کمالوندی

کمالوندی

Perang delapan tahun Iran dan Irak penuh dengan semangat dan epik yang terus dikenang. Hari-hari di era perang pertahanan suci senantiasa tercatat dalam sejarah.

Rezim Baath Irak pada 21 Desember 1980 bertepatan dengan 31 Shahrivar 1359 Hs melintasi perbatasan Iran dan terlibat perang total. Perang depalan tahun yang dipaksakan kepada bangsa Iran digelar dengan tujuan yang jelas. Di antara tujuan tersebut adalah memecah belah Iran dan menumbangkan pemerintahan Republik Islam yang baru dibentuk atau menduduki sebagian wilayah Iran.

Pendudukan pelabuhan strategis Khorramshahr dalam perspektif ini sangat penting bagi rezim Baath dan sponsornya sebagai jembatan kemenangan untuk meraih ambisi busuk mereka.

Saddam dan para pendukungnya di Barat dan Timur percaya bahwa pendudukan Khorramshahr akan membuka jalan untuk melumpuhkan kota-kota lain di Iran dan pada akhirnya melenyapkan Revolusi Islam Iran yang baru berdiri seumur jagung. Namun, kalkulasi Saddam yang didukung negara Barat terutama AS meleset. Mereka tidak memperhitungkan kekuatan iman dan tekad baja para pemuda Iran dalam membela negaranya.

Perlawanan terhadap aggresor Irak juga dilakukan kaum perempuan Iran yang hadir di tengah kelompok-kelompok pejuang. Mereka mampu menghalau pasukan Irak di belakang gerbang kota selama 34 hari. Para pejuang Iran tetap bertahan hingga peluru terakhir mereka sebelum Khorramshahr jatuh ke tangan Saddam.

Sejarah 34 hari perlawanan di Khorramshahr merupakan salah satu lembaran emas dalam sejarah perang delapan tahun yang dipaksakan oleh rezim Saddam terhadap Iran. Banyak buku, terutama dalam bentuk memoar yang terbit untuk melukiskan perlawanan 34 hari para pemuda Khorramshahr. Tidak sedikit dari karya ini yang sudah diadaptasi menjadi film layar lebar. Perlawanan 34 hari pemuda Khorramshahr terhadap agresi tentara Saddam merupakan simbol muqawama dan pertahanan bangsa Iran.

Setelah berhasil menghalau gerak maju tentara Saddam, militer Iran dan pasukan relawan negara ini dalam beberapa operasi menetapkan misi pembebasan Khorramshahr sebagai prioritas mereka. Sebelum ini, aksi heroik rakyat Iran dalam mempertahankan Khorramshahr telah menjadi simbol perlawanan dan ketahanan bangsa ini, sekarang operasi pembebasan Khorramshahr juga menjadi simbol dari tekad dan kekuatan Republik Islam Iran dalam mengubah peta politik dan militer di medan perang. Tidak ada warga Iran yang tidak senang ketika mendengar kabar gembira pembebasan Khorramshahr.

Keberhasilan operasi Baitul Muqaddas selain membebaskan Khorramshahr, juga berhasil menutup kemungkinan tentara Irak menduduki wilayah Iran yang lain. Setelah peristiwa itu, posisi Iran di medan perang kian menguat dan hingga kini bangsa Iran masih tetap mempertahankan semangat untuk tidak memberi peluang musuh melakukan agresi. Imam Khomeini ketika mendengar berita pembebasan Kota Khorramshahr langsung mengatakan, "Allah yang membebaskan Khorramshahr."

Semua agenda rezim Saddam dan pendukungnya porak-poranda. Saddam bahkan mengeluarkan sesumbar bahwa ia siap menyerahkan Kota Basrah jika pasukan Iran berhasil merebut Khorramshahr. Pasalnya, Saddam dan adidaya dunia yang mendukungnya yakin Khorramshahr tidak mungkin bisa direbut kembali oleh Iran.

