
کمالوندی
Ini Nasihat Mufasir Besar untuk Mengenali Imam Mahdi, Sang Juru Selamat
Ayatullah Javadi Amoli, Mufasir Besar Al-Qur'an mengatakan, "Siapa pun yang ingin mengetahui keberadaan Imam mahdi, juru selamat yang dijanjikan, harus dengan cermat mengkaji teks ziarah dan doa beliau."
Tehran, Parstoday-Ayatullah Abdullah Javadi Amoli, salah satu mufasir besar Al-Qur'an dalam dalam buku "Imam Mahdi yang Dijanjikan" mengungkapkan bahwa meneliti doa dan ziarah yang datang dari Imam Mahdi sendiri atau Imam lain mengenai beliau meurpakan salah satu cara terbaik untuk mengetahui kedudukan tinggi Imamah dan kepribadian unik penyelamat umat manusia.
Ayatullah Javadi Amoli menegaskan pentinya merenungkan isi Nahjul Balaghah, kata-kata Imam Hussein dari awal hingga akhir peristiwa Karbala dan ajaran panjang Imam Sajjad dalam Sahifah Sajadiyah dan lainnya.
"Mempelajari pernyataan Imam Ali, Imam Hussain dan Imam Sajjad, serta doa dan manajat yang berkaitan dengan Imam Mahdi dapat membawa seseorang memasuki ilmu pengetahuan mengenai sang juru selamat yang dijanjikan," ujar Ayatullah Javadi Amoli.
Menurut Ayatullah Javadi Amoli, pengenalan terhadap Imam Mahdi mempunyai tingkatan-tingkatan yang mencakup perkembangan tertentu pada setiap tahapannya.
Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Terwujudnya cita-cita keadilan telah menjadi salah satu keinginan terpenting semua manusia reformis dan orang-orang merdeka dalam sejarah (termasuk para nabi). Revolusi Islam Iran juga dilakukan dengan slogan keadilan sosial, guna mewujudkan masyarakat yang berlandaskan keadilan Al-Qur’an.
Keadilan merupakan cita-cita kemanusiaan yang telah diketahui umat manusia sejak awal sebagai hasrat batiniah dan menjadikannya sebagai dasar hukum dan penilaian. Diskriminasi, menginjak-injak hak-hak kaum tertindas dan ketidakadilan menimbulkan kebencian di hati. Selain itu, penyebab banyaknya gerakan sosial dan revolusi adalah kurangnya keadilan sosial di masyarakat.
Dalam artikel Pars Today ini, kami akan meninjau isu penting ini dengan pendekatan yang lebih fokus pada Al-Qur’an:
Konsep Keadilan
Imam Ali bin Abi Thalib as, penerus Nabi Muhammad Saw, menganggap keadilan adalah memberikan hak kepada yang berhak. Beliau juga mengartikan keadilan sebagai proporsional, seimbang dan menghindari hal-hal yang ekstrim. Dalam 31 pasalnya, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tidak mengklaim tujuan selain menghilangkan agresi dan diskriminasi dan membangun (apa yang disebut) militer yang bebas dari kekejaman, dan dalam semua klausulnya, kebebasan dan hak-hak individu ditekankan dalam setiap bidang. Meskipun penandatangan terbesarnya adalah pelanggar terbesarnya.
Orang bijak seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Allameh Tabataba’i dan Martir Morteza Motahari, dan yang terpenting, Imam Khomeini, juga pernah mengutarakan gagasan untuk menciptakan pemerintahan yang berdasarkan keadilan. Apa yang membuat perkataan Imam Khomeini lebih menonjol adalah bahwa beliau tidak membatasi diri hanya pada opini dan berusaha membuat gagasan ini diterima secara luas dan dengan bantuan massa yang haus keadilan, dengan mendirikan pemerintahan Islam untuk menegakkan keadilan Al-Qur’an.
Pentingnya Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an
Nilai keadilan sosial dalam sudut pandang Al-Qur’an sedemikian rupa sehingga Allah dengan tegas memerintahkannya dan mewajibkannya. Al-Qur'an mengingatkan masyarakat Islam bahwa kejahatan dan permusuhan pihak lawan tidak boleh mengalihkan umat Islam dari jalan keadilan dan mereka bahkan harus memperlakukan musuh dengan adil.
Oleh karena itu, salah satu tujuan utama dan utama para Nabi dalam Al-Qur'an adalah menegakkan keadilan. Prinsip Al-Qur’an ini (penerapan keadilan sepenuhnya dalam masyarakat manusia) juga terlihat dalam praktik Nabi Muhammad Saw.
Imam Baqir as, salah satu keturunan Nabi mengatakan, Nabi menghapuskan adat istiadat jahiliyah dan mulai memperlakukan manusia dengan keadilan.
Mengingat pentingnya keadilan dalam masyarakat, Al-Qur'an telah memperluasnya ke berbagai bidang. Perlunya menegakkan keadilan dalam kesaksian, perkataan, ketika menghakimi dan membela keadilan dalam semua tahap kehidupan, menunjukkan pentingnya hal ini.
Al-Qur'an menyebut segala sesuatu yang menyebabkan kerusakan dan mengganggu semangat keadilan sebagai maksiat dan telah melarangnya. Bahkan berita bohong yang praktis berdampak pada semangat masyarakat. Dalam masyarakat yang seimbang di mana semua orang menikmati kekuasaan, kekayaan dan kedudukan secara setara, empati dan persaudaraan dengan sendirinya akan terjalin di antara anggota masyarakat.
