کمالوندی
Tobat
“Sesungguhnya Allah lebih bahagia dengan taubatnya
seorang hamba daripada seseorang yang datang ke suatu
tempat yang gersang. Ia membawa unta tunggangannya. Di
atas untanya itu ada makanan dan minumannya. Ia
beristirahat meletakkan kepalanya dan tertidur lelap.
Ketika ia bangun, untanya hilang.
Ia berusaha mencarinya, sampai ia sangat kepanasan dan
kehausan. Ia berkata: ‘Aku akan kembali ke tempatku
semula. Aku akan tidur sampai mati’. Ia kembali lagi
dan tidur lelap. Kemudian ia bangkit, mengangkat
kepalanya. Tiba-tiba ia melihat untanya itu kembali
lagi kepadanya. Di atasnya masih utuh perbekalan,
makanan dan minumannya. Sesungguhnya Allah lebih senang
dengan tobatnya seorang mukmin ketimbang orang ini
ketika melihat unta dan perbekalannya kembali
kepadanya.” (Kanz al-‘Ummal, hadis 10161).
Dengan kalimat-kalimat inilah Nabi SAW mengambarkan
taubat. Tawbat dalam bahasa Arab berarti “kembali”.
Dalam Al-Qur’an, salah satu nama Allah ialah ‘Al-
Tawwab”, yang banyak bertaubat atau yang banyak
kembali. Maka Adam menerima dari Tuhan-nya kalimat dan
ia bertaubat dengannya. Sesungguhnya Allah Al-Tawwab
dan Maha Pengasih (Al-Baqarah: 37). Kata yang sama
digunakan untuk menunjukkan orang yang bertaubat kepada
Allah: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan
dirinya (Al-Baqarah: 222). Jadi, manusia bertaubat
kepada Tuhan, dan Tuhan pun bertaubat kepada manusia.
Tanpa merujuk kepada makna asalnya, yakni kembali, kita
akan kesulitan memahami doa ini: wa tub ‘alaina innaka
anta al-tawwab al-rahim (dan bertaubatlah kepada kami,
sesungguhnya Engkau Yang Banyak Bertaubat dan Yang Maha
Pengasih).
“Allah bertaubat kepadanya” berarti Dia kembali
kepadanya dengan ampunan, atau kembali kepadanya dengan
anugerah-Nya, dan menerima taubatnya serta
memaafkannya. Karena itulah Allah itu Al-Tawwab. Pada
kata taubat ada makna “kembali”-hamba kembali dari
dosanya dan Tuhan kembali dengan rahmat dan ampunan-
Nya.” (Mu’jam al-Fazh al-Qur’an Karim 1:162).
Ketika seorang hamba berbuat dosa, ia meninggalkan
Tuhan. Tuhan pun meninggalkan dia juga. Seperti
didendangkan Bimbo: “Aku dekat Engkat dekat. Aku jauh
Engkau jauh”. Walaupun, berdasarkan hadis di atas,
kalimat yang benar ialah “aku dekat Engkau lebih dekat
lagi, aku jauh Engkau lebih jauh lagi”. Dalam salah
satu hadis Qudsi yang masyhur, Tuhan berfirman: “Jika
kamu datang kepadaku dengan merangkak, Aku akan
menyongsongmu sambil berjalan. Jika kamu datang
kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan menyambutmu sambil
berlari, karena kasih-Nya yang tidak terbatas.
Betapapun besar dosa yang dilakukan seorang manusia,
Tuhan akan selalu menerima hamba-Nya yang kembali
kepada-Nya.
Dahulu, dua ulama besar dari zaman tabi’in berbincang
tentang dosa dan ampunan. Hasan Al-Bashri berkata,
“Jika aku melihat dosa-dosa manusia, aku heran kalau
masih ada orang yang bisa masuk surga.” Ali Zainal
‘Abidin menukas, “Jika aku melihat kasih sayang Tuhan,
aku heran kalau masih ada manusia yang masuk neraka.”
Memang benar, keadilan Tuhan sangat menakutkan.
Bukankah Nabi SAW bersabda bahwa tidak akan masuk surga
orang yang mempunyai perasaan takabbur walaupun sebesar
debu saja? Siapakah di antara kita yang tidak ditimpa
kepongahan dalam kadar yang bermacam-macam? Tetapi
kasih sayang Tuhan meliputi segala sesuatu yang
mengalahkannya. Ridha Tuhan mengalahkan murka-Nya.
Karena itu, dalam Al-Qur’an, Allah meletakkan “Yang
Maha Keras dalam Menyiksa”sebagai salah satu nama-Nya
setelah nama-nama yang mengungkapkan kasih sayang-Nya:
Penghapus Dosa, Penerima Taubat, Yang Maha Keras dalam
Menyiksa (Ghafir: 3)
Dalam hadis berikut ini, Nabi SAW menegaskan hadis di
atas. “Sesungguhnya Allah lebih senang menerima taubat
hamba-Nya daripada seorang perempuan mandul ketika
memperoleh anak, daripada seorang yang sesat ketika
menemukan jalan, daripada seorang yang haus ketika
menemukan minuman” (Kanz al-‘Ummal, 10165).
Apakah Taubat itu? Para sufi melihat perjalanan hidup
ini sebagai perjalanan menuju Tuhan. Mereka menyebut
dirinya salik atau sair (sayr), yang sedang bepergian.
Sepanjang perjalanan itu, ia akan menemui stasiun-
stasiun, atau maqam, manzil. Maqam yang pertama adalah
taubat. Kaena itulah, hampir setiap pengantar tasawuf
membahas pengertian taubat, syarat-syarat taubat, dan
dari apa kita harus bertaubat.
Ketika menjelaskan ayat, “siapa yang tidak bertaubat,
mereka termasuk orang yang zalim” (Al-Hujurat 11), Al-
Tilmisani menulis, “Taubat menurut bahasa artinya
“kembali”. Ketika Anda berkata “taba ‘ala atsarih”,
yang Anda maksud adalah kembali ke tempat semula. Di
sini maksudnya, kembali dari menentang Tuhan kepada
mengikuti-Nya. Seorang yang bertaubat kembali dari
jalan yang dimurkai dan jalan yang sesat ke jalan
orang-orang yang diberi nikmat” (Syarh Manazil al-
Sairin: 61).
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa taubat terdiri dari
tiga unsur: ilmu, keadaan, dan perbuatan. Ilmu
melahirkan keadaan, dan keadaan melahirkan perbuatan.
Ilmu ialah kesadaran akan bahaya dosa yang pernah
dilakukan dan kesadaran akan jatuhnya tirai yang
menghalangi seseorang dengan kekasihnya. Bila ia tahu
Tuhan telah meninggalkannya, ia akan merasakan
kepedihan hati. Ia kehilangan kekasihnya. Hatinya
dipenuhi penyesalan. Inilah keadaan psikologis atau
spiritual, yang tumbuh dari kesadaran akan dosa.