Dengan dimulainya operasi pasukan Iran dan relawan untuk membebaskan Khorramshar, Saddam meminta pasukannya untuk mempertahankan kota itu seperti mereka melindungi Baghdad dan Basrah. Dia mengatakan, “Khorramshahr merupakan penyangga Basrah, untuk itu kemenangan harus diraih dengan harga berapapun dan pasukan Iran harus dihancurkan.”

Para pendukung Saddam di Barat juga yakin bahwa pasukan Iran tidak akan berhasil merebut kembali Khorramshahr. Sebelum dimulainya operasi pembebasan, radio pemerintah Inggris dalam satu siarannya mengumumkan, “Jika rakyat Iran bangkit ingin membebaskan Khorramshahr, berarti mereka telah memilih buah kenari yang paling keras untuk dipecahkan.” Akan tetapi, pasukan Iran berhasil menghancurkan barisan pertahanan tentara Irak dan mereka menelan kerugian besar.

Pembebasan Khorramshahr bukan sebuah operasi militer konvensional, tapi kemenangan ini harus dianalisa sebagai hasil dari tekad baja rakyat Iran dalam berjuang serta keberanian, keimanan dan optimisme mereka akan masa depan di kondisi paling sulit.

Operasi pembebasan Khorramshahr lebih dari sekedar serangan militer langsung terhadap pasukan agresor yang dibarengi dengan dampak besar militer. Kemenangan mencengangkan ini menunjukkan kekuatan sejati bangsa Iran dengan bersandar pada unsur muqawama sipil dalam melawan mesin-mesin perang pendukung Saddam.

Brzezinski, penasehat keamanan nasional Amerika saat itu dalam pidatonya mengatakan, "Amerika jika ingin melawan revolusi Iran maka harus memperhatikan negara yang mampu melancarkan serangan terhadap Republik Islam Iran."

Dengan semangat para pejuang dalam merebut kembali Khorramshahr, maka nilai-nilai epik pertahanan suci termanifestasikan. Transformasi sejarah ini terjadi dalam kondisi sangat sensitif. Tepat ketika musuh Iran berusaha semampu mungkin memanfaatkan represi sanksi dan ancaman militer untuk mensukseskan ambisinya.

Terkait hal ini Koran Libération Perancis menulis, setelah pembebasan Khorramshahr oleh rakyat Iran, AS dan Eropa serta sejumlah negara Teluk Persia langsung menyusun sejumlah prakarsa untuk mengakhiri perang ini, untuk mencegah tumbangnya Saddam.

Amerika menjustifikasi kehadirannya di kawasan dengan dalih keamanan kapal dan pelayaran di Teluk Persia serta menjaga jalur pengiriman minyak serta mengirim kapal perang terbesarnya ke Teluk Persia.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa pembebasan Khorramshahr sebuah epik abadi dan bersejara serta teladan penuh dari kekuatan dan kreativitas militer dalam melawan musuh dan manajemen makro pertahanan-keamanan serta strategi melawan agresor.

Sejumlah pakar militer dan analis media-media internasional dibuat tercengang dan takjub dengan operasi kilat pasukan Iran dalam membebaskan Khorramshahr. Keberhasilan bangsa Iran membebaskan Khorramshahr dari tangan Saddam telah mengubah perimbangan politik di kawasan dan menghilangkan keraguan terkait kemampuan militer Iran. Nilai penting pembebasan Khorramshahr bukan sekedar peristiwa besar bagi bangsa Iran, namun lebih dari itu menunjukkan bahwa Iran dengan prinsip-prinsip Revolusi Islam tidak akan pernah tunduk pada kehinaan dan penjajahan.

AS yang sangat mengkhawatirkan kekalahan Saddam dalam agresi militer rezim Saddam, meningkatkan pengiriman bantuan militer kepada Irak. Dengan demikian, Washington memasuki fase intervensi langsung regional dan internasional terhadap rezim Saddam dalam agresi militer ke Iran. Tapi nasib perang tidak seperti yang mereka bayangkan. 

