کمالوندی
Shahih Hadis Manzilah Dalam Mazhab Syi’ah
Para pengikut Syi’ah biasanya sering berhujjah dengan hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait dalam kitab Ahlus Sunnah. Hal ini menimbulkan kesan di mata para pembenci Syi’ah seolah-olah dalam mazhab Syi’ah tidak ada hadis shahih keutamaan Ahlul Bait. Di antara hadis yang sering dijadikan hujjah adalah hadis Manzilah. Tulisan ini hanya ingin menunjukkan bahwa hadis Manzilah kedudukannya shahih dalam literatur mazhab Syi’ah.
Riwayat Shahih
Al Kulainiy meriwayatkan dalam Al Kafiy hadis dengan sanad yang shahih sampai ke Imam Shaadiq hadis yang dalam sebagian matannya menyebutkan hadis manzilah.
قال ان تكونوا وحدانيين فقد كان رسول الله صلى الله عليه وآله وحدانيا يدعو الناس فلا يستجيبون له، وكان أول من استجاب له علي بن أبي طالب عليه السلام وقد قال رسول الله صلى الله عليه وآله أنت منى بمنزلة هارون من موسى الا أنه لا نبي بعدي
Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] berkata “Jadilah kalian orang-orang yang mengesakan Allah, sungguh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] telah menyerukan kepada orang-orang agar mengesakan Allah tetapi mereka tidak menjawab seruan Beliau. Dan orang yang pertama menjawab seruan Beliau adalah Aliy bin Abi Thalib [‘alaihis salaam] dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] berkata “engkau bagiku seperti kedudukan Haruun di sisi Muusa kecuali bahwasanya tidak ada Nabi setelahku” [Al Kafiy Al Kulainiy 8/61-62 no 80]
Riwayat Al Kafiy di atas kedudukannya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan sanad lengkapnya dan keterangan para perawinya
أبو علي الأشعري، عن محمد بن عبد الجبار، عن الحسن بن علي بن فضال، عن ثعلبة بن ميمون، عن أبي أمية يوسف بن ثابت بن أبي سعيدة، عن أبي عبد الله عليه السلام
Abu ‘Aliy Al Asy’ariy dari Muhammad bin ‘Abdul Jabaar dari Hasan bin Aliy bin Fadhl dari Tsa’labah bin Maimun dari Abi ‘Umayyah Yuusuf bin Tsaabit bin Abi Sa’iidah dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam]…[Al Kafiy Al Kulainiy 8/106]
Abu ‘Aliy Al Asy’ariy adalah Ahmad bin Idris seorang yang tsiqat faqih banyak meriwayatkan hadis dan shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228]
Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 391]
Hasan bin Aliy bin Fadhl adalah seorang yang jaliil, kedudukannya agung, zuhud, wara’, tsiqat dalam hadis dan riwayat. Disebutkan bahwa ia bermazhab Fathahiy kemudian ruju’ [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 97-98]
Tsa’labah bin Maimun disebutkan Al Kasyiy dari Hamdawaih dari Muhammad bin Iisa bahwa ia seorang yang tsiqat, khair, fadhl [Rijal Al Kasyiy 2/711]
Yuusuf bin Tsaabit Abu Umayyah seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 452 no 1222]
Al Majlisiy dalam Mir’atul ‘Uquul 25/257 no 80 menyatakan hadis tersebut muwatstsaq, sebagaimana dapat dilihat berikut
Penilaian Al Majlisiy ini mungkin disebabkan oleh Hasan bin Aliy bin Fadhl yang dikatakan bermazhab Fathahiy. Padahal disebutkan bahwa Hasan bin Aliy bin Fadhl telah ruju’ dari mazhab Fathahiy. Dalam kitab Al Wajiizah hal 189 no 503, Al Majlisiy mengatakan tentang Hasan bin Aliy bin Fadhl “tsiqat bukan bermazhab imamiyah, seperti shahih karena ruju’-nya dari mazhab Fathahiyyah. Pernyataan bahwa ia telah ruju’ dari mazhab Fathahiy cukup untuk mengangkat derajat hadisnya menjadi shahih.
Riwayat Muwatstsaq
Syaikh Shaduuq menyebutkan riwayat dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] mengenai kisah Khalid bin Walid dengan bani Khuzaimah dimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus Aliy bin Abi Thalib kepada bani Khuzaimah. Dalam penggalan akhir riwayat disebutkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda
فقال (صلى الله عليه و آله) أعطيتهم ليرضوا عني، رضي الله عنك يا علي، إنما أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنه لا نبي بعدي
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] berkata “engkau memberi mereka agar mereka ridha terhadapku, Allah meridhaimu wahai Aliy, sesungguhnya engkau bagiku seperti kedudukan Haruun di sisi Muusa kecuali bahwasanya tidak ada Nabi setelahku” [Ilal Asy Syaraa’i’ 2/463 no 35]
Sanad lengkap riwayat Syaikh Ash Shaduuq adalah sebagai berikut
حدثنا محمد بن الحسن بن أحمد بن الوليد رضي الله عنه قال حدثنا محمد بن الحسن الصفار عن العباس بن معروف عن علي بن مهزيار عن فضالة بن أيوب عن أبان بن عثمان عن محمد بن مسلم عن أبي جعفر الباقر عليه السلام قال
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hasan bin Ahmad bin Waliid [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar dari ‘Abbaas bin Ma’ruuf dari ‘Aliy bin Mahziyaar dari Fadhalah bin Ayuub dari Aban bin ‘Utsman dari Muhammad bin Muslim dari Abu Ja’far Al Baaqir [‘alaihis salaam] yang berkata…[Ilal Asy Syaraa’i’ 2/473-474 no 35]
Riwayat Syaikh Shaduuq di atas berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah kedudukannya muwatstsaaq, para perawinya tsiqat hanya saja Aban bin ‘Utsman Al Ahmar dikatakan bermazhab menyimpang.
Muhammad bin Hasan bin Ahmad bin Walid adalah Syaikh Qum, faqih mereka, yang terdahulu dan terkemuka, seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 383 no 1042]
Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar ia terkemuka di Qum, tsiqat, agung kedudukannya [Rijal An Najasyiy hal 354 no 948]
‘Abbaas bin Ma’ruf Abu Fadhl Al Qummiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 281 no 743]
Aliy bin Mahziyaar seorang yang tsiqat dalam riwayatnya, tidak ada celaan atasnya dan shahih keyakinannya [Rijal An Najasyiy hal 253 no 664]
Fadhalah bin Ayuub Al Azdiy seorang yang tsiqat dalam hadisnya dan lurus dalam agamanya [Rijal An Najasyiy hal 310-311 no 850]
Abaan bin ‘Utsman Al Ahmar, Al Hilliy menukil dari Al Kasyiy bahwa terdapat ijma’ menshahihkan apa yang shahih dari Aban bin ‘Utsman, dan Al Hilliy berkata “di sisiku riwayatnya diterima dan ia jelek mazhabnya” [Khulashah Al ‘Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 74 no 3]
Muhammad bin Muslim bin Rabah termasuk orang yang paling terpercaya [Rijal An Najasyiy hal 323-324 no 882]
Syaikh Haadiy An Najafiy dalam kitabnya Mausu’ah Ahaadiits Ahlul Bait 11/80 no 13572 menyatakan hadis riwayat Ash Shaduuq di atas sanadnya shahih, sebagaimana tampak berikut
Pernyataan Syaikh Haadiy An Najafiy ini kemungkinan karena ia berpegang pada pernyataan Al Kasyiy untuk menshahihkan apa yang shahih dari Aban bin ‘Utsman. Pernyataan ini tidak benar jika ditafsirkan secara mutlak bahwa setiap hadis yang diriwayatkan para perawi tsiqat hingga Aban bin ‘Utsman maka otomatis shahih. Karena bisa saja Aban bin ‘Utsman meriwayatkan secara mursal dan riwayat mursal jelas tidak shahih. Apalagi disebutkan kalau Aban bermazhab menyimpang maka seharusnya status hadisnya adalah muwatstsaq. Syahid Ats Tsaaniy menegaskan bahwa hadis Aban bin ‘Utsman termasuk hadis muwatstsaq, ia berkata
وكذا القولُ في المُوَثّق ؛ فإنَّ ما كانَ في طريقه ، مثلُ عليّ بن فَضَّال وأبانِ بن عثمان أقوَى مِن غَيره
Dan demikian perkataan tentang hadis Muwatstsaq, maka jika di dalam sanadnya ada orang seperti ‘Aliy bin Fadhl dan Aban bin ‘Utsman maka itu lebih kuat dari selainnya [Syarh Al Bidayah Fii Ilm Ad Dirayah, Syahid Ats Tsaaniy hal 26]
Berdasarkan pembahasan di atas maka tidak diragukan bahwa kedudukan hadis Manzilah di sisi mazhab Syi’ah adalah shahih bahkan sebagian ulama Syi’ah menyatakan bahwa hadis tersebut mutawatir. Hal yang patut diperhatikan adalah salah satu riwayat bukan menceritakan kisah perang Tabuk yaitu disebutkan saat terjadi peristiwa antara Khalid dengan bani Khuzaimah. Hal ini menunjukkan bahwa di sisi mazhab Syi’ah keutamaan hadis Manzilah tidak terikat atau khusus waktu tertentu.
Hal ini berbeda sekali dengan sebagian pengikut salafiy yang mengkhususkan hadis Manzilah hanya pada saat perang Tabuk dimana makna hadis tersebut menurut mereka adalah Aliy bin Abi Thalib hanya ditugaskan sebagai pemimpin wanita dan anak-anak di Madinah ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan para sahabat pergi ke Tabuk. Syubhat mereka ini sudah pernah kami bahas secara detail dalam sebagian tulisan di blog ini [silakan lihat di daftar artikel]. Memang pada hakikatnya mereka lebih suka mendistorsi hadis shahih demi bertentangan dengan Syi’ah daripada menyatakan kebenaran hadis yang ternyata bersesuaian dengan Syi’ah.
Takhrij Hadis Ruwaibidhah : Kedudukannya Dhaif
Hadis Ruwaibidhah termasuk hadis yang masyhur di telinga para da’i dan sebagian orang awam. Memang benar bahwa hadis ini telah dikuatkan oleh sebagian ulama hadis kontemporer seperti Syaikh Al-Albani, Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Syaikh Mustafa Al-Adawiy. Hanya saja setelah kami pelajari dengan seksama kami lebih merajihkan bahwa kedudukan hadis ini sebenarnya dhaif. Tidak ada satupun jalan sanad yang selamat dari cacat dan semuanya tidak bisa dianggap saling menguatkan.
Hadis Ruwaibidhah secara marfu’ diriwayatkan dengan tiga jalur sahabat yaitu
Hadis Abu Hurairah
Hadis Anas bin Malik
Hadis Auf bin Malik
Berikut pembahasan semua jalur hadis tersebut secara rinci beserta illat (cacat) masing-masing jalurnya.
Hadis Abu Hurairah
Hadis Abu Hurairah memiliki dua jalan sanad dimana keduanya dhaif dan tidak bisa saling menguatkan. Kedua jalan tersebut adalah
Jalan Sa’iid bin Ubaid dari Abu Hurairah
Jalan Sa’iid Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah
.