Setelah hatinya dipenuhi penyesalan, ia segera
meninggalkan dosanya pada waktu kini dan bertekad tidak
akan melakukannya pada waktu yang akan datang (Ihya’
‘Ulum al-Din, Kitab al-Tawbah). Al-Ghazali boleh jadi
merujuk pada ucapan Imam Ali bin Abi Thalib kw.,
“Taubat ditegakkan di atas empat fondasi: penyesalan
dalam hati, permohonan ampunan dalam lidah, perbuatan
dalam anggota (badan), dan tekad untuk tidak mengulangi
dosa (Bihar al-Anwar, 78:81). Rasulullah SAW bersabda:
“Penyesalan itu taubat.” (Kanz al-‘Ummal, 10301).
Dari sini para sufi merumuskan tiga syarat taubat:
penyesalan, meninggalkan maksiat, dan tekad untuk tidak
mengulanginya. Tidak sempurna taubat tanpa memenuhi
syarat-syarat ini. Penyesalan adalah suasana psikologis
yang dirasakan seorang hamba sahaya yang bertaubat.
Bayangkanlah keadaan ketika seorang budak melarikan
diri dari tuannya.
Ia tertangkap. Kuduknya diseret dan tubuhnya
dilemparkan ke hadapan tuannya. Ia tersungkur dalam
keadaan lemah, hina dan tidak berdaya. Ia jatuh di
hadapan tuannya yang berkuasa dan siap menjatuhkan
hukuman yang berat baginya. Ia merintih memohon
ampunan. Ia berjanji untuk tidak berbuat hal yang sama.
Seperti itulah, seorang yang bertaubat di hadapan
Tuhan-nya.
Hakikat taubat itu dengan indah digambarkan dalam doa
Ali bin Abi Thalib berikut ini:
Aku datang kini menghadap-Mu, ya Ilahi
dengan segala kekuranganku
dengan segala kedurhakaanku
seraya menyampaikan pengakuan dan penyesalanku
dengan hati yang hancur luluh
memohon ampun dan berserah diri
dengan rendah hati mengakui segala kenistaanku
Karena segala cacatku ini
tiada aku dapatkan tempat melarikan diri
tiada tempat berlindung untuk menyerahkan urusanku
selain pada kehendak-Mu
untuk menerima pengakuan kesalahanku
dan memasukkan aku pada keluasan kasih-Mu
Ya Allah,
terimalah pengakuanku
kasihanilah beratnya kepedihan
lepaskan aku dari kekuatan belengguku
Ya Rabbi, kasihanilah kelemahan tubuhku
kelembutan kulitku
dan kerapuhan tulangku
Cara Bertaubat. Cara bertaubat bergantung pada jenis
dosa yang dilakukan. Ada dua macam dosa: dosa kepada
Allah dan dosa kepada makhluk-Nya. Bertaubat dari dosa
kepada Allah dapat dilakukan dengan memohonkan ampunan
kepada-Nya langsung atau melakukan berbagai amal yang
menurut syariat dapat menghapuskan dosa itu. Nabi SAW
bersabda: “Apabila dosa seorang hamba sangat banyak dan
amal-amalnya tidak cukup untuk menebusnya, Allah
memberikan padanya berbagai kesusahan sebagai penghapus
dosa-dosanya”(HR Ahmad). “Di antara dosa-dosa, ada dosa
yang tidak dapat dihapus, kecuali dengan kesulitan
mencari nafkah” (HR Ath-Thabrani). Bertaubat dari dosa
kepada sesama manusia hanya bisa dilakukan setelah
mengembalikan hak-hak mereka yang sudah dirampas.
Berkenaan dengan dosa kezaliman, Al-Ghazali mengatakan
bahwa kezaliman menggabungkan kedua dosa; dosa kepada
Tuhan karena Ia melarang kita berbuat zalim, dan dosa
kepada manusia karena kita mengambil haknya dengan
paksa. Kepada Tuhan ia dapat memohonkan ampunan dengan
merintih dan menangisi kesalahan-kesalahannya, serta
berjanji untuk tidak mengulanginya. Kepada manusia, ia
harus menghentikan perbuatan zalimnya dan mengembalikan
hak yang telah dirampasnya. Jika yang diambil itu
hartanya, ia harus mengembalikan harta itu. Jika yang
dihancurkan itu kehormatannya, ia harus merehabilitasi
kehormatan itu. Tanpa pengembalian hak, Tuhan tidak
akan mengampuni dosa-dosanya.
Pada suatu hari, Imam Ali bin Abi Thalib kw. menemukan
seseorang sedang membaca istighfar. Ia berkata,
“Sesungguhnya istighfar itu hanya terjadi setelah
memenuhi enam hal. Pertama, penyesalan terhadap
perbuatan yang telah dilakukan. Kedua, bertekad untuk
tidak mengulangi perbuatan itu selama-lamanya. Ketiga,
mengembalikan hak-hak makhluk yang telah dirampas.
Keempat, menunaikan segala kewajiban yang telah
dilalaikannya. Kelima, berusaha untuk menghilangkan
daging dalam tubuh, yang tumbuh dari makanan yang
haram. Ia menghilangkan daging-daging itu dengan
kesedihannya, sehingga tumbuh daging yang baru.
Keeanam, membiasakan kepada tubuh sakitnya menjalankan
ketaatan sebagaimana sebelumnya telah menikmati
manisnya kemaksiatan. Setelah keenam perbuatan itu,
barulah ia boleh berkata, “Astaghfirullah”.
Fungsi dan Manfaat Shalat
SHALAT, secara harfiah, berarti doa. Dalam konteks ini, yang dimaksud shalat adalah doa yang disampaikan dengan tata cara—syarat dan rukun—yang khas dalam bentuk bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan tertentu. Dalam bahasa syariah, inilah yang disebut dengan ash-shalawât al-qâ’imah (shalat-shalat yang didirikan), terdiri atas shalat wajib 5 waktu dan berbagai shalat sunnah. Kata “shalat” juga memiliki akar kata yang sama dan memiliki hubungan makna dengan kata “shi-lah”, yang bermakna “hubungan”. (Contohnya, “shilah al-rahim” bermakna “silaturahmi” atau “hubungan kasih-sayang”.) Dalam kaitannya dengan kata “shilah” ini, shalat bermakna medium hubungan manusia dengan Allah Swt. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa “shalat adalah mi‘râj-nya orang-orang beriman”. Dengan kata lain, sebagaimana Rasulullah bertemu dengan Allah Swt. ketika ber-mi‘râj, orang beriman (dapat) bertemu dengan-Nya melalui shalat.
