کمالوندی

کمالوندی

Sabtu, 06 Januari 2018 14:03

Penyifatan Tuhan dalam Al-Quran dan Hadis

Di sini kita akan melakukan pengamatan sepintas terhadap perspektif al-Quran dalam penyifatan Tuhan dan metode manusia mengenali sifat-sifat-Nya, sedangkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat khusus akan dibahas pada tema-tema yang berkaitan dengannya.

Sebagaimana yang telah kami katakan, mustahil bagi manusia untuk mengenal hakikat dzat Tuhan. Pengenalan rasionalitas atas-Nya hanya bersifat universal atau pengenalan melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Atas dasar ini, salah satu tujuan utama al-Quran yang dalam berbagai ayatnya berbincang tentang sifat-sifat Tuhan adalah melakukan rekonstruksi, memperdalam, dan memperluas pengenalan manusia terhadap Tuhan. Ratusan ayat al-Quran kadangkala secara langsung membahas tentang sifat-sifat Tuhan dan menyebutkan tentang asma Tuhan. Dari sebagian ayat bisa pula ditemukan adanya prinsip-prinsip universal dalam penyifatan Tuhan.

Meskipun demikian, perlu diingat bahwa mengenali Tuhan melalui sifat-sifat-Nya merupakan cara yang sangat rumit karena membutuhkan ketelitian dan kecermatan yang tinggi, karena sedikit saja kita salah menganalisanya bisa mengarahkan kita kepada pen-tasybih-an atau “penyerupaan” yang berujung pada kehilangan sebagian makrifat kita dari al-Quran.

Salah satu hal yang mendasar untuk dilakukan adalah berpegang pada ayat-ayat yang muhkam (ayat-ayat yang memiliki makna yang jelas) tentang sifat-sifat Ilahi untuk dijadikan pijakan dalam menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabiyah (ayat-ayat yang tidak memiliki makna yang jelas), seperti menafsirkan ayat-ayat yang secara lahiriah menyifati Tuhan dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

Di sini kita akan melakukan pengamatan sepintas terhadap perspektif al-Quran dalam penyifatan Tuhan dan metode manusia mengenali sifat-sifat-Nya, sedangkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat khusus akan dibahas pada tema-tema yang berkaitan dengannya.

 

Bukan tasybih dan ta’thil

Al-Quran pada satu sisi menegaskan bahwa pengenalan terhadap hakikat dzat Tuhan merupakan hal yang mustahil bagi manusia, Tuhan bersabda, “Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.”[1] (Qs. Thahaa: 110)

Dari sisi lain, dalam berbagai ayat telah dijelaskan bahwa Tuhan tidak memiliki sedikitpun kemiripan dengan maujud lain dan tidak ada sesuatupun yang bisa digambarkan setara dengan dzat suci-Nya. Ayat ini pada dasarnya merupakan ayat muhkam yang menegaskan kesalahan berpikir aliran Tasybih dan segala konsep yang memandang ada kemiripan antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Dia bersabda, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (Qs. As-Syura:11)

Pada pembahasan Tauhid dipahami bahwa ayat-ayat tersebut berkaitan dengan tauhid dzat, akan tetapi sepertinya ayat-ayat tersebut selain menafikan kemiripan maujud lain dengan dzat Tuhan, juga menafikan kemiripan antara sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat selain-Nya. Sebenarnya ayat itu menceritakan bahwa baik dari sisi dzat mutlak Tuhan maupun dari sifat-sifat-Nya tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya dan tidak ada pula sesuatu yang bisa digambarkan mempunyai kemiripan dan kesamaan dengan-Nya. Makna ayat ini bisa ditemukan pula dalam sebagian ayat seperti pada ayat terakhir surah at-Tauhid.[2]

Ayat al-Quran di atas dalam posisinya menjelaskan kesalahan maktab Tasybih, selain itu juga menafikan segala bentuk kemiripan dan kesetaraan Tuhan dengan eksistensi lain dalam dzat dan sifat. Pada ayat-ayat yang lain juga mengetengahkan tentang sifat-sifat salbi Tuhan seperti penafian kebinasaan dan keterikatan dengan ruang dan waktu dimana akan dibahas kemudian dalam tema “sifat-sifat negasi dan salbi Tuhan”.

Demikian juga, al-Quran meninggikan dzat Tuhan dari segala bentuk penyerupaan dan pen-tasybih-an. Pada banyak ayat setelah menukilkan pemikiran-pemikiran keliru dari para musyrikin tentang Tuhan, al-Quran menegaskan poin bahwa penyifatan mereka atas Tuhan adalah tidak layak untuk maqam suci ketuhanan (uluhiyat), Dia bersabda, “Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, Padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan”, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan.”[3] (Qs. al- An’am: 100). “Mereka tidak Mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha Perkasa.”[4](Qs. al-Hajj: 84)

Ketika berhadapan dengan kelompok ayat seperti di atas, bisa jadi kita menyangka bahwa al-Quran hanya memiliki makrifat Tuhan secara terbatas dan tidak memberikan makrifat atas-Nya kepada manusia lewat penjabaran akal serta pemahaman rasional. Akan tetapi kesimpulan seperti ini merupakan sebuah kesimpulan yang tergesa-gesa dan tidak benar, dengan melakukan kontemplasi terhadap ayat-ayat yang lain akan menjadi jelas bahwa al-Quran selain menegaskan pensucian Tuhan secara mutlak dari sifat-sifat makhluk, juga menekankan tentang adanya kemungkinan untuk mengenali-Nya.

Ayat-ayat yang bisa menjadi saksi paling baik untuk klaim ini sangat banyak dimana di dalamnya menyebutkan tentang asma dan sifat-sifat Tuhan. Dengan memperhatikan bahwa al-Quran mengajak manusia untuk berfikir dan berkontemplasi tentang ayat-ayat-Nya maka tidak bisa diterima bahwa penyebutan asma Tuhan secara berulang pada ayat-ayat yang berlainan murni hanya sekedar sebuah bacaan tanpa memberikan makna.[5]

Oleh karena itu, al-Quran dalam masalah penyifatan Tuhan menolak mutlak metode tasybih maupun metode ta’thil lalu mengambil jalan tengah antara keduanya, dari satu sisi metode ini meletakkan sifat-sifat jamal dan jalal-Nya pada jangkauan pemahaman manusia, dan di sisi lain menegaskan ketakserupaan Dia dalam dzat dan sifat dengan makhluk serta mengingatkan bahwa sifat-sifat Tuhan jangan dipahami sedemikian sehingga menyebabkan pen-tasybih-an dengan selain-Nya, tapi seharusnya makna-makna dari sifat-sifat Ilahi ini dilepaskan dari warna kemakhlukan dan keterbatasan serta diletakkan sebagaimana selayaknya untuk dzat suci Tuhan.

