کمالوندی

کمالوندی

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran mengatakan bahwa bangsa Iran akan menjadikan AS sebagai pecundang sejarah dengan mematahkan seluruh plotnya, terutama sanksi terbaru Washington terhadap negara ini.

Pernyataan tersebut disampaikan Ayatullah Uzma Sayid Ali Khemenei hari ini, Rabu (9/1/2019)  dalam pidato di hadapan sejumlah warga provinsi Qom yang datang ke Tehran.

Dalam pertemuan memperingati peristiwa bersejarah perlawanan warga Qom melawan rezim Shah yang dikenal dengan peristiwa Heroik "19 Day", yang terjadi pada 9 Januari 1978, Rahbar mengatakan, "AS dengan bangga mengatakan bahwa sanksi terhadap bangsa Iran saat ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Tapi kali ini bangsa Iran akan mematahkannya hingga menjadi momentum yang tidak pernah terjadi dalam sejarah sebelumnya,".

Ayatullah Khamenei dalam pidatonya menyinggung slogan "Mampus AS" yang bergema tidak hanya di Iran, tapi juga di berbagai negara dunia.

Pertemuan Rahbar dengan warga Qom 
"Negara imperialis berupaya menakuti bangsa-bangsa dunia dengan Iranofobia, Islamofobia maupun sentimen anti Syiah. Tapi bangsa-bangsa dunia secara subtantif tidak memusuhi Iran Islami, sehingga ketika fakta disodorkan dengan jelas, mereka akan mendukungnya," papar Rahbar.

Mengenai pemicu permusuhan terhadap Iran yang dilancarkan AS dan sekutunya, Ayatullah Khamenei mengungkapkan bahwa substansi dari gerakan besar Revolusi Islam adalah keberanian, pengorbanan dan komitmen terhadap kebenaran, yang menjadi kekhawatiran kekuatan imperialis global.

"Dengan taufik ilahi, jika gerakan ini membuahkan hasil, maka imperialisme, terutama imperialisme Barat di dunia akan tercerabut," tegas Rahbar.

Di bagian lain statemennya, Ayatullah Khamenei menyebut jawatan intelejen AS saat ini melakukan kesalahan kalkulasi mengenai Iran, faktanya asumsi mereka banyak yang meleset.

Bahkan, tutur Rahbar, pejabat AS melakukan "Kebodohan level satu".

"Mereka menyerukan supaya Iran belajar HAM dari Arab Saudi; apakah ini bukan lelucon yang tidak lucu ?" sindir Ayatullah Khamenei.

Khatib Shalat Jumat Tehran, Hujatul Islam Mohammad Javad Haji Ali Akbari menyebut kawasan Asia Barat menjadi kuburan mimpi AS karena Washington berhadapan dengan perlawanan bangsa Iran.

"Kehadiran AS di Asia Barat menimbulkan penderitaan bagi negara-negara kawasan," ujar ulama Iran ini dalam khutbahnya yang disampaikan hari Jumat (4/1/2019).

"Hizbullah Lebanon,Al-Hashd Al-Sha'abi Irak, Ansarullah Yaman, rakyat revolusioner Bahrain, gerakan Islam di Nigeria, termasuk rangkaian gerakan perlawanan melawan AS," tegasnya.

Di bagian lain khutbahnya, Sheikh Haji Ali Akbari juga menyinggung peran dan posisi Republik Islam Iran yang menjadi inspirasi bagi gerakan perlawanan terhadap rezim Zionis dan AS di kawasan

Deputi juru bicara Sekjen PBB mengabarkan berlanjutnya eksodus warga Muslim Rohingya dari negara bagian Rakhine, Myanmar akibat serangan militer negara itu.

Tasnim News (3/1/2019) melaporkan, Deputi Jubir Sekjen PBB, Farhan Haq mengatakan, pasca serangan militer Myanmar terhadap warga Muslim Rohingya di Rakhine dan meningkatnya eskalasi pertempuran di wilayah ini, sekitar 2.500 warga Muslim Rohingya terpaksa melarikan diri dari Rakhine.

