Hak Anak Dalam Islam (3)

Rate this item
(1 Vote)
Hak Anak Dalam Islam (3)

 

Sebelumnya kita telah membahas konsep anak disertai masa kanak-kanak dan akhirnya dalam Konvensi Hak anak dan hukum yang ditetapkan oleh negara-negara di dunia. Pada kesempatan kali ini akan dijelaskan tentang konsep anak dalam hukum Islam.

Dalam ajaran Islam ada perhatian khusus yang diberikan kepada masalah anak-anak dan remaja. Islam memiliki rekomendasi bagi mereka yang akan menikah untuk memiliki anak-anak yang kompeten dan bermanfaat bagi masyarakat. Dalam kumpulan riwayat Syiah dan Ahli Sunnah ada pembahasan khusus pada masalah ini dan banyak riwayat dari Maksumin as telah dikutip terkait masalah ini. Salah satu alasan penting akan penekanan yang dilakukan Maksumin as terkait pemilihan pasangan bagi perempuan dan laki-laki adalah untuk memperhatikan anak-anak dari kehidupan bersama ini. Masyarakat harus memiliki anak yang sehat, seimbang dan kompeten. Karena salah satu hikmah pernikahan, berdasarkan ajaran agama, adalah mempersembahkan anak-anak yang kompeten bagi masyarakat. Setelah pembentukan keluarga, banyak pesanan untuk suami dan istri soal memiliki anak, sehingga keluarga dapat mempersembahkan anak-anak yang kompeten kepada masyarakat.


Berdasarkan ajaran agama, nutfah yang berada di rahim ibu sejak pembuahan sudah memiliki kehidupan dan memiliki hukum-hukumnya sendiri. Isu-isu seperti larangan aborsi, konfrontasi antara kehidupan janin dan kehidupan ibu, kelangsungan kehamilah ketika ibu meninggal dan hukum-hukum terkait masalah ini menunjukkan bahwa awal kehidupan setiap orang adalah sejak masa embrio.

Salah satu riwayat tentang awal masa kanak-kanak sejak pembuahan dan penempatannya di rahim ibu adalah riawayat dari Imam Kazhim as. Mengenai seorang wanita yang takut hamil dan ingin menggunakan obat untuk melakukan aborsi, Imam Kazhim as mengatakan, Anda tida berhak untuk melakukan hal ini. Pada waktu itu, perawi mengatakan, Imam Kazhim berkata, apa yang ingin digugurkannya adalah embrio.

Juga, dalam sebuah riwayat sahih sebagaimana diriwayatkan Abu Ubaidah bahwa dirinya bertanya kepada Imam Baqir as mengenai seorang wanita yang sengaja dan tanpa memberitahukan suaminya menggugurkan janjinya dengan meminum obat. Beliau berkata, bila daging sudah tumbuh di atas tulang, maka ayah anak itu harus membayar diyah... Setelau itu beliau menambahkan, seorang wanita tidak mewarisi diyah anaknya. Saya kemudian bertanya, ia tidak mewarisi diyah? Beliau menjawab, tidak. Karena wanita itu pembunuh janin, jadi dia tidak mewarisi darinya.

Riwayat lain dari Zharif bin Nashih dari Imam Ali as secara eksplisit menyebut janin juga disebut nafs (manusia sempurnya). Kemudian mengutip dari beliau, kemudian ketika telah menjadi ciptaan yang lain, itulah ruh, yang berada dalam diri janin, ia adalah manusia. Ketika janin laki-laki harus membayar diyah 1.000 dinar dan membayar 500 dinar bila perempuan.

Bukti-bukti dalam hukum Islam terkait masalah ini seperti kasus dalam hukum pidana Islam, dimana sesuai dengan hukum ini bila seorang wanita hamil dan melakukan kejahatan lalu dijatuhi hukuman seperti qisas, maka dalam hal ini, hukum Islam menyebut pelaksanaan hukuman harus ditangguhkan karena untuk melindungi hak kehamilan. Bahkan ketika wanita tersebut hamil lewat jalur zina. Karena dalam masalah ini yang melakukan kejahatan adalah ibu dan harus dijatuhi hukuman, tapi tidak boleh melukai janin.

Dengan demikian, dalam Islam, manusia dalam periode janin juga dianggap makhluk hidup, independen dan memiliki hak-hak, dimana melanggar hak-hak ini menyebabkan ibunya harus bertanggung jawab. Oleh karenanya, dalam agama Islam, masa kanak-kanak dimulai sejak kehamilan. Tentu saja periode kehidupan janjin merupakan bagian dari tahapan permulaan anak.


Bahkan dalam sebagian kamus bahasa Arab, kata walad juga dipakai untuk janin. Dikatakan, janin berarti sesuatu yang tertutup dan ia adalah bayi yang berada di rahim ibu. Karena di dalam rahim ibu berarti ia tetutup. Itulah mengapa ia disebut janin.