Meski ada riwayat yang menyatakan bahwa Allah mewahyukan tentang shalat pada saat Rasulullah ber-mi‘râj, banyak riwayat yang menunjukkan bahwa Rasul—bersama Siti Khadijah dan Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib—telah melakukan shalat, bahkan sebelum beliau melakukan dakwah terang-terangan. Tak kurang pula indikasi dalam Al-Quran dan hadis, serta pandangan para ulama dan sufi—sebagiannya dikutip dalam buku ini—bahwa kewajiban shalat telah dilakukan oleh para rasul sebelum Muhammad Saw. Para peneliti Bibel—antara lain Thomas McElwain—malah merasa yakin telah menemukan ayat-ayat dalam kitab suci orang-orang Nasrani ini petunjuk-petunjuk gerakan yang mirip dengan tata cara shalat orang Muslim. Jadi, meski tak harus sepenuhnya sama, tampaknya tata cara shalat sudah dikenal sebelum datangnya Islam.
Al-Quran memberikan tempat utama kepada ibadah shalat ini. Demikian pula Rasulullah Saw. Dalam Al-Quran tersebut tak kurang dari 234 ayat mengenai shalat. Di antaranya, sebuah ayat yang mengisahkan orang-orang yang dijebloskan ke dalam Saqar—suatu lembah di Neraka Jahanam:
(Kepada mereka ditanyakan): “Apakah yang memasuk-kan kamu ke dalam Saqar?” (Mereka menjawab): “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS Al-Muddatstsir [74]: 42-43)
Sementara itu, dengan tegas Rasulullah menyatakan, “Tak ada pembeda antara orang Mukmin dan orang kafir kecuali shalat.” Di kesempatan lain disabdakannya pula, “Shalat adalah pilar agama,” dan “Yang paling awal diperhitungkan dari seorang hamba pada Hari Kiamat adalah shalat. Jika baik shalatnya, baiklah seluruh amalnya yang selebihnya. Jika buruk shalatnya, buruk pulalah seluruh amalnya yang selebihnya.”
Di dalam Al-Quran, shalat disebutkan dengan berbagai fungsi shalat.
Pertama, shalat adalah pencegah dari perbuatan buruk. “Sesungguhnya, shalat (yang benar—HB)mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS Al-‘Ankabût [29]: 45). Perbuatan keji adalah semua perkataan dan perbuatan yang mengotori kehormatan dan kesucian diri, sementara yang mungkar adalah apa saja yang ditolak oleh syariat.
Kedua, shalat adalah sumber petunjuk. Rasulullah bersabda, “Shalat adalah sumber cahaya.” Barang siapa yang memeliharanya, ia akan mendapatkan cahaya dan petunjuk. Dan barang siapa yang tidak memeliharanya, maka tiada cahaya atau petunjuk baginya.
Ketiga, shalat adalah sarana kita meminta pertolongan dari Allah Swt. “Mintalah pertolongan dengan sabar (dalam sebagian tafsir, sabar diartikan sebagai puasa dan shalat)” (QS Al-Baqarah [2]: 45).
Keempat, shalat adalah pelipur jiwa. Allah Swt. berfirman, “… dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (QS Thâ Hâ [20]: 13-14). “Dan bukankah dengan mengingat-Ku, hati menjadi tenteram?” (QS Al-Ra‘d [13]: 28). Diriwayatkan bahwa setiap kali Rasul mengalami kesedihan atau kegundahan, beliau akan memerintahkan kepada Bilal, “Senangkan kami, wahai Bilal.” Maksud beliau, hendaklah Bilal mengumandangkan iqamah agar Rasul dan para sahabatnya dapat melakukan shalat setelah itu. Pada kesempatan lain, beliau menyatakan, “Dijadikan bagiku shalat sebagai penyejuk-jiwaku.”
Kelima, selain mendatangkan kebahagiaan, shalat yang dilakukan secara teratur akan dapat melahirkan kreativitas. Psikologi mutakhir—yang biasa disebut sebagai psikologi positif—telah menunjukkan besarnya pengaruh ketenangan terhadap kreativitas. Mihaly Csikszentmihalyi, ahli psikologi ini, memperkenalkan suatu keadaan dalam diri manusia yang disebutnya sebagai “flow”. Bukan saja “flow” adalah sumber kebahagiaan, ia sekaligus adalah sumber kreativitas. Shalat yang khusyuk menghasilkan kondisi “flow”dalam diri pelakunya.
Keenam, berdasar penemuan-penemuan mutakhir yang menyatakan bahwa kesehatan tubuh dan penyakit sebenarnya berasal dari penyakit jiwa, dan bahwa banyak penyakit tubuh sesungguhnya dapat disembuhkan melalui ketenangan jiwa, maka shalat dapat dilihat sebagai sarana kesehatan tubuh juga. Dan, sehubungan dengan ini, telah banyak dilakukan penelitian untuk melihat manfaat mengerjakan shalat secara teratur bagi kesehatan tubuh.
Dapat disimpulkan dari berbagai manfaat shalat tersebut di atas bahwa sesungguhnya shalat—di samping fungsi utamanya sebagai sarana beribadah kepada-Nya, mengembangkan keimanan kepada suatu Zat Mahakuasa dan Maha Penyayang yang kepada-Nya kita dapat mempertautkan kecintaan dan keimanan, serta memperhalus akhlak—adalah fasilitas yang dianugerahkan-Nya kepada kita untuk meningkatkan kualitas hidup kita sehari-hari. Banyak orang bersusah payah mencari jalan dalam mencapai hal ini dengan mengembangkan berbagai bentuk meditasi transendental, hipnosis, mencari konsultasi psikologis dan medis, bahkan lari kepada obat-obat penenang atau, kalau tidak, mesti hidup dalam kebingungan serta tekanan stres dan depresi. Padahal, sebagai Muslim, kita telah diajari teknik-teknik foul proof yang datang dari Dia Yang Mahatahu. Masihkah, setelah ini, kita akan menyia-nyiakan shalat dengan tidak menjalankannya?
Dari sini, marilah kita lanjutkan pembicaraan kita tentang shalat dan berbagai seluk-beluknya itu, bi ‘aunil-Lâhi Ta‘âlâ.
Inilah Alasan Doa Kita Tidak Sampai ke Langit
Manusia adalah makhluk yang lemah. Ketika ia mempunyai sebuah hajat dan keinginan yang belum tercapai, selain berusaha ia juga akan berdoa. Bisa jadi antara manusia dan doa itu tidak bisa dipisahkan.
Jika Anda berdoa namun tidak mendapatkan hasil maka Anda harus tahu bahwa mungkin doa Anda terhalang oleh dosa-dosa. Karena salah satu pengaruh dosa bagi manusia adalah dosa-dosa menghalangi doa-doa manusia untuk sampai ke langit.
Salah satu doa yang sering dipanjatkan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib kwz berbunyi, “Allahummaghfirlii ad-dzunubal lati tahbiasu ad-dua”
Yang artinya, “Ya Allah! Ampunilah aku dari dosa-dosa yang bisa menghalangi dosa!”
Selain itu sang pintu kota ilmu pun berkata, “Dosa menghalangi ijabah doa”.
Para pembaca yang budiman maka dari itu mungkin ketika kita hendak berdoa maka sebelum berdoa bacalah istighfar terlebih dahulu dengan berharap semoga Allah swt mengampuni setiap dosa-dosa kita terutama dosa yang bisa menghalangi doa untuk sampai ke langit.
