کمالوندی

کمالوندی

Rabu, 14 September 2016 23:39

Sejarah Hidup Maria Qibtiyah

Maria Qibtiyah adalah salah satu dari istri Nabi (SAW), beliau adalah putri dari Qibtiyah Simon, lahir dari seorang ibu Romawi di desa Hafan wilayah Ansnay Mesir.

Nabi suci (SAW) pada tahun keenam Hijrah mengirim utusan ke luar negeri dengan membawa surat-suratnya yang berisi ajakan bagi penguasa negara-negara untuk masuk Islam. Rasulullah juga mengirim Hateb ibn Abi Balteh kepada Maquqs, penguasa Mesir, dan mengundangnya untuk masuk Islam. Dalam Surat tersebut Nabi (SAW) berkata: "Dengan nama Allah, dari Muhammad bin Abdullah kepada Maquqs Agus di Mesir, salam kedamaian bagi para pengikut kebenaran, dengan ini Saya mengajak Anda untuk menerima agama Islam, dan Jika Anda melakukannya, Allah akan membalas dengan berlipat ganda, tapi jika Anda menolaknya maka Anda akan menanggung dosa seluruh Suku Qibti (Koptik). "

Karena melihat cap dan tanda tangan dari Nabi (SAW), Maquqs pun segera membaca surat tersebut. Kemudian surat itu ditempatkan dalam wadah gading dan meminta Hateb ibn Abi Balteh untuk berbicara tentang Nabi (SAW), gaya hidup dan karakter nya. Hateb ibn Abi Balteh pun memenuhi permintaan sang Raja tersebut. Maquqs berpikir sedikit dan kemudian berkata: "Saya pikir nabi terakhir akan datang dari Syam di mana para nabi muncul, sementara saya melihat bahwa beliau telah muncul dari semenanjung Arab, oleh karena itu bangsa Koptik tidak dapat mematuhinya"

Kemudian, ia memerintahkan sekretarisnya untuk mempersiapkan surat dan menuliskan: "Saya telah membaca surat Anda, dan saya mengerti apa yang ditulis dalam surat itu, saya pun juga sudah mendengar ajakan Anda, akan tetapi saya masih percaya bahwa nabi terakhir berasal dari Syam. Saya tetap menghormati Nabi Anda dan akan mengirimkan dua budak perempuan dari bangsa Koptik dengan pakaian dan kuda bersamanya, Wassalam."

Maquqs menyampaikan balasan melalui Hateb dan meminta maaf untuk penolakan bangsa Koptik terkait undangan untuk menerima Islam dan memintanya untuk menjaga rahasia apa-apa yang telah dilihat dan didengar di bangsa Koptik. Hateb pun kembali ke Nabi (SAW) dengan membawa dua budak perempuan bernama Maria dan Syrin bersama-sama dengan seribu ons emas dengan dua puluh baju Mesir dan seekor keledai abu-abu dan beberapa madu dan parfum.

Gadis muda yaitu Maria dan Syrin merasa tertekan karena semakin menjauh dari tanah air mereka. Oleh karena itu, Hateb pun menceritakan tentang keindahan Mekah dan Hijaz. Lalu juga menceritakan beberapa hal tentang Nabi (SAW). Mendengar sifat dan akhlaq mulia Nabi (SAW) dan kebaikan Islam, mereka merasa bahagia dan senang dengan Islam dan Nabi Muhammad (SAW). Kemudian mereka masuk Islam dan merenungkan tentang ajaran barunya. Mereka tiba Madinah pada tahun ketujuh Hijrah, dan pada waktu itu Nabi (SAW) telah baru pulang dari Hudaibiyah.

Nabi (SAW), menerima surat-surat dan hadiah yang dikirim oleh Moquqs. Kemudian beliau menikah dengan Maria dan adapaun Hasan bin Sabit, yang merupakan penyair terkenal dan cendekiawan, mengambil Syrin sebagai istrinya. Kemudian Syrin pun melahirkan seorang putra bernama Abdul Rahman, Nabi (SAW) juga membagikan hadiah dari raja Mesir itu kepada para sahabatnya.

Kabarpun menyebar di antara istri-istri Nabi (SAW) bahwa seorang wanita tanah Nil telah menikah dengan Nabi (SAW) dan beliau tinggal dia di rumah Haris bin Naman, yang mana rumahnya berdekatan dengan masjid.

Dalam satu tahun, Maria pun sudah sangat senang dengan posisi yang beliau peroleh, yaitu menjadi istri Nabi (SAW) dan keadaan beliau sekarang jauh lebih baik dibandingkan dengan kehidupan masa lalunya. Nabi (SAW) juga sangat senang dengan beliau, karena Maria melakukan yang terbaik untuk menyenangkan nabi (SAW). Dalam hubungannya dengan Nabi beliau tulus, berbudi luhur dan sepenuhnya patuh pada perintah nabi (SAW), karena Nabi adalah suaminya dan maula-nya.

 

Maria dan Hajar

Maria benar-benar kagum dengan Hajar, Ibrahim dan Ismail (a.s) dan beliau telah mendengar mereka berulang kali ketika Allah SWT membantu Hajar saat beliau sendirian di tanah Hijaz. Yang Maha Kuasa Allah telah menganugerahkan sebuah sumur zamzam, sebagai kehidupan baru untuk Hajar, beliau tahu bahwa kehidupan Hajar akan tetap dikenang sejarah, dan lari-lari kecil-nya antara bukit Shofa dan Marwah akan berubah menjadi salah satu ritual pada ibadah Haji.

Maria kadang berpikir kesamaan beliau dengan dari Hajar yang mana mereka berdua adaslah sama-sama hamba perempuan. Hajar diberikan kepada Ibrahim oleh Sarah dan Maria diberikan kepada Nabi (SAW) oleh Maquqs, satu-satunya perbedaan adalah bahwa Hajar adalah ibu dari Ismail dan Maria tidak punya anak dari Nabi (SAW).

Setelah kematian Khadijah, Nabi (SAW) tidak memiliki anak dari istri-istri setelahnya, hanya Khadijah saja yang memiliki enam anak, yaitu, Qasem, Zaenab, Ruqoyyah, Ummi Kulsum, Fatimah dan Abdullah (a.s), anak-anak lain diantara mereka telah meninggal saat masih bayi.

 

Kelahiran Ibrahim

Pada satu malam tahun delapan Hijrah, Maria mengetahui bahwa dirinya telah hamil. Berita itu datang kepada Nabi (SAW), beliau pun menjadi sangat senang dan sangat bersyukur kepada Allah.

Ibrahim lahir di bulan Dzulhijjah, dan bidannya waktu itu adalah , ‘Salamah’ yang telah memberi kabar kepada suaminya, "Abu Rafe", kemudian dia datang kepada Nabi (SAW) dan menyampaikan kabar dari bayi yang baru lahir. Karena Nabi (SAW) diberi hamba perempuan maka bayi itu diberi nama Ibrahim, diambil dari nama ayah yang agung, Nabi Ibrahim Kholilullah (a.s). Pada hari ketujuh dari kelahiran, domba pun disembelih (sebagai aqikah) untuk Ibrahim. rambut bayinya pun dicukur dan beratnya pun ditukar dengan perak untuk dibagikan kepada  fakir miskin di jalan Allah.

Ibrahim sangatlah dipuja oleh Nabi (SAW). Anas bin Malik mengatakan:

"Ketika Ibrahim lahir, Jibril datang kepada nabi (SAW) dengan mengucapkan salam ‘Assalamu alaika yaa Aba Ibrahim' (Salam sejahtera dari kami kepada Anda, wahai Ayah Ibrahim!)

Nabi (SAW), setelah kelahiran Ibrahim, menyatakan bahwa "tadi malam aku punya anak yang aku beri nama dia Ibrahim setelah nama ayah saya.

Wanita Ansar yang telah mendengar kabar tentang cinta Nabi kepada Maria membuat mereka bersaing menyusu Ibrahim, karena mereka bermaksud untuk mendekati Maria.

Nabi (SAW) sangat senang menyaksikan tumbuhnya Ibrahim. Setelah beberapa waktu, ketika Nabi (SAW) keluar kota, Nabi (SAW) diberitahu tentang keadaan yang tidak baik dari kesehatan anaknya, Ibrahim dan memaksa beliau kembali ke rumah, mengambil dia dari dada ibunya saat kesedihannya benar-benar luar biasa di wajahnya, beliau pun mengatakan:

يا إبراهيم لو لا انه امر حق ووعد صدق, وأن آخرنا سيلحق بأولنا, لحزنا عليك حزنا هو اشد من هذا, تدمع العين و يحزن القلب و لا نقول إلا ما يرضي ربنا والله يا إبراهيم, إنا بك لمحزونون.

"Wahai Ibrahim! Jika kematian bukanlah suatu hakikat dan janji yang benar dari Allah dan akhir dari ku adalah kembali kepada awal (asal) ku, maka aku akan sangat sedih melebihi kesedihan ku sekarang ini, mata ku menangis dan hati ku sangat sedih, tapi aku tidak akan melakukan sesuatu apapun kecuali untuk mendapatkan Ridha Allah. Namun, kamu harus tahu bahwa saya sangat sedih kehilang kamu dan atas kematian mu."

Beberapa orang mengeluh kepada Nabi "Wahai Rasulullah (SAW), Apakah Anda melarang kita menangis?" Nabi (SAW) menjawab: "Tidak, saya tidak melarang Anda untuk menangis atas kematian orang-orang anda cintai. Karena menangis adalah tanda kebaikan dan kasih sayang dan siapa pun yang tidak memiliki simpati kepada orang lain maka dia tidak akan di kasihani oleh Allah SWT.

(Dengan cara apapun), yang (Kudus) Nabi (SAW) memerintahkan untuk mencuci (mayat Abraham), membalsem dan kain kafan (It). Kemudian, mereka mengambil (itu) Baqi Cemetery dan dimakamkan di tempat yang sekarang disebut "Abraham Grave".

(Ketika Abraham meninggal) gerhana terjadi dan orang-orang dari Madinah berkata: 'gerhana matahari terjadi karena kematian Ibrahim. Nabi melanjutkan mimbar dan berbicara dengan orang-orang untuk (meningkatkan) kesalahan ini dan melawan takhayul ini sebagai berikut:

ايها الناس إن الشمس والقمر آيتان من آيات الله لاتخسفان لموت احد ولا لحياته.

“Wahai Manusia, matahari dan bulan adalah dua tanda-tanda kekuasaan Allah SWT dan mereka ditakdirkan oleh Allah tidak akan menangis (terjadi gerhana) atas kematian siapa pun.

