کمالوندی
Penuturan Doktor Fahimeh Mostafavi Tentang Ayahnya, Imam Khomeini ra (2)
Bagaimana sikap Imam Khomeini terhadap keluarga?
Sikap Imam Khomeini terhadap kami mengingatkan kami pada gaya hidup Rasulullah Saw. Meskipun beliau sibuk dengan kajian dan mengajar fiqih, namun beliau tidak sampai melalaikan anak-anaknya. Beliau tidak melupakan hak-hak keluarga dan kewajibannya mendidik anak-anaknya. Untuk mewujudkan masalah ini, setiap hari beliau menyisihkan waktunya untuk menyenangkan anak-anaknya bahkan bermain dengan mereka. Namun saat bermain dengan anak-anaknya beliau tidak melupakan pesan pendidikan di dalamnya.
Saya masih ingat ketika masa kanak-kanak, saya dan dua orang saudara perempuan saya yang lebih besar; mereka berusia sembilan dan sebelas tahun. Padahal sebelumnya sudah diingatkan oleh Imam Khomeini untuk tidak pergi ke rumah tetangga, tapi kami tetap saja pergi ke sana. Untuk menghukum kakak saya yang lebih besar, beliau mengambil sebuah ranting dan memukulkannya ke dinding untuk membuat jera kakak saya. Ranting itu putus dan sebagian dari kayunya terlempar mengena kaki kakak saya. Setelah beberapa saat kakinya sedikit merah. Imam Khomeini kemudian mengetahui hal ini dan melihat kaki kakak saya yang sedikit merah. Kemudian beliau membayar diyahnya kepada kakak saya dan dengan menjaga kondisi yang ada, beliau mengulangi lagi perintahnya.
Ketika kami masih kanak-kanak, setelah Zuhur kami bermain. Sehingga membuat Imam Khomeini tidak bisa tidur. Namun yang dilakukan Imam Khomeini adalah memanggil salah satu dari kami; itu berarti kami terlalu ribut dan mengganggu. Saya sering mendengar beliau berkata:
“Sore hari ini saya tidak tidur. Anak-anak membuat saya tidak bisa tidur.”
Tentunya ucapan ini dalam bentuk obrolan yang disampaikan kepada ibu kami. Bukan sebuah kemarahan yang ditujukan kepada kami misalnya, “Mengapa kalian menganggu? Atau mengapa kalian ribut?”
Ketika musim panas dan saya masih kanak-kanak, Imam Khomeini dan ibu berada di halaman sedang menanam bunga. Waktu itu setelah shalat Magrib dan Isya. Imam menggemburkan tanah taman dengan pisau dapur. Ibu saya yang menanam bunganya. Kami dan anak-anak tetangga sedang sibuk bermain di dalam ruangan. Di balik jendela tersusun kasur lipat. Kakak perempuan saya mengangkat salah satu anak tetangga dan mendudukkannya di atas kasur kuat-kuat. Sehingga punggungnya mengena kaca jendela dan pecahlah kaca jendela itu. Kaca hancur dari atas sampai ke bawah dan jatuh tepat di mana Imam Khomeini dan ibu kami sedang sibuk menanam bunga. Kami berpikir bahwa Imam Khomeini pasti melakukan protes pada kami. Tapi beliau tidak mengatakan apa-apa. padahal tangan beliau terluka dan darahnya mengalir. Beliau hanya memanggil pembantu yang ada di rumah kami dan meminta untuk membersihkan serpihan kaca-kaca itu.
Kalaupun karena suatu hal kami harus dihukum, malamnya beliau bersikap sedemikian rupa untuk menyenangkan hati kami. Kami pada masa itu tidak memahaminya, tapi sekarang ketika masa telah berlalu, kami baru memahami akan kasih sayang Imam Khomeini. Suatu malam beliau membeli permen untuk saya karena saya habis dihukum. Beliau berkata:
“Ini saya beli untuk Fahimeh.”
Secara keseluruhan, sikap Imam Khomeini pada anak-anaknya sangat lembut. Meskipun beliau punya cucu yang berusia dua sampai tiga tahun dan anak-anak yang berusia tiga puluh sampai empat puluh tahunan, tidak ada sesuatu yang bisa disembunyikan dari beliau. Karena kecerdasannya beliau sangat cepat memahami sesuatu. Imam Khomeini tidak pernah bertanya kepada anak-anak, “Kamu tadi di mana?” tujuannya supaya bila kami tidak ingin mengatakannya, kami tidak harus terpaksa berbohong. Bahkan ketika kami mengatakan, “Kami mau pergi.” Mungkin sekali saja beliau mengatakan:
“Mengapa? Tinggal di sini saja.”
Tapi tidak sampai seseorang dalam dirinya lantas mengatakan bila saya sekarang pergi, maka tidak pantas dan berarti tidak mengamalkan ucapan Imam Khomeini. Justru malah sebaliknya, sikap Imam Khomeini sedemikian rupa sehingga kita senantiasa ingin tetap tinggal di sisinya. Saya masih ingat, bila saya baru pulang dari luar, beliau tidak pernah menanyakan, “Kamu tadi di mana?” bila saya ingin keluar dari rumah, beliau tidak pernah mengatakan, “Kamu mau kemana? Tapi mengatakan:
“Kalau bisa tetaplah tinggal [di sini]!”
Secara umum beliau sangat memberi kebebasan pada anak-anaknya. Beliau mengatakan:
“Biarkan mereka menumpahkan, memegang, mengotori. Biarkanlah. Anak-anak harus begitu.”
Beliau juga tidak akan menasihati anak-anak yang lebih besar. Pada hakikatnya beliau adalah contoh praktis bagi anak-anak. Imam Khomeini memberikan kebebasan pada cucu-cucunya sebagaimana beliau memberikan kebebasan pada anak-anaknya. Ketika cucu-cucunya mengelilinginya, beliau sangat gembira. Bila ibunya ingin mencegahnya agar tidak sampai mengganggu Imam Khomeini, beliau melarangnya dan mengatakan:
“Mereka ini anak-anak. Biarkan bermain.”
Cucu-cucunya memegang jenggotnya, menggeluti lutut, kaki dan memutari kakinya. Atau menaiki badannya untuk mematikan dan menyalakan tombol stop kontak lampu. Selama itu Imam Khomeini tidak marah dan tidak protes. Kecuali bila ada kerjaan. Terkadang ketika sedang menonton tv, anak-anak melanjutkan permainannya dan mengganggunya.
Imam Khomeini telah memberikan kebebasan mutlak pada kami saat masa kanak-kanak dan beliau tidak mempersulit urusan kami. Namun ketika kami menjelang usia baligh dan semakin besar, beliau mengawasi sebagian urusan kami. Dengan semua ini, sikap beliau terhadap cucu-cucunya yang masih remaja dan muda berbeda dengan sikap beliau terhadap orang-orang dewasa. Sikap beliau terhadap kami lebih serius, juga ketika menyampaikan hal-hal tertentu kepada kami. Namun terhadap cucu-cucu perempuannya yang masih remaja dan muda, beliau menyampaikannya dengan dibarengi canda. Terkadang kami mengeluh; misalnya anak perempuan saya tidak mau mendengarkan kata-kata saya. Terkait masalah ini beliau senantiasa membela para pemuda. Beliau meyakini bahwa anak-anak muda ini yang harus dijaga perasaannya.
Bila kami ada hubungan persahabatan dengan sebuah keluarga yang disetujui Imam Khomeini, maka beliau tidak ada urusan dengan urusan lainnya. Tidak penting kapan kami pergi dan kembali dan tinggal di sana berapa hari. Sekalipun di rumah teman-teman. Kebebasan ini membuat kami merasa mendapatkan kebebasan dari sisi kejiwaan. Sikap dan perilaku Imam Khomeini mengingatkan kami pada teladan nyata akhlak Islam. Berkecimpung dengan beliau sangat mempengaruhi jiwa dan mental kami.
Imam Khomeini sebelum Zuhur mengajar di rumah dan para santri datang belajar kepada beliau. pelajaran selesai pada pukul setengah dua belas. Beliau bermain dengan kami sampai pukul dua belas kurang sepuluh menit, kemudian mengambil wudhu dan mengerjakan salat. Tentunya jangan sampai tak tersampaikan, Imam Khomeini sangat menentang terkait membeli mainan. Oleh karena itu, kami membuat kelereng dari tanah liat. Kami bermain kelereng dengan menatanya secara berderet dan siapa saja yang berhasil membenturkan kelereng pada deretan kelereng yang ada, maka ia menang. Yakni kami bermain dengan kami sendiri. [setelah selesai mengajar] beliau datang dan bermain dengan kami selama dua puluh menit. Misalnya kalau kami main petak umpet maka salah satu berdiri menyembunyikan wajahnya pada pangkuan Imam Khomeini, kemudian yang lain bersembunyi.
Di semua hari raya beliau senantiasa memberikan hadiah kepada kami. Akhir-akhir ini Imam Khomeini memberikan hadiah kepada semua orang dewasa yang ada di rumah, masing-masing tiga ratus toman. Ketika kami di Najaf, Imam Khomeini memberikan hadiah masing-masing dua dinar. Suatu hari; di pagi hari raya, hari raya keagamaan atau non keagamaan; saya tidak ingat, kami menunggu pemberian hadiah dari Imam Khomeini. Beliau berkata:
“Hari ini saya tidak punya hadiah.”
Saya berkata, “Bagaimana Anda tidak punya hadiah?”
Beliau berkata:
“Saya memberikan hadiah dari uang milik saya sendiri. Sementara sekarang ini saya tidak punya uang. Itulah mengapa saya tidak bisa memberi hadiah.”