Tentunya jumlah ayat-ayat yang secara tegas menafikan pandangan tasybih lebih banyak dari ayat-ayat yang menolak pandangan ta’thil, hal ini muncul mungkin karena para penganut teisme lebih sering terkontaminasi dengan pandangan tasybih dibandingkan dengan pandangan ta’thil.

Sifat Tuhan dalam Hadis

Dengan merujuk pada literatur-luteratur hadis, menjadi jelas bahwa pembahasan sifat Tuhan dalam hadis juga mengikuti langkah al-Quran. Dalam sebuah hadis dari Amirul Mukminin Ali as dikatakan bahwa dalam tafsir ayat 110 surah Thaha, beliau bersabda, “Semua makhluk mustahil meliputi Tuhan dengan ilmu, karena Dia meletakkan tirai di atas mata hati, tak satupun pikiran yang mampu menjangkau dzat-Nya dan tak ada satu hatipun yang bisa menggambarkan batasan-Nya, oleh karena itu, jangan kalian menyifati-Nya kecuali dengan sifat-sifat yang diperkenalkan oleh-Nya, sebagaimana Dia berfirman, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.”[6]

Imam Ali as pada awal perkataannya menjelaskan bahwa tak ada satupun makhluk yang meliputi dzat Tuhan. Secara lahiriah, maksud dari “meletakkan tirai pada mata hati” adalah keterbatasan pengenalan makhluk yang menyebabkan ketidakmampuannya meliputi dzat tak terbatas Tuhan. Imam Ali as dalam kelanjutan tema ini menegaskan  bahwa dalam menyifati Tuhan kita harus mencukupkan diri dengan menggunakan sifat-sifat yang telah Dia perkenalkan kepada kita.

Tentang hal ini terdapat beberapa riwayat, sebagai contoh kita bisa melihat dalam “Khutbah Asybâh“, beliau bersabda, “Sesungguhnya berbohonglah mereka yang meletakkan sesuatu setara bagi-Mu, mereka menyerupakan-Mu dengan patung-patung sembahan dan memakaikan pakaian makhluk kepada-Mu dengan khayalannya dan menganggap-Mu sebagaimana benda jasmani yang memiliki organ dan mereka menisbahkan indera-indera makhluk kepada-Mu sesuai dengan pikirannya”[7]

Dengan demikian, metode pensucian al-Quran yang bukan tasybih dan ta’thil telah jelas dalam sebagian hadis itu. Mungkin salah satu dalil yang paling tegas untuk klaim ini adalah perkataan Imam Ali as yang bersabda, “Akal-akal tidak dapat menjangkau semua sifat-Nya dan tidak pula terhalang memahami sebagian dari sifat-Nya untuk memakrifat-Nya.”[8]

Selain itu, sebuah hadis yang dinukilkan dari Rasulullah saw dan ahluibaitnya dalam masalah makrifat Tuhan, dalam hadis itu dijelaskan mengenai makrifat berharga atas sifat-sifat Tuhan dan jelas bahwa makrifat ini bersandar pada realitas bahwa manusia pada batas tertentu mampu mengenali Tuhan melalui pengenalan sifat-sifat-Nya.

[1]. Tentunya, penyimpulan ayat bersandar pada bahwa dhamir pada “bihi” kembali kepada Tuhan, akan tetapi terdapat pula kemungkinan bahwa dhamir di atas kembali pada perbuatan orang-orang yang bersalah.

[2]. “… Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”, Qs. at-Tauhid: 5

[3].  Juga rujuk: surah Anbiya: 22, Mukminun: 91 dan Az-Zuhruf: 82.

[4].  Ayat seperti ini terdapat pula pada surah al-An’am: 91, Az-Zumar: 67.

[5].  Qs. An-Nisa: 82, Muhammad: 24, as-Shad: 29.

[6]. Al-Hawizi, Tafsir Nur ats-Tsaqalain, jilid 3, hal. 394, hadis 117. Riwayat ini melegitamasi bahwa dhamir “bihi” pada ayat “La yuhithuna bihi ‘ilman” kembali kepada Tuhan.

[7]. Nahjul Balaghah, khutbah 91.

[8] . Nahjul Balaghah, khutbah 49.

Sabtu, 06 Januari 2018 14:02

Keridhaan Allah Selalu Lebih Besar

Pada hakikatnya sekuat dan segigih apapun kita beribadah dan taat kepada-Nya, dapat dikatakan itu tidak sesuai dengan keinginan-Nya sebab tidak sebanding dengan besarnya anugerah dan karunia yang telah diberikan. Karenanya untuk menerima amal-amal hamba-Nya, Allah mendasarkan pada sifatnya, Ar-Ridhwan, yang Maha Meridhai dan bukan pada sifatnya yang Maha Adil.

Ridha berasal dari bahasa arab yang secara etimologi terbentuk dari kata-kata rhadiya-yardhaa,  yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang biasa kita padankan dengan kata ikhlas atau puas menerima ataupun telah merestui sesuatu bagaimanapun keadaannya. Di antara asma’ul husna (nama-nama Allah yang indah) kita mengenal, Ar-Ridhwan, yang artinya, yang Maha Meridhai. Kata ridha dalam berbagai variannya terulang setidaknya 32 kali dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an.

Dari beberapa ayat tersebut, kita bisa mengklasifikasikan kelompok orang-orang yang diridhai Allah.

Pertama, orang-orang yang beriman, takut kepada Tuhannya dan mengerjakan kebajikan. Terdapat dalam surah Al-Bayyinah ayat 7 dan 8. Allah SWT berfirman, “Sungguh orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhan-nya.” Juga pada surah Al-Mujaadilah ayat 22 dan Al-Haaqqah ayat 21.

Kedua, Assabiquna awwalun, generasi awal Islam yang pertama-tama masuk Islam dari golongan Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik. (baca Qs. At-Taubah: 100 dan juga Al-Fath ayat 29).

Ketiga, orang-orang yang benar. Allah SWT berfirman, “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Qs. Al-Maidah: 119).

Keempat, orang-orang yang ridha terhadap pemberian dan keputusan Allah. Allah SWT berfirman, “Jika mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan rasul-Nya kepada mereka, dan berkata, “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah”, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (Qs. At-Taubah: 59).

Kelima, orang-orang yang bersegera menuju Allah, “Dia (Musa) berkata, ‘…aku bersegera kepada-Mu ya Tuhanku, agar Engkau ridha (kepadaku).” (Qs. Taahaa: 84). Ataupun dalam surah Al-Fajr ayat 28, “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”

Keenam, orang-orang yang setia pada perjanjiannya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Qs. Al-Fath: 18).

Ketujuh, orang-orang yang bersyukur, “…dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu” (Qs. Az-Zumar: 7).

Kedelapan, orang-orang yang diberi izin untuk memberi syafaat termasuk orang-orang berdosa yang disyafaati, “Pada hari itu tidak berguna syafa'at, kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (Qs. Thaahaa: 109). Juga terdapat dalam surah Al-Anbiyaa’ ayat 8 dan surah An-Najm ayat 26).

