کمالوندی
Imam Hasan as Lahir
Imam Hasan as Lahir
Tanggal 15 Ramadhan tahun ketiga Hijriah, Imam Hasan al-Mujtaba, cucu pertama Rasul Saw lahir ke dunia. Beliau hidup di bawah bimbingan Nabi, ibunya Sayidah Fatimah dan ayahnya Imam Ali bin Abi Thalib as. Setelah ayahnya syahid pada bulan Ramadhan tahun 40 Hijriah, Imam Hasan as memegang amanat imamah dan kepemimpinan atas umat. Beliau sempat menjabat sebagai khalifah setelah dibaiat oleh para pengikut ayahnya. Saat itu, permusuhan Muawiyah dengan Ali dan keluarganya masih tetap membara.
Imam Hasan telah mengerahkan pasukannya untuk berperang melawan Muawiyah. Namun makar busuk dan politik jahat yang dimainkan oleh Muawiyah telah berhasil membuat sejumlah besar pasukan dan komandan militer Imam Hasan meninggalkan beliau seorang diri. Akhirnya putra Ali ini terpaksa menandatangani perjanjian damai dengan Muawiyah. Perjanjian itu sekaligus mengakhiri khilafah beliau. Manusia suci ini pernah mengatakan, "Aku heran dengan orang yang memikirkan makanan jasmaninya tetapi melalaikan makanan ruhaninya."
Gulistan Saadi; Sumber Kearifan Dari Timur
Sa'di dari Syiraz adalah salah seorang di antara beberapa penyair Persia paling terkemuka. Karya-karyanya dibaca luas dan dikagumi baik di Timur maupun Barat selama berabad-abad sampai kini. Dari dua puluh karyanya Gulistan (Taman Bunga) merupakan karyanya yang paling populer di Persia di samping Bustan. Dia hidup sezaman dengan Jalaluddin Rumi. (1207-1273 M), penyair sufi Persia yang dianggap terbesar.
Abad ke-13 M, zaman ketika dua penyair besar itu hidup, merupakan zaman yang dilanda berbagai kesukaran dan bencana. Dua perang besar telah memporak-porandakan negeri-negeri Islam, termasuk Persia. Yang pertama ialah perang Salib yang meletus dalam beberapa gelombang dari abad ke-11 sampai akhir abad ke-13 M, dan yang kedua ialah serbuan tentara Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan dan Hulagu Khan yang terjadi secara beruntun. Sejak 1220 M sampai penghancuran Bagdad, ibukota kekhalifatan Abbasiyah, pada tahun 1256 M. Sa'di sendiri pernah ditawan oleh tentara Salib sebagaimana dituturkan dalam kisah 31 bab II Gulistan. Begitu pula dia menyaksikan dua kali kekejaman tentara Mongol, pertama ketika mereka menduduki propinsi Fars pada tahun 1226 M, sebagaimana dituturkan dalam pendahuluan bukunya itu.
Yang kedua Sa'di sedang berada di kota Bagdad ketika tentara Mongol menyerbu dan menghancurkan kota itu pada tahun 1256 M. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kekejaman tentar Hulagu Khan. Adalah suatu keajaiban saja yang membuatnya selamat dari cengkeraman pasukan Mongol. Dalam sebuah sajak panjang, dia menuturkan bagaimana tentara Hulagu Khan membunuh dan memotong kepala ribuan lelaki dan wanita, anak-anak dan orang dewasa, kemudian menumpuk bangkai mereka hingga menjelma sebuah bukit. Juga dituturkan bagaimana mereka menghancurkan istana, masjid, gereja, sinagog, madrasah, universitas dan perpustakaan-perpustakaan yang banyak terdapat di kota Bagdad. Jutaan buku pengetahuan yang dikumpulkan selama berabad-abad musnah seketika, dibakar dan dibuang ke sungai Trigis. Harta benda yang berharga, ribuan intan permata berharga dan berton-ton emas dijarah dan diangkut dengan ratusan gerobak. Setelah puas mereka berpesta pora. Ribuan wanita muda yang cantik dikumpulkan di lapangan dan diperkosa.
Namun segala bentuk kekacauan, bencana, keganasan dan penghancuran yang melanda negeri Islam itu tidak menghalangi bangkitnya semangat baru dalam jiwa kaum muslimin. Karya-karya besar di bidang sastra, pemikiran keagamaan dan tasawuf ditulis kembali. Dari rerontok peradaban yang luluh lantak disebabkan invasi tentara asing, sebuah peradaban baru dibangun kembali oleh umat Islam dengan susah payah.
Annemarie Schimmel menulis dalam kata pengantar bukunya The Triumphal Sun: A Study of the Work of Jalaluddin Rumi (1980:9) sebagai berikut: "Cukup mengherankan periode yang penuh bencana politik ini pada saat yang bersamaan merupakan periode yang penuh dengan kegiatan keagamaan dan tasawuf. Gelapnya kehidupan duniawi ditindakbalas dengan maraknya kegiatan spiritual yang entah apa sebabnya. Nama sejumlah penyair, sarjana, seniman kaligrafi terkemuka bermunculan, namun abad itu terutama sekali merupakan zaman pemuka tasawuf...pendek kata, hampir di setiap pelosok dunia Islam dijumpai wali-wali, guru kerohanian, penyair-penyair dan pemimpin besar ilmu tasawuf. Di tengah gelapnya kehidupan politik dan ekonomi, merek tampil membimbing khalayak ramai menuju dunia yang tidak terganggu oleh perubahan, menyampaikan kepada mereka rahasia cinta yang harus dicapai melalui penderitaan, dan mengajarkan bahwa kehendak Tuhan dan cinta-Nya dapat tersingkap melalui bencana dan kemalangan..."
Mungkin agak mengherankan di tengah krisis besar yang dihadapi masyarakatnya, Sa'di memberi judul yang romantik dari bukunya, Gulistan yang artinya Taman Bunga. Tetapi dalam tradisi sastra Islam Persia, yang sejak abad ke-12 M begitu diresapi pemikiran tasawuf, judul seperti itu mengandung makna simbolik yang dalam, bukan sekedar khayalan atau pun pelarian dari kenyataan hidup yang pahit.
Jika membaca dengan seksama bab-bab dalam Gulistan, sebagaimana juga bab-bab dalam Bustan, serta menyimak untaian kisah aneka ragam yang terdapat di dalamnya; kita akan memasuki pintu-pintu yang membuat iman dan cinta kita kembali hidup. Menurut Sa'di hanya melalui jalan cinta dan iman seseorang dapat memetik hikmah dan pengetahuan tertinggi, yang dengan itu seseorang memperoleh pencerahan dan menyaksikan luasnya kasih sayang Tuhan. Juga menurut Sa'di hanya melalui perbaikan pikiran dan moral, masyarakat yang sedang sakit disebabkan berbagai krisis dapat dipulihkan kembali menjadi masyarakat yang beradab dan bermartabat. Karena itu tidak mengherankan apabila dalam bab I Sa'di membahas akhlak-akhlak raja-raja, pemimpin dan para pembesar negeri, sedang dalam bab VIII yang meruapakan bab terakhir pengarang menguraikan manfaat pendidikan dan adab.
Sa'di sendiri menuturkan latar belakang penulisan bukunya itu dengan penuh kearifan. Katanya dalam Mukadimah Gulistan. "Aku berniat menulis kitab untuk menghibur mereka yang membacanya, dan sebagai pedoman bagi siapa saja yang menginginkan Tamang Bunga, Gulistan, yang daun-daunnya tak tersentuh kesewenang-wenangan pergantian musim, dan kecemerlangan sinarnya abadi, tak dapat dirubah oleh musim gugur." Selanjutnya Sa'di mengatakan, "Apa artinya seikat bunga untukmu? Ambillah sehelai daun dari Gulistan-taman bungaku. Sekuntum kembang biasanya hanya bertahan lima enam hari. Tetapi bunga-bunga dalam Gulistan akan senantiasa berkilauan cahayanya."
Dalam khazanah sastra Islam persia kepopuleran Gulistan tak dapat disangkal lagi, menyamai kepopuleran Syah Namah (1002 M) karya Ferdowsi, Mantiq al-Tayr karya Fariduddin al-Atthar (1127-1226 M) dan Matsnawi-i Ma'nawi karya Jalaluddin Rumi(1207-1273 M). Sebagai karya yang ditulis dalam campuran puisi dan prosa puisi, gaya dan susunan penulisannya tidak jauh berbeda dengan Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) yang dimulai dengan pujian-pujian dan munajat panjang yang indah, suatu hal yang lazin dalam tradisi sastra Islam di mana pun. Corak penulisannya mengingatkan setidak-tidaknya pada tiga sumber; cerita berbingkai seperti Khalilah wa Dimnah karya Ibn al-Muqaffa' (w. 752 M) Maqamat (abad ke-10 M) karya Badi'uzzaman al-Hamadhani dan Mantiq al-Tayr.
Cerita berbingkai telah banyak diketahui, dalam suatu cerita terdapat banyak cerita, dan antara cerita-cerita yang ada di dalamnya dikaitkan oleh satu kepentingan. Maqamat di lain hal merupakan himpunan kisah-kisah pendek yang diselipi kearifan. Kisah-kisah itu biasanya ditulis berdasarkan kenyataan sosial yang dialami pengarang. Dalam Maqamat pengarang menghadirkan seorang narator sebagai tokoh sentral penyaji kisah. Setiap kisah sering diakhiri dengan bait-bait sajak yang mengandung renungan. Tetapi berbeda dengan cerita berbingkai, kisah-kisah dalam Maqamat dibiarkan tidak berhubungan satu dengan yang lain.
Sa'di dalam Gulistan menggabungkan kedua tradisi penulisan itu dan mengikat kisah-kisah di dalamnya dalam bingkai pemikiran sufi tentang pentingnya cinta dan adab dalam membangun masyarakat beriman. Seperti karya para penulis sufi – ambil contoh misalnya Mantiq al-Tayr al-Atthar dan Matsnawi-i Ma'nawi Rumi – pengarang menebarkan gagasannya dalam berbagai kisah dan untaian sajak. Kisah-kisah yang berbeda di dalamnya bisa berdiri sendiri, namun sebenarnya juga diikat oleh suatu kesatuan gagasan. Contoh serupa juga terdapat pada alegor-alegori sufistik Suhrawardi al-Maqtul, tokoh filsafat ‘Isyraqiyah abad ke-12 M.
Jika ditelusuri secara teliti pola penyampaian kisah semacam itu sebenarnya diilhami, terutama oleh pola pengisahan dalam al-Quran. Sebagai teks suci al-Quran memang tidak seperti karya satra yang lazim, khususnya struktur penyampaian kisah-kisah yang terdapat di dalamnya.
Dalam strukturnya al-Quran mencampur aspek-aspek pembicaraan dan pengisahan tentang peristiwa yang telah silam, sedang terjadi dan akan terjadi. Setiap ayat merupakan unit yang berdiri sendiri dan sekaligus saling berkaitan dengan unit yang lain.
