lho bagaimana mungkin manusia hanya memiliki cinta dan tidak ada rasa benci? Bukankah pada dasarnya manusia membenci hal-hal buruk seperti penindasan, kekejaman, kekasaran, sifat tamak, pelit, serta perampokan dan lain-lain hal yang dikategorikan buruk oleh kemanusian dan akal sehat serta agama? Tepat sekali! Benci dan kebencian pada hal-hal buruk yang disebutkan di atas sebenarnya bukan disebut benci tetapi cinta.
Mengapa? Karena manusia cinta pada hal-hal yang sebaliknya dari penindasan, kekejaman, kekasaran, sifat tamak, pelit, dan perampokan yaitu pemberian hak dan kebebasan, kelembutan dan kasih sayang, dermawan dan rasa ingin berbagi, serta penghormatan dan penjagaan hak-hak atau keadilan. Dengan demikian maka sebenarnya benci itu tidak benar-benar ada secara eksistensi dan obyektif. Mengapa bisa terjadi? Karena benci tidak akan pernah timbul manakala kita benar-benar mencintai yang sebaliknya dari yang kita benci tersebut sebagaimana digambarkan di atas. Kalau begitu, mengapa kita harus benci hanya pada adanya perbedaan pemahaman yang bahkan diakui bersama sesungguhnya bersumber dari sumber yang satu?
Mari kita runut bersama-sama. Kita coba kembali pada hal unik yang disebutkan di atas tentang fenomena adanya hasil yang bertolak belakang (bertentangan) bahwa antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat menghasilkan sesuatu yang berlawanan dalam mengidentifikasi dan mengenali serta menyimpulkan suatu obyek. Subyek A mengidentifikasi, mengenali dan mengambil kesimpulan tentang obyek X menghasilkan cinta dan kecintaan, tetapi subyek B mengidentifikasi, mengenali dan menyimpulkan suatu hal yang sama yaitu obyek X tetapi menghasilkan benci dan kebencian.
Suatu obyek X yang hendak diidentifikasi, dikenali dan disimpulkan oleh subyek A maupun subyek B adalah sesuatu yang ada di luar diri subyek A maupun subyek B. Obyek X ini memiliki identitas obyektif dan tidak tergantung pada sesuatu di luarnya. Tetapi ketika subyek A dan subyek B tertuju perhatiannya pada obyek X, maka obyek X diberikan predikat-predikat berupa suatu nilai, identitas, status, dan hal lainnya untuk dapat menyebut dan mengenali serta menyimpulkan obyek X tersebut. Pandangan dan penilaian subyek baik A maupun B terhadap obyek X tentu sangat dipengaruhi oleh sesuatu yang melekat dan dimiliki subyek dan menjadi modal bagi subyek untuk mengenali dan mengidentifikasi obyek X tadi. Sesuatu yang melekat pada subyek dan sekaligus menjadi modal bagi subyek tersebut umumnya berbeda antara yang ada dan dimiliki subyek A dan subyek B. Hal inilah yang kemudian dapat dipahami ketika dalam fenomena kehidupan orang dapat berbeda pendapat satu dengan yang lainnya.
Seseorang yang sehat pemikirannya dan tidak mengidap sindrom superioritas pasti akan dengan sadar mengakui bahwa modal yang ada pada dirinya bukanlah segala-galanya dan satu-satunya yang lengkap, yang hal itu tidak dimiliki oleh selainnya. Begitu juga sangat mungkin sekali dirinya tidak atau belum memiliki atau memahami sesuatu ilmu dan pemahaman yang dimiliki oleh orang selainnya. Dengan menyadari hal ini, sangat naif bila kita mengklaim bahwa diri kita lah yang mempunyai identifikasi dan pengenalan terhadap sesuatu secara obyektif dan mutlak sembari menyatakan bahwa identifikasi dan pengenalan orang lain terhadap sesuatu itu seluruhnya salah dan tidak mengandung kebenaran sama sekali.
Apalagi bila kesimpulan yang diambil itu bukan langsung berasal dan bersumber dari dirinya tetapi dari kesimpulan orang lain lagi yang kita juga belum mengidentifikasi validitas dan kebenarannya, tetapi langsung kita telan mentah-mentah tanpa reserve, seolah-olah dia yakin Tuhan langsung berbicara kepadanya tentang hal tersebut.