Lebih penting dari dimulainya masa kanak-kanak adalah akhir dari masa anak-anak yang akan dijelaskan selanjutnya. Di sini kita akan membahas konsep baligh dalam al-Quran. Dalam ayat-ayat al-Qura ada tiga istilah yang dipakai untuk menyebutkan berakhirnya masa kanak-kanak dan sampai pada usia baligh; baligh hulum, baligh nikah dan baligh. Kini secara ringkas akan kami jelaskan.

Dalam ayat 58-59 surat an-Nur untuk akhir dari masa kanak-kanak dipakai istilah baligh hulum. Ayat 59 menjelaskan, Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin...

Kata hulum di sini sebagai bentuk metafora dari baligh. Dengan mencermati apa yang telah dijelaskan, baligh hulum merupakan kata kiasan akan kemampuan seksual anak di usianya dan adanya perubahan pada dirinya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa para ahli tafsir menyebut istilah ini sebagai bentuk kiasan ketika seorang anak memasuki usia baligh.

Ayat 6 surat an-Nisa berbicara mengenai penyerahan harta anak yatim dan mengasuh mereka hingga menikah serta kemampuan mereka membentuk keluarga. Istilah Baligh nikah oleh seluruh ahli fiqih dan tafsir mengartikannya sebagai baligh dan sebagai bentuk kiasan darinya. Tampaknya pengungkapan al-Quran dengan "Hatta idza balaghu an-nikah" tidak sama artinya dengan ayat 59 surat an-Nur, "Wa idza balagha al-athfalu minkum al-hulum", tapi ungkapan balaghu an-nikah selain berbicara tentang sampai pada usia baligh dengan artian seksual, juga bermakna kemampuan sosial seseorang untuk membentuk keluarga.

Dengan kata lain, seseorang ketika mencapai garis batas kesiapan untuk berumah tangga, dimana ia mampu membentuk kehidupan sendiri dari sisi pemikiran dan kemampuan sosial, berarti ia dapat mengatur keluarganya. Jadi ungkapan baligh nikah tidak hanya menunjukkan telah sampai usianya dari sisi seksualitas, tapi mencakup makna yang lebih dari itu bila dibandingkan dengan baligh hulum. Karena Allah Swt dalam masalah ini menggunakan sejumlah istilah dan ingin menggunakan arti khususnya, tidak hanya sekedar ingin menggunakan dua kata yang sinonim.

Ada juga ungkapan lain yang digunakan oleh al-Quran dan itu adalah baligh asyadd, dimana lebih banyak digunakan dari dua kata sebelumnya. Dalam tiga ayat al-Quran disebutkan istilah baligh asyadd. Di dua tempat digunakan dalam bentuk "Liyablughu asyuddakum", seperti dalam surat al-Kahf.

Allamah Thabathabai menyebut dalam sebuah penyebutan baligh asyadd hanya memiliki satu makna saja dan digunakan untuk anak ketika kekuatan fisiknya sudah sempurna dan sifat kekanak-kanakannya telah hilang. Beliau dalam dua tempat dalam buku tafsir al-Mizan menjelaskan bahwa awal baligh asyadd di usia 18 tahun dan sebabnya adalah ketika seorang anak berusia 18 tahun berarti ia telah sampai ke batas baligh asyadd dan sifat kekanak-kanakannya telah hilang.

Dari penjelasan Allamah Thababai dapat diambil kesimpulan bahwa untuk menentukan usia sampai seorang anak pada baligh asyadd pada kenyataannya hanya penentuan kasus. Karena ketika pada usia tersebut dan ditemukan adanya perubahan yang berujung pada kokohnya kekuatan badan dan pertumbuhan rasional, maka dapat ditentukan usia baligh asyadd dari anak tersebut adalah 18 tahun. Selain itu, baligh asyadd adalah akhir dari masa kanak-kanak dan berlanjut hingga masa tua dan disebut dalam al-Quran dengan istilah syaikhukah.


Kesimpulannya, dalam ayat-ayat al-Quran tentang usia baligh anak-anak ada delapan ayat tentang baligh asyadd dan juga ayat-ayat sebelumnya tentang baligh hulum dan baligh nikah. Namun yang dapat dipastikan adalah al-Quran tidak menentukan usia tertentu untuk usia baligh, tapi ada tiga istilah yang dipakai "baligh hulum, baligh asyadd dan baligh nikah". Dari ketiga istilah ini juga tidak ada perbedaan terkait anak laki atau perempuan, begitu juga tidak ada perbedaan soal parameter mencapai usia baligh. Dengan demikian, parameter baligh merupakan hal alami yang mencakup perubahan fisik dan pertumbuhan rasionalitas pada diri anak.

Yang bisa diyakini adalah akhir dari masa kanak-kanak dan memasuki usia dewasa ketika anak sampai pada usia baligh. Sementara baligh hulum hanya terkait dengan kewajiban meminta izin. Artinya, bila ingin menguniversalkannya ke seluruh kewajiban yang lain membutuhkan dalil lain. Sementara untuk menggunakan hartanya, anak-anak harus sampai pada baligh asyadd dan baligh nikah.

Read 845 times