Pejuangan rakyat dan pemerintah Iran menghadapi agresi Saddam selama delapan tahun menorehkan sejarah baru. Sebab yang dihadapi oleh Iran bukan hanya rezim Saddam, tapi negara-negara besar dunia seperti AS yang berada di belakang Irak dengan seluruh kecanggihan alutsista dan mesin perangnya. Dengan spirit pembebasan Khorramsahahr, bangsa Iran terus melanjutkan perjuangan demi membangun dan meraih cita-citanya, meski harus menghadapi segala bentuk tekanan adidaya global.

George Bush, presiden AS saat itu ketika menjustifikasi prang ini mengatakan, masalahnya bukan sekedar sebuah negara kecil, tujuan kami adalah menciptakan sebuah sistem global baru. Sebuah sistem di mana berbagai negara berada dalam satu kesatuan sehingga tercapai cita-cita kemanusiaan global yakni, perdamain, keamanan dan kedaulatan hukum. 

Epik pembebasan Khorramshahr bagi bangsa Iran bukan hanya sebuah peristiwa dalam kalender perang yang dipaksakan, melainkan sejarah yang menunjukkan komitmen, pengorbanan, perlawanan dan keabadian bangsa Iran.

Sekarang bangsa Iran memperingati ulang tahun pembebasan Khorramshahr, di saat berbagai wilayah sekitar Iran adalah negara-negara yang setiap tahun membayar puluhan atau ratusan miliar dolar untuk membeli senjata dan menunjukkan kepada dunia sebagai kekuatan militer unggul. Sejumlah negara Arab di wilayah Teluk Persia yang mendukung perang yang dipaksakan terhadap Iran, sekarang adalah negara-negara yang berbelanja senjata hingga miliaran dolar dengan tujuan keamanan. Namun sejatinya mereka tidak memahami arti sebenarnya dari keamanan.

 

Amerika Serikat senantiasa mengambil sikap konfrontatif terhadap Republik Islam Iran selama empat dekade terakhir dan menggunakan berbagai cara melumpuhkan Iran.

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump tidak hanya mengejar pendekatan ini, bahkan lebih jauh mengobarkan permusuhan yang jarang terjadi sebelumnya demi menggulingkan Republik Islam. Pada Mei 2018, Trump mengumumkan keluarnya Amerika Serikat pada dari JCPOA dan kembali menjatuhkan sanksi nuklir terhadap Iran dengan tujuan menyulut perang ekonomi  dengan Iran.

Tujuan utama Amerika Serikat melancarkan tahap kedua sanksi nuklir terhadap Iran dengan tujuan mencegah penjualan minyak, transaksi keuangan, perbankan, dan ekonomi antara Iran dan negara lain. Pemerintah Trump, pada saat yang sama, meluncurkan perang psikologis yang meluas terhadap Iran mengisolasinya di tingkat regional dan internasional, dan mengubah perilakunya sehingga bisa menggulingkan Republik Islam Iran.

Analis internasional, Sayyid Ahmed Hosseini mengatakan, berdasarkan pandangan kapitalistik Amerika Serikat saat ini di dunia, termasuk Timur Tengah, Iran telah menjadi isu utama yang disebarkan sebagai ancaman kepentingan Washington.

Tuntutan pemerintahan Trump terhadap Iran dirangkum dalam 12 poin yang sampaikan oleh Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo pada Mei 2018. Tapi Implementasi klausul ini sebenarnya berarti penyerahan diri tanpa syarat Iran kepada Amerika Serikat, termasuk perlucutan program nuklir, penghentian program rudal dan pengaruh regional Iran, yang secara umum bertujuan untuk melucuti seluruh faktor kekuatan nasional dan regional Iran. 

Washington mengklaim bersedia untuk bernegosiasi dengan Tehran jika persyaratan tersebut dijalankan oleh Iran. Namun, di saat yang sama AS justru melakukan provokasi dengan menjatuhkan sanksi baru dan mengirim kapal induk Abraham Lincoln, jet tempur pembom dan sistem anti-rudal Patriot di kawasan.

