Ayatullah Madarres

Rate this item
(0 votes)
Ayatullah Madarres

 

Tanggal 10 Azar yang bertepatan satu Desember diperingati sebagai hari kesyahidan Ayatullah Modarres di tangan antek rezim Pahlevi.

Seyyed Hassan Tabatabai Zavareh yang dikenal luas dengan panggilan akrab Ayatullah Modarres, lahir pada 1278 Hs di Ardestan. Sejak usia enam hingga empat belas tahun, ia belajar bahasa Persia dan Arab di Shahreza, provinsi Isfahan. Kemudian pindah ke kota Isfahan dan selanjutnya ke Najaf Ashraf, Irak untuk melanjutkan pendidikan agamanya.

Ayatullah Modarres adalah seorang pejuang pemberani dan teguh dalam memperjuangkan kejayaan dan kebesaran Islam di Iran. Dia adalah salah satu pejuang politik paling terkemuka di era Reza Khan dan wakil rakyat Tehran di masa jabatan kedua Majelis Konstitusi Iran. Aspek yang paling menonjol dalam kehidupan politik dari peran Ayatullah Modarres adalah dukungannya terhadap gerakan konstitusional Iran awal abad ke-20.

Wawasan politik dan kekuatan analitisnya yang tinggi membuat beliau terpilih sebagai pengawas persetujuan Majelis Nasional, dan segera setelah ia memasuki Majelis, dengan kata-katanya yang lantang menentang tirani dan kolonialisme. 

Siapapun yang mengenal Syahid Madarres, baik teman bahkan musuhnya sendiri, mengakui kepribadian yang berkarakter. Itulah sebabnya, para tokoh Iran sering mengutip pernyataan beliau yang pernah berkata, "Tuhan tidak memberi saya dua hal, ketakutan dan yang lainnya adalah keserakahan. Siapapun yang memiliki kepentingan nasional dan urusan agama,  maka saya bersamanya; tetapi jika tidak, saya tidak akan bersamanya." 

Iran berhutang budi pada keberanian dan ketangguhan pria heroik ini yang berdiri tegar melawan rezim tiran sehingga tentara bayaran dan penjarah tidak akan menduduki tanah airnya. Sebuah pernyataan terkenal dari Ayatullah Madarres menjadi pengingat bangsa ini yang didasarkan pada pemikiran briliannya, "Agama kami adalah politik kami, dan politik kami adalah agama kami".

Pandangan ini mengemuka dalam konteks dinamika intelektual Iran ketika itu yang masih reven hingga kini. Beberapa intelektual yang dipengaruhi oleh sekularisme Barat melihat tidak ada hubungan antara politik dengan agama dan memisahkan keduanya. Mereka mencoba untuk menghapus peran penting agama dari arena sosial dan politik. 

Padahal, dalam pemikiran Islam, sebagaimana yang dipahami Ayatullah Madarres, terdapat aturan keluarga dan urusan sosial mayarakat, dan kebahagiaan dunia dan akhirat, selain masalah ritual individu. Oleh karena itu, para penyusun undang-undang dan politisi Muslim harus bertindak sesuai dengan Syariah Islam dan ajaran agama, agar masyarakat Islam semakin dekat dengan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi dari hari ke hari.

Dalam pemerintahan Islam, hubungan agama dan politik dipertimbangkan dalam segala keadaan, dan politik diwujudkan dalam ranah nilai-nilai agama. Keterikatan erat agama dan politik menunjukkan kelengkapan dan kesempurnaan ajaran Islam. 

Tujuan kebangkitan para Nabi untuk membimbing masyarakat menuju kesempurnaan dalam arahan nilai-nilai ketuhanan dan menghilangkan dari segala bentuk kerusakan dan penindasan. Alquran mempertimbangkan filosofi kebangkitan para Nabi dalam menegakkan keadilan sosial dan pengelolaan yang adil dalam urusan umat Islam, sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Hadid ayat 25, "Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..."

Menurut ayat ini, Islam sangat erat hubungannya dengan politik dan pemerintahan. Pandangan senada disampaikan Syahid Murthadha Muthahhari yang membandingkan hubungan antara "agama dan politik" dengan hubungan antara "jiwa dan raga" dan "kulit dan daging" yang tidak bisa dipisahkan.

Dalam Islam, ada aturan dan regulasi yang bisa ditegakkan mengenai peran pemerintah dalam berbagai masalah masyarakat, misalnya aturan ekonomi publik seperti zakat dan jizyah, aturan hukum seperti diyat dan qisas, dan lainnya. Oleh karena itu, aturan dan hukum dalam agama Islam, di satu sisi ditujukan untuk menyebarkan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan yang tinggi. Sedangkan  di sisi lain diarahkan untuk mengatur urusan masyarakat di jalan keadilan sosial. Dari aspek inilah pemerintahan Islam menunjukkan signifikansinya, termasuk di dalamnya kewajiban seorang politisi Muslim tidak boleh mengejar tujuan pribadi, dan tidak boleh menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Lebih dari itu, tujuan berpolitik harus diarahkan untuk melayani kepentingan masyarakat.

Sirah Nabawi menunjukkan bahwa agama tidak terpisah dari politik. Sebab Nabi Muhammad Saw sendiri membentuk pemerintahan yang adil, dan bertanggung jawab sebagai eksekutif dan yudikatif di dalamnya. Imam Ali juga mendirikan pemerintahan berdasarkan keadilan dan pelaksanaan nilai-nilai ilahi, dan pemerintahan singkat Imam Hassan, dan perlawanan Imam Hussein melawan rezim tiran Yazid sebagai referensi historis yang penting tentang urgensi pemerintahan yang adil dan Islami.

Imam Khomeini juga menekankan masalah ketidakterpisahan agama dan politik dalam pernyataannya yang terkenal, "Islam adalah agama politik dalam semua aspek politiknya. Hal ini perlu dijelaskan bagi siapa saja yang tidak mempertimbangkan aturan pemerintahan, politik, sosial dan ekonomi Islam. Jadi siapapun yang berpikir bahwa agama terpisah dari politik tidak mengenal agama maupun politik."

Masalah keadilan dan upaya penegakkannya di tengah masyarakat sangat ditekankan dalam berbagai ayat al-Quran. Surat Nisa ayat 135, al-Quran menjelaskan masalah penegakkan keadilan di tengah masyarakat, "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan,".

Di bagian lain dalam surat Al-Maidah ayat 8, Allah swt berfirman," Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,".

Ungkapan “Agama kami adalah politik kami dan politik kami adalah agama kami”, yang diucapkan oleh Syahid Modarres didasarkan ajaran kitab suci Islam dan sunah para Nabi dan Imam, sebagai salah satu faktor kekuatan internal Muslim. Jika  negara-negara Muslim mempertimbangkan ide ini dalam hubungan internal dan eksternal mereka, maka tidak ada celah bagi campur tangan asing dalam urusan mereka.

Ayatullah Khamenei menjelaskan tentang ciri-ciri kepribadian Ayatullah Modarres dengan mengatakan, "Ciri utama dari Madarres, tidak ada faktor yang bisa mempengaruhi perjuangannya dari intimidasi, ancaman, penyuapan atau penipuan. Dia tidak takut mati selama hidupnya dan hanya berbicara tentang kepentingan nasional dan kepentingan masyarakat .... Dia tidak tunduk pada partai dan tidak tergoda oleh janji. Modarres adalah orang saleh yang secara tepat dikenal sebagai simbol esensi bangsa ini di parlemen.

Read 803 times