Kesembilan, orang-orang yang menyeru untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat, “Dan ia menyuruh ahlinya (umatnya) untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.” (Qs. Maryam: 55). Juga pada surah ar-Rum ayat 38-39. Termasuk orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari (Qs. Al-Kahfi: 28).

Kesepuluh, orang-orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu dan jiwanya tenang dalam ketaatan, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (Qs. Al-Fajr: 27-28).

Kesebelas, orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah (baca surah Al-Lail ayat 20, Al-Insan ayat 9, Al-Baqarah: 265 dan lain-lain).

Keduabelas, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah. Penjelasan mengenai hal ini terdapat dalam surah Al-Mumtahanah ayat pertama, Al-Hasyr ayat 8 dan Al-Ankabut ayat 69.

Ketigabelas, orang-orang yang senantiasa berkurban. (Qs. Al-Hajj: 37) Juga pada surahAl-Baqarah ayat 207, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”

Dari penjabaran di atas, setidaknya ada tiga belas kelompok yang mendapat keridhaan Allah. Sementara yang tidak diridhai Allah hanya ada tiga kelompok. Pertama, orang-orang kafir, “Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Qs. Az-Zumar: 7). Kedua, kelompok orang-orang yang berkhianat, “..dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Yusuf: 52). Ketiga, orang-orang yang fasik, “Sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (Qs. At-Taubah: 96). Jika dibandingkan jumlah kelompok mereka yang diridhai dibanding yang tidak, menunjukkan keridhaan Allah lebih besar dalam banyak hal. Ada satu hal lagi yang mesti kita perhatikan, ayat yang berbunyi, “Rhadiallahu ‘anhum wa radhuu ‘anhu, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya” dan yang semakna dengan itu hanya berulang setidaknya empat kali. Hal ini berarti, keridhaan Allah terhadap hamba-Nya jauh lebih besar dari keridhaan hamba kepada Tuhan-Nya.

Ridha Ilahi, Karunia Terbesar

Keridhaan Allah sesungguhnya adalah sebesar-besarnya karunia Allah yang diberikan-Nya kepada manusia. Melalui Kumayl ibn Ziyad, imam Ali as mengajarkan kepada kita sebuah rangkaian do’a yang panjang, yang dikenal dengan nama Do’a Kumayl atau Do’a Hadhrat Khaidir. Diantara penggalannya, Imam Ali as bermunajat dengan mengucap, “…wa taj’alani biqismika radhiyan qani’an, wa fi jami’il-ahwali mutawadhi’an, dan jadikan aku ridha dan qana’ah akan pemberian-Mu, dan dalam segala keadaan tunduk dan patuh kepada-Mu.” Pada penggalan do’a ini, kita melihat, Imam Ali as lebih mendahulukan memohon maqam keridhaan dan qana’ahdibanding memohon ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya.

Pada umumnya di antara kita, menilai sebesar-besarnya karunia Allah pada hamba-Nya adalah keimanan, ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya (sehingga sering diulang-ulang di setiap khutbah). Namun, setidaknya oleh Imam Ali as, tidak. Karunia terbesar Allah adalah keridhaan-Nya. Mengapa?. Ayatullah Husain Mazhahiri ketika mensyarah penggalan do’a tersebut membantu kita menemukan jawabannya. Dalam kitab Syarh_e wa Tafsir_e Dua_ye Kumayl, beliau menulis, “Sebab, bahkan oleh Rasulullah saww sendiri dengan berbagai ibadah yang beliau lakukan, ketaatan, perjuangan dan kesetiaannya di jalan Allah, kemudian semuanya itu diletakkan pada satu sisi timbangan, sementara anugerah berupa akal, pemikiran, kekuatan, kemaksuman dan anugerah lainnya berada pada sisi timbangan lainnya, maka karunia dan pemberian Ilahi masih lebih berat dibanding semua ibadah, ketaatan dan perjuangan beliau saww.” Beliau (semoga Allah merahmatinya) melengkapkan jawabannya dengan menukilkan, kisah Nabi Musa as dan Nabi Daud as yang berkata, “Bagaimana mungkin kami mampu untuk bersyukur kepada-Mu dengan sepenuhnya. Sementara kecenderungan untuk bersyukur kepada-Mu itu sendiri adalah anugerah dan karunia dari-Mu, dan itu juga memerlukan syukur yang lain?”. Allah kemudian menurunkan wahyu kepada keduanya, “Jika demikian, maka Aku telah ridha akan syukurmu.”

Ya, demikianlah, pada hakikatnya sekuat dan segigih apapun kita beribadah dan taat kepada-Nya, dapat dikatakan itu tidak sesuai dengan keinginan-Nya sebab tidak sebanding dengan besarnya anugerah dan karunia yang telah diberikan. Karenanya untuk menerima amal-amal hamba-Nya, Allah mendasarkan pada sifatnya, Ar-Ridhwan, yang Maha Meridhai dan bukan pada sifatnya yang Maha Adil. Sebab jika sekiranya perlakukan Allah pada hamba-hamba-Nya berdasarkan pada keadilan-Nya, maka tidak ada seorangpun yang bisa meraih kenikmatan dan kebahagiaan di dunia dan  akhirat, terlebih lagi kenikmatan dunia bagi orang-orang yang kafir dan durhaka kepada-Nya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Nabiullah saww itu beristighfar, memohon ampun kepada Allah setiap harinya sampai 70 kali. Kalau kita ingin sedikit kritis, sebenarnya, apa faedah Rasulullah saww memohon ampun kepada Allah, sementara yang beliau lakukan  keseluruhannya adalah kebaikan yang dijadikan tauladan, terlebih lagi bukankah beliau telah disucikan oleh Allah?. Bagi Rasulullah, istighfar bukan hanya untuk memohon pengampunan dari kesalahan dan dosa, namun juga berkaitan dengan amal kebaikan. Yakni, permohonan ampun dari setiap kebaikan yang telah dilakukan, dimaksudkan adalah sudilah kiranya Allah mengampuni kekurangan dan cacat dari amal kebaikan yang telah dilakukan. Kita sadar, bahwa kebaikan semacam apapun pada akhirnya tetaplah kurang dan cacat jika dibanding dengan kebaikan Allah yang tercurah buat kita. Istighfar Rasulullah adalah, permohonan agar kiranya dalam memperhitunngkan setiap amal ibadah, Allah lebih mendahulukan keridhaan-Nya dan bukan keadilan-Nya. Bisa jadi inilah falsafahnya, dalam bacaan shalat mayyit, kita diminta untuk membaca do’a, “Allahummagfirh lihadzal mayyit, Ya Allah, ampunilah seluruh dosa dan kesalahan jenazah ini.” Kita tidak diminta untuk mendoakan, “Semoga Allah memberi balasan yang setimpal atas kebaikan-kebaikannya”, namun sayangnya, doa semacam ini yang sering kita hadiahkan buat si mayyit.

