کمالوندی

کمالوندی

Minggu, 20 Desember 2020 17:38

Islamophobia di Barat (34)

 

Edisi kali ini mengulas tentang pola baru serangan Islamophobia di Inggris serta serangan teror ke masjid-masjid di Jerman, Italia, dan Belanda.

Pola baru mulai muncul dalam kasus serangan Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Eropa. Dalam kasus terbaru, sejumlah warga Inggris di kota London, West Midlands, dan Yorkshire menerima surat yang berisi tentang usulan penetapan tanggal 3 April sebagai “Punish a Muslim Day” atau Hari Menghukum Muslim.

Sejumlah warga Inggris di London, West Midlands dan Yorkshire mengatakan mereka menerima surat yang dikirim melalui pos. Surat itu berbunyi, "Mereka telah menyakiti Anda, mereka membuat orang-orang yang Anda cintai menderita. Mereka telah menyebabkan Anda sakit dan sakit hati. Apa yang akan Anda lakukan tentang itu?"

Selanjutnya menawarkan hadiah bagi penyerang yaitu 10 poin untuk serangan verbal terhadap seorang Muslim, 50 poin jika melemparkan air keras kepada seorang Muslim, 1.000 poin jika mengebom sebuah masjid, dan 2.500 poin jika melakukan serangan nuklir ke Mekkah.

Ada lebih dari 2,5 juta orang Muslim di Inggris, di mana Islam adalah agama terbesar kedua.

Masyarakat Muslim Inggris, para tokoh agama, politisi, dan kelompok pembela hak-hak sipil mengungkapkan rasa takut dan kemarahan atas perkembangan tersebut.

"Kampanye surat keji yang dikirim ke Muslim di seluruh Inggris ini telah memicu keresahan dan kecemasan serius. Kami menyambut tindakan yang diambil oleh polisi untuk menyelidiki kasus ini," kata Miqdaad Versi, Wakil Sekjen Dewan Muslim Inggris.

"Kasus ini mencerminkan meluasnya kebencian terhadap Muslim di samping kebangkitan sayap kanan. Para pejabat terpilih Inggris perlu melawan dan mengambil tindakan terhadap Islamophobia dengan cara yang sama ketika mereka melawan fanatisme terhadap komunitas lain," tambahnya.

Kepala Hubungan Antaragama Gereja Inggris, Andrew Smith mengatakan, "Kami marah mendengar pengiriman surat tentang Hari Menghukum Muslim. Ini adalah waktunya untuk melipatgandakan upaya kami demi membangun perdamaian di masyarakat kami dan mendukung mereka yang merasa takut atau terintimidasi."

Aksi protes menolak pembangunan masjid di Inggris.
Tell MAMA Inggris – sebuah organisasi yang memantau kejahatan rasial anti-Muslim – mengatakan bahwa pihaknya telah bekerja dengan polisi. "Kasus ini sedang ditindaklanjuti dengan sangat serius," kata organisasi itu.

"Sangat penting bahwa semua surat dan amplop disimpan sebagai bukti bagi polisi untuk diselidiki," kata Tell MAMA.

Seorang anggota Tell MAMA mengatakan, "Orang-orang di Birmingham, Cardiff, Leicester, London, dan Sheffield juga telah melaporkan menerima surat tersebut."

"Ini menimbulkan cukup banyak ketakutan di masyarakat," kata Iman Atta, Direktur Tell MAMA. "Mereka bertanya apakah mereka aman, apakah anak-anak mereka aman untuk bermain di luar. Kami telah memberitahu mereka untuk tetap tenang," tambahnya.

Polisi Metropolitan London dan pejabat lainnya telah memperingatkan warga Inggris untuk waspada, sementara para pejabat kontraterorisme sedang menyelidiki kasus ini.

Naz Shah, seorang anggota Parlemen Inggris dari Bradford West, mengatakan di akun Twitter-nya bahwa anggota komunitasnya telah menerima surat-surat tersebut dan situasinya sekarang “sangat menyedihkan, tidak hanya mereka yang menerima surat itu, tetapi juga untuk komunitas yang lebih luas.

"Saya mengimbau masyarakat luas untuk tetap waspada dan melaporkan segala kegiatan mencurigakan kepada polisi. Kita berdiri bersama dan saling membantu, dan hal apapun tidak dapat menciptakan perpecahan di antara kita. Ini adalah penyebaran kebencian dan tidak akan berhasil," tegas Naz Shah.

Surat tersebut menunjukkan bahwa para pengobar Islamophobia di Inggris dan negara-negara Eropa lainnya, ingin menciptakan ketakutan di tengah warga Muslim sehingga mereka terisolasi dan memaksa mereka meninggalkan Inggris.

Pola lama menciptakan ketakutan terhadap warga Muslim Eropa adalah menyerang pusat-pusat kegiatan Islam, terutama masjid dan rumah ibadah. Tiga masjid diserang di Jerman oleh kubu sayap kanan pada 26 Maret 2018. Polisi Jerman menyatakan sebuah masjid di Berlin dibakar, tetapi tidak jatuh korban.

"Masjid di distrik Reinickendorf dibakar oleh tiga remaja ekstrem," kata polisi Jerman.

Dalam kasus lain, sebuah masjid Turki di kota Lauffen am Neckar, selatan Jerman diserang dengan bom molotov yang memicu kobaran api, tetapi berhasil dipadamkan oleh imam masjid tersebut.

Jaksa dan polisi mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa insiden itu dianggap sebagai kejahatan yang bermotif rasisme dan Islamophobia. Imam masjid sedang berada di dalam saat serangan terjadi dan kasus ini sedang diselidiki sebagai percobaan pembunuhan.

Serangan molotov ketiga dilakukan terhadap sebuah masjid yang terletak di distrik Baden-Wurttemberg, yang terhubung dengan bandar Lauffen Jerman. Tidak ada jamaah yang sedang shalat cidera, namun diberitakan ada beberapa kerusakan kecil di masjid yang dimiliki Islamic Community National View (IGMG) ini.

Sekretaris Jenderal IGMG, Bekir Altas mengatakan, kekerasan terhadap Muslim dan rumah ibadah yang tumbuh di Eropa sudah pada taraf mengkhawatirkan. "Serangan ini harus diselesaikan secepat mungkin. Serangan Islamophobia jangan dianggap tidak penting, pemerintah Baden-Wurttemberg harus bertindak,” serunya.