Dalam riwayat lain berbunyi:

إن الشمس والقمر لاينكسفان لموت احد ولا لحياته فإذا رأيتم فصلوا وادعوا الله.

"Sesungguhnya, matahari dan bulan tidak akan menangis (terjadi gerhana) karena kematian dan kehidupan siapa pun, karena itu, ketika Anda hadapi itu (melihat Gerhana) maka Anda harus mulai melakukan Shalat."

Maria sangat sedih dan terus berkabung untuk Ibrahim:

"Wahai Ibrahim, Kau anak saya yang masih menyusui, dari sekarang malaikat akan menyusuimu di surga."

Setelah wafatnya Ibrahim, Maria menjadi suka berdiam diri di rumah, setiap kali Nabi mengunjunginya dia terus mengatakan, "Kami (berasal) dari Allah SWT dan kami akan kembali kepada-Nya"

"انا لله وانا اليه راجعون"

Maria adalah di antara istri-istri yang dihormati oleh Nabi dan beliau tertarik kepada Sayyidah Zahra (a.s). Untuk membuat Maria bahagia, Nabi (SAW) pun membuat rumahnya di dekat taman Madinah dengan nama “Masrobiyatu Ibrahim".

 

Maria dan hidupnya dengan Rasulullah

Rumah pertama Ummul Mukminin Maria adalah rumah Haris bin Naman. Beliau tinggal di rumah itu selama satu tahun dan kemudian beliau meminta pindah ke tempat lain dan Rasulullah (SAW) menempatkan beliau di dataran tinggi Madinah di tengah kebun kecil yang Rasulullah (SAW) dimiliki dari pertempuran dengan Bani Nazir, tempat ini dikenal dengan "Masrabiyatu Ibrahim". Beliau tinggal di sana pada musim panas dan musim panen, Nabi (SAW) pergi ke sana pada musim tersebut untuk mengunjunginya. Beberapa saat setelah beliau tinggal ditempat tersebut, maka beliau pada bulan Dzulhijjah tahun delapan Hijrah melahirkan anak Rasulullah (SAW) yang diberi nama Ibrahim.

 

Perhatian Ahlul Bait (a.s) terhadap Maria

Ali bin Abi Tholib (a.s) dan Fataimah Az-Zahra (a.s) memberi perhatian khusus terhadap Maria. Dikatakan saat Ibrahim lahir Ali (a.s) menjadi sangat senang. Beliau selalu mendukung Maria, dan beliau sendiri menangani masalah-masalahnya. Beliau memiliki perhatian khusus terhadap Maria.

 

Akhlaq Mulia Maria  

Maria adalah seorang wanita yang berbudi luhur, taat beragama, dan sopan. Beliau banyak disanjung oleh Nabi (SAW), juga dinilai oleh para sejarawan bahwa beliau adalah sosok religius. Nabi (SAW), dalam mengungkapkan cintanya terhadap beliau mengatakan:

"Ketika Anda nanti menaklukkan Mesir, tolong perlakukan mereka dengan baik, karena saya adalah menantu mereka”

 

Hidup Maria setelah Wafatnya Nabi Muhammad (SAW)

Setelah wafatnya Nabi Muhammad (SAW), Abu Bakar memberikan tunjangan pensiun bagi beliau dan pembayaran ini dilanjutkan sampai masa Khalifah kedua.

 

Wafatnya Maria

Pada akhirnya, beliau meninggal selama masa khalifah kedua pada bulan Muharram tahun ke enam belam Hijriyah. Umar bin Khattab menyuruh masyarakat untuk memakamkan beliau dan berdoa untuknya. Beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’.

Ditulis oleh: Sheila Maaleki Dizaji

 

Rabu, 14 September 2016 22:10

Siapakah Gerangan Sahabat Nabi?

apakah seorang ‘muslim fasik’ yang terlahir pada zaman Rasul akan lebih mulia dari seorang ‘muslim bertakwa’ yang terlahir di akhir zaman seperti sekarang ini, sehingga yang itu kebal hukum karena disebut sahabat dan mujtahid, sedang yang ini tidak semacam itu? Jika ya, lantas harus kita taruh mana ayat yang mengatakan “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian” (Inna Akramakum Indallahi Atqokum)? Dan dimana letak keadilan Allah yang tentu kita semua yakini bahwa, Ia Maha Adil dan Bijaksana?
Siapakah Gerangan Sahabat Nabi?
 
Salah satu fitnah yang dilancarkan musuh-musuh Syiah terhadap mazhab Islam ini adalah bahwa Syiah telah mengkafirkan para sahabat. Apakah benar Syiah mengkafirkan semua sahabat ataukah sebagian saja? Apa arti pengkafiran, apakah sama dengan kekafiran kaum non muslim atau sekedar kritisi karena kesalahan yang dilakukankan sebagian sahabat? Tentu, dalam menjawab semua itu perlu tulisan tersendiri, namun di sini kita akan membahas definisi sahabat menurut ulama Ahlusunnah sendiri.

 
Untuk mempersingkat kajian, kita akan lihat sebagai contoh definisi sahabat dari dua ulama Ahlusunnah di bawah ini;

 
Dalam kitab Bukhari disebutkan, ada satu bab yang menjelaskan tentang; “Keutamaan para sahabat Nabi dan orang yan menemani Nabi atau orang muslim yang pernah melihatnya maka ia disebut sahabat beliau” (Bab Fadhoil Ashaab an-Nabi wa man Sohaba an-Nabi aw Ra’ahu min al-Muslimin fa Huwa min Ashabihi). (Sahih Bukhari 3/1335)

Atau dalam Syarh Muslim oleh Imam an-Nawawi dimana beliau mengatakan; “Yang benar menurut mayoritas adalah bahwa setiap muslim yang pernah melihat Nabi walau sesaat maka ia tergolong sahabat beliau” (As-Sohih al-Ladzi Alaihi al-Jumhuur anna Kulla Muslim Ra’a an-Nabi wa lau Sa’ah fa Huwa min Ashabihi). (Syarh muslim oleh Imam an-Nawawi 16/85)

Dan masih banyak ulama Ahlusunnah lain yang kurang lebih batasan sahabat menurut mereka sangat longgar, bahkan –dengan istilah ilmu mantiq (logika)- definisi mereka kurangjami’ dan tidak mani’ sehingga ‘muslim fasiq’ atau ‘munafiq’ pun akan bisa masuk kategori sahabat Nabi. Kita lihat bagaimana al-Quran membagi sahabat Nabi menjadi tiga golongan yang berbeda-beda: “Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiridan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar” (al-Fathir: 32).

Tentu, jika kita teliti dari obyek tadi maka orang-orang yang dimaksud pada ayat di atas adalah orang yang hidup sezaman dengan Nabi yang biasa disebut dengan sahabat. Adapun yang dimaksud dengan “ada yang menganiaya (baca: zalim) diri mereka sendiri” adalah orang fasik yang melanggar batasan-batasan yang telah ditentukan Allah.

Dikarenakan penggunaan kata sahabat sangat umum maka dalam al-Quran pun sering dinyatakan bahwa, walau manusia durjana dan pendurhaka (kafir Quraisy) pun dimasukkan katagori sahabat seorang yang mulia (seperti Rasulullah). Sebagai contoh:

“Kawan (Shohib) kalian (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru” (QS an-Najm: 2)

“Apakah (mereka lalai) dan tidak memikirkan bahwa teman (shohib) mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila…” (QS al-A’raf: 184)

Dan atas dasar itulah (ketidakjelasan definisi) maka Nabi pernah bersabda berkaitan denan sebagian kaum muslimin yang sezaman dengannya yang masuk kategori sahabat beliau dengan ungkapan: “Sesungguhnya ada dua belas orang pada sahabatku yang tergolong munafik” (inna fi Ashabi Itsna Asyara Munafiqan). (Sahih Muslim 4/2143 hadis ke-2779)

Apakah definisi di atas tadi mencakup para manusia muslim yang baik pada zaman Rasul saja, atau juga mencakup yang penzalim yang hidup di zaman Nabi juga?

Apakah dalam ajaran Islam mengkritisi manusia penzalim hanya berlaku pada zaman tertentu saja, atau mencakup setiap zaman, termasuk kaum muslim penzalim zaman Rasul juga? Jika saudara dari Ahlusunnah berpendapat hanya pada zaman dimana kita hidup sekarang saja maka, dari sekarang kita gak usah menjadikan al-Quran sebagai pegangan karena al-Quran telah menyinggung kaum ‘muslim munafik’ zaman Rasul juga yang jika kita kembalikan kepada definisi di atas tadi maka muslim munafik tadi masuk kategori sahabat Nabi.

Bukankah seruan yang mengatakan “Setiap fenomena yang terjadi di antara sahabat hendaknya kita diam” (Kullu Maa Jara Baina as- Sohabah Naskutu) -yang terkenal dalam ajaran Ahlusunnah- akan menyebabkan terjadi kerancuan dalam berpikir dan bertindak, akibat paradoksi dalam tindakan dan prilaku sebagian sahabat berkaitan dengan selainnya. Karena seringnya diantara mereka –sebagaimana yang telah terukir dalam sejarah- terjadi saling dengki, saling caci-maki, saling laknat, saling ghibah, saling menuduh (fitnah), dan bahkan saling bunuh. Bukankah itu semua dilarang dalam Islam?

Mungkin sebagian dari kita beralasan bahwa para sahabat SEMUA adalah pelaku ijtihad (mujtahid).

Apakah mungkin ruang lingkup ijtihad para sahabat tanpa batas sehingga hatta yang bertentangan atau bahkan melanggar batas kejelasan hukum Islam pun diperbolehkan? Dengan kata lain, apakah konsep ijtihad di Ahlusunnah istilah “ijtihad fi muqobil an-Nash” (ijtihad yang bertentangan dengan kejelasan teks agama) diperbolehkan?

 

Hukum ijtihad mujtahid mana yang membolehkan membunuh seorang mujtahid (sahabat) lain seperti yang dilakukan Muawiyah terhadap Amar bin Yasir, berzina dengan istri orang sebagaimana yang dilakukan Khalid bin Walid terhadap istri sahabat Malik bin Nuwairah, meminum minuman keras sebagaimana yang dilakukan Walid bin Utbah, melakukan kebohongan atas nama Rasul sebagaimana yang dilakukan Abu Hurairah sehingga membuat sahabat Umar, sahabat Ali dan Ummulmukminin Aisyah marah, dan perbuatan keji lain yang jelas dilarang oleh ajaran Islam?