Jalan Sa’iid bin Ubaid
حَدَّثَنَا يُونُسُ وَسُرَيْجٌ قَالَا حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ السَّبَّاقِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قال رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ السَّاعَةِ سِنُونَ خَدَّاعَةٌ يُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِين وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ سُرَيْجٌ وَيَنْظُرُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَة
Telah menceritakan kepada kami Yuunus dan Suraih, keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Fulaih dari Sa’iid bin ‘Ubaid bin As-Sabbaaq dari Abu Hurairah yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Sebelum hari kiamat akan ada tahun-tahun yang penuh tipu daya, ketika itu orang-orang yang jujur didustakan dan para pendusta dibenarkan, orang-orang yang dapat dipercaya dikhianati, orang-orang yang berkhianat dipercaya, dan berbicaralah pada saat itu Ar-Ruwaibidhah. Suraih berkata (dengan lafaz) “dan melihatlah pada saat itu Ar-Ruwaibidhah” [Musnad Ahmad bin Hanbal 2/338 no 8459 (versi tahqiq Syaikh Syu’aib Al-Arnauth) atau no 8440 (versi tahqiq Syaikh Ahmad Syakir)]
Sanad ini mengandung dua kelemahan yaitu Fulaih bin Sulaiman dia diperbincangkan dari sisi dhabitnya dan berdasarkan pendapat yang rajih kedudukannya adalah perawi yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Kemudian Sa’iid bin Ubaid tidak mendengar dari Abu Hurairah.
Fulaih bin Sulaiman dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dimana terkadang ia berkata “dhaif” dan terkadang berkata “tidak kuat dan tidak bisa dijadikan hujjah hadisnya”. Abu Hatim berkata “tidak kuat”. An-Nasa’iy terkadang berkata “dhaif” dan terkadang berkata “tidak kuat”. Ibnu Adiy mengatakan bahwa hadis-hadis Fulaih shalih (baik), ia meriwayatkan dari syuyukh penduduk Madinah hadis-hadis lurus dan gharib, dia dijadikan pegangan oleh Al-Bukhariy dalam kitab Shahihnya dan disisi Ibnu Adiy Fulaih tidak ada masalah dengannya. Abu Ahmad Al-Hakim berkata “tidak kuat di sisi mereka (para ulama)”. Daruquthni berkata “mereka berselisih tentangnya dan tidak ada masalah padanya”. Ali bin Madini menyatakan dhaif. As-Saji mengatakan ia tergolong orang yang jujur dan terkadang keliru. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats-Tsiqat. Abu Daud berkata “tidak ada apa-apanya”. [Tahdzib At-Tahdzib Ibnu Hajar 5/280-281 no 6418]. Abu Zur’ah mengatakan bahwa Fulaih dhaif al-hadits [Adh-Dhu’afa Abu Zur’ah hal 366]
Ibnu Hajar dalam Taqrib At-Tahdzib menyimpulkan bahwa Fulaih “perawi yang shaduq banyak melakukan kesalahan”. Menurut penulis Tahrir Taqrib At-Tahdzib (Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Syaikh Basyar Awwad Ma’ruf) kedudukan Fulaih bin Sulaiman adalah dhaif dapat dijadikan i’tibar. [Tahrir Taqrib At-Tahdzib 3/165 no 5443].
Kesimpulannya Fulaih bin Sulaiman pada dasarnya seorang yang shaduq hanya saja ia memiliki kelemahan pada sisi dhabitnya (hafalannya) sehingga ia melakukan banyak kesalahan dalam riwayat. Maka sudah tepat pendapat yang menyatakan bahwa ia dhaif jika tafarrud (menyendiri) dalam riwayatnya tetapi hadisnya bisa dijadikan i’tibar dan menjadi hasan dengan adanya penguat.
Fulaih bin Sulaiman dalam riwayatnya dari Sa’iid bin Ubaid memiliki mutaba’ah yaitu Yaziid bin ‘Iyaadh sebagaimana disebutkan Nu’aim bin Hammad dalam kitab Al-Fitan dengan sanad lengkap berikut
حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ عِيَاضٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ السَّبَّاقِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dari Yaziid bin ‘Iyaadh dari Sa’iid bin ‘Ubaid bin As-Sabbaaq yang berkata aku mendengar Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang mengatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda …[Al-Fitan Nu’aim bin Hammad no 1470]
Hanya saja mutaba’ah ini tidak kuat karena dua alasan. Alasan pertama, kitab Al-Fitan Nu’aim bin Hammad sendiri tidak bisa dijadikan hujjah. Kitab Al-Fitan ini diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Haatim Al-Muradhiy dari Nu’aim bin Hammad.
Abdurrahman bin Haatim dikatakan Ibnu Yunus bahwa Ia diperbincangkan oleh para ulama [Tarikh Ibnu Yunus no 810]. Ibnu Jauzi berkata “matruk al-hadits” [Adh-Dhu’afa Ibnu Jauzi no 1859]. Adz-Dzahabi menanggapi perkataan Ibnu Jauzi dengan berkata “dia termasuk guru Ath-Thabraniy dan aku tidak mengetahui ada masalah padanya”[Mizan Al-I’tidal no 4844] tetapi anehnya dalam tempat yang lain Adz-Dzahabi dengan jelas menyatakan Abdurrahman bin Haatim dhaif [Diwan Adh-Dhu’afa no 2430].
Nu’aim bin Hammad sendiri diperbincangkan kedudukannya dan pendapat yang rajih ia perawi yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Kami sudah pernah membahas tentangnya dalam tulisan disini.
Alasan kedua, Yaziid bin ‘Iyaadh adalah perawi yang dhaif jiddan. Imam Malik medustakannya. Ibnu Ma’in berkata “tidak ada apa-apanya”. Abu Hatim berkata “dhaif al-hadits mungkar al-hadits”. Abu Zur’ah berkata “dhaif al-hadits”. Imam Bukhari dan Muslim berkata “mungkar al-hadits”. Nasa’iy terkadang berkata “matruk al-hadits” dan terkadang berkata “dusta”. Al-Ijliy, Ali bin Madini dan Daruquthniy berkata “dhaif”. Al-Falaas berkata “dhaif al-hadits jiddan” [Tahdzib At-Tahdzib 7/176 no 9069].
Dalam kitab Rijal disebutkan bahwa Sa’iid bin ‘Ubaid As-Sabbaaq meriwayatkan dari Abu Hurairah dan tidak ditemukan ulama mutaqaddimin yang menyatakan riwayat Sa’iid dari Abu Hurairah mursal. Dalam kondisi seperti ini, jika Sa’iid terbukti semasa dengan Abu Hurairah maka periwayatan darinya dianggap muttashil (bersambung). Masalahnya adalah dalam kitab Rijal tidak ditemukan tahun lahir dan tahun wafat Sa’iid bin ‘Ubaid sehingga tidak bisa ditetapkan apakah memang betul ia semasa dengan Abu Hurairah.
Sa’iid bin ‘Ubaid bin As-Sabbaaq disebutkan Ibnu Hajar dalam Taqrib At-Tahdzib no 2373
سعيد بن عبيد بن السُبّاق الثقفي أبو السباق المدني ثقة من الرابعة
Sa’iid bin ‘Ubaid bin As-Sabbaaq Ats-Tsaqafiy Abu As-Sabbaq Al-Madaniy, tsiqat termasuk thabaqat keempat.
Thabaqat keempat disebutkan Ibnu Hajar untuk para perawi yang kebanyakan riwayat mereka adalah dari tabiin kibar, dan contoh perawi yang termasuk thabaqat ini adalah Az-Zuhri dan Qatadah.
Az-Zuhri disebutkan wafat tahun 125 H dan dikatakan juga ia wafat setahun atau dua tahun sebelum itu [Taqrib-At Tahdzib no 6336]. Dan Abu Hurairah disebutkan wafat tahun 57 H atau 58 H atau 59 H [Taqrib At-Tahdzib no 8493]. Jadi antara wafat Az-Zuhri dan Abu Hurairah terpisah lebih dari 60 tahun. Imam Tirmidzi menegaskan bahwa Az-Zuhri tidak mendengar dari Abu Hurairah
والزهري لم يسمع من أبي هريرة
Az-Zuhri tidak mendengar dari Abu Hurairah [Sunan Tirmidzi 1/242 no 201]
Fakta ini bisa dijadikan petunjuk bahwa Sa’iid bin ‘Ubaid sebagai perawi thabaqat keempat kuat dugaan riwayatnya mursal dari Abu Hurairah karena Sa’iid hidup semasa dengan Az-Zuhri dan Az-Zuhri riwayatnya mursal dari Abu Hurairah.
Al-Hafizh As-Sakhawiy dalam kitab At-Tuhfatul Latifah Fii Tarikh Al-Madinah 2/153 no 1531 menyatakan bahwa riwayat Sa’iid dari Abu Hurairah mursal.
سعيد بن عبيد بن السباق الثقفي المدني من أهلها يروي عن أبيه ومحمد بن أسامة بن زيد وأرسل عن أبي هريرة
Sa’iid bin ‘Ubaid bin As-Sabbaaq Ats-Tsaqafiy Al-Madani termasuk penduduk Madinah, meriwayatkan dari Ayahnya dan Muhammad bin Usamah bin Zaid dan meriwayatkan secara mursal dari Abu Hurairah
Jalan Sa’iid Al-Maqburiy
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ قُدَامَةَ الْجُمَحِيُّ عَنْ إِسْحَاق بْنِ أَبِي الْفُرَاتِ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ ؟ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haarun yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Maalik bin Qudaamah Al-Jumahiy dari Ishaaq bin Abi Furaat dari Al-Maqburiy dari Abu Hurairah yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “akan datang pada manusia tahun-tahun penuh tipu daya, dimana para pendusta dibenarkan, orang-orang jujur didustakan, orang-orang yang berkhianat dipercaya, orang-orang yang dapat dipercaya dikhianati, , dan berbicaralah pada saat itu Ar-Ruwaibidhah. Dikatakan “apa itu Ar-Ruwaibidhah?”. Beliau bersabda “orang bodoh yang berbicara urusan orang banyak” [Sunan Ibnu Majah 5/162 no 4036]
Abu Bakr bin Abi Syaibah dalam periwayatannya dari Yazid bin Harun memiliki mutaba’ah dari Abu Ubaid Qaasim bin Salaam dalam Ghariib Al-Hadiits 2/623-624 no 311.
Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya no 7912 (versi tahqiq Syaikh Syu’aib Al-Arnauth) meriwayatkan dari Yaziid bin Haruun dengan sanad berikut
حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ قُدَامَةَ حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ بَكْرِ بْنِ أَبِي الْفُرَاتِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Yaziid yang berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abdul Malik bin Qudaamah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Bakr bin Abi Furaat dari Sa’iid bin Abi Sa’iid dari Ayahnya dari Abu Hurairah yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda…
Ahmad bin Hanbal memiliki mutaba’ah dari Sa’iid bin Mas’ud Al-Marwaziy dengan jalan sanad Yaziid dari ‘Abdul Malik dari Ishaaq dari Sa’iid Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah secara marfu’, sebagaimana disebutkan Al-Hakim dalam Mustadrak Ash-Shahihain 4/466 no 8439
Abu Bakr Asy-Syafi’i dalam Al-Ghailaaniyaat no 331 menyebutkan jalan sanad Yazid bin Harun sebagai berikut
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ سَهْلِ بْنِ كَثِيرٍ أنبا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أنبا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ قُدَامَةَ عَنِ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Muusa bin Sahl bin Katsiir yang berkata telah memberitakan kepada kami Yaziid bin Haruun yang berkata telah memberitakan kepada kami ‘Abdul Maalik bin Qudaamah dari Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
Nampak disini seolah-olah terjadi idhthirab dalam periwayatan Yaziid bin Haruun. Kalau diringkas sanad-sanad di atas adalah sebagai berikut
Ibnu Abi Syaibah dan Abu Ubaid meriwayatkan dari Yaziid bin Haruun dengan jalan sanad “Abdul Malik bin Qudaamah dari Ishaaq dari Al-Maqburiy dari Abu Hurairah”
Ahmad bin Hanbal dan Sa’iid bin Mas’ud meriwayatkan dari Yaziid bin Haruun dengan jalan sanad “Abdul Malik bin Qudaamah dari Ishaaq dari Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah”
Muusa bin Sahl bin Katsiir meriwayatkan dari Yaziid bin Haruun dengan jalan sanad “Abdul Malik bin Qudaamah dari Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah”
Iklan
Muusa bin Sahl bin Katsir adalah perawi yang dhaif. Ia dinyatakan dhaif oleh Daruquthniy dan Al-Barqaniy berkata “dhaif jiddan” [Tarikh Baghdad 15/45-46 no 6966]. Maka jalan sanad ketiga tertolak
Jalan sanad pertama dikuatkan oleh riwayat Al-Kharaithiy dalam Makaarim Al-Akhlaaq no 185
حدثنا علي بن زيد الفرائضي ثنا أبو يعقوب الحنيني ثنا عبد الملك بن قدامة الجمحي عن إسحاق بن أبي الفرات عن سعيد بن أبي سعيد المقبري عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
Telah menceritakan kepada kami Aliy bin Zaid Al-Fara’idhiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ya’qub Al-Hunainiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Maalik bin Qudaamah Al-Jumahiy dari Ishaaq bin Abi Furaat dari Sa’iid bin Abi Sa’iid Al-Maqburiy dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda
Hanya saja riwayat ini dhaif karena ‘Aliy bin Zaid Al-Faraidhiy disebutkan Ibnu Yuunus bahwa mereka (para ulama) membicarakannya [Tarikh Baghdad 13/379 no 6268]. Abu Ya’qub Al-Hunainiy adalah Ishaaq bin Ibrahim seorang yang dhaif [Taqrib At-Tahdzib no 339].