Selain itu al-Quran mengandung banyak kisah dan alegori, yang masing-masing disampaikan secara khusus dan menarik. Kisah tentang tokoh yang sama, misalnya nabi-nabi sering ditebar dalam banyak ayat. Semua itu mendorong dan mengilhami lahirnya genre-genre baru dalam kesusastraan Islam baik dalam bahasa Arab, persia, Turki, Urdu, Shindi, Melayu, Swahili dan lain-lain. Ada kisah yang disampaikan secara ringkas, ada yang disampaikan agak panjang dan sangat panjang seperti kisah Nabi Yusuf as dalam surat Yusuf. Kisah Nabi Musa as yang sangat luas konteks dan moralnya ditebar dalam ayat dan surat yang berbeda-beda. Di antara konteks hikmah dan moralnya luas ialah kisah Nabi Musa as dalam surat a-Kahfi, yang di situ dia ditampilkan bersama guru rohaniahnya yang biasa dikenal sebagai Nabi Khaidir as.
Sa'di al-Syirazi – nama sebenarnya Musharifuddin bin Muslihuddin Abdullah – lahir pada tahun 1184 M di Syiraz, kota yang penuh dengan taman bunga yang indah di Iran, dan wafat pada tahun 1291 M di kota yang sama. Sejak abad ke-12 M sampai abad ke-19 M kota Syiraz merupakan salah satu pusat kebudayaan Islam yang penting di Persia. Banyak ilmuwan, sastrawan, ulama dan cendikiawan dilahirkan di situ. Yang masyhur di antaranya adalah Hafiz, penyair yang dikagumi di Timur maupun Barat. Takhallus atau nama gelarannya, yaitu Sa'di yang digunakan dalam karya-karyanya, diambil dari nama atabeq (gubernur) propinsi Fars, Abu Shuja' Sa'd bin Sangi (w. 1226) yang menjadi pelindungnya dan wafat ketika tentara Mongol menyerbu wilayah di timur laut Iran itu.
Sejak kecil Sa'di telah yatim. Ayahnya meninggal pada waktu dia berusia 6 tahun. Kesedihannya menjadi anak yatim dituturkan dalam sebuah sajaknya yang masyhur dan banyak dikutip orang. Sajak Sa'di itu misalnya dipahatkan pada batu nisan seorang muslimah Pasai di Aceh, yaitu Naina Husamuddin yang meninggal dunia pada akhir abad ke-14 hanya selisih seratus tahun setelah penyairnya meninggal dunia.
Sebagai anak yatim Sa'di terkenal tabah menghadapi berbagai kesukaran. Dia berjuang keras mendapat pendidikan terbaik pada zamannya. bersama ibunya, mula-mula dia mendapat perlindungan dari seorang pemimpin kabilah Arab yang dermawan. Setelah Sa'di besar, ayah angkatnya mengirim Sa'di ke Bagdad untuk melanjutkan pelajaran di Universitas nizamiyah yang terkenal dan didirikan para akhir abad ke-11 M oleh Nizam al-Mulk, seorang wazir terpandang pada masa pemerintahan Malik Syah dari Dinasti Saljug. Pada tahu 1210 dia memulai pengembaraannya ke Kasygar di Asia Tengah yang berbatasan dengan negeri Cina.
Di Bagdad dia menjadi anggota tarekat Qadiriyah dan berguru kepada sufi dan filosof terkemuka Syeikh Syihabuddin al-Suhrawardi (w. 1234 M). Sedangkan gurunya di Universitas Nizamiyah yang sangat dia kagumi ialah Syamsudin Abu al-Faraq ibn al-Jauzi, seorang ahli agama dan sarjana sastra yang terkenal. Kehidupannya bersama guru-gurunya itu direkam dalam Bustan.
Masa-masa hidup Sa'di selama di bawah lindungan pemimpin kabilah Arab sampai tahun 1226 M penuh ketenangan dan kebahagiaan. Tetapi sesudah itu, sampai pada tahun 1256 M, membentang masa-masa panjang penuh kesukaran. Hal ini terutama disebabkan peperangan dan penaklukan besar-besaran tentara Mongol terhadap hampir semua wilayah kaum muslimin. Ketika pasukan Mongol menyerbu Bagdad, Sa'di kebetulan sedang berada di kota itu. Setelah dapat menyelamatkan diri dia mengembara ke banyak negeri seperti Somnath, Punjab, Gujarat, Ghazna (semuanya di India) kemudian Balkh, Herat, Yaman, Hijaz, Yerusalem, Mesir, Maroko, Balkan, Mediteranian, Khasygar, Cina dan Anatolia (Turki sekarang). Jalan darat banyak yang dilalui dan jalan laut banyak pula yang dilayari.
Kadang-kadang selama pengembaraannya itu dia berpakaian sebagai seorang darwish (sufi pengembara) dan bercampur baur dengan rakyat jelata. Kadang-kadang berkumpul dengan para saudagar dan mengikuti kafilah di gurun pasir. Sa'di pernah pula bekerja sebagai tenaga kasar di kibbutz orang Yahudi dan pernah ditawan oleh tentara Perancis yang memimpin pasukan perang Salib di Yerusalem. Di India, dia pernah dikejar oleh para pencuri patung emas di candi Somnath.
Pada tahun 1256 M Sa'di kembali ke Syiraz dan memperoleh perlindungan dari Abu Bakar ibn Sa'd ibn Zangi, cucu pelindung Sa'di sebelumnya Abu Shuja' Sa'd ibn Zangi, yang menjadi atabeq propinsi Fars antara tahun 1231-1260 M. Di bawah lindungan atabeq muda ini Sa'di menyelesaikan dua karya masterpiece-nya Bustan dan Gulistan. Kedua karyanya itun dipersembahkan sebagai kenangan dan penghargaan kepada atabeq yang murah hati dan menghargai para seniman dan cendikiawan.
Sa'di meninggal dunia dalam usia yang sangat tua pada tahun 1291 M di Syiraz. Pada waktu itu sudah banyak bangsawan dan pemimpin bangsa Mongol memeluk agama Islam. Penguasa Mongol di Persia yang pertama kali memeluk agama Islam ialah sultan Ahmad Taqudar (1282-1284 M).
Pada tahun 1294 M, tiga tahun setelah Sa'di meninggal dunia seluruh orang Mongol di Persia dan Iraq memeluk agama Islam dengan dipelopori oleh pemimpin mereka yang saleh dan taat beribadah Sultan Ghazan (1294-1304 M) dan Uljaytu Khuda-Banda (1305-1316 M). Peranan ulama ahli tasawuf dan sastrawan sufi sangat besar dalam meyakinkan kebenaran risalah Islam kepada pemimpin Mongol.
Sebagai seorang terpelajar Sa'di juga mendalami tasawuf dan cenderung berpikiran sufistik. Namun berbeda dengan rekan-rekannya senegeri dan sezaman seperti jalaluddin Rumi, Ruzbihan al-Baqli dan lain-lain yang corak sufistik karya-karyanya sangat kental; Sa'di lebih menumpuhkan perhatian pada masalah etika atau filsafat moral. Pengalaman hidupnya yang pahit sangat mempengaruhi penulisan karya-karyanya. Dia banyak menyaksikan rakyat kebanyakan serta berbagai penyelewengan dan kezaliman penguasa yang otoriter. Dia juga sering menyaksikan peperangan yang ditimbulkan oleh ulah pemimpin yang rakus akan kekuasaan, yang membuat rakyat menderita. Walaupun demikian tema karya-karya Sa'di secara keseluruhan tetap memperlihatkan hubungan dengan gagasan para sufi.
Sa'di menulis tidak kurang dari 20 buku, di antaranya ialah Kulliyat (antologi prosa dan puisi) Pand-namah, Risalat, Bustan dan Gulistan. Para sarjana kesusastraan persia menyebutkan beberapa ciri karya Sa'di, khususnya Gulistan, sebagai berikut:
1. Karya sa'di merupakan untaian kisah-kisah perumpamaan yang disadur dari sumber-sumber al-Quran, sejarah Persia dan pengalaman pribadinya selama menjelajahi berbagai negeri. Ke dalam kisah-kisah yang ditulisnya itu Sa'di memasukkan hikmah, sindiran, ejekan (hija'), kriktik sosial dan sejenisnya yang ditujukan terutama kepada raja-raja, para menteri dan tokoh-tokoh masyarakat yang korup, dan tidak becus menjalankan tugas serta kewajibannya sebagai pemimpin.
2. Dalam Gulistan terdapat banyak humor, suatu hal yang berbeda dengan karyanya terdahulu Bustan.
3. Karya Sa'di pada umumnya bercorak didaktis.
4. Semangat karyanya, khususnya Gulistan, romatik.
5. Nilai moral dan pesar kerohanian karya Sa'di didasarkan atas ajaran Islam, khususnya sebagaimana dikemukakan ahli tasawud dan ulama madzab Sunni. Jadi tidak didasarkan semata-mata atas imajinasinya.
Menurut Sa'di berbuat baik kepada sesama manusia, tanpa memandang warna kulit, ras dan agamanya yang dipeluknya, sebenarnya sama dengan menjalankan kewajiban agama. Nilai agama yang sebenarnya, menurutnya lagi, dijumpai dalam amal perbuatan seseorang di tengah pergaulan sosialnya, tidak semata-mata dalam untaian tasbih, sajadah dan jubah. Satu bait puisinya di bawah ini akan sukar dilupakan:
Segenap ras manusia adalah anggota sebuah keluarga besar
Di atas segalanya mereka berasal dari hakikat yang sama
Jika kau tak pernah merasakan derita orang yang tertindas dan teraniaya
Tidak patutlah kau disebut sebagai keturunan Adam
Karena bobot sastra dan kedalaman kandungan hikmahnya, karya Sa'di dikaji oleh banyak sarjana baik di negerinya sendiri, maupun di negeri lain di Timur maupun Barat. Dalam bukunya Grammar of The Persian Language (1824) Sir William Jones mengatakan bahwa Gulistan merupakan salah satu buku paling baik bagi mereka yang mempelajari bahasa Persia. Penyair-filosof Amerika terkemuka akhir abad ke-19 Ralph Waldo Emerson sangat mengagumi karya Sa'di, dan menyebutnya sebagai salah satu karya masterpiece dari Timur yang tak ada padanannya di Barat.
Setelah membaca terjemahan Gulistan dalam bahasa Inggris oleh francis Gladwin, Emerson mengatakan antara lain, "Walaupun sebagai penyair lirik tidak sekuat Hafiz, namun dia memikat dengan cara lain yaitu kecendikiaan, hikmah dan sentimen moralnya. Dia memiliki naluri mengajar pembacanya secara halus... Dia adalah penyair terkemuka tentang persahabatan yang hangat, cinta, rasa percaya diri yang mendalam dan ketulusan hati." Selanjutnya Emerson mengatakan, "Sa'di berarti keberuntungan. Dalam karyanya dia menekankan kesejagatan hukum moral." (lihat A. J. Arberry, Classical Persian Literature, London, 1958: 200-1).