Namun kami tidak bisa menerima begitu saja tanpa hadiah. Akhirnya saudara perempuan kami yang lebih tua meminjamkan uangnya kepada beliau supaya dipakai untuk memberi hadiah. Bila nanti mendapatkan uang maka pinjaman itu akan dikembalikan. Imam Khomeini berkata:
“Boleh jadi saya tidak mendapatkan uang. Bila tidak mendapatkan. Pinjaman pada kamu masih tetap.”
Kamipun berkata, “Insyaallah Anda akan mendapatkan.”
Kemudian saudara perempuan saya yang lebih tua meminjamkan uangnya kepada Imam Khomeini. Imam Khomeini pun memberikan hadiah kepada kami dan beberapa hari kemudian membayar pinjamannya.
Sikap-sikap Imam Khomeini ini membuat kehidupan beliau menjadi sangat tenang dari sisi kekeluargaan. Beliau mengajarkan kepada kami dengan amal. Diamnya lebih banyak dari omongannya. Suatu hari ibu menyuruh saya, -saat itu saya berusia dua belas atau tiga belas tahun- untuk mengambilkan sesuatu dari kamar dan memberikannya kepada beliau. Dengan mudah saya berkata, “Tidak. Saya tidak mau mengambil dan memberikan.” Dan saya tidak menaatinya. Imam Khomeini mendengar ucapan ibu dari halaman dan pelan-pelan beliau mendatangi saya, dalam kondisi menyingsingkan lengannya dan dengan sikapnya ingin menunjukkan bahwa beliau akan memukul saya. Tujuannya adalah untuk menakut-nakuti saya dan saya harus melarikan diri. Namun saya tidak lari dan Imam pun mendekati saya dan saya kena pukul karena tidak menaati ibu. Kejadian itu membuat saya, setiap kali ibu meminta sesuatu dari saya, saya pasti mengatakan, “Iya!” terkait kedudukan ibu, berkali-kali kepada saya Imam Khomeini berkata:
Bila dikatakan, surga berada di bawah telapak kaki ibu; yakni engkau harus menundukkan wajahmu sampai ke tanah di depan kaki ibu, supaya Allah membawamu ke surga.”
Imam Khomeini tidak pernah membangunkan seseorang untuk mengerjakan salat Subuh. Yakni bila kami sedang tidur, beliau begitu pelan dalam mengerjakan salat; baik salat malam maupun salat Subuh, supaya jangan sampai kami terbangun. Kecuali bila seseorang berpesan kepada beliau agar membangunkannya untuk mengerjakan salat Subuh. Kami pun senantiasa berpesan kepada beliau agar membangunkan kami dan beliau pun membangunkan kami.
Saya benar-benar masih ingat; beliau pelan-pelan bangun dari tidur dan mengerjakan salat. Ketika mau mengambil wudu beliau berusaha suara langkah kakinya jangan sampai mengganggu ketenangan orang lain. Beliau senantiasa mengajak orang lain untuk mengerjakan kewajiban bukan dengan ucapan, tapi dengan amal. Beliau senantiasa berusaha menggabungkan ucapan yang benar dengan keindahan, ketenangan dan kelembutan. Dalam hal ini beliau tidak pernah menggunakan kekerasan dan tidak pernah menunjukkan; ibadah kepada Allah dan mengerjakan kewajiban sebagai sesuatu yang berat dan melelahkan di mata orang lain.
Program keluarga suami saya adalah membangunkan anak untuk mengerjakan salat Subuh. Itulah mengapa, meskipun saya kurang setuju dengan cara ini, suami saya tetap membangunkan putri saya yang sudah mencapai usia taklif untuk mengerjakan salat Subuh. Dia meyakini bahwa anak harus dibiasakan bangun untuk mengerjakan salat Subuh. Setelah beberapa lama kami pergi ke Najaf menemui Imam Khomeini. Di sana, kepada Imam Khomeini saya berkata, “Boroujerdi membangunkan Laili untuk mengerjakan salat Subuh.”
Imam Khomeini berkata:
Sampaikan ucapan saya kepadanya’ Jangan merusak tidur pada anak dan wajah Islam yang indah pada perasaan anak.”
Ucapan ini benar-benar berpengaruh pada jiwa saya dan putri saya dan setelah itu putri saya senantiasa berpesan agar saya bangunkan dia pada waktunya untuk mengerjakan salat Subuh.
Imam Khomeini tidak pernah ikut campur sama sekali dalam memberikan nama pada cucu-cucunya. Khususnya bila cucu dari anak perempuan. Bila beliau punya pendapat tentang nama cucu dari anak perempuan, maka beliau mengirim pesan kepada ayahnya. Namun, nama anak seperti Fathimah, Zahra dan Husein, Imam Khomeini yang memilihnya. Imam Khomeini lah yang memilih nama Ali, untuk putranya Ahmad Agha. Pada mulanya nama lain sudah dipilih untuknya, tapi Imam Khomeini mengatakan, “Ali”.
Jarang terjadi beliau memberikan nasihat. Kebanyakan beliau menunjukkan melalui amalnya, perbuatan apakah yang baik dan perbuatan apakah yang buruk. Kami memahaminya dari reaksi beliau, apakah perbuatan itu buruk. Reaksi Imam Khomeini juga berbeda terkait berbagai macam masalah. Beliau sangat keras dalam menyikapi hal-hal yang haram dan yang wajib. Namun terkait hal-hal yang mustahab, tidak begitu. (Emi Nur Hayati)
Dikutip dari penuturan Fahimeh [Zahra] Mostafavi, anak Imam Khomeini ra.
Sumber: Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra, 1387, cetakan 6, Moasseseh Nashr-e Panjereh
Pembagian Pekerjaan Rumah
Sayidina Ali dan istrinya; Sayidah Fathimah merupakan teladan kasih sayang, sehati dan sepemikiran dalam kehidupan rumah tangga. Sepemikiran dan keakraban ini dibangun sejak hari pertama kehidupan rumah tangga mereka dan berlanjut sampai akhir. Meski begitu cepat berakhir dengan syahadahnya wanita penghulu dua alam ini.
Dua orang mulia ini bermusyawarah dan meminta pendapat Rasulullah Saw dalam membagi pekerjaan rumah. Sehingga karena berkah wujudnya Rasulullah, kehidupan sederhana keduanya menjadi kokoh. Kepada Rasulullah Sayidina Ali as berkata, “Wahai Rasulullah! Kami akan senang bila Anda memberikan pendapat tentang pembagian pekerjaan rumah kami!”
Rasulullah Saw pun menetapkan pekerjaan di luar rumah khusus sebagai tanggung jawab Sayidina Ali dan pekerjaan dalam rumah sebagai tanggung jawab putrinya. Keduanya merasa gembira menjalankan pendapat Rasulullah dalam kehidupan pribadinya. Rasulullah Saw juga merasa senang dan menerima usulan mereka untuk menyampaikan pendapatnya. Terutama Sayidah Fathimah as karena ayahnya telah membebaskannya dari menjalankan pekerjaan di luar rumah. Sayidah Fathimah sangat rela dan berkata, “Allah mengetahui, betapa senangnya aku karena ayahku telah membebaskanku dari tanggung jawab berhadapan dengan orang-orang laki.”
Dari saat itu pekerjaan seperti mengambil air dan belanja ke pasar dan semacamnya dikerjakan oleh Sayidina Ali dan pekerjaan seperti menggiling gandum, membuat roti, memasak dan membersihkan serta merapikan rumah, mengasuh anak-anak dan sebagainya dikerjakan oleh Sayidah Fathimah. Selain itu, bila Sayidina Ali memiliki waktu luang, dan memang dibutuhkan, maka beliau membantu istrinya mengerjakan sebagian pekerjaan rumah. Di sisi lain, bila Sayidina Ali tengah sibuk berperang atau bepergian, maka Sayidah Fathimah yang mengerjakan pekerjaan di luar rumah.
Suatu hari Rasulullah Saw menyaksikan keduanya sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Rasulullah Saw dengan penuh kasih sayang berkata, “Siapakah di antara kalian berdua yang lebih lelah, sehingga aku yang menggantikannya bekerja.”
Sayidina Ali as berkata, “Wahai Rasulullah! Zahra-lah yang lebih lelah.”
Rasulullah Saw meminta putrinya untuk istirahat sejenak dan beliau kemudian membantu Sayidina Ali.
Aku Akan Menyertaimu Agar Engkau Tak Sendirian
Di pertengahan jalan menuju Kufah, bertemulah dua orang musafir. Salah datu dari keduanya seorang muslim dan yang satunya seorang Yahudi. Keduanya begitu cepat akrab dan membuka pembicaraan. Ternyata tujuan safar orang muslim ini adalah kota Kufah. Di dekat kota Kufah jalan orang Yahudi harus pisah darinya. Namun keduanya memutuskan untuk bersama, selain agar tidak sendirian, juga perjalanan yang panjang akan terasa pendek.
Sesaat kemudian mereka berada di persimpangan jalan dan harus berpisah. Namun orang muslim ini berkata, “Saya tidak ingin menjadi teman separuh perjalanan, saya akan menyertaimu. Saya akan mengantarkanmu sampai pada tujuan kemudian saya akan kembali ke Kufah.
Lelaki Yahudi keheranan menyaksikan sikap lelaki muslim ini dan dia berkata, “Saya tidak rela perjalananmu menjadi jauh karena saya.”
Lelaki muslim berkata, “Engkau benar! perjalananku akan menjadi jauh. Namun Rasulullah kepada kami Saw bersabda, “Ketika dua orang bersamaan, meski hanya sekejap saja, maka masing-masing ada hak atas yang lainnya. Itulah mengapa saya ingin memenuhi hak persahabatan denganmu. Saya akan menyertaimu, agar engkau tak sendirian!”
Lelaki Yahudi berkata, “Pasti alasan kemajuan pesat agama Islam adalah karena akhlak yang baik dan mulia nabi Anda.”