 

Kalaupun kita terpaksa harus menerima bahwa mereka berijtihad, kenapa kita yang hidup sekarang ini tidak boleh melakukan dan mencontoh ijtihad mereka dalam perbuatan ‘bejat’ tadi? Apakah penyebab mereka kebal hukum –atas setiap pelanggaran- dan kebal kritisi –dari umat yang datang setelahnya- hanya karena takdir Allah yang karena mereka telah tercipta (baca: terlahir) di masa hidup Rasul sehingga mendapat gelar Sahabat Rasul, walau hanya karena melihat beliau selintas saja?

Apakah seorang ‘muslim fasik’ yang terlahir pada zaman Rasul akan lebih mulia dari seorang ‘muslim bertakwa’ yang terlahir di akhir zaman seperti sekarang ini, sehingga yang itu kebal hukum karena disebut sahabat dan mujtahid, sedang yang ini tidak semacam itu? Jika ya, lantas harus kita taruh mana ayat yang mengatakan “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian” (Inna Akramakum Indallahi Atqokum)? Dan dimana letak keadilan Allah yang tentu kita semua yakini bahwa, Ia Maha Adil dan Bijaksana?

Jika saudara masih tetap bersikeras untuk mengatakan yang mereka yakini itu –bahwa semua sahabat Nabi adalah baik, mujtahid dan layak diikuti kita juga harus kembali menyinggung ke kajian Teology, terkhusus tentang konsep Keadilan Ilahi yang diawali dengan pertanyaan; Benarkah Allah Maha Adil? Benarkah Allah akan memuliakan hamba-Nya yang ‘tanpa kehendaknya (ikhtiyar)’ telah terlahir di zaman Rasul sedang ia telah berani menentang sebagian perintah Ilahi, dibanding seorang hamba yang berilmu nan bertakwa namun dia ditakdirkan untuk terlahir di zaman yang jauh dari kehidupan Rasul?. (isw)

Rabu, 14 September 2016 22:09

Imam Ali Adalah Barometer Keimanan

Dalam sabdanya yang sangat masyhur, Nabi saw menegaskan bahwa “Tidak mencintai Ali kecuali orang mukmin dan tidak membencinya kecuali orang munafik.”. Ini adalah sebuah ketetapan dan janji Rasulullah saw.

 

Hadis tentangnya telah diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi saw. melalui para sahabat ra., tiada keraguan brang sedikitpun dalam kesahihannya. Ibnu Abi al Hadid al Mu’tazili dalam Syarah Nahjul Balaghahnya menegaskan, “Dan telah sepakat berita-berita (hadis) sahih yang tiada keraguan padanya di kalnagn para muhaddisin bahwa Nabi saw. bersabda kepada Ali, “Tiada membencimu keculai munafik dan tiada mencintaimu kecuali mukmin.”[1]

 

Ibnu ‘Asakir dalam Târîkh Damasyqus-nya telah meriwayatkan hadis tersebut dari tiga puluh jalur. Demikian juga para ulama lain, mereka meriwayatkannya dengan berbagai jalur.

Riwayat Ibnu ‘Asakir dalam Târîkh Damasyqus.

Hadis Imam Ali dengan Riwayat al A’msasy dari Adi ibn Tsâbit

Seperti telah disebutkan bahwa Ibnu ‘Asakir telah meriwayatkan hadis tersebut dari tiga puluh jalur. Ia meriwayatkannya dari Imam Ali as. melalui jalur  A’masy dari Adi ibn Tsabit, dan darinya hadis tersebut telah diriwayatkan oleh banyak tokoh hadis penting, diantaranya:

  1. Sufyan ats Taswri.
  2. Abdunûr ibn Abdullah ibn Sinân.
  3. Abu Hafsh Al A’sya Amr ibn Khalid.
  4. Ibnu Numair.
  5. Wakî’.

Di bawah ini akan saya sebutkan jalur-jaluiar riwayat itu.

1) Dengan sanad bersambung kepada ats Tsawri dari A’masy dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, ia berkata, “Aku mendengar Ali as. bersabda:

وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الأُمِّيْ أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.

Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik. [2]

2) Dengan sanad bersambung kepada Abdunnûr ibn Abdillah ibn Sinân dari A’masy dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy dari Ali berkata:

عَهِد إلَيَّ رسُولُ اللهِ أََنَّهُ لاَ يُحِبُّكَ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُكَْ إلاَّ مُنافِقُ.

“Rasulullah saw telah menetapkan untukku, “Sesungguhnya tidak mencintaimu kecuali mukmin dan tidak membencimu kecuali munafik.”

3) Dengan sanad bersambung kepada Abu Hafsh Al A’sya Amr ibn Khalid dari A’masy dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, dari Ali as., ia (Zirr) berkata, “Aku mendengar Ali as. Berpidato di hadapan manusia, ia bertahmid dan memuji Allah, kemudian berkata:

عَهِد إلَيَّ رسُولُ اللهِ أََنَّهُ لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.

“Rasulullah saw. telah menetapkan untukku, “Tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.”

4) Dengan sanad bersambung kepada Ibnu Numair, ia berkata, ‘telah mengabarkan kepada A’masy, dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, ia berkata, Ali berkata:

وَ اللهِ إنَّهُ مِمَا عَهِدَ إِلَيَّ رَسُولُ اللهِ (صلى الله عليه و آله و سلَّمَ أّنَّهُ لاَ يُحِبُّني إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.

“Demi Allah sesungguhnya termasuk yang ditetapkan Rasulullah saw. untukku, “Sesungguhnya tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.”

5) Dengan tiga belas sanad beragam yang bersambung kepada Wakî’ ibn al Jarrâh dari  A’masy, dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy dari Ali, ia berkata:

عَهِد إلَيَّ النبي (ص) أََنَّهُ لاَ يُحِبُّكَ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُكَْ إلاَّ مُنافِقُ.

“Nabi saw. telah menetapkan untukku, “Sesungguhnya tidak mencintaimu kecuali mukmin dan tidak membencimu kecuali munafik.”

Baca Juga Ali Sahabat Paling Utama

6) Dengan sanad bersambung kepada al Husain ibn Muhammad ibn ash Shabâh az Za’farâni, ia berkata, Abu Mu’awiyah adh Dharîr mengabarkan kepada kami, ia berkata, A’masy mengabarkan kepada kami dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, dari Ali, ia berkata:

وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الأُمِّيْ أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.

Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.

7) Dengan sanad bersambung kepada Ahmad ibn Abdil Jabbâr, ia berkata, Abu Mu’awiyah adh Dharîr mengabarkan kepada kami, ia berkata, A’masy mengabarkan kepada kami dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, dari Ali, ia berkata:

وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الأُمِّيْ أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.

Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.

Dengan dua sanad bersambung kepada Al A’masy dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, ia berkata, Ali berkata:

وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ [الأُمِّيْ] أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.

Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.

9) Dengan sanad bersambung kepada Abdullah ibn Daud (al KHuraibi), ia berkata, Al A’masy mengabarkan kepada kami dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, ia berkata, “Aku mendengar Ali berkata:

وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ وَ تَرَدّى بالعَظَمَةِ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الأُمِّيْ أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.

Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa serta menyandang ke maha agungan, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.

10) Dengan tiga sanad bersambung kepada Abdullah ibn Daud dari  Al A’masy dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, ia berkata, “Bahwa Ali berkata:

فِيْما اَسَرَّ إلَيَّ رسولُ اللهِ (ص) أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.

Termasuk yang dibisikkan Rasulullah saw. Kepadaku ialah bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.

11) Dengan sanad bersambung kepada Abu Khaitsamah ia berkata, mengabarkan kepada kami Ubaidullah ibn Musa, ia berkata Al A’masy mengabarkan kepada kami dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, dari Ali, ia berkata:

وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ رسولِ الله إلَيَّ أنَهُ : أََنَّهُ لاَ يُحِبُّكَ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُكَْ إلاَّ مُنافِقُ.

Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Rasulullah saw. Bahwa “Sesungguhnya tidak mencintaimu kecuali mukmin dan tidak membencimu kecuali munafik.”

12) Dengan sanad bersambung kepada Muhammad ibn Yusuf ibn ath Thibâ’ ibn Bakr, ia berkata, mengabarkan kepada kami Ubaidullah ibn Musa, ia berkata Al A’masy mengabarkan kepada kami dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, dari Ali, ia berkata:

وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ إلَيَّ أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّكَ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُكَ إلا مُنافِقُ.

Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi saw. kepadaku bahwa “Tiada mencintaimu kecuali mukmin dan tiada membencimu kecuali munafik. Inilah dua belas jalur periwayatan hadis tersebut, dan sengaja kami cukupkan dengan dua belas dulu untuk mengambil berkah dari jumlah imam-imam suci dari Ahlulbait Nabi saw.. selain apa yang kami sebutkan di atas masih banyak jalur-jalur lain.

 

 

Catatan Kaki

  1. Syarah Nahul Balaghah,4/63 pada keterangan mutiara hikmah ke 57.
  2. Sumber Hadis: Selain Ibnu ‘Asakir, hadis ini juga telah diriwayatkan para muhaddis kenamaan seperti:1)Imam Muslim dalam Shahihnya 2)An Nasa’i dalam Sunannya dengan dua jalur dan dalam Khashâishnya dengan tiga jalur: hadis 95,96 dan 97, yang semuanya sahih berdasarkan komentar Abu Ishaq al Hawaini (korektor kitab Khashâish).3)Turmudzi dalam Sunannya, Manâqibu Ali, bab 95 (Tuhfatu al Ahwadzi,10/239-230) dan ia berkata, :Hadis ini hasan sahih.”4)Ibnu Mâjah dalam Shahihnya,bab fadhlu ali ibn Abi Thalib ra.,1/42, hadis114. Ia hadis ertama dalam bab itu.5)Ibnu Abi ‘Âshim dalam kitab Sunnahnya,2/598.6)Abu Nu’aim dalam Hilyatu al Awliyâ’,4/185 dari tiga jalur dari Adiy ibn Tsâbit dari Zirr, kemudian ia berkata, “Hadis ini muttafaqun ‘alaih (disepakati kesahihannya)”. Setelahnya ia menyebutkan banyak ulama yang meriwayatkan dari Adiy.7)Al Muttaqi al Hindi dalam Kanz al ‘Umâlnya,6/394 dan ia berkata, “hadis ini telah dikeluarkan oleh Al Humaid, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad ibn Hanbal, Al Adani, At Turmudzi, An Nasa’i, Ibnu Mâjah, Ibnu Hibbân, Abu Nu’aim dan Ibnu Abi ‘Âshim.