Penyair Iran terkemuka awal abad ke-20, yang juga ahli sastra Persia, Muhammad Taqi Bahar mengemukakan bahwa karya-karya Sa'di sebelum Bustan dan Gulistan, kurang begitu orisinal dilihat dari gaya bahasa atau ungkapan estetik sastranya. Dalam Risalat misalnya, gaya beberapa penulis sufi Persia sebelumnya dan sezaman, seperti Khojeh Abdullah Anshari, Ali Utsman al-Hujwiri, Samsuddin Jawaini dan lain-lain. Bahkan bab lain Risalat mirip dengan gaya Rumi dalam Fihi Ma Fihi. Tetapi Gulistan, kata Taqi Bahar, benar-benar merupakan karya orisinil baik puitika dan estetika, maupun gagasan kerohanian dan moralnya.
Menurut Taqi Bahar, sebagai karangan prosa yang diselingi puisi, adalah satu tipe dengan Maqamat karya Hamidi dan Badiuzzaman al-Hamadhani. Sedangkan pola rima dan persajakannya mengingatkan pembaca pada pola rima ayat-ayat al-Quran. Menggarisbawahi pendapat Taqi Bahar, A.J.Arberry mengutip gaya bahasa Sa'di dalam kisah bab 35 bab I Gulistan.
Bataifa-yi buzurgan ba-kashri dar nishasta budam: zauraqi dar pay-i ma gharq shud : du baradar ba-girdabi dar uftadand : yaki az buzurgan gufi mallah-ra ki bigir inhar duvan-ra ki ba-har yaki panjah dinarat diham : mallah dar ab uftad : ta yaki-ra bi-rahanid digar halak shud : guftam baqiyat-i umrash mamanda bad az in sabab dar giriftan-i u ta'khir kard u dar an digar ta'jil : mallah bi khandid u gufi anchi tu gufti yaqin ast u dugar mail-i khatir ba-rahanidan-i in bishar bud ki vaqti dar biyabani manda budam u mara bar shuturi nishanda u zi dast-i an digar taziyana-i khvurda am dar tifli : gftam sadaqa'llahu man amila salihan fa-li-nafsihi wa-man asa'a fa-‘alaiha.
Aku sedang menumpang sebuah kapal bersama kumpulan orang-orang terhormat manakala sebuah sampan yang membawa dua orang kakak beradik nyaris karam dekat kami. Seorang dari kami menjanjikan saratus dinar kepada nelayan jika dapat menyelamatkan mereka berdua. Kukatakan pada si nelayan, "Dia takkan bertahan lama sebab kau terlambat menolong!"
Nelayan itu tersenyum, "Kau benar. Sesungguhnya aku lebih suka menolong orang ini, sebab saat aku tertinggal di gurun dulu, dia mendudukkan aku di punggung unta, sedangkan tangan orang yang satunya lagi mencambukku berkali-kali."
Ketika aku masih teringat kata-kata hikmah, "Siapa saja yang melakukan kebajikan samalah dia dengan menyelamatkan jiwanya sendiri dan siapa saja yang melakukan kejahatan dia akan mendapatkan ganjaran pula."
Pada akhirnya akan kami akhiri tulisan ini dengan terjemahan salah satu sajak Sa'di yang terpahat pada batu nisan makam Naina Husamuddin di Pasai yang wafat pada akhir abad ke-14 M sebagaimana telah dikemukakan.
Ini untuk sedekar menunjukkan bahwa enam abad yang silam terdapat kemunitas Muslim Nusantara yang telah mengapresiasi karya-karya agung sastrawan Muslim Persia, khususnya Sa'di:
Tak terhitung tahun-tahun melewati bumi kita
Bagaimana mata air mengalir dan hembusan angin
Apabila hidup hanya himpunan hari-hari manusia
Mengapa yang singgah sesaat di bumi ini angkuh dan sombong?
Sahabat, jika kau melalui makam seorang musuh
Janganlah bergembira, sebab hal serupa akan menimpa dirimu juga
Wahai kau yang bercelak mata kesombongan, debu ‘kan menyusup'
Merasuki tulang belulang bagaikan pupur dan bedak
Memasuki kotak tempat penyimpanannya.
Siapa pun yang pada hari ini bersombong dengan hiasan bajunya
Kelak debu tubuhnya yang terbujur hanya tinggal menguap.
-- Dunia ini penuh persaingan sengit, sedikit kasih saya dijumpa –
Ketika ia sadar bahwa seluruh peristiwa yang dilaluinya pergi
Baru diketahuinya bahwa ia pergi meninggalkan dirinya yang tak berdaya.
-- Demikian keadaan jasad itu sesungguhnya:
Tak ada yang menolongnya selain amal saleh,
karena itu
Di bawah naungan Tuhan Yang Maha Pengasih
Sa'di berlindung!
Pada batu nisan yang sama terpahat sebuah ayat al-Quran surat al-Baqarah 256, yang artinya kurang lebih: "Telaj jelas jalan yang benar di sisi jalan yang salah. Karena itu siapa saja yang mengingkari Thagut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang pada tali Allah..."
Akhirul kalam, dengan segala kekurangannya terjemahan karya Sa'di yang tersaji di hadapan pembaca niscaya bermanfaat sebagai wacana dan bahan renungan. Ia merupakan salah satu contoh saja dari banyak karya penulis Muslim yang relevan, yang juga merupakan salah satu sumber penting dari kearifan Timur yang tak ternilai harganya. Sebagai karya sastra, wawasan estetika yang dituangkan dalam Gulistan, merupakan sumber penting rujukan bagi mereka yang ingin mengetahui apa dan bagaimana kesusastraan Islam. (IRIB Indonesia)
Sumber: Pengantar Gulistan, Taman Kearifan dari Timur, Navila, Cet 2, 2002.
Agama dan Kebangkitan Kontemporer
Para pemimpin agama dari 14 negara dunia berkumpul di Ibukota Iran, Tehran pada 30 April hingga 1 Mei 2012 untuk mendiskusikan peran tokoh agama dalam kebangkitan kontemporer. Konferensi internasional ini mengusung tema "Agama dan Kebangkitan Kontemporer" dan menghadirkan sejumlah tokoh, pemikir, dan cendekiawan dari Syiah, Sunni, Kristen, Yahudi, Hindu dan Budha.
Sekretaris konferensi, Mohammadreza Dehshiri mengatakan, konferensi itu bertujuan mendorong para pemimpin agama untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran masyarakat. Dehshiri menuturkan bahwa fokus utama pertemuan itu adalah peran pemimpin agama dalam kebangkitan kontemporer bangsa dan menyerukan peningkatan peran mereka di tengah masyarakat. Dia menambahkan, gerakan kontemporer memerlukan pemimpin agama dan agama dapat memainkan peran cukup konstruktif dalam mencerahkan masyarakat dan menyelesaikan krisis dunia saat ini.
Sejumlah profesor, filusuf, dan tokoh dari Albania, Yunani, Jerman, Vatikan, Kanada, dan Amerika Serikat berpartisipasi dalam konferensi tersebut. Selain mereka, pertemuan itu juga menghadirkan kepala studi Budha dari Thailand dan pemimpin agama dari Ethiopia, Sudan, Lebanon, dan Pakistan. Topik utama yang dibahas dalam konferensi ini antara lain, "Peran Pendidikan dan Ajaran Agama; Melampaui Kebangkitan Pikiran dan Hati Nurani Manusia", "Peran Pengikut Agama dalam Pembangunan dan Kebangkitan di Dunia", "Identitas dan Kualitas Gerakan Kepemimpinan" dan juga tema-tema seputar tantangan masa depan dan isu-isu kekinian.
Kata kebangkitan memiliki konsep yang sangat luas. Dari segi etimologi, kebangkitan berarti mulai sadar dan tercerahkan. Akan tetapi, konsep universal kebangkitan adalah kebangkitan akal, kesadaran manusia, upaya untuk menyadarkan seluruh masyarakat, dan membebaskan umat manusia dari kekangan para tiran.
Ketika Nabi Muhammad Saw diutus dengan membawa pesan iqra (bacalah), sejak hari itu Rasul Saw menjadikan kebangkitan pikiran dan hati sebagai landasan dakwahnya. Beliau membebaskan umat manusia dari kebodohan, kelalaian, dan penghambaan kepada berhala. Tak lama setelah itu, obor dakwah Rasul Saw berhasil menerangi belahan timur dan barat bumi.
Gerakan kebangkitan dan pencerahan mengalami pasang surat di tengah berbagai komunitas. Kemuliaan dan kehormatan akan diperoleh oleh manusia setiap kali mereka mampu menjaga identitas, independensi, dan kesadarannya. Namun, setiap kali masyarakat terjebak dalam dekadensi pemikiran dan kelalaian dari nilai-nilai kemanusiaan, maka mereka akan merasa asing dan tidak mandiri.
Sekjen Forum Internasional Pendekatan Mazhab-mazhab Islam (FIPMI), Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri dalam konferensi tersebut, mengatakan, "Jika manusia telah jauh dari cahaya iman dan menganggap nilai-nilai semu sebagai hal yang mutlak, maka ia seperti telah tertidur pulas dan tak sadarkan diri. Begitu juga, ketika seseorang meyakini nilai-nilai relatif, maka ia telah kehilangan kesadaran dan stagnan dan bahkan menganggap nilai-nilai relatif itu lebih tinggi kedudukannya dari nilai-nilai mutlak."
Ayatullah Taskhiri menilai kondisi itu semacam penyakit dan mengatakan bahwa setiap tindakan kriminal yang terjadi sepanjang sejarah terkait erat dengan hawa nafsu dan kelalaian. Manusia dalam kondisi seperti itu dapat disebut mati. Allah Swt mengutus para Nabi as untuk menyelematkan manusia dari kelalaian dan menyadarkan mereka. Para pemimpin agama juga bertugas untuk menyelamatkan manusia dari faktor-faktor yang mendorong terjadinya kejahatan dan kriminalitas.
Parapemimpin agama dan orang-orang bijak memiliki peran sifnifikan dalam menghidupkan pemikiran dan nilai-nilai religius serta kebangkitan akal. Dapat dikatakan bahwa usaha dan perjuangan para pemikir telah menciptakan peluang bagi lahirnya Kebangkitan Islam pada masa sekarang. Salah satu hasil gemilang perjuangan itu adalah kemenangan Revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Kemenangan ini telah meningkatkan kepecayaan Muslim terhadap kekuatan kepemimpinan dalam Islam. Mereka percaya bahwa jika pemikiran dan tindakan didasari pada ajaran-ajaran Islam, maka era keterpurukan akan berakhir dan kemenangan akan diraih.
Kebanyakan pengamat politik meyakini bahwa kemenangan Revolusi Islam telah melahirkan kembali Kebangkitan Islam. Agama suci ini lahir dengan semangat baru dan jauh dari kerangka kepartaian dan gerakan-gerakan politik yang sempit. Republik Islam Iran selain memainkan peran penting dalam mengarahkan kebangkitan dan menghidupkan pemikiran Islam, juga aktif melawan gerakan-gerakan menyimpang dan mengambil langkah-langkah efektif. Sejauh ini, Iran telah menggelar berbagai konferensi dan seminar untuk mengkaji pemikiran para ilmuwan dunia guna memperkaya pandangan-pandangannya.