Serangan kelompok anti-Islam terhadap sebuah masjid di Jerman.
Serangan terhadap pusat-pusat kegiatan umat Islam di Jerman meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Investigasi kasus seperti ini biasanya tidak membuahkan hasil dan jika pun pelakunya diketahui, ia tidak diberi hukuman yang bisa memberikan efek jera.

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri Jerman, hampir 1.000 serangan terhadap Muslim dan pusat-pusat umat Islam terjadi di negara ini pada 2017 dan lebih dari 30 orang cidera dalam insiden itu.

Serangan Islamophobia juga dilaporkan terjadi di Italia dan Belanda. Sebuah masjid di kota Padova, Italia diserang dengan lemparan api oleh kelompok anti-Islam dan menyebabkan pintu masuk masjid rusak ringan.

Di Italia hanya ada delapan masjid dengan arsitektur bangunan yang jelas seperti kubah dan menara. Ada juga 800 pusat kebudayaan Islam dan mushalla di negara itu, beberapa di antaranya terletak di garasi, basement, dan gudang, dan dipakai sebagai ruang shalat atau kegiatan pendidikan dan budaya.

Kelompok anti-Islam dan anti-imigran, PEGIDA memprotes pembangunan sebuah masjid di kota Enschede, Belanda. Para anggota PEGIDA memasuki lokasi pembangunan masjid baru di Enschede dan kemudian membuat 23 potong kayu salib dan mengecatnya dengan warna merah darah, secara harfiah tampak seperti darah babi.

PEGIDA Belanda dalam sebuah pesan di media sosial menulis, "Islam berarti kebencian dan terorisme. Oleh karena itu, hari ini kami menunjukkan reaksi terhadap pembangunan sebuah rumah kebencian di Enschede. Kami akan melakukan apapun untuk melawannya."

PEGIDA adalah singkatan dari Orang Eropa Patriotik Melawan Islamisasi Barat. Gerakan ini muncul pada Oktober 2014 di kota Dresden, Jerman. Tujuannya adalah menolak kedatangan imigran ke Barat dan mencegah bertambahnya populasi Muslim di negara-negara Eropa.

Minggu, 20 Desember 2020 17:33

Islamophobia di Barat (33)

 

Sentimen anti-Muslim meningkat di Amerika Serikat sejak Donald Trump berkuasa di negara itu.

Southern Poverty Law Center (SPLC) – organisasi advokasi hukum AS yang fokus pada hak-hak sipil dan kepentingan publik – dalam sebuah laporan menyatakan pada 2017 atau bertepatan dengan tahun pertama kepemimpinan Trump, jumlah kelompok anti-Islam di AS bertambah dari 101 menjadi 114 kelompok.

Menurut SPLC, jumlah kelompok penyebar kebencian di Amerika naik 20 persen dalam tiga tahun terakhir. Sebanyak 954 grup penyebar kebencian melakukan aktivitas di negara itu sampai 2017 dan pertumbuhan mereka mencapai empat persen dibanding tahun sebelumnya.

Tidak satupun dari presiden AS yang secara terbuka menunjukkan sikap anti-Islamnya seperti Trump. Sejak awal berkuasa, Trump memperlihatkan sikap anti-Islam dengan melarang warga dari tujuh negara Muslim memasuki wilayah Amerika.

Dia menganggap Muslim sebagai teroris kecuali terbukti sebaliknya. Dalam beberapa insiden serangan teror di AS selama satu tahun terakhir, Trump selalu berusaha untuk memperkenalkan Muslim sebagai pelakunya.

Trump tidak hanya seorang anti-Muslim, tetapi juga rasis dan penyebar kebencian. Sebagian besar suara yang dikantonginya dalam pilpres 2016 berasal dari para pendukung supremasi kulit putih. Masyarakat Amerika juga mengakui fakta ini.

Dalam sebuah survei, setengah dari warga Amerika menyebut Trump sebagai seorang rasis. Berdasarkan survei pusat riset urusan publik, 57 persen orang dewasa yang mencakup setiap delapan dari 10 warga kulit hitam, tiga perempat Hispanik, dan hampir setengah dari warga kulit putih juga menganggap Trump sebagai seorang rasis.

57 persen warga Amerika percaya bahwa kebijakan Trump untuk komunitas Muslim tidak tepat. 56 persen juga memandang kebijakan dia berdampak buruk bagi warga Hispanik. 57 persen yang mencakup tiga perempat warga kulit hitam percaya bahwa kebijakan tersebut sangat buruk bagi mereka.

Emily Swanson dan Russell Contreras dalam sebuah laporan di The Associated Press menulis, “Hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat AS terpecah mengenai isu etnis pasca kemenangan Trump dalam pemilu presiden. Konflik etnis dan agama di tengah masyaraat AS semakin mendalam terutama setelah aksi pawai pendukung supremasi kulit putih, penggunaan kalimat ‘lubang toilet’ oleh Trump dalam menyebut negara-negara Afrika, dan permintaannya untuk membangun tembok pembatas di perbatasan dengan Meksiko.”


Sentimen anti-Islam dan rasisme tidak hanya tumbuh di Amerika saja selama tahun 2017. Di benua Eropa, sentimen anti-Islam serta serangan terhadap warga Muslim dan pusat-pusat kegiatan Islam meningkat setelah kemenangan partai-partai ekstrem kanan.

2017 adalah tahun kemenangan besar bagi partai-partai ekstrem kanan. Di Jerman, Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) memperoleh hampir 13 persen suara dan menguasai 96 kursi di Bundestag. Ini adalah pertama kalinya sejak Perang Dunia II, di mana sebuah partai dengan semangat anti-imigran, rasis, dan anti-Islam berhasil masuk ke parlemen Jerman.

Seiring masuknya kubu ekstrem kanan di kancah politik Jerman, serangan terhadap Muslim dan tindakan rasis juga meningkat di negara Eropa itu. Menurut data Kementerian Dalam Negeri Jerman pada 2017, 950 serangan anti-Islam tercatat di Jerman. Sebanyak 33 orang terluka dalam serangan anti-Islam di Jerman pada 2017.