Menurut Kantor Berita ABNA, Ayatullah Sayid Ali Khamenei, Rabu (7/9) dalam pertemuan dengan keluarga-keluarga syuhada tragedi Mina dan Masjid Al Haram, menilai kelalaian dan ketidakmampuan rezim Al Saud dalam menangani insiden tersebut, sebagai bukti tambahan atas ketidaklayakan dari “Pohon kebengisan yang terlaknat” ini dalam mengatur dan mengelola Haramain Syarifain (Mekah dan Madinah).

 
Rahbar menyinggung kesyahidan sekitar 7000 jemaah haji dalam tragedi Mina dan menyampaikan protes keras kepada pemerintah Arab Saudi, “Kenapa negara-negara dunia tidak menunjukkan reaksinya atas peristiwa besar dan menyedihkan ini ?.”

 
Ia menyebut diamnya negara-negara bahkan ulama, aktivis politik, intelektual dan tokoh-tokoh Dunia Islam menyaksikan gugurnya 7000 jemaah haji tidak berdosa sebagai “Bencana besar Umat Islam”.

“Tidak sensitif atas masalah-masalah seperti tragedi besar dan menyedihkan di Mina adalah musibah terbesar Dunia Islam,” ujar Rahbar.

Ayatullah Khamenei menganggap penolakan penguasa Saudi untuk meminta maaf secara lisan, sebagai puncak dari keburukan dan hilangnya rasa malu mereka.

“Bahkan jika dilakukan tanpa sengaja sekalipun, semua kalalaian dan ketikdabecusan ini adalah kejahatan bagi sebuah pemerintahan,” imbuhnya.

Rahbar menyebut diamnya para pengklaim hak asasi manusia sebagai sisi buruk lain tragedi Mina. Ia juga menyinggung kegaduhan politik dan propaganda lembaga-lembaga pengklaim pembela HAM terkait pelaksanaan hukuman pengadilan di beberapa negara.

Rahbar menuturkan, kebisuan di hadapan kelalaian sebuah pemerintahan dalam melaksanakan tanggung jawabnya dan tewasnya 7000 manusia tertindas dan tidak berdosa, semakin memperjelas wajah asli para pengklaim HAM dunia, dan siapapun yang berharap pada lembaga-lembaga internasional, harus mau menerima realtias pahit ini.

Menurut Ayatullah Khamenei, pembentukan sebuah tim pencari fakta, termasuk pekerjaan wajib dan darurat bagi negara-negara Muslim, serta para pengklaim HAM.

Ia menerangkan, setelah berlalu setahun sejak terjadinya tragedi Mina, pemeriksaan bukti-bukti visual, audio dan dokumen-dokumen tertulis, telah banyak membantu memperjelas realitas.

Rahbar juga menganggap para pendukung rezim Al Saud sebagai sekutu kejahatan-kejahatan rezim itu dalam tragedi Mina.

“Rezim Saudi dengan dukungan Amerika Serikat, terang-terangan berdiri melawan Muslimin dan menumpahkan darah rakyat tidak berdosa di Yaman, Suriah, Irak dan Bahrain, oleh karena itu Amerika dan para pendukung Riyadh lainnya, punya andil besar dalam kejahatan-kejahatan yang dilakukan Saudi.

Rabu, 14 September 2016 22:08

Hari Arafah Menurut Para Imam Ahlulbayt As

Rasulullah Saw bersabda;

 
“Barang siapa menjaga pendengaran dan lisannya di hari Arafah, maka Allah akan menjaganya dari Arafah ke Arafah berikutnya”.

Imam Ali as berkata;

 
“Kalian tahu ketika jamaah haji sudah berihram, mengapa mereka pergi ke Arafah dan kemudian kembali lagi ke Ka’bah untuk tawaf?

 
Ini dilakukan karena Arafah telah keluar dari batas haram, dan jika seseorang ingin menjadi tamu Allah, ia pertama kali harus keluar dari gerbang batas dan bermunajat sedemikian rupa sehingga ia layak untuk memasuki wilayah haram.”

Imam Ali Zainal Abidin as dalam Sahifah Sajjadiyah berkata;

“Ya Tuhanku! Ini adalah hari Arafah, sebuah hari di mana Engkau memberikan kemuliaan dan keagungan kepada mereka.

Pada hari ini, Engkau membuka lebar-lebar pintu rahmat dan pengampunan untuk hamba-Mu dan Engkau mencurahkan pemberian sebesar-besarnya dan Engkau mengutamakan mereka karena hari ini.”

Imam Jakfar Shadiq as berkata;

“Jika seorang pendosa belum memperoleh rahmat dan pengampunan Allah pada malam-malam yang penuh berkah di bulan Ramadhan, dan khususnya di malam-malam Qadar, maka ia tidak akan terampuni sampai tahun depan kecuali ia memahami Arafah dan memanfaatkan keutamaan-keutamaannya.”

Imam Ali Zainal Abidin as berkata;

“Ketika kalian memasuki Arafah pada hari kesembilan dan saat kalian tiba di sebuah padang yang luas, maka ketahuilah bahwa itu adalah tanah kesaksian, makrifat, dan irfan.

Ia tahu siapa saja yang melangkahkan kakinya di tanah itu dan dengan motivasi apa mereka datang dan juga dengan niat apa mereka kembali.

Allah menjadikan daerah itu sebagai saksi atas perbuatan kalian, di mana ia mengetahui dengan baik apa yang kalian lakukan.”

Imam Jafar Shadiq as berkata;

“Pada hari Arafah, barang siapa yang menunaikan shalat dua rakaat di tempat terbuka sebelum mengikuti acara doa Arafah dan mengakui semua dosa-dosanya di hadapan Allah dan tulus memohon ampunannya, maka Allah akan menuliskan untuknya pahala yang diberikan kepada penduduk Arafah dan menghapus semua dosa-dosanya.”

Rasulullah Saw bersabda;

“Orang yang paling berdosa di Arafah adalah individu yang kembali dari sana, sementara ia merasa dirinya tidak akan pernah terampuni.”

Jeritan dan Tangisan Al-Husein as di Arafah;

“Akulah wahai Tuhanku yang mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah aku. Akulah yang berbuat kejelekan, akulah yang bersalah, akulah yang menginginkan (maksiat), akulah yang bodoh, akulah yang lalai, akulah yang lupa, akulah yang bersandar (pada-Mu), akulah yang sengaja (berbuat dosa), akulah yang berjanji dan akulah yang mengingkari, akulah yang merusak, akulah yang menetapkan, akulah yang mengakui akan nikmat-Mu atasku, namun aku menghadap-Mu dengan dosa-dosaku. Maka ampunilah aku.”

Melalui Alquran, Allah Swt memerintahkan kepada orang-orang beriman agar berwasiat kepada keluarga terdekatnya, sebagaimana dalam dua ayat di bawah ini:

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.(QS. Al-Baqarah [2]: 180)
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama de-ngan kamu, jika kamu dalam perjalanan di  muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: ”(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan sum-pah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) Kami me-nyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”.(QS. Al-Mâidah [5]: 106)
 
Dalam dua ayat tersebut, pesan Alquran adalah kewajiban untuk memberikan wasiat sebelum wafat, dan Nabi mengetahui bahwa beliau akan wafat. Jika ayat tersebut hanya dibatasi wasiat atas warisan harta, maka Nabi Saw tidak mungkin mengabaikan urusan yang lebih penting dari sekadar harta, yaitu kepemimpinan yang bersifat spiritual dan ukhrawi. Tentu Nabi Saw lebih memahami bahwa urusan kepemimpinan sangat penting untuk diwasiatkan kepada umatnya sebagai pelanjut pemegang kendali syari’ah.

 

 
Adanya perbedaan pendapat terkait jumlah para Imam justru menjadikannya sebagai bukti adanya wasiat Nabi Saw kepada imam setelah Nabi, terlepas berapa pun jumlahnya.

Boleh jadi setiap orang/golongan akan mengklaim kebenaran atas jumlah imam seperti yang telah mereka yakini, namun klaim hanya akan dikatakan benar, manakala didukung oleh segepok dalil, riwayat dan hadis yang benar-benar berasal dari Nabi Saw, sehingga dapat dikatakan bahwa golongan itulah yang benar dan diakui.

Ketiga, perlu kita ketahui bahwa riwayat adanya 12 imam/khalifah setelah Rasulullah Saw tertera dengan jelas di dalam kitab-kitab ulama muslimin, di antaranya;

Imam Muslim meriwayatkan dalam Kitab Sahîh-nya

Jabir bin Samurah berkata, Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Agama Islam ini akan tetap mulia sampai (berlalu) dua belas khalifah.” Jabir berkata, ‘Rasulullah kemudian mengatakan sesuatu yang tidak aku pahami. Aku pun bertanya kepada ayahku apa yang beliau ucapkan?’ Dia berkata,‘Mereka semua (khalifah) itu dari Quraisy.’”

Ref: Imam Muslim bin Al-Hajjaj, op.cit., hal 925-6, hadis 4598 dan yang senada dengannya hingga hadis 4604.

Selain riwayat di atas, hadis dua belas khalifah/amir juga tercantum di dalam beberapa kitab berikut:

Imam Bukhari dalam Shahîh–nya meriwayatkan sebuah hadis dari Jabir bin Samurah, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Akan ada dua belas amir.’ Maka beliau menyebutkan kata yang aku tidak mendengarnya, ayahku berkata, Rasulullah bersabda, ‘Mereka semua dari Quraisy.’  [Imam Al-Bukhâri,Shahîh Al-Bukhârî, h. 1812, hadis 7223-3, kitab Al-Ahkâm, bab sebelum Ikhrâj Al-Khushum, cet. 1, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, 2000 M, 1420 H]

 

Imam Muslim bin Al-Hajjaj meriwayatkan beberapa hadis lain tentang dua belas khalifah, yaitu;

Jabir bin Samurah dengan sanad berbeda berkata, “Aku dan ayahku datang kepada Nabi Saw dan mendengarnya bersabda, ‘Urusan umat ini tidak berlalu selama mereka dipimpin dua belas orang.’Kemudian beliau berbicara perlahan kepadaku. Aku bertanya kepada ayahku, ‘Apa yang Rasulullah Saw katakan?’Beliau bersabda, ‘Semuanya berasal dari Quraisy.’ [Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj, Shahîh Muslim, hal 926, hadis 4599]

 

Jabir bin Abdullah dengan sanad berbeda berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Islam senantiasa mulia hingga dua belas khalifah.’ Kemudian beliau mengucapkan kata yang tidak aku pahami. Maka aku bertanya kepada ayahku, ‘Apa yang beliau katakan?’ Beliau bersabda, ‘Mereka semua berasal dari Quraisy.’” [Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj, Shahîh Muslim, hal 926, hadis 4601]

 

Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241/855 M), Abu Ya’la Al-Maushili (w. 307/919 M) dan Al-Hakim (w. 405/1015 M) meriwayatkan hadis dengan matan dan sanad yang sama perihal dua belas khalifah, dari Masruq, ia berkata, “Kami pernah berkumpul bersama Abdullah bin Mas’ud dan ia membacakan kami Alquran. Seseorang bertanya kepadanya, ‘Wahai Abu Abdurrahman, apakah kalian bertanya kepada Rasulullah Saw tentang jumlah khalifah umat ini?’ Abdullah bin Mas’ud menjawab, ‘Tidak seorang pun sebelum kamu bertanya kepadaku perihal itu sejak aku datang ke Irak.’Kemudian berkata, ‘Ya, sungguh kami menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw. Beliau bersabda,‘Dua belas sejumlah pemimpin(nuqaba’) Bani Israil.’”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 6, h. 321, hadis 3781, dan h. 406, hadis 3859, Muassasah Al-Risalah, Beirut, Lebanon, cet. 1, 1996 M (1416 H). Ahmad bin Ali Al-Tamimi, Musnad Abî Ya’lâ Al-Maushili, j. 8, h. 444, hadis 5031, dan j. 9, h. 222, hadis 5322, Dar Al-Ma’mun li Al-Turats, Damaskus, Suriah, cet. 1, 1986 M (1406 H). Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘alâ Al-Shahîhain, j. 4, h. 546, hadis 8529, cet. 2, Dar Al-Kutub Al-Al-’Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, 2002 M (1422 H).