Prinsip keterbukaan pemikiran dalam berfikir obyektif tanpa mengklaim kebenaran hanya ada pada pendapatnya saja ini sudah semestinya berlaku bagi seluruh manusia selain Nabi dan Rasul atau utusan-Nya. Mengapa demikian? Bukankah Nabi dan Rasul juga manusia? Benar bahwa Nabi dan Rasul juga manusia, tetapi Nabi dan Rasul adalah utusan yang dipilih oleh Pengutusnya yaitu Allah Swt, dan diberikan wahyu serta bimbingan langsung dari-Nya. Sehingga apa yang ada pada diri Nabi dan Rasul adalah bersumber pada kebenaran obyektif dan mutlak (baca: bukan spekulatif).
Hal tersebut kita yakini karena kita sebelumnya telah percaya dengan eksistensi Allah Swt dan bertauhid kepada-Nya, yang meniscayakan bahwa Nabi dan Rasul-Nya adalah representasi-Nya dan sebagai pembimbing yang mengajak seluruh manusia pada jalan keselamatan, yang terpelihara dari dosa sehingga meniscayakan ketaatan kepada mereka secara mutlak. Makanya kita saksikan, tidak pernah terjadi pertentangan apalagi permusuhan dan saling menyalahkan antara sesama Nabi dan Rasul karena sesuatu yang ada pada dirinya bersumber langsung dari bimbingan Yang Maha Mutlak. Bahkan kita sering mendegar suatu riwayat yang menyatakan bahwa jika Nabi dan Rasul dari mulai Adam As sampai Muhammad Saaw dikumpulkan niscaya tidak akan pernah didapati pertentangan pendapat di antara mereka karena segala yang ada pada mereka bersumber langsung dari Allah Swt.
Kembali pada masalah kita semua, yaitu umat manusia sebagai pengikut para Nabi dari mulai Adam As sampai Muhammad Saaw, sudah selayaknya menyadari bahwa diri kita ini bukanlah Nabi dan Rasul yang diutus oleh-Nya. Dengan demikian atas dasar apa manusia berperan seperti layaknya Nabi dan Rasul bahkan memposisikan dirinya seolah sebagai Tuhan yang memberikan vonis hukuman salah, sesat, kafir, neraka kepada selainnya dengan lantang sementara kita menyadari bahwa sesuatu dasar yang kita miliki sebagai bahan memberi vonis adalah ‘spekulatif’ dalam arti tidak mendapat dan mendengar langsung dari Nabi dan Rasul apalagi dari Allah swt, dan tidak jarang pula bersifat subyektif serta diiringi dengan hawa nafsu merasa paling utama dan benar sendiri. Bukankah Allah Swt menjelaskan kepada kita secara gamblang dalam firman-Nya (QS. Al-Hujurat: 14) “… dan janganlah kalian mengatakan kami telah beriman, tetapi katakan kami telah ber-Islam (berserah diri)” ?
Keimanan dilandasi oleh suatu proses tertentu yang pada akhirnya menghasilkan sebuah keyakinan. Sedangkan keber-Islam-an adalah pernyataan sikap ketundukan dan berserah diri pada kebenaran agama. Ayat di atas sungguh luar biasa bagi pembelajaran kita semua, sebab bagaimana mungkin proses yang kita jalani dan yang membuahkan keyakinan saja tidak boleh dijadikan dasar klaim kita dalam membenarkan diri kita sendiri dan menyalahkan/menyesatkan dan memvonis pihak lain, tetapi justru Allah Swt memerintahkan diri kita untuk berserah diri, yang artinya mengembalikan kebenaran sejati dan mutlak yang memang hanya ada pada dan milik Allah Swt saja.
Hal tersebut bukan berarti kita merelativisasi keyakinan yang kita miliki, tetapi justru membumikan keber-Islam-an yang rahmatan lil ‘alamin. Mengapa? Kembali sebagaimana yang disebutkan di atas karena kita ini bukan Nabi dan Rasul, walaupun segudang sumber dan pemikiran yang kita miliki, sekali lagi kita mesti sadar kita ini bukan Nabi dan Rasul yang berkomunikasi ‘langsung’ dengan Allah Swt. Kita tetap yakin agama ini sungguh sempurna mempunyai argumen yang sangat kokoh dari segala sisi, jadi jangan khawatir.
Nah, kembali pada pokok pembahasan cinta dan benci, sudah selayaknya kita mengambil pelajaran dari manusia-manusia suci keluarga Nabi alaihimussalam. Dikisahkan Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib cucu Nabi dicaci-maki oleh seseorang dan beliau bergeming, hanya mendengarkan serta diam seribu bahasa. Ketika itu beberapa orang yang menyaksikan sesak dadanya mendengar caci-maki tersebut yang sebenarnya tidak ada pada diri beliau. Beliau ditanya, “Wahai cucu Rasul, mengapa engkau tidak menanggapi atau membalas caciannya padahal segala caci-maki tersebut tidak ada pada dirimu?” Beliau berkata, “Aku tidak tahu bagaimana mesti membalasnya karena ayahku, ibuku, kakekku tidak pernah mengajarkan kebencian, cacian dan makian (aku tidak diajari membenci).”