Imam Ali berkata, “Al-Adl Ma’luf” adalah keadilan yang menyenangkan dan penyebab kebahagiaan. Lawan dari keadilan sosial adalah kekejaman dan ketidakadilan, yang menyebabkan kehancuran masyarakat dengan memancing murka Allah, menimbulkan permusuhan dan kehancuran peradaban.
Menciptakan Keadilan dengan Membentuk Pemerintahan
Syarat yang paling diperlukan bagi terwujudnya keadilan sosial, sebagaimana salah satu tujuan dakwah Nabi, adalah terbentuknya pemerintahan. Oleh karena itu, upaya berkelanjutan para nabi dan penerusnya dalam membentuk pemerintahan bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial. Mereka tidak mencari kekuasaan, ketamakan, dan kenyamanan duniawi pribadi.
Al-Qur’an menyebutkan, Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Al-Hadid: 25)
Jika mereka satu-satunya yang bertugas mengamankan akhirat, tidak ada gunanya mengganggu mereka dalam menjalankan misinya. Penetapan hukum Islam dan penerapannya (khususnya hukum keuangan) memerlukan pembentukan pemerintahan. Atas dasar ini, Nabi Sulaiman as dan Nabi Muhammad Saw berusaha membentuk pemerintahan dan memenuhi hak-hak masyarakat.
Peran Keadilan Sosial dalam Penyempurnaan dan Pembangunan Manusia
Tujuan penciptaan dan kedatangan manusia ke bumi adalah untuk mencapai kesempurnaan. Yang dapat membawa masyarakat manusia mencapai tujuan ini adalah keadilan sosial. Ketika setiap anggota masyarakat melihat bahwa hak-haknya dilindungi dan kemanusiaan serta martabatnya dihormati, maka hubungannya dengan anggota masyarakat lainnya menjadi lebih baik dan ia berusaha memainkan peran yang saling berguna dalam masyarakat. Sementara penindasan merupakan momok bagi masyarakat dan perusak peradaban dan bangsa.
Jelas dari ayat-ayat Al-Qur’an bahwa penegakan keadilan sangat berperan dalam memperbaiki moral dan perilaku individu dan sosial serta membimbing menuju kesempurnaan sehingga dianjurkan bahkan untuk tugas-tugas kecil.
Al-Qur’an mengatakan, Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. (QS. Al-Nahl: 90)
Dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. (QS. Al-Syura: 15)
Katakanlah, “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan. (QS. Al-A’raf: 29)
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah. (QS. Al-Nisaa: 135)
Semua ayat-ayat ini menyiratkan perlunya keadilan di segala bidang.
Peneliti: Empati terhadap Masyarakat dan Sesama Manusia adalah Cara untuk Dekat dengan Imam Mahdi, Juru Selamat yang Dijanjikan berbagai Agama
Seorang peneliti di bidang Mahdisme menganggap menghibur dan membantu orang lain sebagai salah satu cara terbaik untuk dekat dengan Imam Mahdi af, sang juru selamat yang dijanjikan berbagai agama.
Hujjatul Islam, Mahmoud Abazari, seorang peneliti di bidang Mahdisme, menganggap Muwasat (solidaritas dan empati) sebagai salah satu cara terbaik dan tercepat untuk dekat dengan Imam Mahdi, penyelamat yang dijanjikan agama, dan berkata: Muwasat berarti mempertimbangkan kesedihan dan rasa sakit orang lain sebagai kesedihan dan rasa sakit kita sendiri, dan kita berusaha untuk membantu orang lain.
Menurut Pars Today, peneliti di bidang Mahdisme ini seraya menekankan bahwa upaya dan landasan orang untuk berempati dan membantu sesamanya sangatlah menentukan, menambahkan: Jika para pecinta Ahlulbait dan mereka yang menunggu penyelamat yang dijanjikan menggunakan apa yang mereka miliki dan kemampuannya, maka mereka akan mendapat pertolongan dan dukungan Tuhan dan Imam Mahdi af akan muncul lebih cepat.
Abazari menukil sebuah kisah dari Imam Baqir as, salah satu keturunan Rasulullah Saw dan Imam kelima Syiah dunia, di mana Imam Baqir berkata: "Ketika Imam Mahdi bangkit, dunia dipenuhi dengan suasana persahabatan dan persaudaraan, di mana siapa pun dapat memenuhi kebutuhannya dari kantong saudara seagamanya."
Seraya mengisyaratkan ayat 165 Surah an-Nisa:
رُسُلًا مُبَشِّرِینَ وَمُنْذِرِینَ لِئَلَّا یَکُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ ۚ وَکَانَ اللَّهُ عَزِیزًا حَکِیمًا
Abazari menambahkan: Sunnatullah terkait pengutusan Nabi Muhammad Saw adalah Tuhan mengutus rasul-Nya, baik itu manusia menginginkannya atau tidak, sehingga dengan pengutusan tersebut, hujjah bagi seluruh manusia akan selesai. Tapi ketentuan Tuhan mengenai kemunculan Imam Mahdi adalah manusia harus bangkit dan menerapkan keadilan.
Bagaimana Mengukur Akal Anda? Imam Ridha Sebut 10 Tanda Kesempurnaan Akal
Menurut ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad dan Ahlul Bait as, akal adalah alat untuk ibadah dan meraih kebahagiaan.
