کمالوندی
Jihad Islam Palestina Siaga Hadapi Potensi Perang Baru dengan Rezim Zionis
Juru bicara Jihad Islam Palestina, Tariq Salmi menyatakan kelompok-kelompok perlawanan Palestina siap menghadapi langkah baru pihak rezim Zionis, termasuk potensi perang di jalur Gaza.
Tariq Salmi hari Minggu (29/8/2021) mengatakan, "Kelompok perlawanan Palestina bertekad untuk menjaga perimbangan kekuatan dan mematahkan blokade Gaza,".
"Perlawanan Palestina berada dalam garda depan menghadapi rezim Zionis untuk mencabut blokade Gaza," ujar Salmi.
"Rezim Zionis berusaha untuk menggagalkan upaya para mediator, sementara perlawanan berusaha untuk mengimplementasikan kesepakatan yang dicapai," tegasnya.
Sebelumnya, Perdana Menteri Israel Naftali Bennett kepada New York Times sebelum kunjungannya baru-baru ini ke Washington mengatakan, "Tidak mungkin perjanjian damai akan ditandatangani dengan Palestina atau pemerintah Palestina akan dibentuk selama saya menjabat sebagai sebagai perdana menteri,"
Analis Militer Israel: Iran Kepung Kami dari Yordania Hingga Mediterania
Seorang veteran tentara sekaligus analis militer rezim Zionis Israel mengakui bahwa Iran tengah menyempurnakan kepungan terhadap Israel di Dataran Tinggi Golan secara perlahan, dan menurutnya Israel tidak punya cara lain selain menerima kenyataan itu.
Ehud Yaari, veteran perwira militer Israel, Senin (30/8/2021) dalam artikelnya di situs N12 menulis, "Iran secara perlahan sedang menempatkan persenjataan di Dataran Tinggi Golan, Suriah yang berbatasan dengan Israel, dan sebelum penempatan persenjataan semacam rudal di Golan dilakukan, kondisi ini tidak pernah terjadi."
Ia menambahkan, "Di Golan, dan wilayah Hauran, selatan Suriah, dan utara Yordania, pasukan pemerintah Suriah bersama Hizbullah Lebanon, dan milisi bersenjata dukungan Iran, memberi dukungan politik kepada Suriah, dan mengepung kota Daraa, kota ini merupakan benteng terakhir pasukan gabungan Suriah, dan pemberontak bersenjata."
Dalam artikel itu, Ehud Yaari menulis, Raja Yordania, Abdullah II juga mengetahui tentang penempatan pasukan Suriah di wilayah Hauran yang sekarang berada di bawah kontrol Iran, dan Hizbullah Lebanon, oleh karena itu kemungkinan terbesarnya adalah Israel akan menerima kondisi saat ini, dan menerima penempatan milisi bersenjata dukungan Iran, di wilayah ini dengan syarat tidak ada penempatan rudal.
Menurutnya, Israel berada dalam situasi sulit karena tidak ingin memulai perang dengan pasukan Suriah, membuat Rusia kecewa atau berjudi dengan kelompok-kelompok pemberontak kawasan.
Pejabat Tel Aviv: Kami Butuh Ancaman Kredibel AS atas Iran
Anggota Parlemen rezim Zionis Israel atau Knesset mengatakan, kondisi kawasan Asia Barat saat ini berbeda dengan 10 tahun lalu. Menurutnya retorika Amerika Serikat terkait Iran tidak cukup, Washington harus menunjukkan ancaman kredibel terkait masalah nuklir kepada Tehran.
Dalam wawancara dengan Radio 103 FM Israel, Minggu (29/8/2021), Zvi Hauser menuturkan, "Secara umum pertemuan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett dengan Presiden AS Joe Biden, sangat bagus. 48 jam berlalu, dan kami tidak menyaksikan gelombang kedua reaksi publik, hal ini saja sudah merupakan indikasi yang sangat baik. Harus diperhatikan bahwa semua yang disampaikan dalam pertemuan rahasia, sangat penting."
Menurut Hauser, deklarasi AS terkait Iran dan senjata nuklir sangat penting, tapi tidak cukup hanya dengan mengatakannya saja, harus ada ancaman kredibel untuk Iran dalam masalah nuklir. Menurut saya ini merupakan kesempatan langka di antara semua peluang diplomatik yang ada terkait Iran.
Ia menegaskan, "Kami menyaksikan terciptanya sebuah perkembangan di AS dan Israel yang di dalamnya terdapat pemahaman bahwa Timur Tengah di tahun 2021 berbeda dengan tahun 2011. Masih terdapat konflik, tapi kedua pihak berseteru memahami bagaimana caranya mereka menyelesaikan konflik tersebut."
Jerusalem Post: Imperium AS di Dunia akan Segera Berakhir
Surat kabar rezim Zionis Israel menulis, seharusnya pengelolaan dunia tidak pernah menjadi tugas Amerika Serikat, dan kekalahan negara itu di Afghanistan akan menjadi perang imperium terakhir AS.
Jerusalem Post (27/8/2021) melaporkan, kekalahan AS di Afghanistan membuktikan bahwa imperium negara ini untuk menguasai dunia sudah mendekati akhir.
Dalam artikel yang ditulis Amotz Asa-El disebutkan, era imperium, era paling ambisius, kontradiktif, dan berbiaya mahal AS akan segera berakhir. Apa yang dimulai dengan pendudukan Hawaii dan Filipina, 120 tahun lalu, telah mengubah AS menjadi imperium terkuat sepanjang sejarah dunia, tapi sekarang dari sisi volume, ia telah sampai pada kekeroposan, dari sisi biaya telah menjadi omong kosong, dan dari sisi target telah berubah menjadi sesuatu yang tidak relevan.
Ditambahkannya, di saat masyarakat AS tercabik-cabik oleh berbagai masalah mulai dari kontrol senjata, penanganan kesehatan hingga kesejahteraan sosial dan aborsi, mundurnya AS dari imperium dunia menjadi tujuan yang dimiliki dan dijalankan oleh Donald Trump, Barack Obama dan Joe Biden, meski dengan tingkat kecanggungan yang berbeda-beda.