Lembaga-lembaga pemerintah Jerman dalam sebuah laporan mencatat bahwa lebih dari 60 serangan berat terjadi terhadap masjid dan pusat kegiatan Islam lainnya, di mana kelompok ekstrem kanan Jerman terlibat di hampir semua insiden tersebut.

Kejahatan anti-Islam yang tercatat kebanyakan berhubungan dengan kasus-kasus seperti propaganda luas terhadap Muslim di dunia maya, surat-surat bernada ancaman, serangan terhadap wanita Muslimah, serangan terhadap orang Muslim, perusakan masjid, dan penulisan grafiti-grafiti oleh kelompok Neo-Nazi.

Ketua Dewan Pusat Islam Jerman, Aiman Mazyek mengatakan data tersebut tidak mencatat semua kasus kriminal anti-Islam dan angka yang sesungguhnya lebih besar dari angka-angka resmi pemerintah.

Menurut keterangan Aiman Mazyek, polisi dan jaksa Jerman tidak menunjukkan sikap sensitif dalam banyak kasus dan oleh karena itu, banyak kasus tidak tercatat dalam statistik.

Kelompok-kelompok ekstrem kanan di Jerman menganggap kedatangan Muslim di negara itu sebagai bahaya bagi budaya Jerman dan budaya Eropa.

Ulla Jelpke, seorang pakar urusan dalam negeri Jerman dari partai sayap kiri, percaya bahwa Islamophobia di Jerman berhubungan dengan kemunculan partai baru sayap kanan, Partai Alternatif untuk Jerman (AfD). Partai ini dalam AD/ART-nya menyatakan Islam bukan bagian dari Jerman.

“Partai AfD memperkuat sentimen anti-Islam. Orang-orang anti-Islam telah membuka jalannya ke parlemen dan mereka akan menggunakan podium parlemen untuk memprovokasi masyarakat melawan warga Muslim Jerman,” tambahnya.

Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) terus berusaha meningkatkan sentimen anti-Muslim di negara itu.
Semangat anti-Islam sedang mengakar di antara pemerintah-pemerintah Eropa. Di sini, kita tidak boleh melupakan peran lobi Zionis di Amerika dan Eropa dalam meningkatkan sentimen anti-Islam di AS dan Eropa.

Arnoud Van Doorn – politisi Belanda pembuat film Fitna – akhirnya memilih masuk Islam dan ia menyingkap saran-saran yang ia terima dari lobi Amerika-Israel untuk memproduksi film dengan tujuan menyebarkan Islamophobia.

Van Doorn adalah politisi Belanda dari kubu ekstrem kanan dan mantan anggota parlemen negara itu. Ia memutuskan masuk Islam setelah memproduksi film yang melecehkan kesucian al-Quran dan Rasulullah Saw dengan judul “Fitna.”

Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar al-Rai Kuwait, Van Doorn menyampaikan penyesalan atas produksi film tersebut dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di balik layar.

“Setelah produksi film itu, saya mulai mengerti bahwa banyak masyarakat tidak suka dan perasaan mereka terluka secara mendalam. Saya sekarang ingin berbuat sesuatu meskipun kecil untuk menebus kesalahan yang salah lakukan dengan membuat film tersebut,” ujarnya.

Mengenai kisahnya menjadi muallaf, Van Doorn menuturkan, “Kejadian ini tidak terjadi tiba-tiba dan sekitar 1,5 tahun setelah pembuatan film itu, saya mempelajari dan meneliti agama Islam, tetapi saya tidak punya motivasi untuk menjadi seorang Muslim.

Setelah melakukan penelitian saya menyadari bahwa Islam adalah agama yang baik dan punya jawaban untuk setiap pertanyaan, dan saya merasa inilah waktunya bagi saya untuk menjadi seorang Muslim.

Setelah itu, saya membaca kisah sulitnya mengajak masyarakat kepada tauhid dan penderitaan yang diderita Rasulullah Saw di jalan dakwah. Setelah saya menjadi Muslim, banyak teman-teman meninggalkan saya dan saya juga kehilangan pekerjaan,” ungkapnya. 

Minggu, 20 Desember 2020 17:32

Islamophobia di Barat (32)

 

Fenomena Islamophobia dan sentimen anti-Muslim berkembang luas di Inggris, dan hal ini juga diakui oleh para politisi negara itu. Ketua Partai Buruh Inggris, Jeremy Corbyn mengecam keras Islamophobia selama berkunjung ke sebuah masjid di utara London pada Februari 2018.

“Islamophobia adalah masalah nyata dalam masyarakat kita, seperti bentuk-bentuk lain dari rasisme,” kata Corbyn di masjid Finsbury Park. “Wanita Muslim menghadapi pelecehan rasis secara rutin di jalanan Inggris,” tambahnya. Menurutnya, Islam adalah simbol perdamaian dan pengorbanan.

Salah seorang anggota kabinet Inggris di era Perdana Menteri David Cameron, Sayeeda Warsi dalam sebuah pernyataan pada Februari 2018 mengatakan, cara beberapa media Inggris menggambarkan Islam dan Muslim secara negatif jauh lebih buruk daripada tahun 2011.

Berbicara di hadapan Komite Urusan Dalam Negeri Parlemen Inggris tentang “kejahatan rasial dan konsekuensinya,” Warsi menuturkan Muslim Inggris terus-menerus menjadi sasaran oleh media-media cetak tertentu.

“Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara tentang penggambaran negatif ini oleh media-media cetak” tambahnya. Warsi menjelaskan bahwa gadis-gadis Muslim yang mengenakan jilbab dan mudah diidentifikasi sebagai Muslim sekarang hadir di tengah masyarakat dengan rasa takut.

Dia mendesak perdana menteri Inggris dan pemimpin partai oposisi untuk berbicara tentang kontribusi positif umat Islam kepada publik Inggris.

Pada kesempatan itu, Ketua Persatuan Jurnalis Nasional Inggris, Chris Frost mengakui fakta itu dan menyebutnya sebagai masalah besar. Dia mengatakan kepada komite bahwa beberapa bukti yang ia kumpulkan mengerikan, yaitu bagaimana beberapa editor memerintahkan wartawan mereka untuk menulis cerita dengan cara tertentu.