Demi Allah, memang Nabi Muhammad Saw dan keluarga sucinya mengajarkan kepada kita juga umatnya apa itu cinta dan mencintai dan bukan mengajarkan benci dan membenci, meski sebenarnya yang terakhir ini tidaklah eksis melainkan hanya bayang-bayang non-eksistensi yang dibisikkan oleh nafsu syaithani.
Mengapa Islam Tumbuh Di Madinah? Sebuah Jawaban Awal
Islam adalah agama pemersatu, agama yang telah mempersatukan dan membangun tali persaudaraan di antara beragam suku Arab yang terus menerus bertikai kala itu. Hijrah Nabi Muhammad ke Kota Yatsrib yang kini disebut dengan Madinah itu secara jelas memanifestasikan hakikat Islam sebagai agama pemersatu, rekonsiliator, dan pengayom toleransi dan pluralisme. Jika di Mekah yang monokultural dan monolitik, Islam tertolak dan Baginda Nabi Muhammad terusir, maka itu menunjukkan sifat Islam yang tidak sesuai dengan lingkungan yang seragam dan tidak menerima perbedaan. Sebaliknya, di Madinah yang multikultural, Islam justru menemukan habitat yang ideal. Di Madinah, Islam tumbuh sehat, kuat dan cepat, dalam milieu yang kondusif. Kenyataan ini memperkuat keyakinan bahwa Islam adalah agama multikultural sejak dalam buaiannya, sejak dalam periode paling awalnya. Dan karena itulah Islam tidak bisa tidak mesti mencari lingkungan dan wilayah multikultural lain agar dapat terus mekar, memperlihatkan keindahannya dan semerbak wanginya.
Dalam bukunya tentang kehidupan Nabi, Muhammad Rasulullah, Syeikh Abul-Hasan Ali an-Nadwi telah mempersembahkan satu bab lengkap mengenai gambaran rinci ihwal struktur sosial Madinah ketika Nabi dan para sahabatnya menetap di sana bersama saudara mereka yang merupakan penghuni tetap kota tersebut. Dia menunjukkan Madinah adalah kota dengan beragam keyakinan, budaya, etnik, bahasa, suku dan kelompok sosial yang memberikan kota itu suatu lanskap plural yang kaya dan penuh warna. Hal ini jelas berbeda dengan situasi Mekah yang bersifat monolitik. Fakta ini menunjukkan bahwa Islam justru dapat tumbuh besar di lingkungan yang tidak monolitik, suatu lingkungan yang terbuka dan menerima perbedaan pandangan dan keyakinan.
Di dalam lanskap multikultural yang seperti inilah Islam dapat hadir dalam kekuatan penuh. Sebaliknya, di Mekah, Islam menjadi agama yang tersisihkan karena masyarakat Mekah pada umumnya tertutup dan statis. Masyarakat Mekah tidak mengenal perbedaan dan keberagaman, bahkan menolak keras segala rupa perbedaan yang coba ditawarkan. Fakta ini memperkuat keyakinan yang menyatakan bahwa Islam adalah agama terbuka, yang akan tumbuh jauh lebih pesat di milieu yang dinamis dan heterogen. Praduga bahwa Islam adalah agama monolitik yang tidak mendukung keberagaman pandangan dan penafsiran adalah miskonsepsi yang nyata. Fakta masuknya Islam ke berbagai wilayah dengan pedang lebih menunjukkan bahwa wilayah-wilayah itu bersifat monolitik dan totaliter ketimbang menunjukkan bahwa Islam adalah “agama haus darah” yang mendorong pengikutnya pada fanatisme dan kekerasan.
Mungkinkah Islam yang sejak semula memiliki memiliki karakteristik seperti itu sekarang malah menjadi sumber konflik sektarian bagi para pemeluknya? Jelas tidak mungkin! Kita perlu mencari akar-akar perpecahan dan konflik tersebut dari luar ajaran Islam itu sendiri. Berbagai pengamatan sederhana sebenarnya dapat menguraikan dilema tersebut. Salah satunya ialah dari kebodohan sebagian penganut Islam mengenai hakikat ajaran Ilahi ini. Kelompok-kelompok yang mencoba memurnikan Islam dengan cara mengkafirkan atau memusyrikan praktik-praktik masyarakat sebenarnya muncul dari kebodohan akan ajaran Islam yang hakiki. Demikian pula dengan anggapan keliru di kalangan sebagian penganut Islam yang mencoba menyamakan fanatisme dengan ketaatan dan keberagamaan yang ketat. Keberagamaan ketat yang bersifat sakral itu tidaklah mungkin berakibat pada fanatisme, melainkan justru akan membawa pada penghayatan ruhani dan tumbuhnya nilai toleransi, kasih sayang dan kemanusiaan dalam diri seorang Muslim.