Menurut Jerusalem Post, dengan memperhatikan sejarah imperialisme dunia, situasi global dan kode genetik masyarakat AS, saat ini satu-satunya yang bisa dilakukan oleh Paman Sam adalah mundur dari arena internasional.
Ayatullah Khamenei: AS Serigala Pemangsa yang Telah Melampaui Semua Batas Rasa Malu
Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatullah Khamenei mengatakan meskipun tersenyum dan berbicara benar, Amerika Serikat adalah serigala pemangsa yang telah melampaui semua batas rasa malu.
Dalam pertemuan dengan presiden baru Iran dan kabinetnya, Rahbar mengatakan, “Pemerintahan AS saat ini tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Permintaannya sama dengan permintaan Trump dan tidak berubah sama sekali.”
Presiden Joe Biden telah berulang kali mengklaim bahwa bergabung kembali dengan kesepakatan nuklir 2015 sebagai salah satu prioritas kebijakan luar negeri utamanya, tetapi dia telah menunjukkan dorongan yang tidak biasa untuk mempertahankan elemen kunci dari sanksi yang dijatuhkan oleh pendahulunya sebagai pengaruh untuk menekan Republik Islam.
Pemerintahan AS saat ini tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya karena apa yang dituntut dari Iran mengenai nuklir adalah sama dengan yang dituntut oleh Trump (Donald Trump), tetapi dengan bahasa lain. Dan pada hari itu, pejabat-pejabat pemerintah, dengan menekankan irasionalitas, tidak menganggap mungkin untuk menerimanya," ungkap Rahbar.
Sementara itu, Presiden Iran Raisi telah berjanji untuk mendukung pembicaraan yang “menjamin kepentingan nasional Iran”. Menurutnya, “Saya tidak akan mengizinkan negosiasi demi negosiasi.”
Ekspor Produk Iran ke Afghanistan Meningkat 260 Persen
Kepala Pos Lintas Batas Negara Iran-Afghanistan di Dogharoon mengatakan, sejak tahun 2020 sampai sekarang 619.199 ton produk Iran, yang diangkut oleh 22.364 kontainer dari pintu perbatasan Dogharoon di Distrik Taibad, Provinsi Khorasan Razavi, ke Afghanistan, mengalami peningkatan 260 persen dibandingkan periode sebelumnya.
Sayid Ahmad Nezam, Senin (30/8/2021) kepada IRNA mengatakan, pada periode sebelumnya 237.729 ton beragam produk Iran, diekspor ke Afghanistan menggunakan 9.616 kontainer dari pintu perbatasan Dogharoon.
Ia menambahkan, sementara pada periode saat ini lebih dari 243.099 produk Iran, diekspor ke Afghanistan dengan menggunakan 11.081 kontainer.
Menurut Ahmad Nezam pada periode April-Agustus 2021, 2.174 ton produk Iran, yang diangkut 88 unit kontainer, memasuki Afghanistan dari pintu perbatasan Dogharoon, dibandingkan periode sebelumnya secara bobot mengalami peningkatan 70 ton, dan mengalami peningkatan sekitar 69 persen dari sisi lalu lintas kendaraan.
"Pintu perbatasan Dogharoon merupakan lokasi strategis bagi perdagangan, dan transit barang, serta merupakan salah satu pintu perlintasan darat Iran yang paling padat dilihat dari jumlah barang dan orang yang keluar masuk," pungkasnya.
Mulla Sadra
Sadr al-Din Muhammad ibn Ibrahim Shirazi, filosof besar, mistikus dan komentator Syiah pada abad kesepuluh dan kesebelas dan pendiri aliran filsafat "Al-Hikmah Al-Muta’aliyah" sebagai aliran filsafat terpenting ketiga di dunia Islam.
Sadr al-Din Muhammad lahir pada tahun 979 H di kota Shiraz. Shiraz telah menjadi tempat kelahiran banyak tokoh besar ilmu pengetahuan dan budaya Iran. Ayahnya adalah orang terkenal di negeri itu yang tidak memiliki banyak anak meskipun kaya. Dia berdoa kepada Tuhan agar jika dia memiliki anak, dia akan mencurahkan sebagian dari kekayaannya untuk menyebarkan pengetahuan dan merawat orang miskin. Doanya terkabul dan dia menamai putra tunggalnya dengan nama Nabi Khatam (SAW), Muhammad. Muhammad menghabiskan pendidikan dasarnya di rumah ayahnya di bawah bimbingan guru privat, dan sejak awal pembelajarannya, kecerdasan dan kejeniusannya yang kaya diungkapkan kepada para guru.
Sadr al-Din Mohammad pergi ke Qazvin bersama keluarganya setelah pendidikan dasar. Qazvin pada waktu itu adalah ibu kota Safawi dan pusat ilmu pengetahuan, dan ulama besar seperti Syekh Baha'i dan Mirdamad mengajar di sana. Sadr al-Din Muhammad melanjutkan pendidikannya dengan para profesor tersebut dan mencapai tingkat ijtihad. Karena kondisi politik dan sosial, setelah beberapa saat Syekh Baha'i dan Mirdamad dan ulama besar lainnya bermigrasi dari Qazvin ke Isfahan.
Mulla Sadra yang awalnya masih muda, menemani mereka menikmati kehadiran orang-orang hebat tersebut. Dengan hadirnya para ulama tersebut, Isfahan menjadi pusat ilmiah terpenting Iran, yang menjadi tempat berkumpul dan belajar serta berdiskusi para ulama besar dari seluruh dunia Islam. Ketertarikan Shah Abbas Safawi pada sains dan pengetahuan dan rasa hormat yang dimilikinya terhadap ulama telah menyebabkan ulama Syiah, tidak seperti negara-negara Islam lainnya, memiliki keamanan dan perdamaian yang dapat diterima di Iran dan menyediakan landasan bagi pertumbuhan ilmiah Syiah.