Ketua Lembaga Budaya dan Hubungan Islam Iran, Doktor Mohammad Khurram Shad mengumumkan bahwa konferensi itu bertujuan untuk mendekatkan pemikiran dan dialog dalam nuansa Kebangkitan Islam dan kebangkitan dunia dengan berpijak pada unsur-unsur agama. Menurutnya, tema konferensi tersebut menekankan pada kebangkitan universal. Dari segi geografi, gerakan-gerakan global tentu saja lebih luas dari wilayah Kebangkitan Islam dan dapat berperan efektif untuk meredam radikalisme agama serta menciptakan kesepahaman nyata dan berkelanjutan di antara para pemeluk agama.
Khurram Shad seraya menilai kebangkitan global adalah kembali kepada agama, mengatakan agama adalah sebuah realita yang melampaui sejarah, budaya, zaman, dan tempat. Isu utama yang menjadi fokus kebangkitan kontemporer adalah kembali kepada Tuhan dan nilai-nilai Ilahi. Ini adalah sesuatu yang diperintahkan oleh ayat-ayat al-Quran kepada manusia yaitu, menghambakan diri kepada Tuhan, menjauhi penghambaan kepada selain-Nya, mensucikan diri, dan mematahkan rantai-rantai perbudakan yang membelenggu umat manusia. Risalah seluruh Nabi as adalah menyeru untuk menyembah Tuhan dan tidak tunduk pada tiran.
Sementara itu, peserta dari Amerika Serikat dalam pidatonya, menilai rasa saling percaya dan sikap menghormati sebagai kebutuhan dialog antar-agama agar berjalan sukses. Charles Randall Paulus, Presiden Yayasan Diplomasi Antar Agama, yang berbasis di AS menggarisbawahi keterbukaan pikiran untuk menerima kritik yang jujur sebagai bagianpenting dari dialog antar-agama. Ditambahkannya, "Visi kami adalah untuk menciptakan persahabatan antara pengikut agama yang berbeda dan untuk mewujudkan kepercayaan antara kelompok yang berseberangan."
Randall Paulus berkata, "Setiap interaksi manusia memiliki unsur keinginan bahwa orang lain menanggapi Anda dengan cara yang baru. Persuasi ini mungkin berpusat pada kebenaran pandangan keagamaan seseorang." Ketika berbicara tentang dakwah, Randall Paulus menuturkan, dakwah adalah deskripsi yang jujur dari keyakinan terdalam Anda, yang Anda sampaikan kepada orang lain.
Deklarasi konferensi itu menyebutkan bahwa kebangkitan sosial yang terjadi hari ini di berbagai negara mengindikasikan perubahan mendasar dalam kecenderungan dan tuntutan manusia modern di bidang politik, sosial, dan ekonomi. Peserta konferensi juga menilai adanya keselarasan antara gerakan-gerakan kebangkitan kontemporer dan tujuan-tujuan ajaran agama seperti, keadilan, kemuliaan manusia, dan perang melawan penindasan. Pertemuan tersebut menyeru para pemimpin agama, pemikir, dan pemeluk agama untuk melaksanakan tanggung jawabnya dan mengadopsi nilai-nilai spiritual untuk diterapkan dalam kehidupan sosial dan individual. (IRIB Indonesia/IRIB)
Hak-Hak Perempuan dalam Prespektif Syia
Perempuan sepanjang sejarah menjadi salah satu pilar paling penting bagi berdirinya tonggak keluarga dan juga masyarakat. Namun lembaran sejarah menunjukkan kepada kita bahwa perempuan acapkali menjadi korban, mereka mengalami berbagai tekanan dan penderitaan bertubi-tubi. Hingga kini, kita menemukan realitas pahit yang menyesakkan dada tentang kondisi perempuan di era modern. Kini, perempuan menjadi komoditas industri, di saat kaum feminis dengan lantang menyuarakan kesetaraan gender.
Seiring perkembangan sains dan teknologi yang begitu pesat, perempuan masih belum mendapatkan hak-hak perempuan di berbagai bidang. Tampaknya banyak faktor yang menyebabkan demikian. Secara umum terdapat dua faktor yaitu faktor natural dan faktor sosial. Namun ada juga yang meyakini faktor budaya sebagai pemicunya.
Dewasa ini kondisi budaya dan sosial merupakan faktor penting yang mempengaruhi masalah perempuan. Bila dikaji lebih jauh, terdapat berbagai teori mengenai hak-hak perempuan yang terkadang saling bertentangan. Misalnya, Feminisme memiliki pandangan ekstrim tentang hak-hak perempuan. Kaum Feminis menyuarakan isu kesetaraan gender. Untuk mewujudkannya itu, mereka menuntut perubahan struktur masyarakat. Perubahan struktural tersebut melabrak seluruh ketentuan agama, dan norma-norma budaya dan sosial masyarakat. Tanpa mengindahkan karakteristik khusus yang dimiliki perempuan dan laki-laki, Feminisme menyerukan persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.
Tampaknya, terdapat perbedaan pendapat di antara para ilmuwan. Sebagian pemikir Feminis berpendapat bahwa tidak ada perbedaan apapun antara lelaki dan perempuan selain perbedaan biologis. Menurut mereka, kejiwaan dan perilaku lelaki dan perempuan terbentuk berdasarkan lingkungan dan tak ada kaitannya dengan masalah biologis.
Sebaliknya, kebanyakan psikolog menyatakan adanya perbedaan mendasar dalam kejiwaan lelaki dan perempuan. Profesor Rick, seorang psikolog Amerika berkata: "Dunia lelaki dan dunia perempuan secara total benar-benar berbeda. Lelaki dengan karakteristik fisik dan psikologisnya berbeda dengan perempuan dalam merespon dan menyikapi berbagai peristiwa dalam kehidupan. Lelaki dan perempuan berdasarkan tuntutan gendernya tidak berprilaku sama. Tepatnya mereka seperti dua bintang yang berputar di dua jalur yang berbeda. Ya, mereka dapat saling mengerti dan memahami satu sama lain. Namun mereka jelas tidak sama.
Al-Quran memiliki prinsip tersendiri mengenai struktur sosial masyarakat. Secara natural, laki-laki dan perempuan memiliki persamaan dan juga perbedaan. Secara substansial, dari sisi tujuan penciptaan pada dasarnya perempuan dan laki-laki itu sama yaitu untuk beribadah kepada Allah swt. Dalam Islam diakui bahwa lelaki dan perempuan memiliki satu hakikat yang sama dan tidak ada berbedaan antara keduanya.
Perbedaan fisik dan lainnya pada lelaki dan perempuan bukan perbedaan esensial. Al-Qur'an menyatakan bahwa tujuan diciptakannya manusia baik lelaki maupun perempuan adalah beribadah kepada-Nya. Ia berfirman: "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS. Al-Dzaariyaat [51]:56)
Dalam pandangan al-Quran, peran perempuan di ranah sosial dan ekonomi harus sesuai dengan fitrah penciptaanya. Islam memandang perempuan sebagaimana laki-laki memiliki kedudukan istimewa di tengah masyarakat. Agama ilahi ini tidak pernah melarang perempuan menjalankan aktivitas sosial.
Al-Quran menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama sebagaimana dijelaskan dalam surat at-taubah ayat 71, "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Ayat ini menjelaskan bahwa perempuan juga memiliki tanggung jawab sosial yang besar. Dengan demikian, perempuan pun memiliki tanggung jawab di bidang amr maruf dan nahi munkar.
Sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah Saw juga menerima baiat dari perempuan. Fakta ini menunjukkan bahwa kaum muslimah sejak dahulu kala memainkan peran penting di tengah masyarakat. Pada hari Ghadir, ketika Rasulullah Saw menjadikan Imam Ali sebagai walinya, para sahabat termasuk kaum perempuan juga berbaiat kepada Imam Ali.
Lembaran sejarah juga menunjukkan peran signifikan perempuan di ranah sosial politik sejak hijrah dari Mekah ke Madinah. Bersama Rasulullah Saw mereka berjuang membela agama Islam. Dalam sejarah ada tokoh-tokoh Muslimah sahabat Rasulullah yang rela mengorbankan nyawanya demi tegaknya agama Islam seperti Summayah.
Sejarah Islam juga dengan terang benderang menjelaskan kehidupan wanita paling mulia di dunia, yaitu Sayidah Fatimah as. Kehidupannya merupakan model terbaik bagi kaum wanita. Selain menjalankan peran terbaiknya dalam keluarga, pendidikan anak-anaknya dan ibadah, Sayidah Fatimah juga menyampaikan kebenaran secara berani dalam khutbahnya yang sangat terkenal.(IRIB Indonesia)
Asimilasi Seni Iran dan Mazhab Syiah
29-30 April 2012, Tehran menjadi tuan rumah Konferensi Seni dan Peradaban Syiah. Di konferensi tersebut, para peneliti dan cendikiawan menyerahkan karya mereka ke panitia. Peneliti dan ilmuwan Iran terkenal seperti Muhamad Ali Rajabi, Iraj Naimai, Mahnaz Shayestefar, Ismail Bani Ardalan, Hasan Bolkhari dan Zohreh Roh Far menyerahkan penelitian mereka terkait seni dan peradaban Syiah. Sejumah cendikiawan ini di konferensi tersebut berhasil meraih penghargaan.
Di Konferensi Seni dan Peradaban Syiah dibahas ideologi Syiah dan pengaruhnya terhadap budaya serta karya seni dalam beberapa abad ini. Selain itu, terbentuknya pemerintahan Islam di Iran dan pengaruh peradaban Syiah terhadap seni serta puisi khususnya arsitek. Isu-isu ini menjadi agenda pembicaraan di konferensi Tehran. Kini kami akan mengupas berbagai contoh dari ideologi Syiah di Seni Islam.
Ketika Islam berkembang, sejatinya sebuah peradaban yang kaya tengah tersebar. Dasar-dasar agama Islam bersumber dari ideologi dan keyakinan serta peradaban. Meski Islam tersebar di berbagai wilayah dunia, namun peradaban ini tetap murni bersumber pada ajaran Islam. Seni Islam yang muncul di bawah ajaran suci agama ini mulai dari India, Spanyol dan Andalusia meski di luarnya beragam, namun memiliki esensi satu.
Proses terbentuknya pemerintahan independen di abad-abad pertama Hijriah, membuka kesempatan bagi berkembangnya sebuah ideologi mazhab tertentu termasuk Syiah serta mendapat dukungan dari pemerintah. Pembahasan seperti peristiwa Asyura menyebabkan munculnya seni serta membantu tersebarnya tragedi yang menimpa Imam Husein as, cucu Rasulullah Saw. Oleh karena itu, seni Islam yang dipengaruhi oleh budaya Syiah terkadang juga berpengaruh pada seluruh budaya serta peradaban Islam dan terkadang memunculkan seni tersendiri.
