Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 26-28

Rate this item
(3 votes)

Ayat ke 26

Artinya:

Sesungguhnya Allah tidak segan-segan membuat perumpamaan nyamuk ‎atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka ‎mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi yang ‎kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk ‎perumpamaan?‎‏ ‏Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan ‎Allah dan dengan perumpamaan itu pula banyak orang yang diberinya ‎petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang ‎fasik.

Orang-orang yang menentang Islam tidak mampu membuatkitab tandingan al-Quran. Mereka tidak memiliki kekuatan logika seperti logika al-Quran. ‎ُSeluruh perumpamaan al-Quran bagi mereka dipandang sangat rendah dan ‎berkata, Ya Allah perumpamaan yang kau bikin seperti perbuatan manusia ‎bukan perbuatan Tuhan. Sebagai Tuhan sungguh sangat jelek membikin ‎perumpamaan seperti laba-laba atau lalat. Perumpamaan seperti ini sungguh ‎tidak sesuai dengan kedudukan sebagai Tuhan. Para penentang Islam yang ‎pada dasarnya tidak mengakui keberadaan Tuhan, ucapan tersebut tidak ‎memiliki tujuan selain berupaya meragukan dan menggoncang umat Islam ‎akan kebenaran al-Quran dan Nabi serta Iman mereka.

Pada dasarnya tidak semua perumpamaan al-Quran demikian, sebab pada ‎ayat sebelumnya Allah telah mengibaratkan orang-orang munafik dengan ‎seorang musafir dalam sebuah jalan yang penuh dengan berbagai bahaya, ‎baik bumi maupun langit. Sementara untuk melanjutkan perjalanannya ia tidak ‎memiliki penerang sama sekali.‎

 

Ayat ke27

Artinya:

Yaitu orang-orang yang melanggar janji Allah setelah ia ditetapkan, dan ‎memutus apa yang diperintahkan oleh Allah untuk menyambungnya, dan ‎membuat kerusakan di muka bumi, mereka itulah orang-orang yang merugi.‎

Setelah ayat sebelumnya berbicara tentang kesesatan orang-orang fasik, ‎maka ayat ini menjelaskan tiga ciri-ciri mereka itu.‎‎

Pertama, mereka adalah orang-orang yang suka menginjak-injak perjanjian ‎dengan Allah dan hanya mengikuti keinginan-keinginan hawa nafsu mereka. ‎Yang dimaksud dengan perjanjian Allah di dalam ayat ini ialah suatu bentuk ‎perjanjian takwini (penciptaan) bukan tasyri'i (pensyariatan). Yaitu, Allah Swt ‎telah menciptakan fitrah di dalam diri setiap manusia, dimana melalui hidayah ‎fitrah tersebut, manusia dapat mengenali kebaikan dan keburukan, kebenaran ‎dan kebatilan. Dengan fitrah itu pula setiap orang memiliki kesiapan untuk ‎menerima seruan para Rasul yang diutus oleh Allah kepada mereka. ‎

Kedua, Ketika Allah Swt memerintahkan agar mereka menjalin hubungan ‎yang baik, termasuk hubungan keagamaan dengan para pemimpin ilahi, juga ‎hubungan sosial dengan orang-orang mukmin, serta hubungan kekeluargaan ‎dengan kaum kerabat dan sanak keluarga; orang-orang fasik justru memutus ‎dan merusak hubungan-hubungan tersebut. ‎

Ketiga, mereka menyebarkan kerusakan dan kekejian di muka bumi ini ‎dengan kefasikan dan perbuatan-perbuatan dosa mereka. Mungkin mereka ‎mengira bahwa perbuatan dosa adalah perkara pribadi dan dampak-‎dampaknya berkaitan dengan dirinya sendiri. Padahal segala bentuk ‎pengaruh sosial dari perbuatan dosa tidak lebih kecil dari pada pengaruh-‎pengaruh pribadi karena perbuatan-perbuatan dosa tersebut secara perlahan ‎dan bertahap akan menyeret masyarakat kepada kerusakan.‎

Jelas sekali bahwa seseorang yang tidak mempedulikan perjanjian-perjanjian ‎ilahi dan hubungan-hubungan sosial akan berbuat sekehendak hatinya. Oorang ini pasti akan menimpakan kerugian bagi dirinya sendiri. Dengan ‎melepaskan seluruh modal materi dan maknawinya, maka tak ada hal lain ‎yang ia dapatkan kecuali kesengsaraan, kerugian dan kebinasaan.