Trump dalam cuitannya di Tweeter pada 19 Mei lalu secara eksplisit mengancam Iran dengan serangan militer. Presiden AS mengancam akan mengakhiri Iran jika memilih opsi perang. Trump menulis di akun Twitternya, "Jika Iran ingin berperang, itu akan secara resmi mengakhiri Iran. Jangan mengancam Amerika Serikat,".

Pada saat yang sama, John Bolton selaku penasihat keamanan nasional AS, berada di garis depan dalam barisan pejabat yang terus-menerus mengancam Iran dengan perang. Dalam hal ini, situs Politico melaporkan perselisihan antara Mike Pompeo dan John Bolton mengenai Iran. Pemicu utama terselisihan keduanya mengenai unilateralisme Bolton dalam memberikan tekanan maksimum terhadap Iran, sampai Pompeo dan Brian Hooke, Utusan Khusus Amerika Serikat untuk Iran, telah menyatakan bahwa tujuan pemerintah AS untuk memperburuk tekanan terhadap Iran hanyalah negosiasi ulang dengan Iran.


Menurut Brian Hooke, Washington memiliki strategi yang komprehensif terhadap Tehran demi mengubah perilaku Iran secara global, jika Iran berkomitmen untuk melakukan perubahan mendasar dalam perilakunya, AS mungkin akan berbicara dengan Iran. Tapi John Bolton secara terbuka menyerukan perubahan rezim di Iran dengan megambil cara yang lebih kasar melalui ancaman perang.

Bolton adalah kepala panglima perang Grup B. Kelompok ini mencoba mendorong pemerintah Trump untuk menyulut konfrontasi militer dengan Iran. Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif dalam sebuah wawancara dengan Fox News Network mengatakan, presiden Amerika Serikat ingin tetap loyal pada kampanyenya untuk menghindari perang dan pertempuran, tetapi Grup B", yang terdiri dari Bibi (Benjamin Netanyahu), Bolton, (Bin Salman dan Bin Zayed berusaha untuk menarik Amerika dalam konfrontasi militer dengan Iran. 

Meskipun Trump mengeluarkan ancaman terhadap Iran, tapi tampaknya ia tidak mencari konfrontasi militer dengan Iran. Pada hari Minggu, 19 Mei, Trump dalam sebuah wawancara dengan Fox Newsmenyinggung ketegangan baru-baru ini di kawasan Timur Tengah, "Saya bukan orang yang ingin memasuki perang. Saya tidak mencari perang dengan Iran, tetapi kami juga tidak ingin Iran memiliki senjata nuklir. Saya tidak akan membiarkan mereka melakukannya, jika saya memasuki perang dengan Iran, itu akan menjadi perang ekonomi,". 

Masalah ini ditanggapi Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif yang mengatakan, "Realitas sebenarnya, Trump secara resmi dan baru-baru ini kembali menekankan bahwa dia tidak menginginkan perang. Tetapi orang-orang di sekitarnya mendorong ke arah perang dengan alasan bahwa mereka ingin membuat Amerika lebih kuat melawan Iran."

Trump juga sangat menolak segala opsi serangan militer yang disampaikan  Bolton, dan menggambarkan laporan tersebut sebagai media palsu. Trump mengatakan bahwa pendapat yang berbeda diungkapkan dan saya akan membuat keputusan akhir. Tetapi saya tidak berpikir bahwa proses ini pada akhirnya akan mengarah perang.

Jika Washington benar-benar berniat untuk bernegosiasi dengan Tehran, alih-alih menekan dan mengancam dengan opsi militer, AS seharusnya menawarkan perundingan yang setara dan menghargai dengan Iran, tetapi Trump melihat negosiasi sebagai tahap akhir penyerahan diri pihak lain terhadap tekanan Washington.