Anda mungkin pernah bertanya pada diri sendiri pertanyaan tentang apa saja parameter orang berakal dan apa saja ciri-cirinya. Dunia modern, pada dasarnya, telah menghadirkan definisi dan contoh rasionalitas baru, termasuk keberhasilan akademis, perolehan kekuasaan, dan perolehan kekayaan yang melimpah.
Semua ciri-ciri ini berharga pada tempatnya, tapi tidak dapat diterima untuk memberi nilai ekstrem pada ciri-ciri ini sejauh itu lebih diutamakan daripada moralitas dan kemanusiaan atau mendahulukan orang yang untuk meraih kesuksesan sepert ini melewati batas-batas moralitas dan mengorbankan orang lain demi keinginan duniawi.
Dalam artikel dari Pars Today ini, kami membahas masalah ini:
Dari sudut pandang agama dan keislaman, akal adalah yang menghindarkan seseorang dari keburukan dan mengajak untuk beramal dan kebaikan.
Dengan demikian, tanda kesempurnaan akal juga dikenal dengan cara ini. Orang yang lebih banyak bergerak ke arah kebaikan dan lebih banyak menjauhi keburukan.
Imam Ridha as, Imam Kedelapan dari keluarga Nabi Muhammad SAW telah menyebutkan 10 tanda kesempurnaan akal.
Imam Ridha as mengatakan:
لا یَتِمُّ عَقْلُ امْرِء مُسْلِم حَتّى تَکُونَ فیهِ عَشْرُ خِصال: أَلْخَیْرُ مِنْهُ مَأمُولٌ. وَ الشَّرُّ مِنْهُ مَأْمُونٌ. یَسْتَکْثِرُ قَلیلَ الْخَیْرِ مِنْ غَیْرِهِ، وَ یَسْتَقِلُّ کَثیرَ الْخَیْرِ مِنْ نَفْسِهِ. لا یَسْأَمُ مِنْ طَلَبِ الْحَوائِجِ إِلَیْهِ، وَ لا یَمَلُّ مِنْ طَلَبِ الْعِلْمِ طُولَ دَهْرِهِ. أَلْفَقْرُ فِى اللّهِ أَحَبُّ إِلَیْهِ مِنَ الْغِنى. وَ الذُّلُّ فىِ اللّهِ أَحَبُّ إِلَیْهِ مِنَ الْعِزِّ فى عَدُوِّهِ. وَ الْخُمُولُ أَشْهى إِلَیْهِ مِنَ الشُّهْرَةِ. ثُمَّ قالَ(علیه السلام): أَلْعاشِرَةُ وَ مَا الْعاشِرَةُ؟ قیلَ لَهُ: ما هِىَ؟ قالَ(علیه السلام): لا یَرى أَحَدًا إِلاّ قالَ: هُوَ خَیْرٌ مِنّى وَ أَتْقى
Akal seorang muslim belum sempurna, kecuali mempunyai 10 ciri:
1. Ada harapan kebaikan darinya (Orang yang melakukan kebaikan kepada sesama).
2. Orang lain aman dari keburukannya (tidak menyakiti orang lain).
3. Menyebut kebaikan orang lain walau sedikit (menghargai kebaikan orang lain).
4. Menyebut sedikit kebaikannya yang banyak (rendah hati dan tidak sombong).
5. Berusaha memenuhi kebutuhan orang lain (dermawan dan ringan tangan).
6. Tidak lelah dalam mencari ilmu (haus akan ilmu).
7. Kemiskinan di jalan Allah lebih dicintai dari kekayaan dengan kerusakan.
8. Hina di jalan Allah lebih dicintai ketimbang jaya bersama musuh Allah.
9. Lebih menyukai tidak dikenal ketimbang terkenal.
10. Ketika memandang orang lain, ia merasa orang itu lebih baik dan lebih bertakwa dari dirinya.
Dengan demikian, menurut agama, akal merupakan sarana untuk beribadah dan meraih keridhaan Allah, dan orang yang berakal adalah orang yang bertakwa yang bergerak di jalan yang akan membawanya ke surga dan keselamatan.
Perintah Al-Qur’an Menghadapi Kezaliman dan Mendukung yang Dizalimi
Allah telah menentukan hak-hak bagi setiap makhluk-Nya. Melanggar hak-hak ini akan mengakibatkan murka ilahi. Oleh karenanya, Allah telah memberikan instruksi dalam Al-Qur'an untuk membela kaum tertindas dan menghadapi penindas dan agresor.
Menurut Al-Qur’an, kezaliman atau penindasan adalah salah satu jenis dosa terburuk. Jika kezaliman disertai dengan pelanggaran terhadap orang lain, maka perbuatan tersebut merupakan dosa yang sangat besar di sisi Allah dan termasuk dosa terbesar yang dapat membuat orang dan masyarakat penindas menderita siksa dunia dan akhirat yang berat dan akhirnya api neraka.
Allah berfirman dalam Al-Qur'an, “Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 229) Salah satu batasannya adalah tidak melanggar hak orang lain dan kebutuhan untuk mendukung mereka yang tertindas.
Dalam artikel Pars Today ini akan dijelaskan secara singkat tentang masalah ini:
Melawan Penindas
Di mata Islam, menerima penindasan adalah hal yang tercela, dan perilaku pasif saat menghadapi penindasan tidak pernah bisa diterima. Salah satu cara menghadapi penindasan dan tirani adalah dengan membalas. Terutama dalam kasus di mana para penindas menyadari penindasan yang mereka alami dan berniat untuk melanjutkannya.