Dan ketika ia tahu bahwa teman safar dan sahabat perjalanannya adalah seorang khalifah muslimin Ali bin Abi Thalib, ia semakin takjub. Karena terpengaruh oleh perilaku agung Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, akhirnya ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan masuk Islam. Lelaki ini kemudian menjadi orang mukmin dan sahabat dekat Imam Ali as yang penuh pengorbanan.
Tangisan Muawiyah untuk Sayidina Ali
Beberapa tahun setelah perang Shiffin dan syahadahnya Imam Ali as, ‘Adi putra Khatam Tha’i yang terkenal sangat dermawan, mendatangi Muawiyah yang saat itu berkuasa. Adi ini adalah salah seorang sahabat setia Imam Ali dan tiga orang anaknya menjadi pasukan Imam Ali yang akhirnya mencapai syahadah di perang Shiffin.
Untuk mengingatkan ‘Adi pada kematian anak-anaknya, Muawiyah menyindir seraya bertanya, “’Adi, apa yang terjadi pada anak-anakmu?!”
‘Adi berkata, “Mereka berjuang bersama Ali bin Abi Thalib di perang Shiffin dan telah mencapai Syahadah.”
Muawiyah berkata, “Menurutmu, apakah Ali termasuk adil karena dia telah menyebabkan anakmu terbunuh karena dirinya dan menjadikanmu tidak berputra?!”
‘Adi menjawab, “Justru akulah yang tidak berbuat adil padanya.”
Dengan takjub Muawiyah berkata, “Kenapa?”
‘Adi berkata, “Karena Dia telah terbunuh dan saya masih hidup. Seharusnya aku mengorbankan jiwaku untuknya saat masa hidupnya.”
Muawiyah merasa bahwa rencananya gagal dan kepada ‘Adi berkata, “Ceritakan padaku tentang Ali!”
‘Adi berkata, “Biarkan aku untuk tidak melakukan hal ini!”
Namun Muawiyah memaksa dan ‘Adi terpaksa berkata, “Demi Allah! Ali benar-benar berpikiran jauh ke depan dan kuat. Dia bicara tentang keadilan dan dengan tegas melaksanakannya. Ilmu dan hikmahnya senantiasa memancar. Dia sangat benci pada gemerlapan dunia. Dia akrab dengan malam dan kesendirian. Dia banyak menangis dan banyak berpikir. Dia memakai pakaian yang sederhana dan hidup bak orang miskin. Dia seperti kami dan bila kami meminta sesuatu padanya, pasti menyetujuinya. Bila kami menemuinya, dia tidak menjauhi kami dan tidak bersikap sombong. Dengan semua [ciri khas] ini, Dia begitu agung, sehingga kami merasa segan dan malu memandang wajahnya secara langsung. Dia adalah sahabat orang-orang miskin dan papah. Orang kuat tidak khawatir dizalimi, orang lemahpun tidak putus asa dari keadilannya.
Demi Allah! Suatu malam aku melihat dengan mata kepalaku sendiri; Dia sedang ibadah berdiri di mihrab dan air matanya menetes di wajahnya seraya berkata, “Wahai dunia! Kepadaku engkau menunjukkan keindahan? Pergilah! Pergilah! Goda saja orang lain selain diriku! Aku telah menceraikanmu..!”
Ketika ucapan ‘Adi sampai di sini, dengan sendirinya Muawiyah menangis. Dia menghapus air matanya dan berkata, “Semoga Allah merahmati Abulhasan [Imam Ali]! Demikianlah dia sebagaimana yang kau katakan. Sekarang bagaimana keadaanmu; jauh darinya?!”
Dengan penuh kesedihan ‘Adi berkata, “Bagaikan seorang ibu yang kepala anaknya di potong di pangkuannya.”
Muawiyah berkata, “Apakah engkau pernah melupakannya?!”
‘Adi berkata, “Memangnya bisa melupakannya? Dia senantiasa tetap hidup dan menjadi ingatan dalam hati-hati.” (Emi Nur Hayati)
Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Ali as
Mafatih Al-Hayat: Tafakur dan Tadabur
Urgensi Tafakur dan Tadabur Al-Quran dan Hadis senantiasa mengajak manusia untuk berpikir.
Dalam al-Quran berpikir termasuk sifat orang-orang yang berakal.[1]
Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Ibnu Mas’ud! Setiap kali engkau ingin melakukan satu pekerjaan harus berdasarkan ilmu. Jangan lakukan pekerjaan tanpa berpikir dan ilmu. Karena Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali[2].”[3]
Begitu juga beliau bersabda, “Salat dua rakaat ringan dibarengi tadabur lebih baik dari salat malam.”[4]
Di tempat lain Rasulullah Saw bersabda, “Sifat orang berakal; setiap kali ingin berbicara, ia berpikir terlebih dahulu. Bila ucapan itu bermanfaat, ia mengatakannya dan beruntung, tapi bila tidak bermanfaat, ia diam dan berada dalam keselamatan.”[5]
Imam Shadiq as berkata:
“Seseorang mendatangi Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah! Nasihatilah aku.’
Rasulullah berkata kepadanya, ‘Apakah engkau akan melakukannya bila aku menasihatimu?’
Pertanyaan itu disampaikan beliau hingga tiga kali.
Setiap kali Rasulullah bertanya demikian, orang itu menjawab, ‘Iya, wahai Rasulullah!’
Kemudia Rasulullah berkata kepadanya, ‘Saya menasihatimu agar setiap kali engkau ingin melakukan sesuatu, pikirkan akibat dari perbuatan itu. Bila pekerjaan itu bakal memberimu hidayah, maka lakukanlah, tapi bila hanya membuat sesat, maka hindarilah.”[6]
Imam Ali as berkata, “Ketahuilah bahwa tidak ada kebaikan pada ibadah yang tidak ada tafakur di dalamnya.”[7]
Beliau berkata, “Tidak ada kebaikan pada bacaan yang tidak ada tadabur padanya.”
Begitu juga ketika berwasiat kepada anaknya Muhammad bin Hanafiah, beliau berkata, “Barangsiapa yang ingin melakukan satu pekerjaan tanpa memperhatikan akibatnya, maka ia meletakkan dirinya pada kondisi yang sangat buruk dan tidak diinginkannya. Sementara memikirkan segalanya sebelum melakukan pekerjaan membuatnya tidak akan menyesal.”[8]
Ibnu Kawwa bertanya kepada Imam Ali as tentang ciri khas Islam.
Imam Ali as menjawab, “Sesungguhnya Allah mensyariatkan Islam dan menjadikannya pakaian bagi siapa yang berpikir jauh ke depan dan menyebabkan orang cerdas memahami.”[9]
Beliau juga berkata, “Ibadah terbaik adalah senantiasa berpikir tentang Allah dan kekuatan-Nya.”[10]
Imam Ridha as berkata, “Ibadah bukannya banyak-banyak salat dan puasa. Tapi ibadah yang hakiki adalah memikirkan urusan Allah.”[11]
Tadabur dan Manajemen
Rasulullah Saw kepada seseorang berkata, “Saya menasihatimu agar setiap kali ingin melakukan pekerjaan, maka pikirkan akibatnya. Bila menambah perkembangan dirimu, maka lakukanlah, tapi bila justru menambah kefasadan dan kehancuran, maka tinggalkan!”[12]
Begitu juga beliau bersabda, “Allah Swt mencintai seseorang yang ketika bekerja, ia melakukannya dengan baik dan mantap.”[13]
Imam Ali as berkata, “Tegaknya kehidupan seseorang pada program yang baik dan parameternya adalah manajemen yang baik.”[14]
Imam Shadiq as berkata, “Ada tiga hal yang mencegah seseorang mencapai posisi yang tinggi; tidak semangat, manajemen tidak maksimal dan ketidakmampuan berpikir.”[15]
Sekaitan dengan masalah ini, Salman al-Farisi ketika ia mendapatkan bagiannya, ia lalu memisahkan makanannya untuk setahun, hingga tiba pemberian yang yang akan datang.[16]
Imam Jawad as berkata, “Mengungkap sesuatu yang belum kokoh justru merusaknya.”[17]
Tidak Memaksa Diri
Islam memiliki program untuk segala dimensi kehidupan manusia dan tidak ada kewajiban baik dalam masalah ibadah, akhlak dan materi maupun spiritual yang melampaui batas. Ahlul Bait as di segala bidang menasihati umatnya agar hidup dengan nyaman, normal dan tidak memaksa diri.
Rasulullah Saw dalam beberapa hadis bersabda:
“Saya tidak suka dengan orang-orang yang suka memaksa diri.”[18]
“Jangan paksa tamumu dengan sesuatu yang memberatinya.”[19]
“Jangan memaksa dirimu karena tamu.”[20]
“Penghormatan seseorang kepada saudara seagamanya adalah menerima hadiahnya, memberi apa yang dimiliki sebagai hadiah kepadanya dan tidak memaksanya.”[21]
Imam Ali as berkata, “Kehidupan paling nikmat adalah mencapakkan sikap memaksa diri.”[22]
Kepada anaknya, Imam Ali as berkata, “Anakku! Rezeki ada dua macam; yang kamu cari dan yang mencarimu. Oleh karenanya, bila engkau tidak mendatanginya, ia akan menemuimu. Jangan paksakan kesedihan setahunmu di atas kesedihan seharimu. Cukup bagimu memikirkan setiap hari yang engkau hadapi.”[23]
Imam Shadiq as berkata, “Seorang mukmin tidak memaksa dirinya demi teman-temannya.”[24]
Beliau juga berkata, “Hatiku berat kepada mereka yang bekerja keras untukku, sementara aku menahan diri dari mereka. Hatiku ringan kepada mereka yang ada bersamaku, sama rasanya seperti aku seorang diri.”[25]
Di tempat lain beliau berkata, “Bila engkau kedatangan tamu, jamu ia sesuai dengan yang engkau miliki. Tapi bila engkau yang mengundangnya, hendaknya engkau menjamunya lebih dari yang ada.”[26]
Suatu hari beliau berkata, “Tidak boleh seorang mukmin menghinakan dirinya sendiri.”