Imam Ahmad meriwayatkan hadis berasal dari Jabir bin Samurah tentang dua belas khalifah/amir dengan berbagai redaksi dan sanad hingga mencapai tiga puluh dua hadis:

Pertama, tiga buah hadis dengan redaksi (لا يزال الإسلام عزيزا إلى اثنيعشر خليفة كلهم من قريش) “Islam senantiasa mulia sampai datang dua belas khalifah” “Mereka semua dari Qurasiy”.

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 427 hadis 20838, h. 482-3 hadis 20951, h. 518-9 hadis 21020

 

Kedua, sebuah hadis dengan redaksi (لا يزال الدين قائما حتى تقوم الساعة، أو يكون عليكم اثنا عشر خليفة كلهم من قريش )“Agama ini senantiasa tegak sehingga hari Kiamat, atau datang dua belas khalifah dari Quraisy”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 421 hadis 20830

 

Ketiga, sebuah hadis dengan redaksi (لا يزال الدين قائما حتى يكون اثنا عشر خليفة من قريش) “Agama ini senantiasa tegak sehingga dua belas khalifah dari Quraisy”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 401 hadis 20805

 

Keempat, dua buah hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الأمر صالحا حتى يكون اثنا عشر أميرا) “Urusan ini senantiasa baik sehingga dua belas amir”.

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 468 hadis 20922, h. 525 hadis 21039

 

Kelima, lima buah hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الأمر عزيزا منيعا حتى يملك اثنا عشر (كلهم من قريش)) “Urusan ini senantiasa mulia dan kuat sehingga dipangku dua belas. Mereka semua dari Quraisy.”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 449 hadis 20880, h. 471 hadis 20926, h. 472 hadis 20927, h. 476 hadis 20937, dan h. 490 hadis 20966

 

Keenam, dua buah hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الأمر ماضيا حتى يقدم اثنا عشر أميرا (كلهم من قريش)) “Urusan ini senantiasa berlalu sehingga datang dua belas amir” “Mereka semua dari Quraisy”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 469 hadis 20923, dan h. 487 hadis 20962

 

 Ketujuh, sebuah hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الأمر موائما حتى يقوم اثنا عشرخليفة) “Urusan ini senantiasa selaras sehingga tampil dua belas khalifah.”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 523 hadis 21033

 

Kedelapan, dua hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الدين عزيزا إلى اثني عشر خليفة) “Agama ini senantiasa mulia sampai dua belas khalifah”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 449, hadis 20879 dan h. 469 hadis 20924

 

Kesembilan, lima hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الدين ظاهرا على من ناواه، لا يضره مخالف ولا مفارق، حتى يمضي من أمتي اثنا عشر أميرا كلهم (كلهم من قريش)) “Agama ini senantiasa menang atas penentangnya, tidak ada perpecahan dan perbedaan sehingga berlalu dua belas amir. Mereka semua… Mereka semua dari Quraisy”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 409 hadis 20814, h. 413 hadis 20817, h. 429 hadis 20841, h. 461 hadis 20905 dan 20906. Bandingkan dengan h. 476 hadis 20938 yang terputus redaksi dua belas khalifah/amirnya

 

Kesepuluh, sebuah hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الدين عزيزا منيعا ينصرون على من ناواهم عليه إلى اثني عشر خليفة)“Agama ini senantiasa mulia dan kuat menang atas penentang mereka sampai dua belas khalifah”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 477, hadis 20939

 

Kesebelas, tiga buah hadis dengan redaksi (يكون اثنا عشر أميرا (كلهم من قريش)) “Akan datang dua belas amir” “Mereka semua dari Quraisy”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 426 hadis 20836, h. 445 hadis 20872, dan h. 456 hadis 20896

 

Keduabelas, empat buah hadis dengan redaksi (يكون بعدي اثنا عشر أميرا (كلهم من قريش)) “Akan datang setelah aku dua belas amir” “Mereka semua dari Quraisy”.

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 440 hadis 20862, h. 454 hadis 20889, h. 477-8 hadis 20941, h. 529 hadis 21050

 

Ketigabelas, sebuah hadis dengan redaksi (يكون بعدي اثنا عشر خليفة، كلهم من قريش) “Akan datang setelah aku dua belas khalifah. Mereka semua dari Quraisy”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 439-40 hadis 20860

 

Keempatbelas, sebuah hadis dengan redaksi (يكون لهذه الأمة اثنا عشر خليفة) “Akan datang atas umat ini dua belas khalifah.”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 515 hadis 21013

 

Imam Al-Tirmidzi meriwayatkan dan menyahihkan hadis dari Jabir bin Samurah yang berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Akan datang setelah aku dua belas amir.’ Kemudian beliau berbicara sesuatu yang tidak aku pahami, maka aku menanyakannya. Maka ia bersabda, ‘Mereka semua dari Quraisy.”

Ref: Muhammad bin Isa Al-Tirmidzi, Jâmi’ Al-Tirmidzi, h. 368, hadis 2223, kitab Al-Fitan, bab Ma Ja’a fi Al-Khilafah, Bait Al-Afkar Al-Dauliyyah, Riyadh, Saudi Arabia, 1999 M (1420 H)

 

Abu Dawud Al-Sijistani (w. 275/888 M) meriwayatkan dua hadis dari Jabir bin Samurah. Pertama, dari Jabir bin Samurah. ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Agama ini senantiasa tegak sehingga berlaku atas kalian dua belas khilafah. Mereka semua mengayomi umat.’ Maka aku mendengar pembicaraan Nabi yang tidak aku pahami. Aku berkata kepada ayahku, ‘Apa yang beliau katakan? Ia bersabda, ‘Mereka semua dari Quraisy.’”; Kedua, dari Jabir bin Samurah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Agama ini senantiasa mulia sampai dua belas khalifah.’ Maka manusia bertakbir dan berteriak, kemudian beliau menyebut kata perlahan. Aku berkata kepada ayahku, ‘Wahai ayahku, apa yang beliau katakan?’ Ia bersabda, ‘Mereka semua dari Quraisy.”

Ref: Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-Azdi Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, juz 6, h. 335-6, hadis 4279 dan 4280, kitab Al-Mahdi, Dar Al-Risalah Al-’Ilmiyyah, Damaskus, Suriah, 2009 M (1430 H).

 

Dari seluruh hadis di atas, maka ada tiga asumsi: asumsi pertama, pada saat Nabi Saw mengucapkan adanya dua belas khalifah yang akan menjadi Imam setelah beliau, mungkin tidak seorang sahabat pun bertanya siapa gerangan dua belas orang itu; asumsi kedua, mungkin para sahabat telah bertanya tentang siapa dua belas khalifah tersebut, namun Nabi Saw tidak memberikan jawabannya; asumsi ketiga, Rasulullah Saw telah menjelaskan setiap nama dua belas Imam tersebut.

Sebagian ulama Sunni sesungguhnya juga meyakini wasiat Nabi atas dua belas imam tersebut. Ibnu Taimiyah pernah mereka-reka siapa gerangan dua belas orang yang pernah dijanjikan oleh Nabi Saw,“Para khalifah itu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Lalu diangkatlah seseorang yang disepakati oleh manusia. Dia meraih kemuliaan, dan kekuasaan; dia adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dan Yazid anaknya, yang dilanjutkan Abdul Malik bin Marwan dan ke empat anaknya, di antaranya Umar bin Abdul Aziz. Khalifah yang kedelapan dari dua belas khalifah itu dari para pembesar bani Umayyah…. Dua belas khalifah itu telah disebutkan dalam Taurat dimana Nabi Ismail as telah memberikan kabar gembira tentang mereka, ‘Akan lahir dua belas pembesar.”

Ref: Ibnu Taimiyah, Minhâj Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, juz 8, h. 238-241, cet. 1, Jami’ah Al-Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia, 1986 M, 1406 H

 

Sementara itu, Muhammad bin Abdul Wahab dalam Kitab Mukhtashar Sîrah Al-Rasûl Sawberkata,“Muawiyah bin Abi Sufyan meninggal dunia…dan mengangkat anaknya sebagai khalifah ….Sampai Yazid bin Walid bin Abdul Malik…dan sepeninggal dia berakhirlah kekhalifahan secara sempurna, dan umat tidak sepakat sepeninggalnya kepada satu imam sampai saat ini, dia adalah yang terakhir dari para khalifah dua belas yang telah disebutkan Nabi Saw dalam hadis sahih.”

Ref: Muhammad bin Abdul Wahab, Mukhtashar Sîrah Al-Rasûl, h. 291-3, peristiwa tahun 60 H, tahkik Muhammad Al-Ali Al-Barrak, Jami’ah Al-Imam Muhammad bin Saud, Saudi Arabia, TT

 

Jika pada Buku Putih Mazhab Syiah disebutkan seorang Al-Qunduzi meriwayatkan nama-nama dua belas Imam, maka seorang muslim Ahlus Sunnah bermazhab Maliki juga merinci nama-nama tersebut di dalam kitabnya. Beliau adalah Ibnu Shabbagh Al-Maliki penulis Kitab Al-Fushûl Al-Muhimmah fîMa’rifah Al-Aimmah. Ia mengatakan, “Aku menyebutkan dalam kitab ini, beberapa bab-bab penting di dalam mengenal para imam, yang dimaksud imam di sini adalah dua belas Imam, yang diawali oleh Amirul Mukminin Ali Al-Murtadha, dan diakhiri oleh Al-Mahdi……..dan aku menyiapkan satu bab untuk masing-masing imam…..

