کمالوندی

کمالوندی

Ayat ke 251-252

Artinya:
Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.

Itu adalah ayat-ayat dari Allah, Kami bacakan kepadamu dengan hak (benar) dan sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus.

Akhirnya langkah Muslimin dan bantuan ilahi telah menyebabkan kelompok kecil ini menang atas tentara besar Jalut, dan remaja yang berusia muda, namun beriman dan pemberani bernama Dawud telah berhasil membunuh pimpinan musuh. Sebagai penghargaan atas keberanian dan keimanan Dawud, ia dilantik sebagai Nabi dan diajarkan kepadanya ilmu dan hikmah. Sedemikian banyak kemuliaan yang diberikan kepadanya, sehingga Sulaiman menjadi putranya.

Kisah yang dipaparkan dalam lima ayat ini adalah untuk menguatkan jiwa dan memberikan semangat, sekaligus juga untuk memberikan pengingatan kepada kaum Muslimin yang mengungsi dari Mekah dan rumah-rumah mereka yang terdiri dari kelompok kecil serta tak memiliki harta benda agar mengatakan kepada orang-orang Musyrik Mekah: "Muhammad mempunyai kelayakan dan keunggulan untuk menjadi Nabi kami biarpun banyak orang lain yang kaya dan berstatus tinggi di kota Mekkah ini."

Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Selagi seseorang menunjukkan potensi dan kelayakannya, maka ia tidak akan mendapat karunia ilahi. Dawud mencapai makam nubuwwah (kenabian) dengan bermujahadah (berusaha) di jalan Allah.
2. Jika berjihad dengan musuh tidak diwajibkan, niscaya kefasadan dan kerusakan akan menyelimuti dunia, maka kita tidak harus khawatir atau takut mati terbunuh di jalan Allah.
3. Dari peristiwa ini kita mempelajari bahwa terdapat beberapa faktor kemenangan; pimpinan yang matang dan layak, pengikut yang Mukmin, tawakkal kepada Allah, kesabaran dan ketabahan, memiliki motivasi Ilahi dalam perang.

 

Ayat ke 253

Artinya:
Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.

Ayat sebelum ini menyinggung bahwa Allah Swt telah memberikan hikmah dan kekuasaan kepada Nabi Dawudas. Ayat ini menyinggung soal perbedaan kedudukan atau martabat para Nabi yang menyatakan bahwa kedudukan atau martabat para Nabi tidaklah sama atau sederajat, melainkan sebagian lebih tinggi dari sebagian lainnya. Seperti halnya Nabi Musa yang berbicara dengan Allah tanpa perantara atau pun Nabi Isa yang selalu mendapat dukungan Malaikat Jibril.

Selanjutnya ayat ini menyentuh soal satu sunnah Ilahi yang pentin berkaitan dengan hubungan dengan masyarakat dan menyatakan bahwa masyarakat bebas memilih jalan hidup mereka. Mereka dapat beriman atau musyrik, condong kepada Nabi tertentu ataupun mengimani risalah Nabi lainnya. Jelas sekiranya Allah menghendaki, Ia dapat mencegah pertikaian dan perselisihan masyarakat dan memaksakan mereka berjalan di satu rel, namun sunnah Allah adalah masyarakat dibebaskan untuk memilih beriman atau mengingkari agama.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Sebuah agama akan memiliki nilai jika dipilih atas dasar kehendak sendiri. Maka dengan ini, perbedaan pendapat masyarakat dalam hal ini merupakan perkara yang biasa dan mengikut pilihan mereka.
2. Allah Swt mengutus para Nabi beserta argumen. Penolakan masyarakat adakalanya dikarena hawa nafsu, adakalanya karena kebodohan dan tidak adanya informasi.

 

Ayat ke 254

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.

