کمالوندی

کمالوندی

 

Berbagai media rezim Zionis mengkonfirmasi pembatalan sebuah manuver perang karena defisit anggaran militer rezim ini.

Koran Yediot Aharonot Kamis (9/7/2020) di laporannya menulis, Aviv Kochavi, kepala staf gabungan militer Israel memutuskan untuk membatalkan latihan perang yang dijadwalkan akan digelar bulan September mendatang karena difisit anggaran.
 
Sebelumnya media Israel juga menyatakan bahwa rezim ini mencicipi pengalaman ekonomi terburuk di tengah-tengah pandemi Corona.
 
Departemen Ekonomi Israel baru-baru ini juga menyatakan, defisit anggaran rezim ini mencapai titik tertinggi.
 
Para pemimpin Zionis menyatakan penyebaran virus Corona di dunia dan penurunan drastis lapangan kerja karena defisit anggaran. 

 

Akibat penyebaran wabah Virus Corona, sedikitnya 8000 tentara rezim Zionis Israel harus menjalani karantina.

Situs Israel, Walla (9/7/2020) melaporkan, sampai saat ini 7.809 tentara Israel menjalani karantina karena positif Corona, dan ratusan tentara lainnya dibebastugaskan.

Menteri Perang Israel Benny Gantz sejak hari Rabu (8/7) juga dikarantina karena tertular Covid-19.

Kementerian Kesehatan Israel, Rabu (8/7) malam mengumumkan, 33.178 orang di Israel positif tertular Virus Corona, dan 344 di antaranya meninggal dunia. 

 

Seorang pengamat militer rezim Zionis Israel percaya, Iran dengan menandatangani nota kesepahaman militer dengan Suriah, ingin menyampaikan dua pesan kepada Tel Aviv terkait masalah Suriah dan Palestina.

Fars News (9/7/2020) melaporkan, Menteri Pertahanan Suriah, Jenderal Ali Abdullah Ayoub, dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran, Mayjen Mohammad Bagheri, Rabu (8/7) menandatangani kesepakatan perluasan kerja sama militer dua negara.
 
Kesepakatan ini dipandang sangat penting di tengah situasi kawasan yang serba sensitif sekarang ini oleh Israel, dan diduga membawa pesan bagi Tel Aviv.
 
Analis militer KAN News, Roi Kais mengatakan, pasti Iran ingin menyampaikan dua pesan kepada Israel, dengan kesepakatan ini.
 
 “Pesan pertama, lebih dari apapun, Iran akan tetap berada di Suriah, dan serangan Israel betapapun besarnya, tidak akan mengubah masalah ini,” imbuhnya.
 
Roi Kais menegaskan, pesan kedua adalah Iran dan sekutu-sekutunya bisa menyerang Israel dari dalam wilayah Suriah.

 

Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Iran Mayor Jenderal Mohammad Bagheri dan Menteri Pertahanan Suriah Mayor Jenderal Ali Abdullah Ayoub, menandatangani perjanjian komprehensif kerja sama militer kedua negara di Damaskus, Rabu (8/7/2020).

Perjanjian ini memiliki beberapa pesan strategis. Iran memberikan dukungan penuh kepada pemerintah Suriah selama sembilan tahun terakhir dalam perang menumpas kelompok-kelompok teroris dan memainkan peran penting dalam mengubah perimbangan yang menguntungkan Damaskus.

Di sisi lain, poros Amerika – Arab Saudi – rezim Zionis mengerahkan semua sarana yang dimilikinya untuk menggulingkan pemerintah Suriah. Namun mereka gagal mencapai tujuannya dan untuk menutupi kekalahan itu, Amerika Cs berusaha merusak hubungan Tehran-Damaskus dan menyingkirkan Iran dari Suriah.

Pesan pertama perjanjian komprehensif kerja sama militer Iran-Suriah bahwa upaya AS dan sekutunya terutama rezim Zionis untuk merusak hubungan Tehran-Damaskus, bukan hanya tidak membuahkan hasil tetapi kedua pihak telah membulatkan tekad untuk memperkuat hubungan bilateral mereka.

Langkah ini menunjukkan bahwa tembakan musuh dan para penentang hubungan Iran-Suriah tidak mengenai sasaran, seperti kegagalan mereka dalam mendongkel pemerintah Damaskus.