Tentu saja, sikap konfrontatif Trump terhadap Iran tidak akan hilang. Dunia sangat menyadari dendam Amerika terhadap Republik Islam Iran karena Tehran melawan kebijakan arogan Washington. Pada saat yang sama, kebijakan luar negeri Trump tidak hanya melawan Iran, tetapi juga untuk negara-negara lain yang  berjuang menghadapi arogansi Washington, seperti Venezuela hingga kini masih berlanjut. Koran AS,  Washington Post menulis, Trump memegang paruh kedua jabatan presiden, tapi masalah utama kebijakan luar negeri AS tetap belum terselesaikan, dan kredibilitas Trump semakin menurun, dan pilihan yang tersisa untuk tetap menjabat periode selanjutnya semakin kecil.

Mohammad Javad Zarif, Menteri Luar Negeri Iran hari Senin (20/05) menyinggung dominasi mafia senjata atas kebijakan luar negeri Amerika dan mendesak Donald Trump, Presiden Amerika serikat agar menghadapi mereka.

Zarif dalam Twittnya menyinggung sebagian dari ucapan Trump ketika diwawancarai Fox News mengatakan, "Donald Trump dengan benar menyatakan kebenciannya atas "kompleks industri-militer" yang menyeret Amerika  dalam perang abadi."

Trump di bagian dari wawancaranya dengan Fox News yang dipublikasikan Senin pagi (20/05) menjelaskan peran mafia senjata atau yang disebut dengan istilah "kompleks industri-militer" dalam kebijakan perang Amerika Serikat.

Mohammad Javad Zarif, Menteri Luar Negeri Iran
"Kompleks militer-industri" adalah koalisi tidak resmi antara militer suatu negara dan industri pertahanan yang memasok senjata dan peralatan militer kepada angkatan bersenjata. Para anggota kompleks industri militer dengan menghadirkan gambaran ancaman yang tidak realistis atau membesar-besarkan ancaman keamanan yang ada, berusaha mendorong kebijakan luar negeri negara mengarah pada militerisasi dan mengadopsi kebijakan keamanan dan peningkatan anggaran militer.

Dalam hal ini, Zarif mengingatkan Trump akan janji-janji kampanyenya bahwa jika dirinya tiba di Gedung Putih, dia akan mengeringkan "lumpur hisap Washington" (merujuk pada bagian rahasia yang mengarahkan kebijakan pemerintah) dan melajutkan Twittnya, "Apakah belum tiba waktunya mengeringkan lumpur hisap Washington?”

Kemudian Zarif merujuk pada bagian rahasia ini dan menambahkan, “Namun memberikan izin kepada Tim B memerah para penjagal zalim dan menjual banyak senjata kepada mereka, berarti menghancurkan diplomasi dan terlibat dalam kejahatan perang. Makna dari capaian ini adalah memperkuat kompleks militer-industri."

Tim B adalah grup yang terdiri dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, John Bolton, Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih dan Putra Mahkota Abu Dhabi Abdullah Mohammed Bin Zayed, di mana nama mereka semua dimulai dengan huruf "B". Namun apa yang pasti dan pengalaman telah menunjukkan bahwa Amerika Serikat, untuk mempertahankan kepentingan berlebihan dan dominasi atas kawasan memanfaatkan semua alat dan segala cara seperti perang, kudeta, sanksi, ancaman dan dipengaruhi sejumlah faktor seperti "kompleks industri-militer "untuk mencapai sasaran kotornya.

Dengan penekanan pada arus rahasia dan tampak, menteri luar negeri Iran menulis dalam menanggapi retorika Trump, "Donald Trump, dengan provokasi Tim B, berharap untuk mencapai sesuatu yang tidak mampu direalisasikan oleh Alexander Agung (Makedonia), Genghis Khan dan para penjarah lainnya. Iran telah bertahan selama ribuan tahun, sementara para penjarah telah musnah."

Zarif menekankan, "Jangan pernah mengancam orang Iran. Beri penghormatan. Metode penghormatan lebih berhasil."