Ayat ini merupakan ancaman atau peringatan untuk orang-orang Mukmin bahwa selagi kalian masih berada di dunia, maka gunakanlah kesempatan dan sediakanlah bekal untuk hari kiamat kalian. Lakukanlah transaksi dengan Allah di dunia dan infakkanlah sebagian dari harta kalian untuk orang lain, karena di hari kiamat kelak, tiada lagi transaksi dan perdagangan sehingga dapat menjadi penolong kebahagiaan dan meyelamatkan kalian dari siksa. Janganlah kalian berharap kepada para pembesar kalian, karena di sana nanti tidak ada seorang pun yang dapat membantu kalian dan tidak ada syafaat.

Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Apa yang kalian punya bukanlah milik kalian, kamilah yang memberinya kepada kalian.
2. Kami telah katakan bahwa infakkanlah sebagian dari apa yang kami berikan, bukannya semua harta kalian.
3. Infak tersebut pada hari kiamat nanti lebih baik bagi kalian dibanding dengan setiap kawan dan sahabat.

Ayat ke 246-247

Artinya:
Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang". Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?". Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim.

Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa". Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.

Pasca Nabi Musa as, Bani Israil kembali berada di bawah dominasi tiran atau thagut dikarenakan jiwa hedonisme mereka. Akhirnya mereka kehilangan tanah airnya sampai pada masa di mana sebagian dari mereka memutuskan untuk menentang tiran guna menyelamatkan diri dari keterlunta-luntaan yang mereka alami. Maka dari itu, mereka meminta kepada Nabi zaman itu supaya memilih seorang raja atau panglima yang memimpin perang melawan tiran. Meskipun Nabi melihat latar belakang Bani Israil, beliau tahu bahwa mereka tidak serius untuk berperang.

Namun supaya tidak ada lagi alasan buat mereka, maka Nabi tadi melantik Thalut seorang pemuda miskin dan penggembala binatang ternak sebagai panglima. Bani Israil manakala melihat yang dilantik jadi panglima bukan dari salah seorang pembesar kaum melainkan seorang pemuda miskin, maka mereka menolak kepemimpinan Thalut dan bahkan mereka mengaku lebih layak dari pada Thalut, padahal perang memerlukan lengan yang kuat dan strategi dan rencana yang baik, dimana hal itu lebih banyak terdapat pada diri Thalut dibanding lainnya dan karena alasan inilah Allah Swt melantik Thalut sebagai Panglima.

Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Jihad untuk membela diri dan keluarga atau tanah air merupakan salah satu jenis dari jihad di jalan Allah.
2. Politik tidak terpisahkan dari agama. Disepanjang sejarah, para Nabi telah banyak berupaya untuk menyelamatkan ummat dari cengkeraman para penguasa dzalim dan mendirikan pemerintahan yang adil.
3. Kriteria benar untuk menerima tanggung jawab adalah kemampuan jasmani, keluasan pengetahuan untuk menunaikan tugas tadi, bukannya jumlah harta atau popularitas dan kedudukan.

 

Ayat ke 248

Artinya:
Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.

Manakala kaum Bani Israil yang bersifat keras kepala dan tidak bersedia menerima kepemimpinan Thalut, untuk merayu mereka supaya tunduk kepada perintah Allah, Nabi mereka mengatakan: "Wahai Bani Israil, ketahuilah bahwa Allah Swt akan mengembalikan kotak suci Bani Israil kepada kalian melalui Thalut. Kotak tersebut adalah kotak yang pernah digunakan oleh ibu Nabi Musa sebagi tempat bayinya (Nabi Musa) dan atas perintah Allah, ia melepaskannya di Sungai Nil.

Dengan cara inilah Allah Swt menyelamatkan Musa dari tentara Fir'aun, namun karena bayi itu sampai ke istana Fir'aun, maka lahirlah perasaan cinta di dalam jiwa Fir'aun dan isterinya kepada bayi tadi (Nabi Musa). Peti atau kotak itu disimpan di istana Fir'aun dan tatkala Musa dilantik sebagai utusan Allah (Nabi), Musa meletakkan kitab Taurat di dalamnya dan ketika hendak meninggal dunia, Musa menyimpan baju besi dan beberapa barang miliknya di kotak itu, dan mengamanatkannya kepada kaumnya.