Kadang-kadang penindasan bukan merupakan persoalan individu dan berkaitan dengan masyarakat. Dalam hal ini, penanganannya harus lebih tegas. Pertama, dia tidak membiarkan penindasan, dan kemudian, jika musuh menindas, dia harus dihukum agar dia tidak berani mengulanginya. Menindaknya begitu penting sehingga bahkan jika perlu, seseorang harus mengorbankan nyawanya demi hal itu, sehingga membatasi ruang lingkup penindasan para penindas untuk generasi mendatang. Hikayat besar Asyura Imam Husein as, cucu Nabi Muhammad SAW, merupakan manifestasi dan realisasi visi Al-Qur’an dalam menghadapi para penindas. Epik ini memiliki pesan Al-Qur’an yang jelas untuk orang-orang yang tertindas.
Allah SWT berfirman dalam surah As-Syu’ara ayat 227, “Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.”
Begitu juga dalam surah As-Syura ayat 39, “Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.”
Sementara dalam surah Al-Nahl ayat 126 disebutkan, “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.”
Membela Orang Tertindas
Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk segera membantu orang yang tertindas jika ada permintaannya. Terkadang ada kemungkinan seseorang tidak membantu orang yang tertindas karena takut pada penindasnya. Sedangkan dia tidak mempunyai kecenderungan terhadap penindas. Namun pemikiran seperti itu ditolak dalam Islam dan setiap Muslim perlu menanggapi seruan kaum tertindas. Dengan kata lain, seorang muslim sejati bukan saja tidak mempunyai kecenderungan menindas dan menindas, tapi juga bergegas menolong kaum tertindas.
Dalam ayat 38 dan 39 surah As-Syura, Allah menyebut ciri khas seorang Muslim adalah berdiri bersama melawan penindasan.
Ayat 75 surah An-Nisa dengan jelas menyebut bantuan kepada orang-orang tertindas sebagai kewajiban ilahi bagi orang-orang yang beriman, “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa, ‘Ya Allah, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!”
Dalam ayat 13 sampai 15 surah Ibrahim dan 39 dan 60 surah Hajj, Allah berbicara tentang pembelaan dan dukungannya di garis depan atas kaum tertindas melawan para agresor untuk menunjukkan bahwa membantu kaum tertindas dan berperang melawan para penindas berarti berada di barisan orang beriman. Dalam ayat 42 surat As-Syura, Allah memandang balas dendam kepada penindas sebagai hak yang sah dan pasti dari orang yang tertindas, dan mengingatkan bahwa jika orang yang tertindas melakukan tindakan untuk membalas dendam, maka ia tidak boleh disalahkan. Karena hak untuk membalas merupakan haknya. “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.”
Al-Qur’an menekankan kemenangan akhir kaum tertindas dalam pertempuran global melawan penindasan dan penindas. Sekalipun dalam perjalanan ini dan sebelum mencapai kemenangan akhir, orang-orang merdeka dan tertindas gugur syahidr, mereka sebenarnya adalah pemenang akhir dan pahala mereka disimpan di tangan Allah.
Allah dalam surah Al-Imran ayat 169 berfirman, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.”
6 Kebohongan dan Tuduhan Terbesar tentang Syiah di Dunia Sunni
Beberapa orang yang ekstrem menuduh Syiah sesat dalam Islam. Sedangkan Syiah meyakini prinsip-prinsip dasar Islam seperti tauhid, kenabian dan kebangkitan.
Sepanjang sejarah, beberapa perbedaan mazhab antara Syiah dan Sunni telah menyebabkan penyebaran interpretasi yang salah dan rumor palsu tentang keyakinan Syiah di kalangan Sunni. Kesalahpahaman dan kebohongan dalam sejarah ini sebagian besar dimunculkan oleh kelompok ekstrem dan tidak mencerminkan sikap umum kaum Sunni.
Dalam dua abad terakhir, khususnya di era pemberdayaan media, kolonialisme menjadi pemain kunci dalam hal ini dan mampu menyulut rasa kebencian terhadap Syiah di masyarakat Sunni dengan banyak melontarkan rumor. Hal ini meningkat dengan munculnya arus Takfiri.
Dalam kelanjutan artikel dari Pars Today ini, dibahas enam kebohongan dan tuduhan terbesar terhadap kaum Syiah:
1. Tahrif atau Perubahan Al-Qur’an
Salah satu tuduhan paling serius terhadap Syiah adalah kepercayaan terhadap tahrif Al-Qur'an. Klaim ini sepenuhnya salah. Seperti halnya Sunni, mazhab Syiah menganggap Al-Qur’an yang ada sebagai firman dan kalam Allah tanpa ada perubahan dan komitmen dengannya. Ide tahrif Al-Qur’an tidak mendapat tempat di kalangan Syiah, dan kitab-kitab asli Syiah juga menekankan masalah ini.
Di Iran, Al-Qur’an yang ada di tangan semua orang dan di masjid-masjid sama persis dengan yang ada di tangan masyarakat Arab Saudi, Mesir, Indonesia, dan Aljazair. Bahkan kitab-kitab Al-Qur’an banyak yang diimpor dari negara-negara Sunni. Tidak ada satu kata pun yang berbeda, tidak satu huruf pun!