Muslim  Rohingya
Farhan Haq menambahkan, serangan dan pertempuran itu kembali pecah sejak bulan lalu.

Menurutnya, sekelompok utusan PBB sudah dikirim ke Rakhine untuk menyelidiki kondisi yang terjadi sehingga bisa mengevaluasi kebutuhan-kebutuhan warga dari dekat. 

Sabtu, 05 Januari 2019 06:55

Blunder Baru Trump di Suriah

Sekitar delapan tahun sejak awal perang pecah di Suriah, AS bersama sekutu Barat dan Arab menempatkan pasukannya di Suriah untuk mewujudkan ambisinya menggulingkan pemerintahan berdaulat Suriah, tapi hingga kini tidak berhasil.

Keputusan Presiden AS, Donald Trump belum lama ini untuk menarik pasukan AS dari Suriah menunjukkan arah baru kebijakan Washington dalam masalah Suriah. Tapi langkah tersebut memicu reaksi keras dari berbagai kalangan di AS sendiri. Ujungnya, Trump kembali melakukan zig-zag dengan mengulur tenggat waktu penarikan pasukan dari 30 hari menjadi 120 hari.

Pada 2 Januari 2019, Trump kembali menyampaikan statemen kunci mengenai masalah Suriah. Menurutnya, meskipun pasukan AS ditarik dari Suriah, tapi Pentagon akan tetap melindungi Kurdi Suriah.

Tampaknya, Trump sedang mencari alasan lain untuk merevisi kebijakannya yang menyulut polemik di kalangan pejabat tinggi AS, termasuk dari anggota kongres negara ini. Sebelumnya Trump menyatakan bahwa pasukan AS harus segera ditarik dari Suriah karena telah berhasil memenangkan pertempuran dengan kelompok teroris Daesh. Kini, isu tersebut dialihkan dengan dalih mendukung Kurdi Suriah.

Washington selama beberapa tahun terakhir menempatkan pasukannya di wilayah utara dan tenggara Suriah bersama milisi Kurdi dengan alasan menumpas teroris Daesh.

Koran New York Times dalam editorialnya pada 19 Desember 2018 lalu menulis, keluarnya AS dari Suriah menyebabkan pasukan Kurdi akan menjadi salah satu pecundangnya.

Masalah dukungan terhadap Kurdi Suriah juga disampaikan para pemimpin negara Eropa. Presiden Perancis, Emmanuel Macron dalam kontak telpon dengan sejawatnya dari Rusia, Vladimir Putin hari Rabu menegaskan pentingnya menjaga pasukan koalisi di Suriah, terutama pasukan Kurdi.

Istana Elysee dalam statemenya menyatakan bahwa presiden Perancis menekankan urgensi menjaga hak rakyat lokal, dan mempertahankan pasukan koalisi terutama pasukan Kurdi yang penting untuk menghadapi kelompok teroris.

Pihak oposisi Gedung Putih menilai keputusan Trump menarik pasukan AS dari Suriah sebagai keputusan keliru besar yang tidak mempertimbangkan kepentingan AS.

Derasnya gelombang kritik terhadap Trump membuat presiden AS ini melakukan zig-zag baru dengan menunda waktu penarikan pasukan AS. Di sisi lain, Trump juga mengatakan bahwa penarikan pasukan AS tersebut tidak akan melepaskan dukungan perlindungan terhadap Kurdi Suriah. Selain itu, Presiden AS ini sebelumnya juga mengungkapkan bahwa operasi militer di Suriah bisa dilakukan dari Irak. Tampaknya, masalah ini akan menjadi blunder bagi Trump yang akan diikuti dengan zig-zag barunya.

Partai sayap kanan paling berpengaruh di Jerman, Partai Alternatif untuk Jerman, AfD mengancam untuk mendorong apa yang mereka sebut Dexit (keluarnya Jerman dari Uni Eropa) jika UE tidak mengembalikan kedaulatan nasional anggotanya dan tidak mencegah "Islamisasi Eropa".