Saat merunut sejarah munculnya seni ini, pertama-tama kita harus membahas pemerintahan di Iran setelah masuknya Islam ke negara ini. Meski setelah Bani Safavi berkuasa, mazhab resmi di Iran bukan Syiah, namun saat itu populasi pengikut Syiah di negara ini semakin meningkat. Ketika Dinasti Timurian di abad 15 Hijriah berkuasa, komunitas Syiah banyak memberi warna di pemerintahan meski dinasti ini menganut mazhab Sunni. Hal ini dapat ditemukan di berbagai karya seni saat itu seperti karya lukis, kaligrafi dan prasasti yang memiliki unsur ideologi Syiah.
Proses pergantian mazhab berlangsung hingga dinasti Safaviah berkuasa di permulaan abad ke 16 Hijriah, selanjutnya mazhab resmi di Iran adalah Syiah. Dengan demikian saat itu, karya budaya dan seni di Iran sangat kental dengan ideologi Syiah.
Manuskrip kuno, bangunan bersejarah dan industri kesenian termasuk karya terpenting seni dan mendapat perhatian besar para seniman. Karya-karya ini juga menampilkan keyakinan para seniman tersebut. Sejak era Timurian dan Safavi banyak ditemukan manuskrip yang menjelaskan kepribadian Nabi Muhamad, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husein. Pusat-pusat seni saat itu ramai memproduksi buku-buku yang menggambarkan sosok Rasulullah beserta Ahlul Kisa. Selain itu, ditemukan juga manuskrip yang ditulis abad ke 11 Hijriah yang memuat gambar khayalan tentang para Imam Syiah di samping teks-teks keagamaan seperti hadis atau buku sastra.
Salah satu karya penting dalam hal ini adalah buku terjemah kitab Tarikh Tabari yang dicetak di akhir abad ke tujuh Hijriah (13 Masehi) yang menggambarkan kehidupan Nabi Muhammad dengan sangat indah. Poin penting di buku ini adalah peran Imam Ali as di berbagai peristiwa, jihad dan resistensi melawan kaum musyrik.
Menyimak perkembangan kwalitas seni Iran khususnya terkait interaksi antara mazhab dan seni, arsitek dalam hal ini sangat menonjol. Dinasti Timurian dan Safavi merupakan penguasa yang melestarikan kebudayaan Iran setelah Islam masuk ke negara ini. Selama kedua dinasti ini memerintah, seni arsitek mengalami puncak kejayaan. Terlepas dari pembangunan berbagai bangunan dengan beragam fungsinya, ornamen di dalam bangunan menunjukkan ideologi para seniman saat itu condong ke Syiah serta kecintaannya terhadap Ahlul Bait.
Di Dunia Islam, seni kaligrafi memiliki posisi sangat penting, khususnya berkaitan dengan al-Quran. Hampir di seluruh bangunan Islam selalu dihiasi dengan kaligrafi ayat-ayat al-Quran, hadis atau doa. Kaligrafi ini banyak ditemukan di pintu masuk bangunan, menara, kubah, mihrab atau pojok-pojok bangunan. Kaligrafi ini kebanyakan menggunakan keramik yang beraneka ragam warnanya serta menggunakan khat Kufi.
Selain ayat-ayat al-Quran, hadis dari nabi dan para Imam Maksum juga banyak digunakan para seniman untuk menghiasai karya mereka. Dalil kepemimpinan Imam Ali as setelah wafatnya Rasulullah juga banyak ditemukan di seni kaligrafi mereka. Di antaranya adalah kalimat علیا و لی الله yang marak di era pemerintahan Safavi. Masjid-masjid di kota Isfahan, Yazd dan Herat yang hingga kini masih tersisa menjadi saksi atas hal ini. Sepertinya seniman yang meninggalkan karya ini berusaha menjelaskan kedudukan Imam Ali as sebagai hamba terkasih Allah dan berulang kali mendapat pujian-Nya.
Ayat dan riwayat ini menunjukkan realita bahwa ketinggian ilmu dan pengetahuan Imam Ali tentang Islam merupakan sumber ilmu dan menjadi perhatian para seniman. Rasulullah Saw dalam sebuah hadisnya bersabda, "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya." Selain itu, masih terdapat karya seni lainnya yang banyak ditemukan di bangunan-bangunan Iran. Nama Allah yang disebutkan bersama-sama nama Ahlul Kisa, menjadi perhatian besar para seniman kala itu. Sehingga sampai saat ini kita masih menemukan peninggalan besar mereka. Kaligrafi yang bertuliskan nama Allah, Muhamad, Ali, Fatimah, Hasan dan Husein banyak menghiasi bangunan di era Safavi.
Masjid Sheikh Lutfullah di Isfahan merupakan salah satu contoh kejayaan seni Islam Syiah. Di sekitar mihrab masjid ini nama dua belas Imam Syiah dari keturunan Rasulullah ditulis dengan indah. Selain itu, masjid ini masih menyimpan berbagai seni kaligrafi lainnya. Berbagai kaligrafi ayat, hadis dan doa dari para Imam maksum di era Safavi ditulis oleh seniman terkenal, Ali Reza Abbasi. Prasasti dan kaligrafi yang ditulis tahun 1025 H (1616 M) ini bukan hanya menambah relijius masjid ini, namun juga menampilkan asas ketuhanan di Islam dan posisi penting para pemimpin agama. Prasasti ini sekali lagi menekankan bahwa para Imam Syiah merupakan pengganti Rasulullah dan mereka memiliki ilmu yang tinggi.
Karya seni lainnya yang menunjukkan ideologi Syiah di Iran adalah karya kerajinan tangan keramik dan ukiran dari logam serta kayu. Para pengrajin logam Iran di abad sembilan Hijriah (15 Masehi) sejatinya merefleksikan keyakinan atas ketuhanan. Ayat, hadis dan doa menjadi bahan utama ukiran para pengrajin ini. Bukti utama hal ini adalah ukiran di bagian atas mangkuk yang berisi doa dan shalawat kepada para Imam serta zikir یا محمد یا علی. Ayat al-Quran diukir dengan indah di bibir mangkuk dan sejumlah kalimat lain yang memuji Imam Ali as. Mangkuk seperti ini merupakan idaman rakyat Iran, Turki dan India saat itu. Masyarakat memiliki keyakinan bahwa air yang mereka minum dari mangkuk seperti ini memiliki khasiat untuk menyembuhkan penyakit.
Dengan demikian, karya seni bersejarah yang masih dapat ditemukan membuktikan babak baru dari sejarah Islam yang dimulai dari pemerintahan Safavi. Perubahan budaya di Iran dimulai ketika Dinasti Safavi memimpin dan menetapkan Syiah sebagai mazhab resmi. Oleh karena itu, penelitian terhadap seni Iran sejak era Safavi hingga kini tak lengkap tanpa memperhatikan peristiwa bersejarah ini.(IRIB Indonesia)
Manuver Nabi Besar 7 dan Kemampuan Pertahanan Iran
Pasukan Garda Revolusi Islam Revolusi Iran (Pasdaran) memulai manuver rudal terbaru, bersandi "Nabi Besar 7" di Iran tengah. Manuver ini bertujuan menguji kembali rudal terbaru tipe permukaan-ke-permukaan dan berlangsung selama tiga hari di provinsi Semnan Iran tengah.
Panglima Pasdaran Divisi Angkatan Udara Brigadir Jenderal Amir Ali Hajizadeh mengatakan, "Berbagai rudal jarak jauh, menengah dan jarak pendek akan menargetkan pangkalan udara simulasi militer transregional di utara gurun Semnan." Manuver dimulai Ahad (1/7). Dalam beberapa tahun terakhir, Iran telah menggapai prestasi besar di bidang pertahanan dan mencapai kemandirian dalam produksi perangkat keras militer penting dan sistem pertahanan.
Pada bulan Februari, Pasdaran menggelar latihan militer bersandi ValFajar setelah pasukan Angkatan Udara mengakhiri manuver empat harinya bersandi Tharallah, di dekat kawasan strategis Teluk Persia. Adapun pada bulan Februari, dalam manuver bersandi Hamiyan-e Velayat, pasukan Pasdaran mensimulasikan serangan komando taktis dan pertempuran udara, operasi ofensif dan defensif udara serta melancarkan operasi heliborne dan anti-heliborne.
Pada bulan Januari, Angkatan Darat Pasdaran menggulirkan manuver Shohaday-e Vahdat di Provinsi Khorasan Razavi. Namun pada saat yang sama, Republik Islam Iran berulang kali menekankan bahwa kekuatan militernya semata-mata berdasarkan pada doktrin defensif dan pencegahan, oleh karena itu, kekuatan militer Iran bukan merupakan ancaman bagi negara lain.
Puluhan rudal dari berbagai jenis, jarak jauh, dekat dan menengah milik Pasukan Garda Revolusi Islam Iran (Pasdaran), ditembakkan menuju satu target. Manuver Nabi Besar 7 telah memasuki tahap utama dan divisi udara Pasdaran menembakkan puluhan rudal jarak jauh, dekat, dan menengahnya menuju satu target, dari berbagai wilayah di Iran.Rudal-rudal itu termasuk Shahab 1,2 dan 3, Fateh, Qeyam, serta rudal Zelzal. Manuver tersebut mensimulasikan target pangkalan udara di luar negeri.
Komandan IRGC, Brigjen Amir Ali Hajizadeh pada Ahad (1/7) mengatakan, manuver dengan sandi "Nabi Besar 7 " dijadwalkan akan dimulai pada Senin dan berlangsung selama tiga hari. Ia menambahkan, rudal jarak jauh, menengah, dan dekat yang ditempatkan di berbagai lokasi di seluruh negeri akan menargetkan simulasi pangkalan udara pasukan trans-regional di utara Gurun Semnan. "Dengan menembakkan rudal ke basis-basis ini, komandan kami akan menilai ketepatan dan efektivitas hulu ledak yang terpasang pada rudal," tandasnya.
Lebih lanjut, Komandan IRGC mengatakan bahwa latihan tersebut membawa pesan bagi negara-negara regional dan trans-regional bahwa Republik Islam bertekad akan melawan penindasan mereka dan memberikan jawaban yang menghancurkan atas setiap tindakan yang berpotensi merusak. Menurut Hajizadeh, jet tempur dan pesawat pembom tak berawak IRGC akan membombardir target yang telah ditentukan pada hari terakhir latihan.
Di sisi lain, Mehdi Davatgari, anggota parlemen Iran menilai manuver militer terbaru oleh Pasukan Garda Revolusi Islam Iran (Pasdaran) telah menampilkan kekuatan Republik Islam dalam menghadapi ancaman dan sanksi yang telah bergulir selama 33 tahun terakhir. "Revolusi Islam telah berhasil meningkatkan kekuatannya setiap hari dengan mengandalkan kemampuan lokal," kata anggota Komite Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri Parlemen Iran (Majlis), Mehdi Davatgari.
Dia menambahkan bahwa manuver rudal Pasdaran bersandi Nabi Besar 7, menjamin keamanan Iran berdasarkan kemampuan dan kekuatan nasional.
Manuver tersebut telah dipentaskan untuk mempertahankan kesiapan Angkatan Bersenjata Iran menghadapi ancaman musuh dan kemungkinan serangan serta dalam melindungi pemerintahan Islam.