“Salah satu cara terbaik menjual koran adalah membuat orang percaya bahwa ada ancaman yang mereka hadapi. Dengan adanya Daesh, umat Islam menjadi sasaran dan diperkenalkan sebagai ancaman,” ungkapnya.

Frost mencatat bahwa sebanyak 64 persen publik Inggris menerima informasi tentang Islam dan Muslim melalui media, dan sebagian besar tidak mencari informasi lebih lanjut.

Kampanye Visit My Mosque Day.
Di tengah meningkatnya serangan Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Inggris dan banyak negara Eropa lainnya, masyarakat Muslim juga meningkatkan aktivitasnya untuk memperkenalkan Islam sebagai agama yang menyerukan keadilan, perdamaian, dan hidup damai berdampingan.

Pada 18 Februari 2018, masyarakat Muslim menjamu semua lapisan masyarakat di 200 masjid di seluruh Inggris sebagai bagian dari kampanye nasional “Visit My Mosque Day.” Ini adalah program tahunan yang diselenggarakan oleh Dewan Muslim Inggris (MCB) dengan tujuan memperkuat hubungan antara Muslim dan warga negara lainnya serta para pengikut agama-agama lain.

Dalam program ini, masyarakat non-Muslim menjadi tamu di masjid-masjid di kotanya untuk belajar lebih banyak tentang Islam dan Muslim. Pada 2018, jumlah masjid Inggris yang berpartisipasi dalam kampanye Visit My Mosque Day lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.

Riset yang dilakukan oleh MCB menemukan bahwa 90% orang Inggris tidak pernah mengunjungi masjid, dan satu dari empat orang mengatakan mereka tidak mengenal Muslim. Hampir tiga perempat belum pernah ke tempat ibadah agama lain. Sekitar 5 juta orang Muslim tinggal di Inggris atau 5% dari total populasi negara itu. Ada 1.750 masjid di seluruh Inggris.

Sekretaris Jenderal Dewan Muslim Inggris (MCB), Harun Khan mengatakan, “Ini tidak baik untuk kohesi sosial. Di tengah meningkatnya intoleransi dan kesalahpahaman, kita semua harus membuka pintu bagi orang lain.”

“Muslim di seluruh Inggris menegaskan bahwa berbeda dengan apa yang digambarkan media, kami adalah masyarakat yang terbuka dan fleksibel. Tahun lalu, lebih dari 10.000 orang mengikuti acara Visit My Mosque Day,” jelasnya.

Konferensi, Islam di Eropa, Prospek dan Tantangan.
Tentu saja, cara melawan Islamophobia dan sentimen anti-Muslim tidak terbatas pada membuka pintu masjid untuk masyarakat non-Muslim. Cara lain yang bisa dilakukan adalah menggelar seminar dan konferensi untuk memperkenalkan ajaran Islam, seperti yang diadakan di berbagai negara.

Pada 7 Februari 2018, kota Qum – salah satu pusat pendidikan Syiah di dunia – mengadakan konferensi untuk memperkenalkan Islam. Konferensi ini mengusung tema “Islam di Eropa, Prospek dan Tantangan” dan dihadiri oleh para profesor dan cendekiawan dari universitas-universitas Eropa dan hauzah ilmiah di kota Qum.

Pertemuan ini membahas empat topik utama yaitu: Kapasitas Islam untuk Berinteraksi dengan Eropa, Prospek dan Tantangan dalam Hubungan Islam-Eropa, Kapasitas Eropa untuk Berinteraksi dengan Islam dan Muslim, serta Sejarah Interaksi Islam-Eropa. Konferensi ini mempertemukan para cendekiawan dari Inggris, Kroasia, Republik Ceko, Kanada, Italia, dan Belanda serta beberapa cendekiawan Iran.

Para pembicara dalam konferensi tersebut antara lain: Robert Gleave, pakar Islamologi di Universitas Exeter, Andrew J. Newman, pakar studi Islam dan Persia di Univesitas Edinburgh, Inggris, Joseph Ellul, dosen Universitas Roma, dan Vedran Obucina dari Universitas Kroasia, serta profesor dari Republik Ceko dan Belanda.

Di awal konferensi, Direktur Institut al-Hikmah Qum, Hujjatul Islam DR. Malek Afzali mengatakan, “Islam seperti semua agama di dunia adalah sumber perdamaian dan empati, serta berjuang melawan diskriminasi dan ketidakadilan. Namun, selama beberapa dekade terakhir, kami menyaksikan penyebaran Islamophobia di berbagai negara terutama benua Eropa.”

“Beberapa penyebab munculnya fenomena ini adalah aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok takfiri seperti, Daesh dan Taliban serta propaganda media Zionis terhadap Islam,” ungkapnya.

Konferensi, Islam di Eropa, Prospek dan Tantangan.
Hujjatul Islam Afzali menegaskan bahwa tidak satu pun dari kedua kelompok tersebut (pendukung Islamophobia dan takfiri) yang memahami Islam yang hakiki dan keduanya keliru dalam menafsirkan teks-teks agama Islam.

Sementara itu, Ayatullah Mahdi Hadavi Tehrani mengatakan beberapa orang di Barat bahkan berpikir tentang genosida, sama seperti apa yang terjadi di Myanmar yaitu pengusiran warga Muslim adalah solusi untuk mengakhiri radikalisme.

Dalam paparannya yang disampaikan dalam bahasa Inggris, ia menekankan koeksistensi (hidup berdampingan secara damai), dialog, dan saling memahami sebagai cara paling penting untuk menyelesaikan masalah tersebut. Menurut Ayatullah Hadavi Tehrani, ini adalah tanggung jawab yang penting dan kita harus memiliki gambaran yang benar antara satu sama lain.

Berbicara tentang masalah ekstremisme, Ayatullah Hadavi Tehrani menjelaskan, “Ekstremisme Islam bukan satu-satunya bentuk ekstremisme dan bahkan ada ekstremisme non-agama. Kita juga menghadapi ekstremis Yahudi dan Kristen. Ekstremisme Yahudi adalah Zionisme di mana ideologinya dikritik oleh banyak orang Yahudi di dunia. Kita menyaksikan ekstrimisme non-agama yaitu sekularisme. Ada juga ekstrimisme Buddha di Myanmar dan ekstrimisme Hindu di India.”