Beberapa analis mengatakan bahwa pemerintah AS sedang mengerjakan semacam pembagian kerja untuk menunjukkan Trump pribadi yang mendukung dialog dengan Iran. Padahal, selama setahun lalu ketika Trump keluar dari Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA) ia melakukan kebohongan besar dengan menuduh Iran mendukung terorisme, ancaman bagi stabilitas dan keamanan regional dan berusaha untuk mendapatkan senjata nuklir.

Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran
Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran pada waktu itu berbicara dihadapan para pejabat kementerian pendidikan dan para guru dalam rangka memperingati Hari Guru menyinggung ucapan rendah Trump dan mengatakan, "Orang ini selain menyampaikan lebih dari 10 kebohongan besar, juga mengancam bangsa Iran dan Republik Islam Iran. Saya mewakili bangsa Iran mengatakan kepadanya 'Anda salah besar'."

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran pekan lalu dalam pertemuan dengan para pejabat tinggi negara menyinggung langkah-langkah jahat Amerika Serikat untuk "mengubah perhitungan dan menyerahnya pejabat" dan "memisahkan rakyat dari negara" menekankan, "Bernegosiasi dengan pemerintah Amerika Serikat saat ini adalah racun. Tentu saja perang tidak akan terjadi, tetapi yang akan terjadi adalah perang tekad. Dalam hal ini, tekad bangsa Iran dan sistem Republik Islam lebih kuat dari musuh dan dengan izin Allah Swt, kali ini kita juga akan menang."

Program Operasional Kerja Sama Kesehatan Iran dan Indonesia di sela-sela Forum Kesehatan Globla Jenewa ditandatangi oleh direktur senior Departemen Kesehatan keduanegara.

Seperti dilaporkan IRNA Rabu dini hari (22/05), program kerja sama kedua negara di bidang produksi bersama vaksin dan obat-obatan, kesehatan bersama, PHC, penyakit menular, darurat medis dan manajemen kesehatan bencana ditandatangani dirjen bidang internasional Depkes Iran dan deputi bidang farmasi Depkes Indonesia.

Di acara ini, Saeed Namaki, menteri kesehatan Iran seraya mengisyaratkan kapasitas tinggi untuk kerja sama Tehran dan Jakarta mengatakan, kerja sama dengan negara-negara Asia merupakan prioritas penting Republik Islam Iran.

Seraya mengisyaratkan sanksi zalim Amerika terhadap Iran, Saeed Namaki mengingatkan, Indonesia sebagai negara sahabat dan Muslim Iran mampu meningkatkan kerja sama kedua negara di berbagai bidang kesehatan.

Namaki mengingatkan, kapasitas kerja sama Iran-Indonesia dapat memperkokoh kerja sama negara-negara Islam di bidang kesehatan.

 

Koran al-Watan Suriah menulis, selama serangan terhadap mobil patroli koalisi AS di timur laut Suriah di selatan Provinsi al-Hasakah, dua tentara AS tewas dan enam lainnya terluka.

Menurut laporan IRNA, rakyat Suriah yang marah seraya menyerang markas pasukan Demokratik Kurdi Suriah, juga membakar sejumlah pos tersebut.

Amerika dan sejumlah sekutunya sejak Agustus 2014 dengan dalih memerangi kelompok teroris Daesh (ISIS) membentuk koalisi internasional yang mereka sebut Koalisi Internasional anti Daesh di luar koridor PBB dan tanpa koordinasi dengan pemerintah sah Suriah.

Pemerintah Suriah berulang kali meminta Dewan Keamanan dan PBB untuk mengakhiri agresi pasukan agresor di wilayahnya melalui surat, juga mengutuk serangan jet tampur koalisi pimpinan AS ke Suriah. 

Rusia dan Suriah, Rabu (22/5/2019) menolak permintaan Amerika Serikat untuk mengirim "konvoi bantuan kemanusiaan" ke kamp pengungsi Rukban dan menuntut agar para pengungsi bisa keluar dari kamp tersebut.

Para pengungsi Suriah yang tinggal di kamp pengungsian Rukban di wilayah perbatasan Suriah, Yordania dan Irak, selama ini berada dalam kepungan pasukan Amerika dan teroris dukungan negara itu.