Dari dua ayat tadi terdapat enam poin pelajaran yang dapat dipetik:‎
‎1. Pelanggaran perjanjian tidak sejalan dengan ketaatan beragama. Seorang ‎mukmin tidak akan pernah melanggar perjanjiannya walaupun dengan orang-‎orang kafir. Lalu bagaimana ia menginjak-injak perjanjian dengan Allah.‎
‎2. Menentang seruan fitrah, membuka jalan bagi perbuatan dosa dan pada ‎akhirnya menciptakan kerusakan di muka bumi. ‎
‎3. Kerugian yang sesungguhnya ialah musnahnya modal usia dan pikiran, ‎akibat pelanggaran-pelanggaran terhadap panggilan fitrah dan syariat. ‎
‎4. Sesuai dengan ayat 124 Surah al-Baqarah disebutkan, ".... maka ‎kepemimpinan ilahi merupakan janji Allah dan menurut ayat ini pula, ‎pelanggaran terhadap janji Allah tersebut merupakan ciri-ciri munafik."
‎5. Islam menganjurkan manusia menjalin hubungan dengan sesama, bukan ‎pemutusan hubungan. Oleh sebab itu, silaturrahmi dan saling kunjung antar ‎keluarga dan kerabat, terutama kedua orang tua, selalu mendapat perhatian ‎dan penekanan di dalam Islam. ‎
‎6. Islam menentang sikap atau perbuatan mengucilkan diri dan menjauh dari ‎masyarakat. Islam selalu menganjurkan kepada para pengikutnya untuk aktif ‎hadir di tengah-tengah masyarakat, melaksanakan shalat berjamaah ‎termasuk shalat Jumat, menjenguk orang sakit, menyantuni orang fakir dan ‎miskin, serta memperhatikan keadaan para tetangga. Di dalam berbagai ‎riwayat Islam, banyak terdapat anjuran-anjuran untuk silaturrahmi. Berikut ini ‎disebutkan sebagiannya secara singkat.

‎"Kunjungilah sanak keluarga kalian, karena hal itu akan menjauhkan kefakiran dari kalian, memperluas rezeki dan memberkahi usia kalian."

‎"Peliharalah silaturrahmi meskipun dengan orang-orang yang tidak peduli terhadap kalian atau dengan orang-orang yang meskipun orang tersebut ‎bukan orang yang baik."

‎"Peliharalah silaturrahmi meskipun kalian terpaksa berjalan selama setahun ‎atau kalian hanya mempunyai peluang sekedar memberi salam atau waktu yang sedikit sekedar meneguk air."

‎"Silaturrahmi meringankan kematian dan perhitungan di hari kiamat dan menyebabkan seseorang memperoleh kedudukan istimewa di surga." ‎‎ ‎ ‎

 

Ayat ke28

Artinya:

Bagaimana mungkin kalian mengingkari wujud Allah sedangkan sebelum ini ‎kalian mati lalu Dia menghidupkan kalian kemudian kembali Dia akan ‎mematikan kalian, lalu kalian akan dikembalikan kepada-Nya.‎