Untuk tidak membuat tulisan ini terlalu panjang, insya Allah nanti kita lanjutkan.

Ada banyak kesalahan dan kekurangan tentunya, namun semoga Allah ridha terhadap tulisan ini…

“Wa ridhawaanum minallahi akbaru, …. dan keridhaan Allah, (selalu) lebih besar.”

 (Qs. At-Taubah: 72)

Wallahu’alam bishshawwab

"UIN Alauddin memiliki visi besar untuk mengembangkan Islam moderat atau Islam washatiyah. Inilah pesan penting Menteri Agama, Lukman Saifuddin, untuk dijabarkan dalam kehidupan kampus."

Menurut Kantor Berita ABNA, Rektor UIN Alauddin Makassar, Prof. H. Musafir Pababbari, mengklarifikasi pernyataannya yang diplintir beberapa media yang berbunyi “Aliran syiah bahkan komunis diterima di kampus UIN Alauddin”. Penyataan Rektor UIN Alauddin ini dilontarkan saat menerima Forum Penggiat Media Islam (Forpemi) Sulsel yang mengkritik UIN Alauddin Makassar karena menerima dua cendikiawan dari Al-Mustafah International University of Iran, Dr. Ghasem Muhammadi dan Dr. Ebrahim Zargar, menjadi pembicara di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin.

Ia mengatakan pesan yang ingin disampaikan dari pernyataan tersebut bahwa siapa saja yang ingin datang ke kampus UIN Alauddin Makassar, akan disambut dan terima secara hangat apalagi kalau dalam rangka pengembangan akademik.

"UIN Alauddin memiliki visi besar untuk mengembangkan Islam moderat atau Islam washatiyah. Inilah pesan penting Menteri Agama, Lukman Saifuddin, untuk dijabarkan dalam kehidupan kampus." kata Prof. Musafir Pababbari, Selasa, 2 Januari 2018.

Prof. Musafir menambahkan kampus adalah ranah pergulatan dan pergumulan intelektual. Kampus bukan tempat untuk kafir mengkafirkan, bukan arena untuk sesat menyesatkan.

"Kita tentu tidak ingin kampus ini menjadi sarang pengembangan radikalisme dan ekstremisme.Visi ini harus dibumikan dalam kehidupan kampus," tambahnya.

Bibit-bibit ekstremisme itu, lanjutnya, bisa muncul akibat dari sempitnya serta dangkalnya pemahaman seseorang kepada sejarah dan peta pemikiran Islam yang begitu dinamis. Itulah sebabnya, UIN Alauddin, jauh sebelumnya, sejak masih IAIN Alauddin, kampus ini sudah memperkenalkan berbagai aliran, sekte, serta kelompok keagamaan yang begitu beragam agar mahasiswa kemudian memiliki wawasan perbedaan yang begitu kaya terhadap khazanah intelektual Islam.

Islam yang diajarkan di kampus UIN Alauddin Makassar, adalah Islam warna-warni yang tidak hanya dilihat dari satu perspektif, tetapi diselami dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Jadi, kalau ada desakan ataupun intervensi dari luar yang ingin mengganggu iklim akademik di kampus, itu berarti belum merasakan denyut nadi pergulatan akademik di kampus UIN Alauddin Makassar.

Sabtu, 06 Januari 2018 14:00

Ulama Berperan Besar Menjaga NKRI

Mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan bahwa para ulama memiliki andil dan peran yang besar dalam menjaga keutuhan NKRI.

Menurut Kantor Berita ABNA, Mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan bahwa para ulama memiliki andil dan peran yang besar dalam menjaga keutuhan NKRI. Penegasan ini dia sampaikan pada Silaturahim Nasional Ulama, TNI dan Polri yang digelar Jam'iyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu'tabaroh An-Nahdliyyah (Jatman) di Pendopo Kabupaten Pekalongan Sabtu (23/12). Silaturahim merupakan  bagian Pra-Muktamar Jatman dan Maulid Kanzus Shalawat yang akan dihelat tak lama lagi.
 
"Kalau kita flashback atau melihat kilas balik sejarah perjuangan kemerdekaan akan didapati fakta bahwa NKRI ini berdiri adalah berkat jasa dan pengorbanan para ulama," kata dia.
 
Di era perjuangan kemerdekaan, TNI (TKR waktu itu) bersama para ulama dan santri bahu-membahu untuk mengusir penjajah. Meletusnya Perang 10 November di Surabaya tidak terlepas dari peran alim ulama. Tidak hanya para kiai dari Surabaya, tapi dari berbagai daerah. Dari Jawa Barat misalnya ada Kiai Abbas Buntet Cirebon. Sebelum ke Surabaya mereka, para kiai ini bermusyawarah di Rembang.
 
Munculnya Resolusi Jihad oleh Hadratusysyaikh KH Hasyim Asy'ari membangkitkan semangat berjuang para kiai dan santri. Perlu diketahui yang berhasil mengebom Jenderal Mallaby hingga tewas bukanlah tentara tetapi santri. Yang merobek bendera Belanda di hotel Majapahit juga bukan tentara, namun santri. Fakta-fakta sejarah ini membuktikan bahwa para ulama betul-betul berperan besar memperjuangkan negara tercinta ini.
 
"Bangsa Indonesia memang memiliki gen sifat pemberani dan jiwa ksatria. Kalau ditelusuri hampir di setiap suku memiliki senjata tradisional. Di Jawa ada keris, di Sunda ada kujang dan di Aceh ada rencong. Selain itu setiap daerah juga memiliki tarian perang. Ini menunjukkan kesiapsiagaan untuk perang jika jati dirinya diusik. Yang menarik di setiap kabupaten di Indonesia pasti ada makam pahlawan. Di luar negeri nggak ada yang seperti ini," papar dia.
 
Jenderal Gatot juga menandaskan, sistem kebangsaan Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara adalah final, tak perlu diotak-atik lagi.
 
"Sistem ini didesain oleh para ulama juga. Kalau kita lihat siapa saja yang duduk di BPUPKI sebagian besar adalah para ulama dan kiai," papar Gatot lagi.
 
Sementara itu, Bupati Pekalongan H Asip Kholbihi menyambut baik terselenggaranya kegiatan tersebut. Maulid Kanzus Sholawat dan pra-mu'tamar JATMAN. Keberadaan Maulid Kanzus dengan rangkaiannya menjadikan Pekalongan layak disebut Kota Maulid dan ini membawa keberkahan bagi pemerintah dan masyarakat Kabupaten Pekalongan.
 
Sementara itu Maulana Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya selaku Rais Aam Jatman dalam tausyiah-nya menegaskan kekuatan ulama, TNI dan POLRI tidak bisa dipisahkan sebagai penjaga keutuhan NKRI.
 