Selain itu janganlah juga menganggap remeh dosa-dosa kecil. Karena dosa kecil jika dikumpulkan maka ia akan membesar dan mengalahkan gunung. Sehingga dosa-dosa tersebut bisa menghalangi doa-doa kita untuk sampai ke langit.
Arafah; Peluang Emas untuk Bertobat
Allah Swt Maha Penyayang dan Pengampun, serta rahmat-Nya senantiasa menyelimuti seluruh makhluk, tapi harus kita sadari bahwa rahmat ilahi di sejumlah waktu dan tempat lebih besar serta pengampunan dosa lebih mudah.
Salah satu waktu tersebut adalah Hari Arafah. Bagi mereka yang mencari rahmat ilahi, Hari Arafah merupakan peluang yang sangat baik sehingga mereka mampu meraih keridhaan Tuhan serta bertobat atas dosa-dosanya.
Salah satu karakteristik orang mukmin adalah senantiasa ingin mendekatkan dirinya dengan Tuhan serta setiap langkahnya demi meraih keridhaan-Nya. Seperti disebutkan di berbagai riwayat yang menganjurkan tobat atau doa, serta dari sisi lain tempat atau waktu khusus yang disebutkan bagi terkabulnya doa atau tobat, juga dijelaskan waktu atau tempat istimewa untuk meraih keridhaan Tuhan di mana orang mukmin dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhan.
Arafah lokasi yang tepat bagi kita untuk memikirkan filosifi penciptaan dan posisi kita di alam semesta dan memahami esensi sejati kita. Hari kesembilan bulan Dzulhijjah adalah hari Arafah, hari ketika para peziarah Baitullah berbondong-bondong menuju padang Arafah untuk menunjukkan penghambaan dan menitikkan air mata, bermunajat kepada Allah Swt. Arafah merupakan tempat terbaik yang pernah dijadikan tempat pemberhentian pada Wali Allah.
Salah satu peluang terbaik di hari ini adalah mengenal Tuhan. Di salah satu hadis dari Rasulullah disebutkan bahwa siapa yang mengenal dirinya sendiri maka ia mengenal Tuhannya. Menurut hadis ini, mengenal Tuhan hanya dapat diraih dengan mengenal diri sendiri. Para ulama Syiah sangat mementingkan hadis ini dan mereka mengatakan, isi hadis ini dari kitab samawi dan sejumlah ayat al-Quran menjelaskan arti dari hadis ini.
Peluang lain di hari ini adalah peluang untuk bertobat dari dosa-dosa, sebuah peluang yang tidak dapat diulang di hari-hari yang lain. Tobat sangat dibutuhkan seorang hamba. Di hari istimewa ini Tuhan menerima berbagai tobat, cukup manusia bertekad meninggalkan dosa dan menyesal perbuatannya, saat itu mereka akan tenggelam ke dalam lautan rahmat ilahi.
Peluang penting lain di Hari Arafah adalah berdoa dan munajat. Arafah disebut hari munajat karena amal terbaik di hari ini adalah memanjatkan doa kepada Ilahi. Sedemikian pentingnya doa di hari ini, sehingga para Imam Maksum as menganjurkan jika puasa sunnah di hari ini menyebabkan tubuh lemah dan tidak memungkinkan untuk berdoa, maka lebih baik ditinggalkan sehingga setiap orang bisa lebih khusyu berdoa dan bermunajat. Anjuran ini menunjukkan urgensi dan kedudukan khusus doa serta munajat.
Doa adalah wasilah atau instrumen bagi makhluk untuk mendekatkan diri kepada Penciptanya. Doa memberikan ketenangan batin kepada manusia. Karena dalam doa perhatian manusia hanya ditujukan kepada Tuhan dan mengabaikan selain-Nya.
Pada kenyataannya, dengan doa manusia melatih dirinya dalam penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghindari syirik, serta mewujudkan Tauhid yang merupakan syarat awal seseorang menjadi Muslim.
Doa adalah hadiah Ilahi yang dianugerahkan kepada manusia. Sungguh indah ketika berdoa di Hari Arafah, kita lebih dahulu mendoakan orang lain sebelum kita sendiri. Imam Shadiq as terkait dampak luar biasa lebih dulu mendoakan orang lain berkata, barangsiapa yang mendoakan saudaranya, malaikat berseru dari langit, Hai hamba Tuhan 200 ribu kali lipat dari apa yang engkau inginkan akan menjadi milikmu.
Malaikat yang lain dari langit ketiga berseru, Hai hamba Tuhan 300 ribu kali lipat dari apa yang engkau inginkan akan menjadi milikmu. Malaikat yang lain dari langit keempat berseru, Hai hamba Tuhan 400 ribu kali lipat dari apa yang engkau inginkan akan menjadi milikmu, begitu seterusnya hingga malaikat dari langit ketujuh.
Lantunan doa di hari Arafah berkumandang hingga membuat setan sedih atas penghambaan manusia kepada Tuhan. Para jemaah haji di hari ini, membersihkan jiwanya di samudera rahmat dan kasih sayang Ilahi sehingga mereka seperti bayi-bayi yang baru lahir, suci dari segala kekotoran duniawi. Di riwayat di sebutkan, mereka yang telah kehilangan kesempatan di malam lailatul qadar dan bulan Ramadhan untuk mendapatkan ampunan Tuhan, maka selayaknya ia memanfaatkan hari Arafah untuk meminta ampunan Ilahi. Hari ini, tangan-tangan hamba Ilahi memiliki satu kesamaan yakni mereka sama-sama memohon rahmat dan ampunan Ilahi.
Pentingnya doa di Hari Arafah sedemikian tingginya sehingga Nabi Muhammad Saw yang kerap melaksanakan shalat Zuhur dan Asar dengan jeda waktu, di Hari Arafah melaksanakan kedua shalat itu tanpa jeda sehingga tersedia waktu yang lebih banyak untuk berdoa dan bermunajat.
Salah satu doa yang paling indah dan mengandung makna yang dalam dan dibaca di Hari Arafah adalah Munajat Imam Husein as. Imam Husein as di dalam doa penuh makna itu, menjelaskan Tauhid dengan kalimat-kalimat luhur dan indah. Semangat irfan dan makrifat mencapai puncaknya di setiap baris doa ini.
Imam Husein as di dalam doanya menjelaskan salah satu sisi dari nikmat tanpa akhir Tuhan untuk manusia di seluruh kehidupannya. Salah satu di antaranya, Imam Husein as mengatakan bahwa kasih sayang dan kesabaran seorang ibu adalah percikan kasih sayang Tuhan.
Setelah itu Imam Husein as menjelaskan tentang pentingnya bersyukur atas segala nikmat Ilahi dan menganggap dirinya tidak mampu bersyukur bahkan satu kalipun. Setiap baris doa ini adalah pintu dari cinta dan kasih sayang Tuhan yang dibuka bagi manusia. Makna terdalam doa ini menunjukkan bahwa Imam Husein as dengan seluruh wujudnya mencintai Allah Swt dan beliau merasakan kehadiran Tuhan di seluruh wujudnya.
