کمالوندی
Turki-Israel Tandatangani Kontrak Kerjasama Gas
Media-media mengabarkan pengumuman resmi kesepakatan Turki dan rezim Zionis Israel membangun jalur pipa gas musim semi tahun depan.
Fars News (20/12) melaporkan, situs Natural Gas Europe, Ahad (20/12) menulis, "Seiring dengan dijatuhkannya sanksi Rusia atas Turki, pemerintah Ankara bermaksud membangun jalur pipa gas dengan Israel musim semi 2016, untuk memenuhi kebutuhan gasnya."
Mengutip surat kabar Haberturk, situs itu menambahkan, "Turki dan Israel saat ini sedang berunding untuk memasok gas lewat jalur pipa gas di wilayah Laut Mediterania."
Jalur pipa gas sepanjang 550 kilometer yang menuju kota pelabuhan Mersin, Turki itu terletak di Selatan negara tersebut dan di pesisir pantai Timur Laut Mediterania.
Surat kabar Haberturk memberitakan, "Dengan adanya proyek ini, Ankara berharap bisa mengimpor gas dari Israel sampai tahun 2019 mencapai 30 milyar meter kubik gas pertahunnya."
Biaya yang diusulkan Israel kepada Turki untuk setiap meter kubik gas adalah 199 dolar dan dinilai sebagai harga yang sesuai bagi Ankara.
Jubir AKP: Israel Sahabat Turki
Juru Bicara Partai Keadilan dan Pembangunan Turki, AKP mengatakan, pemerintah dan rakyat Israel adalah sahabat Turki, dan Ankara hanya bermasalah dengan beberapa langkah Tel Aviv.
IRNA (20/12) melaporkan, Omer Celik, Jubir AKP, Ahad malam setelah menghadiri pertemuan Dewan Eksekutif dan keputusan AKP dalam sebuah konferensi pers menyinggung berita-berita terkait normalisasi hubungan Ankara-Tel Aviv.
Ia menuturkan, "Sampai sekarang belum ditandatangani kesepakatan apapun, namun draf kesepakatan sedang dibahas oleh kedua belah pihak."
Sebelumnya Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu mengkonfirmasi dimulainya perundingan Turki dan Israel untuk memulihkan hubungan.
Ia mengatakan, "Negosiasi di tingkat pakar terkait mekanisme realisasi tuntutan-tuntutan Turki dan Israel guna menormalisasi hubungan yang tepat, masih berlanjut."
Media-media Turki, Kamis lalu mengabarkan kesepakatan Ankara-Tel Aviv untuk menyelesaikan masalah penyerangan militer Turki ke kapal bantuan kemanusiaan Gaza yang menewaskan sembilan warga Turki.
Kesepakatan itu menyebutkan, kedua pihak akan memulihkan kembali hubungan diplomatiknya.
Polisi Turki Serang Demonstran di Istanbul
Polisi Turki dalam upayanya membubarkan ratusan demonstran, menembakkan gas air mata kepada para demonstran.
Seperti diberitakan ISNA, polisi anti huru-hara Turki menembakkan gas air mata ke demonstran yang memprotes larang lalu lalang di wilayah tenggara negara ini di jalan-jalan Istanbul dan di dekat sebuah bundaran di kota tersebut. Aksi polisi Turki mengakibatkan sejumlah demonstran menderita luka-luka.
Sementara itu, militer Turki pekan lalu melancarkan opeasi luas di wilayah tenggara yang dihuni oleh etnis Kurdi.
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menyatakan, selama milisi bersenjata Partai Buruh Kurdi (PKK) belum dihancurkan, operasi ini akan terus dilanjutkan.
Miilter Turki mengumumkan selama operasi yang dilancarkan enam hari, sebanyak 110 milisi PKK terbunuh.
Berbagai media menyatakan, sejumlah kota Kurdi di tenggara Turki secara praktis menjadi basis militer dan kondisi perang diberlakukan di wilayah tersebut.
Malaysia Protes Resolusi Parlemen Eropa
Departemen Luar Negeri Malaysia memprotes resolusi parlemen Eropa terkait berbagai isu Hak Asasi Manusia (HAM) di Kuala Lumpur.
Menurut laporan IRNA, Deplu Malaysia Senin (21/12) di statemennya saat mereaksi resolusi parlemen Eropa menyatakan, keputusan dan penilaian sepihak di resolusi terbaru yang rilis parlemen Eropa terkesan tergesa-gesa dan hal ini patut disayangkan.
Pemerintah Malaysia di statemennya menilai komitmen dengan kebebasan beragama, perpendapat dan kebebasan demonstrasi yang telah dijelaskan dalam undang-undang dasar negara ini.
Parlemen Eropa Kamis lalu meratifikasi resolusi terkait beragam isu HAM dan meminta Malaysia menghapus draf undang-undang Dewan Keamanan Nasional (NSC) dari agenda kerjanya serta membatalkan peraturan anti kerusuhan yang diratifikasi tahun 1948.
