Sejenak Bersama Al-Quran: Abu Dzar dan Ayat Kanz

Rate this item
(0 votes)

Abu Dzar dan Ayat Kanz

 

Allah Swt berfirman:

 

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih." (QS. at-Taubah: 34)

 

Abu Dzar merupakan seorang sahabat terdekat Nabi Muhammad Saw dan dalam upayanya memrotes sikap Khalifah Utsman dan Muawiyah serta para pejabat mereka yang mengumpulkan harta, setiap pagi dan malam ia membaca ayat 34 surat Taubah ini dengan suara lantang dihadapan Muawiyah dan setelah itu ia berkata kepada Utsman, "Ayat ini tidak khusus untuk orang yang tidak mau membayar zakat dan mencakup segala bentuk upaya mengumpulkan harta."

 

Dalam Tafsir al-Mizan disebutkan bahwa sikap Abu Dzar terhadap Utsman, Muawiyah dan Ka'ab al-Ahbar menunjukkan bahwa mengumpulkan di tengah masyarakat yang miskin termasuk haram hukumnya, sekalipun dari cara yang halal dan telah dikeluarkan zakatnya. Sebagian ahli tafsir menyebut apa yang dilakukan Abu Dzar ini kembali pada ijtihad pribadinya, tapi ia pribadi mengatakan, "Maa Qultu Lahum Illa Maa Sami'tu Min Nabiyyihim... Saya tidak mengatakan sesuatu kepada mereka, kecuali apa yang saya dengarkan dari Nabi mereka." Di sisi lain, sikap Abu Dzar yang transparan dan terbuka itu telah diakui oleh Nabi Muhammad Saw.

 

Menelisik kembali kehidupan Abu Dzar, sikap Amar Makruf dan Nahi Mungkarnya terkait hukum agama punya hubungan dengan ekonomi. Sikapnya bersitegang dengan Utsman tidak ada kaitannya dengan harta dan kedudukan, tapi sebuah protes menyaksikan adanya kemungkaran sosial.

 

Akhirnya, Khalifah Utsman mengasingkan sahabat Nabi yang tegar dan revolusioner ini ke daerah Syam dan dari Syam ia dikembalikan ke Madinah dalam kondisi mengenaskan lalu terakhir diasingkan lagi ke Rabadzah dan di daerah ini sahabat Nabi ini meninggal dunia. Ini satu noktah hitam dalam periode kekhalifan Utsman bin Affan.

 

Banyak ulama yang berusaha menyebut Utsman tidak bersalah dan menuding Abu Dzar punya pemikiran sosialis dan menentang kepemilikan pribadi. Tapi Allamah Amini dalam bukunya al-Ghadir menolak tuduhan itu dan membahasnya secara luas dan terperinci.[1]

 

Pengasingan Abu Dzar yang dilakukan berulang-ulang diakibatkan aksi protesnya terhadap pemerintah dan teriakannya menentang pengumpulan kekayaan yang dilakukan Utsman, Muawiyah dan Ka'ab al-Ahbar yang berusaha membenarkan perbuatan keduanya tercatat dengan rapih dalam buku-buku sejarah baik Syiah maupun Ahli Sunnah.[2] Sekalipun tetap saja ada yang berusaha menjustifikasi kondisi itu dengan menyebut kesempatan Abu Dzar meneriakkan protes disebabkan kebebasan berpendapat yang diberikan Utsman kepada masyarakat. Sementara terkait pengasingan Abu Dzar, mereka mencoba mencarikan alasan dengan kaidah "Menjauhkan keburukan lebih penting dari mengambil untung". Oleh karenanya, mereka menilai kehadiran Abu Dzar di Madinah dan Syam sebagai keburukan dan pengasingannya termasuk upaya melindungi maslahat.[3] Namun tetap saja perilaku memalukan yang dilakukan terhadap sahabat Nabi Saw yang jujur dan bertakwa tidak dapat dibenarkan. Apalagi kejujuran dan protesnya itu berangkat dari upaya mengubah kondisi yang telah menyimpang dari ajaran Islam.

 

Sumber: Mohsen Qarati, Daghayeghi ba Quran, Tehran, Markaz Farhanggi Darsha-i az Quran, 1388 Hs, cet 1.

 



[1]
. Al-Ghadir, jilid 8, hal 330.

[2] . Tafsir Nemouneh.

[3] . Tafsir al-Manar, jilid 10, hal 406-407.

Read 3065 times