Pesan kedua, musuh gagal dalam menceraikan hubungan Tehran dan Damaskus meskipun telah menerapkan tekanan besar. Mayjen Abdullah Ayoub dalam upacara penandatanganan perjanjian itu mengatakan, jika pemerintah AS mampu menundukkan Iran, Suriah, dan poros perlawanan, mereka tidak akan berdiam bahkan untuk sesaat.


Pesan ketiga, perjanjian tersebut telah membuat Iran semakin dekat dengan perbatasan wilayah pendudukan yaitu musuh bebuyutannya di wilayah Asia Barat.

Memperkuat kerja sama militer dan keamanan antara Tehran-Damaskus, bermakna mempertahankan para penasihat militer Iran di Suriah selama masih dibutuhkan oleh otoritas setempat. Di sini, Tehran dan Damaskus bertekad untuk melawan serangan-serangan Israel.

Dengan adanya perjanjian ini, Iran dan Suriah dapat memberikan pukulan keras pada rezim Zionis dari dekat perbatasan wilayah pendudukan. Oleh karena itu, media-media Israel secara luas menyoroti perjanjian Suriah-Iran dan menyebutnya sebagai ancaman bagi Zionis.

Pesan keempat, dengan adanya perjanjian tersebut, pertahanan udara Suriah tidak perlu lagi bergantung total kepada Rusia dan tentu saja Israel akan menghadapi tantangan serius dalam serangannya ke wilayah Suriah.  

Selama ini pertahanan udara Suriah sepenuhnya bergantung pada Rusia, tetapi Tehran dan Damaskus sepakat untuk memperkuat pertahanan udara negara Arab ini.

"Kami akan memperkuat sistem pertahanan udara Suriah dalam konteks meningkatkan kerja sama militer antara kedua negara," tegas Mayjen Bagheri.

 

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran menganggap teror pengecut terhadap Letjen Syahid Qassem Soleimani adalah pelanggaran tegas terhadap Piagam PBB, dan menurutnya, Iran tidak akan melupakan atau memaafkan teror ini.

Fars News (10/7/2020) melaporkan, Sayid Abbas Mousavi, Kamis (9/7) malam di akun Twitternya menulis, teror Jenderal Soleimani adalah pelanggaran tegas terhadap Piagam PBB.
 
Mousavi menambahkan, teror pengecut terhadap Jenderal Soleimani, pahlawan perang melawan terorisme di kawasan, adalah pembunuhan yang dilakukan sewenang-wenang. Amerika Serikat bertanggung jawa atas kejahatan ini, dan meski melancarkan serangan verbal ke PBB, negara itu tidak akan bisa membersihkan citranya. Kami tidak akan melupakan atau memaafkan teror ini.
 
Sebelumnya pelapor khusus PBB, Agnes Callamard dalam sidang Dewan Keamanan PBB menyebut teror terhadap Jenderal Soleimani melanggar hak asasi manusia, dan terang-terangan menginjak-injak Piagam PBB.
 
Laporan Callamard ini menjadi sumber rujukan resmi PBB untuk memutuskan bahwa teror Jenderal Soleimani melanggar hukum, dan Piagam PBB, hal ini kemudian memicu kemarahan Amerika. 

 

Dalam sidang Dewan Keamanan PBB yang digelar hari Kamis (9/7/2020) tidak ada satu negarapun yang mendukung kejahatan Amerika Serikat dalam teror Komandan Pasukan Qods, IRGC, Letjen Syahid Qassem Soleimani.

Fars News (9/7) melaporkan, Esmaeil Baghaei Hamaneh, Wakil Tetap Iran di Kantor PBB di Jenewa dalam wawancara dengan stasiun televisi Al Mayadeen menilai sidang DK PBB hari Kamis (9/7) yang digelar untuk membahas teror Syahid Soleimani, penting.
 
Ia menambahkan, Syahid Soleimani adalah seorang komandan militer senior dari sebuah negara berdaulat, dan kami berhak menuntut pelaku teror ini secara hukum, dan salah satu asas hukum internasional adalah penggunaan langkah hukum di dalam negeri sebelum dilimpahkan ke organisasi internasional.
    