Sebaik-baik cara mengenal Allah ialah berpikir dan memperhatikan ‎penciptaan manusia dan alam semesta. Merenungi dua fenomena, kehidupan ‎dan kematian membuat manusia menyadari akan hakikat ini yaitu, jika ‎kehidupan ini datang dari diriku sendiri, tentu aku akan hidup selamanya. ‎Padahal sebelum ini aku tiada, lalu ada, kemudian kehidupan ini akan ‎terenggut dariku. Sebelum ini sama seperti batu, kayu dan benda-benda mati ‎lain, kita adalah makhluk-makhluk tak bernyawa. Angin kehidupan yang Allah ‎tiupkan, memberi jiwa dan ruh kepada kita dan kita pun diberi kemampuan ‎memahami dan berpikir tentang segala sesuatu. Oleh karena itu nikmat ilahi ‎yang terbesar ialah kehidupan yang Dia berikan kepada kita ini. ‎‎

Dengan itulah maka manusia dapat mencapai berbagai kemajuan ilmu ‎pengetahuan, akan tetapi tetap saja manusia tak mampu menangkap rahasia-‎rahasia alam ciptaan Allah yang amat luas dan hebat ini. Bukan ‎hanya kelahiran dan kehidupan berada di tangan Allah, tapi kematian kita pun ‎berada di tangan-Nya. Kita tidak datang ke dunia ini dengan kehendak kita ‎sendiri sehingga kita dapat meninggalkan dunia ini dengan kehendak kita ‎sendiri pula. Dia-lah yang menghidupkan dan Dia-lah yang mematikan. ‎Diantara yang demikian itu, hanya amal perbuatan kitalah yang berada di ‎bawah kehendak kita.‎

Dengan demikian,bagaimana mungkin kita mengingkari wujud Allah yang ‎awal dan akhir hidup kita berada di tangan-Nya? Bagaimana mungkin pula ‎kita mengingkari kehidupan kembali setelah mati, dan mengatakan bahwa ‎yang demikian itu tak mungkin terjadi karena manusia sudah musnah di telan ‎bumi? Karena sesungguhnya pemberian kehidupan yang kedua kalinya, kalau ‎kita pikir tentulah mudah bagi Allah dibanding pemberian kehidupan yang ‎pertama, atau minimal sama saja. Bagaimana mungkin, Allah yang telah ‎memberi kehidupan kepada kita yang berada di dalam ketiadaan sebelumnya ‎tidak mampu memberikan kehidupan untuk yang kedua kalinya?

Dari ayat tadi terdapat enam poin pelajaran yang dapat dipetik:‎
‎1. Di antara cara-cara pemberian bimbingan dan petunjuk al-Quran ialah ‎pengajuan pertanyaan kepada akal dan fitrah manusia sehingga dengan ‎berpikir dan merenung, manusia akan memahami hakikat dan ‎menerimanya bukan hanya karena taklid buta.‎
‎2. Fenomena kehidupan merupakan bukti keberadaan Allah dan fenomena ‎kematian merupakan bukti adanya hari kebangkitan.‎
‎3. Pengenalan diri merupakan pengantar bagi pengenalan Allah. Jika ‎seseorang mengenali hakikat dirinya, maka ia pun akan mengetahui ‎keberadaan Allah. Karena dengan demikian ia akan memahami bahwa dirinya ‎tidak memiliki apa-apa, dan segala sesuatu ini datangnya dari Dia yang Maha ‎Kuasa.‎
‎4. Akhir perjalanan kesempurnaan manusia ialah pertemuan dengan Allah ‎dan kembali kepada sumber kehidupan serta pusat segala nikmat.‎
‎5. Kematian bukanlah akhir kehidupan, bahkan ia adalah awal kehidupan ‎yang sesungguhnya, dan gerak menuju ke arah Allah.‎
‎6. Orang-orang kafir yang tidak memiliki bukti untuk menolak adanya hari ‎kebangkitan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan berkenaan dengan ‎kehidupan setelah kematian dengan tujuan menciptakan keragu-raguan. Akan ‎tetapi, dengan mengajukan pertanyaan yaitu,dari manakah awal kehidupan ‎kalian? Al-Quran mematahkan segala argumentasi mereka itu. ‎(IRIB Indonesia)

Read 11994 times