Di salah satu bagian doanya, Imam Husein as bermunajat, Ya Tuhanku Engkaulah yang memberikan nikmat, Engkaulah yang berbuat baik, Engkaulah yang bersikap baik, Engkaulah yang memuliakan, Engkaulah yang membuatku mampu, Engkaulah yang memberikan kemuliaan, Engkaulah menyempurnakan rahmat-Mu, Engkaulah yang memberi rizki, Engkaulah yang bertindak atas kemuliaan-Mu.
Engkaulah yang menjauhkanku dari dosa, Engkaulah yang menutup dosa-dosa, Engkaulah yang mengampuni dosa-dosa, Engkaulah yang menerima kekurangan, Engkaulah yang mencegahku berbuat dosa, Engkaulah yang memberikan kemuliaan, Engkaulah yang mendukung, Engkaulah yang meneguhkan sikapku, Engkaulah yang memberi kesempatan, Engkaulah yang memberi kesehatan, Engkaulah berderma, Maha Agung Engkau Tuhanku, segala puji selamanya bagi-Mu.
Akan tetapi aku, Wahai Tuhanku, mengakui seluruh kesalahanku, maka ampunilah aku. Akulah yang berbuat dosa, akulah yang berbuat salah, akulah yang berbuat bodoh, akulah yang berjanji, aku pula yang tidak menepatinya, akulah yang melanggar janji, akulah yang berikrar atas kejahatanku sendiri. Aku mengakui seluruh nikmat yang Engkau berikan kepadaku, aku mengakui semua dosa-dosaku dan tidak akan mengulanginya, maka ampunilah aku.
Amalan Khusus Hari Arafah
1. Mandi
Tujuannya adalah agar ibadah kepada Allah, dimulai dengan bersih lahir dan batin.
2. Menziarahi Imam Husain a.s.
Disunahkan untuk berziarah kepada beliau pada hari ini dengan hadir di bawah kubah sucinya. Bagi yang tidak bisa hadir dapat digantikan hanya membaca doa ziarah Imam Husain a.s.
3. Membaca Doa Arafah dan Doa Imam Husain a.s.
Dilakukan di luar ruangan serta beratap langit. Mulailah dengan menyatakan dosa-dosanya di hadapan Allah serta dengan memohon ampunan dari-Nya.
4. Berpuasa
Di dalam riwayat Al-Kaf’ami disebutkan disunahkan untuk berpuasa pada hari ini jika tidak meletihkan pendoa untuk berdoa.
5. Salat Sunah
Melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Ashar dan melaksanakan salat Imam Ali bin Abu Thalib a.s.
Inilah Beberapa Fungsi Zikir
Kiai Wafiudin mengatakan, jangan diartikan sekadar seorang Muslim ini baru jadi orang sejak tubuh terbentuk sebagai janin. Juga jangan diartikan mulai menjadi orang setelah tubuh terlahir sebagai bayi atau sejak berbentuk janin di dalam kandungan.
“Jauh sebelum tubuh ini ada, kita sudah dicipta oleh Allah di alam lauhul mahfudz dengan wujud ruh, dan kita adalah makhluk-makhluk ruhaniah yang sedang dihadirkan di muka bumi. Jadi, kita ini ruh yang dihadirkan di dalam badan,” beber Kiai Wafiudin Sakam saat mengisi Istighotsah dan Doa Majelis Telkomsel Taqwa secara virtual beberapa waktu lalu.
Badan, lanjut kiai yang pernah berkiprah di Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) ini, fungsinya hanya sebagai cangkang, wadah, atau casing. Sementara ruh itu ada pusatnya, ada intinya.
Pusatnya ruh, intinya ruh adalah qalbu. “Karena itu, qalbu sering disebut lubbun. Lubb artinya inti, jamak dari lubb adalah albab, dari situ munculah Ulil Albab,” sambungnya.
Hal yang lebih penting lagi dalam Surat Al-Anfal ayat 24 disebutkan, hubungan manusia dengan Allah melalui qalbu. Komunikasi manusia dengan Allah melalui qalbu. “Jadi untuk apa kita berdzikir, paling pertama, zikir itu untuk membersihkan qalbu,” ungkapnya.
Segala sesuatu, sambung Kiai Wafiudin, ada pembersihnya, dan pembersih qalbu adalah dzikrullah. Jadi tujuan dzikir, tancapkan ke dalam qalbu untuk pembersihan dan menegasakan Laailaaha illallaah (Tiada Tuhan kecuali Allah).
Alasan kedua, kalau qalbu sudah dibersihkan dengan Laailaaha illallaah maka tersambunglah manusia itu dengan Allah. “Wushul, terhubung kepada Allah itu setelah qalbu-nya dibersihkan dengan zikir,” kata Kiai Wafi, sapaan akrabnya.
Karena itu, Kiai Wafi menegaskan bahwa ketika dzikir jangan diartikan supaya jadi kebal, tidak mempan dibacok, tidak mempan ditembak, supaya bisa terbang.
“Zikir itu yang utama adalah bersihkan qalbu, sambungkan qalbu kepada Allah,” ulangnya.
Kiai Wafi melanjutkan, Allah swt dalam Al-Qur’an berpesan ‘Zikirkan Aku, ingatkan Aku, rasakan kehadiran-Ku, sadari keberadaan-Ku, Aku akan zikir kepada kalian (manusia).
“Masyaallah, kalau kita ingat Allah, Allah ingat kita. Allah bangun kesadaran tentang keberadaan Allah, Allah pun betul meyadari keberadaan kita, sehingga terjadi connectifty, wushul kata orang pesantren, ketersambungan,” terangnya.
“Kita aja punya handphone biar mahal kaya apa kalau nggak ada ketersambungannya, nggak ada connectifity-nya, mau teriak-teriak ‘Bagaimana tuh Telkomsel-nya nggak jalan itu nanti,” selorohnya.
Amal Baik sebagai Syarat Terkabulnya Doa
Setiap manusia akan mendapat balasan yang sesuai dengan amal yang diperbuat. Hal ini berdasarkan hakikat manusia yaitu majzi mendapat balasan atas pilihan-pilihan dalam hidupnya. Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarah, wa man ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah, semua ada balasannya.
Amal baik ataupun buruk bisa jadi pembuka atau kunci bagi takdir seseorang. Siapa sangka amal baik adalah wasilah bagi terkabulnya doa. Dibalik lantunan rayuan dan munajat atas segala permasalahan hidup, terdapat wasilah atau tali ikatan yang memudahkan agar doa sampai kepada Allah SWT, wasilah tersebut dapat berupa amal-amal baik.