Para sahabatnya bertanya, “Bagaimana ia menghinakan dirinya?”
Beliau menjawab, “Ia melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.”[27]
Dikutip dari beliau, “Memaksakan diri bukan termasuk akhlak orang-orang Saleh dan slogan orang-orang Muttaqin. Allah Swt berfirman kepada Rasul-Nya, ‘Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas dakwahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.’ Nabi Muhammad Saw bersabda, “Kami para nabi dan wali berlepas tangan dari sikap memaksa. Takutlah kepada Allah dan bersikap istiqamah agar Allah membuatmu tidak berada dalam kondisi terpaksa. Allah akan memberikanmu keimanan. Jangan menyibukkan diri dengan makanan yang akhirnya kotoran, pakaian yang akhirnya lusuh, rumah yang akhirnya rusak, harta yang akhirnya warisan, teman yang akhirnya perpisahan, kejayaan yang akhirnya kehinaan, martabat yang akhirnya derita dan kehidupan yang akhirnya penyesalan.”[28]
Parameter Kebijaksanaan
Imam Ali as berkata, “Ukur pemikiran masyarakat dengan enam hal; bergaul, berdagang, meraih posisi, pemecatan, kekayaan dan kemiskinan.”[29] (Saleh Lapadi)
Sumber: Mafatih Al-Hayat, Ayatullah Javadi Amoli, Markaz Nashr Esra, 1391 HS, cetakan 7.
[1] . QS. Al-Imran: 190-191, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
[2] . QS. An-Nahl: 92.
[3] . Makarim al-Akhlaq, hal 458.
[4] . Makarim al-Akhlaq, hal 300.
[5] . Tuhaf al-Uqul, hal 28-29.
[6] . Al-Kafi, jilid 8, hal 150.
[7]. Al-Kafi, jilid 1, hal 36.
[8]. Wasail as-Syiah, jilid 15, hal 281-282.
[9]. Al-Kafi, jilid 2, hal 49.
[10]. Ibid, jilid 2, hal 55.
[11]. Ibid, jilid 2, hal 55.
[12]. Qurb al-Isnad, hal 32.)
[13]. Al-Jami’ as-Shaghir, jilid 1, hal 284.
[14]. Ghurar al-Hikam, hal 354.
[15]. Tuhaf al-Uqul, hal 315.
[16]. Tuhaf al-Uqul, hal 351.
[17]. Tufah al-Uqul, hal 457.
[18]. Al-Kafi, jilid 6, hal 276.
[19]. Makarim al-Akhlaq, hal 135.
[20]. Al-Jami’ as-Shaghir, jilid 2, hal 688.
[21]. Al-Kafi, jilid 6, hal 276.
[22]. Ghurar al-Hikam, hal 478.
[23]. Al-Faqih, jilid 4, hal 386.
[24]. Al-Kafi, jilid 2, hal 47.
[25]. Mustdrak al-Wasail, jilid 9, hal 155.
[26]. Al-Mahasin, hal 410.
[27]. Al-Kafi, jilid 5, hal 64.
[28]. Bihar al-Anwar, jilid 70, hal 394-395.
[29]. Ghurar al-Hikam, hal 343.
Mengapa Engkau Bersedih?!
Sekelompok masyarakat Hijaz di zaman jahiliah mengubur hidup-hidup anak perempuannya. Karena mereka menganggapnya sebagai sumber kehinaan dan kerendahan. Bertahun-tahun lamanya, akhirnya Rasulullah Saw berhasil menghilangkan kebiasaan salah kaum ini. Meski demikian, ada orang-orang yang baginya sulit untuk meninggalkan adat istiadat yang salah ini.
Seorang lelaki duduk di sisi Rasulullah. Datanglah seorang lelaki dan membisikkan sesuatu kepadanya. Tiba-tiba wajahnya berubah dan ia menjadi cemberut.
Rasulullah Saw berkata, “Hai lelaki! Apa yang terjadi sehingga engaku menjadi sedih?!”
Lelaki itu menjawab, “Istriku hamil. Baru saja lelaki ini membisikkan ke telingaku bahwa istriku telah melahirkan seorang anak perempuan.”
Rasulullah Saw berkata, “Mengapa engkau bersedih? Bumilah yang akan menahan bebannya. Langit yang akan menaunginya. Allah yang akan memberikan rezekinya. Anak perempuan bak seonggok bunga yang kau cium baunya dan karenanya Allah akan memberikan rezekinya yang halal padamu.”
Imam Ali menukil dari Rasulullah Saw dan berkata, “Barang siapa yang mengasuh tiga anak perempuan, maka ia akan diberi tiga taman di surga dan masing-masing dari taman itu lebih besar dari dunia dan seluruh isinya.”
Sikap Lembut Ini Untuk Apa?
Rasulullah Saw dan istrinya Aisyah duduk di suatu tempat. Seorang lelaki Yahudi lewat di sampingnya. Dengan nada biadab berkata, “Saamun alaikum”. Tujuan dia melakukan hal ini adalah untuk mengejek etika bergaul umat Islam. Aisyah marah melihat sikap biadab ini. namun Rasulullah Saw dengan lembut menjawab lelaki Yahudi itu dengan ucapan, “Alaika”
Setelah itu lelaki Yahudi lainnya lewat di situ dan berkata, “Saamun alaikum”
Dengan demikian jelas bahwa perbuatan biadab dua orang ini sudah direncanakan sebelumnya. Namun Rasulullah tetap bersikap baik dan tidak mengucapkan apa-apa selain “Alaika”. Beliau tidak menunjukkan sikap kasar pada keduanya. Ternyata ada lagi lelaki Yahudi ketiga yang lewat di tempat itu dan mengulangi lagi sikap biadab itu.
Kali ini Aisyah berpikir bahwa Rasulullah akan memberikan jawaban telak kepada ketiga lelaki Yahudi yang kurang ajar ini. Namun Rasulullah dengan lembut menjawab, “Alaika”.
Aisyah benar-benar marah melihat kelembutan sikap suaminya seraya berkata, “Wahai Rasulullah! Bukankah engkau telah melihat mereka telah bersikap biadab kepada Anda? Lalu sikap-sikap lembut ini untuk apa?”
Rasulullah Saw bersabda, “Hai Aisyah tenanglah! Bila umpatan dan cacian itu berbentuk benda padat, rupanya sangat jelek dan buruk dan menyebabkan seseorang merasa malu dan terhina. Tapi sikap yang lembut dan ucapan yang bagus akan menambah kewibawaan dan kepribadian manusia dan dia tampak rapi dan tampan.”
Kemudian bersabda, “Bila mereka telah bersikap biadab terhadapku, saya telah mengembalikan kebiadabannya kepada diri mereka sendiri dengan ucapan “Alaika”.
Menentang Godaan Para Istri
Dengan berakhirnya perang antara kaum Muslimin dengan Bani Quraidhah, banyak ghanimah yang didapatkan oleh umat Islam.
Menyaksikan kondisi seperti ini, para istri Rasulullah mulai merasa tamak dan kepada Rasulullah mereka berkata, “Sebagian besar dari ghanimah ini adalah milik Anda. Karena Anda sebagai pemimpin umat Islam dan komandan perang mereka. Bawalah ke rumah ghanimah tersebut supaya bisa mengubah kehidupan kita.”
Rasulullah Saw benar-benar menentang keinginan hawa nafsu para istrinya ini dan bersabda, “Saya sebagai pemimpin kaum Muslimin harus hidup tanpa kemewahan dan sederhana, supaya orang-orang miskin dan papah tidak merasa rendah dan lemah.”
Kembalilah dan Amalkan Ucapan Kalian!
Hudzaifah dan ayahnya “Yaman” baru saja masuk Islam. Perang Badar pun mulai terjadi. Kedua orang ini ingin sekali ikut serta di sisi Rasulullah Saw dalam perang ini. Namun keduanya tidak bisa. Yang menarik adalah kedua orang ini dengan susah payah datang ke medan perang Badar. Namun Rasulullah Saw tidak mengizinkan keduanya untuk berperang.
Kejadiannya adalah ayah dan putranya ini setelah masuk Islam, keluar dari kabilahnya untuk ikut serta berperang. Ketika penduduk Mekah tahu bahwa keluarnya mereka dari kota Mekah karena untuk bergabung dengan pasukan Rasulullah, maka mereka mencegah dua orang ini dan tidak mengizinkan keduanya keluar kota.
Hudzaifah dan ayahnya berbohong untuk melepaskan dirinya dari tangan orang-orang Musyrik. Yakni, keduanya keluar kota untuk urusan lain seraya berkata, “Percayalah, kami tidak akan bergabung dengan Muhammad dan para sahabatnya.” Itulah mengapa keduanya diizinkan untuk keluar dari kota Mekah. Akhirnya keduanya keluar dan dengan senang mereka menemui Rasulullah dan menceritakan kejadian yang ada. Namun Rasulullah Saw bersabda, “Kembalilah ke kotamu dan jangan melanggar janji. Mereka telah mempercayai kalian. Oleh karena itu kalian tidak berhak menjadikan mereka curiga.”
Dengan takjub ayah dan putra berkata, “Wahai Rasulullah! Kami datang untuk membantu Anda dan kami ingin berada di sisi Anda.”
Rasulullah bersabda, “Sebagaimana yang saya katakan, kembalilah! Insyaallah Allah akan membantu kami di hadapan orang-orang Quraiys.” (Emi Nur Hayati)
Sumber: “Sad Pand va Hekayat” Nabi Muhammad Saw.
Penuturan Doktor Fahimeh Mostafavi Tentang Ayahnya, Imam Khomeini ra (1)
Mohon jelaskan secara singkat tentang kehidupan, pendidikan dan hasil karya Imam Khomeini!