IRNA (22/5/2019) melaporkan, pasukan Amerika dan teroris dukungannya menjadikan kamp pengungsi Rukban sebagai alat untuk menekan Suriah demi keuntungan kelompok pemberontak dan melarang masuknya bantuan makanan dan obat ke kamp tersebut.

Rusia dan Suriah menuntut kondisi yang memungkinkan para pengungsi keluar dari kamp pengungsi Rukban. Pekan lalu ratusan keluarga pengungsi meninggalkan Rukban menuju Provinsi Homs, Suriah.

Rabu, 22 Mei 2019 18:58

Zarif, Kamis Bertolak ke Pakistan

 

Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran, Mohammad Javad Zarif di safari Asianya hari Kamis (23/05) akan berkunjung ke Pakistan.

Seperti dilaporkan IRIB, Mohammad Javad Zarif di kunjungannya kali ini akan bertemu dengan petinggi Islamabad dan membahas hubungan bilateral serta isu-isu regional dan internasional.

Zarif 12 Mei memulai safarinya dari Turkmenistan dan kemudian ke India, Jepang dan Cina. 18 Mei Zarif kembali ke Tehran dari Beijing.

Transformasi terbaru JCPOA, langkah legal Iran menyikapi pelanggaran janji pemerintah AS serta sikap Eropa yang kurang memuaskan dalam menjalankan komitmennya di JCPOA merupakan agenda utama pembicaraan Zarif dengan petinggi Turkmenistan, India, Jepang dan Cina.

Selain itu, Zarif juga membicarakan berbagai dimensi hubungan bilateral, isu-isu penting regional dan internasional.

Presiden AS Donald Trump selama beberapa bulan terakhir mengambil langkah-langkah yang memicu tensi dan ilegal termasuk keluar dari JCPOA. 

Duta Besar Iran untuk PBB, Majid Takht-e-Ravanchi, hari Selasa mengirimkan sepucuk surat kepada Sekretaris Jenderal PBB dan kepala Dewan Keamanan yang berisi peringatan mengenai upaya penyebaran provokasi konflik dari luar Timur Tengah menuju kawasan.

Dalam surat tersebut, Ravanchi menyinggung indikasi tanda-tanda dari kalangan tertentu di luar kawasan, melalui agitasi, informasi palsu dan berita menyesatkan dengan mengandalkan dukungan sekutunya di Timur Tengah, serta pengerahan pasukan angkatan laut di kawasan demi mengejar kepentingan ilegalnya.

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khamenei baru-baru ini menjelaskan skenario AS di kawasan Timur Tengah dalam tiga kategori antara lain: "politik menyulut friksi antarnegara kawasan Timur Tengah, menebarkan pengaruh politik, ekonomi, dan budaya di negara-negara Muslim, dan politik mengobarkan pertikaian di kalangan umat Islam."

Menurut Rahbar, masalah yang terjadi saat ini di kawasan Teluk Persia tidak bisa dilepaskan dari ketiga skenario AS tersebut. Mengingat sensitivitas kawasan ini, utusan Iran untuk PBB dalam suratnya kepada Sekretaris Jenderal organisasi internasional ini menekankan perlunya dialog antarnegara regional sebagai satu-satunya solusi untuk menyelesaikan perselisihan kawasan, dan menyerukan agar Sekretaris Jenderal PBB mengambil tindakan signifikan dalam masalah tersebut.

Berdasarkan penghormatan terhadap prinsip-prinsip yang mengatur hubungan internasional dan pentingnya menjaga stabilitas dan keamanan kawasan, Iran secara konsisten menolak konflik serta perang, dan tidak akan memilih perang sebagai opsi atau strategi untuk mengejar kebijakan luar negerinya.

Ayatullah Khamenei menyikapi retorika politik para pejabat AS tentang sanksi, perang dan negosiasi, dengan mengatakan, "Kami tegaskan tidak akan berperang, dan tidak ada perundingan".