Russia Today (4/1/2019) melaporkan, AfD dalam manifesto partainya mengumumkan, komunitas Eropa sudah berubah menjadi struktur yang tidak demokratis dan dikuasai oleh kelas-kelas politik Eropa dan didesain oleh birokrasi yang tidak transparan dan tidak terkontrol.

Selain mengecam birokrasi Eropa, AfD juga menyoroti gelombang masuknya imigran Muslim ke Eropa dan upaya Islamisasi Eropa.

Angela Merkel
AfD menuntut penutupan perbatasan untuk imigran Muslim dan memperketat kebijakan terkait pengungsi. Program yang diusulkan AfD terkait imigran ini, memberikan semacam pelajaran teologi yang menyatakan bahwa Islam adalah musuh Eropa. 

Agenda anti-migran yang diusung AfD nyatanya berhasil menaikkan popularitas partai kanan Jerman ini secara cukup signifikan, terbukti 60 persen warga Jerman setuju dengan AfD bahwa Islam bukan bagian dari Jerman. 

Selasa, 01 Januari 2019 16:20

Dari Lorong al-Quds Menuju Masjid al-Aqsa

Masjid al-Aqsa menjadi salah satu masjid suci umat Islam, selain Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah. Masjid tersebut berada di al-Quds (Jerusalem) Timur, wilayah Kota Tua.


Masjid yang memiliki kubah berwarna perak itu berdiri di kompleks al-Haram As-Sharif di area seluas 14 hektar. Di kompleks ini, terdapat The Dome of The Rock, yang diyakini sebagai tempat pijakan Nabi Muhammad Saw dalam perjalanan Isra Mikraj.

 

Bangunan suci tersebut menjadi sumber konflik berkepanjangan antara rezim Zionis Israel dan Palestina. Salah satu pemicu konfliknya adalah adanya pergerakan dari kaum Yahudi untuk beribadah di kompleks suci tersebut. Yahudi menyebut kompleks Al-Haram As-Sharif sebagai "Temple Mount" (Bukit Suci).

 

The Dome of The Rock (Qubbat al-Sakhra) adalah sebuah bangunan dengan keindahan luar biasa, soliditas, keanggunan, dan singularitas bentuknya, baik di luar maupun di dalamnya.

 

Bentuk bangunan yang luar biasa itu sebagian besarnya ditutupi dengan lapisan emas sehingga mata orang yang memandang akan terpesona dengan keindahannya. Qubbat al-Sakhra adalah bagian dari Masjid al-Aqsa.

 

The Dome of The Rock berada dalam satu kompleks Haram As-Sharif. Orang Yahudi biasa menyebutnya sebagai Temple Mount.  Kubah Batu ini dibangun pada masa Dinasti Umayyah, antara tahun 691 dan 715 Masehi.

 

Qubbat al-Sakhra berbentuk oktagonal atau persegi delapan. Struktur bangunan mengambil tradisi arsitektur khas Bizantium pada abad ke-7. Tahapan pembangunan sekaligus menunjukkan gaya arsitektur yang berbeda untuk pembangunan masjid.

 

Kubah batu tersebut memiliki diameter sekitar 65 kaki atau 20 meter. Di bawah kubah, terdapat batu yang diyakini sebagai pijakan Nabi Muhammad Saw ketika perjalanan Isra Mikraj. Batu tersebut dilindungi oleh pagar dan terdapat tangga yang mengarah ke gua, yang terdapat di bawah permukaan batu. Gua tersebut dikenal dengan sebutan "The Well of Souls" atau Bir el-Arweh.

 

Di bagian interior dan eksterior dihiasi marmer, mosaik, dan plakat logam. Terdapat pula kaligrafi di sepanjang sisinya. Kemudian pada masa kepemimpinan Ottoman, The Dome of The Rock dipercantik. Kubahnya dilapisi emas serta langit-langit segi delapan juga ditutupi ukiran kayu Ottoman.

 

Bentuk kubah yang menawan menjadikan Qubbat al-Sakhra sebagai pelopor penggunaan kubah berbentuk setengah bola. Selain itu, The Dome of The Rock menjadi salah satu bangunan dengan kubah terindah di dunia. 