(Bab Pertama) menyebutkan tentang lautan luas, gunung kokoh, saudara Rasul, sitri Al-Batul, pedang Allah yang maslul, penakluk batalion, sumber keajaiban, singa Bani Ghalib, Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib kw.

(Bab Kedua) menyebutkan tentang putranya, Al-Hasan.

(Bab Ketiga) menyebutkan tentang saudaranya, Al-Husein.

(Bab Keempat) menyebutkan tentang putranya, Zainal Abidin Ali bin Al-Husein.

(Bab Kelima) menyebutkan tentang putranya Muhammad Al-Bagir.

(Bab Keenam) menyebutkan tentang putranya Ja’far Al-Shadiq.

(Bab Ketujuh) menyebutkan tentang putranya Musa Al-Kadzim.

(Bab Kedelapan) menyebutkan tentang putranya, Ali bin Musa Al-Ridha.

(Bab Kesembilan) menyebutkan tentang putranya, Muhammad bin Ali Al-Jawad.

(Bab Kesepuluh) menyebutkan tentang putranya, Abul Hasan Ali Al-Hadi.

(Bab Kesebelas) menyebutkan tentang putranya, Al-Hasan Al-’Askari.

(Bab Kedua belas) menyebutkan tentang putranya, Muhammad Al-Qaim Al-Mahdi.

Aku menamakannya “Al-Fushûl Al-Muhimmah fî Ma’rifah Al-Aimmah.”

Ref: Ibnu Shabbagh, Ali bin Muhammad bin Ahmad Al-Maliki Al-Makki, Al-Fushûl Al-Muhimmah fîMa’rifah Al-Aimmah, h. 17-18,

cet. 2, Majma’ Al-’Alami li Ahli Al-Bait, Beirut, Lebanon, 2011 M, 1432 H.

Bermazhab apakah Ibnu Shabbagh yang telah meriwayatkan nama-nama dua belas Imam tersebut?

Al-Sakhawi menyebutkan dalam Kitab Al-Dhau’ Al-Lâmi’, Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdillah Nur Al-Din Al-Asfaqasi Al-Ghazi Al-Ashl Al-Makki Al-Maliki, dikenal dengan Ibnu Shabbagh, lahir pada bulan Dzulhijjah tahun 748 H. Dia menghafal Alquran juga risalah Fikih Imam Malik, dan menunjukkan keduanya kepada Syarif Al-Rahman Al-Fasi dan Abdul Wahhab bin Afif Al-Yafu’i juga Al-Jamal bin Zhahir….. dia mempunyai banyak karangan, di antaranya Al-Fushûl Al-Muhimmah fîMa’rifah Al-Aimmah……………..”

Ref: Al-Sakhawi, Syams Al-Din Muhammad bin Abdurrahman, Al-Dhau’ Al-Lâmi’ li Ahl Al-Qarn Al-Tâsi’, j. 5, h. 283, Dar Al-Jil, Beirut, Lebanon, TT

Umar Ridha Kuhalah dalam Mu’jam Al-Muallifîn menyebutkan, “Ali bin Muhammad Ahmad (Nur Al-Din, Ibnu Shabbagh), seorang ahli fiqih Maliki berasal dari Safaqas dan wafat di Mekkah. Di antara tulisannya adalah Al-Fushûl Al-Muhimmah lima’rifah Al-Aimmah.”317

Ref: Umar Ridha Kuhalah, op.cit., j. 2, h. 492

Rabu, 14 September 2016 22:04

Konsep Imamah Buatan Abdullah bin Saba’?

Jauh sebelum isu figur Abdullah bin Saba yang konon hidup semasa Khalifah Utsman, konsep imamah telah dikemukakan oleh Rasulullah Muhammad Saw. Sebagai konsep Ilahiyah, Imamah ada dalam ayat Alquran yang terjaga kesuciannya. Pengangkatan pemimpin (imam) tersebut merupakan hak dan kewenangan Allah Swt. Hal itu nyata dijelaskan Alquran tentang kepemimpinan Ibrahim as dalam firman-Nya:

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata, ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman, ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.’(QS. Al-Baqarah [2]:124)

Oleh karena itu, anggapan bahwa konsep Imamah tak lain adalah ciptaan Abdullah bin Saba’ telah bertentangan dengan Alquran.

Pertama, dalam ayat dikatakan Allah berjanji akan memberi gelar imam kepada keturunan Ibrahim as “ذريتي“ (keturunanku). Hal ini menunjukkan bahwa Imamah berkesinambungan sampai hari kiamat. Kata “جاعلك” menunjukkan “Ism fâ’il” (subyek/pelaku) yang fungsinya “istimrâriyyah” atau “berkesinambungan“. Maka, dari ayat ini kita meyakini bahwa bumi Allah tidak akan pernah kosong dari seorang Imam dari keturunan Ibrahim as.

Kedua, dalam beberapa hadis juga dapat kita temui untuk me-nguatkan konsep ilahiyah tersebut seperti, hadis pengangkatan Ali bin Abi Thalib di lembah bernama Ghadir Khum yang akan dibahas pada bab berikutnya secara terperinci.

Ketiga, adapun pengelompokan dan pembagian Syiah yang dilakukan oleh Al-Naubakhti – terlepas benar tidaknya – sama sekali tidak dapat menegasikan keberadaan nas pengangkatan para Imam setelah Rasulullah Saw. Sebagaimana keimanan atas para Nabi dan keberadaan Allah Swt dengan dalil yang sangat jelas (aksiomatik), maka dalil-dalil itu tidak mencegah orang-orang untuk tetap meragukan bahkan menolaknya.

Keempat, dengan mengemukanya isu Imamah justru menunjukkan fakta sejarah adanya konsep Imamah sejak masa awal Islam.

Siapa Abdullah bin Saba’?

Perlu diketahui bahwa di kalangan sejarawan dan ulama Syiah sendiri dalam menilai Abdullah bin Saba’ setidaknya ada dua pendapat:
Pendapat yang menganggap Abdullah bin Saba’ sebagai tokoh fiktif. Pendapat ini dipopulerkan oleh ulama Syiah kontemporer, seperti Allamah Murtadha Al-’Askari dalam dua karya monumentalnya,(1. Abdullah bin Saba’: Bahts haula Mâ Katabahu Al-Mu’arrikhûn wa Al-Mustasyriqûn Ibtidâ’an Min Al-Qarn Al-Tsâni Al-Hijri; 2. Abdullah bin Saba’ wa Asâthîr Al-Ukhrâ); dan 3. Muhammad Jawad Mughniyah dalam Kitab Al-Tasyayyu’.

Pendapat yang mengakui keberadaan Abdullah bin Saba’ dan menyatakan bahwa dia seorang yang ghuluw ekstrem bahkan jatuh dalam kekafiran. Hal ini diakui oleh ulama Syiah terdahulu dalam kitab-kitab mereka, seperti Al-Isfahani, Al-Qummi, dan Al-Kassyi.


Kendati demikian, kedua pendapat tersebut memiliki keyakinan yang sama bahwa Abdullah bin Saba’ sama sekali tidak terkait apa pun dengan keberadaan mazhab Syiah, baik sebagai pengikut apalagi sebagai pendiri mazhab Syiah.

Berikut adalah hadis yang dinukil dari Imam Al-Baqir serta sikap dan pernyataan beberapa Ulama Syiah terkait Abdullah bin Saba:


Syaikh Abu Ja’far Muhammad bin Al-Hasan Al-Thusi meriwayatkan beberapa hadis perihal Abdullah bin Saba’ dalam kitabnya, Ikhtiyâr Ma’rifah Al-Rijâl yang terkenal dengan Rijâl Al-Kassyi. Satu di antaranya ialah hadis dari Abu Ja’far, Imam Muhammad Al-Baqir, bahwa Abdullah bin Saba’ mengakui dirinya sebagai nabi dan menganggap Amirul Mukminin sebagai Tuhan yang maha tinggi. Maka sampailah kabar tersebut kepada Amirul Mukminin dan beliau memanggilnya dan menanyakannya. Dia (Ibnu Saba’) mengakuinya, “Ya, engkaulah Dia. Telah datang bisikan ke dalam hatiku bahwa engkau adalah Allah dan aku seorang nabi.” Amirul Mukminin berkata, ‘Celakalah engkau! Setan telah menghinakan engkau! Kembalilah kepada jalan yang benar! Ibumu akan kehilanganmu dan bertaubatlah!’ Namun ia tetap pada pendiriannya. Maka Amirul Mukminin memenjarakannya, menunggu ia bertaubat hingga tiga hari, namun ia tetap tak bertaubat. Maka Amirul Mukminin membakarnya dan berkata, ‘Sesungguhnya setan telah merasukinya, mendatanginya dan membisikkan hal itu kepadanya.’”(1)
Syaikh Al-Thusi berkata, “Abdullah bin Saba’ kembali kufur dan menampakkan sikap ekstrem (ghuluw).”(2)


Al-Hilliy memasukkan nama Abdullah bin Saba’ sebagai ghuluw dalam Kitâb Al-Rijâl.(3)


Al-Mamqaniy berkata, “Para sahabat Ali as berkata, Abdullah bin Saba’ dikembalikan padanya kekafiran dan ghuluw yang nyata.” Dia juga berkata, ‘Abdullah bin Saba’ ghuluw terlaknat, Imam Ali membakarnya dengan api, ia mengatakan Ali adalah Tuhan dan dia sendiri adalah Nabi.’ (Tanqîh Al-Maqâl fi ‘Ilm Rijâl 2/183-184).

Shahib Al-Ma’alim, Syaikh Hasan bin Zain Al-Din menga-takan, “Abdullah bin Saba’ ekstrem terlaknat, Amirul Mukminin Ali membakarnya. Dia (Abdullah bin Saba’) menganggap Imam Ali sebagai Tuhan dan dia sendiri sebagai Nabi. Semoga Allah melaknatnya.”(4)


Al-Mazandarani berkata, “Abdullah bin Saba’ lebih layak dikutuk daripada disebut namanya.”(5)


Sayyid Al-Burujerdi berkata, “Abdullah bin Saba’ adalah ghulat dan terkutuk, Ali bin Abi Thalib telah membakarnya, Abdullah bin Saba’ meyakini bahwa Ali adalah tuhan dan dia sendiri (Abdullah bin Saba’) adalah nabi, maka laknat Allah baginya. Dia kembali menjadi kufur dan menampakkan sikap ekstrem.”(6)
Selain itu, masih banyak lagi pernyataan para ulama Syiah atas kekafiran Abdullah bin Saba’. Sikap tegas para ulama di atas menjadi bukti betapa Abdullah bin Saba’ adalah seorang durjana yang semua keyakinannya bertolak belakang dengan prinsip-prinsip utama dalam mazhab Syiah dan Islam itu sendiri.