Pada sisi lain, ada upaya-upaya dari dalam kalangan Islam untuk membebaskan umat dari jeratan fanatisme melalui cara-cara yang ekstrem pula. Mereka muncul dalam baju liberalisme Barat yang kosong dari nilai-nilai Islam dan spiritual untuk kemudian menawarkan sintesis antara Islam dan Barat dalam bentuk yang tidak autentik. Sintesis seperti ini tidak akan melepaskan umat dari belenggu fanatisme, melainkan justru akan membangkitkan letupan fanatisme dan gerakan puritanisme yang lebih anarkis. Oleh sebab itu, cara yang benar untuk membebaskan umat dari jeratan fanatisme ialah dengan kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang sejati, melalui metode pembelajaran dan pengajaran Islam yang rasional, ilmiah dan berpijak pada semangat toleransi dan penerimaan pada keberagaman penafsiran.
Di dalam Islam memang ada dua Mazhab besar. Dua Mazhab Islam itu ialah Ahlusunah dan Syiah. Di dalam Mazhab Syiah ada aliran Itsna ‘Asyariah, Zaidiyah dan Ismailiah. Di dalam Mazhab Ahlusunah, ada aliran Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Namun demikian, perbedaan antara kedua mazhab besar itu pada umumnya berkisar pada masalah-masalah politik, fiqih dan historis. Titik-titik persamaan antara keduanya, misalnya, jauh lebih banyak ketimbang titik-titik persamaan antara dua sekte besar dalam Kristen, yakni Katolik dan Protestan. Bahkan, titik-titik perbedaan yang terdapat antara Mazhab Ahlusunah dan Syiah tidak ada yang bersifat mendasar.
Sekadar contoh, Ahlusunah dan Syiah sama-sama mengakui satu bentuk syahadat, satu al-Qur’an, satu Nabi dan satu kiblat. Ahlusunah dan Syiah sama-sama mengakui kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, dan amar makruf nahi mungkar. Shalat yang wajib juga sama: subuh, dzuhur, ashar, magrib dan isya. Rakaat pada masing-masing shalat tersebut juga sama: 2 untuk subuh, 4 untuk dzuhur dan ashar, 3 untuk magrib dan 4 untuk isya. Dengan demikian, perbedaan cabang yang ada di antara Mazhab Ahlusunah dan Syiah, apapun bentuknya, tidak bisa menggugurkan semua persamaan yang menjadikan mereka semua satu bagian dari umat Islam.
Lebih jauh, perbedaan di antara Mazhab Islam sesungguhnya lebih mencerminkan apresiasi terhadap kekayaan sumber-sumber khazanah Islam, ketimbang mencerminkan perbedaan keyakinan. Apresiasi itulah yang secara istilah disebut dengan ijtihad. Dalam sebuah Hadis, Nabi Besar Muhammad pernah bersabda: “Ikhtilafu ummati rahmah” (Perbedaan di dalam umatku adalah rahmat). Jadi, di sini Nabi menyebutkan bahwa perbedaan penafsiran dan pandangan yang ada di dalam umat adalah manifestasi dari berlimpahnya karunia Allah.
Akhir-akhir ini, terutama dengan semakin memanasnya situasi di Timur Tengah, perbedaan antara Mazhab Islam itu kembali menimbulkan gesekan yang berbahaya. Pertikaian yang sebelumnya bersifat politik pun bergulir menjadi potensi konflik sektarian di antara berbagai penganut mazhab yang berbeda dalam Islam. Oleh sebab itu, muncul tuntutan besar untuk kembali mempererat tali persaudaraan di tengah umat dan membangun persatuan Islam (wahdah Islamiyyah), tanpa melihat pada perbedaan2 pandangan yang ada.