Sebagai generasi penerus semestinya mempelajari sejarah dengan baik dan berterimakasih atas jasa para ulama dan pahlawan.
 
"Tanyakan pada diri kita apa yang sudah kita berikan kepada bangsa dan negara, jangan malah mengkritisi para ulama dan pahlawan terdahulu yang telah jelas jasanya untuk bangsa dan negara," pungkas Habib Luthfi. 

Presiden Jokowi mengatakan, keputusan Presiden Trump yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel tidak saja melukai hati umat Islam, namun juga melukai rasa keadilan umat manusia.

Menurut Kantor Berita ABNA, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara tegas menolak pengakuan Presiden Trump yang mengatakan bahwa Yerusalem adalah Ibu kota Israel. Hal itu ia sampaikan saat berpidato dalam KTT Luar Biasa OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) di Istanbul, Turki (13/12).

“Pengakuan ini tidak dapat diterima. Sekali lagi, pengakuan Presiden Trump tidak dapat diterima dan harus dikecam secara keras,” kata Presiden Jokowi. Untuk itu, Ia mengajak seluruh negara OKI dapat bersatu dan mengenyampingkan segala perbedaan untuk membela Palestina.

“Isu Palestina harus merekatkan kita kembali. Kita bulatkan suara dan persatuan untuk membela Palestina,” ucap Presiden. Presiden Jokowi mengatakan, keputusan Presiden Trump yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel tidak saja melukai hati umat Islam, namun juga melukai rasa keadilan umat manusia.

“Harapan akan kemerdekaan dijauhkan oleh keputusan yang sangat tidak berkeadilan ini. Keputusan tersebut memupuskan harapan terwujudnya perdamaian abadi. Oleh karena itu, keputusan tersebut harus ditolak,” ungkap Presiden.

Selain itu, menurut Presiden, keputusan sepihak tersebut juga dinilai melanggar berbagai Resolusi Dewan Keamanan PBB terkait Palestina. Oleh karena itu, Presiden menegaskan keputusan tersebut harus ditolak.

“Masyarakat Indonesia, dan saya yakin masyarakat negara OKI mengharapkan banyak dari Pertemuan KTT ini. Mereka mengharapkan agar KTT ini dapat mengeluarkan hasil yang optimal, hasil yang dapat ditindaklanjuti, hasil yang dapat dirasakan dampaknya bagi masa depan Palestina,” ujar Presiden.

Dalam kesempatan tersebut, Presiden Jokowi juga menyampaikan enam poin penting usulan sikap negara anggota OKI.

“Pertama, OKI harus secara tegas menolak pengakuan unilateral tersebut. Two-state solution adalah satu-satunya solusi dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina,” ucap Presiden.

Kedua, Presiden mengajak semua negara yang memiliki Kedutaan Besar di Tel Aviv, Israel, untuk tidak mengikuti keputusan Amerika Serikat memindahkan kedutaan mereka ke Yerusalem.

“Ketiga, negara OKI dapat menjadi motor untuk menggerakkan dukungan negara yang belum mengakui kemerdekaan Palestina, untuk segera melakukannya,” kata Presiden Jokowi.

Keempat, bagi negara anggota OKI yang memiliki hubungan dengan Israel agar mengambil langkah-langkah diplomatik. “Termasuk kemungkinan meninjau kembali hubungan dengan Israel sesuai dengan berbagai Resolusi OKI,” tutur Presiden.

“Kelima, anggota OKI harus ambil langkah bersama tingkatkan bantuan kemanusiaan, peningkatkan kapasitas dan kerja sama ekonomi kepada Palestina,” ujar Presiden.

Keenam, Presiden berharap OKI harus mampu menjadi motor bagi gerakan di berbagai forum internasional dan multilateral untuk mendukung Palestina, termasuk di Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB. 

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei saat bertemu dengan staf dan anggota Dewan Koordinasi Dakwah Islam seluruh Iran menyebut Amerika Serikat sebagai pemerintah paling korup dan terzalim di dunia.

Menurut Kantor Berita ABNA, Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei saat bertemu dengan staf dan anggota Dewan Koordinasi Dakwah Islam seluruh Iran menyebut Amerika Serikat sebagai pemerintah paling korup dan terzalim di dunia.

Seperti diberitakan pusat penerangan kantor Rahbar, Ayatullah Khamenei di pertemuan ini seraya mengucapkan selamat atas kelahiran Imam Hasan Askari as dan peringatan perjuangan 9 Dey 1388 HS (30 Desember 2009) menambahkan, dukungan AS terhadap Daesh dan teroris Takfiri, kerja sama dengan pemerintah diktator seperti Al Saud serta dukungan terhadap kejahatan Israel dan kejahatan yang terjadi setiap hari terhadap warga Yaman, contoh dari esensi korup dan kotor Amerika Serikat.

Rahbar seraya mengisyaratkan diskriminasi di Amerika dan sistem peradilan di negara ini mengatakan, meski ada krisis dan cacat dasar, mereka mendakwa lembaga peradilan negara lain, termasuk lembaga peradilan Iran.

Ayatullah Khamenei menilai sia-sia biaya besar dan rencana rumit AS untuk mengobarkan friksi politik, mazhab, etnis dan bahasa di Iran. "Atas izin Allah Swt, bangsa Iran dan pemerintah Republik Islam akan membuat Amerika putus asa di berbagai bidang," tegas Rahbar.

Rahbar seraya menjelaskan bahwa Republik Islam dengan kekuatan yang terus meningkat akan melanjutkan kemajuannya, menekankan, jalan kemajuan ini juga akan tetap berlanjut di era pemerintahan presiden Amerika saat ini dan dan titik-titik panas eksodus atau pelemahan Republik Islam akan tetap melekat di hati mereka.

Ayatullah Khamenei seraya mengisyaratkan upaya tak kenal henti AS untuk menganggu dan merampas harapan serta kepercayaan dari bangsa Iran, mengingatkan, 9 Dey dengan segala keagungannya, adalah hari pembalasan bangsa Iran atas permaianan seperti ini dan membela nilai-nilai Revolusi dan agama serta saat ini pembahasan mengenai komitmen terhadap nilai-nilai masih tetap ada. 

Sabtu, 06 Januari 2018 13:57

Rakyat Iran Turun ke Jalan Kecam Perusuh

Rakyat Iran hari ini, Rabu (3/1) menggelar unjuk rasa di sebagian besar kota untuk menunjukkan kemarahan dan kecamannya atas konspirasi baru musuh dan aksi para perusuh yang merusak fasilitas publik.

Menurut Kantor Berita ABNA, Rakyat Iran hari ini, Rabu (3/1) menggelar unjuk rasa di sebagian besar kota untuk menunjukkan kemarahan dan kecamannya atas konspirasi baru musuh dan aksi para perusuh yang merusak fasilitas publik.