Catatan Kaki

1. Syaikh Al-Thusi, Abu Ja’far Muhammad bin Al-Hasan, Ikhtiyâr Ma’rifah Al-Rijâl yang terkenal dengan Rijâl Al-Kissyî, h. 102-103, cet. 1, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, Qom, Iran, 1427 H.
2. Syaikh Al-Thusi, Abu Ja’far Muhammad bin Al-Hasan, Rijâl Al-Thûsî, h. 75, cet. 1, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, Qom, Iran, 1373 H.
3. Al-Hilly, Taqiy Al-Din Al-Hasan bin Ali bin Daud, Kitâb Al-Rijâl, h. 295, Syarif Radhi, Qom, Iran, 1392 H.
4. Al-Syaikh Hasan bin Zain Al-Din Shahib Al-Ma’alim, Al-Tahrîr Al-Thâwûsî, h. 246, cet. 1, Penerbit Sayyid Al-Syuhada, Qum, Iran, 1411 H.
5. Al-Mazandarani, Muhammad bin Ismail, Muntahâ Al-Maqâl fî Ahwâl Al-Rijâl, h. 186, cet. 1, Muassasah Alu Al-Bait, Qom, Iran, 1416 H.
6. Al-Sayyid Ali Ashgar bin Al-Sayyid Muhammad Syafi’ Al-Burujerdi, Zharâif Al-Maqâl fî Ma’rifah Al-Rijâl, j. 2, h. 96, Maktabah Ayatullah Al-’Uzhma Al-Mar’asyi, Qom, Iran, 1410 H.

Rabu, 14 September 2016 22:02

Masa Minimal Kehamilan Menurut Imam Ali As

Buku-buku tafsir seperti Durul Mantsur, tafsir Fakhrurrozi dan yang lainnya pernah mengangkat satu kejadian tentang “mengumpulkan dua ayat”. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa kejadian ini terjadi di zaman pemerintahan Umar dan sebagian lagi menyebut di zaman pemerintahan Ustman.

Dikisahkan ada seorang suami yang mengadukan istrinya pada khalifah di zaman itu. Ia mencurigai istrinya telah berbuat serong karena melahirkan anak sebelum waktunya. Ia baru menikahinya selama 6 bulan sementara istrinya sudah melahirkan.

Akhirnya diputuskan hukuman rajam oleh pemerintahan saat itu. Namun ada seorang sahabat yang melaporkan kejadian ini kepada Ali bin Abi thalib.

Beliau segera datang ke lokasi dan berkata, “Bukankah Allah Berfirman dalam Al-Qur’an

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً

“Dan Kami Perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan.” (QS.Al-Ahqaf:15)

Kemudian dalam ayat lain, Allah Berfirman

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna.” (QS.Al-Baqarah:233)

Pada ayat pertama, Allah Menyebut waktu mengandung hingga menyapih (mengakhiri masa menyusui) adalah 30 bulan. Lalu pada ayat kedua, Allah Mengajarkan waktu menyusui adalah 2 tahun penuh, yaitu 24 bulan. Maka 30 dikurangi 24 adalah 6 bulan. Maka menurut hukum Al-Qur’an, wanita itu sudah memasuki waktu untuk melahirkan.”

Akhirnya, sebagian riwayat menyebutkan wanita itu selamat dari hukumannya. Sementara riwayat yang lain menyebutkan bahwa ia sudah terlanjur dirajam dan meninggal dunia.

Semoga kisah ini dapat menambah khazanah keilmuan kita tentang rahasia-rahasia dibalik ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Rabu, 14 September 2016 22:01

Imamah Merupakan Kelembutan (Luthf) Allah

Imamah merupakan kelembutan (luthf) yang menarik umat manusia menuju ketaatan kepada-Nya dan menjauhkan diri mereka dari kedurhakaan kepada-Nya, tanpa memaksa mereka dengan cara apapun. Ketika Allah SWT memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu padahal Dia mengetahui bahwa mereka tidak bisa melakukannya atau sangatlah sulit bagi mereka untuk melakukannya tanpa bantuan-Nya, maka seandainya Allah SWT tidak memberikan pertolongan-Nya, niscaya Dia menentang tujuan-Nya sendiri. Secara gamblang, pengabaian seperti ini buruk munurut akal. Karena itu, lutbf merupakan salah satu karakter Allah, dan Dia disucikan / dimuliakan dari kekurangan sifat semacam itu. Nyatanya, Quran suci menyatakan, Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya… (QS. asy-Syura : 19).

Dan, dalam ayat-ayat lain Yang Maha Kuasa menggunakan kata Maha Lembut (luthf) dalam kitab-Nya. Lihat misalnya, al-An’am :103; Yusuf: 100; al-Hajj : 63; Luqman :16; al-Ahzab : 34; asy-Syura : 19; al-Mulk : 14, dan seterusnya.

Para utusan Tuhan diamanati tanggung jawab membawakan perintah-perintah baru dari Allah SWT kepada manusia. Mereka adalah para pemberi peringatan sebagaimana yang Quran katakan. Bagaimanapun, sebagian dari para Rasul adalah juga para imam. Para penerus utusan Allah terakhir (Muhammad) bukan para Rasul/Nabi, dan karena itu mereka tidak membawa risalah baru apapun ataupun mereka menunda setiap peraturan yang ditetapkan oleh Nabi SAW. Mereka hanya berperan sebagai pembimbing dan penjaga agama. Misi mereka adalah untuk menjelaskan, mengelaborasi syariah (hukum Allah) kepada umat manusia. Mereka menjabarkan perkara-perkara yang membingungkan dan kejadiankejadian yang mungkin terjadi di setiap kurun. Mereka pun hanyalah orang-orang yang memiliki pengetahuan penuh akan Quran dan Sunnah dari Nabi Muhammad SAW setelahnya, dan karena itu, mereka satu-satunya orang-orang yang memiliki kualifikasi yang bisa menafsirkan ayat-ayat Quran suci dengan benar dan menguraikan pengertiannya, sebagaimana disebutkan dalam Quran itu sendiri (lihat Ali Imran : 7 dan al-Anbiya : 7).

Imamah merupakan nikmat besar dari Allah SWT, karena ketika umat manusia mempunyai seorang pemimpin saleh dan bertakwa yang memandu mereka, mereka bisa lebih dekat kepada kebajikan dam jauh dari penyimpangan dan penyelewengan dalam masalah agama. Seorang imam yang ditunjuk Tuhan juga merupakan pribadi yang paling bertanggung untuk mengatur sebagai pemimpin masyarakat yang bisa memelihara keadilan dan memberangus penindasan. Sudah barang tentu, manusia telahdiberi kebebasan kehendak dan bisa menolak imam, namun mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu, sebagaimana halnya dalam kasus Nabi. Namun demikian, imam akan tetap sebagai bukti Allah(hujjatullah) di muka bumi dan sebagai pemimpin spiritual bagi orang-orang yang beriman di antara manusia yang mendapatkan manfaat dari bimbingannya.

Superioritas dan Kemaksuman Imam

Umat Syi’ah percaya bahwa seperti halnya para Nabi, seorang imam yang ditunjuk Tuhan harus mengungguli masyarakat dalam semua kebajikan, seperti dalam pengetahuan, keberanian, kesalehan, dan harus mempunyai pengetahuan yang penuh akan hukum ilahi. Apabila tidak demikian, dan Allah SWT mengamanatkan kedudukan tinggi ini kepada seorang pribadi yang kurang sempurna ketika ada seorang pribadi yang lebih sempurna, maka secara rasional itu salah dan bertentangan dengan keadilan ilahi. Oleh sebab itu, tak ada orang yang lebih rendah bisa menerima Imamah dari Allah SWT ketika ada orang yang lebih unggul daripadanya.

Andaikata seorang pemimpin yang ditunjuk Tuhan tidak maksum, niscaya ia harus bertanggung jawab kepada kesalahan-kesalahan dan menyesatkan orang lain juga. Dalam kasus seperti itu, tak ada kepercayaan yang implisit yang bisa digantikan dalam ucapan-ucapan /perintah-perintah/perbuatan-perbuatan. Seorang imam yang ditunjuk Tuhan adalah orang yang paling bertanggung jawab untuk mengatur sebagai pemimpin masyarakat, dan orang-orang diharapkan untuk mengikutinya dalam setiap masalah.

Sekarang apabila ia melakukan sebuah dosa, niscaya orang-orang akan terikat mengikutinya dalam dosa itu juga, karena kebodohan mereka tentang apakah perbuatan itu termasuk dosa ataukah tidak (ingat asumsi bahwa imam adalah paling berpengetahuan dalam komunitas ini). Situasi seperti ini tidak bisa diterima oleh kemahalembutan Allah SWT karena ketaatan dalam dosa merupakan kejahatan, tidak sah, dan terlarang. Selain itu ia akan berarti bahwa pemimpin harus ditaati dan didurhakai pada waktu yang bersamaaan, yakni ketaatan kepadanya adalah wajib namun terlarang yang secara jelas merupakan sebuah kontradiksi dan tidak terpuji. Selain itu, sekiranya mungkin bagi seorang imam untuk berbuat dusa, merupakan suatu kewajiban bagi orang lain untuk mencegahnya dari melakukan demikian (karena setiap Muslim diwajibkan untuk mencegah orang lain dari perbuatan keharaman). Dalam kasus seperti itu, imam akan dibenci, dan alih-alih pemimpin masyarakat, ia akan menjadi para pengikut mereka, dan kepemimpinannya tidak akan ada faedahnya sejauh agama diperhatikan.

Imam adalah pembela hukum Tuhan, dan kerja ini tidak bisa dipercayakan kepada tangan-tangan yang berdosa, ataupun setiap orang bisa menjaga tugas ini secara tepat. Dengan demikian, kemaksuman merupakan syarat penting bagi seorang imam ataupun khalifah yang ditunjuk Tuhan yang merupakan penjaga atau penafsir dari hukumhukum agama. Allah Yang Maha Mulia berfirman, Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dau taatilah Rasul dan orang-orang yang punya otoritas (ulil amri) di antara kalian. (QS. an-Nisa : 59). Ayat ini menitahkan kepada kaum Muslim untuk menaati dua hal pertama, menaati Allah, kedua menaati Rasul dan orang-orang yang diberi otoritas (ulil amri).