Akan tetapi, apakah maksud persatuan Islam atau wahdah Islamiyyah itu? Apakah ia berarti harus ada satu Mazhab yang diikuti dan semua pengikut Mazhab lain bergabung dengannya? Ataukah harus ada satu Mazhab baru yang mempersatukan semua Mazhab yang ada dan meleburnya menjadi satu Mazhab Islam yang tunggal? Ataukah persatuan Islam itu sama sekali tidak berhubungan dengan penyatuan atau penggabungan pandangan dan gagasan dalam bidang fiqih, melainkan kesatuan dan persatuan pengikut semua Mazhab Islam yang semuanya sebenarnya adalah pengikut Islam yang sama dalam membangun cita-cita bersama dan melawan kekuatan musuh yang sama?
Tentu saja, tuntutan dan ajakan kepada persatuan Islam yang sekarang menggema ini tidak lain ialah kesatuan dan persatuan di antara pengikut Mazhab-mazhab Islam sebagai pengikut Islam yang sama dalam rangka membangun kekuatan bersama dan melawan musuh yang sama. Persatuan Islam bukan harus berarti munculnya satu Mazhab Islam baru yang meleburkan semua Mazhab yang ada atau mencegah terjadinya perbedaan pandangan dan memusuhi sarjana atau ulama yang memunculkan penafsiran berbeda tentang Islam. Persatuan Islam yang diserukan oleh banyak ulama Islam, baik dari kalangan Ahlusunah ataupun Syiah, jelas tidak demikian. Karena, persatuan yang demikian justru akan mematikan dan membungkam kreativitas intelektual dan dinamika ilmiah yang menjadi ciri-khas peradaban Islam sejak masa awal sejarah Islam.
Dengan demikian, maksud persatuan Islam ialah penyatuan langkah dan aksi pengikut seluruh Mazhab Islam sebagai umat Islam dalam rangka membangun kekuatan bersama dan melawan kekuatan musuh yang sama. Bila persatuan dalam pengertian ini bisa diwujudkan, maka dunia akan menyaksikan kebangkitan 1,5 milyar penduduk untuk menggulirkan visi Islam yang toleran, pluralis, rekonsiliatif dan terbuka. Mereka akan bergerak menggulirkan platform Nabi Muhammad saat membangun Madinah yang pluralis dalam skala global. Namun sebaliknya, bila 1,5 milyar umat Islam terus-menerus dirundung perpecahan apalagi yang sampai berujung pada pertumpahan darah, maka malapetaka besar akan menimpa masyarakat dunia secara umum.
Oleh sebab itu, upaya-upaya keji dan tidak manusiawi yang mencoba memainkan taktik adu domba antar-pengikut Mazhab Islam harus dicegah. Akibat perpecahan umat Islam adalah bencana kemanusiaan yang bersifat global. Bencana ini ada awalnya, tapi tidak akan ada akhirnya. Apa yang coba dihembuskan dari Irak itu bisa menjadi awal kerusakan yang tidak ada akhirnya, lantaran 1,5 milyar penduduk dunia yang beragama Islam akan masuk dalam lorong absurd yang tidak berujung ini.
Salah satu metode untuk mencegah skenario konflik yang mengerikan itu ialah dengan mengembalikan konflik politik yang terjadi di Timur Tengah pada koridor politik, dan secepat mungkin menghalau spillover-nya kepada wilayah kemazhaban Islam. Semua pihak yang berselisih harus disadarkan bahwa konflik politik tidak boleh sampai menjadi konflik sektarian, sehingga solusinya akan semakin rumit dan jelas. Umat Islam di Irak atau di manapun juga harus dihimbau kembali kepada persatuan, dan memperlebar jiwa toleransi dan rekonsiliasi.
Dalam konteks ini, Bangsa Indonesia jangan sampai terlibat dalam tarik-menarik konflik sektarian yang kini bertiup kencang di Timur Tengah. Sebaliknya, Bangsa Indonesia harus bisa menjadi teladan dalam menciptakan toleransi dan saling pengertian. Sebagai bangsa yang mayoritas memeluk agama Islam, kita bisa menjadi pionir untuk memanifestasikan keberagamaan yang toleran, moderat dan terbuka. Kaum Muslim Indonesia tdk boleh terjebak dalam ekstrem fundamentalisme atapun ekstrem liberalisme. Keduanya bukanlah pola menjalankan Islam yang autentik.
Deklarasi Anti Syiah Bermasalah
Lagi-lagi tentang anti Syiah. Mengafirkan dan menyesatkan Syiah seperti sudah menjadi pekerjaan dan bisnis menggiurkan. Tak heran, banyak orang yang mengaku dirinya intelektual tapi sebenarnya tak paham ilmu agama mendadak menjadi Ustad dak Kyai.