Mulla Sadra duduk sebagai profesor penuh dan unik di sekolah-sekolah teologi Isfahan. Setelah beberapa saat, ia ditolak dan diejek oleh ulama lain karena pandangannya yang berbeda tentang masalah yurisprudensi dan filosofis, dan dituduh bid'ah dalam agama. Mulla Sadra, melihat bahwa dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin mengungkapkan fakta ilmiah, maka ia pergi ke Qom. Kota Qom selalu dianggap oleh para ulama Syi'ah karena menjadi tempat pemujaan putri Imam Musa bin Ja'far (as), Sayidah Fatimah Maksumah (as).
Hadis-hadis otentik telah diriwayatkan tentang kehormatan dan posisi Sayidah Maksumah (a)s yang menurutnya putri tercinta dari Imam ketujuh (as) ini memiliki posisi tertinggi dalam ilmu pengetahuan dan kesalehan setelah Imam Ridha as dan akan menjadi pendoa syafaat kaum Syi'ah di dunia di Hari Kiamat. Meskipun Mullah Sadra ditinggalkan di antara para ulama Qom, dia tidak meninggalkan komplek suci Sayidah Maksumah as dan di sebuah desa di kota ini, dia berlindung di sudut untuk membangun dirinya dan berperilaku dalam bayang-bayang berkah dari saudara perempuan tercinta Imam kedelapan (as).
Mulla Sadra tinggal di desa Kahak selama 7 tahun dan menurut riwayat lain selama 15 tahun. Cendekiawan hebat ini, yang telah menjauhkan diri dari sekolah dan seminari, mengajar dan menulis, juga mengubah penolakan dan kesepian menjadi kesempatan yang tak tergantikan untuk perbaikan diri dan selama tahap kesempurnaan. Selama periode ini, Mulla Sadra terlibat dalam ibadah dan perjuangan duniawi. Pemurnian jiwa dan melalui otoritas mistik, filsuf jenius Shirazi menjadi mistikus yang lengkap. Dia sekarang melihat dengan mata jiwanya apa yang telah dia pelajari dari kebenaran alam semesta dengan kekuatan kecerdasannya.
Mulla Sadra berutang pencapaian posisi tinggi dalam sains dan mistisisme atas munajat dan permohonan yang tulus kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan terkait hal ini ia menulis, ...Akhirnya, karena panjangnya perjuangan dan banyaknya latihan, cahaya ilahi bersinar di dalam jiwaku dan hatiku tersulut oleh nyala api intuisi. Cahaya Malakooti diberikan kepadanya dan rahasia Jabrut diungkapkan kepadanya, dan setelah itu saya menemukan rahasia yang tidak saya ketahui di masa lalu, dan rahasia ditemukan untuk saya yang belum saya temukan melalui bukti, dan semua misteri Allah dan kebenaran riba dengan bantuan akal.Dan saya memahami argumen, saya menemukannya lebih jelas dengan intuisi dan visibilitas. Di sinilah pikiran saya menjadi tenang dan angin kebenaran bertiup di atasnya, pagi dan sore dan malam dan siang, dan itu datang begitu dekat dengan kebenaran sehingga selalu duduk bersamanya dalam doa."
Setelah masa isolasi, periode ketiga kehidupan Mulla Sadra dimulai. Orang bijak yang bijaksana ini, setelah lama memperbaiki diri, mulai menulis buku Asfar sebagai karyanya yang paling penting. Dengan menulis buku ini, Mulla Sadra memperkenalkan sistem filosofis baru yang kemudian dikenal sebagai "kebijaksanaan transenden" dan telah menjadi sistem filosofis terkuat dan terpopuler di dunia Islam sejak saat itu. Dua karakteristik kebijaksanaan transenden adalah pendekatan mistiknya dan kesesuaian akal dan wahyu dalam sistem filosofis ini. Sebelum Mulla Sadra, para filosof besar lainnya seperti Ibnu Sina, Suhrawardi dan Mirdamad telah mencoba menghadirkan sistem filsafat yang sesuai dengan sistem agama Islam. Karena didasarkan pada keyakinan bahwa agama tidak bertentangan dengan akal, dan oleh karena itu temuan akal sehat harus sesuai dengan apa yang telah sampai kepada manusia melalui wahyu. Masing-masing orang bijak ini mencapai kesuksesan dan mengambil langkah menuju tujuan ini, tetapi tujuan penting ini dicapai oleh Mulla Sadra, dan sistem filosofis yang dia bangun tetap tak tertandingi selama tiga ratus tahun terakhir.
Mulla Sadra dalam Hikmah Mutaaliyah menjelaskan dan membenarkan masalah filsafat dengan menggunakan metode akal, narasi (ilmu-ilmu pewahyuan) dan penemuan mistik dan intuisi. Kebijaksanaan transenden mengacu pada pengetahuan dan pengetahuan yang mengandung rahasia dan kebenaran yang diambil dari khazanah kebijaksanaan ilahi, yang pemahamannya di luar akal. Orang bijak ini, selain filsafat-filsafat sebelumnya, telah memberikan perhatian khusus kepada Al-Qur'an, hadits, teologi dan tasawuf sebagai sumber kebijaksanaan transenden, dan metodenya adalah kombinasi dari pengetahuan Al-Qur'an, mistik dan rasional. Sadr al-Mutallahin dalam karya tulis filosofisnya yang paling penting disebut; "Kebijaksanaan transenden dalam empat perjalanan intelektual" telah menjelaskan dengan baik prinsip dan dasar sistem filosofis ini.
Sekitar tahun 1040 H, Mulla Sadra kembali ke Shiraz. Tampaknya penguasa Persia telah mengundangnya ke Shiraz untuk menjalankan sekolah besar. Mulla Sadra juga mengajar filsafat, tafsir dan hadits di Shiraz dan membesarkan murid-muridnya. Kali ini, seperti periode pertama tinggalnya di Shiraz, ia berada di bawah tekanan fitnah dan fitnah sesama ilmuwan, tetapi saat ini, Sadr al-Muta'allehin adalah seorang bijak yang lengkap dan terkenal dan memutuskan untuk menahan tekanan mereka. dan memperkenalkan serta mendirikan sekolahnya.