Penyusunan kata-kata tersebut memperlihatkan bahwa ketaatan kepada ulil amri adalah sewajib ketaatan kepada Rasul karena Quran menggunakan hanya satu kata kerja untuk keduanya tanpa mengulang kata kerja itu lagi. Sudah tentu, itu artinya bahwa Ulil Amri sama pentingnya dengan dengan Rasul, jika tidak tentunya Allah SWT tidak akan menggabungkan mereka dalam ayat ini (waw dari athf) di bawah satu kata kerja.

Menarik untuk diperhatikan bahwa Allah SWT menggunakan satu kata kerja yang terpisah bagi Diri-Nya sendiri sebelum menyebutkan Rasul dan Ulil Amri yang memperlihatkan bahwa Allah SWT mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi ketimbang otoritas yang dimiliki Rasul dan Ulil Amri. Adalah jelas juga dari ayat di atas bahwa Ulil Amri tidak terbatas pada para Rasul, jika tidak tentunya Allah SWT hanya akan mengatakan, “Taatilah Allah dan taat hanya kepada Rasul.” Akan tetapi ia menambahkan Ulil Amri (orang-orang yang diberi otoritas oleh Allah). Ini merupakan salah satu tempat dimana konsep para imam dan kebutuhan akan ketaatan kepada mereka bersumber.

Dalam bahasan sebelumnya tentang kemaksuman para Nabi, kita menukil  ayat Quran guna membuktikan kemaksuman Nabi SAW. Segala ayat tersebut membuktikan dua noktah berikut. Pertama, otoritas Rasulullah SAW atas orang-orang beriman tidaklah terbatas dan serba mencakup. Setiap perintah yang dikeluarkan olehnya, di bawah kondisi apapun, di setiap tempat, di setiap waktu, (mesti) dipatuhi tanpa syarat. Otoritas tertinggi diberikan kepadanya karena beliau maksum dan terbebas dari segala jenis kesalahan dan dosa. Jika tidak, niscaya Allah Rasul Allah tidak akan memerintahkan kepada kita untuk menaatinya tanpa pertanyaan dan keraguan.

Demikian pula dari ayat 59 Surah an-Nisa kita simpulkan bahwa Ulil Amri diberikan otoritas atas kaum Muslim yang sama persis dengan otoritas yang dimiliki Rasul, dan bahwa ketaatan kepada Ulil Amri mempunyai kedudukan yang sama dengan ketaatan kepada Rasul.

Tentu saja ini artinya bahwa Ulil Amri mestilah maksum dan terbebas dari segala jenis kesalahan. Jika tidak, ketaatan kepada mereka niscaya tidak dibarengkan dengan ketaatan kepada Nabi dan tanpa syarat apapun. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesiapa yang mendurhakai Allah, tidak boleh ditaati,” dan “Sesungguhnya ketaatan adalah untuk Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang diberi otoritas. Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan manusia untuk menaati Rasul karena beliau adalah maksum dan suci, yang tidak akan menitahkan kepada manusia untuk memaksiati Allah SWT, dan sesungguhnya Dia memerintahkan (manusia) untuk menaati orang-orang yang diberi otoritas (Ulil Amri) lantaran mereka adalah maksum dan suci, dan tidak akan menyuruh manusia untuk mendurhakai Allah.”

Sumber: http://syiahmenurutsyiah.com/

Rabu, 14 September 2016 22:00

Ketika Para Haji ‘Kepincut’ Marxisme

Selama ini, orang selalu berusaha mempertentangkan agama dan marxisme. Bahkan, sejak orde baru hingga sekarang, kaum agamais sering dibenturkan dengan kaum marxis.

Padahal, di berbagai belahan dunia, kaum agamawan bisa justru bersekutu dengan kaum marxis untuk melawan penindasan. Itu terjadi di Amerika Latin dengan Teologi Pembebasannya.

Di dalam Islam, nilai-nilai sosialisme juga sangat kental. Abu Dzar Al-Ghifari, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, sangat kental dengan gagasan-gagasan sosialistik. Ia menolak keras penimbunan dan akumulasi kekayaan. Kemudian, di jaman modern, kita juga menemukan sosok pemikir Islam yang terpengaruh marxisme, seperti Ali Shariati, Anouar Abdel-Malek, Sayid Qutb, dan lain-lain.

Di Indonesia, pada tahun 1920-an, juga banyak kyai yang kepincut oleh marxisme. Sarekat Islam, yang beranggotakan banyak ulama Islam, sangat terbuka terhadap marxisme. Tak heran, banyak anggotanya yang kemudian menyebut diri marxis. Yang paling menonjol adalah Haji Misbach (Surakarta) dan Haji Datuk Batuah (Sumatera Barat).

Kenapa para ulama itu kepincut marxisme?

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya pikir, ada dua hal yang mendesak untuk dijawab di sini. Pertama, konteks sosial-historis jaman itu, yang melatar-belakangi para ulama untuk menerima marxisme. Kedua, faktor apa dari marxisme, baik dari segi gagasan maupun praksis, yang menarik bagi para kyiai saat itu.

Untuk menjawab yang pertama, saya tertarik pada kajian Soe Hok Gie di “Di Bawah Lentera Merah”, yang membahas perkembangan Sarekat Islam (SI) Semarang dari 1917 hingga 1926. Menurut Gie, sejak era liberalisasi sektor agraria dimulai oleh kolonialis Belanda, kapital asing mengalir deras masuk Indonesia untuk menggarap pertambangan, perkebunan, dan pabrik-pabrik.

Seiring dengan itu, kebutuhan akan tanah meningkat. Dengan kekuatan uangnya, para kapitalis memaksa pemerintah dan pejabat desa menyerahkan tanah-tanah desa. Tanah milik desa (komunal) berubah menjadi perkebunan-perkebunan. Sedangkan penduduknya diubah menjadi kuli secara massal.

Dari tahun 1916-1920, areal perkebunan tebu terus meningkat. Karena para Kepala Desa disuap f 2,5 untuk setiap bahu sawah yang disewakan ke pihak perkebunan, maka di desa-desa terjadi pemaksaan agar petani tidak menanam padi dan beralih ke tebu. Sosok Trunodongso, dalam novel Pram “Anak Semua Bangsa”, mewakili petani Jawa yang terdesak oleh ekspansi perkebunan tebu itu.

Situasi itu mendorong kemiskinan massif. Ironisnya, dalam situasi terdesak itu, para petani tidak punya “pembela”. Para Lurah atau Kepala Desa telah menjadi alat perusahaan perkebunan. Karena itu, menurut Gie, para petani hanya diberi dua pilihan, yaitu lari ke kota untuk menjadi kuli atau melakukan pemberontakan.

Situasi inilah yang menggugah keprihatinan para kiayi. Dalam banyak kasus, para kiayi inilah yang tampil sebagai “pembela rakyat”. Haji Misbach, misalnya, pada tahun 1919, memimpin radikalisasi petani di Surakarta. Mereka memprotes kewajiban membayar pajak, melakukan kerja wajib, dan menyerahkan tanah pada perkebunan.

Terus, untuk menjawab pertanyaan kedua, yakni daya tarik marxisme, saya berusaha memberi beberapa jawaban. Satu, marxisme merupakan senjata teoritik paling ampuh untuk mengupas persoalan pada saat itu. Marxisme, misalnya, menunjukkan bahwa akar dari penindasan ini adalah sistem kapitalisme. Tak hanya itu, marxisme juga mempersentai rakyat dengan metode dan strategi untuk melawan kekuasaan kapitalis itu, seperti mogok dan aksi massa.

Kedua, marxisme memperlihatkan keberpihakan yang tegas kepada kaum tertindas. Yang lebih dahsyat lagi, kaum marxis akan membela rakyat tertindas tanpa memandang agama atau kebangsaannya. Ini misalnya ditunjukkan oleh sosok Sneevliet, aktivis ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) yang berkebangsaan Belanda tetapi memihak perjuangan rakyat tertindas Indonesia.

Memang, kata Jalaluddin Rakhmat, seorang intelektual Islam, salah satu kesamaan antara Islam dan Marxisme adalah keduanya concern atau sangat memperhatikan nasib kaum dhuafa. “Keduanya berfikir bahwa kaum dhuafa tidak boleh diam: mereka harus mengubah sistem kapitalisme,” kata kang Jalal dalam “Meraih Cinta Ilahi”.

Karena kentalnya prinsip anti-penindasan dalam Islam itu sendiri, banyak Islamis yang mengaku kiri mengaku “kiri” bukan karena dipengaruhi oleh marxisme. Kiri Islam, misalnya, yang dielaborasi oleh Hassan Hanafie, mengaku tidak dipengaruhi oleh marxisme ataupun sosialisme.

Ketiga, cita-cita sosialisme, yang disederhanakan dengan ungkapan “masyarakat sama rata sama rasa”, sangat menarik bagi ulama dan dianggap sejalan dengan ajaran Islam. Kondisi masyarakat kolonial, yang penuh ketimpangan dan diskriminasi, benar-benar lahan yang subur bagi pertumbuhan sosialisme.

Keempat, para aktivis marxis, seperti Sneevliet dan Semaun, memperlihatkan sikap tidak mengenal kompromi terhadap penindasan kolonial dan kapitalisme. Mereka juga kebal terhadap godaan uang dan tidak punya motivasi memperkaya diri.

Hal ini kontras dengan pemimpin gerakan Islam saat itu, seperti HOS Tjokroaminoto, yang tidak tegas melawan pemerintah kolonial. Belakangan, Tjipto kesandung oleh tudungan korupsi dan penyalahgunaan keuangan organisasi.

Bagi Haji Misbach, mesin penggerak kapitalisme atau “spirit kapital” adalah ketamakan. Ketamakan itu mengambil bentuknya dalah uang. Dari uang itulah, katanya, muncul godaan dan ketamakan yang akan menghancurkan manusia. “Ketamakan menjauhkan kaum muslimin dari Tuhan,” kata Haji Misbach.

Memang, para Haji itu mempelajari marxisme tidak begitu ketat. Mereka terkadang hanya mengambil prinsip-prinsip dasarnya saja, yang sejalan dengan ajaran-ajaran agama. Mungkin, bagi kaum marxis yang ortodoks, para agamais marxis ini hanya melakukan ekletisisme.

Rudi Hartono, pengurus Komite Pimpinan Pusat– Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online