Jalan sanad kedua dikuatkan oleh riwayat Al-Hakim dalam Mustadrak Ash-Shahihain 4/512 no 8564
حدثنا أبو بكر إسماعيل بن محمد بن إسماعيل الفقيه بالري ثنا أبو بكر بن الفرج الأزرق ثنا حجاج بن محمد ثنا عبد الملك بن قدامة الجمحي عن إسحاق بن أبي بكر عن سعيد بن أبي سعيد عن أبيه عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Ismaiil bin Muhammad bin Ismaiil Al-Faqih di Ray yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Al-Faraj Al-Azraq yang berkata telah menceritakan kepada kami Hajjaaj bin Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Maalik bin Qudaamah Al-Jumahiy dari Ishaaq bin Abi Bakr dari Sa’iid bin Abi Sa’iid dari Ayahnya dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
Riwayat ini sanadnya jayyid sampai Hajjaaj bin Muhammad. Abu Bakr Ismaiil bin Muhammad Al-Faqih adalah seorang yang tsiqat [Rijal Al-Hakim Fii Al-Mustadrak no 462] dan Abu Bakr Muhammad bin Faraj Al-Azraq adalah seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir Taqrib At-Tahdzib no 6220]. Hajjaj bin Muhammad adalah seorang imam hafizh hujjah [Siyar A’lam An Nubalaa’ 9/447 no 169] dan dia menjadi mutaba’ah bagi riwayat Yaziid bin Haruun dengan jalan sanad ‘Abdul Malik dari Ishaaq dari Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah secara marfu’.
Maka dapat disimpulkan bahwa jalan sanad yang rajih adalah jalan sanad ‘Abdul Malik bin Qudaamah dari Ishaaq bin Abi Furaat dari Sa’iid Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah secara marfu’.
Kedudukan riwayat ini sanadnya dhaif karena kelemahan ‘Abdul Maalik bin Qudaamah dan Ishaaq bin Abi Furaat seorang yang majhul ‘ain.
‘Abdul Maalik bin Qudaamah Al-Jumahiy dinyatakan tsiqat oleh Yahya bin Ma’in dan Al-Ijliy. Al-Bukhariy berkata “dikenal dan diingkari”. Abu Hatim berkata “dhaif al-hadiits, tidak kuat dan ia meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari perawi tsiqat”. Daruquthniy berkata “ditinggalkan”. Nasa’iy berkata “tidak kuat”. Al-Uqailiy mengatakan “di sisinya ia meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Diinar riwayat-riwayat mungkar”. Ibnu Hibban mengatakan ia shaduq hanya saja ia melakukan banyak kesalahan maka tidak boleh berhujjah dengannya. [Tahdzib At-Tahdzib 4/258-259 no 4921]. Abu Zur’ah Ar-Raziy berkata “mungkar al-hadiits” [Adh Dhu’afa Abu Zur’ah hal 356]. Ibnu Hajar menyimpulkan “dhaif” [Taqrib At-Tahdziib no 4232].
Ishaaq bin Abi Furaat seorang yang majhul, perawi yang meriwayatkan darinya hanya ‘Abdul Maalik bin Qudaamah. Ibnu Hajar berkata “majhul” [Taqrib At-Tahdziib no 382].
Apakah kedua jalur di atas yaitu Jalur Sa’iid bin Ubaid dan Jalur Sa’iid Al-Maqburiy dapat saling menguatkan?. Jawabannya tidak karena kedua riwayat tersebut tidak hanya mengandung kelemahan perawinya dari segi dhabit tetapi juga mengandung kelemahan lain yang memperberat kedhaifannya.
Jalur Sa’iid bin Ubaid selain Fulaih bin Sulaiman yang dhaif dari segi dhabitnya juga mengandung kelemahan lain yaitu riwayat tersebut terputus sanadnya karena riwayat Sa’iid dari Abu Hurairah mursal.
Jalur Sa’iid Al-Maqburiy selain ‘Abdul Maliik bin Qudaamah dhaif dari segi dhabitnya juga mengandung kelemahan lain yaitu Ishaaq bin Abu Furaat perawi yang majhul ‘ain. Dan telah dikenal bahwa perawi majhul ‘ain hadisnya tidak bisa dijadikan i’tibar.
Iklan
Hadis Anas bin Malik
Hadis Anas bin Malik tentang Ruwaibidhah diriwayatkan melalui dua jalan yang semuanya dhaif dan tidak bisa saling menguatkan yaitu jalur Ibnu Lahii’ah dan Jalur Ibnu Ishaaq.
حدثنا بكر قال نا عبد الله بن يوسف قال نا أبن لهيعة قال نا عبد الله بن عبد الرحمن بن معمر عن عبد الله بن ابي طلحة عن أنس بن مالك عن النبي صلى الله عليه وسلم قال بين يدي الساعة سنون خداعة يتهم فيها الأمين ويؤتمن المتهم وينطق فيها الرويبضة قالوا وما الرويبضة قال السفية ينطق في أمر العامة
Telah menceritakan kepada kami Bakr yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Ma’mar dari ‘Abdullah bin Abi Thalhah dari Anas bin Malik dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata sebelum hari kiamat ada tahun-tahun penuh tipu daya dimana orang-orang terpercaya dituduh, orang-orang tertuduh dipercaya, maka berbicaralah pada saat itu Ar-Ruwaibidhah. Mereka berkata “apa itu Ar-Ruwaibidhah?”. Beliau berkata “orang bodoh yang berbicara tentang urusan orang banyak” [Mu’jam Al-Awsath Ath-Thabraniy no 3258]
Sanad riwayat ini dhaif karena Bakr bin Sahl Ad-Dimyaathiy telah didhaifkan oleh An-Nasa’iy [Lisan Al-Mizan 2/344 no 1582] dan Abdullah bin Lahii’ah perawi yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar dimana hadisnya shahih jika meriwayatkan darinya para perawi yang mendengar darinya sebelum kitabnya terbakar yaitu Abdullah bin Mubarak, Abdullah bin Wahb, Abdullah bin Yazid Al-Muqriy, Abdullah bin Maslamah Al-Qa’nabiy [Tahrir Taqrib At-Tahdziib no 3563].
.
.
حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ الْمَدَائِنِيُّ وَهُوَ مُحَمَّدُ بنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا عَبَّادُ بنُ الْعَوَّامِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بنُ إِسْحَاقَ عَنْ مُحَمَّدِ بنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَال قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَمَامَ الدَّجَّالِ سِنِينَ خَدَّاعَةً يُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيَتَكَلَّمُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ الْفُوَيْسِقُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Al-Mada’iniy dan dia Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin ‘Awwaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaaq dari Muhammad bin Al-Munkadir dari Anas bin Maalik yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “sesungguhnya sebelum datangnya Dajjal akan ada tahun-tahun penuh tipu daya, dimana orang-orang jujur didustakan dan para pendusta dibenarkan, orang-orang yang dapat dipercaya dikhianati, orang-orang yang berkhianat dipercaya, dan berbicaralah pada saat itu Ar-Ruwaibidhah. Dikatakan “apa itu Ar-Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab “orang-orang fasiq yang berbicara tentang urusan orang banyak” [Musnad Ahmad bin Hanbal no 13298 tahqiq Syaikh Syu’aib Al-Arnauth]
Hadis dengan matan yang serupa juga diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya no 13299 (tahqiq Syaikh Syu’aib Al-Arnauth), Abu Ya’la dalam Musnad-nya 6/378 no 3715, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykil Al-Atsar 1/405 no 466, Musnad Al-Bazzar 7/174 no 2740 dengan jalan sanad dari ‘Abdullah bin Idriis dari Muhammad bin Ishaaq dari ‘Abdullah bin Diinar dari Anas bin Malik secara marfu’.
‘Abdullah bin Idriis memiliki mutaba’ah dari Yunus bin Bukair sebagaimana disebutkan Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykil Al-Atsar 1/405 no 465, Ar-Ruuyaniy dalam Musnad-nya 1/389 no 593, Ibnu Adiy dalam Al-Kamil 7/257 dan Al-Bazzar dalam Musnad-nya 7/174 no 2740 yaitu dengan jalan sanad dari Muhammad bin Ishaaq dari ‘Abdullah bin Diinar dari Anas bin Malik secara marfu’.
Jadi ada tiga perawi yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ishaq yaitu ‘Abbad bin ‘Awwaam, ‘Abdullah bin Idriis dan Yunus bin Bukair.
‘Abbad bin ‘Awwam meriwayatkan dari Ibnu Ishaaq dari Muhammad bin Munkadir dari Anas bin Malik
Abdullah bin Idriis dan Yunus bin Bukair meriwayatkan dari Ibnu Ishaaq dari Abdullah bin Diinar dari Anas bin Malik.
‘Abbad bin ‘Awwaam seorang yang tsiqat [Taqriib At-Tahdziib no 3155] dan disini ia menyelisihi ‘Abdullah bin Idriis seorang yang tsiqat faqiih ahli ibadah [Taqriib At-Tahdziib no 3224] dan Yunus bin Bukair seorang yang shaduq sering keliru [Taqriib At-Tahdziib no 7957].
Perawi yang meriwayatkan dari ‘Abbad bin ‘Awwaam adalah Muhammad bin Ja’far Abu Ja’far Al-Madainiy dia perawi yang diperselisihkan. Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Hatim berkata “ditulis hadisnya tetapi tidak bisa dijadikan hujjah”. Ibnu Hibbaan memasukkan dalam Ats-Tsiqat. Ibnu Qaani’ berkata ‘dhaif”. Ibnu Abdil Barr berkata “tidak kuat di sisi mereka (para ulama)”. Al-Uqailiy memasukkannya dalam Adh-Dhu’afa [Tahdziib At-Tahdziib 5/520-521 no 6833]. Dapat disimpulkan bahwa Muhammad bin Ja’far seorang yang shaduq hanya saja terdapat kelemahan padanya sehingga jika ada penyelisihan atas riwayatnya maka riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah.
Nampaknya disini riwayat yang menyebutkan jalan Ibnu Ishaaq dari Muhammad bin Munkadir dari Anas bin Malik itu tidak tsabit, kemungkinan Abu Ja’far Al-Mada’iniy keliru dalam menyebutkan “Muhammad bin Munkadiir” dan yang benar adalah Abdullah bin Diinar. Jadi riwayat yang tsabit dari Ibnu Ishaaq adalah Ibnu Ishaaq dari Abdullah bin Diinar dari Anas bin Malik.