2. Ghuluw atau sikap berlebihan terhadap para Imam
Tuduhan lain yang dapat dilontarkan kepada mazhab Syiah adalah bahwa mereka berlebih-lebihan terkait Ahlul Bait Nabi, khususnya Imam Ali as dan para imam lain dari keturunan Nabi, dan menganggap sebatas ketuhanan atau keilahian. Kesalahpahaman ini disebabkan karena tidak memahami makna “Wilayah” yang sebenarnya dan kedudukan imam dalam keyakinan Syiah.
Imam adalah pembimbing dan penafsir wahyu yang dibawa Nabi. Orang Syiah menyebut Ahlul Bait as sebagai manusia maksum atau yang terjaga dan suci sesuai dengan ayat 33 surah Al-Ahzab, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”, tapi tidak menyembah mereka sebagai Tuhan atau makhluk Ilahi. Kebohongan ini sama sekali tidak dipercaya oleh kaum Syiah. Para Imam mengutip semua hadits dari Nabi Muhammad SAW.
3. Bidah dalam Islam
Beberapa orang ekstrem menuduh Syiah melakukan bidah dalam Islam. Sedangkan Syiah meyakini prinsip-prinsip dasar Islam seperti tauhid, kenabian dan kebangkitan, dan tidak sependapat dengan Sunni hanya dalam beberapa masalah yurisprudensi dan hukum. Perbedaan yurisprudensi tersebut disebabkan oleh ijtihad ulama Syiah dan tidak berarti menambah bidah terhadap agama.
4. Tawasul kepada selain Allah
Mazhab Syiah menjadikan Nabi Muhammad SAW dan para Imam maksum as serta para wali Allah yang saleh sebagai perantara dan wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pengikut Syiah percaya bahwa tawasul kepada Ahlu Bait as tidak berarti menyembah mereka, tetapi meminta syafaat dan permohonan dari orang-orang yang dekat dengan Tuhan.
Perbuatan ini berakar pada Al-Qur’an, di mana Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maaidah: 35)
Al-Qur’an juga menyebutkan kisah tawasul anak-anak Nabi Yakub kepada ayah mereka, di mana mereka meminta Ya’qub as untuk meminta pengampunan kepada Allah atas dosa-dosa mereka, “Mereka berkata: ‘Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)’. (QS. Yusuf: 97)
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa tawasul mempunyai tempat yang sah tidak hanya dalam tradisi Syiah, tetapi juga dalam kitab suci dan sejarah para nabi, dan merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
5. Permusuhan dan penghinaan sahabat Nabi
Salah satu tuduhan paling umum terhadap pengikuat Syiah adalah mereka menganggap para sahabat Nabi SAW sebagai musuh dan tidak menghormati mereka. Kebohongan ini juga merupakan tuduhan yang disengaja.
Faktanya, Syiah berpendapat bahwa ada dua kategori umum yang ditemukan di kalangan sahabat setelah Nabi. Satu kelompok dari mereka yang tetap setia sepenuhnya dan kelompok lainnya yang memutuskan sendiri suatu masalah.
Pengikut Syiah mengkritik beberapa perilaku kategori kedua, tapi seperti yang dikatakan oleh ulama Syiah dari lama hingga baru, seperti Imam Khomeini dan Imam Khamenei, penghinaan apa pun terhadap kategori kedua adalah haram.
Tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang ada gerakan sesat atau jahil yang mengatasnamakan Syiah melakukan penghinaan dalam sebuah pertemuan dan musuh-musuh persatuan Syiah-Sunni mengaitkannya dengan semua Syiah dengan menyebarkan satu penghinaan di media.
Dari sudut pandang seluruh marji taklid dan ulama Syiah, tidak boleh menghina para sahabat.
6. Menghina istri Nabi SAW
Tuduhan palsu dan umum lainnya adalah bahwa pengikut Syiah tidak menghormati istri Nabi dan memfitnah mereka. Padahal pengikut Syiah menghormati kedudukan istri-istri Nabi dan tidak pernah memasukkan fitnah seperti itu dalam keyakinan mereka.
Perbedaan penafsiran terhadap beberapa peristiwa sejarah tidak pernah berarti merendahkan pribadi dan kedudukan istri Nabi dalam keyakinan Syiah. Dari sudut pandang semua Syiah dan berdasarkan Al-Qur’an, istri Nabi adalah “Ummul Mukminin”.
Yang terakhir, tuduhan-tuduhan dan rumor-rumor ini sebagian besar dimunculkan oleh kelompok-kelompok penghasut media dan mereka yang ekstrem, sementara banyak warga Sunni yang tidak mempercayai keyakinan tersebut.
Imam Mahdi, Sang Juru Selamat dari Penuturan Imam Askari
Salah satu kegiatan penting Imam Askari adalah meletakkan dasar bagi orang-orang beriman untuk mengetahui tentang keghaiban Imam Mahdi, penyelamat umat manusia yang dijanjikan, dan bagaimana berhubungan dengan sang juru selamat itu.
Tehran, Parstoday- Imam Askari, salah satu keturunan Nabi Muhammad Saw dan imam kedua belas pengikut Ahlul Bait dilahirkan pada tahun 232 H. Ayahnya yang terhormat adalah Imam Hadi dan ibunya adalah seorang wanita saleh bernama Haditha. Pada usia 22 tahun, setelah kesyahidan Imam Hadi yang ditindas oleh khalifah Bani Abbas, beliau mencapai posisi Imamah berdasarkan takdir ilahi dan menghabiskan hidupnya yang penuh berkah untuk membimbing orang-orang beriman.