Imam Khomeini lahir di tengah-tengah keluarga pejuang. Dalam usia lima bulan, ayahnya meninggal dunia. Dalam usia enam belas tahun, ibunya meninggal dunia. Beliau diasuh dan dididik oleh bibinya dan kakaknya yang lebih besar. Ketika beliau berusia sembilan belas tahun, beliau berkesimpulan bahwa bila mau mempelajari ilmu, maka harus berada di lingkungan ilmu tersebut. Itulah mengapa beliau kemudian pergi ke Isfahan, Arak, kemudian melanjutkan ke Qom. Imam Khomeini pergi ke Qom ketika usia dua puluh tahun dan dalam usia dua puluh tujuh tahun beliau berhasil menulis bukunya yang pertama Irfan-Akhlak, yakni beliau menulis syarah doa Sahar dan saat ini buku tersebut diajarkan di tingkat tinggi universitas. Dalam usia dua puluh delapan tahun, beliau menulis lebih luas hasil karya; Irfan-Akhlak nya mejadi Misbahul Hidayah Ilal Khilafah wal Wilayah. Kebanyakan buku-buku irfan Imam Khomeini, beliau tulis ketika sebelum berusia empat puluh tahun. Seperti; Chehel Hadis, Serrus Shalat wa Adabus Shalat. Imam Khomeini pada dasarnya mengikuti perintah ayat al-Quran, “Wa Yuzakkihim Wa Yallimuhumul Kitaba Wal Hikmata”. Yakni pertama; beliau membangun dirinya kemudian berkecimpung dalam urusan keilmuan. Beliau melaksanakan perintah Ilahi karena mengenal Allah dan mengenal dirinya dan mengamalkan apa yang diketahuinya. Orang-orang yang mengenal Imam Khomeini dan buku-bukunya dari dekat, mengetahui bahwa antara tulisan, omongan dan perbuatan Imam Khomeini terdapat keselarasan. Dengan model inilah Imam Khomeini menjadi imam dan masyarakat mempercayainya. Buku-buku ushul dan fikih seperti Al-Bai’ dan Makasib Muharrameh dan lain-lainnya beliau tulis setelah berusia empat puluh tahun.
Bagaimana sikap Imam Khomeini terhadap keluarga?
Imam Khomeini di tengah-tengah keluarga benar-benar menjaga semua hak-hak yang ada. Beliau tidak memberikan hak pada dirinya untuk mengeluarkan perintah kepada ibu kami, meski itu hanya sebuah perintah kecil. Di dalam rumah, ibu kami memiliki kebebasan penuh. Untuk keluar rumah juga memiliki kebebasan penuh. Kecuali bila Imam Khomeini memandang tempat yang akan dituju tidak tepat, maka beliau mengingatkannya. Tentunya ibu kami juga tidak tersinggung sama sekali bila mendapat teguran dari suaminya yang sekaligus sebagai partner dan orang yang menyayanginya. Bahkan mengamalkannya. Imam Khomeini di pekan pertama setelah pernikahannya, kepada ibu beliau berkata:
“Aku tidak meminta sesuatu darimu dan aku tidak akan memerintah dan melarangmu. Hanya jangan lakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah, dan lakukan hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. Yakni aku hanya meminta kepadamu menjalankan hukum yang diperintahkan oleh Allah.”
Setelah berabad-abad hak-hak kaum wanita diinjak-injak dan mereka sebagai alat permainan para pelaku kezaliman, Imam Khomeini menampakkan kepada mereka keagungan jiwa, kepribadian dan kemuliaan hakiki mereka. Imam Khomeini senantiasa memerintahkan mereka untuk ikut berpartisipasi secara langsung terkait nasib mereka dan urusan politik-sosial. Beliau mempelajari hubungan yang sehat menurut Islam dengan keluarga dan istri baik dari sisi praktis maupun teori. Beliau telah mewujudkan contoh nyata tentang persamaan dan keadilan, kesepakatan hati dan kerjasama dalam rumah sebagaimana kakeknya Ali bin Abi Thalib as. Beliau benar-benar berpartisipasi dan bekerjasama dengan istrinya dalam menjaga anak-anak. Di waktu-waktu malam, beliau tidur selama dua jam, dan ibu yang menjaga kami, kemudian ibu tidur selama dua jam, dan beliau lantas yang menjaga kami.
Perilaku Imam Khomeini sangat berpengaruh pada kami. Kami di dalam keluarga Imam Khomeini merasakan adanya kekebasan penuh. Dan yang lelaki juga memiliki kebebasan penuh. Antara lelaki dan perempuan tidak saling berhadapan sehingga menyebabkan terjadinya perselisihan dan pertikaian. Bahkan setiap orang menjadi penentu utama terkait urusannya masing-masing dan dia sendiri yang akan bertanggung jawab terkait perbuatannya. Hal ini saya ketahui karena pengaruh pendidikan Imam Khomeini. Karena beliau secara independen sebagai pengambil keputusan urusannya sendiri. Dan ibu kami juga sebagai pengambil keputusan semua urusan yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Nikmat kebebasan ini merupakan hutang budi kami atas pendidikan yang diberikan oleh Imam Khomeini. Setiap lelaki dan perempuan yang menjadi anggota keluarga kami, ia merasa memiliki kebebasan yang sah dan penuh. Masing-masing menghargai hal ini dan tidak berusaha mempersulit yang lainnya sehingga yang lain tidak akan membalas dengan hal yang sama yang membuatnya merasa kesulitan. Itulah mengapa setiap anggota keluarga hidup dengan penuh kepastian dan kebebasan.
Hal-hal yang berkaitan dengan urusan rumah, menjadi tanggung jawab ibu kami. Yang mengawasi masalah dana pengeluaran untuk kebutuhan rumah, sejak awal menjadi tanggung jawab ibu dan Imam Khomeini tidak ikut campur dalam urusan ini. Padahal di zaman itu bapak-bapak sendirilah yang berbelanja untuk kebutuhan rumah. Bahkan ikut mengawasi pembuatan makanan. Namun Imam Khomeini tidak ikut campur dalam urusan ini. Pada hakikatnya, terkadang di tengah-tengah masyarakat ada hal-hal yang dianggap sebagai sebuah undang-undang bagi masyarakat, sementara hal-hal tersebut tidak tertulis dalam undang-undang resmi negara. Di rumah kami juga ada undang-undang yang tidak tertulis dan Imam Khomeini menjaganya. Misalnya; bila Imam Khomeini sesekali mengatakan ingin duduk di tempat tertentu dan ibu kami mengatakan, “Tidak. Seseorang tidak harus duduk di tempat ini!” maka Imam Khomeini langsung mengamalkannya.
Saya tidak pernah melihat Imam Khomeini memerintah istrinya. Penghormatan yang dilakukan Imam Khomeini kepada ibu sangat besar. Selama enam puluh tahun hidup bersama, saya tidak pernah melihat beliau mengatakan pada ibu, “Kasih aku segelas teh!” Saya menyaksikan ibu membawa teh untuk disajikan buat Imam Khomeini, tapi mendapat protes dari Imam. Kepada Imam Khomeini ibu lantas mengatakan, “Saya membawa teh untuk diri saya sendiri.” Imam Khomeini mengatakan:
“Tidak. Saya yang seharusnya menyajikan teh.”
Yang menjadi kebiasaan selama ini, bekerja di dalam rumah merupakan kewajiban bagi istri. Bila seorang istri menginginkannya, maka ia bisa mengerjakannya. Tapi suami tidak berhak mengatakan lakukanlah pekerjaan ini, atau misalnya buatlah makanan untuk makan malam.
Suatu hari ibu saya menceritakan, bagaimana di awal kehidupan mereka berdua, Imam Khomeini mengajari caranya memasak nasi Kateh [nasi yang tanpa dibuang airnya, yakni semacam nasi liwet]. Imam Khomeini berkata:
“Ketika nasi sudah masak, maka cipratkan air ke bagian luar panci. Bila panci bersuara [suara yang timbul karena benturan tetesan air dengan benda panas], maka berarti tidak ada lagi air di dalam panci, dan nasi sudah matang.”
Suatu hari ibu saya ada tamu. Saya tidak tahu, tamunya datang begitu saja ataukah datang tidak tepat waktunya. Bagaimanapun juga tidak ada kesiapan untuk menjamunya. Saya masih ingat, ibu agak panik untuk menyiapkan kue dan buah. Kemudian ayah berkata:
“Sudahlah, pergi sana temui tamu-tamu itu!”
Setelah itu ayah menuju tempat bejana yang dipakai untuk membuat teh yang bahan bakarnya arang dan sangat sulit untuk menyalakannya. Ayah menggerak-gerakkan tempat itu sampai akhirnya menyala. Kemudian membuat teh dan menyiapkan hidangan. Ayah tidak mengizinkan ibu meninggalkan tamu-tamunya karena untuk mengerjakan sesuatu di ruangan lain.
Berkali-kali saya menyaksikan ibu masuk ke dalam ruangan dan duduk di samping ayah. Ayah juga tidak mengatakan, “Tutuplah pintunya!” tapi beliau sendiri bangkit dan menutup pintu tersebut. Bahkan ketika sudah bangkit tidak mengatakan kepada saya, “Tutuplah pintunya.” Suatu hari saya berkata kepada ayah, “Ketika ibu masuk ke ruangan, pada saat itu juga katakanlah kepadanya, tutuplah pintunya!” Ayah mengatakan:
“Saya tidak berhak untuk memerintahnya.”
Meski dalam bentuk permintaan, beliau tidak pernah meminta sesuatu pada ibu. Bila ibu ingin ke ruangan lainnya, beliau tidak akan mengatakan, “Ambilkan juga obatku dari ruangan itu!” Atau ketika mau mandi, beliau mengatakan:
“Saya ada baju?”