Wakil Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Republik Islam Iran mengatakan, angkatan bersenjata Iran berada di puncak kekuatan dan kesiapan untuk menghadapi segala bentuk ancaman.

Mayjen Ataollah Salehi, Selasa (1/1/2019) kepada IRNA menuturkan, sanksi terhadap Iran tidak akan pernah mempengaruhi kekuatan pertahanan negara ini dan masalah  tersebut disadari betul oleh musuh.

Donald Trump di pangkalan udara Ayn Al Asad, Irak
"Jika sanksi berpengaruh pada kekuatan pertahanan Iran, maka musuh tidak mungkin mengunjungi pangkalan udaranya di Irak dengan ketakutan dan sembunyi-sembunyi," imbuhnya.

Ia menegaskan, sebagaimana diketahui, kunjungan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump ke Irak untuk meninjau pangkalan udara Ayn Al Asad dilakukan secara diam-diam dan tanpa pemberitahuan sebelumnya. 

Wakil Ayatullah Ali Sistani mengabarkan dukungan Marji Muslim Syiah Irak itu atas upaya yang dilakukan dewan transparansi dalam perang melawan korupsi.

Fars News, Selasa (1/1/2019) melaporkan, Wakil Ayatullah Sistani di kota Karbala, Syeikh Abdul-Mahdi Al Karbalai dalam wawancara dengan anggota dewan transparansi Irak mengatakan, Ayatullah Sistani mendukung langkah-langkah yang dilakukan oleh dewan transparansi untuk memerangi korupsi.

PM Irak, Adel Abdul Mahdi
Hakim Irak yang tergabung dalam dewan transparansi, Izzat Tawfiq Jafar menuturkan, dukungan Marji Muslim Syiah Irak atas dewan transparansi menjadi motivasi khusus bagi dewan ini untuk meraih keberhasilan luar biasa dalam perang melawan korupsi dan membuat lembaga ini semakin serius melanjutkan perang melawan korupsi.

Pemberantasan korupsi merupakan salah satu tuntutan rakyat terpenting dan tantangan utama pemerintah Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi di Irak. 

Mantan direktur badan intelijen pusat Amerika Serikat, CIA berharap di tahun 2019 semakin banyak anggota Partai Republik meninggalkan Presiden Amerika, Donald Trump sendirian karena korupsi dan pelanggaran hukumnya.

Situs The Hill (31/12/2018) melaporkan, mantan direktur CIA, John O. Brennan di laman Twitternya menulis, ini adalah harapan saya yang tulus, dan dengan kesadaran akan korupsi serta pelanggaran hukum yang dilakukan Trump semakin banyak anggota Partai Republik yang terdorong untuk meninggalkan Trump di tahun 2019.

Donald Trump
Ia menambahkan, kami sudah cukup mendengar teriakan dan protes di Gedung Putih, kami membutuhkan seorang presiden yang sebenarnya, masa depan negara kami dipertaruhkan.

Menurut Brennan, keputusan tergesa-gesa dan tidak terkoodinasi yang dilakukan Trump terkait penarikan pasukan Amerika dari Suriah adalah salah satu contohnya dan hal ini menunjukkan langkah provokatif Trump berbahaya bagi keeamanan nasional Amerika. 

Selasa, 01 Januari 2019 16:06

Tantangan Imigran Muslim di Eropa (5)

Radikalisme adalah sebuah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Orang-orang yang menyerukan langkah-langkah keras dan inkonstitusional di ranah politik, ekonomi, dan sosial untuk mengubah masyarakat disebut radikal.

Pada seri sebelumnya, kita telah mengkaji tentang pola perekrutan sejumlah imigran Muslim di Eropa untuk bergabung dengan kelompok-kelompok teroris. Pada bagian ini, kita akan fokus pada proses radikalisasi dan keanggotaan sejumlah imigran Muslim di organisasi-organisasi teroris.

Menurut studi sosial, dalam proses radikalisasi di Eropa, anak-anak muda yang memiliki pandangan sekuler umumnya akan memasuki fase pra-radikalisme.