Allah mengungkapkan sifat baik manusia dalam surah Al-Lail ayat 5: “Maka siapa yang memberi dan bertakwa. Maka Kami sungguh akan memudahkan baginya segala kemudahan.” Dengan sikap suka tolong-menolong dan bertakwa terhadap Allah, manusia akan memperoleh kemudahan atas setiap usahanya dalam kebaikan serta mendapat balasan yang lebih baik.
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadist tentang tiga orang yang terjebak dalam gua. Suatu ketika ada tiga laki-laki yang sedang berjalan-jalan. Karena cuaca tetiba hujan, ketiganya memutuskan untuk berteduh di sebuah gua. Tak disangka, longsor datang dan batu-batu berhamburan menutup mulut gua yang mengakibatkan ketiga pemuda tersebut tak bisa keluar. Di gua yang gelap, tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali berdoa.
Setiap mereka berdoa dengan menceritakan amal baik masing-masing yang pernah dilakukan dengan ikhlas. Lelaki pertama berdoa “Ya Allah, bukakanlah pintu gua ini, saya ingin keluar dari gua ini. Saya adalah penggembala kambing, setiap hari saya memerah susu dan hasil perahan tersebut saya berikan kepada kedua orang tua saya dan anak-anak saya yang masih kecil. Susu tersebut saya berikan kepada orangtua saya terlebih dahulu sebelum anak-anak saya. Wahai Allah, saya melakukan semua itu karenaMu, ikhlas, saya mengerti pahala memuliakan orangtua. Jika Engkau berkenan, bukakanlah pintu gua ini” Setelah doa, gua tersebut perlahan terbuka sedikit. Tapi, mereka masih belum bisa keluar.
Kemudian, lelaki kedua bergantian berdoa “Ya Allah saya pernah jatuh cinta pada anak paman saya. Namun, ia memberikan syarat uang seratus dinar ketika saya dekati dan mengajaknya berhubungan badan. Saya pun berusaha mendapatkan uang tersebut. Setelah memberikan uang seratus dinar, kami masuk ke dalam kamar untuk melakukan perbuatan itu. Tetiba gadis itu bertanya “Apakah kamu tidak takut kepada Allah?” Seketika saya tersadar dan membatalkan niat tersebut. Ya Allah, saya merelakan uang seratus dinar demi mengingatMu. Jika apa yang saya lakukan Engkau meridhaiNya, Wahai Allah tolong bukakan batu di mulut gua ini.” Tak lama kemudian batu tersebut semakin bergeser.
Akhirnya, lelaki ketiga giliran berdoa “Ya Allah, saya punya banyak pegawai. Suatu ketika saya pernah terlewat menggaji satu orang pegawai. Saat itu, pegawai-pegawai saya semuanya pulang kampung. Uang itu pun saya simpan. Karena menganggur, uangnya saya belikan sapi untuk sebuah peternakan. Peternakan itu berkembang pesat. Di lain waktu pegawai itu datang untuk mengambil gajinya yang belum saya bayar, saya pun memberikan peternakan sapi itu kepadanya. Jika apa yang saya lakukan Engkau ridhai, tolong bukakan pintu gua di depanku ini.” Seketika batu di depan mulut gua bergeser dan ketiga pemuda itu dapat keluar dari gua dengan selamat.
Cerita di atas merupakan salah satu contoh dari terkabulnya doa karena wasilah amal baik. Keikhlasan ketiganya dalam berbuat telah menggerakkan Allah untuk mengabulkan doanya. Sebetulnya, tanpa menyebut amal-amal baik yang pernah kita perbuat pun Allah sudah tahu. Namun, alangkah baiknya kita tetap berdoa dan meminta apa yang menjadi kesulitan dalam hidup.
Lantas, bagaimana jika sudah melakukan amal-amal baik namun doa kita tetap belum dikabulkan? Sebagai hamba dan manusia alangkah baiknya tetap berprasangka baik. Allah akan mengabulkan semua doa hambaNya, namun dalam pengabulan doa ada sebuah pertimbangan yang tentu tidak bisa kita pahami. Nabi Zakaria AS yang meminta dihadirkan seorang anak. Diusianya yang kesembilan puluh Allah baru mengabulkan doanya. Beliau tidak putus asa dan terus berdoa. Bahkan, setingkat nabi yang dimuliakan, doanya baru dikabulkan setelah waktu yang lama.
Masihkah kita marah sebab doa belum terkabulkan? Seberapa banyak amal kebaikan yang dengan ikhlas telah kita lakukan? Maka, lakukan kebaikan sebanyak-banyaknya, siapa sangka justru amal tersebut yang menjadi penolong saat kesulitan dan menjadi wasilah terkabulnya doa.
Nabi Muhammad SAWW Sebagai Teladan dan Kemestian Ishmah
Pada beberapa tulisan sebelumnya telah disebutkan berbagai batasan serta cakupan ishmah para nabi teristimewa Nabi Muhammad SAWW.
Dalam berbagai tulisan tersebut telah disebutkan bahwa mazhab Syiah adalah golongan yang meyakini ishmah maksimal; yang berarti bahwa mazhab ini mengimani bahwa para nabi maksum atau terpelihara dari lupa, tidak melakukan kesalahan maupun dosa baik besar dan kecil disengaja maupun tidak semenjak lahir sampai wafat.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa mazhab Syiah menempatkan Nabi Muhammad SAWW serta para nabi dan rasul AS lainnya dalam posisi yang sangat mulia dan agung.
Dengan karakter seperti ini maka para nabi layak untuk diikuti dan diteladani dalam segala aspek kehidupannya. Jika tidak maka mengikuti serta meneladani mereka masih jadi tanda tanya sebab mungkin saja apa yang mereka lakukan justru merupakan perbuatan yang salah.
Sangat menerik untuk dikaji bagaimana kemudian Alusi menafsirkan ayat ke 21 dari surat al-Ahzab, dalam kitabnya Ruh al-Maani:
“Sekalipun ayat di atas ditujukan untuk mengikuti Nabi SAWW dalam urusan perang berkaitan dengan keteguhan dan hal lainnya, namun pada saat yang sama ia merupakan perintah umum untuk mengikuti semua perbuatan nabi. Kecuali jika diketahui perbuatan tersebut khusus untuk Nabi SAWW seperti menikahi lebih dari empat orang perempuan. Ibn Majah dan Ibn Abi Hatim mengeluarkan riwayat dari Hafsh bin Ashim, ia berkata: aku berkata kepada Abdullah bin Umar RA: aku melihatmu tidak melakukan shalat sunnah qabliah dan ba’diah dalam perjalanan. Ia menjwab: wahai anak saudaraku aku telah bersama dengan Rasulullah SAWW demikian dan demikian dan aku tidak melihatnya shalat sunnah qabliah dan ba’diah padahal Allah SWT berfirman: لَقَدْ كانَ لَكُمْ في رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ[1] (Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu). Abdurrazzaq dalam kitabnya al-Mushannif, memuat riwayat dari Qatadah, ia berkata: Uamar bin Khattab berkeinginan untuk melarang memakai “habarah” (pakian terbuat dari katun dan terkenal pembuatannya di Yaman) lalu seorang laki-laki berkata: bukankah engkau telah melihat Rasullullah memakainya? Umar menjawab: Ya. Laki-laki itu berkata: bukankah Allah SWt berfirman: لَقَدْ كانَ لَكُمْ في رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ[2] (Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu)? Lalu umar RA mengurungkat pelarangan tersebut.[3]
Dari penjelasan yang dipaparkan oleh Alusi di atas, dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad SAWW merupakan uswah atau teladan dalam segala perbuatannya; dan lebih dari itu semua tindakannya merupakan barometer bagi segala tindakan umat sebagaimana terkonfirmasi dalam hadits yang disebutkan dalam paparan tersebut.