Tidak mengatakan, “Kasih aku baju!” sama sekali tidak memerintahkan dan tidak pernah menyerahkan sebuah pekerjaan kepada ibu. Sekali pembantu rumah cuti dan tidak bekerja, ibu membawa hidangan makanan di talam dan meletakkannya di taplak makan. Ayah mengatakan:
“Wah musibah! Farideh! Ibu sedang membawa talam!”
Tentunya masa ini kembali pada masa kanak-kanak saya. Saudara perempuan saya mengatakan, “Kami di rumah banyak bekerja. Tapi ayah sama sekali tidak mengizinkan ibu untuk bekerja.”
Imam Khomeini benar-benar memberikan kebebasan pada ibu sehingga ibu benar-benar nyaman saat makan atau tidur. Misalnya, bila suatu hari ibu lelah, meski Imam Khomeini begitu teratur dan tertib dalam pekerjaan-pekerjaannya, beliau tetap menjaga kondisi ibu dan mengatakan:
“Bila engkau mau, sekarang kita makan, lalu tidur.”
Bila kita; dua atau tiga orang mendatangi Imam Khomeini dan berbincang-bincang di sisi Imam Khomieni, beliau mengatakan:
“Mengapa kalian duduk di sini dan ibu kalian sendirian di halaman? Pergi dan berbincang-bincanglah di sisi ibu kalian!” (Emi Nur Hayati)
Dikutip dari penuturan Fahimeh [Zahra] Mostafavi, anak Imam Khomeini ra.
Sumber: Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra, 1387, cetakan 6, Moasseseh Nashr-e Panjereh
Peran dan Risalah Wanita; Hubungan Wanita dan Pria (1)
#beritadunia.net Wanita adalah bagian dari keindahan penciptaan manusia. Bagian yang indah ini secara alami dengan sedikit dibarengi rasa malu. Ciri khas [rasa malu] ini adalah bagian yang indah dan lembut dari wujud kemanusiaan. Rasa malu ini telah dicerabut, juga hal-hal yang seharusnya dipenuhi melalui aturan dan undang-undang seperti kebutuhan biologis manusia baik yang ada pada wanita maupun pria. Namun hal ini telah disebarkan di tengah-tengah masyarakat dengan tanpa undang-undang dan aturan. Ini merupakan pengkhianatan paling besar yang dilakukan terutama terhadap wanita dan selanjutnya terhadap umat manusia; wanita maupun pria. Yang melakukan hal ini adalah politik Barat. (pidato dalam pertemuan besar bersama kalangan elit kaum wanita, 13/4/1386)
Iffah dan hijab; nilai dan kepribadian wanita
Kondisi kehormatan dan kesucian diri wanita dan hijab merupakan sesuatu yang membedakan wanita dari pria dalam berinteraksi. Yang memberikan kepribadian manusiawi kepada wanita. Yang memberikan lapangan pekerjaan, perjuangan, studi dan berpikir padanya, dan mengeluarkannya dari hanya sekedar alat pemuas. Yang memberikan nilai kepadanya. Yang memberikan kepribadian kepadanya. Garis ini adalah garis Islam. Garis keimanan.
Wanita Iran, wanita muslimah revolusioner, tidak bisa menyimpang dan berpisah dari garis ini dan jalan yang dipilihnya. (pidato dalam pertemuan bersama menteri dan para mahasiswi marakez Tarbiyat Moallem, 12/2/1363)
Aktivitas sosial dengan adanya percampuran wanita dan pria
Islam telah menentukan batasan dalam berbagai macam aktivitas. Batasan ini bukan terkait pada wanita dan bolehnya dia untuk beraktivitas. Tapi terkait pada percampuran wanita dan pria. Dan Islam sangat sensitif terhadap masalah ini. Islam meyakini bahwa harus ada pembatas antara pria dan wanita di semua tempat; di jalan, di kantor, di kantor perdagangan. Di antara wanita dan pria telah ditentukan sebuah hijab dan batasan. Percampuran wanita dan pria tidak seperti percampuran wanita dengan wanita dan pria dengan pria. Hal ini harus dijaga. Pria harus menjaga, wanita juga harus menjaga. Bila sensitivitas Islam terkait tentang hubungan dan berbagai model percampuran pria dan wanita ini dijaga, maka semua pekerjaan di kancah sosial yang bisa dilakukan oleh kaum pria, juga bisa dilakukan oleh kaum wanita bila mereka memiliki kekuatan dari sisi jasmani, semangat dan kesempatan. (pidato dalam pertemuan bersama kaum wanita Khouzestan, 20/12/1375)
Bolehnya wanita dan pria berbicara dan berpartisipasi dalam kancah sosial dengan menjaga aturan Islam
Untuk mencegah wanita dari terjangkitnya budaya masa rezim despotik, maka infiltrasi anasir-anasir dengan sarana seksualnya yang berakibat pada kefasadan harus kita cegah. Hal terbaik yang harus dilakukan untuk masalah ini adalah menggunakan pakaian yang benar, menghindari dandanan, pertemuan dan pergaulan tertentu di semua lingkungan. Tentunya bukan berarti kami katakan bahwa wanita dengan pria tidak boleh berbicara sama sekali dan jangan keluar ke tengah-tengah masyarakat. Bila seseorang ingin memaknai ucapan ini maka itu adalah sebuah taktik. (wawancara tentang kedudukan wanita di Republik Islam, 4/12/1362)
Kokohnya rumah tangga dan terjaminnya kebahagiaan, hasil tidak adanya percampuran wanita dan pria
Islam sangat memerhatikan masalah rumah tangga. Untuk mencegah kegoncangan pilar-pilar rumah tangga, Islam menilai harus dan wajib menjaga aturan dan batasan di lingkungan sosial. Budaya Islam adalah budaya tidak adanya percampuran wanita dan pria. Islam memperketat masalah ini dengan tujuan menjamin kebahagiaan dan kemajuan kehidupan wanita dan pria. Dan poin ini berseberangan dengan kehendak para penguasa dan kaum feodal penyembah syahwat dunia dimana mereka berusaha mencerabut hijab antara wanita dan pria. (pidato dalam pertemuan bersama para perawat, 20/7/1374)
Menggunakan lingkungan sehat rumah tangga bergantung pada pembatasan dalam berinteraksi
Melihat non mahram hukumnya haram, sementara hijab hukumnya wajib, ini merupakan sebuah mukadimah supaya terwujud adanya lingkungan yang sehat di tengah-tengah masyarakat. Itulah mengapa kami menilai bahwa di dalam masyarakat Islam, harus ada batasan-batasan terkait interaksi wanita dan pria. Bukan karena penghinaan terhadap wanita. Bukan karena menentang kelezatan seksual. Bukan karena menindas kebutuhan biologis. Bahkan sebaliknya. Tepat karena supaya manusia; yakni wanita dan pria menggunakannya di dalam lingkungan sehat rumah tangga. (khutbah shalat Jumat, 18/7/1365)
Interaksi dengan non mahram; sarana kecurigaan dan hasud
Saya selalu menyarankan kepada para lelaki muda bahwa kalian dalam berinteraksi dengan non mahram bahkan dengan mahram, jangan sampai bersikap dan berbicara yang sekiranya memaksa istri kalian bersikap hasud. Saya juga menganjurkan kepada para wanita muda bahwa kalian dalam menghadapi para pria asing, jangan sampai bertindak dan berbicara yang sekiranya akan membangkitkan rasa hasud dan cemburu suami kalian. Hasud ini akan memunculkan kecurigaan dan akan melemahkan pilar-pilar kasih sayang dan membakar dari akarnya. (khutbah nikah, 10/9/1379)
Perlunya penjagaan semua orang, khususnya para wanita dari memamerkan diri
Manusia berada dalam ancaman bahaya. Para pria berada dalam ancaman bahaya. Para wanita berada dalam ancaman bahaya. Para pemuda berada dalam ancaman bahaya. Para lanjut usia berada dalam ancaman bahaya. Orang pandai, orang bodoh, semuanya dalam ancaman bahaya. “Walmukhlishuna Fi Khatharin ‘Adzim” sekarang di manakah mukhlis [orang yang ikhlas]? Kita semua berada di bawah standar ini. Bila kita sampai pada batas standar, telah menjadi orang yang mukhlis, tetap saja masih dalam “khatharin adzim” [bahaya besar]. Baiklah. Kita harus hati-hati. Musuh dunia kita, musuh akhirat kita, musuh kemuliaan kita, musuh pemerintahan Republik Islam kita, menggunakan titik kelemahan kita. Dari rasa syahwat kita, dari rasa marah kita, dari kecintaan kita pada kekuatan, dari kesukaan kita memamerkan diri, kita harus hati-hati. Para wanita juga harus berhati-hati. Para remaja putri juga harus berhati-hati. (pidato dalam pertemuan bersama para pembaca kidung Ahlul Bait, 23/2/1391)
Takabbur dan tidak tawadhu dalam berbicara dengan pria non mahram
Takabbur itu tidak baik bagi semua manusia. Kecuali bagi para wanita di hadapan para pria non mahram. Wanita harus takabbur di hadapan pria non mahram. “Fa La Takhdha’na Bilqauli” wanita ketika berbicara dengan pria non mahram tidak boleh tawadhu. Ini untuk menjaga kemuliaan wanita. Inilah yang diinginkan oleh Islam dan inilah teladan wanita muslimah. (pidato dalam pertemuan bersama kumpulan para wanita, 25/9/1371)
Menghadapi pria tanpa tawadhu
Kitalah yang mengatakan bahwa wanita dengan menjaga pakaian dan hijabnya dengan benar, berarti ia sedang menjaga kemuliaan dirinya. Dia telah mengangkat lebih tinggi dirinya dari batasan yang diinginkan oleh para lelaki bejat dunia – di semua zaman dan tempat senantiasa ada pria yang bejat. Di dalam al-Quran, dikatakan kepada wanita, “Fa La Takhdha’na Bilqauli” (QS. Ahzab, ayat 32) jangan tawadhu. Pembahasannya adalah masalah tawadhu. Wanita dalam menghadapi pria [non mahram] jangan sampai dengan sikap tawadhu. (pidato dalam pertemuan bersama anggota pusat himpunan para wanita, 15/2/1371)
Takabbur [Kesombongan] wanita di hadapan pria non mahram
Sungguh takabbur bagi semua orang hukumnya haram dan termasuk dosa. Kecuali bagi wanita. Takabbur bagi pria hukumnya haram. Tapi bagi wanita hukumnya sunnah. Yakni terkait pada pria non mahram, wanita harus sombong. Wanita harus demikian menghadapinya. Terkadang kesombongan ini ada pada seorang wanita dengan kewibawaanya yang sesuai dengan Islam meskipun katakanlah bahwa ia tidak memakai cadur [pakaian panjang, khas wanita Iran].