Ia menuturkan bahwa solusi untuk persoalan Islamophobia adalah Tadabbur. Tadabbur dalam Islam merupakan sebuah pendekatan sistematis lengkap yang tidak hanya berarti berpikir, tetapi sebuah sistem untuk membandingkan agama satu sama lain secara adil dan pada akhirnya kita akan mencapai sikap saling pengertian. 

Minggu, 20 Desember 2020 17:30

Islamophobia di Barat (31)

 

Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam wawancaranya dengan Journal de Dimanche cetakan Paris pada Februari 2018, berbicara tentang rencananya untuk mereorganisasi Islam dan kaum Muslim.

Macron mengatakan bahwa ia sudah menyiapkan rencana dan metode untuk memajukan programnya tentang reorganisasi Islam di Prancis, di mana akan dilaksanakan secara bertahap.

Dia menekankan perlunya mengorganisir kegiatan-kegiatan Islam di Prancis dan ia akan mempresentasikan programnya itu pada paruh pertama tahun 2018. Namun, Macron menolak mengungkapkan programnya secara rinci sampai ia selesai disusun. Dia mengklaim bahwa ia berusaha untuk membangun hubungan yang logis antara Republik Prancis dan Islam sehingga nilai-nilai republik dihormati dalam setiap kegiatan lembaga-lembaga Islam di negara tersebut.

“Dua masalah sedang dipertimbangkan: pertama hubungan antara Muslim dan Republik Prancis, dan yang lainnya, mengorganisir kegiatan-kegiatan keagamaan mereka di negara ini,” ujar Macron.

Sebelumnya, Macron dalam pertemuan dengan para pemimpin agama di Prancis menuturkan bahwa mereformasi struktur kegiatan-kegiatan Islam di negaranya tidak bisa dihindari.

Prancis menghadapi banyak serangan teroris dalam beberapa tahun terakhir. Sebagian besar pelaku, meskipun berasal dari keluarga Muslim, lahir dan besar di Prancis. Munculnya Daesh di Irak dan Suriah mendorong sejumlah warga Prancis pergi ke daerah konflik di Timur Tengah dengan lampu hijau lembaga-lembaga intelijen dan keamanan Barat. Sebab, kebijakan pemerintah Paris adalah menggulingkan pemerintahan Bashar al-Assad.

Pemerintah Paris lebih suka misi ini dilakukan oleh beberapa Muslim dari Prancis dan negara-negara Eropa lainnya, yang hanya menyandang identitas Islam, namun tindakan mereka tidak ada hubungannya dengan ajaran Islam.

Sebagian pejabat Paris percaya bahwa dengan membiarkan pemuda ekstrem berangkat ke Suriah, pihaknya akan terbebas dari bayang-bayang mereka dan juga mencapai tujuannya menggulingkan pemerintah Damaskus.

Secara bersamaan, lembaga-lembaga politik dan media Prancis mengkampanyekan Daesh dengan tujuan untuk merusak citra Islam. Dengan cara ini, mereka menjustifikasi kebijakan intervensif dan anti-Islam Prancis dan negara-negara Eropa lainnya di Suriah dan Irak di hadapan publik Barat.

Kejahatan keji takfiri dan teroris Daesh juga menyediakan peluang emas bagi kubu ekstrem kanan dan anti-Islam di Prancis dan negara-negara Eropa lainnya. Mereka memiliki kesempatan untuk membenarkan ideologi dan tindakan anti-Islamnya serta memperkenalkan Islam sebagai ancaman bagi masyarakat Prancis.

Kubu anti-Islam di Prancis dan negara-negara Eropa lainnya mempublikasikan kejahatan Daesh secara besar-besaran, namun para ulama dan politisi di banyak negara Muslim menangkal propaganda itu dengan menegaskan bahwa tindakan Daesh tidak ada hubungannya dengan Islam.

Perlu dicatat bahwa mayoritas korban kejahatan Daesh adalah orang Muslim dari berbagai mazhab. Mereka kehilangan nyawanya karena bangkit melawan teroris Daesh. Kubu anti-Islam dan media di Prancis menyebut Daesh sebagai Negara Islam dan para jihadis, sehingga dengan mudah mengaitkan kejahatan kelompok takfiri dan teroris ini dengan Islam.

Akibat propaganda ini, kelompok ekstrem kanan dan kubu anti-Islam telah tumbuh selama dua tahun terakhir dan mendapat sambutan dari banyak warga Prancis, terutama kaum muda dan masyarakat miskin.

Kebijakan pemerintah Eropa – mendukung teroris dan Daesh – akhirnya gagal di Suriah dan Irak setelah mendapat perlawanan dari bangsa-bangsa Muslim Suriah dan Irak dan dengan dukungan pihak-pihak seperti Republik Islam Iran, Hizbollah Lebanon, warga Muslim dari Afghanistan dan Pakistan, serta dukungan pemerintah Rusia.

Ancaman kelompok takfiri dan teroris sekarang berbalik ke arah Eropa. Para pemuda Eropa termasuk Prancis – yang berangkat ke Suriah dan Irak dengan lampu hijau dari lembaga intelijen dan keamanan Barat – telah kembali ke Eropa dengan membawa pengalaman tempur dan keahlian di bidang teror.

Dalam situasi seperti itu, Emmanuel Macron terdorong untuk mereorganisasi kegiatan lembaga-lembaga Islam di Prancis, dan menyusun panduan interaksi antara Muslim Prancis dan warga lain.

Ada banyak alasan untuk tidak optimis terhadap rencana Macron. Minoritas Muslim terbesar di Eropa hidup di Prancis. Populasi Muslim Prancis diperkirakan lebih dari enam juta orang. Islam adalah agama kedua Prancis setelah Kristen. Namun, Prancis telah mempelopori undang-undang pembatasan untuk warga Muslim.


Pada 10 Februari 2004, pemerintah Prancis untuk pertama kalinya melarang penggunaan jilbab bagi pelajar dan mahasiswi Muslimah di sekolah dan kampus dengan alasan melanggar undang-undang sekuler. Selama masa kepresidenan Nicolas Sarkozy, pembatasan ini semakin diperketat dengan slogan-slogan anti-Islam yang disuarakan oleh Front Nasional Prancis.