Manuver Rudal Nabi Besar 7 sekaligus mengandung pesan perdamaian dan persahabatan Republik Islam dengan negara-negara tetangganya. Anggota Majlis ini juga menekankan bahwa jika musuh berniat untuk menyerang Iran, maka mereka harus tahu bahwa respon bangsa dan Angkatan Bersenjata Iran akan cepat dan destruktif.
Adapun Wakil Panglima Pasukan Garda Revolusi Islam Iran (Pasdaran) menilai manuver Nabi Besar 7 sebagai reaksi terhadap "politik-politik kurang ajar" sebagian pihak yang menyatakan bahwa opsi serangan militer sudah disiapkan di atas meja.
Menurut Brigjen Hossein Salami, tujuan utama pelaksanaan manuver tersebut adalah membuktikan kemampuan Iran dalam mempertahankan nilai dan prinsip-prinsipnya. Dikatakannya, "Bangsa kami memiliki kemampuan tinggi di bidang pertahanan dan kemampuan tersebut kami tunjukkan secara simbolik kepada dunia dengan peluncuran rudal-rudal."
Salami juga menekankan bahwa manuver tersebut adalah dalam rangka mereaksi kelancangan politik sejumlah pihak terhadap bangsa Iran dengan mengatakan bahwa opsi militer telah disiapkan untuk Republik Islam. Menurutnya, manuver kali ini juga menguji keakuratan, koordinasi, dan berbagai masalah teknis lainnya.
Poin penting terkait meningkatnya kemampuan Republik Islam Iran di bidang perahanan dan militer adalah kemampuan tersebut diraih dalam kondisi disanksi. Saat ini Iran menjadi negara produsen berbagai jenis roket dan rudal dengan kemampuan dalam negeri. Dengan bersandar pada sumber daya manusia (SDM) dalam negeri, Iran bahkan mampu memproduksi sistem anti rudal dan musuh pun akan berfikir dua kali untuk menyerang negara ini.
Sementara itu, Menteri Pertahanan Iran Brigadir Jenderal Ahmad Vahidi mengkonfirmasikan produksi massal roket anti-lapis baja terbaru yang dipandu dengan laser dan menilainya sebagai salah satu roket paling mutakhir. "Roket Dehlavieh adalah salah satu roket paling canggih anti-lapis baja yang dirancang untuk menghancurkan berbagai tank canggih yang dilapisi dengan baja reaktif," kata Vahidi Sabtu (7/7) di sebuah upacara peresmian produksi massal roket tersebut.
Dia menekankan bahwa "sistem panduan khusus" dalam Dehlavieh itu dirancang sedemikian rupa sehingga mampu bertahan dalam segala bentuk perang elektronik. "Hulu ledak dan mesin peluncuran roket, selain didesain untuk mobile juga dapat diluncurkan dari bahu yang membuat roket Dehlavieh menjadi senjata strategis dalam perang anti-tank," kata Menteri Pertahanan Iran.
Dehlavieh adalah nama suatu daerah di selatan Provinsi Khozestan di mana Menteri Pertahanan Republik Islam pertama Dr Mostafa Chamran gugur syahid dalam membimbing pasukannya melawan unit lapis pasukan agresor rezim Baath Irak dalam perang tahun 1980-an.
Kesuksesan ilmuwan Iran di Manuver Nabi Besar 7, meski negara ini dijatuhi sanksi menuai reaksi luas di media internasional. Media tersebut menyebut manuver ini sebagai bentuk kemampuan Iran mempertahankan diri dari setiap ancaman. Associated Press, The Guardian cetakan Inggris, dan Koran The Christian Science Monitor cetakan AS serta media massa regional di laporannya mengakui kemampuan pertahanan Iran semakin kokoh dan menilai Tehran dengan kemampuannya ini mampu menghancurkan pangkalan militer Amerika di kawasan serta membumihanguskan pangkalan militer Rezim Zionis Israel di Palestina pendudukan dalam waktu singkat setelah rezim ilegal ini berani menyerang Iran.
Kesuksesan besar Iran di bidang pertahanan dan militer membuat musuh-musuh negara ini berfikir dua kali untuk menyerang Tehran. Oleh karena itu, kita saksikan pernyataan para petinggi Washington dan Tel Aviv saling bertentangan terkait opsi militer terhadap Tehran. Dalam hal ini sangat transparan terlihat kebingungan musuh Iran dan ketidakmampuan mereka meraba kemampuan pertahanan Tehran serta reaksi militer negara ini dalam menghadapi setiap ancaman.(IRIB Indonesia)
Hujan di Taman Penyair
"Dan Ayatullah Khomeini pun menulis puisi" Begitulah, sebaris kalimat yang tertulis di sebuah buku travelling terkemuka tentang Iran.
Puisi memang telah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari tradisi masyarakat Persia. Bila bangsa Italia besar dengan opera, maka bangsa Iran tumbuh bersama syair. Hampir setiap rumah di Iran, menyimpan satu buku puisi. Ibu-ibu rumah tangga sederhana saja sudah terbiasa melafalkan baris-baris syair. Apalagi para dai dan presenter, tidak pernah ketinggalan menyisipkan larik-larik puisi.
Sebuah keburuntungan bagi penyair-penyair Iran yang selalu mendapat sanjungan. Nama-nama mereka diabadikan menjadi jalan-jalan utama, layaknya pahlawan nasional. Bahkan setelah kematiannya, makam mereka dipayungi kubah serta dipagari taman-taman indah, seperti yang kujumpai hari itu di kompleks pemakaman Hafiz.
Hafiziyeh, tanah yang membentang sekitar dua hektar di sebelah utara kota Shiraz. Saat kumasuki gerbang utama, pohon-pohon cemara kecil tampak rapi berjajar, seakan menyambut hangat para tamu yang datang. Dari kejauhan terlihat tangga-tangga menuju sebuah hall terbuka. Bangunan yang terdiri dari 20 tiang-tiang itu, membelah area Hafiziyeh dari gerbang menuju ke pusara. Dari atas hall inilah, dapat kulihat tempat makam Hafiz, sekaligus lalu lalang pengunjung dari arah gerbang.
Hujan di penghujung musim dingin baru saja mengguyur kota Shiraz saat aku tiba di Hafiziyah. Namun, pelataran kompleks tetap dipenuhi pengunjung yang akan menziarahi makam penyair kesayangan mereka. Tua muda berjalan dalam balutan baju hangat. Ada pasangan sejoli, keluarga, bahkan anak-anak.
Di antara penyair lainnya, Hafiz yang bernama kecil Syamsuddin Muhammad, memang mendapat tempat istimewa di tengah masyarakat Iran. Bahkan, syair-syairnya sering digunakan sebagai ‘petunjuk' atau faalnameh. Misalnya, ketika seseorang ragu terhadap sebuah keputusan, ia akan membuka buku Divan Hafiz secara acak. Di buku tersebut, terdapat penjelasan berupa anjuran atau larangan. Aku sendiri pernah mencobanya beberapa kali, kebanyakan hasilnya lebih bersifat motivasi dan nasihat positif. Melalui syair-syairnya, Hafiz seolah ingin memberikan semangat pada setiap pembaca. Itulah sebabnya, aku sangat mendamba bisa bertandang ke tempat peristirahatanya.
Dan kini bahagia rasanya. Setelah bertahun-tahun menanti, akhirnya aku bisa langsung melihat dari dekat pusara Hafiz dalam sebuah taman yang megah. Kompleks taman itu dilengkapi dengan perpustakaan, pusat riset, kedai teh, dan ruangan-ruangan lainnya yang biasa digunakan untuk diskusi puisi atau kelas sastra. Setiap tahunnya, para penyair dari berbagai belahan dunia berkumpul di taman ini untuk mengenang hari kepergiannya. Mereka membacakan kembali syair-syair sang pujangga.
Tiba-tiba hati kecilku usil berceloteh "Sedang apa gerangan sang penyair? Apakah ia sekarang bahagia?" Jika menilik perjalanan hidupnya, Hafiz bukan termasuk orang yang begitu buruntung. Tidak seperti pendahulunya, Sa'adi yang banyak mengembara ke berbagai negara di Asia dan Eropa, Hafiz sepanjang hidupnya berada di kota kelahirannya. Dia juga tidak pernah menerbitkan antologi puisi, Naskah-naskahnya baru diterbitkan setelah kematiannya. Bahkan, semasa kecil, Hafiz yang yatim, harus meninggalkan bangku sekolah serta bekerja di tukang kain dan roti untuk menafkahi keluarga.
Namun, lihatlah hari ini! Tempat pemakaman Hafiz tak pernah sepi dari pengunjung, bahkan di musim dingin, di tengah guyuran hujan. Hawa yang menusuk inipun tak mampu mencegahku untuk segera bertemu sang penyair. Dalam balutan mantel cokelat tebal, kunaiki tangga-tangga menuju pavilion kecil terbuka, tempat pusara Hafiz berada.
Makam Hafiz dibangun satu meter lebih tinggi dari permukaan tanah, dinaungi kubah berbentuk topi darwis. Bagian dalam kubah dihiasi ubin keramik bercorak irfani. Biru turquois melambangkan langit, merah keunguan melambangkan anggur atau kemanisan abadi, sedangkan hitam putih, melambangkan malam dan siang, serta warna coklat melambangkan tanah. Sungguh perpaduan yang syahdu.
Dua perempuan muda berdiri di tepi makam sambil melantunkan syair-syair Hafiz. Mendengarkan puisi di area makam sang pujangga dan di tengah rintik hujan, memang terasa berbeda. Seakan jiwaku ikut terbang bersama laik-larik puisi.
"Apakah anda sekarang bahagia atau tidak, hanya Allah yang tahu. Tapi, apa yang membuat anda begitu dicinta dan puisi anda sangat dipuja?" Bisikku sesaat setelah menyentuhkan tangan ke pusara, mengikuti tradisi masyarakat Iran.
Sambil menerka-nerka jawaban, pandangannku beredar menyapu area di sekitar makam. Tanah yang basah, daun-daun yang menjuntai tertimpa air, langit yang mendung, serta puluhan pengunjung yang datang dan pergi. Dua pemuda bule terlihat sibuk mengambil gambar makam Hafiz dari berbagai sudut, seakan tidak ingin melewatkan moment yang begitu penting. Hafiz memang tidak hanya dicintai di Timur, namun namanya juga amat dikenal di belahan Barat sana.
Sejak pertengahan abad ke 18, Goethe, penyair legendaris Jerman amat menggandrungi puisi-puisi Hafiz. Karena begitu tergeraknya oleh sang pujangga, ia menempatkan Hafiz jauh lebih tinggi dari siapapun di dunia sastra. Bukunya yang berjudul West-Eastern Divan, sangat kental dengan nuansa Divan Hafiz, bahkan beberapa judulnya pun menggunakan bahasa Persia, seperti: Hafis Nameh (surat untuk Hafiz) dan Uschk Nameh (surat cinta).