Sebagian ulama muta’akhirin menguatkan hadis Ruwaibidhah riwayat Anas bin Malik, diantaranya Ibnu Hajar yang berkata dalam Fath Al-Bariy 13/91 setelah menyebutkan hadis Anas
أخرجه أحمد وأبو يعلى والبزار وسنده جيد
Dikeluarkan Ahmad, Abu Ya’la dan Al-Bazzaar dan sanadnya jayyid
Pernyataan ini benar jika hanya melihat zhahir sanadnya dimana riwayat Ibnu Ishaaq tersebut diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dan dalam riwayat Yunus bin Bukair, Ibnu Ishaaq menyebutkan lafaz penyimakan hadis maka selamat dari cacat tadlis.
Hanya saja riwayat Anas bin Malik melalui jalur Ibnu Ishaaq ini memiliki illat (cacat) yang tersembunyi. Ulama mutaqaddimin yaitu Yahya bin Ma’in dan Abu Hatim mengisyaratkan Muhammad bin Ishaaq keliru dalam hadis Ruwaibidhah ini.
حدثنا عبد الله بن أبي سفيان وابن أبي بكر قالا ثنا عباس سمعت يحيى بن معين يقول لم نسمع من عبد الله بن دينار عن أنس إلا الحديث الذي يحدث به محمد بن إسحاق يعني حديث الرويبضة
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Abi Sufyaan dan Ibnu Abi Bakr yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abbaas yang berkata aku mendengar Yahya bin Ma’iin mengatakan “kami tidak mendengar (hadis) Abdullah bin Diinar dari Anas kecuali dari hadis yang diriwayatkan Muhammad bin Ishaaq yakni hadis Ar-Ruwaibidhah [Al-Kamil Ibnu Adiy 7/257]
Syaikh Thaariq bin ‘Awdhullah dalam salah satu kitabnya yaitu Al-Irsyaadaat Fii Taqwiyyah hal 281 menjelaskan maksud perkataan Yahya bin Main tersebut.
فابن معين عليه رحمة الله لا يريد من قوله هذا إعلال الحديث بالانقطاع بين عبد الله بن دينار وأنس؛ وإنما مراده الاستدلال بغرابة هذا الإسناد على خطأ ابن إسحاق المتفرد به
Ibnu Ma’in [Rahmat Allah atasnya] tidak bermaksud dengan perkataannya bahwa cacat hadis tersebut adalah inqitha’ antara ‘Abdullah bin Diinar dan Anas. Sesungguhnya yang ia maksudkan adalah keghariban sanad ini karena kekeliruan Ibnu Ishaaq yang menyendiri dalam meriwayatkannya.
.
سألت أبي عن الحديث الذي رواه ابن اسحاق عن عبدالله بن دينار عن أنس عن النبي في الرويبضة قال أبي لا أعلم احدا روى عن عبدالله بن دينار هذا الحديث غير محمد بن اسحاق ووجدت في رواية بعض البصريين عن عبدالله عن المثنى الانصاري عن عبدالله بن دينار عن أبي الازهر عن انس عن النبي بنحوه قال أبي ولا ادري من أبو الازهر هذا قلت من الذي رواه عن عبدالله بن المثنى فقال حجاج الفسطاطي قال أبي لو كان حديث ابن اسحاق صحيحا لكان قد رواه الثقات عنه
Aku bertanya kepada Ayahku tentang hadis yang diriwayatkan Ibnu Ishaaq dari ‘Abdullah bin Diinar dari Anas dari Nabi tentang Ar-Ruwaibidhah. Ayahku berkata “aku tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkan dari Abdullah bin Diinar hadis ini selain Muhammad bin Ishaaq dan aku menemukan dalam riwayat sebagian orang Bashrah dari ‘Abdullah bin Al-Mutsanna Al-Anshariy dari ‘Abdullah bin Diinar dari Abil Azhar dari Anas dari Nabi seperti itu. Ayahku berkata aku tidak mengetahui siapa Abul Azhar ini. Aku [Ibnu Abi Hatim] berkata “siapa yang meriwayatkan dari Abdullah bin Al-Mutsanna?”. Beliau berkata “Hajjaaj Al-Fusthaathiy”. Ayahku berkata “seandainya hadis Ibnu Ishaaq shahih, para perawi tsiqat akan meriwayatkan hadis itu darinya [Abdullah bin Diinar]”. [Al-Ilal Ibnu Abi Hatim 6/596-597 no 2792]
Abu Hatim melemahkan hadis Ruwaibidhah yang diriwayatkan Ibnu Ishaaq karena tafarrud Ibnu Ishaaq dan di sisi Abu Hatim nampak kuat dugaan bahwa Ibnu Ishaaq keliru dalam hadis tersebut. Salah satu qara’in yang dipakai Abu Hatim adalah adanya riwayat lain dari Abdullah bin Diinar yang menyelisihi riwayat Ibnu Ishaaq tersebut. Hanya saja kami tidak menemukan riwayat ini dengan sanad lengkap dalam kitab-kitab hadis.
.
Terdapat riwayat lain yang membuktikan kekeliruan Ibnu Ishaaq dalam riwayatnya ini yaitu dalam kitab Al-Mushannaf ‘Abdurrazzaaq
أخبرنا عبد الرزاق عن معمر عن سعيد بن عبد الرحمن الجحشي عن عبد الله بن دينار قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بين يدي الساعة سنون خوادع يخون فيها الأمين ويؤتمن فيها الخائن وتنطق الرويبضة في أمر العامة قال قيل وما الرويبضة يا رسول الله ؟ قال سفلة الناس
Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdurrazaq dari Ma’mar dari Sa’iid bin ‘Abdurrahman Al Jahsyiy dari ‘Abdullah bin Diinar yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “sebelum hari kiamat akan ada tahun-tahun penuh tipu daya, dimana orang-orang terpercaya dikhianati dan orang-orang berkhianat dipercaya, di saat itu berbicaralah Ar-Ruwaibidhah tentang urusan orang banyak. Dikatakan “apa itu Ar-Ruwaibidhah wahai Rasulullah?”. Beliau berkata “orang yang paling rendah” [Al-Mushannaf ‘Abdurrazzaaq 11/382 no 20803]
Riwayat ini sanadnya jayyid sampai ‘Abdullah bin Diinar walaupun kedudukannya mursal. Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy tsiqat tsabit fadhl kecuali dalam riwayatnya dari Tsaabit, A’masy, ‘Ashim bin Abi Najud, Hisyam bin ‘Urwah dan hadisnya di Bashrah [Taqrib At-Tahdziib no 6857]. Sa’iid bin ‘Abdurrahman Al-Jahsyiy penduduk Hijaz, shaduq [Taqriib At-Tahdziib 2360]. Disini nampak Sa’iid bin ‘Abdurrahman Al-Jahsyiy menyelisihi Muhammad bin Ishaaq dalam riwayatnya dari ‘Abdullah bin Diinar dimana Sa’iid meriwayatkan secara mursal dan Ibnu Ishaaq meriwayatkan secara maushul. Ini merupakan salah satu petunjuk bahwa Muhammad bin Ishaaq keliru dalam hadis Ruwaibidhah.
Secara ringkas hadis Ruwaibidhah dari Jalur Anas bin Malik mengandung kelemahan berikut
Jalur Ibnu Lahii’ah dhaif karena Bakr bin Sahl guru Ath-Thabraniy dhaif dan Ibnu Lahii’ah sendiri dhaif dari sisi dhabitnya.
Jalur Muhammad bin Ishaaq dhaif karena Muhammad bin Ishaaq keliru periwayatannya dalam hadis ini.
Kedua jalur ini tidak bisa saling menguatkan karena jalan pertama kedhaifannya ada pada dua perawinya dan jalan kedua dhaif keliru dan hadis yang terbukti keliru tidak bisa dijadikan penguat.
Hadis Auf bin Malik
حدثنا الحسين بن إسحاق التستري ثنا هشام بن عمار ثنا مسلمة بن علي ثنا إبراهيم بن أبي عبلة عن أبيه عن عوف بن مالك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إن بين يدي الساعة سنين خوادع يتهم فيها الأمين ويؤتمن فيها الخائن ويكذب فيها الصادق ويصدق فيها الكاذب ويتكلم في أمر الناس الرويبضة قيل يا رسول الله وما الرويبضة قال السفيه ينطق في أمر العامة حدثنا أحمد بن عبد الوهاب بن نجدة الحوطي ثنا أبي ثنا إسماعيل بن عياش عن إبراهيم بن أبي عبلة عن عوف بن مالك عن النبي صلى الله عليه وسلم مثله
Telah menceritakan kepada kami Husain bin Ishaaq At-Tusturiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Ammaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Maslamah bin ‘Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Ayahnya dari Auf bin Malik dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang bersabda “Sesungguhnya sebelum hari kiamat akan ada tahun-tahun yang penuh tipu daya, ketika itu orang-orang yang dapat dipercaya dituduh, orang-orang yang berkhianat dipercaya, orang-orang yang jujur didustakan dan para pendusta dibenarkan, berbicaralah tentang urusan orang-orang pada saat itu Ar-Ruwaibidhah. Dikatakan “wahai Rasulullah apa itu Ar-Ruwaibidihah?”. Beliau berkata “orang bodoh yang berbicara tentang urusan orang banyak”. Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdul Wahhab bin Najdah Al-Hauthiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Isma’iil bin ‘Ayyaasy dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Auf bin Malik dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] seperti itu. [Mu’jam Al-Kabir Ath-Thabraniy 18/67 no 123 & 124]
Riwayat Maslamah bin Aliy di atas juga diriwayatkan dalam Musnad Asy-Syamiyyin Ath-Thabrani no 47, Mu’jam As-Safar Abu Thahir As-Silafiy hal 177 no 562 dan Tarikh Ibnu Asakir 58/47 yaitu dengan jalan sanad dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Ayahnya dari Auf bin Malik secara marfu’.
Maslamah bin Aliy perawi yang sangat dhaif. Yahya bin Ma’in dan Duhaim berkata “tidak ada apa-apanya”. Bukhariy dan Abu Zur’ah berkata “mungkar al-hadits”. Ibnu Hibban berkata “dhaif“al-hadiits mungkar al hadiits”. Nasa’i, Daraquthniy, dan Al-Barqaniy berkata “matruk al-hadiits. Al-Hafizh Abu Aliy An-Naisaburiy dan Ya’qub bin Sufyan berkata “dhaif”. As-Sajiy berkata “dhaif jiddan”. Al-Hakim berkata “meriwayatkan dari Al-Auzaiy dan Az-Zubaidiy riwayat-riwayat mungkar dan palsu” [Tahdziib At-Tahdziib 6/273-274 no 7874].
Maslamah bin Aliy dalam periwayatannya ini memiliki mutaba’ah dari Muhammad bin Ishaaq dengan jalan sanad dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Ayahnya dari ‘Auf bin Maalik secara marfu’.