Delapan bulan setelah berkuasa, Macron juga berusaha untuk mengatur hubungan komunitas Muslim atas dasar undang-undang sekuler. Pemerintah Prancis kemungkinan besar akan meningkatkan pengawasan terhadap lembaga-lembaga Islam dan membatasi kaum Muslim yang menjalani syariat Islam dalam kehidupan mereka.

Pada dasarnya, Macron – seperti Jacques Chirac – ingin menciptakan Islam ala Prancis dan menyesuaikannya dengan undang-undang sekuler. Setiap program yang diterapkan Macron untuk membatasi kegiatan Muslim, akan menjadi model bagi negara-negara Eropa lainnya.

Ketua Dewan Muslim Prancis (CFCM), Ahmet Ogres meminta Presiden Macron untuk tidak ikut campur dalam pengorganisasian Islam. “Prancis adalah negara sekuler. Macron seharusnya hanya memberikan saran saja, dan pelaksanaan reformasi merupakan tanggung jawab Dewan Islam,” tegasnya. Ogres juga mengecam serangan media terhadap Islam dan Muslim di Prancis.

Jika Prancis dan negara-negara Eropa lainnya benar-benar khawatir dengan ketertarikan pemuda Muslim terhadap ekstremisme, kekerasan, dan terorisme, maka mereka harus meninjau kembali hubungannya dengan negara-negara Muslim seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang menyediakan dukungan politik, finansial, dan militer kepada kelompok takfiri dan teroris, termasuk Daesh.

Para pemimpin Barat mengakui fakta tersebut, tetapi mereka tidak mengambil tindakan apapun. Sebaliknya, negara-negara Eropa selalu menyebut Arab Saudi sebagai sekutu strategis. Pemerintah Eropa termasuk Prancis adalah pengekspor utama senjata ke Saudi.

Jika pemerintah Eropa benar-benar ingin mencerabut akar ekstremisme dan terorisme, mereka harus melawan negara yang menyebarkan paham radikal di masyarakat. Tetapi tidak ada keinginan seperti itu di Prancis atau di negara-negara Barat lainnya.

Mereka membutuhkan kehadiran kelompok-kelompok takfiri dan teroris sehingga bisa membenarkan intervensinya di Timur Tengah, sebagai salah satu wilayah yang paling strategis di dunia. 

Minggu, 20 Desember 2020 17:15

Zainab, Perempuan Pembela Kebenaran

 

Kelahiran Sayidah Zainab al-Kubra, pembawa panji dan bendera gerakan pasca kesyahidan Imam Husein as diperingati sebagai Hari Perawat di Republik Islam Iran.

Tanggal 5 Jumadil Awal tahun 5 HQ, Sayidah Zainab, cucu Rasulullah Saw, putri Imam Ali as dan Sayidah Fathimah az-Zahra as, terlahir ke dunia. Di Iran, hari kelahiran Sayidah Zainab diperingati sebagai "Hari Perawat" untuk mengenang jasa beliau yang menjadi perawat dan pelindung para korban tragedi Karbala.

Sayidah Zainab dilahirkan pada tanggal 5 Jumadil Awal tahun kelima Hijriah di Madinah. Beliau diasuh dan dibesarkan oleh manusia agung sepanjang sejarah yaitu, Nabi Muhammad Saw, Imam Ali dan Sayidah Fatimah. Selain itu, beliau adalah saudari dari dua pemuda penghulu surga, Imam Hasan dan Imam Husein.

Sayidah Zainab merupakan salah satu wanita yang menjadi contoh bagi seluruh perempuan di berbagai bidang. Zainab tidak hanya berkaitan dengan masa lalu, tapi juga hari ini dan esok. Sebab, kemuliaan manusia, pengabdian, penghambaan, perjuangan untuk menegakkan keadilan, kemerdekaan dan kebenaran adalah nilai-nilai yang tidak terkait hanya untuk periode khusus atau masyarakat tertentu saja.

Manusia besar melampaui sejarah hidupnya. Zainab Kubra, termasuk wanita yang berada dalam naungan pancaran cahaya imamah. Sejak kecil, Zainab berada di pangkuan risalah dan imamah. Sayidah Zainab telah menghiasi diri dengan ketinggian akhlak, kesempurnaan spiritualitas dan keagungan perilaku.

Sayidah Zainab mewarisi ilmu dan marifat Rasulullah Saw. Martabat dan harga diri Sayidah Zainab as mirip dengan Sayidah Khadijah, dan kesucian serta kesederhanaan serta kesopanannya bak Sayidah Fatimah. Kezuhudan, kefasihan dan retorika Zainab dalam berpidato mirip dengan Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau juga memiliki kelembutan dan kesabaran seperti Imam Hasan, serta keberanian dan keteguhan hati sebagaimana Imam Husein.

Salah satu karakteristik yang paling menonjol dari Sayidah Zainab adalah keberaniannya yang tiada tara. Dalam ziarah yang biasa dibaca, disebutkan kaya "Labwatul Hasyimiah" atau perempuan pemberani dari keluarga Hasyimi.

Para ahli etika mengklasifikasikan keberanian dalam tiga kategori. Pertama, tidak takut kepada orang lain. Kedua, keberanian yang lebih tinggi dari pertama yaitu keberanian yang dibarengi dengan penguasaan diri. Sedangkan keberanian ketiga adalah keberanian yang lebih tinggi lain, dengan tidak mempertimbangkan situasi dan kondisi, baik itu penentangan maupun kecaman dari pihak lain demi memperjuangkan kebenaran.Zainab menampilkan keberanian pada tingkatan yang tertinggi.

Suara perlawanan Sayidah Zainab melawan kezaliman dan menegakkan keadilan senantiasa tertancap di jantung sejarah. Ketika beliau menjadi perempuan yang ditawan oleh pasukan Yazid, bersama tawanan lainnya pasca terjadinya tragedi Karbala memasuki Istana Yazid, semua orang menanti putri Sayidina Ali ini meminta maaf kepada putra Muawiyah yang membantai Imam Husein. Tapi, Sayidah Zainab dengan keberanian dan keahlian retorikanya menunjukkan kesalahan Yazid di istananya sendiri.