Dia bukan lagi seorang ilmuwan muda tetapi seorang mistikus lengkap dan mistikus yang tidak dapat dengan mudah dihilangkan dari bidang studi dan perdebatan oleh para simpatisan. Dengan cara ini, Mullah Sadra mampu memperkuat fondasi kebijaksanaan transenden dan melatih siswa, yang masing-masing membantu memperdalam dan memajukan sekolah ini. Mullah Mohsen Fayz Kashani dan Fayyaz Lahiji adalah murid terbesarnya.
Mulla Sadra telah meninggalkan lebih dari lima puluh karya tertulis dalam ingatannya.Karyanya yang paling penting dan terkenal disebut Asfar, yang telah kami sebutkan sebelumnya. Selain banyak karya filosofis, ulama besar ini juga telah menulis buku-buku tentang tafsir Al-Qur'an dan penjelasan prinsip-prinsip yang memadai. Selain menulis buku, ia telah berjasa besar bagi kemajuan ilmu dan pengetahuan di dunia Syi'ah dengan mendidik para ulama terkenal. Mulla Sadra meninggalkan enam anak, yang masing-masing telah mendapatkan cukup banyak manfaat dari ilmu-ilmu keislaman dan dianggap sebagai salah satu pemikir terkemuka pada masanya.
Hakim Mulla Sadra menunaikan haji tujuh kali selama 71 tahun hidupnya. Perjalanan haji dianggap sebagai perjalanan yang sulit bahkan hari ini, meskipun fasilitas transportasi dan komunikasi canggih. Tentu saja, 300 tahun yang lalu, ketika para peziarah melakukan perjalanan ke padang pasir dalam bentuk karavan dengan kuda dan unta, perjalanan ini memiliki kesulitan tersendiri. Namun Mulla Sadra, menurut nasehat dan tradisi para pemuka agama, telah melakukan perjalanan seperti itu sebanyak tujuh kali dengan berjalan kaki. Perjalanan ketujuhnya ke Ka'bah terjadi pada usia tujuh puluh satu tahun, dan selama perjalanan inilah masa hidupnya yang diberkati berakhir dan dia meninggalkan dunia material. Jenazah filosof dan mistikus besar Syi'ah ini dipindahkan ke kota Najaf dan dimakamkan di "serambi para ulama", yaitu di sisi kiri halaman tempat suci Imam Ali (as), Imam Syi'ah pertama.
Mir Damad (2)
Mir Damad (Mir Mohammad Bagher Astarabadi) adalah seorang ulama Syiah Abad-11 Hijriah Qamariyah, masa yang penuh gejolak pemikiran itu. Ia seorang filsuf, teolog, fakih, dan penyair Syiah unggul di masa Dinasti Safawiah di Iran. Ia juga dikenal sebagai Guru Ketiga.
Pada abad ke-11, filsafat Islam mengambil lompatan yang signifikan, dan beberapa pemikir besar Syiah memfokuskan aktivitas mereka pada kebijaksanaan dan filsafat. Ada beberapa alasan mengapa para cendekiawan Muslim masuk ke Lembah Filsafat. Salah satu alasan ini tergantung pada sifat ilmu filsafat. Filsafat berarti berpikir tentang masalah paling umum dan mendasar yang kita hadapi dalam hidup dan di dunia.
Filsafat muncul ketika kita mengajukan pertanyaan mendasar tentang diri kita sendiri dan dunia. Pertanyaan seperti: Di mana kita sebelum lahir dan apa yang terjadi pada kita setelah kematian? Apa itu kecantikan? Apakah hidup kita dijalankan oleh orang atau kekuatan lain? Apakah dunia membutuhkan pencipta? Apa itu Tuhan? Apakah tujuan hidup? Apa itu kebahagiaan sejati? Dan puluhan pertanyaan seperti ini. Para filsuf mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan mengandalkan akal. Tetapi dengan sedikit perhatian kita melihat bahwa inilah pertanyaan-pertanyaan dasar yang juga coba dijawab oleh agama-agama ilahi.
Di antara berbagai agama, agama Islam, khususnya mazhab Syi'ah, lebih sejalan dengan ilmu filsafat karena pandangannya yang besar mengenai akal. Sifat pemikiran Islam, khususnya pemikiran Syi'ah, sesuai dengan rasionalitas, dan teks-teks agama penting Islam, termasuk Al-Qur'an dan hadits para maksumin, menekankan penggunaan akal yang benar dan ketaatan pada aturan rasional.
Dalam ajaran Islam, akal beserta wahyu merupakan otoritas dan petunjuk yang diberikan Allah kepada manusia untuk menemukan jalan petunjuk. Nahj al-Balaghah penuh dengan khutbah mistik dan filosofis Amirulmukminin Ali as dan riwayat para Imam lainnya, terutama Imam Baqir as, Imam Sadiq as dan perdebatan Imam Ridha as juga sarat dengan argumentasi rasional dan filosofis. Dengan demikian, hakikat pemikiran Syi'ah tidak pernah sepi dari pemikiran filosofis.
Dari sisi lain, saat itu ulama Syah juga menghadapi fenomena baru yang lain, menghadapi budaya Barat. Di era Safawi, bangsa Eropa banyak tinggal di Iran dengan berbagai alasan mulai dari pialang, wisatawan, pedagang dan bahkan dokter untuk menyebarkan agama Kristen. Sejarah mencatat bahwa pemerintah Eropa mengirim misionaris ke Iran untuk mengubah agama rakyat negara ini. Mereka berupaya mengubah keyakinan masyarakat dan mencitrakan bahwa Islam tidak benar dengan menyebarkan keraguan dan syubhat melalui buku-buku dan acara tabligh.