Menurut sumber-sumber Islam, salah satu kegiatan penting Imam Askari adalah meletakkan dasar bagi orang-orang beriman untuk mengetahui tentang waktu kegaiban dan bagaimana berhubungan dengan Imam Mahdi, sang penyelamat yang dijanjikan. Ada banyak hadits tentang keutamaan dan ilmu Imam Mahdi dari sabda Nabi Muhammad saw, namun kali ini akan menelisik penekanan dari Imam Askari.
Mousavi Baghdadi meriwayatkan dirinya mendengar dari Imam Hasan Askari bahwa beliau berkata:
Ketahuilah bahwa siapa pun yang mengakui para imam setelah Rasulullah (SAW), tetapi mengingkari Mahdi, ibarat orang yang mengakui semua Nabi dan Rasul Allah, namun mengingkari kenabian Rasulullah Saw. Bagi Mahdi yang dijanjikan, keghaibannyalah yang membuat orang ragu, kecuali yang dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Ali bin Hammam juga meriwayatkan dari Muhammad bin Utsman Omri dan dia dari ayahnya: Aku bersama Imam Askari yang menceritakan kepadanya tentang sebuah berita yang diriwayatkan dari ayah-ayahnya yang mulia, yaitu yang dimaksud dengan “bumi dari Bukti Ilahi tidak akan kosong sampai hari kiamat, dan barangsiapa meninggal dan tidak mengakui Imam pada masanya, maka matil dalam kejahilan".
Beliau berkata,“Kata-kata ini benar. Memang benar secerah siang hari. Mereka berkata: Wahai anak Rasulullah! Siapakah penguasa dan imam setelahmu? Imam Askari berkata: Anakku Muhammad (Mahdi); Dialah imam dan penguasa setelahku, siapa pun yang meninggal dan tidak mengenalnya, maka ia mati dalam kejahilan. Ketahuilah bahwa baginya itu adalah kegaiban, di mana orang-orang bodoh mengembara, orang-orang palsu binasa di dalamnya, dan orang-orang yang menetapkan waktu kemunculannya berdusta. Mahdi akan keluar untuk menyelamatkan manusia di akhir zaman dengan bendera putih di atas kepalanya di Najaf dan Kufah,".
Enam Wasiat Ahlul Bait mengenai Adab
Imam Baqir as berkata, "Diamnya orang yang beradab di sisi Allah lebih baik dari pada ahli ibadah yang bertasbih,".
Imam Sadiq (702-765 M), Imam keenam dari Ahlul Bait Nabi Muhammad saw, mengatakan, "Ayah saya mengajari saya tiga hal... beliau berkata: Siapa pun yang tinggal dengan teman yang buruk, maka ia tidak akan baik. Siapapun yang tidak berhati-hati dengan perkataannya, maka dia akan menyesal, dan siapa pun yang pergi ke tempat yang buruk, maka akan dituduh,".
Dalam pengertian adab, sebagian kalangan memandang adab sebagai etika dan mengartikannya sebagai tata krama yang baik. Namun dengan merenungkan kata ini, kita menemukan bahwa adab berbeda dengan moralitas. Dalam hal ini, Sheikh Tabarsi menunjukkan beberapa perbedaan antara etika dan adab dengan mengatakan:
1- Etika membahas persoalan yang berkaitan dengan jiwa manusia, sedangkan adab berkaitan dengan perbuatan jasmani.
2- Masalah moral selalu diperbaiki seiring berjalannya waktu dan tidak ada cara untuk mengubahnya, namun perilaku bervariasi dan berbeda pada waktu yang berbeda.
3- Masalah etika konstan dari segi tempatnya dan sama di setiap kota dan negara, namun adat istiadat telah berubah di kota dan negara yang berbeda dan adat istiadat setiap daerah bersifat spesifik di tempat yang sama.
Dalam artikel Parstoday ini, kita akan mencermati enam pesan berharga di bidang adab dari para imam Ahlul Bait Nabi Muhamamd saw.
1- Apa itu adab?
Ketika Imam Husain ditanya seseorang tentang adab, beliau menjawab,
سُئِلُ الاْءمامُ الْحُسَيْنُ [ عليه السلام] عَنِ الْأدَبِ فَقالَ: هُوَ أنْ تَخَرُجَ مِنْ بَيْتِكَ، فَلاتَلْقى أحَداً إلاّ رَأيْتَ لَهُ الْفَضْلَ عَلَيْكَ [ موسوعة كلمات الامام الحسين عليه السلام: 750 ح 90]
"Adabnya adalah ketika kamu keluar rumah, jangan bertemu dengan siapa pun kecuali kamu menganggapnya lebih tinggi dan lebih baik darimu,".
2- Orang yang paling dicintai Ahlul Bait Nabi
Imam Ja'far Shadiq berkata:
إنّا لَنُحِبُّ مِنْ شيعَتِنا مَنْ كانَ عاقِلاً، فَهيماً، فَقيهاً، حَليماً، أديباً، مُدارياً، صَبُوراً، صَدُوقاً [ مستدرك الوسائل 11: 190 ح 11]
"Orang-orang Syi'ah yang paling kami cintai adalah yang bijaksana, pengertian, ahli hukum, lemah lembut, sopan, sabar, dan jujur".