Sayidah Zainab tegar berdiri di hadapan orang-orang zalim Dinasti Umayah dan menyampaikan kebenaran yang dibawa Imam Husein, hingga beliau dan pengikutnya syahid di padang Karbala. Pidato Sayidah Zainab bukan hanya mengguncang pilar-pilar kezaliman Dinasti Umayah, tapi lebih dari itu menghantam sistem rusak di sepanjang sejarah.

Dalam kondisi sulit dan kalah secara militer, ketika kepala para syuhada diarak di ujung tombak musuh, dan kondisi paling mengenaskan, Sayidah Zainab menyampaikan pidato yang ditujukan langsung kepada Yazid bin Muawiyah, yang saat itu mengklaim sebagai khalifah kaum Muslimin. Zainab berkata, "Tuhanku! Ambillah hak kami dari orang-orang lalim, dan kirimkanlah kemarahan-Mu kepada orang yang menumpahkan darah kami di bumi, dan membunuh para pendukung kami, ".

Yazid dan pengikutnya menyebarkan propaganda luas supaya langkah Imam Husein dianggap sebagai gerakan bughot dan bertentangan dengan kepentingan umat Islam. Yazid menyebarkan fitnah bahwa Imam Husein as sedang mengejar kekuasaan dan materi dalam revolusinya sehingga ia dengan mudah menumpas para penentangnya. Namun Sayidah Zainab telah menjadi penghalang propaganda itu, dan bahkan juga mengungkap kejahatan dan kebusukan Yazid dan pengikutnya.

Dalam pidatonya yang berapi-api, Sayidah Zainab telah mengguncang pemikiran keliru masyarakat di masa itu. Warga Kufah yang hampir 20 tahun tidak mendengar pidato Imam Ali as, mereka terhentak dengan suara Zainab as yang nadanya seperti perkataan Ali as.

Perkataan seorang perempuan yang menjadi tawanan Yazid menguncang legitimasi pemerintah Bani Umayah. Zainab dengan kecerdasan, kefasihan dan keindahan bahasanya, mengingatkan kepada ayahnya, Ali bin Abi Thalib.

Putri Ali bin Abi Thalib berkata, "Musibah besar menyebabkanku terpaksa harus berbicara dengan orang sepertimu [Yazid] ! Aku melihatmu lebih kecil dari kedudukan zahirmu saat ini. Engkau hina ! Mengapa aku tidak memakimu, ketika aku terluka karena kehilangan orang-orang tercinta. Oh ! Aneh sekali manusia besar yang berada di jalan Tuhan tewas di tangan setan ! Tangan berdarahmu, telah berlumuran darah kami Ahlul Bait Rasulullah Saw, dan mulut kalian dipenuhi sesak oleh daging kami. Ya ! Sesungguhnya bukan tempatnya untuk malu ketika hidup di atas bumi ini dengan bersih dan suci. Srigala gurun liar menerjang mereka dan engkau [Yazid] dengan sombong menduduki singgasana ?"

Zainab menegaskan sebuah poin penting bahwa Ahlul Bait Rasulullah Saw tidak akan bisa dihapus dari sejarah. Putri Ali bin Abi Thalib ini berkata, "Yazid, jika ingin menipu dan makar, maka lakukanlah. Tapi ketahuilah engkau tidak akan bisa menghapus [dalam sejarah] orang-orang mengingat kami. Engkau tidak memiliki kemampuan untuk memusnahkan kami, dan memadamkan orang-orang yang mengingat kami. Suatu hari kebenaran akan datang dengan meneriakkan "Laknat Tuhan bagi orang-orang zalim".

Kemudian, Sayidah Zainab mengakhiri pidatonya dengan bersyukur kepada Allah swt. Beliau berkata, "Kini, aku menyampaikan rasa syukur kepada Allah swt yang memulai kehidupan Ahlul Bait dengan syahadat dan ampunan, serta mengakhiri dengan syahadat dan ampunan serta rahmat ilahi. Tuhanku, tambahkanlah pahala bagi syuhada kami dan nasib kami berada di tangan-Mu."

Dengan pidato ini, Sayidah Zainab menunjukkan bukan hanya kesyahidan saudaranya, Imam Husein bin Ali sebagai sebuah keindahan.Tapi lebih dari itu, putri Ali bin Abi Thalib ini menggambarkan ditawannya Ahlul Bait sebagai puncak keindahan.

Sayidah Zainab melampaui sejarah zamannya. Beliau menunjukkan nilai harga diri keberanian dan ketinggian jiwa kesatria sebagai pakaian kemuliaan. Dalam keadaan sebagai tawanan, putri Ali bin Abi Thalib ini meniupkan optimisme menghadapi kezaliman.

Wanita agung ini memberikan pelajaran bagaimana menghadapi kelaliman kapada umat manusia sepanjang sejarah. Seorang perempuan dalam kondisi yang sangat sulit sekalipun mampu menampakkan cahayanya menerangi masyarakat di bidang politik dan sosial yang berada dalam kegelapan.

Di hari yang berbahagia ini, kami menyampaikan selamat atas kelahiran perempuan pemberani Ahlul Bait ini. Salam atasmu, ya Sayidah Zainab.

 

Kepala pasukan relawan rakyat Irak, Al-Hashd al-Shaabi menyebut Syahid Qassem Soleimani sebagai pahlawan kemanusiaan dan mengatakan bahwa jenderal besar ini berkorban demi membela nilai-nilai Islam yang agung.

Falih Al-Fayyadh dalam acara peringatan hal Syahid Letjen Qassem Soleimani, Komandan Pasukan Quds Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), dan Abu Mahdi Al-Mohandes, Wakil kepala Al-Hashd al Shaabi yang berlangsung di parlemen Irak hari Sabtu (19/12/2020) mengatakan, "Kedua Syuhada memegang komitmennya terhadap perjanjian yang mereka buat kepada Tuhan,".

"Negara [Irak] membutuhkan orang-orang seperti itu yang bersedia mengorbankan hidup mereka demi tujuan bersama, dan kedua komandan syahid ini adalah para pahlawan," ujar kepala Al-Hashd Al-Shaabi.