Di kondisi seperti ini, tugas ulama adalah membela agama secara rasional. Pembelaan dan penjelasan akan keyakinan agama sebelumnya diemban oleh para ulama dalam bentuk Ilmu Teologi. Ilmu Teologi menggunakan dua sumber, akal dan nakli (al-Quran dan hadis), dan memiliki metode khusus. Namun seperti yang disadari para filosof Syiah, metode falsafi lebih baik dari teologi untuk menjawab syubhat ini dan membela agama. Dengan demikian mereka semakin cenderung untuk menggali ilmu ini.
Di kalangan filosof Muslim, ulama seperti Farabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Khajeh Nasir al-Din Tusi, Shahab al-Din Suhrawardi, Mir Damad, dan Mullah Sadra memiliki gaya dan sistem filsafatnya sendiri. Sementara itu, ada banyak kesamaan antara sistem filsafat Ibnu Sina, Mir Damad dan Mulla Sadra. Tampaknya Mir Damad melanjutkan gerakan yang dimulai oleh Ibnu Sina dan diakhiri oleh Sadr al-Muta'allehin. Masing-masing orang bijak besar ini telah menciptakan titik balik dalam proses pemikiran Muslim.
Ibnu Sina adalah pengikut kuat Aristoteles dan filsafatnya, "filsafat Mashaa". Aristoteles, filsuf terbesar dari sekolah Yunani, percaya bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar ini, manusia cukup menggunakan kecerdasannya dengan benar. Dengan mencoba merumuskan hukum-hukum berpikir yang benar (logika), ia berusaha mencegah manusia dari membuat kesalahan dalam berpikir, sehingga cahaya akal dapat memperjelas kebenaran.
Ibnu Sina sepenuhnya berkomitmen pada prinsip-prinsip filsafat Aristoteles, tetapi dia percaya bahwa akal dan agama tidak bertentangan satu sama lain, dan apa pun yang dihukumi akal, agama akan menerimanya. Dan di sisi lain, semua aturan agama, jika dipahami dengan benar, pasti disetujui oleh akal. Oleh karena itu, ia mencoba menerapkan filosofi Aristoteles pada prinsip dan keyakinan agama. Namun terlepas dari upaya Ibnu Sina untuk menyelaraskan filsafat dan agama, ia tidak terlalu berhasil di mata para kritikus.
Gagasan dan pemikiran Ibnu Sina sangat suci bagi para filosof setelahnya, dan untuk waktu yang lama tidak ada orang bijak yang berani mengkritik atau menolak gagasannya. Shahab al-Din Suhrawardi, yang dikenal sebagai Syekh Ishraq, salah satu orang bijak abad keenam Hijriah, adalah orang bijak Muslim pertama yang secara serius mengkritik teori-teori Ibnu Sina. Meskipun Syeikh Ishraq telah menerima banyak prinsip filsafat rasionalis Mashaa, dia percaya bahwa akal saja tidak cukup untuk menemukan seluruh kebenaran. Dia percaya bahwa manusia memiliki cara lain untuk mengetahui dan itu adalah pengalaman mistik. Dengan cara ini, ia mendirikan sistem filsafat Islam lain yang disebut "Filsafat Pencerahan" di mana mistisisme memiliki tempat khusus dalam menjawab masalah utama filsafat.
Mir Damad percaya bahwa Ibn Sina dan Suhrawardi, meskipun telah melakukan upaya yang terpuji, tidak berhasil menyesuaikan sistem filosofi mereka dengan Islam dan Syi'ah. Alasan untuk ini adalah kurangnya penguasaan yang memadai atas sumber-sumber agama dan metode mereka sesuai dengan akal dan syariah. Sebaliknya, Mir Damad telah menggunakan kehadiran para ahli hadits dan narasi terbesar selama bertahun-tahun, dan hidupnya dipenuhi dengan angin inspirasi dari kata-kata Maksum.
Orang bijak yang bijaksana ini, ketika masih remaja, diizinkan untuk meriwayatkan dari banyak ulama pada waktu itu dan mendominasi dan mengelilingi banyak sumber penting dari narasi Syi'ah. Ia juga sangat ahli dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an. Keunggulan ini membuat Mirdamad cukup berhasil dalam penerapan agama dan filsafat di atas para pendahulunya.
Mir Damad sebenarnya adalah pendiri filsafat mazhab Isfahan. Para pemikir besar yang telah terdidik dalam bidang pemikiran ini, selain sangat menyukai Al-Qur'an dan tafsirnya, juga sangat mengenal riwayat-riwayat para Imam (as). Mir Damad memainkan peran yang sangat penting dalam membangun filsafat Syi'ah berdasarkan hadits dan ajaran Islam. Dia menyelaraskan kosmologi Ibnu Sinai dengan Imamologi Syi'ah dan mendasarkan dasar ontologisnya pada keberadaan suci empat belas maksum.
Mir Damad mengkritik keras suasana intelektual seminari Isfahan dan mempersiapkan para pemikir untuk menerima sistem filosofis baru dan, lebih lengkapnya, sebuah revolusi filosofis. Dengan keyakinan yang tak tertandingi, ia menyebut ide-ide filosofis di hadapannya sebagai "kebodohan filosofis" dan menganggap kebijaksanaan dan filosofinya sebagai langkah besar dalam mereformasi dan mempromosikan filsafat Islam.
Tentu saja, orang bijak yang bijaksana ini, terlepas dari sikapnya terhadap masa lalu, tidak memasuki lembah ekstremisme fanatik, dan setelah mengkritik sekolah-sekolah sebelum dia, baik Islam maupun Yunani, dia menggunakan beberapa elemen dan metode yang berguna. Karena itu, ia sama sekali tidak menolak filsafat Yunani dan bahkan menganggap beberapa unsurnya berasal dari kebijaksanaan para nabi. Terlepas dari kritiknya terhadap jalan pemikiran filosofis sebelumnya, Mir Damad telah berperilaku sedemikian rupa sehingga orang lain mengenalinya sebagai kritikus yang adil dan brilian.