Rakyat Iran, hari ini, Rabu (3/1) di sebagian besar kota negara ini termasuk Dehloran, Provinsi Ilam, Ahvaz dan Izeh di barat daya Iran, Lorestan, Hamedan dan Kermanshah di barat Iran, Provinsi Alborz di barat Tehran, Isfahan dan Provinsi Markazi, ikut serta dalam aksi unjuk rasa luas mengecam konspirasi baru musuh dan fitnah mereka.

Para pengunjuk rasa juga mengumumkan kesetiaan mereka atas cita-cita Imam Khomeini, Pendiri Republik Islam Iran, Revolusi Islam dan Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar.

Dalam pawai ini, rakyat Iran meneriakkan slogan "Mampus Amerika" dan "Mampus Israel" dan menuntut diakhirinya kerusuhan dan kekacauan di beberapa kota negara ini.

Pengunjuk rasa juga menuntut pejabat pemerintah Iran untuk menindak tegas koruptor dan lebih memikirkan masalah ekonomi masyarakat terutama masalah pengangguran.

Unjuk rasa rakyat Iran untuk mengecam kerusuhan terbaru juga digelar hari Kamis (4/1) dan Jumat (5/1) di beberapa kota Iran. 

Dua naskah bergambar kitab Jami Al Tawarikh karya Rashid Al Din Fadlallah Hamadani yang tersimpan di Museum Istana Golestan tercatat sebagai warisan budaya dunia UNESCO.

Jami Al Tawarikh adalah jendela untuk menengok masa lalu, bukan saja bagi rakyat Iran, tapi juga bagi seluruh masyarakat dunia. Pasalnya, karya ini membuka horizon "Iran Budaya" yang menembus batas-batas politik dari Iran yang kita kenal sekarang.

Pertemuan komisi konsultatif internasional, Program Memori Dunia, UNESCO pada 24-27 Oktober 2017 di Paris menyetujui usulan sejumlah negara untuk mengkaji pencatatan peninggalan budaya di era baru dan memasukkan 78 nominasi baru  daftar warisan dunia.

Di antara benda cagar budaya yang masuk nominasi ini adalah kitab Jami Al Tawarikh yang diusulkan oleh Komite Nasional Warisan Dunia Iran. Dengan demikian, sampai sekarang ada 427 benda cagar budaya yang tercatat dalam daftar warisan dunia UNESCO, dan Iran menyumbang 10 karya.  

Jami Al Tawarikh karena mencatat peristiwa-peristiwa sejarah dan mengulas kajian sosial-politik, dianggap sebagai kitab yang memiliki keunikan tersendiri. Dua naskah tulisan tangan bernilai dari kitab ini sebelumnya dipromosikan untuk masuk daftar warisan dunia UNESCO.

Naskah pertama ditulis pada tahun 1004 HQ atau tahun 1595 dalam 305 halaman dan naskah kedua ditulis pada tahun 1074 HQ atau tahun 1665. Kedua naskah kitab ini disimpan di Museum Istana Golestan, Tehran dan dianggap memiliki nilai artisktik tinggi. 

Rashid Al Din Fadlallah Hamadani dilahirkan tahun 629 HS atau tahun 1250 di kota Hamedan dan meninggal pada tahun 696 HS atau 1317. Ia adalah seorang politikus, sejarawan dan dokter terkemuka Iran sekaligus penulis kitab Jami Al Tawarikh. Di masa ia menjabat menteri, banyak bangunan didirikan termasuk Rab-e Rashidi.

Kitab Jami Al Tawarikh
Rashid Al Din menulis Jami Al Tawarikh atas permintaan Ghazan Khan, namun karena Ghazan Khan meninggal, kitab itu akhirnya diserahkan kepada Mohammad Khudabanda Oljaitu. Atas perintah Oljaitu, kitab itu kemudian diberi nama "Mobarak Ghazani" untuk menghormati Ghazan Khan.

Bagian lain kitab ini mencakup penjelasan sejarah masa kekuasaan Oljaitu, sejarah bangsa-bangsa dunia, Suwar Al Aqalim dan Masalik Al Mamalik yang ditulis dalam dua jilid dan ditambahkan pada bagian pertama.

Ketiga jilid ini secara keseluruhan dikenal sebagai kitab Jami Al Tawarikh. Kitab Mubarak Ghazani mencatat sejarah kabilah-kabilah Turki, Mongol dan leluhur Jengis Khan, termasuk riwayat kehidupannya semenjak kanak-kanak hingga menjadi penguasa Mongol. Bagian kitab ini merupakan campuran legenda dan sejarah.

Begitu juga sejarah era kekuasaan anak keturunan Jengis Khan di Asia Tengah, gurun Qepchagh, Cina dan Ilkhanat Mongol di Iran dari Hulagu sampai Ghazan Khan. Hampir di seluruh isi kitabnya, penulis memberikan informasi yang padat tentang sejarah di masa ia hidup dan itu dianggap sebagai salah satu kekhususan buku ini.

Jilid kedua dan ketiga Jami Al Tawarikh mencakup pembahasan tentang sejarah Ilkhanat Oljaitu hingga masa sebelum ditulisnya kitab, sejarah para nabi mulai dari Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad Saw, sejarah Iran hingga akhir era Sasani, sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw dan para khalifah.

Selain itu, sejarah keluarga penguasa Iran pasca Islam sampai era pengerahan pasukan Mongol dan sejarah sejumlah bangsa dunia termasuk bangsa Oghuz Turk, Cina, India dan Eropa. Jilid ketiga mencakup pembahasan Suwar Al Aqalim dan Masalik Al Mamalik.

Kitab Jami Al Tawarikh
Di antara pembahasan penting yang terdapat dalam jilid kedua kitab Jami Al Tawarikh adalah, sejarah bangsa Oghuz, sejarah Cina, sejarah India dan Buddha, sejarah bangsa Eropa, akhir kekuasaan Ismaili dan Nizari dalam pandangan sejarawan Islam. Pembahasan-pembahasan itu dinilai luar biasa dan terhindar dari fanatisme serta ditulis berdasarkan sumber-sumber terpercaya, riwayat dan keterangan kaum yang bersangkutan.

Rashid Al Din Hamadani menulis sejarah Cina dengan merujuk sumber-sumber asli Cina. Ia juga bekerjasama dengan sejumlah ilmuwan Cina dan berdiskusi dengan mereka. Bagian kitab Jami Al Tawarikh ini adalah karya sejarah Cina pertama yang independen dan komprehensif yang ditulis penulis Iran dan Islam. Dalam kitab ini, sejarah India dan kehidupan Sang Buddha ditulis dengan cukup terperinci.

Meski penulis adalah salah satu pegawai Kekaisaran Mongol dan terpaksa mencantumkan catatan untuk menghormatinya, namun ia juga melaporkan pembunuhan, perusakan dan perampokan yang dilakukan Mongol secara detail dan menunjukkan penyesalannya atas realitas tersebut.