Menurut Hamaneh, hari ini tidak ada satupun negara yang setuju dengan teror yang dilakukan Amerika terhadap Syahid Soleimani, dan negara-negara Eropa juga tidak mendukungnya, selain itu tidak ada satupun pidato atau statemen yang mendukung teror Amerika pada sidang DK PBB.
 
Sebelumnya pelapor khusus PBB, Agnes Callamard dalam sidang Dewan Keamanan PBB menyebut teror terhadap Jenderal Soleimani melanggar hak asasi manusia, dan Piagam PBB.

 

Wartawan Amerika Serikat mengakui bahwa Letjen Syahid Qassem Soleimani memainkan peran kunci dalam menjaga keamanan kawasan, dan dalam perang melawan kelompok teroris Daesh.

Kei Pritsker dalam wawancara dengan Sputnik (8/7/2020) menilai teror yang dilakukan Amerika terhadap Komandan Pasukan Qods, IRGC, Jenderal Qassem Soleimani adalah kelanjutan pelanggaran hukum negara itu untuk memperluas pengaruhnya.

Pritsker menambahkan, di bagian besar sejarah Amerika, negara ini menyerang negara lain hanya untuk kepentingan pribadi sehingga cakupan pengaruhnya meluas, dan negara-negara yang melawan dapat disingkirkan, sehubungan dengan Qassem Soleimani, berlaku hal yang sama.

Baru-baru ini pelapor khusus PBB, Agnes Callamard menolak klaim Amerika atas teror Syahid Soleimani, dan menyebut aksi teror tersebut melanggar aturan internasional dan Piagam PBB.

 

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat kembali mengulang desakan untuk memperpanjang embargo senjata Iran oleh Dewan Keamanan PBB.

Fars News (8/7/2020) melaporkan, Mike Pompeo, Rabu (8/7) tidak menjawab saat ditanya soal kemungkinan keterlibatan rezim Zionis Israel dalam insiden kebakaran di situs nuklir Iran, Natanz.
 
Saat ditanya wartawan seputar keterlibatan Israel dalam kebakaran Natanz, Pompeo mengatakan, dalam masalah ini saya tidak mau berkomentar.
 
Di bagian lain statemennya, Menlu Amerika menegaskan bahwa penjualan minyak Iran ke Hizbullah Lebanon, melanggar hukum.
 
“Penjualan minyak Iran ke Hizbullah dilarang karena sanksi. Kami akan melakukan apa saja yang diperlukan untuk memastikan bahwa Iran tidak bisa menjual minyak mentahnya ke sejumlah pihak termasuk Hizbullah,” pungkasnya. 

 

Pelapor khusus PBB dalam laporannya ke Dewan Keamanan mengatakan kejahatan pasukan Amerika Serikat dalam teror terhadap Komandan Pasukan Qods, IRGC, Letjen Syahid Qassem Soleimani, adalah pelanggaran hukum interanasional.

IRIB (9/7/2020) melaporkan, Agnes Callamard, Kamis (9/7) menyampaikan laporan tentang serangan drone Amerika, dan gugurnya Jenderal Soleimani, dan rekan-rekannya, kepada sidang Dewan Keamanan PBB.

Callamard menambahkan, Jenderal Soleimani sebagai pejabat tinggi sebuah negara berdaulat, menjadi target serangan, dan ini melanggar hukum internasional.

Dalam laporan ini juga disebutkan banyak negara menggunakan berbagai jenis pesawat nirawak dalam perang, padahal belum ada aturan khusus yang mengatur penggunaan pesawat jenis ini.

Baru-baru ini dalam wawancara dengan Reuters, Agnes Callamard menyebut teror yang dilakukan Amerika terhadap Jenderal Soleimani melanggar aturan internasional dan Piagam PBB.

 

Aksi Terorisme AS terhadap Syahid Soleimani, Komandan Pasukan Quds Korp Garda Revolusi Islam Iran dan Abu Mahdi Al Muhandes, Wakil Ketua Al-Hashd Al-Shaabi Irak bersama sejumlah orang lainnya di bandara Baghdad yang terjadi 3 Januari 2020, sejak awal telah menyulut protes dan kecaman di seluruh dunia yang terus berlanjut hingga kini.