Mir Damad percaya bahwa kebijaksanaan sejati adalah kebijaksanaan yang diturunkan kepada umat manusia oleh Pencipta manusia dan melalui para nabi. Filsuf besar ini menyebut judul aliran filsafatnya "Kebijaksanaan Yamani" dan menyatakan dalam tulisannya bahwa "Kebijaksanaan Yamani" adalah kebijaksanaan dan rasionalitas yang sama yang telah terbentuk sepanjang sejarah di dunia Islam. Yuman adalah alegori dari bagian kanan atau timur lembah dari mana Nabi Musa mendengar pesan Tuhan.
Dalam pengertian ini, timur adalah sumber cahaya ilahi dan titik yang berlawanan dengan barat. Dia percaya bahwa kebijaksanaan (filsafat) ini mencakup metode dan teori benar dan salah yang perlu dikritik dan ditambah untuk mendekati kebijaksanaan Yuman yang dibawa oleh para nabi. Mir Damad menganggap dirinya sebagai kritikus dan pembaharu yang sama yang mampu membebaskan kebijaksanaan Yamani dari kesalahan dan kesalahpahaman dan membawanya ke posisi yang layak. Setelah dia, muridnya yang bijak "Hakim Mullah Sadra" mampu mengambil langkah besar dalam menegakkan filsafat Islam dengan membangun kebijaksanaan transenden, sehingga setelah tiga ratus tahun, beberapa filsuf Barat terbesar, termasuk "Henry Corben" duduk mendengarkan pelajarannya.
Mir Damad jatuh sakit parah pada 1040 H ketika dia dalam perjalanan ke Karbala dan Najaf untuk mengunjungi para Imam Maksum as, dan meninggal di dekat Najaf ketika dia berusia tujuh puluh tahun. Tubuh sucinya dengan hormat dibawa ke Najaf Ashraf dan dimakamkan di ambang pintu kompleks suci makam Imam Ali (as). Dengan demikian, buku kehidupan seorang bijak terkemuka dan besar di dunia Islam ditutup dan daun emas dan bercahaya ditambahkan ke sejarah mulia ulama. Semoga arwahnya bersama para auliya Allah.
Qazi Noorullah Shustari
Salah satu ulama besar dunia Syiah di abad ke-16 adalah Qazi Noorullah Shoushtari yang juga dikelola sebagai Syahid Tsalis.
Budaya dan peradaban manusia berhutang kepada pengorbanan para ulama yang menjaga cahaya kesadaran dan kesalehan masyarakat. Membaca kembali sejarah ulama Syiah menunjukkan dengan baik bagaimana iman yang tulus dan tekad baja mereka, bahkan dalam keadaan yang paling putus asa sekalipun, mampu mengusung panji kebangkitan dan menyerahkannya kepada generasi selanjutnya.
Qazi Noorullah Shoushtari lahir di Shushtar pada tahun 956 H dalam keluarga yang dikenal dengan ilmu pengetahuan dan keyakinannya. Ayahnya disebut Sayyid Syarif, seorang ulama terkenal, sedangkan kakek, dan saudara-saudaranya merupakan para sarjana dalam ilmu-ilmu intelektual dan sastra. Lima putra Qazi adalah penulis dan ulama terkemuka di masanya.
Setelah mempelajari pendidikan dasar di Shushtar, Qazi Noorullah melakukan perjalanan ke Mashhad untuk berguru kepada para ulama terkemuka seperti Mawla Abdul Wahed Shoushtari dan Mawla Abdul Rashid Shoushtari.
Kemudian Qazi Noorullah Shushtari bermigrasi ke India pada tahun 993 H dan menetap di kota Agra. Saat itu, Akbar Shah memerintah India. Akbar Shah telah menaklukkan kerajaan besar dengan menaklukkan tanah yang berdekatan. Meskipun dia tertarik pada ilmuwan, tapi dia tidak memiliki keyakinan yang kuat pada agama tertentu. Oleh karena ini ateisme meningkat di India, dan agama-agama ilahi berada dalam kelemahan dan kepunahan. Ketika Qazi Noorullah datang ke India, ia diberi perhatian khusus oleh Akbarshah karena ilmu dan kemampuannya yang luar biasa, dan pada usia 35 tahun ia diangkat sebagai hakim.
Shoushtari memberikan syarakat Akbar Shah bahwa dia akan menerima jabatan sebagai hakim hanya jika dia memilih dan bertindak sesuai dengan ijtihadnya dalam pekerjaan, dan tidak meninggalkan lingkaran empat agama Hanafi, Hanbali, Syafi'i dan Maliki. Akbar Shah menerima persyaratan tersebut.
Penguasaan Hakim Noorullah terhadap masalah yurisprudensi Islam yang luas dan matang, sedemikian rupa sehingga fatwa dan penilaiannya diterima oleh ulama Sunni dan membangkitkan kekaguman mereka.
Qazi Noorullah sangat adil dan sangat menentang para penyuap dan penasehat dalam pekerjaannya mengadili, dan dia menghakimi hanya atas dasar keadilan. Beberapa percaya bahwa Qazi Noorullah pertama-tama menyembunyikan keyakinan mazhab yang dianutnya karena Taqiyah. Tapi kelompok sejarawan lain percaya bahwa menurut beberapa bukti sejarah seperti perdebatan, tulisan dan komentar para ulama pada waktu itu, menunjukkan tentang keyakinannya sebagai penganut Syi'ahnya yang dikenal oleh orang-orang sezamannya. Bahkan beliau dikenal sebagai salah satu ulama yang menjelaskan dan mempromosikan Syiah dan cinta Ahl al-Bayt di India.
Qazi Noorullah Shoushtari adalah seorang penulis yang cakap, produktif dan penyair berbakat yang melakukan yang terbaik untuk menyebarkan agama Syiah. Karya terpenting ulama syahid ini adalah buku-buku terkenal "Ahqaq al-Haqq wa Azhaq al-Batil" dan "Majalis al-Mu'minin".
Ketika itu, salah seorang ulama Syafi'i dari Iran telah menulis sebuah buku berjudul "Ibtal Nahj al-Batil" yang menolak kepercayaan Syi'ah yang isinya telah menyebabkan penganiayaan terhadap Syi'ah.