Kemuliaan dan kewibawaan wanita di hadapan pria itupun bisa terwujud meski dengan tanpa memakai cadur, dan benar dan ada. (pidato dalam pertemuan bersama menteri dan para direktur kementrian kebudayaan dan bimbingan Islam, 4/9/1371)
Batas antara wanita dan pria; penyembuh sensasi kebutuhan biologis
Islam memiliki cara penyembuhan yang sangat bagus bagi sensasi kebutuhan bioligis wanita dan pria. Yakni menurut kami, menurut saya, penyembuhan ini benar-benar sebuah penyembuhan. Yakni dengan menetapkan batasan antara wanita dan pria. Namun budaya yang datang telah lama mencerabut batasan itu dan bahkan sudah terlupakan. Dengan menerima begitu saja prinsip budaya Eropa, pada dasarnya ingin menafikan fenomena dan efek budaya [Eropa] tersebut, dan itu akan menemui masalah. (wawancara tentang kedudukan wanita di Republik Islam, 4/12/1363) (Emi Nur Hayati)
Sumber: Naghs wa Resalat-e Zan I, Ifaf wa Hejab Dar Sabke Zendegi-e Irani-Eslami
Bargerefteh az bayanat-e Ayatullah al-Udhma Khamenei, Rahbare Moazzam-e Enghelab-e Eslami.
Kebijakan Indonesia di Bidang Kontra-Terorisme Mendapat Pujian
Menurut Kantor Berita ABNA, "Kerja sama kemitraan ASEAN-Uni Eropa penting untuk diperkuat, utamanya dalam upaya memerangi aksi terorisme dan ekstremisme melalui kerja sama konkret kedua belah pihak", demikian disampaikan Menlu Retno L.P. Marsudi dalam Pertemuan ke-21 ASEAN-European Union Ministerial Meeting (AEMM).
Pada pertemuan tersebut, Menlu RI memimpin pembahasan pada agenda mengenai kerja sama menghadapi tantangan keamanan global, yang menyangkut kontra-terorisme, deradikalisasi, migrasi, dan penyelundupan manusia.
Dalam hal pemberantasan terorisme, Indonesia menekankan 3 (tiga) hal pokok yaitu penguatan kerja sama kontra-terorisme; penguatan kemampuan unit anti teror dan counter cyber terrorism; dan pengarusutamaan pendekatan soft power melalui pendidikan, peningkatan peran perempuan, civil society, serta organisasi kemasyarakatan dan agama.
Pandangan Menlu RI sangat diapresiasi oleh sejumlah Negara Anggota Uni Eropa, terutama terkait penggunaan pendekatan soft power yang menekankan nilai-nilai toleransi dan moderasi di masyarakat. Ke depannya, diharapkan adanya peningkatan kerja sama dalam penyebaran nilai-nilai tersebut, baik melalui kerja sama bilateral maupun regional.
Pada agenda prioritas dan arah ke depan kerja sama kemitraan ASEAN-Uni Eropa, Indonesia menegaskan pentingnya peningkatan kerja sama maritim, khususnya penanggulangan IUU Fishing, sebagai salah satu isu strategis bersama.
Dalam kaitan ini, Indonesia menggarisbawahi perlunya IUU Fishing dimasukkan sebagai isu kejahatan transnasional mengingat adanya kaitan antara IUU Fishing dengan kegiatan penyelundupan manusia, perdagangan obat terlarang, hingga senjata.
Pertemuan ke-21 AEMM menghasilkan "Bangkok Declaration on Promoting an ASEAN-EU Global Partnership for Shared Strategic Goals" sebagai landasan dan komitmen ASEAN-Uni Eropa dalam memperkuat kerja sama menuju kemitraan strategis di masa datang. ASEAN – UE akan memperingati 40 tahun kemitraan. Tahun depan, ASEAN – UE mempersiapkan Plan of Action untuk 2018 – 2022.
Pertemuan dimaksud dihadiri oleh seluruh negara anggota ASEAN dan Uni Eropa serta dipimpin bersama oleh Menteri Luar Negeri Thailand, selaku Country Coordinator kerja sama kemitraan ASEAN-Uni Eropa (2015-2018), dan Menteri Luar Negeri Slovakia, sebagai Presiden Dewan Uni Eropa saat ini.
Di sela-sela Pertemuan ke-21 AEMM, Menlu RI juga melakukan pertemuan dengan Menlu/Ketua Delegasi dari 8 (delapan) Negara Anggota Uni Eropa, yakni Belanda, Denmark, Luxembourg, Latvia, Italia, Lithuania, Perancis dan Polandia.
Delegasi RI pada Pertemuan ke-21 AEMM dipimpin oleh Menlu RI dan didampingi oleh Duta Besar RI di Bangkok, Direktur Polkam ASEAN, serta pejabat/staf dari Direktorat MWAK, PTRI ASEAN, dan KBRI Bangkok.
ICMI Gelar Konferensi Agama dan Kebudayaan
#beritadunia.net Menurut Kantor Berita ABNA, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) bekerja sama dengan Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) menyelenggarakan Konferensi Internasional Agama dan Kebudayaan untuk menyebarkan semangat pluralisme dan toleransi antaragama.
"Walaupun sering dilakukan, dialog antaragama semacam ini harus terus-menerus dilakukan dan melibatkan semua pihak, agar kita semua terbiasa untuk saling mendengarkan," kata Ketua Umum ICMI, Jimly Asshidiqie dalam pembukaan Konferensi Internasional Agama dan Kebudayaan di Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan kondisi dunia modern yang sudah terbuka seperti saat ini tidak memungkinkan masing-masing peradaban berjalan dan menyakini keyakinannya sendiri-sendiri.
Jimly menegaskan bahwa harus ada upaya untuk saling mendengarkan, terutama terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
"Pemahaman mengenai nilai kemanusiaan yang universal mampu menghasilkan kemajuan bagi peradaban bangsa dan kemanusiaan. Menangkap pesan universal itulah yang bisa mempersatukan kita," kata dia.
Konferensi Internasional Agama dan Kebudayaan diselenggarakan oleh Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja sama Islam pada 14 hingga 22 Oktober 2016 di Jakarta, Bogor, dan Yogyakarta.
Konferensi tersebut juga melibatkan akademisi dari Hartford Seminary, Amerika Serikat, yang memiliki latar belakang dari berbagai unsur agama dan keyakinan.
"Kami ingin berdialog sebagai teman dan bisa saling belajar bagaimana Indonesia, yang memiliki komunitas masyarakat sangat beragam, membangun jembatan pemahaman bersama untuk perdamaian," ujar Presiden Hartford Seminary, Heidi Hadsell.
Ketua penyelenggara Konferensi Internasional Agama dan Kebudayaan, Yasril Ananta Baharuddin mempercayai bahwa perdamaian antaragama dapat diwujudkan melalui jalan dialog yang seimbang.
Ketua Koordinasi Bidang Luar Negeri dan Pertahanan dan Keamanan ICMI tersebut mengatakan dengan cara meminimalkan perbedaan yang ada antaragama maka persatuan yang terwujud akan mampu menyumbang perdamaian dunia.
"Karena itu, dalam konferensi ini nanti yang ditonjolkan adalah persamaan dan bukan perbedaan," imbuh Yasril.
Bedanya Jika Ikut Langsung Peringatan Asyura
#beritadunia.net Suara Sayyid Ali Rabbani tiba-tiba tercekat. Sejenak dia terdiam setelah sebelumnya menceritakan bagaimana Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib, tetap mendirikan Shalat secara berjamaah pada malam 10 Asyura. Shalat diikuti oleh anak-anaknya, para ponakannya (anak-anak saudaranya, Imam Hasan) serta beberapa sahabat dan pengikut setianya.
Setelah mengambil nafas yang panjang, Sayyid Ali melanjutkan kisahnya. Malam itu, Imam Husain mengumpulkan seluruh sahabat serta anggota keluarganya di dalam tenda utama. Kala itu, mereka sudah dalam kondisi terkepung oleh puluhan ribu pasukan Yazid bin Muawiyah, dan dalam kondisi kehausan karena akses mereka ke sungai terdekat diboikot.
Imam Husain lalu menyampaikan bahwa besok, peperangan akan terjadi dan akan banyak yang menjemput kematian. Qasim, salah satu putra Imam Hasan yang masih belasan tahun lalu berkata, “Apakah besok aku juga akan syahid?”, Imam Husain menanggapi pertanyaan keponakannya, “Puteraku, bagaimana kematian itu dalam pandanganmu?”. Ia menjawab, “Kematian bagiku, lebih manis dari madu.” Imam Husain lalu menjawab, “Iya, puteraku, besok, kamu juga akan meraih kesyahidanmu.”