Syair-syair Hafiz merembas dalam diri Goethe dan sedikit banyak mempengaruhi cara pandangnya terhadap dunia Timur dan Islam. Goethe pernah menulis puisi berjudul Hegire (Hijrah) dan prosa tentang Nabi Muhammad, juga sebuah sajak Mahomet's Gesang (Nyanyian Muhammad): Di bawah jejaknya, kembang-kembang dimunculkan dan nafasnya memberikan hayat atas padang-padang.
Sedang dalam puisi Hijrah, Goethe mengajak Barat untuk belajar spiritualitas dan kearifan Timur agar terlepas dari jeratan material. Sayangnya, yang terjadi hari ini justru sebaliknya. Banyak para pemuda Timur yang tercengang dan silau dengan budaya Barat, seolah dari sanalah segala sumber kemakmuran. Sehingga Timur hanya pantas menjiplak ilmu dan teknologi Barat. Lebih parah lagi, kondisi ini sudah mengakar dalam keseharian mereka dari cara bepakaian, gaya hidup sampai pola makan. Padahal Goethe yang besar dalam rahim Barat sangat ingin meniru Hafiz: "Aku ingin mencintai seperti Anda, minum seperti Anda. Ini akan menjadi kebanggaan hidupku"
"Ah…Siapa sangka, penyair yang sekarang terbaring itu, ternyata memiliki pengaruh luar biasa dan mendunia" Begitu gumanku saat akan meninggalkan sang pujangga.
Barangkali, karena kata-kata Hafiz juga terinspirasi dari Qur'an yang merupakan petunjuk setiap umat. Sejak kecil, Hafiz sudah mencintai kitab Qur'an. Bahkan, julukan ‘Hafiz' pun disandangnya, lantaran ia tidak hanya menghafal, tapi juga memahami ayat-ayat al-Qur'an. Dalam salah satu baitnya, Hafiz menulis:
Ah…jangan berduka! Tuhan telah mendengar
Jika derita datang dan dalam malam kau karam
Hafiz, ambil Quran dan bacalah
Lagu maha abadi, jangan berduka!
Hujan mulai mereda. Namun, di atas sana mendung masih bergelayut, siap menumpahkan kembali airnya. Air yang akan menggenangi kolam-kolam mungil di taman, menyirami cemara-cemara, pohon jeruk, dan terus merembas ke dalam tanah, menyegarkan kembali nafas kehidupan makhluk-makhluk di bawah sana. Seperti anugrah hujan yang tak pernah putus, langit pun selalu menebarkan berkahnya melalui lisan-lisan bijaksana. Sehingga pesan-pesanNya akan terus menggema di alam raya.
Dan, bisa jadi syair-syair Hafiz menjadi abadi karena bersandar pada firman-firman-Nya. Seperti pesan Ahmadinejad dalam pembukaan kongres penyair Iran dan Dunia tahun 2010: "Dengan menautkan bahasa kepada Tuhan, kata-kata jadi abadi."(IRIB Indonesia/majalah Ithrah, edisi Juni 2012/PH)
Menggali Pelajaran dari Madrasah Imam Sajjad as
Imam Sajjad, putra Imam Husein as lahir di kota Madinah pada tahun 36 Hq. Masa-masa penting perjalanan hidup beliau dimulai semenjak masa keimamahannya pasca gugur syahidnya Imam Husein as di padang Karbala. Saat peristiwa pembantaian keluarga Nabi saw di padang Karbala terjadi, Imam Sajjad tidak diperkenankan maju ke medan laga lantaran menderita sakit berat. Namun hal itu justru menyimpan hikmah besar sehingga beliau dapat bertahan hidup dan memimpin umat di masa-masa krisis pasca kesyahidan Imam Husein as.
Masa kepemimpinan Imam Sajjad berlangsung selama 34 tahun. Salah satu tugas besar yang diemban beliau adalah menyebarkan misi agung kebangkitan Asyura. Di samping itu, dakwah Islam yang dilakukannya juga meliputi banyak hal. Selain menyebarkan akidah Islam yang benar, Imam Sajjad juga mendidik para juru dakwah yang saleh dan bijak.
Tidak hanya itu saja, Imam Sajjad juga berjuang di ranah politik dalam menentang kezaliman dan membongkar kemunafikan pemerintahan Bani Umayyah. Untuk membentuk masyarakat islami, Imam Ali Zainal Abidin begitu giat mengupayakan diterapkannya gaya hidup yang bersandarkan pada moralitas al-Quran. Sebab sebagian besar persoalan yang terjadi di zamannya kala itu berakar dari kebobrokan moral para penguasa dan elemen penting masyarakat.
Salah satu strategi Imam Sajjad as adalah mentransfer pengetahuan agama lewat budaya doa dan munajat. Beliau as telah memaparkan sebagian besar maksud dan kehendaknya lewat bait-bait doa dan munajat yang menggugah hati. Kumpulan doa-doa beliau disatukan dalam kitab "Shahifah Sajjadiyah" yang merupakan harta karun pengetahuan dan hakikat agama. Kitab tersebut adalah kumpulan samudera pengetahuan Islam di bidang tauhid, akhlak, dan pendidikan yang telah mengundang perhatian banyak ulama.
Doa adalah media penghubung antara makhluk dengan penciptanya dan agama Islam sangat menganjurkan umatnya berdoa. Selain memiliki pengaruh spiritual luar biasa bagi manusia, doa juga dapat memberi pengaruh kepada seluruh dimensi keberadaan manusia mulai dari perilaku personal hingga sosial dan politik. Kontak dengan Allah Swt akan menjaga manusia dari gangguan dan kerusakan jiwa.
Imam Sajjad dikenal sebagai sosok yang sangat pengasih dan dermawan. Rumahnya selalu menjadi rujukan dan tempat pengaduan para fakir miskin untuk meminta bantuan. Suatu ketika, beliau melihat sekelompok orang penderita lepra yang dikucilkan oleh orang-orang di sekitarnya. Imam Sajjad pun lantas membawa mereka ke rumahnya dan menyambutnya dengan penuh kasih sayang.
Imam Sajjad as juga terkenal dengan sikapnya yang sangat tawadhu dan rendah hati. Meski ia adalah tokoh keluarga Nabi Saw yang terpandang, namun ia tak segan-segan hidup seperti layaknya pembantu. Suatu hari ia pernah menyamar menjadi orang biasa supaya bisa menjadi pembantu bagi rombongan jamaah haji. Rombongan haji tersebut datang dari daerah terpelosok sehingga tak mengenal siapa sebenarnya Imam Sajjad as.
Selama perjalanan menuju Mekah, Imam as bekerja melayani dan membantu para jamaah haji. Hingga kemudian rombongan itu berjumpa dengan musafir lain di tengah jalan. Musafir itu lantas bertanya, "Apakah kalian tidak mengenal siapa lelaki itu? Mengapa kalian pekerjakan sosok mulia seperti beliau sebagai pelayan?" Mereka menjawab, "Kami tidak mengenal siapa dia. Kami hanya tahu bahwa ia adalah pemuda yang sangat baik dan berwibawa". Musafir tadi lantas memperkenalkan bahwa pemuda mulia itu adalah Imam Sajjad, salah seorang cicit Rasulullah Saw.
Mendengar keterangan itu, seluruh rombongan haji pun menjadi menyesal dan meminta maaf kepada Imam as. Beliau pun lantas menjelaskan bahwa dirinya sengaja bergabung dengan rombongan haji yang tak dikenalnya itu untuk memperoleh kesempatan melayani para jamaah haji tanpa harus diketahui siapa sebenarnya beliau.
Kemuliaan akhlak dan perilaku Imam yang demikian bijak itu membuat siapapun mengagumi beliau. Sejarawan muslim terkenal, Ibnu Syahr Asyub, menuturkan, "Suatu ketika Imam Sajjad as menghadiri acara pertemuan yang digelar Khalifah Umayah, Umar bin Abdul Aziz. Saat Imam as meninggalkan pertemuan itu, Umar bin Abdul Aziz bertanya kepada orang-orang di sekitarnya dan berkata, ‘Siapakah orang yang paling mulia di sisi kalian? Semuanya berkata, "Anda wahai khalifah!" Namun ia balik menjawab, "Bukan sama sekali! Orang yang paling mulia adalah sosok yang baru saja meninggalkan pertemuan kita. Semua kalbu dibuat terpesona kepadanya, hingga siapapun ingin menjadi seperti dia."
Jiwa manusia sebagaimana raganya juga membutuhkan makanan. Untuk mencapai jenjang spiritual yang luhur, ruh memerlukan makanan berupa ilmu, iman, dan makrifat. Salah satu kebutuhan ruh manusia adalah berdoa dan menjalin hubungan permanen dengan Sang Pencipta. Imam Sajjad as dalam sebuah doa yang indah menyebut zikir dan mengingat Allah Swt sebagai penyebab ketenangan dan kebugaran jiwa. Imam as menyeru kepada Tuhan dengan berkata, "Wahai Tuhanku, hati dan relungku hidup dengan mengingat-Mu dan api kegelisahan hanya akan padam dengan bermunajat kepada-Mu."
Tentunya, hati yang menjadi persinggahan kasih sayang Tuhan, memiliki kemurnian dan cahaya tersendiri, dan pemiliknya akan terjaga dari kerusakan jiwa dan mental. Pada bagian lain doanya, Imam Sajjad as berkata, "Wahai Tuhanku, sampaikanlah shalawat dan salam kepada junjungan-Mu Nabi Muhammad Saw dan keluarganya dan jadikanlah keselamatan hati kami dalam mengingat keagungan-Mu." Dalam seluruh munajat dan doa Imam Sajjad as, pengharapan kepada Tuhan merupakan poin dominan yang patut direnungkan dan dicermati.
Pada dasarnya, Imam as mentransfer ajaran irfan ini secara tersirat dan halus. Allah Swt tidak akan pernah meninggalkan orang-orang yang menyerahkan hatinya kepada-Nya dan hidup sesuai dengan keridhaan-Nya. Dalam penggalan doanya, Imam Sajjad as berkata, "Wahai Tuhanku, aku menyeru-Mu sebelum menyeru selain-Mu, aku tidak menemukan selain-Mu dalam mengabulkan kebutuhanku. Dalam doaku, aku tidak akan menyertakan selain-Mu. Seruanku hanya kepada-Mu."
Ketika umat di zamannya terperosok dalam kegelapan moral dan kebejatan para penguasa zalim, Imam Sajjad berusaha memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk menyadarkan jiwa-jiwa yang terlelap. Beliau senantiasa mengecam dan mengutuk para pendukung penguasa zalim. Suatu hari Imam bertemu dengan seorang ulama terkenal di masa itu, lantas kepada sang ulama, Imam berkata, "Aku menyaksikan bagaimana engkau menempatkan dirimu sebagai sumbu roda penggiling gandum para pezalim sehingga mereka bisa berlaku zalim terhadap masyarakat dengan berpangku padamu".
Dalam lantunan doa-doanya, Imam Sajjad as juga menyelipkan pesan-pesan anti-kezaliman. Beliau dalam salah satu doanya menuturkan, "Ilahi ampunilah aku yang hanya bisa menyaksikan seorang yang teraniaya di depan mataku tanpa kuasa aku menolongnya. Maafkanlah aku lantaran tak mampu menebus hak orang mukmin yang mestinya aku tunaikan".