Qazi Noorullah menulis kitab "Ahqaq al-Haqq wa Azhaq al-Batil" yang abadi dalam sejarah. Beberapa orang percaya bahwa penulisan buku inilah yang menyebabkan kesyahidan Qazi Noorullah.
Buku Majalis al-Mu'minin adalah karya abadi lain Qazi Noorullah Shoushtari, yang merupakan buku terkenal yang ditulis dalam bahasa Persia. Qazi Noorullah juga menulis buku ini untuk membela Syiah. Ketika itu ada pihak yang menyebut kemunculan Syi'ah bukan awal dari Islam tetapi era Safavi di Iran abad ke-14.
Dalam buku ini, penulis memperkenalkan sejarah Syiah dan para tokohnya. Buku ini, yang dianggap semacam ensiklopedia, ditulis empat ratus tahun yang lalu dalam situasi di mana tidak ada alat penelitian modern dan tidak ada kondisi politik dan sosial untuk penelitian bebas para sarjana Syiah. Namun iman yang kuat dan kemauan yang tinggi, menyebabkan Qazi Noorullah Shoushtari menyelesaikan penulisan buku ini. Meskipun dia tidak mengharapkan penghargaan, dan ketenaran, tetapi demi kecintaannya pada ajaran Islam Syiah.
Qazi Noorullah Shoushtari selama hidupnya aktif membimbing masyarakat dan menjalankan tugasnya sebagai hakim yang berusaha adil dan mengajar di India sampai kematian Akbar Shah wafat. Kemudian, pada masa pemerintahan putra Akbar Shah, Jahangir Shah, kebencian terhadap Qazi Noorullah meningkat dan musuh-musuhnya berusaha keras untuk mengubah pandangan Jahangir Shah tentang beliau.
Setelah Qazi Noorullah menulis buku Majalis al-Mu'minin, musuh-musuhnya memutuskan untuk melenyapkannya, dan akhirnya, dengan fitnah yang ditujukan kepadanya, mereka membujuk raja untuk menjatuhkan hukuman kepada Qazi Noorullah dan mencambuknya berulang kali hingga beliau gugur.
Ketika itu Qazi Noorullah berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Dengan alasan ini, ia disebut martir ketiga. Jenazah Qazi Noorullah Shushtari yang berdarah dimakamkan di Akbarabad, India. Makam ulama alim ini kini menjadi tempat ziarah para pecinta mazhab Ahl al-Bayt. Qazi Noorullah mengakhiri hidupnya sebagaimana uacapan mulia Imam Ali bin Abi Thalib, “Allah telah menetapkan kematian bagi satu golongan dan kematian bagi golongan yang lain, dan masing-masing akan mencapai waktu yang telah ditentukan sebagaimana ketetapan-Nya. Maka berbahagialah para mujahidin karena terbunuh di jalan ketaatan kepada Allah,”.
Ahmad bin Mohammad Ardabili (3)
Pada dua bagian sebelumnya dibahas tentang ulama besar Abad ke-10 Ahmad bin Mohammad Ardabili yang lebih dikenal dengan Moghaddas Ardabili, dan pelayanan luar biasa yang diberikannya dalam menghidupkan Hauzah Ilmiah Najaf, dan memperkuat ajaran Syiah di Iran.
Selain itu juga sudah dibahas tentang metode fikih khusus Mujtahid Besar Syiah ini, serta jalan yang dirintisnya untuk semakin mengukuhkan fikih Syiah. Sementara pada bagian ini akan dibahas tentang karakteristik kepribadian Mohaghegh Ardabili sehingga sampai dikenal sebagai Moghaddas yang artinya “Orang Suci”.
Mohaghegh Ardabili dengan mengukuhkan fikih pada sandaran riwayat dan interaksi serta penelahaan ulang seluruh pintu fikih, secara berani mengemukakan pendapat barunya, dan karena sikap adil dan rendah hatinya, ia berhasil meyakinkan para penentang.
Mohaghegh Ardabili dengan bersandar pada prinsip kemudahan dalam Islam, percaya bahwa sebagian aturan ketat tanpa argumen yang mempersulit seseorang tidak memiliki landasan agama. Dengan demikian menurut pandangan Ardabili, fikih adalah pengetahuan untuk kehidupan dan kebahagiaan masyarakat. Pada bagian ini akan diulas kepribadian Moghaddas Ardabili yang bisa menjadi teladan praktis bagi kita dalam akhlak dan kesucian jiwa.
Dikarenakan ketakwaannya yang tinggi dan memiliki segudang kemuliaan yang disaksikan masyarakat, ulama besar Syiah ini dikenal sebagai Moghaddas atau orang suci. Diceritakan bahwa selama 40 tahun Ardabili bukan hanya tidak melakukan dosa, bahkan tidak melakukan hal-hal yang makruh dan mubah. Artinya, ia hanyak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mustahab dan wajib saja.
Suatu hari seorang pria bersikeras bertanya kepada Moghaddas Ardabili, apakah Anda benar-benar tidak melakukan dosa ? Ardabili menjawab, “Memangnya Anda makan sesuatu yang najis atau bahkan bersedia untuk sekadar melihatnya ? Pandangan kita terhadap dosa juga seperti ini.”
Benar berdasarkan kesaksian para ulama dan pemuka agama, Ardabili dalam zuhud, takwa dan ibadah telah sampai pada derajat terakhir, dan tidak ada ulama lain yang menyamainya. Selama hidupnya, ia adalah ulama yang paling menjaga diri, paling taat beribadah, dan paling bertakwa, sampai masyarakat biasa pun mengumpamakan dirinya sebagai perwujudan takwa dan kesucian.
Moghaddas Ardabili selain merupakan penjelmaan dari kesucian, bagi masyarakat kebanyakaan bahkan bagi ulama, adalah teladan dalam akhlak yang baik dan pemberani. Banyak kisah yang menceritakan tentang sifat rendah hati, kesabaran, kedermawanan, keberanian, dan kedekatan dengan masyarakat yang dimiliki Ardabili. Mendengar kisah-kisah tersebut dapat membantu manusia mengenal tangga-tangga kemanusiaan.