Informasi yang tidak utuh, kesalahpahaman, dan interpretasi Islam sebagai agama kekerasan, telah meyakinkan para pemuda atau remaja untuk bergabung dengan organisasi teroris. Mereka akhirnya termotivasi untuk merencanakan serangan teror.

Ada beberapa faktor yang membuat sejumlah pemuda atau remaja imigran di Eropa tertarik pada radikalisme. Pertama, kebijakan agresif negara-negara Barat di negara-negara Muslim seperti, Irak, Afghanistan, Suriah, Lebanon, dan Yaman.

Kedua, aksi provokasi dan hasutan seperti penghinaan terhadap sakralitas Islam oleh para pejabat, intelektual, dan jurnalis Barat, serta publikasi artikel atau kartun provokatif. Ketiga, rasa memiliki hubungan antara satu kelompok dengan kelompok-kelompok lain dengan paham tertentu.

Menurut para peneliti Barat, para ekstremis potensial pada fase pra-radikalisme dan bujukan, akan menjauhkan diri dari kehidupan sebelumnya dan mulai menampilkan dirinya sebagai fundamentalis Islam. Pada fase ini, faktor-faktor seperti kesamaan ideologi, kedekatan emosional, kesamaan lembaga pendidikan, dan perjalanan ke negara-negara seperti Arab Saudi, akan mempercepat proses radikalisasi seseorang.

Data menunjukkan para pelaku serangan teror selama 2014 dan 2015 di Eropa, setidaknya pernah melakukan perjalanan ke Arab Saudi, Pakistan, Afghanistan, dan daerah-daerah yang dikendalikan teroris Takfiri di Suriah dan Irak. Secara khusus, Abdelhamid Abaaoud, seorang teroris Belgia-Maroko dan pemimpin serangan Paris pada November 2015, pernah menerima pelatihan di daerah yang dikuasai Daesh di Suriah.

Para pengungsi dan pencari suaka di salah satu negara Eropa.
Keempat, para propagandis Wahabi dan Takfiri, serta teman dekat memainkan peran penting dalam proses membujuk anak pemuda untuk bergabung dengan kelompok teroris.

Menurut para peneliti Barat, kehadiran anasir propagandis yang mahir di masjid-masjid, kampus, dan sekolah memainkan peran besar dalam membujuk anak muda dan remaja untuk memilih ideologi radikal.

Para mubaligh Wahabi Arab Saudi memainkan peran profesional dalam menghasut sentimen mazhab anak muda dan remaja yang labil di Eropa. Mereka sangat cepat terpengaruh oleh mubaligh Wahabi karena tidak mengenal sejarah negaranya, serta tidak memiliki pemahaman yang benar tentang Islam dan al-Quran sebagai agama yang cinta damai dan anti-kekerasan.

Mubaligh Wahabi yang berafiliasi dengan Arab Saudi, Redouan al-Issar alias Abu Khaled memprovokasi Mohammed Bouyeri (teroris Belanda-Maroko) untuk membunuh sutradara film Belanda yang anti-Muslim, Theo van Gogh.

Teroris Inggris, Richard Reid yang dikenal sebagai pembom sepatu, terpengaruh oleh pemikiran Abu Qatada dan para khatib lain di Masjid Finsbury Park London. Richard Reid – yang mengidolakan Osama bin Laden – berusaha meledakkan pesawat America Airlines dengan bahan peledak yang disembunyikan di sepatunya pada November 2002, tetapi berhasil digagalkan.

Kelima, jejaring sosial juga ikut berkontribusi dalam proses radikalisasi seseorang. Psikiater forensik dan mantan agen CIA, Marc Sageman menuturkan, "Media sosial adalah kunci dinamika jaringan teror."

Para teroris domestik di Eropa mengandalkan media sosial untuk melakukan radikalisasi, rekrutmen, pelatihan, dan dukungan operasional. Kemajuan di bidang teknologi informasi menyediakan peluang yang luar biasa kepada mereka untuk mengakses beragam sumber informasi dan tidak perlu lagi melakukan perjalanan ke daerah konflik untuk bertemu dengan para petinggi Al Qaeda atau Daesh.