"Tidak akan ada perang, karena kita sebagaimana sebelumnya tidak akan pernah menjadi pemicu awal perang, dan AS juga tidak akan memulai serangan awal karena mereka tahu seratus persen kerugian yang akan ditebusnya. Pasalnya, Republik Islam dan bangsa Iran telah terbukti akan memberikan balasan setimpa atas setiap serangan yang datang," tegas Ayatullah Khamenei.

Republik Islam Iran memandang masalah saat ini di kawasan hanya dapat diatasi dan diselesaikan melalui keterlibatan dan dialog yang konstruktif antara negara-negara di pesisir Teluk Persia.

Dalam hal ini, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif telah mengusulkan pembentukan forum dialog publik di kawasan Teluk Persia untuk memfasilitasi interaksi regional.

Kini perwakilan Iran di PBB juga menyuarakan seruan senada yang mengingatkan bahwa paragraf 8 resolusi Dewan Keamanan No.598 (1987), yang dikeluarkan pada akhir perang Irak dengan Iran, mendorong Sekretaris Jenderal  supaya mengambil langkah-langkah untuk memperkuat keamanan dan stabilitas di kawasan..

Paragraf resolusi tersebut menyangkut kerja sama delapan negara Teluk Persia, termasuk enam negara Arab, anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia, Iran dan Irak, untuk mencegah ketegangan dan mengakhiri konflik. Ravanchi meminta Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa supaya menerapkan klausul ini yang menyediakan payung hukum internasional untuk meluncurkan dialog regional.

Dalam perspektif Iran, dialog regional akan memperkuat pemahaman dan konsensus bersama tentang berbagai masalah. Dialog-dialog ini dapat mencakup langkah-langkah untuk memperkuat kepercayaan dan langkah bersama perang melawan terorisme dan ekstremisme, serta menjamin kebebasan navigasi dan jalur energi secara bebas. Proses ini pada akhirnya akan mencakup pembentukan pengaturan formal non-agresi serta kerja sama keamanan regional.

 

Pusat Rekonsiliasi Suriah milik Rusia yang bermarkas di pangkalan udara Hmeimim, barat Suriah mengabarkan rencana teroris untuk melancarkan serangan kimia baru di negara itu.

Kantor berita Sputnik (21/5/2019) melaporkan, Kepala Pusat Rekonsiliasi Suriah milik Kementerian Pertahanan Rusia di pangkalan udara Hmeimim, Suriah Mayjen Viktor Kupchishin mengatakan, para teroris Suriah sedang menyusun rencana untuk melancarkan serangan kimia ke kamp pengungsi di desa Jarjanaz dan kota Saraqib, Idlib, Suriah.

Kupchishin menambahkan, di kamp pengungsian itu telah berkumpul pengungsi anak-anak dan dewasa dari beberapa provinsi selatan Suriah, dan teroris juga melakukan persiapan yang sama di Provinsi Aleppo.

Menurutnya, para teroris di zona de-eskalasi Idlib menyimpan banyak bahan kimia dan racun yang digunakan untuk membuat senjata kimia dan digunakan terhadap warga sipil.

Pada hari Selasa (21/5) kelompok teroris Front Al Nusra berusaha menyerang pasukan Suriah dengan tank dan kendaraan yang penuh dengan bahan peledak.

Mantan menteri luar negeri Amerika Serikat mendesak Presiden Donald Trump untuk menghentikan kebijakan permusuhan terhadap Iran.

Kantor berita Sputnik (22/5/2019) melaporkan, Hillary Clinton mengatakan, alih-alih meningkatkan ketegangan di kawasan Timur Tengah, Amerika seharusnya melanjutkan upaya diplomatik.

Ia menambahkan, Amerika harus melakukan upaya diplomasi lebih besar dengan Iran, daripada menggunakan ancaman kekuatan yang biasa digunakan Trump.

Clinton melanjutkan, anda tahu Winston Churchill, ia dikenal dengan gaya khasnya yang mengatakan, rahang, rahang, rahang selalu lebih baik daripada perang, perang, perang.