Pada pertemuan Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang berlangsung Kamis (9/7/2020) para anggota dewan ini mengumumkan posisi mereka mengecam serangan drone yang dilancarkan militer AS terhadap Syahid Soleimani dan menilai aksi teror itu berada luar aturan internasional. Pertemuan ini kembali menunjukkan kegagalan lain bagi pemerintahan Trump yang semakin terkucil di arena global.

Tanggapan para anggota Dewan HAM PBB muncul setelah investigator khusus PBB, Agnes Callamard menyampaikan laporannya mengenai aksi terorisme yang dilakukan AS terhadap Iran di negara lain. Pada pertemuan itu, Callamard membacakan laporan tentang pembunuhan Syahid Soleimani dan rekan-rekannya yang diterbitkan dua hari sebelumnya. "Beberapa negara dan kekuatan non-negara menggunakan pesawat tanpa awak di seluruh dunia, sementara tidak ada kriteria yang mengatur penggunaannya," kata laporan itu.

Mengenai pembunuhan Syahid Soleimani, Callamard mengungkapkan, "Seorang pejabat tinggi pemerintah Iran menjadi sasaran, padahal ia pejabat suatu negara yang berdaulat. Operasi pembunuhan Soleimani belum pernah terjadi sebelumnya dalam konteks konflik bersenjata,". Menurutnya, pembunuhan Letjen Syahid Soleimani pertama kali dilakukan sebuah negara yang menggunakan prinsip pertahanan diri untuk membenarkan serangan terhadap pejabat pemerintah lain di wilayah negara ketiga, yang termasuk kategori tindakan ilegal. 

Laporan Callamard disambut dengan reaksi keras dari Amerika Serikat. Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Morgan Ortagus dengan nada marah mengkritik laporan PBB dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu.

Masalah yang disoroti para anggota Dewan HAM PBB dari laporan Callamard mengenai urgensi pengendalian operasi drone demi menghindari pembunuhan yang melanggar standar internasional. Callamard menyebut pengerahan drone di seluruh dunia menjadi masalah yang sangat berbahaya bagi keamanan internasional, dan acapkali kesalahan dalam operasi yang dilakukan dengan drone militer. Pernyataannya ini juga menunjuk ke arah jejak kelam penggunaan drone dalam operasi militer AS sejak kepresidenan Barack Obama yang dilakukan di sejumlah negara dunia.

Berbagai serangan yang dilakukan dengan dalih memerangi terorisme sejauh ini telah membunuh banyak warga sipil, dan Washington terus berusaha membenarkan aksi mereka dengan mengklaim bahwa masalah itu sebagai efek samping belaka. Perwakilan Uni Eropa di Dewan HAM PBB mengkritik masalah ini dengan mengatakan bahwa penggunaan drone dalam operasi pembunuhan tidak dapat dibenarkan dan tidak bisa diterima.

Masalah sentral dari pembunuhan Letjen Soleimani dilakukan pemerintahan Trump tanpa sepengetahuan atau izin pemerintah Irak dengan melancarkan serangan drone, padahal ia merupakan tamu dari pemerintah Irak dan membawa pesan dari negaranya untuk Perdana Menteri saat itu Adel Abdul-Mahdi. Serangan ini jelas merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan Irak dan termasuk tindakan ilegal.

Poin penting lainnya mengenai banyaknya anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang menyebut langkah AS itu ilegal, mengindikasikan bahwa Washington telah gagal meyakinkan masyarakat internasional untuk membenarkan tindakan kriminalnya.

"Pembunuhan Soleimani oleh Amerika Serikat adalah pelanggaran terhadap Piagam PBB," kata utusan Kuba. Bahkan pihak Eropa yang menjadi mitra Washington menolak untuk membenarkan langkah pemerintahan Trump. Perwakilan Belanda di PBB mengatakan, "Operasi pembunuhan ini berada di luar kerangka hukum yang menimbulkan risiko besar di tingkat internasional,".

Laparan investigator Khusus PBB dan para anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB tentang ilegalnya aksi militer AS dalam pembunuhan Syahid Soleimani dan rombongannya dengan jelas menunjukkan bahwa pemerintahan Trump adalah pelanggar utama hukum dan aturan internasional, dan kini negara ini semakin terkucil di arena global melebihi sebelumnya.