Berbagai cara dilakukan. Mulai dari mencetak buku anti Syiah, ceramah-ceramah anti Syiah dan sebagainya. Entah berapa banyak dana yang mereka terima, yang pasti mereka rela melakukan semua itu meski cara yang ditempuhnya sangat berisiko memecah-belah umat Islam.
Kabar terakhir, tersiar melalui pesan singkat dan media sosial tentang rencana menggalang gerakan menolak Syiah berupa “Deklarasi Aliansi Nasional Anti Syiah.” Acara ini dijadwalkan berlangsung di kota Bandung Jawa Barat pekan ini.
Tak tinggal diam, seorang Kyai NU, KH. Alawi Nurul Alam Al Bantani menyoal rencana tersebut. Bukan untuk menyatakan diri sebagai musuh, melainkan agar warga NU tidak terjebak dalam provokasi kelompok anti persatuan itu.
“Deklarasi nasional kok diadakan di masjid RW,” ungkapnya mengawali kritik.
Kyai Alawi yang sebelumnya meng-counter opini oknum MUI dan DDII melalui buku karanganya yang berjudul “Kyai NU Meluruskan Fatwa-Fatwa Merah MUI & DDII” ini juga menyayangkan keterlibatan tokoh-tokoh yang tercantum di undangan deklarasi anti Syiah itu.
Di sisi lain KH. Alawi juga mempertanyakan kenapa PBNU dan Muhammadiyah sebagai dua ormas Islam besar di Indonesia secara resmi tidak diundang untuk hadir?
“Kalau mau dinamakan deklarasi nasional ya harusnya semua lembaga, ormas, dan elemen masyarakat Islam turut diundang. Kenapa yang diundang Wahabi semua?” ungkap Kyai Alawi sambil menjelaskan tentang tokoh yang namanya dicatut sebagai narasumber dalam undangan deklarasi itu. Salah satunya adalah Ahmad Chalil Ridwan, ketua MUI Pusat, sebagai orang yang vokal menginginkan syariat Islam diterapkan di Indonesia. “Setelah saya cek, ternyata dia merujuk atau mengambil referensinya dari ulama-ulama Wahabi di Saudi,” ungkap Kyai Alawi.
Selain mengundang kalangan Wahabi tanpa menghadirkan ulama dari pihak NU, lebih aneh lagi, kenapa mesti mengundang narasumber dari jauh? Apa para Kyai di Bandung dianggap tak ada yang bisa menjelaskan persoalan agama?” tanya Kyai Alawi.
Bahkan, Habib Zein Al-Kaff yang namanya tertera dalam undangan deklarasi itu juga dinilainya bermasalah. “Ketika dicek ke salah satu organisasi persatuan Habib di Indonesia dan ditanya siapa Habib Zein Al-Kaff? Ternyata jawabannya ‘minus’,” jelas Kyai Alawi.
Karena itu dia menghimbau seluruh warga NU agar lebih cerdas dalam menyikapi gerakan anti Syiah dan semacamnya. Selain tak mudah terprovokasi upaya adu-domba kelompok Wahabi takfiri agar tak ikut menjadi alat pemecah-belah umat Islam. (
Warga Iran Tidak Akan Lakukan Ritual Haji Tahun Ini
#beritadunia.net/ Iran mengatakan tidak akan mengambil bagian dalam ritual tahunan haji di Mekah karena "hambatan" yang diciptakan oleh Arab Saudi.
"Melakukan ritual haji tahun ini hampir tidak mungkin," ungkap Menteri Kebudayaan Iran dan Bimbingan Islam Ali Jannati pada hari Minggu (29/5/16).
"Mengingat cara pemerintah Saudi memperlakukan delegasi Iran dan cara berbicara mereka dalam dua putaran perundingan serta dalam pandangan sabotase dan hambatan yang mereka ciptakan, sangat disayangkan jamaah haji Iran tidak bisa pergi haji tahun ini," tambahnya.
Untuk kedua kalinya, delegasi Iran melakukan perjalanan ke Arab Saudi pada hari Selasa untuk mengadakan pembicaraan terakhir mengatasi perbedaan mereka.
"Dengan semua upaya Republik Islam, Saudi mengabaikan hak mutlak Iran untuk melakukan ritual haji," kata Organisasi Haji dan Ziarah Iran dalam sebuah pernyataan.
Jannati mengatakan Iran sangat prihatin terkait keselamatan jamaah Haji setelah insiden Mina yang telah merengut nyawa lebih dari 2.400 orang, termasuk sedikitnya 460 peziarah Iran, tewas dalam desak-desakan di Arab Saudi tahun lalu.
Menteri lebih lanjut mengatakan,Tehran saat ini tidak dapat mengirim para jamaah haji dengan dukungan diplomatik di Arab Saudi.