Sejarawan Iran ini juga menyampaikan pendapatnya tentang pembunuhan para pegawai Iran seperti Khwaja Shamsedin Jouini dan Khwaja Bahaedin Jouini, bahkan beberapa penguasa Mongol sendiri seperti Amir Nowrouz.

Begitu juga mengungkap tentang persengkokolan, alasan dan prakondisi pembunuhan para pegawai tersebut. Selain itu ia juga menjelaskan masalah hidup masyarakat, mata pencaharian, kondisi keagamaan dan perilaku pemerintah terhadap para pegawainya.

Kitab Jami Al Tawarikh
 Rashid Al Din Hamadani dalam menulis karyanya menggunakan berbagai sumber di antaranya, dalam sejarah Islam ia menggunakan kitab Al Kamil, karya Ibnu Atsir, dalam sejarah penguasa Iran, ia bersandar pada kitab Tarikh Tabari dan Al Kamil, dan kitab Fars Nameh, Ibn Balkh dan Muruj Al Dzahab, karya Masoudi dan beberapa kitab tafsir dan kisah-kisah Al Quran.

Ia juga mengutip informasi dan riwayat lisan dari Ghazan Khan sendiri dan beberapa pejabat kerajaan, ilmuwan, sejarawan, para penguasa Uighur, Cina, bangsa Khitan, India, Qepchagh dan sejumlah kaum lain yang tinggal di lingkungan kerajaan. Misalnya dalam menulis sejarah Cina, Rashid Al Din Hamadani meminta bantuan dua ilmuwan Cina yang tinggal di Tabriz.

Gaya penulisan kitab Jami Al Tawarikh berbeda dengan Tarikh-e Jahangusha-ye Juwayni dan Tarikh-e Washaf, sangat mudah, dan tulisan-tulisan berbahasa Mongol diterjemahkan ke bahasa Farsi. Kitab ini di masa hidup penulisnya diterjemahkan ke bahasa Arab, Turki dan Mongol, akan tetapi hanya bagian terjemahan bahasa Arab yang masih tersisa sekarang.

Bagian-bagian kitab Jami Al Tawarikh hingg kini sudah diterjemahkan ke sejumlah bahasa seperti Turki Timur, Turki Usmani, Arab, Perancis, Inggris, Jerman dan Rusia. Bagian kitab ini diterjemahkan pertama kali pada tahun 1836 di Paris. Sayid Jalaludin Tehrani menerbitkan Jami Al Tawarikh pada tahun 1313 HS atau 1934 di Tehran.

Karya budaya Iran yang masuk dalam daftar warisan dunia UNESCO bukan naskah tertua kitab Jami Al Tawarikh, tapi kitab ini dapat dianggap sebagai kitab dengan desain dan ilustrasi bergambar tertua.

Masoud Nosrati, Direktur koleksi dunia Museum Istana Golestan Tehran menganggap kitab Jami Al Tawarikh sebagai salah satu kitab langka yang dihias dengan perlit emas bergambar pohon dan beraneka ragam hewan, dan setiap gambar di kitab ini menjelaskan tema khusus yang memuat penjelasan di atasnya.

Kitab Jami Al Tawarikh
Kitab Jami Al Tawarikh karya Rashid Al Din Hamadani adalah mahakarya abad pertengahan Iran. Di samping kejelian dan kebijaksanaannya dalam masalah politik, Rashid Al Din Hamadani juga adalah sejarawan ulung yang dikenal karena keakuratannya dalam mengumpulkan informasi berharga.

Dalam lukisan-lukisan yang memenuhi kitab Jami Al Tawarikh, banyak digunakan gaya lukisan Cina dan gaya Mesopotamia, terutama dalam lukisan-lukisan yang mengilustrasikan sejarah Cina dan Mongol. Namun nuansa khas budaya Iran masih begitu terasa dalam setiap lukisan.

Meski Iran di masa lalu sempat mengalami aksi perusakan dan penghancuran sebagian besar peninggalan budaya dan seninya di masa Mongol dan Ilkhanat, namun masih tersisa sejumlah karya indah lainnya sekelas kitab Jami Al Tawarikh yang menggambarkan masa Ilkhanat di Iran.

Rashid Al Din Hamadani dengan menggunakan kapasitas salah satu kekaisaran besar dunia, memanfaatkan seniman dan ilmuwan dari berbagai penjuru dunia dalam menulis kitab Jami Al Tawarikh.

Ditambahkannya lukisan-lukisan indah dan hidup dalam kitab ini, menciptakan sebuah seni menawan sehingga membuat Jami Al Tawarikh masih dikenang hingga sekarang.

Sabtu, 06 Januari 2018 13:54

Dilarang Mencari-cari Keburukan Tetangga

Imam Shadiq as berkata:

"Sesungguhnya Allah melarang seseorang untuk mencari-cari tahu tentang rumah tetangganya. Bila seseorang mencari-cari rahasia saudara muslimnya atau yang lainnya, maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam bersama orang-orang munafik. Mereka adalah orang-orang yang mencari-cari keburukan orang lain. Mereka tidak akan mati sampai  Allah mempermalukannya, kecuali bila mereka bertaubat.” (Seiri Dar Resale-ye Huquq-e Ayatollah Yatsrebi, jilid 3, hal 89)

Mengintip Rumah Tetangga

Rasulullah Saw bersabda:

“Barang siapa yang mengintip rumah tetangganya dan dia melihat aurat seorang lelaki atau rambut seorang perempuan, maka layak bagi Allah untuk memasukkannya ke dalam neraka bersama orang-orang munafik. Yaitu mereka yang di dunia senantiasa mencari-cari aurat (aib)nya orang lain dan mereka tidak akan keluar dari dunia sampai Allah mempermalukannya dan auratnya akan ditampakkan di hadapan orang lain di akhirat.” (Tarjumeh Iqabul A’mal Shaduq, hal 468)

Mengambil Pekarangan Tetangga

Rasulullah Saw bersabda:

“Barang siapa yang mengambil sejengkal dari pekarangan tetangganya, maka pada Hari Kiamat Allah akan mengikat lehernya dengan ikatan dari api sampai pada kedalaman bumi tingkat ketujuh untuk memasukkannya ke dalam neraka Jahannam.” (Tarjumeh Iqabul A’mal Shaduq, hal 645)

Akibat Melanggar Hak Tetangga

Rasulullah Saw bersabda:

“Barang siapa yang membangun sebuah bangunan karena riya, maka pada Hari Kiamat, Allah akan membebankan bangunan tersebut padanya sampai pada kedalaman bumi tingkat ketujuh dan api berkobar darinya kemudian lehernya diikat dengan ikatan dari api dan pada akhirnya ia dilemparkan ke dalam neraka Jahannam. Hanya dasar neraka yang akan meliputinya atau dia harus bertaubat.