Hal ini disebutkan dalam Musnad Al-Bazzar 7/174 no 2740, Syarh Musykil Al-Atsar Ath-Thahawiy 1/404 no 464, Musnad Ar-Ruuyaniy 1/387 no 588, Mu’jam Al-Kabir Ath-Thabraniy 18/67-68 no 125, Musnad Asy-Syamiyyin Ath-Thabraniy 1/51 no 48 semuanya berujung pada sanad Abu Kuraib Muhammad bin Al-A’laa’ dari Ibnu Ishaaq dimana Ibnu Ishaaq meriwayatkan dengan lafaz ‘an anah (tanpa menyebutkan lafaz penyimakan). Abu Kuraib Muhammad bin Al-A’laa’ seorang yang tsiqat hafizh [Taqrib At-Tahdziib no 6244]
Abu Kuraib memiliki mutaba’ah dari Humaid bin Ar-Raabi’ yang meriwayatkan dari Ibnu Ishaaq dimana Ibnu Ishaaq menyebutkan lafaz penyimakan dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah. Riwayat Humaid bin Ar-Rabi’ ini disebutkan Al-Khatib dalam kitabnya Al-Ihtijaaj bi Asy-Syafi’iy hal 34, berikut sanad lengkapnya
قال أنبأنا القاضي أبو عمر القاسم بن جعفر بن عبد الواحد الهاشمي ثنا أبو العباس محمد ابن أحمد الأثرم ثنا حميد بن الربيع ثنا يونس بن بكير أخبرني محمد بن إسحاق حدثني إبراهيم بن أبي عبلة عن أبيه عن عوف بن مالك رحمه الله تعالى قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم
[Al-Khatib] berkata telah memberitakan kepada kami Qadhiy Abu ‘Umar Al-Qaasim bin Ja’far bin ‘Abdul Waahid Al-Haasyimiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abbaas Muhammad bin Ahmad Al-Atsram yang berkata telah menceritakan kepada kami Humaid bin Ar-Rabii’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair yang berkata telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Ishaaq yang berkata telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Ayahnya dari ‘Auf bin Malik [rahimahullahu ta’ala] yang berkata aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
Hanya saja riwayat Humaid bin Ar-Raabi’ ini tidak tsabit sanadnya sampai Ibnu Ishaaq karena Humaid bin Ar-Raabi’ diperselisihkan keadaannya dan berdasarkan pendapat yang rajih kedudukannya dhaif.
Daruquthniy berbicara yang baik tentangnya. Ahmad bin Hanbal, Abu Hatim dan Abu Zur’ah tidak mengatakan tentang Humaid bin Ar-Raabi’ kecuali yang baik. Al-Barqaniy mengatakan “tidak bisa dijadikan hujjah karena kebanyakan guru-guru kami mengatakan ia dzahibul hadits”. Yahya bin Ma’in mengatakan ia pendusta. [Tarikh Baghdad 9/28 no 4222]. Al-Hadhramiy mengatakan ia pendusta. Ibnu Adiy mengatakan bahwa ia mencuri hadis, merafa’kan hadis-hadis mauquf, meriwayatkan hadis-hadis dari para imam yang tidak mahfuzh dari mereka. Kemudian Ibnu Adiy menyebutkan hadis-hadis mungkarnya dan menyimpulkan bahwa Humaid bin Ar-Raabii’ dhaif jiddan dalam semua riwayatnya [Al-Kamil Ibnu Adiy 3/89-92 no 444]. An-Nasa’iy berkata “tidak ada apa-apanya” [Adh-Dhu’afa Wal Matrukin no 144]. Ibnu Abi Hatim mengatakan tentang Humaid bin Ar-Raabii’ “aku mendengar darinya di Baghdad, orang-orang membicarakannya maka aku meninggalkan meriwayatkan hadis darinya” [Al-Jarh Wat Ta’dil 3/222 no 974].
Ada beberapa petunjuk yang menguatkan bahwa pendapat yang rajih atas Humaid bin Ar-Raabi’ adalah dhaif.
Diantara ulama yang menta’dil Humaid bin Ar-Rabii’ ternyata murid mereka malah tidak berpegang pada penta’dilan guru mereka. Misalnya Al-Barqaniy yang meriwayatkan ta’dil Daruquthniy tidak berpegang pada ta’dil Daruquthniy kemudian Ibnu Abi Hatim yang meriwayatkan ta’dil Ahmad bin Hanbal, Abu Hatim dan Abu Zur’ah, ia sendiri setelah itu memutuskan untuk meninggalkan hadisnya.
Jarh yang tertuju pada Humaid bin Ar-Rabii’ bersifat mufassar (dijelaskan sebabnya) yaitu ia mencuri hadis, merafa’kan riwayat mauquf, meriwayatkan banyak hadis yang tidak mahfuzh bahkan ada yang menuduhnya dengan dusta.
Iklan
Maka dengan petunjuk di atas dapat disimpulkan bahwa pendapat yang rajih Humaid Ar-Rabii’ kedudukannya dhaif sehingga riwayat Ibnu Ishaaq dengan lafaz penyimakan dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah itu tidak tsabit dan yang tsabit dari Ibnu Ishaaq adalah riwayatnya dengan lafaz ‘an anah.
Maslamah bin Aliy dan Muhammad bin Ishaaq dalam riwayatnya dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah diselisihi oleh Isma’iil bin ‘Ayyasy sebagaimana disebutkan dalam Mu’jam Al-Kabir Ath-Thabraniy 18/67 no 124 di atas yang meriwayatkan dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Auf bin Malik secara marfu’ (tidak menyebutkan “dari ayahnya” sebagaimana riwayat Ibnu Ishaaq). Jadi secara ringkas ada dua jalan yaitu
Jalan Muhammad bin Ishaaq dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Ayahnya dari Auf bin Malik
Jalan Isma’iil bin ‘Ayasy dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Auf bin Malik
Kedua jalan ini memiliki kelemahan yang sama yaitu riwayat keduanya disini adalah dengan ‘an anah (tanpa menyebutkan lafaz penyimakan hadis) padahal keduanya adalah mudallis. Muhammad bin Ishaaq seorang mudallis tingkatan keempat [Thabaqat Al-Mudallisin Ibnu Hajar hal 51 no 125]. Isma’iil bin ‘Ayasy ini seorang mudallis tingkatan ketiga [Thabaqat Al-Mudallisin Ibnu Hajar hal 37 no 68].
Ibrahim bin Abi ‘Ablah tidak dikenal meriwayatkan dari Auf bin Malik dan jarak wafat keduanya cukup jauh sehingga kuat dugaan bahwa Ibrahim bin Abi ‘Ablah tidak mendengar hadis langsung dari Auf bin Malik. Disebutkan bahwa Ibrahim bin Abi Ablah wafat tahun 152 H [Taqrib At-Tahdzib no 215] sedangkan Auf bin Malik wafat tahun 73 H [Taqrib At-Tahdzib no 5252]. Jadi antara wafat keduanya ada rentang waktu 79 tahun maka sangat mungkin riwayat Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Auf bin Malik mursal dan ada perantara antara keduanya. Oleh karena itu dengan menjamak kedua riwayat tersebut maka perawi yang menjadi perantara antara Ibrahim bin Abi ‘Ablah dan Auf bin Malik adalah Ayahnya
Ayah dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah adalah Abu ‘Ablah Syimr bin Yaqzhaan, ia tidak dikenal kredibilitasnya. Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh Wat Ta’dil 4/ 376 no 1639 menyebutkan biografinya bahwa Abu ‘Ablah meriwayatkan dari Ubadah bin Shamit dan meriwayatkan darinya Ibrahim bin Abi ‘Ablah. Ibnu Abi Hatim tidak menyebutkan jarh dan ta’dil atasnya. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqat 4/367 menyebutkan bahwa ia meriwayatkan dari Auf bin Malik dan meriwayatkan darinya Ibrahim bin Abi ‘Ablah. Tidak ada petunjuk yang menguatkan tautsiq Ibnu Hibban dan Ibnu Hibban dikenal tasahul dalam kitabnya itu pada sisi ia memasukkan perawi majhul dalam kitabnya Ats-Tsiqat. Apalagi disebutkan dalam kitab Rijal bahwa yang meriwayatkan dari Abu ‘Ablah hanya satu orang perawi yaitu Ibrahim bin Abi ‘Ablah maka kuat indikasinya bahwa ia seorang yang majhul.
Kesimpulannya hadis Ruwaibidhah riwayat Auf bin Malik kedudukannya dhaif karena di dalam sanadnya ada perawi mudallis (riwayatnya dengan ‘an anah) dan perawi majhul.
Catatan Atas Ulama Yang Menguatkan Hadis Ruwaibidhah
Sebelumnya sudah disinggung bahwa sebagian ulama hadis telah menguatkan hadis ini. Diantaranya adalah sebagai berikut
Syaikh Al-Albaniy dalam kitabnya Silsilah Ahadiits Ash-Shahihah no 1887 dan no 2253
Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya atas Musnad Ahmad bin Hanbal no 8440
Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam tahqiqnya atas Musnad Ahmad bin Hanbal no 7912 dan no 8459
Syaikh Mustafa Al-Adawiy dalam Shahih Al-Musnad Min Ahaadits Al-Fitan hal 398
Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy dalam Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa Fii Ash-Shahihain 3/434 dan 4/468
Sebagian dari mereka menyatakan hadis tersebut shahih atau hasan dengan syawahid (Syaikh Al-Abaniy, Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Syaikh Mustafa Al-Adawiy). Adapun Syaikh Ahmad Syakir menyatakan “sanadnya shahih” pada hadis Abu Hurairah (jalur Sa’iid bin ‘Ubaid) dan Syaikh Muqbil menyatakan hasan hadis Anas bin Malik (jalur Ibnu Ishaaq).
Mengapa dalam perkara ini kami tidak berpegang pada pendapat mereka?. Hal ini karena setelah kami teliti kami menemukan kelemahan atas jalan-jalan hadis yang mereka anggap bisa dijadikan penguat atau dijadikan hujjah.
Contohnya dalam penilaian hadis Abu Hurairah jalur Sa’id bin ‘Ubaid, Syaikh Ahmad Syakir mengatakan “sanadnya shahih” dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan “sanadnya hasan” padahal faktanya salah satu perawinya dhaif dari sisi dhabit yaitu Fulaih dan sanadnya terputus antara Sa’iid dan Abu Hurairah.
Begitu pula dalam penilaian hadis Anas bin Malik (jalur Ibnu Ishaaq) dimana Syaikh Muqbil berkata
Ini hadis hasan, dan jalan Muhammad bin Ishaaq dari ‘Abdullah bin Diinar dari Anas dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah dikeluarkan Al-Bazzaar dalam Kasyf Al-Astaar 4/132 dan di dalamnya Muhammad bin Ishaaq menyebutkan lafaz penyimakan dari ‘Abdullah bin Diinar, segala puji bagi Allah [Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa Fii Ash-Shahihain 3/434]
Sebagaimana telah kami nukilkan penilaian Ibnu Hajar yang menganggap jayyid hadis Anas bin Malik tersebut, kami melihat bahwa penilaian ini hanya berdasarkan zhahir sanadnya dimana para perawinya tsiqat atau shaduq dan Ibnu Ishaaq walaupun mudallis disini ia menyebutkan lafaz penyimakan hadis. Kami tidak berpegang pada penilaian ini karena kami menemukan illat hadis Ibnu ishaaq tersebut dimana ulama mutaqaddimin seperti Yahya bin Ma’in dan Abu Hatim melemahkannya yaitu pada sisi gharib atau tafarrud Ibnu Ishaaq. Selain itu juga telah dibahas di atas bahwa Ibnu Ishaaq memang keliru dalam hadis Anas tersebut.
Kemudian soal penilaian yang menganggap hadis ini shahih atau hasan dengan syawahid kami menilai bahwa kelemahan itu tidak bisa saling menguatkan sehingga mengangkat derajat hadisnya. Contohnya ketika melihat pembahasan dari Syaikh Al-Albani kami menemukan
Syaikh Al-Albani memang melemahkan hadis Abu Hurairah (jalur Sa’iid bin ‘Ubaid) karena kelemahan Fulaih dari sisi dhabit tetapi ia tidak menganggap hadis itu memiliki kelemahan lain yaitu terputusnya sanad antara Sa’iid bin ‘Ubaid dan Abu Hurairah. Jadi kami melihat hadis ini lebih lemah dari apa yang disebutkan Beliau.
Contoh lain yaitu ketika Syaikh Al-Albani menyebutkan hadis Auf bin Malik jalur Isma’iil bin ‘Ayasy, Beliau hanya mengisyaratkan kelemahan dugaan keterputusan antara Ibrahim bin ‘Abi Ablah dan Auf bin Malik tanpa menyebutkan kelemahan dari sisi Isma’iil bin ‘Ayasy dimana ia mudallis dan riwayatnya disini dengan ‘an anah.