Mensos Khofifah Indar Parawansa: "Ini Bukan Undang-Undang Khusus Tentang Kebiri"
#beritadunia.net/ Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mendukung hukuman kebiri untuk penjahat seksual, khususnya terhadap anak bawah umur, demi memberi efek jera, katanya.
"Saya tekankan bahwa ini bukan undang-undang khusus tentang kebiri, tapi revisi dari pasal 81-82 Undang-undang RI nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak," kata Khofifah di Ponorogo, Ahad, 29/05/16, menukil Antara.
Dia mengaku tidak bisa memperkirakan efektivitas hukuman kebiri jika aturan dalam sistem perundangan itu jadi diberlakukan karena yang terpenting pemberlakuan hukuman maksimal diterapkan lebih dulu demi memberi efek jera bagi pelaku kejahatan seksual anak.
"Kan belum pernah dilakukan di Indonesia. Namun di negara Inggris, Jerman dan beberapa negara lain hukuman itu sudah lama diberlakukan dan hasilnya efektif dan mampu memberi efek jera bagi pelaku," ujar Khofifah.
Selain kebiri, lanjut Khofifah, penjahat seksual anak juga akan dipasangi "chip", sejenis alarm otomatis yang akan berbunyi saat si pedofil berdekatan dengan anak bawah umur.
"Pemasangan chips dimungkinkan untuk mencegah pelaku mengulangi lagi perbuatannya," kata Khofifah.
Dia mengakui wacana hukuman kebiri masih menjadi perdebatan, namun Presiden sudah menyetujuinya sehingga mau tidak mau pasti akan diterapkan.
Jenderal Qassem Suleimani: "Kami Berperang Melawan ISIS atas Perintah Ayatollah Sayyid Ali al-Sistani"
#beritadunia.net/ Komandan Angkatan Quds, IRGC, Mayor Jenderal Qassem Suleimani, pada Sabtu, 28/05/16, menegaskan bahwa Iran hanya akan membantu rakyat Irak melawan kelompok Takfiri Negara Islam Irak dan Sham (ISIS), jika kepemimpinan agama di negara itu menyetujuinya.
Menurut media Hizbullah al-Manar, Jenderal Suleimani menyatakan, Iran akan bertindak ketika komunitas agama di Irak memintanya. "Kami akan bertindak (melawan teroris di Irak) sesuai permintaan kepemimpinan agama Islam di Irak, Ayatollah Sayyid Ali al-Sistani".
Ditambahkannya, Republik Islam tidak perlu campur tangan di Irak selama Ayatollah Sayyid al-Sistani hadir di negeri ini.
Pernyataan Jenderal Soleimani ini diutarakan hanya dua hari setelah Menteri Luar Negeri Saudi, Adel al-Jubeir, menuduh bahwa Iran mencampuri urusan dalam negeri Irak.
Sementara di Yaman, komandan Pasukan Quds juga menjelaskan agresi tidak manusiawi Arab Saudi terhadap penduduk sipil yang disebutnya hanya kegilaan.
Jenderal Suleimani mengatakan, bahwa Huthi, loyalis Saleh, dan Pengawal Republik Yaman memiliki lebih dari satu juta pejuang dan gerakan Houthi akan mengalahkan Koalisi Arab pimpinan Saudi dan sekutu di Yaman.
Sisa Harapan Pentangon di Suriah pada Tentara Suriah Baru (NSA)
#beritadunia.net/ AS gagal melindungi satu-satunya kelompok pemberontak yang tersisa di Suriah setelah menghabiskan dana sebesar 500.000.000 dollar AS untuk program train-and-equip Pentagon, demikian media AS melaporkan, mengutip seorang komandan medan perang.
Tentara Suriah Baru (NSA), adalah sebuah kelompok pemberontak kecil dibentuk oleh AS saat perang berkecamuk di Suriah, dan dianggap satu-satunya faksi yang diajarkan oleh instruktur dan menerima pelatihan dan senjata Amerika.
Menurut Washington Post, medio Maret lalu kelompok NSA ini muncul dari kelompok-kelompok kecil pemberontak di wilayah Tanaf di perbatasan Suriah-Irak.
Tidak seperti kebanyakan dari murid Pentagon, elemen-elemen NSA tidak pernah membelot dan tidak ada yang diculik oleh kelompok-kelompok rival lainnya.
Namun, pembentukan kelompok ini dianggap sebagai risiko, setidaknya menurut pemimpin kelompok itu, mantan perwira Tentara Suriah, Letnan Kolonel Mohammed Tallaa.