Di bagian lain statemennya, Al-Fayadh juga menekankan  bahwa Al-Hashd Al-Shaabi Irak bukan gerakan yag dimiliki aliran agama tertentu saja, tetapi milik seluruh rakyat Irak

"Pelajaran terbesar yang harus kita petik dari para syahid ini adalah pengrobanan mereka untuk kepentingan bangsa dan negara," tegasnya.

Syahid Soleimani tiba di Irak pada Jumat pagi (3/1/2020) atas undangan resmi pejabat tinggi Baghdad, tapi menjadi sasaran serangan udara pasukan AS di dekat bandara Baghdad di Irak bersama Abu Mahdi Al-Muhandis dan sejumlah orang lainnya.(

Minggu, 20 Desember 2020 17:13

Rezim Zionis Kembangkan Senjata Robotik

 

Televisi rezim Zionis menurunkan laporan mengenai pembuatan senjata robotik di pabrik rahasia yang terdapat wilayah Al-Jalil.

Saluran televisi kanal 12 Israel dalam sebuah laporan hari Sabtu (19/12/2020) menunjukkan pabrik rahasia rezim Zionis di kota Al-Jalil yang digunakan untuk membuat senjata robotik dengan target militer dan sipil.

Dilaporkan, robot industri cerdas berupa hewan dan reptil dibuat untuk keperluan militer di pabrik ini.

Menurut laporan tersebut, pabrik yang merupakan anak perusahaan dari perusahaan senjata Israel Rafael telah memproduksi drone kecil dan cerdas yang mampu menembus terowongan, rumah, dan persembunyian serta dapat menangkap gambar dan mengirimkan informasinya.

Beberapa dari drone ini telah digunakan untuk menjelajahi terowongan gerakan perlawanan di perbatasan Gaza dan Lebanon.

 

Komandan Organisasi Pertahanan Rudal Israel, mengatakan militer rezim Zionis kemungkinan akan bekerjasama dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain terkait pertukaran teknologi rudal.

Moshe Patel dalam wawancara dengan situs The Media Line, Minggu (20/12/2020) menambahkan Tel Aviv berniat untuk memperluas rencana kerja sama militer dengan UEA dan Bahrain, yang baru-baru ini menormalisasi hubungan dengan rezim Zionis.

Namun, lanjutnya, keputusan seperti itu harus terlebih dahulu disetujui oleh Amerika Serikat. "Pertukaran teknologi rudal antara Israel, UEA dan Bahrain dapat membawa manfaat yang luas bagi kawasan," kata Patel.

Menteri Luar Negeri Bahrain, Abdul Latif Al Zayani dalam sebuah pernyataan, membenarkan rencana kerja sama militer negaranya dan UEA dengan rezim Zionis.

Bahrain dan UEA menandatangani perjanjian normalisasi hubungan dengan Israel di Gedung Putih pada 15 September 2020. Peristiwa ini disaksikan oleh Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri rezim Zionis Benjamin Netanyahu.

 

Pasukan AS terus menjarah minyak Suriah dari wilayah al-Jazirah dan baru-baru ini memasang pipa untuk mengirim minyak melalui Sungai Tigris di daerah Semalka ke wilayah Irak.

Sumber sipil mengatakan kepada wartawan kantor berita SANA, Minggu (20/12/2020) bahwa pasukan teroris AS bekerjasama dengan Pasukan Demokratik Kurdi Suriah (SDF) mencuri puluhan barel minyak mentah setiap hari dari wilayah Suriah.

Minyak jarahan ini diangkut dengan mobil tangki dari ladang minyak Karachuk, Suriah ke wilayah Semalka, tempat pipa dipasang dan kemudian dialirkan ke wilayah Irak melalui pipa yang melintasi Sungai Trigris.

Sumber tersebut mencatat bahwa ratusan barel minyak mentah yang dicuri dari Suriah dipindahkan melalui pipa itu ke wilayah Irak.

Di samping itu, pasukan AS juga menggunakan puluhan mobil tangki untuk memindahkan minyak Suriah ke Irak setiap minggu. Mereka menggunakan jalur penyeberangan ilegal al-Walid untuk mengirim muatannya.

Pasukan AS terus menyebarkan sejumlah personelnya di daerah penghasil minyak untuk menjarah sumber kekayaan rakyat Suriah.

 

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, menyebut para perawat sebagai "malaikat pembawa rahmat" bagi orang-orang sakit.

"Selama pandemi Covid-19 dan dalam situasi yang jauh lebih sulit dan penuh kecemasan dari biasanya, perawat melakukan pekerjaan yang hebat dan memperlihatkan pengabdian yang benar-benar luar biasa," kata Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam pidatonya pada Minggu (20/12/2020), bertepatan dengan hari kelahiran Sayidah Zainab as dan Hari Perawat Iran.

Rahbar mengucapkan selamat kepada semua perawat bertepatan dengan Hari Perawat Iran dan menyampaikan belasungkawa kepada keluarga perawat, yang telah kehilangan orang terkasihnya di tengah pandemi Covid-19.

"Perawat adalah mitra dan pembantu dokter. Betapa pun dokter itu ahli dan kompeten, ia akan kesulitan dalam menangani pasien jika tanpa perawat," tambahnya.

Ilustrasi tenaga medis Iran.
Ayatullah Khamenei menuturkan bahwa dalam hal bantuan psikologis, perawat dapat menghapus kesedihan dan memberikan kekuatan kepada pasien dengan senyuman atau sebuah sikap dan ucapan yang ramah, ini adalah salah satu nilai luhur Islam.

Rahbar mengakui bahwa pekerjaan perawat semakin sulit dan penuh kecemasan di tengah pandemi Corona, karena risiko terinfeksi. Perjuangan perawat saat ini membuat mereka lebih disayangi dan lebih mulia di mata masyarakat daripada sebelumnya.

Pada kesempatan itu, Ayatullah Khamenei juga mengingatkan tugas dan tanggung jawab pejabat pemerintah terhadap pengabdian dan pengorbanan para perawat.

"Menaikkan status perawat adalah tugas yang sangat penting dan sangat baik yang harus diseriusi sehingga mereka dapat bekerja dengan nyaman dan keluarga perawat juga merasa tenang dengan kondisi anak-anaknya," pungkasnya.