Oleh karena itu ishmah merupakan suatu kemestian jika tidak maka konsekUensinya adalah, perintah Allah untuk menjadikan Nabi SAWW sebagai uswah dalam segala hal, pada kasus-kasus tertentu sama dengan perintah untuk melakukan kesalahan dan dosa.
Hal ini mengingat bahwa jika Nabi SAWW tidak maksum maka mungkin saja perbuatan yang kita teladani justru perbuatan salah dan khilaf yang dilakukan oleh beliau dengan sengaja maupun tidak, baik dosa besar maupun kecil dan sebelum kenabian maupun setelah kenabian.
[1] Al-Ahzab/ 21
[2] Al-Ahzab/ 21
[3] Alusi, Syihabuddin Sayyid Mahmud, Ruh al-Maani, jil: 11, hal: 223, cet: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, beirut, 1999 M/ 1420 M, pertama.
Cara Menghadirkan Hati Saat Ibadah
Harus diketahui bahwa ibadah secara menyeluruh merupakan pujian maqam suci Rububiyah dan secara berjenjang semuanya merujuk pada pujian Zat. Atau pujian Asma dan Sifat atau Tajalli baik itu Tanzih, Taqdis atau Tamjid, dan tidak ada ibadah hakiki yang kosong dari satu dari derajat pujian kepada Allah ini. Dengan demikian, tahapan pertama kehadiran hati dalam ibadah adalah kehadiran ibadah dalam ibadah secara global. Upaya menghadirkan hati dalam tahapan ini hanya akan mudah bagi orang yang berusaha memahamkan hatinya bahwa ibadah adalah pujian kepada yang disembah. Sejak ia memulai ibadahnya hingga akhir secara global hatinya harus memikirkan makna ini dan memuji Allah yang disembah. Ia harus memahamkan hal itu dan menghadirkannya, sekalipun ia tidak mengetahui bagaimana dan dengan apa memuji Zat Allah. Apakah ibadah ini adalah pujian Zat, Asma atau selainnya, Taqdisi atau Tahmidi. Sama seperti penyair yang memuji seseorang kemudian memahamkannya kepada anak kecil bahwa ini merupakan pujian untuk seseorang, tapi ia tidak mengetahui bagaimana dan dengan apa memuji orang itu. Secara global ia mengetahui pujian, sekalipun tidak mengetahui detilnya.
Sama dengan anak SD yang mendengar pujian yang diucapkan tentang makrifat Muhammadi, tentang penyingkapan sempurna beliau dan tentang wahyu yang diturunkan kepada hati beliau. Sekalipun anak itu tidak mengetahui isi pujian yang disampaikan, bagaimana dan dengan apa mereka melakukan pujian, tapi pada tahapan pertama kesempurnaan ibadah adalah hadirnya hati mereka saat melakukan ibadah, dimana kita melakukan pujian kepada Haq. Melakukan pujian seperti yang difirmankan-Nya dan orang-orang khusus senantiasa menyenandungkannya.
Pujian yang disampaikan bila dilakukan dengan lisan para wali Allah akan lebih baik. Karena segala kotoran bohong dan nifaq menjadi hilang. Karena dalam ibadah, khususnya dalam shalat, ada pujian-pujian yang termasuk doa yang tidak dapat diucapkan selain para wali Allah yang sempurna dan orang-orang terpilih. Seperti “Wajjahtu Wajhiya Lilladzi Fathara as-Samawati wa al-Ardh…Aku mengarahkan wajahku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi”, “Alhamdulillah…Segala puji bagi Allah” dan “Iyyaka Na’budu…Hanya kepada-Mu kami menyembah.”
Tidak mudah bagi setiap orang dalam kondisi mengangkat tangan saat takbiratul ihram, sujud dan selainnya, dimana penjelasannya akan datang Insya Allah. Tidak mudah bagi setiap orang mengucapkan doa yang berasal dari para Imam Maksum as. Berdoa dengan doa-doa itu seperti sebagian penggalan dari doa mulia Kumail.
Sekaitan dengan hal ini, Sheikh Kamil dan Arif, Shahabadi, jiwaku menjadi tebusannya berkata, “Pada maqamat ini, bagus bila seseorang berdoa dengan lisannya doa-doa yang berasal dari para Imam Maksum as.” Terlebih lagi dalam membaca atau mengamalkan shalat dengan tujuan memuji Allah dengan doa yang diwariskan para Imam Maksum as tentang Allah dan Rasul Allah. Sebagai contoh, sangat bagus bagi kita yang intinya belum tertapis dan belum memisahkan diri dari kecenderungan selain Allah untuk membaca sebagian ungkapan yang akan datang Insya Allah.
Pada tahapan kedua dari kehadiran hati adalah kehadiran hati secara terperinci. Seorang yang beribadah harus menghadirkan hatinya dalam seluruh ibadah dan ia harus mengetahui bagaimana menyifati Allah dan bagaimana bermunajat. Setiap dari keduanya ini memiliki tahapan lagi dan sangat berbeda tergantung maqam hati dan makrifat orang yang beribadah.
Perlu diketahui bahwa penguasaan secara detil akan seluruh rahasia ibadah dan kualitas pujian hanya mungkin dimiliki oleh orang-orang terpilih yang telah sempurna lewat wahyu ilahi. Di sini, kami hanya menjelaskan secara global tahapan-tahapannya.
Ada sebagian manusia yang hanya mengetahui bentuk luar dari shalat dan ibadah yang lain, tapi memahami pengertian umum dari zikir, doa dan bacaan al-Quran. Kehadiran hati mereka hanya terjadi pada waktu mengucapkan al-Quran dan memahami artinya. Pada waktu itulah hati mereka hadir untuk bermunajat dengan Allah.
Hal penting bagi kelompok ini adalah tidak membatasi hakikat dengan makna umum yang dipahami itu. Jangan beranggapan bahwa tidak ada hakikat lain dari bentuk ibadah yang dilakukannya. Selain anggapan ini bertentangan dengan akal dan teks, keyakinan yang semacam ini sangat merugikan manusia. Karena itu akan membuat manusia merasa puas dan berhenti. Hal itu akan mencegahnya meraih kesempurnaan ilmu dan amal.