Menurutnya, NSA memiliki beberapa pejuang yang tewas setelah ISIS menyerang basis mereka dengan menggunakan bom mobil pada 7 Mei lalu. Tallaa sendiri menolak mengomentari jumlah anggotanya yang tewas dalam insiden itu, dan seberapa jumlah keseluruhan anggotanya. Tapi, menurutnya, serangan itu merupakan pukulan berat terhadap fraksi NSA.
Tallaa menjelaskan, sebelum serangan itu, NSA memiliki beberapa lusin anggota, dan tidak memiliki senjata dan peralatan lainnya. Kemudian Amerika berjanji untuk mengalokasikan pasokan dana dan senjata ke NSA, tetapi katanya, AS melanggar janjinya, tambahnya.
"Saya tidak mengatakan orang Amerika mengecewakan kita, tapi ada kelalaian dalam tugas. Mereka tidak melakukan apa yang mereka bisa," katanya kepada Washington Post. "Kami tidak ingin Amerika tidak menghormati kehidupan orang-orang kita," sebutnya.
Sementara itu, menurut Kolonel Steve Warren, AS menanggapi permintaan bantuan dari pemberontak NSA, ketika ISIS menyerang basis NSA. Namun pesawat yang diarahkan ke lokasi ledakan, terlambat tiba di sana, jelasnya.
Sebagai buntut dari serangan itu, jet AS melakukan sederetan serangan terhadap posisi ISIS di daerah itu, kata Warren. Pemberontak NSA kemudian diberikan senjata baru, tambahnya.
Pada bulan Maret lalu, Pentagon mengumumkan penutupan program kereta-dan-equip yang gagal untuk mencapai tujuan awal demi menciptakan faksi yang mampu melawan ISIS. Kemudian, AS memutuskan untuk menghidupkan kembali usaha itu, tapi pada skala yang lebih kecil.
CAT Khawatir Perilaku Israel
#beritadunia.net/ Komite Anti Penyiksaan PBB (CAT) memprotes aksi-aksi di luar kemanusiaan rezim Zionis Israel.
Associated Press (AP) dilaporannya menyebutkan, CAT merilis hasil evaluasinya atas kinerja rezim Zionis Israel, Perancis, Tunisia, Arab Saudi, Turki dan Filipina pada hari Jumat (13/5).
Laporan setebal 12 halaman CAT mengkritik perilaku tak manusiawi Israel khususnya penangkapan dan penahanan tak ada batasnya.
Laporan ini menekankan bahwa 700 orang termasuk 12 orang di bawah usia 18 tahun kini mendekam di penjara khusus aparat keamanan Israel.
Jens Modvig dari Denmark yang memimpin sidang hari Jumat mengatakan, penangkapan ini bisa berlangsung hingga berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun tanpa ada kemungkinan akses kepada tahanan.
Sejak permulaan September tahun lalu hingga kini tercatat 200 warga Palestina gugur akibat tembakan pasukan Zionis.
Kelompok HAM meyakini bahwa rezim Zionis tergesa-gesa menggunakan tembakan ketimbang menangkap para tersangka.
Komite Anti Penyiksaan PBB dilaporannya juga memprotes pembunuhan tanpa proses pengadilan di perbatasan Turki dan Suriah.
Ohadi: Iran Menginginkan Ibadah Haji Yang Terhormat
Saeed Ohadi, Ketua Organisasi Haji dan Ziarah Iran mengatakan, Republik Islam menghendaki penyelenggaraan ritual ibadah haji dengan penuh kehormatan.
IRNA melaporkan, Saeed Ohadi di sela-sela pertemuan Menteri Kebudayaan dan Bimbingan Islam Iran, Ali Jannati dengan Ayatullah Abdul Karim Mousavi Adebili, salah satu marji Syiah di kota Qom menambahkan, "Peziarah tanah suci memiliki hak dan jika kehormatan jamaah haji tidak dijaga, maka mereka tidak akan pergi ke Arab Saudi untuk melakukan ibadah tahunan ini."
"Arab Saudi mempersulit manasik haji terhormat, namun Iran menyikapinya dengan penuh kehormatan," jelas Ohadi.
Ohadi menambahkan, mengingat waktu penyelenggaraan ibadah haji semakin dekat dan pelaksanaan persiapan haji dalam waktu terbatas semakin riskan serta Arab Saudi dilanda friksi internal dan pekan lalu mencopot menteri urusan haji.
Ali Jannati hari Kamis bertolak ke kota suci Qom bertemu dengan para marji agama di kota ini.



