Di antara kisah itu, ulama besar Syiah ini diceritakan selalu menerima hadiah-hadiah yang diberikan kepadanya mulai dari yang tidak terlalu berharga sampai yang sangat berharga. Terkadang ia menerima hadiah kain yang sangat bernilai setara emas, dan biasanya Syeikh Ardabili akan mengenakan kain semacam itu sebagai serban, lalu pergi keluar rumah dengannya, di perjalanan ia akan memberikan sepotong kain berharga itu kepada setiap fakir miskin yang ditemuinya sehingga ketika tiba di rumah tidak ada lagi yang tersisa selembar pun di kepalanya.
Kedermawanan dan keberanian Moghaddas Ardabili sedemikian tingginya sampai sebagian orang membandingkannya dengan cincin emas. Di masa paceklik, Ardabili membagikan semua yang ada di rumahnya kepada fakir miskin, dan menyisakan untuk keluarganya setara dengan jatah untuk seorang fakir. Suatu kali istri Mohaghegh Ardabili protes, dan mengkhawatirkan anak-anaknya yang kelaparan. Ardabili langsung keluar rumah tanpa menjawab protes istrinya untuk beritikaf di Masjid Kufah.
Dua hari berlalu, seorang pria tak dikenal membawa sejumlah banyak gandum dan tepung ke rumah Ardabili. Pria tersebut mengaku membawakan semua itu atas perintah Ardabili yang sedang beritikaf di masjid. Sekembalinya Ardabili ke rumah, istri beliau mengaku senang dengan kualitas gandum yang dikirimnya, sementara Ardabili sendiri bingung karena merasa tidak pernah menyuruh orang untuk mengirim gandum tersebut, kemudian ia sadar itu merupakan hadiah dari Ilahi dan langsung bersyukur kepada Allah Swt.
Ketawadhuan dan rendah hati merupakan sifat menonjol lain yang dimiliki Moghaddas Ardabili. Diceritakan suatu hari sebuah rombongan melewati kota Najaf, dan bermaksud untuk beristirahat sejenak di sana. Salah satu anggota rombongan yang tampak lelah, dan mukanya penuh debu melihat Moghaddas Ardabili tapi tidak mengenalnya. Ia pun meminta Ardabili untuk mencucikan bajunya yang kotor dan berjanji akan membayarnya.
Moghaddas Ardabili menerima tawaran orang itu dan mencucikan bajunya. Orang-orang yang mengenal Moghaddas Ardabili mencaci pemilik baju sampai ia malu dan meminta maaf, tapi Moghaddas Ardabili dengan tenang berkata, “Hak seorang Mukmin dari saudaranya lebih dari sekadar mencucikan baju, lalu mengapa harus meminta maaf.”
Seluruh usia dan kemampuan Moghaddas Ardabili digunakan untuk berkhidmat kepada ajaran Ahlul Bait as, sehingga ia diberi kesempatan bertemu dengan Imam Mahdi af.
Salah seorang murid Ardabili bernama Mir Feizollah Tafreshi menceritakan, “Suatu malam selepas belajar, saya duduk di kamar saya yang berhadapan dengan Makam Imam Ali as. Saya melihat seseorang melangkah ke Makam Imam Ali as di tengah malam. Saya berpikir mungkin ia seorang pencuri, maka saya pun mengikutinya. Setelah melihatnya dari dekat saya baru menyadari bahwa orang itu adalah Moghaddas Ardabili. Ketika sampai ke dekat Pusara Suci Imam Ali as, pintu-pintu Makam tiba-tiba terbuka. Perasaan ingin tahu saya muncul dan saya terus mengikutinya. Syeikh Ardabili berdiri di depan Pusara Suci Imam Ali dan saya mendengar ia berbicara dengan seseorang. Kemudian ia keluar dan melangkah ke Masjid Kufah. Di dalam masjid dekat mihrab ia berbicara lama dengan seseorang, lalu ia pun pulang.”
Tafreshi menambahkan, “Saat melangkah pulang, akhirnya Moghaddas Ardabili menyadari dirinya sedang diikuti. Saya pun berusaha menjelaskan kepadanya. Setelah meminta saya berjanji untuk tidak menceritakan apa yang terjadi selama beliau masih hidup, Syeikh berkata, ‘Saya menemukan permasalahan dalam pembahasan agama. Saya mendatangi Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib as, dan saya bertanya kepada beliau. Imam Ali as berkata, hari ini Imam Mahdi af akan datang ke Masjid Kufah, pergilah ke sana dan bertanyalah kepadanya. Lalu saya pun pergi ke Masjid Kufah dekat mihrab, dan menanyakan masalah tersebut kepada Imam Zaman af, dan saya menerima jawabannya.' Berarti orang yang saya lihat di Masjid Kufah itu adalah Imam Mahdi af.”
Ya, di dunia yang bagi kebanyakan orang dipenuhi oleh kegelapan ini, ada sejumlah pembesar yang karena ketakwaan dan kesucian membawa dirinya sampai ke sumber cahaya dan meraih kebahagiaan.
Fakih dan ulama besar Moghaddas Ardabili akhirnya meninggal dunia pada bulan Rajab 993 Hijriah Qamariyah. Cahaya fikih yang menerangi Dunia Syiah dari Kota Ardabil itu redup setelah menjalani seluruh hidupnya dengan kerja keras tak kenal lelah di jalan agama dan syariat abadi Islam.
Ia meninggal dunia di kota suci Najaf, Irak. Syeikh Ardabili meninggalkan banyak karya berharga layaknya cahaya yang menyinari Islam dan Syiah. Tubuh mulia beliau dikebumikan di kompleks Makam Suci Imam Ali as, dengan harapan sebagaimana di dunia ia mencintai Ahlul Bait as, di akhirat pun bisa bersama mereka.



