3- Adab lebih dari sekedar rasa hormat
Imam Ali bin Abi Thalib berkata:
ألْأدَبُ يُغْنى عَنِ الْحَسَبِ [ اعلام الدين: 84]
Adab membuat seseorang tidak perlu dihormati dari jalur dan keturunannya (dia sendiri adalah sumber kehormatan).
4- Warisan terbaik bagi anak
Imam Husein berkata:
إنَّ خَيْرَ ماوَرَّثَ الآباءُ لِأبنائِهمْ ألأدَبُ لاَالْمالُ، فَإنَّ الْمالَ يَذْهَبُ وَ الْأدَبُ يَبْقى. [ كافى 8: 150 ح 132]
Sesungguhnya warisan terbaik orang tua kepada anak-anaknya adalah adab bukan kekayaan, karena kekayaan akan hilang dan adab akan tetap ada.
5- Orang yang beradab lebih berharga dari ahli Ibadah yang jahil
Imam Baqir berkata:
صَمْتُ الْأديبِ عِنْدَاللّه ِ أفْضَلُ مِنْ تَسْبيحِ الْجاهِلِ [ اعلام الدين: 96]
Diamnya orang yang beradab lebih baik dari pada ahli ibadah yang jahil.
6- Adab minimal
Imam Hassan Askari berkata:
كَفـاكَ أدَبـاً لِنَفْسِـكَ تَجَنُّبُكَ ما تَكْرَهُ مِنْ غَيْرِكَ [ الانوار البهيه: 319]
Dalam adab, Anda jangan melakukan apa yang tidak disukai dari orang lain.
Ini Alasan Mengapa Al Quran Menekankan untuk Menjaga Lisan
Menurut keterangan Hujatulislam Naser Rafiee, manusia dapat menggunakan lisannya untuk berbuat baik kepada sesama, dan bisa juga menggunakannya untuk membenci, mendendam, dan mengganggu orang lain.
Hujatulislam Rafiee, Ustadz Hauzah Ilmiah Iran, mengatakan, salah satu masalah penting dalam hidup manusia yang biasanya dilakukan banyak orang adalah dosa lisan. Karena mudah dilakukan, dosa lisan tidak memerlukan upaya keras, dan memiliki banyak ragam serta jenis.
Menurutnya, dosa besar tidak mudah dilakukan, dan tidak semua manusia melakukannya. Contohnya, salah satu dosa besar adalah menjual senjata kepada kaum kafir, tidak semua orang bisa melakukannya.
Contoh lain, salah satu dosa besar adalah meminum minuman keras, tidak semua orang melakukannya. Akan tetapi dosa lisan tidak seperti itu, pasalnya selain karena punya banyak ragam, juga mudah dan tidak memerlukan usaha keras untuk melakukannya.
Hujatulislam Rafiee, terkait mengapa Al Quran menekankan supaya manusia mengendalikan lisannya, menuturkan, "Di dalam hadis disebutkan iman seseorang tidak akan baik dan sempurna kecuali ruhnya sempurna, ruh seseorang tidak akan baik kecuali lisannya baik. Hadis yang lain mengatakan, setiap orang dikenal dari lisannya, dan kepribadian seseorang berada di balik lisannya. Manusia dapat menggunakan lisannya untuk berbuat baik kepada sesama atau menggunakannya untuk membenci dan mengganggu orang lain."
Pada saat yang sama, Hujatulislam Naser Rafiee, menjelaskan bahwa salah satu faktor yang melahirkan cinta, dan membuka pintu-pintu kebijaksanaan adalah diam.
"Seseorang yang diam, sekalipun tidak melakukan perbuatan baik, akan terhindar dari perbuatan dosa. Banyak hadis yang menekankan sedikit bicara, misalnya disebutkan bahwa diam adalah pintu menuju pintu-pintu hikmah," imbuhnya.
Terkait karakteristik perkataan yang baik, Rafiee menerangkan, "Al Quran menjelaskan perkataan yang baik pertama harus berdasarkan pengetahuan. Belakangan ini sebagian orang menciptakan video dan audio melalui Kecerdasan Buatan, lalu disebarkan melalui media sosial, maka dari itu sebagaimana ditegaskan Al Quran dan hadis, kita tidak boleh mengikuti sesuatu yang tidak kita ketahui. Banyak perkataan yang keluar karena ketidaktahuan, dan prasangka semata."
Hujatulislam Rafiee, melanjutkan, "Perkataan kita harus memiliki asas dan dasar. Al Quran menyeru manusia kepada takwa dan untuk berbicara dengan argumen. Misalnya, kita tidak boleh berbicara tanpa dasar dalam diskusi-diskusi poltiik dan debat pemilu. Begitu juga Al Quran, menekankan bahwa perkataan yang baik tidak boleh menjatuhkan dan mencela orang lain."
Hujatulislam Rafiee menegaskan, "Karakteristik lain yang Al Quran tegaskan terkait perkataan yang baik adalah keadilan dalam berpendapat. Di dalam diskusi-diskusi politik, penyampaian pendapat harus adil, dan tidak merusak. Perkataan yang baik menurut Al Quran, harus disertai dengan amal perbuatan, dan perkataan yang baik adalah perkataan yang indah serta lugas."