Begitu pula Beliau menjadikan hadis Anas bin Malik sebagai syawahid dan nampaknya Beliau menilai sanad hadis Anas hasan hanya dengan melihat zhahir sanadnya padahal hadis tersebut ma’lul karena kesalahan Ibnu Ishaaq dan hadis yang terbukti salah tidak bisa dijadikan penguat.
Jadi hadis-hadis yang dijadikan i’tibar kedudukannya lebih lemah dari yang disebutkan dalam pembahasan mereka oleh karena itu kami tidak berpegang pada penilaian mereka bahwa hadis itu saling menguatkan dan naik derajatnya menjadi hasan atau shahih.
Penutup
Penilaian hadis adalah perkara ijtihad dengan berpegang pada kaidah ilmu hadis yang ada. Para ulama bisa berbeda-beda dalam penilaiannya sehingga untuk menilai pendapat mana yang lebih kuat sudah selayaknya untuk melihat hujjah para ulama tersebut ketika membahas suatu hadis. Kaidah ilmu hadis adalah standar utama dalam menilai suatu hadis dan dijadikan rujukan dalam menimbang penilaian para ulama atas suatu hadis. Hadis Ruwaibidhah setelah diteliti jalan-jalannya dan dinilai dengan kaidah ilmu hadis maka dapat disimpulkan kedudukannya dhaif.
Pentingnya Ibadah Haji Bagi Pengikut Ahlulbait
Melaksanakan ibadah haji ke Baitullah merupakan salah satu ibadah yang wajib dan sangat penting untuk ditunaikan oleh setiap umat muslim, tak terkecuali para pengikut Ahlulbait a.s.
Sedemikian pentingnya ibadah tersebut, sehingga dalam tradisi Ahlulbait, dianjurkan bagi para pengikutnya untuk senantiasa menyelipkan doa agar diberikan kesempatan dan kemampuan memenuhi panggilan Allah Swt itu.
“Allahumma Ar-zuqniy hajja baytika al-haram fi ‘aami hadza wa fi kulli ‘aam.”
(Ya Allah, berikanlah kepada kami kesempatan untuk beribadah haji ke rumah-Mu yang mulia, pada tahun ini atau tahun-tahun berikutnya).
Demikian petikan doa yang dianjurkan untuk selalu dibaca, khususnya pada bulan Suci Ramadhan, baik di siang, malam, maupun selepas sahur dan setelah melaksanakan salat.
Di samping itu juga, para Ulama Syiah di dalam banyak kitab fatwa mereka menyebutkan, bagi seorang muslim yang telah memiliki kecukupan untuk melaksanakan haji, baik dari sisi kesehatan fisik dan kemampuan finansial, maka wajib baginya menunaikan ibadah tersebut. Apabila itu tidak ditunaikan, maka dia telah dihukumi berhutang, dan harus segera menunaikannya.
Adapun ketika pada akhirnya dia meninggal dunia sebelum berhaji, maka ahli waris wajib menyisihkan harta peninggalannya untuk dipergunakan sebagai pelaksanaan haji badal (pengganti) atas nama dirinya.
Hal serupa juga berlaku bagi mereka yang pada akhirnya jatuh miskin, mereka dihukumi berhutang, dan tetap harus berupaya melunasi hutang menunaikan ibadah haji tersebut.
Semua ini menggambarkan betapa ibadah haji itu, selain bersifat wajib, juga sangat penting. Oleh karena itu, selain memperbanyak doa, sangat disarankan pula bagi umat muslim untuk membuat program khusus agar bisa memiliki kemampuan menunaikannya.
Terakhir, penjelasan di atas juga sekaligus menampik berbagai tudingan tidak berdasar, yang dialamatkan kepada Madzhab Ahlulbait atau Syiah, yang dianggap tidak menempatkan ibadah haji sebagai ritual keagamaan yang penting.
Keistimewaan Bernazar
Bernazar merupakan salah satu ajaran Islam yang sangat istimewa. Berbeda dengan salat, puasa, zakat, khumus ataupun haji, nazar merupakan suatu amalan wajib yang bersumber dari setiap individu, dengan kata lain, masing-masing individulah yang membuat amalan tertentu menjadi wajib bagi dirinya.
Oleh karena itulah Allah SWT senantiasa memuji dan memuliakan orang-orang yang bernazar.
Nazar sendiri adalah sebuah janji seorang hamba kepada Allah SWT. Nazar dilakukan ketika seseorang meminta agar keinginan atau hajatnya dapat dikabulkan oleh Allah SWT, lalu ia berjanji akan melakukan suatu amalan tertentu untuk ‘membalas’ hajat yang terkabul tersebut.
Contoh ketika seorang hamba memohon diberi kesembuhan dari penyakit yang dideritanya, dan berjanji kepada Allah SWT akan memberi makan 10 anak yatim jika ia sembuh.
Memberi makan anak yatim itu menjadi amalan wajib baginya ketika ia sembuh dari penyakit yang dideritanya itu.
Nazar memiliki beberapa manfaatn antara lain;
Pertama, Allah SWT akan segera mengabulkan doa dan harapan yang dipanjatkan.
Kedua, Nazar juga akan membuat seseorang menjadi istimewa karena telah berhasil menjadi orang yang mewajibkan sesuatu (yang baik) pada dirinya, padahal sebelumnya sesuatu itu tidak wajib bagi dia.
Ketiga, di saat yang sama, jika nazar itu berhubungan dengan kemaslahatan umat, seperti berbagi harta, makanan, pakaian dan sejenisnya, maka tentu hal itu akan menjadikannya sebagai makhlus sosial yang baik.
Macam-macam Mandi Wajib dalam Fikih Ahlul Bait
Mandi wajib merupakan syarat yang harus dilakukan oleh seorang muslim untuk mensucikan diri mereka dari hadas (najis) besar.
Dalam fikih Ahlul Bait atau Syiah, ada beberapa keadaan yang membuat seseorang berada dalam keadaan hadas besar, dan mengharuskannya mandi wajib sebelum melaksanakan salat atau ibadah lain yang mengharuskan kesucian, yakni:
Mandi Janabah
Mandi janabah ini wajib dilakukan dalam dua keadaaan;Pertama, ketika seorang laki-laki dan perempuan melakukan hubungan badan (intim), baik dengan ataupun tanpa ejakulasi. Atau dengan kata lain, terjadinya kontak klamin laki-laki dan perempuan sudah cukup menjadikan keduanya wajib melakukan mandi janabah sebelum melaksanakan salat.
Pertama, ketika seorang laki-laki dan perempuan melakukan hubungan badan (intim), baik dengan ataupun tanpa ejakulasi. Atau dengan kata lain, terjadinya kontak klamin laki-laki dan perempuan sudah cukup menjadikan keduanya wajib melakukan mandi janabah sebelum melaksanakan salat.
Kedua, ketika seseorang (laki-laki maupun perempuan) mengalami ejakulasi (pelepasan sperma) dengan cara apapun, baik dalam keadaan tidak sadar (tidur) ataupu sadar, seperti onani dan sebagainya.
Adapun ketika seseorang meragukan apakah cairan yang keluar dari kemaluan nya tersebut adalah sperma, maka bisa dipastikan dengan cara mengidentifikasikan beberapa keriteria ejakulasi seperti berikut; Adanya tekanan ketika keluar; Terasa syahwat (nikmat) ketika keluar; dan Tubuh terasa lemas ketika keluar.
Jika tidak bisa diidentifikasi melalui tiga kriteria di atas, maka tidak bisa dihukumi sebagai cairan sperma dan tidak wajib pula baginya mandi janabah.
Mandi Haidh
Mandi haidh ini wajib dilakukan ketika seorang wanita mendapat menstruasi atau datang bulan. Biasanya terjadi satu bulan sekali, atau ada pula yang dua bulan sekali.
Mandi Nifas
Mandi nifas ini wajib dilakukan oleh seorang wanita akibat keluarnya darah dari rahim setelah melahirkan dalam waktu 10 hari.
Mandi Istihadhah
Mandi istihadhah ini wajib dilakukan oleh seorang wanita ketika ada darah yang keluar dari rahim nya, dan itu bukan menstruasi (haidh) ataupun nifas.
Misalnya, nifas yang lebih dari kebiasaan (10 hari setelah melahirkan), atau menstruasi lebih dari biasanya, maka darah itulah yang disebut dengan darah istihadhah.
Darah istihadhah sendiri memiliki tiga macam;
Pertama, hanya sebercak darah atau flek, maka disebut sebagai istihadah kecil, dan tidak dihukumi wajib mandi. Dengan kata lain, cukup baginya wudhu saja untuk menjadi suci, serta dapat melaksanakan salat. Tentu dengan syarat harus mengganti kapas atau pembalut yang digunakan.
Kedua, apabila darahnya keluar banyak atau melumuri kapas atau pembalut, maka disebut sebagai istihadhah sedang. Dia wajib mandi satu kali saja dalam sehari, misalnya mandi wajib sebelum salat subuh, kemudian wudhu dan salat. Setelah itu, untuk melaksanakan salat Dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya, cukup dengan wudhu saja.
Ketiga, apabila darahnya mengalir terus dan tembus hingga ke celana, maka disebut dengan istihadhah besar. Dia wajib mandi tiga kali dalam sehari. Pertama, sebelum salat subuh. Kedua sebelum salat Dzuhur dan Ashar. Ketiga sebelum salat Maghrib dan Isya.
Mandi Jenazah
Mandi jenazah ini wajib bagi seorang muslim atau muslimah yang telah meninggal. Dengan kata lain, kita yang masih hidup diwajibkan memandikan mereka yang telah meninggal.
Mandi Menyentuh Mayat
Mandi menyentuh mayat ini wajib dilakukan ketika seseorang menyentuh jenazah yang tubuhnya sudah dalam kondisi dingin dan belum dimandikan.
Berbeda halnya ketika seseorang menyentuh jenazah tersebut saat masih dalam kondisi hangat, maka kita tidak wajib mandi. Begitupula saat menyentuh jenazah yang sudah dimandikan, maka tidak ada kewajiban mandi setelahnya.
Mandi Nazar
Mandi nazar ini wajib dilakukan apabila seseorang menyatakan sumpah dan berjanji akan mandi wajib apabila permohonannya, harapannya terkabulkan.
Misal seseorang mengucapkan “Wallahi, apabila anak saya sembuh dari penyakitnya maka saya akan mandi wajib”. Apabila anaknya tersebut benar-benar sembuh, maka dia wajib melaksanakan mandi yang disebut sebagai mandi nazar.
Alquran Bukan Kitab Hukum?
Ada dua kelompok ekstrim yang berpandangan terkait keabsahan Alquran sebagai sumber hukum-hukum Islam.
Kelompok pertama memandang, bahwa Alquran bukanlah sumber hukum karena dia merupakan kitab suci, kalam ilahi yang tidak memiliki hubungan langsung dengan amaliyah (tindakan) keseharian manusia.
Sementara kelompok kedua memandang, bahwa Alquran bukan sumber hukum karena dia tidak berbeda dengan kitab-kitab pada umumnya, yang diciptakan oleh manusia.
Tentu saja kita menolak kedua pandangan tersebut. Kita justru berada di tengah, memandang bahwa Alquran adalah kita suci yang memiliki aspek transenden sekaligus memiliki aspek imanen.
Alquran tidak bisa disamakan dengan makhluk, namun di saat bersamaan ia juga merupakan kitab yang memang diturunkan khusus untuk manusia sebagai sebuah petunjuk atau peta jalan.
Alquran adalah kitab yang mampu menunjukkan kepada manusia cara mendekatkan dirinya kepada Allah Swt, mengajarkannya cara mengekspresikan kehambaan pada Dzat Maha Pencipta. Alquran juga merupakan kitab yang bisa menunjukkan kepada manusia rute menuju kebahagiaan dunia maupun akhirat.
Setiap manusia yang berakal sehat pasti membenarkan, jika ia sadar bahwa dirinya adalah entitas yang diciptakan atau akibat, maka pastilah ia memiliki sebab atau yang menciptakannya.
اَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ اَمْ هُمُ الْخٰلِقُوْنَ ۗ
“Apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. At-Tur 52: Ayat 35)
Bagi yang berakal sehat, dua pertanyaan pada ayat tersebut tentu keliru, sebab manusia itu adalah makhluk yang membutuhkan sebab.
Manusia adalah mumkinul wujud, ia bisa ada dan bisa pula tidak ada. Dengan kata lain keberadaanya bergantung pada pemberi ada. Mustahil ia ada (mewujud) dengan dirinya sendiri, karena seperti kaidah logis filosofis, “Yang tidak memiliki mustahil memberi”.
Allah lah yang memberikan manusia wujud sehingga menjadi ada. Dia lah yang menyediakan berbagai fasilitas kepada manusia, berbagai karunia kehidupan baginya.
Sampai disini, maka paling tida ada dua kelaziman yang mucul: Pertama, manusia sebagai ciptaan akan terdorong untuk mengenali siapa penciptanya. Kedua, manusia akan mencari tahu bagiamana cara berterimakasih kepada penciptanya.
Untuk bisa berterimakasih kepada Allah Swt, maka manusia harus mengetahui apa yang diinginkan Allah dari nya, mendengarkan kata-kata Nya. Karena syukur itu adalah melakukan perbuatan yang diinginkan oleh Sang Pemberi.
Dalam kehidupan manusia dengan manusia misalnya, jika ada yang memberikan kita sajadah, maka sebagai bentuk terimakasih, kita akan menggunakan sajadah itu sesuai dengan keinginan si pemberi, yaitu agar digunakan untuk salat.
Kita pasti akan disalahkan atau kita dianggap tidak bersyukur, apabila kita menggunakan sajadah tersebut tidak sebagaimana mestinya, misal menggunakannya untuk lap kaki.
Mungkin saja masih ada orang yang ingin berdalih, bahwa setiap pemberian yang telah diberikan itu telah berpindah hak, dan yang menerima bebas memperlakukan pemberian tersebut?
Jika jawaban itu mucul, maka setiap orang berakal tetap akan menyalahkan pandangan demikian, karena setiap orang berakal akan menilai bahwa pemberian harus disyukuri dengan cara melakukan apa yang sesuai dengan keinginan sang pemberi.
Begitu juga dalam konteks wujud atau kehidupan yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia.
Kita yang diberikan berbagai fasilitas dan karunia dari Allah, maka akal sehat kita akan mengatakan wajib bagi kita berterimakasih.
Cara berterimakasih itu tidak bisa semau kita, tidak bisa sesuka hati kita, tapi kita harus bertanya kepada Nya, atau membaca apa yang Dia pesankan kepada kita agar kita menjadi hamba yang benar-benar bersyukur.
Di Sinilah Peran Alquran
Allah Swt telah mengirim Alquran melalui utusan-Nya, Rasulallah Saw. Di dalam Alquran termuat banyak petunjuk, salah satunya adalah tentang bagaiamana cara manusia bersyukur kepada Allah Swt. Inilah yang disebut dengan amalan fiqih atau syariat.
Apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus kita tinggalkan. Apa yang selayaknya kita lakukan dan apa yang selayaknya kita tinggalkan. Semua itu bisa kita dapatkan dengan menelaah Firman Allah di dalam Alquran.
Uniknya, ternyata di dalam Alquran, ayat-ayat tentang hukum seringkali disandingkan dengan keimanan.
وَا عْلَمُوْۤا اَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَاَ نَّ لِلّٰهِ خُمُسَهٗ وَ لِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَا لْيَتٰمٰى وَا لْمَسٰكِيْنِ وَا بْنِ السَّبِيْلِ ۙ اِنْ كُنْتُمْ اٰمَنْتُمْ بِا للّٰهِ وَمَاۤ اَنْزَلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَا نِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعٰنِ ۗ وَا للّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil, (demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal 8: Ayat 41)
Ada hubungan yang sangat erat antara keimanan dengan melaksanakan hukum yang telah ditentukan.
Di ayat lain Allah Swt berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah 1: Ayat 183)
Di samping itu, ternyata menjalankan perintah Allah, mematuhi aturan dan ketentuan-Nya adalah untuk sepenuhnya kebaikan manusia itu sendiri, bukan untuk Allah Swt.
Hal tersebut sebagaimana tergambarkan pada firman Allah,
وَلِلّٰهِ عَلَى النَّا سِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَا عَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِ نَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 97)
Apakah Allah membutuhkan ibadah haji yang kita lakukan? jawabannya adalah tidak, Allah Swt tidak membutuhkan apa pun dari kita!
Selanjutnya, Alquran juga menyebutkan bahwa aturan, perintah dan larangan Allah Swt itu memiliki makna filosofisnya. Allah tidak serta merta melarang dan membolehkan manusia melakukan suatu tindakan tanpa alasan yang baik.
Semua ketetapan Allah, tentu saja hadir untuk kemaslahatan manusia. Setiap perbuatan yang Allah perintahkan, tidak lain karena di dalamnya ada kebermanfaatan. Begitu juga sebaliknya ketika Allah melarang, disana ada kerugian.
Coba simak ayat tentang larangan meminum “khomar” dan melakukan “judi”. Dua hal itu akan mendatangkan kerugian yang sangat besar bagi manusia.
Di ayat yang lain Allah pun mengatakan bahwa dua tindakan itu adalah ajakan setan,
اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ
“Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?” (QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 91)
Ayat Alquran adalah petunjuk bagi kehidupan manusia. Ia bukan sekedar bacaan yang perlu dibaca dan mendapatkan pahala, namun tidak behubungan dengan kehidupan.
Sehingga ada yang berpandangan bahwa Alquran bukan kitab hukum, melainkan hanya firman-firman Allah yang tinggi dan agung.
Namun di saat yang saat yang sama kita juga menolak bahwa Alquran adalah kitab yang dapat dipahami dengan mudah oleh setiap orang, dan setiap orang bisa mengamalkan ajaran Alquran sesuai dengan pemahamannya.
Tentu tidaklah demikian. Di antara kedua pandangan itu perlu dijelaskan bahwa benar bahwa Alquran merupakan kalam (perkataan) Allah yang suci, namun ia tetap bisa dipahami oleh manusia.
Alquran adalah kalamun arabiyyun mubin (dia adalah kata-kata yang berasal dari bahasa Arab yang jelas), namun karena dia diturunkan untuk manusia di segala waktu dan ruang, di setiap zaman dan generasi, maka Alquran memuat nilai-nilai global-universal.
Jika ia dibuat secara terperinci atau spesifik, maka bisa jadi Alquran hanya berlaku pada masa tertentu dan tidak relevan lagi untuk masa-masa yang akan datang.
Sampai disini, maka perlu figur-figur manusia mulia yang mampu memahami dan menafsirkan Alquran, sehingga nilai-nilai universal itu memiliki konteksnya di setiap zaman.
Ada sosok Rasulallah Saw yang menjabarkan Alquran, menghubungkan ayat-ayatnya sehingga menjadi lebih spesifik, membuahkan hukum lewat hadis-hadis, kemudian ada para Imam Ahlul Bait, para ulama dan seterusnya.
Sekali lagi, universalitas Alquran tak membuatnya menjadi sebuah kitab yang tidak bisa dipahami, justru karena dia adalah sumber hukum yang relevan untuk setiap zaman, maka Allah jadikan Alquran memuat nilai-nilai universal itu.
Madzhab Ahlul Bait meyakini, bahwa ayat-ayat Alquran itu tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk kemudian langsung bisa dipahami oleh masyarakat umum. Melainkan kepada manusia-manusia yang memiliki ilmu dan kapasitas tertentu, seperti para Imam Ma’sumin (manusia suci).
250 tahun lamanya, para Imam dari keturunan Rasulallah mengawal Alquran, memetik hukum-hukum Allah darinya, kemudian menyampaikannya kepada manusia biasa.
Madzhab Ahlul Bait pun menolak apabila dikatakan bahwa penafsiran Alquran yang universal itu tidak mungkin bisa dipahami karena pasti akan memunculkan pemaknaan yang relatif, belum tentu benar, dan tidak ada kewajiban mengamalkan hukum yang disandarkan darinya.
Mengapa kita menolak? Sebab Alquran sendiri yang memerintahkan manusia untuk berpegang teguh padanya, menjadikannya sebagai petunjuk. Hadits Nabi pun memerintahkan hal serupa.
Jadi kesimpulannya, Alquran sebagai kitab suci, memang tidak seluruhnya mengandung hukum-hukum Allah, tapi paling tidak sebagiannya mengandung hal itu, di samping memuat hal-hal yang berkaitan dengan penciptaan, fenomena alam, sosial kemasyarakatan, kematian dan sebagainya.
Kebenaran bahwa Alquran tidak sepenuhnya memuat ayat-ayat tentang hukum tidak bisa menjadi dasar kita untuk menolaknya sebagai sumber hukum. Tapi kita bisa mengatakan bahwa Alquran adalah kita yang sebagiannya mengandung hukum-hukum Islam yang wajib kita lakukan ataupun yang harus kita tinggalkan.
Pada saat yang sama kita juga menolak anggapan bahwa Alquran adalah kitab suci yang mudah dipahami. Tidak sembarang orang bisa memahami Alquran, dibutuhkan ilmu, kebahasaan, kaidah-kaidah, juga kesucian diri.
Saya ingin mencontohkan sikap dua ulama kita yang terkenal, yakni Syahid Murtadha Muthahari dan Allamah Husei Thabathbai.
Dalam bukunya berjudul Jilbab atau Hijab. Syahid Muthahari mengupas tentang hukum menggunakan jibab bagi perempuan berdasarkan ayat-ayat Alquran dan hadits, tetapi tetap saja ia menggarisbawahi bahwa dirinya bukanlah ahli fiqih atau hukum, sehingga apa yang ia simpulkan tidak wajib diikuti sebagai suatu fatwa.
Ia hanya menegaskan bahwa itu merupakan suatu kajian dan renungan pribadinya tentang ayat serta hadits berkenaan dengan hijab bagi perempuan.
Begitu juga dengan Allamah Husein Thabathbai. Ulama yang menulis tafsir mizan, yang mendalami Alquran dengan metode yang benar dan komprehensif, saat berbicara tentang ayat-ayat hukum, maka ia selalu menggarisbawahi bahwa ia tidak sedang membuat fatwa.
Ini menunjukkan bahwa ayat-ayat hukum dalam Alquran itu di satu sisi bisa dipahami karena harus diamalkan, namun pada saat yang sama, tidak sesederhana seperti apa yang dipahami oleh masyarakat awam.
Jadi kesimpulannya, Alquran adalah sumber pertama dan utama hukum-hukum Allah Swt. Dari Alquran kita ditunjukkan tentang apa yang harus kita lakukan maupun apa yang harus kita tinggalkan.
Hal itu selaras dengan apa yang digambarkan beberapa ayat Alquran sendiri, Alquran mempredikatkan dirinya sebagai hudan lil muttaqin (petunjuk bagi orang-orang bertaqwa), kadang ia juga menyebut dirinya sebagai hudan li an-nas (petunjuk bagi umat manusia), atau dengan kata yang identik, Alquran menjelaskan dirinya sebagai nur (cahaya), siraj (pelita), busyra (kabar gembira) yang kesemuanya memiliki keterkaitan dengan makna petunjuk.
Memahami Arti Qana’ah yang Sesungguhnya
Banyak orang menganggap bahwa hidup apa adanya, tanpa harus berusaha keras mendapatkan sesuatu yang lebih dari apa yang dimilikinya adalah sifat qana’ah.
Tak jarang, mereka yang memahami qana’ah seperti itu kehilangan gairah untuk mengais rezeki. Bahkan, mereka tidak lagi memetingkan urusan kehidupan dunia.