Kubu sayap kanan menolak kehadiran imigran Muslim di Eropa.
Penggunaan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Telegram dan YouTube telah menjadi cara paling efektif bagi kelompok teroris untuk menyebarkan paham radikal. Mereka menggunakannya untuk merusak citra Islam dan memicu gelombang Islamphobia di Barat.

Al Qaeda adalah pelopor penggunaan internet untuk menyebarkan ideologi terorisme, dan dalam beberapa tahun terakhir Daesh menggunakan sejumlah besar platform media sosial, terutama YouTube dan Telegram untuk tujuan yang sama.

Kelompok-kelompok teroris dukungan Barat di Suriah, Irak, dan Afghanistan, masing-masing memiliki tim media terpisah dan akun khusus di jejaring sosial, yang menerima pasokan konten dari komando pusat.

Padahal, penyebaran konten kekerasan dan ancaman terhadap orang lain dilarang oleh aturan media sosial seperti Twitter, YouTube, dan Facebook, tetapi beragam jenis kekerasan, seperti eksekusi massal, pemenggalan, dan adegan memakan anggota tubuh korban, tersebar bebas di akun-akun resmi milik kelompok teroris.

Media sosial yang didukung oleh lobi dan kapitalis Zionis, sedang mengejar misi penting lainnya yaitu; mencitrakan Islam sebagai agama kekerasan. Sebab, kelompok-kelompok teroris dengan menyalahgunakan bendera tauhid dan slogan takbir, telah menyajikan referensi negatif dan anti-Islam di antara para simpatisannya di media sosial.

Tim cyber kelompok teroris seperti Daesh, melakukan perekrutan terhadap pemuda dari seluruh dunia untuk bergabung dengan mereka. Tagar teroris di Twitter dan video klip Daesh di YouTube, mengirim pesan yang paling efektif kepada para imigran dan bahkan penduduk asli Eropa.

Teroris juga menggunakan game komputer yang dirancang di Barat untuk memotivasi dan merekrut anak muda. Para peneliti di Inggris menemukan bahwa permainan yang disebut Homegrown Games memainkan peran besar dalam mendorong pemuda Inggris bergabung dengan Daesh.


Dan keenam, kelompok teroris memanfaatkan anasir lokal untuk merekrut anggota baru dan memperluas jaringannya. Seorang pakar Amerika yang meneliti fenomena Al Qaeda dan Daesh, Colin P. Clarke menulis, "Setelah pendudukan AS di Afghanistan, afiliasi pertama Al Qaeda di Arab Saudi didirikan pada 2003, kemudian cabang-cabang organisasi itu muncul di Irak pada 2004, di Aljazair pada 2006, di Yaman pada 2007, di Somalia pada 2010, dan di Suriah pada 2012. Di semua negara tersebut, Al Qaeda merekrut anasir lokal untuk petempurnya. Kelompok teroris selalu mencari anasir lokal dan pribumi untuk memperluas wilayah mereka dan memperoleh legitimasi."

Dari perspektif para peneliti Barat, tahap lain dari proses radikalisasi adalah penentuan tujuan, perencanaan, perakitan bahan peledak, pengujian, dan pada akhirnya menjalankan operasi teror.

Pada tahap ini, setiap anggota kelompok teroris menerima tanggung jawab untuk melancarkan operasi. Tahap ini berlangsung cukup cepat dan bisa memakan waktu beberapa bulan atau beberapa minggu atau bahkan hari.

Di sini, loyalitas kelompok benar-benar diperkuat dan orang-orang bersikap sangat tertutup. Pertemuan biasanya dilakukan di dalam mobil, rumah-rumah khusus, dan tempat-tempat yang sulit dideteksi oleh polisi dan agen pemerintah di negara-negara Eropa.

Dapat dikatakan bahwa radikalisasi biasanya bukanlah sebuah proses yang cepat, tetapi sebuah gerakan bertahap yang berlangsung selama beberapa waktu. Perilaku diskriminatif negara-negara Barat terhadap imigran Muslim ikut mempercepat proses ini, terutama dalam beberapa tahun terakhir.