Mengapa Imam Khamenei Anggap Cucu Nabi ini Teladan Perempuan dan Laki-Laki?
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, menyebut Sayidah Zainab, putri Imam Ali bin Abi Thalib dan Sayidah Fathimah Zahra, memiliki sejumlah karakter unggul seperti mengenal situasi, berani, dan kesabaran tinggi.
Ayatullah Sayid Ali Khamenei, menganggap Sayidah Zainab, putri Ali bin Abi Thalib dan Sayidah Fathimah Zahra, sebagai contoh kemuliaan dan keagungan perempuan.
Sayidah Zainab, adalah putri Imam Ali bin Abi Thalib, dan Sayidah Fathimah Zahra, sekaligus cucu Rasulullah SAW. Beliau tumbuh di sebuah keluarga besar yang merupakan teladan keimanan, keberanian, dan ketakwaan.
Sayidah Zainab, memainkan perang penting dalam peristiwa Asyura. Beliau bukan hanya berada di sisi saudaranya Imam Hussein as, di Karbala, dan bertanggung jawab mengurusi perempuan dan anak-anak, tapi, setelah gugurnya Imam Hussein, dan sahabat-sahabatnya, beliau juga bertugas menjaga kelanggengan pesan Asyura.
Ketika menjadi tawanan dan berhadapan dengan musuh semacam Yazid bin Muawiyah, dan Ibnu Ziyad, Sayidah Zainab, berdiri dengan berani dan kuat menjelaskan hakikat peristiwa Karbala kepada masyarakat dengan pidato-pidato mencerahkannya.
Kalimat terkenal dari Sayidah Zainab, saat menjawab pertanyaan terkait bagaimana tanggapannya ketika menyaksikan peristiwa Karbala adalah, «ما رأیت الا جمیلا» "Aku tidak menyaksikan apa pun selain keindahan" dan hal itu menunjukkan puncak makrifat dan keimanan beliau kepada Tuhan dan hakikat penciptaan.
Pandangan Imam Khamenei terhadap Sayidah Zainab, Teladan Umat Manusia
Imam Khamenei, berulangkali dalam paparannya menyinggung kepribadian Sayidah Zainab, dan menyebutnya sebagai teladan tanpa tanding bagi perempuan. Menurut Pemimpin Revolusi Iran, karena peran unggulnya di peristiwa Asyura, dan perlawanan atas musuh, Sayidah Zainab, adalah teladan unggul dari seorang perempuan Muslim dan Mukmin.
Ayatullah Khamenei berkata, "Di Asyura, dalam peristiwa Karbala, darah menang atas pedang, memang benar-benar menang, faktor penentu kemenangan ini adalah Sayidah Zainab, karena darah sudah tertumpah di Karbala. Peristiwa ini menunjukkan bahwa perempuan tidak pernah dipinggirkan dalam sejarah, perempuan berada di jantung kejadian-kejadian penting sejarah."
Pemimpin Revolusi Iran, menyebut Sayidah Zainab, memiliki sejumlah karakteristik unggul seperti mengenal situasi, pemberani, dan kesabaran yang tinggi, sehingga menjadikannya teladan kemuliaan dan keagungan perempuan.
"Zainab Kubra, telah memadukan kasih sayang perempuan dengan keagungan dan keteguhan serta ketenangan hati seorang Mukmin, dan memiliki tutur kata tegas dan jelas sebagai seorang pejuang di jalan Allah SWT, dan keagungannya sebagai perempuan, membuat para pembesar palsu, terhina dan menjadi kecil di hadapannya," imbuh Imam Khamenei.
Pemimpin Revolusi Islam Iran, menyebut Sayidah Zainab, sebagai guru perilaku Islami bagi perempuan, dan menganggap sepak terjang beliau dalam setiap fase kehidupan sebagai teladan nyata bagi perempuan.
Ia menuturkan, "Zainab Kubra, memainkan peran sebagai istri, ibu, dan anak perempuan yang unggul di keluarga Nabi Muhammad SAW, di Madinah, dan beliau menjalankan peran itu sebaik-baiknya. Dari sisi keilmuan, ketakwaan, kesucian, akhlak, dan yang lainnya, beliau adalah guru spiritual, guru akhlak, dan guru perilaku Islami bagi perempuan."
Ayatullah Khamenei, juga menyoroti kedudukan spiritual Sayidah Zainab, dan menganggap beliau sebagai sebuah teladan pendidikan Islam, bagi seluruh perempuan.
"Jika masyarakat Islam, mendidik perempuan dengan teladan Islami, yaitu teladan Zahra, Zainab, dan perempuan-perempuan besar, agung, perempuan yang mampu mempengaruhi dunia dan sejarah, maka saat itu perempuan akan mencapai kedudukan hakikinya yang luhur," ujar Rahbar.
Pemimpin Revolusi Islam Iran juga menyinggung pidato dan khutbah mematikan Sayidah Zainab di hadapan musuh, memuji keagungan serta keberanian beliau, dan menganggapnya sebagai manifestasi kemuliaan.
Ia menegaskan, "Sayidah Zainab Kubra, berhadapan dengan orang-orang yang tidak bisa dipercaya semacam ini, tapi beliau berpidato secara tegas. Beliau adalah perempuan sejarah. Perempuan ini tidak lemah, perempuan ini adalah teladan. Teladan bagi seluruh laki-laki besar alam semesta, dan perempuan-perempuan besar di muka bumi."