Tentu saja, itu bukanlah makna qana’ah yang benar. Qana’ah sesungguhnya adalah suatu sikap cukup atau mencukupkan dalam konteks konsumtif.
Dengan kata lain, seseorang yang memiliki sikap qana’ah tidak akan berlebihan, misalnya dalam hal makanan, pakaian maupun kendaraan. Ia akan cukup dengan sesuatu berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan.
Namun dalam konteks usaha atau produksi, tidak berlaku qana’ah. Justru seseorang dianjurkan untuk terus giat berusaha dan memperkaya diri. Sehingga dengan kekayaan tersebut ia bisa menunaikan kewajiban-kewajibannya yang lain, seperti zakat, khumus dan sedekah.
Dengan demikian, seseorang tersebut akan mendapatkan pahala berlipat ganda dari Allah Swt, karena kemampuannya berbagi pada sesama, khususnya kepada mereka yang membutuhkan pertolongan.
Sumber: Channel Youtube Dana Mustadhafin
Ceramah Ustad Abdullah Beik di Salam Jumat DM
Warisan Suami dan Anak-Anak
TANYA:
Assalamualaikum Seorang perempuan meninggal dunia meninggalkan suami dan anak-anak, 1 laki dan 3 perempuan. Bagaimana pembagian warisnya?
JAWAB:
Alaikumussalam warahmatullah
Seperempat bagian dari harta peninggalan merupakan hak suami, sisanya dibagi menjadi 5 bagian, 2 bagian untuk anak laki-laki dan masing-masing anak perempuan mendapatkan satu bagian.
Sebagai contoh jika harta warisan yang ditinggalkan Rp. 15.000.000,- maka suami mendapatkan Rp. 3.750.000,- sisanya yakni Rp. 11.250.000 dibagi 5 menjadi yaitu Rp. 2.250.000
2 bagian yakni Rp. 4.500.000,- untuk anak laki
Masing-masing anak perempuan mendapatkan satu bagian yakni Rp. 2.250.000,-
Hukum Akikah bagi Anak yang Meninggal dalam Kandungan
TANYA: Salam Ustad. Sebulan yang lalu anak saya keguguran di dalam kandungan saat usia 7 bulan. Apakah janin tersebut wajib diakikahkan oleh orang tuanya? Terimakasih Ustad.
JAWAB: Alaikumussalam. Akikah hukumnya sunnah bagi orang tua yang dikaruniakan anak dan lahir dalam keadaan hidup.
Kesaksian Jurnalis Palestina Atas Penembakan Israel Terhadap Shireen Abu Aqla
Jurnalis Palestina, Shatha Hanaysha, sedang bersama Shireen Abu Aqla (kadang ditulis Abu Akleh) ketika mereka diserang oleh sniper Israel, di Jenin, Tepi Barat. Dalam tulisan ini, dia menggambarkan menit-menitu saat terbunuhnya Shireen, dan kenangannya atas Shireen, jurnalis yang sangat dikaguminya dan membuatnya sejak kecil bercita-cita untuk menjadi jurnalis juga. [Kisah ini disampaikan Shatha Hanaysha kepada penulis Shatha Hammad and Huthifa Fayyad.]
**
Shireen Abu Aqla (kiri), Shatha Hanaysha (kanan)
Sebelum saya pergi tidur tadi malam, saya terpaku pada ponsel saya memantau berita tentang tentara Israel yang meningkatkan pasukan di dekat pos pemeriksaan Jalame, di luar Jenin, sebuah kota Palestina di Tepi Barat yang diduduki.
Saya tahu ini berarti kemungkinan akan terjadi serangan di kamp pengungsi, seperti yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Saya meninggalkan ponsel saya dalam mode umum sehingga peringatan apa pun akan masuk, dan memutuskan untuk tidur beberapa jam agar siap di pagi hari.
Dan tepat sebelum pukul enam pagi, saya menerima telepon.
“Ada penggerebekan di kamp, apakah kamu ingin meliputnya?” rekan saya Mujahed al-Saadi bertanya.
”Tentu saja,” jawab saya. Saya bersiap-siap dan menuju Jenin dari rumah saya di kota Qabatya, 10 menit perjalanan dengan mobil.
Ketika saya tiba di dekat “Bundaran Kembali”, sebuah monumen besar di kota yang mengarah ke kamp, saya mengenakan helm pers dan pelindung tubuh, seperti yang dilakukan para jurnalis lain yang bersama saya.
Di luar kamp, Jenin terlihat tenang. Pagi itu terlihat normal, orang-orang berjalan dan mengemudi untuk bekerja dengan damai.
“Tidak ada yang perlu ditakuti,” seorang pejalan kaki yang datang dari kamp memberi tahu kami saat kami mengenakan rompi. “Hampir tidak ada yang terjadi di sana, tenang.”
Pasukan Israel telah menyerbu kamp dan mengepung rumah Abdallah al-Hosari, yang telah mereka bunuh pada 1 Maret, untuk menangkap saudaranya.
Sebelum kami berjalan kaki menuju kamp untuk meliput serangan dan baku tembak berikutnya antara pasukan Israel dan pejuang Palestina, kami berhenti untuk menunggu wartawan Al Jazeera.
Kejadian Chaos
Beberapa saat kemudian, Shireen Abu Aqla tiba dengan krunya. Inilah jurnalis gaya liputannya saya tiru sejak kecil, dari nada suara hingga gerakan tangan, dan saya bermimpi melakukan apa yang selalu dia lakukan dengan sangat baik. Itulah dia, Shireen, akan menjalankan peliputan yang sama dengan saya.
Shireen sedang bersiap meliput, beberapa menit sebelum ia ditembak Israel
“Selamat pagi,” sapa Shireen, saat dia, saya sendiri, dua reporter lagi, dan dua juru kamera bersiap-siap.
Saya merasakan aura aneh di sekelilingnya saat itu. Saya tidak dapat menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang saya rasakan. Dia seolah ‘melayang’. Dia bahagia.
Kami membuat diri kami terlihat oleh tentara yang ditempatkan ratusan meter dari kami. Kami tetap diam selama sekitar 10 menit untuk memastikan para tentara tahu bahwa kami ada di sana sebagai jurnalis.
Ketika tidak ada tembakan peringatan ke arah kami, kami bergerak menanjak menuju kamp.
Entah dari mana, kami mendengar suara tembakan pertama.
Saya berbalik dan melihat rekan saya Ali al-Sammoudi tergeletak di tanah. Sebuah peluru mengenai punggungnya tetapi lukanya tidak serius dan dia berhasil menjauh dari lokasi.
Selanjutnya kekacauan terjadi. Rekan saya Mujahed melompati pagar kecil di dekatnya untuk menjauh dari peluru.
“Kemarilah!” serunya padaku dan Shireen, tapi kami berada di seberang jalan dan tidak bisa mengambil risiko untuk menyeberang.
“Al-Sammoudi terkena!” teriak Shireen, berdiri tepat di belakangku, saat kami berdua berdiri dengan punggung menghadap dinding untuk berlindung.
Saat itulah, peluru lain menembus kepala Shireen, dan dia jatuh ke tanah tepat di sebelah saya.
Saya memanggil namanya tapi dia tidak bergerak. Ketika saya mencoba mengulurkan tangan untuk menjangkaunya, peluru lain ditembakkan, dan saya harus tetap bersembunyi di balik pohon.
Pohon itu menyelamatkan hidup saya, karena itu adalah satu-satunya yang menghalangi pandangan tentara terhadap saya.
“Mundur, mundur!” teriak rekan-rekan saya, saat peluru beterbangan setiap kali saya mencoba memeriksa denyut nadi Shireen.
Entah dari mana, seorang penduduk kamp berhasil mencapai kami dengan mobil dari gang yang jauh dari jangkauan tentara Israel. Dia dengan cepat menarikku dan tubuh Shireen dan mengantar kami ke rumah sakit.
Mereka Bertujuan untuk Membunuh
Saya masih shock.
Apa yang terjadi adalah upaya yang disengaja untuk membunuh kami. Siapa pun yang menembak kami, bertujuan untuk membunuh. Dan adalah penembak jitu Israel yang menembak ke arah kami. Kami tidak terjebak dalam baku tembak dengan pejuang Palestina seperti yang diklaim tentara Israel.
Tidak ada pertempuran saat itu. Lokasi kejadian berada di area yang relatif terbuka, jauh dari kamp dimana pejuang Palestina tidak dapat bertindak karena mereka akan dirugikan jika bergerak di sana.
Jenis tembakan adalah indikasi lain. Pejuang Palestina biasanya menggunakan senapan semi-otomatis yang menyemprotkan peluru secara terus menerus. Peluru ini berbeda. Mereka sporadis dan tepat. Mereka hanya menembak ketika salah satu dari kami bergerak. Satu peluru pada satu waktu.
Saat itu saya tidak tahu, bagaimana akhir nasib saya hari itu, tetapi selama beberapa saat, saya telah bersiap untuk mati. Jenin telah berada di bawah serangan intensif Israel dalam beberapa bulan terakhir. Setiap kali saya meliput serangan itu, saya merasa akan dibunuh.
Israel tidak membedakan antara tua dan muda, pria dan wanita, jurnalis sipil dan kombatan. Setiap orang adalah sasaran.
Kenangan Atas Shireen
Di rumah sakit kami semua kaget. Jurnalis, petugas medis, dan warga Jenin.
Seperti banyak reporter lainnya, saya sangat terpukul. Setiap kali saya meletakkan telepon saya untuk memfilmkan, lengan saya lemah. Saya ingin melakukan pekerjaan saya dan mendokumentasikan adegan itu, tetapi saya juga ingin menghormati Shireen di saat terakhir.
Saya ingat diri saya sebagai seorang anak menonton dia menyampaikan liputannya di TV selama Intifadah Kedua.
Saya berusia sekitar tujuh tahun saat itu, dan sejak itu saya tahu persis apa yang saya inginkan ketika saya dewasa: saya ingin menjadi seperti Shireen.
Saya ingat ketika orang tua dan kakek-nenek saya akan duduk-duduk di ruang tamu dan berkata: “Shatha, ayo, beri kami laporan gaya Shireen.”
Ketika saya mengatakan ini padanya, dan bahwa dia adalah idola saya, dalam pertemuan pertama kami beberapa tahun yang lalu, dia tersenyum dan bercanda dengan saya.
Dia rendah hati pada saya, baik hati, dan manis.
Dia datang ke Jenin beberapa minggu yang lalu setelah bertahun-tahun tidak melapor dari kota ini. Saya pergi untuk menyambutnya, tidak menyangka dia akan mengenali saya, karena pastilah dia telah bertemu sangat banyak jurnalis muda lainnya.
“Bagaimana kabarmu Shatha?” katanya saat melihat saya, mengingat nama saya, membuat saya terkejut sekaligus senang.
Kisah-kisah seperti inilah yang mungkin akan diingat sebagian besar dari kita, saat tubuhnya dibawa berkeliling Jenin untuk dikenang.
Kami akhirnya tiba di biara kecil di kota dan lonceng gereja mulai berbunyi untuk Shireen, yang berasal dari keluarga Kristen dari Betlehem.
Di sekitar jenazah Shireen, kami semua berdiri sebagai Muslim dan Kristen, mendengarkan doa Imam dalam diam.
Ketika saya melihat sekeliling, saya melihat beberapa kamera sedang merekam. Di belakang masing-masing adalah seorang jurnalis Palestina yang terisak-isak, mengetahui bahwa Shireen tidak akan pernah berada di ujung lensa itu lagi.
Sebagai warga Palestina dan jurnalis, kehilangan kami tak terlukiskan. Tapi sekarang, lebih dari sebelumnya, pekerjaan kami menjadi semakin penting. Untuk mendokumentasikan kejahatan rezim pendudukan ini, untuk nilai jurnalistik kita, untuk kebenaran, dan untuk Shireen.



























