Surat al-Mujadila 1-6

Rate this item
(0 votes)
Surat al-Mujadila 1-6

 

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (1) الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (2)

 

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (58: 1)

 

Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (58: 2)

 

Pada pertemuan hari ini kita akan membahas tafsir Surat al-Mujadila. Surat ini diturunkan di Madinah dan terdiri dari 22 ayat. Mayoritas ayat surat ini berbicara mengenai urusan keluarga dan hubungan sosial. Nama surat ini diambil dari ayat pertama terkait dialog antara seorang perempuan dan Rasulullah Saw.

 

Salah satu tradisi kaum Arab sebelum Islam adalah ketika seorang suami marah atas istrinya, ia mengatakan kepadanya, Kamu seperti ibuku bagiku. Dengan perkataan ini, ia menceraikan istrinya dengan cara yang tidak tepat. Metode ini membuat perempuan yang ditalak tidak dapat menikah dengan pria lain, dan juga tidak dapat melanjutkan hidup bersama dengan suami sebelumnya. Talak seperti ini dikenal dengan nama talak zihar.

 

Di zaman awal Islam, salah satu laki-laki Madinah ketika marah berbicara seperti ini kepada istrinya, tak lama kemudian ia menyesal atas perkataannya tersebut. Istrinya mendatangi Rasulullah Saw untuk menyelesaikan masalah, dan berdialog dan berdebat dengan beliau. Rasul kemudian berkata kepadanya, selama belum ada hukum dari Tuhan, kamu tetap menjadi istri dan mahramnya.

 

Ia mencari perlindungan kepada Tuhan untuk menyelesaikan masalah dan memuliakan Tuhan. Tidak butuh waktu lama sebelum ayat-ayat ini diturunkan dan menyatakan, "Membandingkan seorang istri dengan seorang ibu adalah perumpamaan palsu yang diungkapkan untuk tujuan yang salah, dan Tuhan tidak menerima hal seperti itu. Dengan demikian, Islam melarang jenis perceraian ini dan tidak mengakuinya sebagai salah satu jenis perceraian."

 

Dari dua ayat tadi terdapat empat pelajaran penting yang dapat dipetik:

1. Rasul dan utusan Tuhan berada di tengah masyarakat dan dalam akses mereka. Oleh karena itu, pria dan wanita merujuk kepada Rasul untuk menyelesaikan masalah kehidupan mereka.

2. Di masa jahiliyah, sejumlah tradisi dan adat istiadat masyarakat terkait perempuan adalah zalim, dan Islam memberikan solusi yang tepat bagi masalah ini.

3. Allah Swt Maha Mengetahui hubungan keluarga dan sosial manusia, dan menerapkan hukum dan berdasarkan itu, Allah menetapkan hukum yang adil.

4. Pria dan wanita tidak boleh merusak hubungan keluarga dengan saling menuding atau mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan.

 

وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (3) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (4)

 

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (58: 3)

 

Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (58: 4)

 

Melanjutkan ayat sebelumnya mengenai talak Zihar, ayat ini mengatakan, "Dengan mengatakan kalimat ini, tidak akan terjadi talak dan perpisahan antara suami-istri, dan metode talak adalah yang dijelaskan oleh Islam. Namun ada seorang suami yang mengatakan kalimat ini kepada istrinya dan ia benar-benar menginginkan talak, maka ia harus dihukum sehingga orang lain tidak akan mengulanginya dan menjadi pelajaran bagi yang lain."

 

Hukuman bagi orang seperti ini adalah ia harus membeli seorang budak dan membebaskannya karena Tuhan. Jika ia tidak mampu, maka harus berpuasa selama 60 hari. Jika ia tidak memiliki kemampuan untuk berpuasa karana fisiknya lemah, maka setidaknya ia harus memberi makan 60 orang miskin. Setelah ia melakukan salah satu hukuman tersebut, ia dapat berkumpul kembali dengan istrinya dan melanjutkan kehidupan normal suami-istri.

 

Dari dua ayat tadi terdapat empat pelajaran penting yang dapat dipetik:

1. Islam memerangi tradisi keliru yang menzalimi perempuan dan telah menetapkan hukuman atau denda bagi suami yang telah melakukan penindasan tersebut terhadap istri mereka.

2. Ucapan dan kata-kata memiliki tanggung jawab, serta tidak semua pembicaraan keliru dapat dikatakan kepada istri.

3. Islam memanfaatkan setiap sarana untuk membebaskan budak, sehingga fenomena ini secara bertahap akan terhapus.

4. Denda harus beragam dan bertingkat serta harus sesuai dan serasi dengan kondisi fisik dan keuangan para pelanggar.

 

إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَقَدْ أَنْزَلْنَا آَيَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ (5) يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (6)

 

Sesungguhnya orang-orang yang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti nyata. Dan bagi orang-orang kafir ada siksa yang menghinakan. (58: 5)

 

Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. (58: 6)

 

Melanjutkan ayat sebelumnya yang berbicara mengenai hukuman duniawi terhadap tradisi keliru jahiliyah dan bertentangan dengan hukum ilahi, ayat ini mengisyaratkan hukuman ukrawi pelanggaran terhadap ketentuan ilahi, serta menyatakan, melawan dan menentang hukum serta ajaran ilahi akan berujung pada kekufuran, serta memiliki dampak buruk di dunia, karena sama halnya dengan mengabaikan ayat-ayat jelas ilahi.

 

Namun hukuman utama berkaitan dengan hari kiamat ketika Tuhan mengingatkan pekerjaan buruk manusia yang telah mereka lupakan. Hal ini membuat mereka terhina dan mendapat azab pedih.

 

Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran penting yang dapat dipetik.

1. Setelah bukti sempurna dan ajaran serta perintah Tuhan jelas, segala bentuk penentangan terhadapnya akan berakibat buruk bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

2. Melawan para nabi berarti melawan Tuhan, dan Tuhan akan memberi mereka hukuman yang keras dan menghinakan.

3. Pada hari kiamat, para terdakwa dijelaskan dakwaannya sehingga ia akan menyadari apa kesalahan dan hukumannya. Kemudian ia akan dihukum karena kesalahannya tersebut.

Read 75 times