Dikatakan kepada Rasulullah Saw, Wahai Rasulullah! Bagaimana orang seperti ini membangun sebuah bangunan karena riya?

Rasulullah Saw bersabda, “Dia membangun sebuah bangungan lebih besar dari kebutuhannya karena melanggar hak tetangganya dan untuk pamer di hadapan saudara-saudaranya yang seiman.” (Wasail as-Syiah, jilid 3. Hal 588)

Kisah-Kisah Penuh Pelajaran Tentang Tetangga Pengganggu

Kematian Tetangga Pengganggu

Seorang lelaki datang menemui Rasulullah Saw, “Si fulan adalah tetangga saya dan dia mengganggu saya.”

Rasulullah Saw bersabda, “Bersabarlah atas gangguannya dan engkau jangan mengganggunya.”

Tidak lama orang lelaki ini datang lagi menemui Rasulullah Saw dan berkata, “Wahai Rasulullah! Tetangga pengganggu itu mati.”

Rasulullah Saw bersabda, “Cukup kehidupan sehari-hari sebagai nasihat dan kematian sebagai pemisah.” (Biharul Anwar, jilid 74, hal 153)

Engkau Kenyang, Tetanggamu Lapar

Salah seorang murid Syeikh Rajab Khayyat mengatakan, “Saya mendengar dari beliau berkata:

“Suatu malam saya bermimpi sebagai orang yang tertuduh sebagai pelaku kejahatan dan datanglah polisi untuk membawa saya ke penjara. Paginya saya sedih memikirkan apa sebabnya mimpi saya ini. Dengan pertolongan Allah saya memahami mimpi saya ada kaitannya dengan tetangga. Saya meminta keluarga saya untuk melakukan penelitian dan mengabarkan kepada saya.

Tetangga saya yang pekerjaannya adalah sebagai tukang bangunan, ternyata dalam beberapa hari ini tidak mendapatkan kerjaan dan kemarin malam dia dan istrinya tidur dalam keadaan lapar. Disampaikan kepada saya, “Mengapa engkau di malam hari kenyang sementara tetanggamu dalam keadaan lapar. Pada saat itu juga saya punya simpanan tiga Abbasi (mata uang) dan saya meminjam satu Abbasi ke pemilik toko peracangan di daerah tempat tinggal saya dan saya berikan kepada tetangga saya sambil meminta maaf dan saya meminta kepadanya untuk mengabari saya bila tidak ada kerjaan dan tidak punya uang.” (Kisah-Kisah Menarik, hal 256) (Mahajjatul Baidha, jilid 3, hal 427) (Emi Nur Hayati)

Sabtu, 06 Januari 2018 13:29

Jauh Dari Permainan Sia-Sia

Shaghwan Jammal mengatakan, “Saya datang menemui Imam Shadiq as dan bertanya kepada beliau tentang imam setelahnya.”

Beliau menjawab, “Pemilik imamah tidak akan bermain yang sia-sia.”

Pada saat itu juga saya melihat Musa bin Jakfar yang pada saat itu masih kanak-kanak datang bersama seorang anak kambing. Dia mengambil kambing itu dan berkata kepadanya, “bersujudlah kepada Tuhanmu”.

Imam Shadiq as kemudian memeluknya dan berkata, “Ayah dan ibuku sebagai tebusan orang yang tidak bermain sia-sia.”

Kabar Tentang Masa Depan

Abu Khalid mengatakan, “Mahdi Abbasi [Khalifah Abbasiyah yang ketiga] memerintahkan untuk menangkap Imam Kazhim as. Para petugasnya membawa beliau dari Madinah menuju Bagdad menemui Mahdi Abbasi. Di jalan saya berbicara dengan beliau. Beliau berkata kepada saya, “Mengapa engkau bersedih?”

Saya berkata, “Mengapa saya tidak harus bersedih? Sementara Anda akan dibawa ke Tahgut ini [Mahdi Abbas] dan saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada Anda?”

Imam Kazhim as berkata, “Dalam safar ini tidak akan ada bahaya yang mengenaiku. Ketika bulan tertentu tiba, di hari tertentu dan di tempat tertentu, datang temuilah aku!”

Saya senantiasa menghitung detik-detik yang ada sampai tibalah hari itu. Pada hari itu juga saya menuju ke tempat itu. Matahari hampir terbenam. Saya masih belum tahu tentang kabar Imam Kazhim as. Setan membuat saya waswas dan saya meragukan kata-kata Imam yang menyebutkan tentang waktu tertentu, di tempat tertentu temuilah aku.

Tiba-tiba mata saya tertuju pada sesuatu yang hitam datang dari arah Irak. Saya maju dan saya melihat Imam Kazhim as berada di bagian depan karavan menunggangi kendaraan dan menyapa saya, “Hai Abu Khalid!”

Saya menjawab, “Iya wahai putra Rasulullah!”

Imam Kazhim as berkata, “Tentunya jangan ragu, karena setan senang bila engkau ragu.”

Saya katakan, “Puji syukur kepada Allah yang telah menjaga Anda dari bahaya taghut.”

Kemudian beliau berkata, “Aku akan dibawa lagi kepada mereka dan kali ini aku tidak akan dibebaskan (dengan ucapan ini beliau mengisyaratkan tentang penangkapannya atas perintah Harun dan beliau akan mencapai syahadah di penjaranya).

Kabar Tentang Masa Depan

Ishaq bin Ammar mengatakan, “Saya berada bersama Imam Kazhim as. Beliau memberitahukan tentang kematian seseorang kepada orangnya sendiri.

Saya berkata kepada diri saya sendiri, “Memangnya Imam Kazhim tahu masing-masing dari pengikutnya kapan akan mati?”

Seketika itu juga Imam Kazhim memandang saya dengan wajah marah dan berkata, “Hai Ishaq, Rusyid salah seorang sahabat dekat Imam Ali as tahu tentang ilmu manaya dan balaya [kematian dan musibah]. Imam lebih layak untuk memiliki ilmu tersebut.”

Kemudian beliau berkata, “Wahai Ishaq! Lakukan apa saja yang kau inginkan dan lakukan pekerjaan-pekerjaanmu. Karena usiamu telah berakhir dan tidak sampai dua tahun engkau akan mati dan keluargamu beberapa hari setelah kematianmu akan berselisih satu sama lainnya dan saling mengkhianati yang lainnya sedemikian rupa sehingga para musuhpun akan mencela mereka. Lalu sekarang engkau berkhayal dalam hatimu, bagaimana kami memberikan kabar tentang masa depan?”

Ishaq berkata, “Apa yang terjadi dalam hatiku adalah saya meminta ampunan kepada Allah.”

Setelah kejadian ini berlalu, Ishaq meninggal dunia. Sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Imam Kazhim, keluarga Ishaq saling berselisih dan mereka mengambil harta kekayaan orang lain dan perbuatan mereka membuat mereka sengsara. 

Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Musa Kazdim as.