Kisah yang disampaikan Sayyid Ali Rabbani ini spontan membuat jemaah yang menghadiri majelis Asyura, menangis tersedu-sedu. Tangis mereka semakin menjadi-jadi ketika narasi dilanjutkan, saat bagaimana ribuan prajurit tanpa perasaan membantai Qasim bin Hasan yang maju ke medan laga seorang diri. Seorang remaja berwajah tampan yang mirip dengan ayahnya, Imam Hasan, cucu Nabi Muhammad Saw, kini tak bernyawa, tergeletak bersimbah darah di Padang Karbala.
Selama hampir satu jam, Sayyid Ali Rabbani membawakan narasi tragedi Karbala. Meski dia berkebangsaan Iran, namun bahasa Indonesianya sangat fasih.
Usai menyelesaikan narasi tragedi Karbala, Sayyid Ali yang merupakan salah satu Qari dari Iran ini, memimpin Doa Ziarah Imam Husain, semacam doa untuk menyatakan kesetiaan terhadap perjuangan Imam Husain, dan menyatakan berpaling dari orang-orang yang memerangi Sang Imam di Karbala, pada 10 Muharram 60 Hijriyah lalu.
Ziarah ini ditutup dengan sujud bersama, sembari memohon kepada Allah Swt, agar bisa mendapatkan syafaat dari Nabi Muhammad Saw dan para keluarganya, termasuk Imam Husain. Muslim Syiah meyakini, para Ahlulbait Nabi Saw yang berjumlah 12 orang, termasuk Imam Husain, kelak akan menemui para peziarahnya dan memberikan mereka syafaat di hari akhir kelak.
Jurnalis Berita Kota Kendari, diperkenankan mengikuti ritual yang digelar di Hotel Qubra, Kendari, Selasa (11/10), yang bertepatan dengan 10 Muharram itu. Acara yang dihadiri sekitar seratusan muslim Syiah dari seluruh Sulawesi Tenggara ini, dibuka sekitar pukul 13.00 dan berakhir tiga jam kemudian.
Meski demikian, ritual ini sempat mendapatkan protes dari puluhan orang yang merupakan aktivis Anti-Syiah. Namun protes mereka tak membuat ritual Asyura di dalam hotel sampai terganggu. Seluruh ritual berjalan dengan lancar dan khidmat dari awal sampai selesai.
Ratusan aparat gabungan Polri dan TNI pun terus melakukan pengamanan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Apalagi, jumlah jamaah Syiah yang ikut dalam acara itu terbilang sedikit. Itu pun masih terdiri dari perempuan dan anak-anak.
Ketua DPW Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia (Ijabi) Sultra, Ustad Nunung Piagi menyesalkan adanya gerakan yang ingin menggagalkan ritual Asyura. “Anda bisa lihat sendiri, bahwa peringatan Asyura ini hanya membacakan narasi tragedi di Karbala dan doa bersama. Apanya yang dipersoalkan? Apa salah jika kami memperingati kesyahidan Imam Husain?” kata Ustad Nunung.
Dia juga mengatakan, sudah seringkali mengundang tokoh atau warga di luar Syiah untuk melihat langsung ritual Asyura, agar mereka bisa langsung tahu dan memahami esensi dari tradisi ini. “Beda kan kalau kita ikut langsung, daripada hanya mendengar-dengar,” tambahnya.
Di tempat yang sama, Ketua DPW Ahlul Bait Indonesia (ABI) Sultra, Ir Tachrir mengatakan setiap tahun peringatan Asyura yang digelar komunitas Syiah memang selalu mendapat penentangan dari ormas-ormas tertentu. Itu terjadi karena adanya perbedaan pemahaman antara Syiah dan golongan tersebut dalam beberapa hal, termasuk ritual Asyura.
Ketua Formasi Sultra, Muhammad Ridwan Zainal juga menambahkan bahwa pemerintah sebaiknya memfasilitasi dialog antarmazhab untuk mendorong toleransi antarsesama. Yang jelas, kata Ridwan, antara Syiah dan Sunni, persamaannya masih jauh lebih banyak dibandingkan perbedaannya.
Sementara di luar hotel, pihak MUI Sultra dan Muhammadiyah juga ikut memberikan penjelasan. Mereka mengatakan, Syiah itu ada yang sesat, dan ada juga yang tidak. IJABI dan ABI, yang merupakan Ormas penggagas Asyura di Kota Kendari, tidak termasuk dalam golongan yang disesatkan. Mereka adalah pengikut Syiah Imamiyah yang diakui sebagai salah satu mazhab resmi dalam Islam.
Juga disebutkan, bahwa ritual Ahlulbait sebenarnya sangat kental dengan tradisi orang Sultra sendiri. Tiang keraton Buton yang berjumlah 12, sebenarnya merujuk pada keyakinan Syiah Imamiyah yang memiliki 12 orang Imam atau pemimpin umat.
Berdasarkan pantauan jurnalis Berita Kota Kendari, pengamanan itu dihadiri Komandan Kodim (Dandim), Letnan Kolonel (Letkol) Kafleri Eko Hermawan serta Kapolres Kendari, AKBP Sigit Hariadi.
Dari penelusuran di internet, tradisi Asyura memang menjadi salah satu ritual besar dalam tradisi Muslim Syiah. Populasi jumlah Muslim Syiah di seluruh dunia diperkirakan mencapai 150 juta sampai 200 juta orang, termasuk 2,5 juta orang di Indonesia. Setiap tahunnya, diperkirakan 20 juta muslim Syiah dari seluruh dunia melakukan ziarah ke makam Imam Husain yang terletak di Karbala, Irak.
Dalam Risalah Amman yang dihadiri ratusan ulama dan para pemimpin negara, disepakati bahwa Syiah Imamiyah dan Syiah Zaidiyah merupakan bagian dari keanekaragaman mazhab dalam Islam. Dari total pemeluk Syiah, kebanyakan merupakan Syiah Imamiyah dan sisanya adalah Syiah Zaidiyah, yang ajarannya lebih mirip dengan Sunni.
Menurut Prof Dr KH Quraish Shihab, perbedaan mendasar Sunni dan Syiah hanya terletak pada imamah atau kepemimpinan. Syiah hanya mengakui kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sepeninggal Rasulullah Saw, dan dilanjutkan oleh sebelas keturunannya, termasuk Imam Husain. Karena itu, mereka disebut Syiah Ali atau pengikut Imam Ali.
Usut Dugaan Penistaan Agama oleh Ahok, Polri Libatkan Tiga Ahli
#beritadunia.net Menurut Kantor Berita ABNA, Kementerian Luar Negeri bekerjasama dengan Kementerian Agama menyelenggarakan Dialog Lintas Agama dan Budaya (DLAB) negara-negara MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki dan Australia) di Yogyakarta, 18 – 19 Oktober 2016, diikuti oleh tokoh agama, budaya, akademisi, pejabat dan masyarakat madani dari negara-negara tersebut. Dialog dibuka oleh Wakil Menteri Luar Negeri, Dr. AM. Fachir, sementara welcoming remarks disampaikan oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Dalam sambutan pembukaannya, Dr. A.M. Fachir antara lain menyampaikan bahwa Indonesia dan negara-negara MIKTA memiliki hubungan bilateral yang erat dan hubungan itu tentu saja semakin kuat melalui kerjasama MIKTA. Sejak terbentuk pada tahun 2013, MIKTA aktif membicarakan beberapa isu seperti perdamaian, keamanan, pengungsi, pemberdayan jender, perdagangan dan ekonomi global. MIKTA juga telah menjalankan berbagai program outreach di bidang kepemudaan dan media.
Ditambahkan, bahwa kerja sama dalam MIKTA sejalan dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Pelaksanaan Dialog Lintas Agama dan Budaya ini merupakan inisiatif Indonesia dalam upaya mengatasi situasi keamanan global, yaitu terorisme, radikalisme, dan ekstrimisme.
Lebih lanjut Dr. A.M. Fachir mengharapkan kedepannya kerja sama MIKTA dapat menjadi bridge builder dan consensus makingterhadap beberapa permasalahan yang menjadi perhatian bersama negara MIKTA. MIKTA juga diharapkan menjadi kerja sama yang inklusif yang melibatkan semua pihak tidak hanya Kementerian Luar Negeri.
Sementara itu Sri Sultan Hamengkubuwono X menggaris bawahi bahwa dialog bukanlah kompromi iman, namun untuk mewujudkan empati antarumat agama, dimana benteng perbedaan diubah menjadi jembatan saling pemahaman dan penghormatan.
DLAB negara-negara MIKTA dengan tema "Strengthening solidarity, friendship, and cooperation through interfaith and intercultural dialogue", bertujuan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman diantara negara-negara MIKTA dalam meningkatkan pemahaman dan mempromosikan toleransi, perdamaian, moderasi, serta penghormatan di antara masyarakat multi agama dan budaya.
Indonesia sebagai tuan rumah menyampaikan Host Statement/Yogyakarta Message dalam kegiatan ini. Yogyakarta Message berisi pesan perdamaian yang mendorong pelaksanaan berbagai kegiatan yang memupuk rasa solidaritas dan penghargaan terhadap keragaman, keterbukaan dan tranparansi, baik pada level pemerintah maupun non-pemerintah.
Yogyakarta Message juga mendorong peran aktif pemuda dalam memupuk solidaritas antar umat beragama, mengembangkan jaringan diskusi tentang toleransi, dan melangkah dari berbagai perbedaan guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Indonesia juga menyampaikan komitmennya untuk memberikan Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia kepada pemuda dari negara-negara MIKTA mulai tahun 2017.
MIKTA merupakan Cross Regional Consultative Platform tingkat Menteri Luar Negeri yang dibentuk pada saat pertemuan ke-68 Majelis Umum PBB tanggal 17 September 2013 berdasarkan berbagai persamaan, diantaranya kemampuan ekonomi dan peran di kawasan. MIKTA diharapkan dapat bekerjasama untuk meningkatkan berkontribusi dalam pembangunan komunitas internasional.



