Satu kelebihan besar setan adalah mampu membuat manusia merasa senang dengan apa yang dimilikinya lalu mulai memandang negatif akan seluruh hakikat, ilmu dan makrifat. Hasilnya mereka menjadi terasing.
Kelompok lain adalah mereka yang memahami hakikat ibadah, zikir dan bacaan menjadikan akal sebagai tempat rujukan semua pujian kepada Allah Swt atau argumentasi rasional, hakikat Shirat Mustaqim dan hakikat makna surat Tauhid sebagai prinsip pengetahun dengan perbedaan lewat pemikiran dan akal.
Kelompok ini saat menghadirkan hatinya dalam ibadah, mereka memahami secara terperinci dan hatinya hadir saat mengingat hakikat dan pujian ini. Mereka memahami apa yang dikatakan dan bagaimana memuji Haq.
Sementara kelompok yang lain lagi mereka memahami hakikat dengan pemikiran dan akal menyampaikan hakikat itu ke pena akal dan lembaran hati, sehingga hati mereka mengenal hakikat itu dan mengimaninya. Karena derajat iman dari hati sangat berbeda dengan pemahaman akal. Banyak hal yang dimengerti akal manusia, bahkan mengajukan argumentasinya, tapi tidak sampai pada derajat iman dari hati dimana kesempurnaannya adalah percaya. Pada waktu itu hatinya tidak bersama dengan akalnya.
Sama seperti kita semua meyakini orang yang mati tidak dapat bergerak dan tidak bisa merugikan kita. Bahkan bila semua orang mati dikumpulkan, mereka tetap tidak dapat mengganggu kita sekalipun sekecil lalat. Hal itu dikarenakan kita meyakininya secara rasional tapi tidak sampai ke lembaran hati. Di sini hati dan akal dalam masalah ini tidak berbarengan. Biasanya akal yang paling menguasai badan manusia dan biasanya manusia takut akan orang mati, khususnya di kegelapan malam dan saat sendiri. Padahal akalnya mengatakan gelapnya malam tidak berpengaruh apa-apa, begitu juga kesendirian, sementara telah diketahui orang mati tidak bisa mengganggu apa-apa. Di sini, manusia meninggalkan akalnya dan berjalan dengan ilusi, tapi bila ia dikumpulkan dengan orang mati untuk beberapa waktu, ketakutan di malam hari ternyata dapat dilaluinya hingga siang. Apa yang dilakukannya ini pada dasarnya membawa apa yang diyakini pada akalnya sampai ke hatinya. Hukum akal yang ada telah menggabungkan hati dan akal, sehingga perlahan-lahan sampai ke derajat percaya. Hatinya sudah tidak pernah takut lagi dan melakukan hal itu dengan penuh keberanian.
Demikianlah kondisi semua hakikat agama dan masalah keyakinan argumentatif dimana derajat pengetahuan rasionalnya berbeda dengan derajat iman dan percaya. Selama seorang pencari kebenaran dan hakikat tidak melakukan latihan secara teoritis dan praktis dan menyempurnakan takwanya baik dalam bentuk perilaku atau hati, maka ia tidak akan sampai pada derajat ini. Ia tidak dapat menjadi pemilik hati. Derajat pertama hati yang merupakan anugerah ilahi tidak akan dapat diraihnya. Ia tidak akan pernah menggunakan pakaian iman. Bahkan sesuai dengan hadis “As-Shalatu Mi’raj al-Mukmin… Shalat mikraj seorang mukmin” dan hadis “As-Shalatu Qurbanu Kulli Taqiyin… Shalat wasilah mendekati Allah bagi setiap orang bertakwa.”, kemungkinan maknanya selama manusia belum sampai ke derajat iman dan takwa, maka shalatnya bukan mikraj dan wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Itu berarti ia belum memulai untuk melakukan sair dan suluk kepada Allah dan belum penghuni rumah jiwa.
Sederet Keistimewaan Nabi Saw di dalam Al-Quran
Jika kita berkaca pada diri Rasulullah Saw., maka pantulan cahaya yang tersorot ke diri kita ialah kesempurnaan akhlaknya. Saking sempurnanya, Allah mencatatkan pujian untuknya di dalam Al-Quran, yang termaktub di dalam surah al-Qalam ayat empat. Hampir setiap manusia sudah mafhum akan keagungan budi pekerti ayah dari Sayyidah Fathimah az-Zahra itu.
Maka, di sini penulis hendak mengumpulkan beberapa ayat al-Quran yang membicarakan keagungannya, yang bisa kita jadikan sebagai motivasi untuk selalu berada di jalan kebaikan ala Rasulullah Saw. Di antara keistimewaannya yang tercatat di dalam al-Quran ialah sebagai berikut.
1. Panutan yang Baik
Di dalam surah Al-Ahzab ayat 21, Allah Swt berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”
Dari ayat di atas dapat kita pahami, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan bagi setiap manusia. Lebih-lebih kepada mereka yang yang bertakwa di hadapan Allah Swt. Dan hendakanya, bagi mereka yang mendambakan kebahagiaan dunia-akhirat sudah selayaknya mengikuti jejak langkahnya.
* Rahmat (kasih-sayang) bagi Alam Semesta
Sebagaimana rahmat Allah tak terbatas bagi setiap makhluk-Nya, pun dengan kasih-sayangnya Nabi Saw. Bahwa, salah satu tujuan diutusnya, ialah menyebarkan pesan cinta-kasih kepada semua manusia tanpa terkecuali, sehingga misi dakwah yang ia ampu dari Allah Swt dapat diterima dengan mudah oleh orang-orang kala itu, yang telah menjadikan berhala sebagai obyek sesembahannya.
Karenanya, Allah Swt., mengabadikan kasih sayangnya nabi Muhammad tersebut di dalam salah satu ayat di dalam al-Quran.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107).
* Merakyat
Sebagai seorang pemimpin di tengah umat, maka salah satu hal yang harus memiliki ialah jiwa merakyat dan membaur dengan siapa saja di tengah masyarakat. Di sisi lain, hal itu juga menafikan sifat keakuan (egois) yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Karena, penting bagi bagi seorang pemimpin menghapus sekat-sekat yang dapat membentengi dirinya dengan rakyatnya. Hal itu pulalah yang dilakukan oleh Nabi Saw. Meski ia dinobatkan sebagai paling mulianya manusia, ia tak memanfaatkan itu untuk menjaga jarak atau bahkan berbuat semena-mena terhadap orang lain. Ia tetap memosisikan diri, sebagaimana manusia biasa.
Menyoroti hal itu, Allah berfirman di dalam kitab-Nya sebagai berikut.
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah: 128).
Di atas adalah pemaparan tentang beberapa keistimewaan pada diri Rasulullah Saw. Dengan melihat keistimewaannya di atas, maka rasa-rasanya mustahil apabila sosok Nabi—yang merupakan perwakilan Allah di muka bumi ini—melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam dan akal sehat. Wallahu a’lam bi as-shawab.



