Sejumlah anggota parlemen Malaysia dan organisasi HAM menyebut undang-undang ini terlalu keras yang hanya dimiliki oleh pemerintahan despotik dan di sisi lain, kekuasaan hanya difokuskan pada perdana menteri.
Berdasarkan undang-undang ini, sosok pribadi perdana menteri menjadi penentu wilayah keamanan negara saat mendapat ancaman nasional. Di wilayah ini, pejabat pemerintah juga memiliki wewenang melakukan penangkapan dan interogasi tanpa harus mengantongi izin atau instruksi.
Filipina Selatan kembali Diguncang Bom
Ledakan bom kembali dilaporkan melanda Filipina Selatan. Insiden ini mengakibatkan 12 tentara Filipina menderita luka-luka.
Menurut laporan Xinhua, Filemon Tan, juru bicara militer Filipina di kesatuan Mindanao Barat menandaskan, menyusul pendudukan sebuah pos kelompok Abu Sayyaf di desa Macalan dan kota al-barka di Provinsi Basilan, Filipina selatan pada hari Ahad (20/12) sebanyak 12 militer terluka saat menggelar operasi pembersihan.
Tan menambahkan, sebuah bom yang dipasang milisi Abu Sayyaf meledak saat operasi pembersihan.
Juru bicara militer Filipina menambahkan, operasi luas yang dilancarkan militer pada beberapa hari sedikitnya berhasil menewaskan 26 anggota milisi Abu Sayyaf.
Kelompok teroris Abu Sayyaf yang dibentuk tahun 1990 hingga kini telah terlibat beragam kejahatan seperti penculikan, pengeboman dan pembunuhan di berbagai wilayah selatan Filipina.
43 Juta Anak Indonesia Tidak Memiliki Akte Kelahiran
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan saat ini jumlah anak di Indonesia yang belum memiliki akte kelahiran mencapai sekitar 43 juta jiwa dari 86 juta anak.
"Jumlah tersebut merupakan data yang diperoleh dari Kementerian Sosial, kalau data panitia HKSN sendiri jumlahnya bisa mencapai 56 juta jiwa," katanya kepada wartawan seusai meninjau lokasi donor darah menyambut Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN), Sabtu (19/12).
Mensos mengatakan akte kelahiran merupakan hak dasar anak yang harus dimiliki oleh seorang anak. Oleh karena itu proses pemenuhan hak dasar tersebut harus dilakukan oleh semua pihak.
Kementerian Sosial menurut Mensos sudah melakukan penandatanganan Nota kesepahaman (MoU) dengan tujuh Kementerian dan Lembaga untuk percepatan pencatatan akte kelahiran anak. "Jadi pencatatan pernikahan dan akte kelahiran anak tersebut menjadi satu kesatuan untuk bisa memberikan perlindungan kepada warga khususnya kepada perempuan dan anak," ujarnya.
Mengenai kendala, menurut Survei Kementerian Sosial, ada di antara warga yang memang terlahir dari pernikahan yang tidak dicatatkan, sehingga jumlahnya bisa sebanyak itu. "Ya kalau pernikahannya tidak dicatatkan tentu saja anak itu lahir tidak akan mendapatkan nomor induk kependudukan," katanya.
Disamping itu, orang tua dari anak yang telah lahir juga belum memiliki pengetahuan yang luas tentang bagaimana cara atau proses administrasinya, atau yang tidak memiliki dana yang cukup untuk memprosesnya.
Untuk memudahkan hal tersebut, Mensos mengatakan Kementerian Agama sudah memberikan biaya pernikahan yang gratis asalkan pasangan nikah mencatatkan namanya di kantor catatan sipil sehingga bebas dari pungutan biaya. Oleh karena itu Mensos mengharapkan agar Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) 2015 dapat menjadi puncak dari semua layanan sosial untuk lebih memaksimalkan akte kelahiran.
Uzbekistan Larang Hijab di Lokasi Umum
Fars News (21/12) melaporkan, kebijakan anti-agama beberapa negara kawasan Asia Tengah terus berlanjut. Kali ini, pemerintah Uzbekistan memutuskan untuk menindak perempuan-perempuan berhijab di jalan-jalan negara itu.
Keputusan itu diterapkan padahal mayoritas penduduk Uzbekistan yang berjumlah 30 juta orang, adalah Muslim.
Pemerintah Uzbekistan mengumumkan, penggunaan hijab sempurna, bukan tradisional dan lokal negara itu, akan dikenai hukuman denda, dan jika terulang pelakunya terancam kurungan penjara dua tahun.
Sebelumnya, Tajikistan dan Kyrgyzstan juga menerapkan aturan yang keras terhadap mahasiswi dan pelajar di sekolah-sekolah perempuan negara itu.
