Diskriminasi terhadap Muslim Rohingya

Rate this item
(0 votes)
Diskriminasi terhadap Muslim Rohingya

Pemerintah Myanmar menyatakan siap bekerjasama dengan masyarakat internasional dalam penanganan masalah pengungsi minoritas Muslim Rohingya. Pernyataan ini mengemuka setelah publik dunia mengecam kebijakan pemerintah Myanmar yang tidak mampu menghentikan eksodus Muslim Rohingya ke wilayah mereka.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggambarkan kelompok Rohingya sebagai minoritas yang paling teraniaya sedunia.Meskipun sudah tinggal sejak lama di Myanmar, namun etnis Rohingya tetap dianggap bukan bagian dari warga negara Asia Tenggara ini. Ironisnya, otoritas Myanmar lebih memilih istilah "warga Bengal" yang menunjukkan mereka imigran ilegal dari Bangladesh.Etnis Rohingya yang berjumlah sekitar 1,1 juta jiwa hidup tanpa memiliki kewarganegaraan dan terus-menerus menerima diskriminasi di Myanmar. Pada 2012, sekitar 140 ribu mengungsi setelah bentrok dengan mayoritas umat Buddha di Rakhine.

Pemerintah Naypyidaw membantah diskriminasi terhadap kelompok minoritas Rohingya dan mengklaim kondisi yang menimpa Rohingya saat ini bukan sumber masalah. Kepala militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing meragukan asal mayoritas pengungsi. Min menyatakan bahwa para "manusia perahu" itu sebagian besar berasal dari Bangladesh, bukan Myanmar. "Sebagian besar mengaku diri mereka adalah etnis Rohingya dari Myanmar dengan harapan menerima bantuan dari UNHCR," kata Min kepada harian pro pemerintah, Global New Light of Myanmar, dikutip dari Reuters, Jumat (22/5).

Dilaporkan, juru bicara Presiden Myanmar, Zaw Htay menyatakan pemerintah Naypyidaw bersedia hadir dalam pertemuan darurat dengan pejabat sejumlah negara ASEAN untuk membahas isu Rohingya di Bangkok pada 29 Mei 2015.

Nasib masyarakat Rohingya semakin tidak menentu setelah Presiden Myanmar Thein Sein menandatangani undang-undang keluarga berencana baru-baru ini. Aktivis mencemaskan UU bakal menyasar minoritas yang rentan bertahan di Myanmar.

Alih-alih memikirkan masa depan etnis Rohingya, Undang-Undang Perawatan Kesehatan Kendali Populasi justru hendak membatasi pertumbuhan penduduk komunitas Muslim. UU ini ditandatangani Thein Sein pada 19 Mei lalu. Lewat UU ini, pemerintah Myanmar akan mengadopsi kebijakan kontrol populasi di negara-negara bagian.

Kelompok pemerhati hak asasi manusia serta lembaga pengawasan kesehatan menyebut pemerintah Naypyidaw sudah menetapkan kebijakan dua anak di negara bagian Rakhine. Di sana, jumlah penduduk Muslim melampaui kelompok Budha.

UU keluarga berencana terbaru Myanmar didukung biksu-biksu Budha garis keras. Mereka terus mendesak pemerintah menangkal apa yang mereka sebut ÔÇ£pengaruh kelompok minoritas Muslim.ÔÇØ Menurut kelompok pendukung UU, warga minoritas berencana memiliki anak yang lebih banyak ketimbang populasi Buddha.

Jumlah Muslim Myanmar sekitar 4% dari keseluruhan penduduk 51 juta jiwa. Namun, beberapa perkiraan menyebut jumlahnya mendekati 10%. Zin Mar Aung, salah seorang aktivis terkemuka Myanmar menilai UU tersebut sebagai bentuk ÔÇ£tirani mayoritas.ÔÇØ

Sikap tidak perduli terhadap penderitaan Rohingya juga ditampilkan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Myanmar pimpinan Aung San Suu Kyi, yang menentang pemberian hak kewarganegaraan buat Muslim Rohingya. Penolakan tersebut kontras dengan pemberitaan berbagai media pada hari Sabtu (23/5) yang mengutip statemen Aung San Suu Kyi mengenai permohonan ketua NDL Myanmar kepada pemerintah Myanmar untuk memberikan hak kewarganegaraan bagi etnis Muslim Rohingya.

Tampaknya, selama pemerintah Naypyidaw tidak mengakui Rohingya sebagai warga negara Myanmar, yang harus diberikan hak-haknya terutama perlindungan hukum dari tirani pihak lain, maka akar masalah eksodus manusia perahu tidak akan terpecahkan. Sebab, sebagian masalah justru terletak di tangan pemerintah dan rakyat Myanmar sendiri.

Read 1707 times