Mari kita menyimak beberapa kata bijak dari Imam Sajjad as. Beliau berkata, "Salah satu ciri dari makrifat dan tanda kesempurnaan agama seseorang adalah menghindari ucapan yang sia-sia, sedikit berdebat, dan selalu bersikap sabar dan santun".
Beliau juga menuturkan, "Berpikir adalah cermin yang memperlihatkan kepada manusia kebaikan dan keburukan dirinya". (IRIB Indonesia)
Sirikit Syah: Optimisme Kejayaan Islam Berhembus dari Tehran (Bagian Pertama)
Ribuan aktivis perempuan Muslim yang bergerak di bidang akademis, sosial, budaya dan politik dari berbagai negara dunia berkumpul di Tehran pada 10-11 Juli lalu. Dari Indonesia dari 19 orang delegasi yang sebagian besar para dosen dari berbagai perguruan tinggi di Tanah Air. Selama dua hari mereka bertukar pikiran mengenai kebangkitan Islam dan Perempuan.
"Kami bisa bertukar pikiran tentang persoalan dan solusi, membicarakan problem solving dari persoalan yang menghadang kita di depan," kata Sirikit Syah, salah seorang peserta dari Indonesia.
Bagi Ketua ICMI Jatim itu, konferensi kebangkitan Islam dan Perempuan yang di gelar kali ini menghembuskan nafas optimisme terutama bagi perempuan tentang kebangkitan Islam.
"Para perempuan ketika pulang ke negaranya masing-masing akan menyebarluaskan gagasan tentang perlunya keyakinan Islam akan bangkit dan tidak terpuruk lagi," tutur penulis, pengamat media, dan pendiri Lembaga Konsumen Media-Media Watch itu.
"Saya kira ini satu hal yang sangat saya dukung dari kebangkitan Islam, karena Islam pernah jaya di masa lalunya. Kini sudah waktunya Islam meraih kembali kejayaan itu, dan memang bagus sekali kita harus melibatkan perempuan," tegas jebolan Westminster University ini.
Selengkapnya simak wawancara eksklusif bagian pertama antara Purkon Hidayat dari IRIB Bahasa Indonesia dengan Sirikit Syah, mengenai Konferensi Kebangkitan Islam dan Perempuan berikut ini :
Bagaimana ibu memandang konferensi kebangkitan Islam ini ?
Saya sangat terkesan. Saya merasa mendapat kehormatan, keberuntungan, keberkahan bahwa saya termasuk di dalamnya. Dan mungkin juga karena saya dikenal sebagai penulis yang diharapkan akan menulis nantinya.
Saya senang bisa berada di sini, bisa melihat Iran bersama-sama sekitar 1000 perempuan Muslim dari sekitar 80 negara. Buat saya ini luar biasa. Pengalaman yang sangat luar biasa. Kami bisa bertukar pikiran tentang persoalan dan solusi, membicarakan problem solving dari persoalan yang menghadang kita di depan.
Saya kira ini satu hal yang sangat saya dukung dari kebangkitan Islam, karena Islam penah jaya di masa lalunya. Kini sudah waktunya Islam meraih kembali kejayaan itu, dan memang bagus sekali kita harus melibatkan perempuan.
Kira-kira apa harapan kedepan dari konferensi Kebangkitan Islam dan Perempuan?
Kalau saya sih berpandangan, kami para perempuan ketika pulang ke negaranya masing-masing akan menyebarluaskan gagasan tentang perlunya keyakinan Islam akan bangkit dan tidak terpuruk lagi.
Kita lihat di jaman sekarang ini bangsa-bangsa Muslim terpuruk, terbelakang, termiskinkan, terjajah dan seterusnya. Saya optimis dan berharap ke depan itu akan terlewati. Dan ini adalah suatu permulaan yang baik, yang dimulai dari perempuan, karena kaum perempuan itu pemimpin dari unit terkecil. Di dalam keluarga dia mendidik anak-anak dan memproduksi generasi berikutnya.
Dari 19 delegasi Indonesia yang datang ke konferensi ini, 90 persennya adalah dosen, pengajar. Bisa kita bayangkan, jika para dosen tersebut menyebarluaskan gagasan ini kepada para mahasiswanya, dan juga para penulis menyebarluaskan lewat tulisannya. Jadi saya sangat optimis ke depan.
Mengenai paper ibu di konferensi ini, mungkin bisa dijelaskan secara umum tentang isinya ?
Ketika kami diundang untuk ikut konferensi ini, pertama kami harus mengenali temanya yaitu kebangkitan Islam dan peran perempuan di dalamnya. Nah saya harus menyesuaikan dengan bidang yang saya tekuni. Saya orangnya fokus dan saya adalah pengamat media massa yang cukup aktif. Saya menghubungkannya dengan produk-produk media massa selama ini yang sering menyampaikan misconception tentang Iran, misperception tentang perempuan Islam, kedudukan perempuan dalam Islam, dan segala macam misunderstanding, prejudice dan prasangka. Saya menggabungkan itu semua dalam tulisan yang intinya menyoroti terjadinya declining democracy, media bias, dan Challenge of we mean
Yang saya katakan jatuhnya demokrasi adalah menilik runtuhnya negara-negara demokrasi sekarang ini seperti beberapa negara ketika demokrasi diruntuhkan, rakyatnya memilih militer seperti Thailand dan Pakistan. Tapi Mungkin Turki, Mesir dan juga Iran memilih tokoh agama. Jadi rakyat yang tidak puas dengan demokrasi, protes dengan korupnya demokrasi akhirnya memilih antara militer maupun pemimpin agama. Itu yang saya soroti di negara yang bergejolak saat ini; antara militer dan pemimpin agama.
Kemudian bagaimana media melakukan bias liputan terhadap negara-negara Islam khususnya. Nah itu yang saya soroti. Kemudian saya menyarankan kepada perempuan bagaimana kita berperan kedepan menyelesaikan persoalan itu.(IRIB Indonesia/PH)
Ketika Ibnu Abi al-Auja Kehabisan Akal Menghadapi Imam Shadiq as
Abdul Karim atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Abi al-Auja' di hari lain kembali mendatangi Imam Shadiq as untuk berdialog. Tapi ketika tiba, ia melihat ada sekelompok orang tengah mengelilingi beliau. Dengan tenang ia mendekati Imam Shadiq as dan duduk diam menyaksikan apa yang tengah terjadi.
Tiba-tiba Imam Shadiq as berkata, "Tampaknya engkau datang lagi untuk membicarakan kembali sebagian masalah yang kita bahas sebelumnya."
Ibnu Abi al-Auja' menjawab, "Benar, saya datang dengan alasan ini, wahai anak Nabi!
Imam Shadiq as berkata kepadanya, "Aku benar-benar takjub tentang engkau, bagaimana bisa engkau mengingkari Tuhan. Tapi pada saat yang sama engkau mengakui bahwa aku adalah anak Nabi dengan ucapanmu itu."
Ibnu Abi al-Auja' menjawab, "Kebiasaan. Hanya kebiasaan yang membuatku mengatakan demikian."
"Lalu mengapa engkau terdiam," tanya Imam.
Ibu Abi al-Auja' berkata, "Keagungan dan wibawamu yang membuat lisanku tidak mampu membantuku menghadapi Anda. Saya banyak melihat ilmuwan dan orator serta berbicara dengan mereka, tapi tidak ada yang pernah membuatku merasa minder. Sebaliknya, keagunganmu begitu membuatku minder."
"Bila engkau diam, maka biarlah aku yang berbicara," kata Imam.
Setelah itu Imam Shadiq bertanya kepadanya, "Apakah engkau ini diciptakan atau tidak?"
Ibnu Abi al-Auja' menjawab, "Saya tidak dibuat dan diciptakan."
Baiklah, kata Imam. Sekarang tolong katakan, "Bila Engkau dibuat atau diciptakan, maka bentukmu seperti apa?"
Untuk beberapa waktu Ibu Abi al-Auja' tertunduk dan memainkan kayu yang berada di tangannya. Kemudian ia mulai menjelaskan sifat-sifat benda yang dibuat; memiliki panjang, lebar, dalam, pendek, bergerak, tidak bergerak, dan sejumlah sifat lainnya.
Imam kembali berkata, "Bila untuk sesuatu yang dibuat atau dicipta, hanya sifat-sifat ini yang engkau ketahui, maka dengan sendirinya engkau juga sesuatu yang dibuat. Engkau harus mengakui bahwa engkau dibuat. Karena seluruh sifat-sifat yang engkau sebutkan itu juga terdapat dalam dirimu."
Ibnu Abi al-Auja' berkata, "Pertanyaan yang engkau ajukan kepadaku belum pernah ditanyakan seorangpun sebelum ini, dan di masa depan pun aku yakin tidak akan ada orang yang akan bertanya kepadaku."
Imam Shadiq as berkata, "Kita asumsikan bahwa sebelum ini belum pernah ada orang yang bertanya semacam ini kepadamu, tapi dari mana engkau tahu bahwa di masa depan ada orang yang akan menanyakan pertanyaan ini kepadamu?" Pada waktu itu engkau akan menarik kembali ucapanmu. Karena engkau berkeyakinan semua; baik masa lalu, sekarang dan akan datang setara. Dengan demikian, bagaimana engkau mendahulukan satu dan mengakhirkan yang lain, sementara dalam ucapanmu engkau membawakan tentang masa lalu dan masa depan."
Imam menambahkan, "Wahai Abdul Karim! Aku ingin lebih banyak menjelaskan kepadamu. Bila saat ini engkau punya kantung uang yang penuh dengan logam emas dan seseorang berkata kepadamu bahwa di dalam kantung ini terdapat banyak logam emas. Engkau menjawabnya bahwa dalam kantung ini tidak terdapat apa-apa. Ia akan berkata kepadamu, "Coba tolong definisikan apa itu logam emas." Bila engkau tidak mengetahui ciri-ciri logam emas, maka engkau dapat berkata tanpa mengetahui bahwa emas tidak ada di dalam kantung ini."
Ibnu Abi al-Auja' berkata, "Tidak, bila saya tidak tahu, maka saya tidak dapat mengatakan tidak ada."
Imam kemudian berkata, "Bila engkau berpikir demikian, lalu bagaimana dengan dunia yang sedemikian luas? Dunia yang luasnya tidak dapat dibandingkan dengan apa yang ada di dalam kantung itu. Baiklah, sekarang aku akan bertanya kepadamu, "Apakah mungkin di dunia yang luas ini ada sesuatu yang dibuat dan diciptakan? Karena engkau tidak mengetahui ciri-ciri sesuatu yang diciptakan dari yang tidak diciptakan."
Ketika Imam berkata demikian, Ibnu Abi al-Auja' hanya bisa terdiam dan tidak dapat berpikir apa-apa. Sebagian dari orang-orang yang punya pemikiran sama dengannya kemudian masuk Islam dan sebagian lainnya tetap dalam kekufurannya. (IRIB Indonesia / SL)



