IRGC Punya Strategi Perang Mengejutkan untuk Musuh
Wakil Panglima Pasukan Garda Revolusi Islam Iran (IRGC), Brigadir Jenderal Hossein Salami menyatakan, “Dengan mengembangkan cara-cara baru dalam pertempuran dan dengan inisiatif praktis, sedang mengambil langkah-langkah di mana musuh tidak akan pernah siap menghadapinya.”
Sepah News melaporkan, Brigjen Salami menyampaikan hal itu dalam wawancaranya dengan Fars News Agency, seraya menyinggung langkah-langkah yang telah ditempuh IRGC selama Revolusi Islam Iran dan mengatakan, “IRGC dalam perjalanan hidupnya telah melalui jalan sulit.”
Brigjen Salami menyinggung berbagai keberhasilan istimewa dan pengalaman ilmiah dan praktis IRGC menjelaskan, “Musuh dan kekuatan-kekuatan adidaya tidak akan mengajarkan strategi dan pemikiran kemenangan atas mereka, oleh karena itu, ini adalah tugas IRGC untuk menjaga Revolusi Islam di hadapan musuh yang memiliki pengalaman, sarana kekayaan, infiltrasi dan kekuatan.”
Brigjen Salami menegaskan bahwa IRGC mengandalkan sumber internal, serta pemikiran dan keyakinan, memproduksi sarana tempur dan semuanya mengemuka sebagai sebuah sistem pemikiran dan perspektif IRGC, yang lahir dari semangat dari dalam lembaga rakyat ini.
Araqchi: Pembatasan Pengeluaran Visa AS Langgar JCPOA
Deputi Menteri Luar Negeri Iran untuk urusan hukum dan internasional mengatakan, aturan pembatasan pengeluaran visa Amerika Serikat untuk warga Iran bertentangan dengan JCPOA.
Sayid Abbas Araqchi, Ahad (20/12) kepada IRIB News menuturkan, "Disahkannya aturan pembatasan pengeluaran visa untuk masuk ke Amerika di Kongres negara itu akan berpengaruh pada interaksi ekonomi, pariwisata dan sains-budaya, dan Iran menilai aturan itu melanggar Rencana Aksi Komprehensif Bersama, JCPOA."
Ia menjelaskan, "Jika aturan itu jadi diterapkan, Iran akan mengajukan pembatalan implementasi JCPOA kepada komisi bersama JCPOA."
Araqchi juga menyinggung upaya rezim Zionis Israel mengacaukan pelaksanaan JCPOA.
"Sejumlah banyak langkah dalam dua bulan terakhir dilakukan lobi Zionis untuk mencegah terlaksananya JCPOA dan menghambat kemajuannya," ujar Araqchi.
Ia menegaskan, "Menlu Amerika melayangkan surat kepada Mohammad Javad Zarif, Menlu Iran dan mengumumkan, aturan pembatasan pengeluaran visa masuk ke Amerika bagi warga Iran akan diterapkan dan tidak akan mengganggu kerja sama ekonomi dan pelaksanaan JCPOA."
Ravanci: Jika AS Tak Komitmen, Iran akan Ambil Langkah Serupa
Wakil Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran untuk Urusan Eropa dan Amerika mengatakan, jika Amerika Serikat tidak mematuhi kewajibannya, maka Iran juga tidak akan melaksanakan komitmennya.
Majid Takht-Ravanci mengatakan hal itu dalam wawancara televisi pada Minggu (20/12/2015) malam ketika menyinggung keputusan Kongkres AS yang bertentangan dengan Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA).
Ia menambahkan, kita harus menunggu dan melihat bagaimana tindakan AS dalam prakteknya.
"Komitmen Iran dan tim perunding nuklir adalah pelaksanaan sukses JCPOA, namun AS pada prakteknya tidak komitmen dengan kewajibannya, maka Iran pun tidak akan melaksanakan komitmennya,"kata Takht-Ravanci seperti dikutip Tasnim.
Menurutnya, keputusan Kongres AS baru-baruini bertentangan dengan mekanisme yang telah disepakati terkait kewajiban-kewajiban Iran.
Sebelumnya, DPR Amerika telah mengesahkan sebuah undang-undang kontroversial pada 8 Desember 2015 untuk memperketat kunjungan orang-orang yang telah melakukan perjalanan ke empat negara; Iran, Irak, Suriah dan Sudan.
Berdasarkan undang-undang yang disetujui 407 suara itu, warga dari 38 negara sekutu AS yang selama ini menikmati kebijakan bebas visa, harus mengambil visa masuk jika dalam lima tahun terakhir ini pernah berkunjung ke Iran, Irak, Suriah dan Sudan.
Dengan kata lain, para wisatawan dari negara-negara yang memiliki perjanjian bebas visa dengan AS namun pernah mengunjungi empat negara tersebut harus mengajukan visa lagi untuk bisa melakukan kunjungan ke AS.



