Kotak ini disisi Bani Israil memiliki nilai sakral tersendiri dan dikultuskan. Mereka membawanya ke medan pertempuran untuk menjadi benda penenang dan penguatan spirit para tentara. Namun kotak itu jatuh ke tangan musuh dan hal ini membuat sedih Bani Israil. Sampai pada masa Thalut, dengan bantuan Tuhan, peti itu kembali ke pangkuan Bani Israil dan menjadi kebanggaan mereka.

 

Ayat ke 249

Artinya:
Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku". Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya". Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar".

Dalam ayat sebelum ini, telah dibicarakan bahwa ketika Allah Swt memilih Thalut sebagai komandan kaum Bani Israil, para pemuka atau tokoh masyarakat tidak bersedia menerimanya dan membuat alasan-alasan untuk lari dari perang. Dalam tahap berikutnya, kelompok yang menerima kepemimpinan Thalut bersama-sama Thalut keluar dari kota, namun guna menguji kadar kesetiaan dan ketaatan mereka, Thalut menjadikan sungai sebagai alat untuk menguji mereka dan berkata: "Para sahabat sejatiku adalah orang-orang yang bisa bertahan untuk tidak minum kendati mengalami kehausan melainkan hanya boleh mengambil air dengan telapak tangan terbuka dan membasahi mulutnya.

Ayat ini menyatakan bahwa banyak sekali orang yang tidak berhasil dalam ujian ini dan ketika mereka melihat air, serta-merta mereka tidak dapat bersabar untuk tidak meminumnya. Dalam tahapan ketiga, ketika berada berhadap-hadapan dengan musuh, mereka menyatakan takut dan merasakan tak berdaya menghadapi tentara Jalut dan hanya orang-orang Mukmin hakiki yang jiwa mereka sudah terpatri dengan keimanan kepada Allah saja yang istiqamah dan tetap tegah serta tidak takut menghadapi lautan tentara musuh.

Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Makanan dan minuman merupakan salah satu dari barang ujian Allah Swt, bukan hanya menjauhi yang haram saja, melainkan adakalanya harus menjauhi yang halal supaya para pengikut sejati dapat diketahui dari pengikut-pengikut palsu.
2. Keimanan pada hari akhir dan janji-janji Ilahi meningkatkan kemampuan manusia dalam menghadapi kesulitan.
3. Dalam perjuangan, poin yang penting adalah berlanjutnya perlawanan dan ketabahan. Dalam perlawanan Thalut dan Jalut, banyak sekali orang yang berslogan besar untuk berjuang melawan thagut (tiran), namun sedikit saja dari mereka yang bersedia berhadapan dengan musuh.

 

Ayat ke 250

Artinya:
Tatkala Jalut dan tentaranya telah nampak oleh mereka, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdoa: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir".

Sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa Bani Israil manakala menyaksikan Jalut dan tentaranya, mereka jadi takut dan hanya para pengikutnya yang beriman secara seutuhnya bersedia berperang. Namun mereka juga tahu bahwa tanpa bantuan-bantuan ilahi, maka kemenangan ke atas tentara kuat Jalut merupakan hal yang mustahil. Maka dengan itu, mereka meminta pertolongan dari Allah dan memohon dari-Nya agar memberikan kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi musuh-musuhnya.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Doa akan berfungsi bila diiringi dengan upaya atau usaha. Bukannya doa menggantikan tempat upaya. Para sahabat sejati Thalut bergerak menujuk ke medan laga, dan selanjutnya mengangkat tangan berdoa untuk meraih kemenangan.
2. Tujuan orang-orang yang beriman adalah kemenangan kebanaran terhadap kebatilan, bukannya untuk mendapat keunggulan kaum atau etnis atas kaum lainnya. Oleh karenanya para sahabat Thalut meminta dari Allah agar memberikan kemenangan terhadap orang-orang Kafir.

Ayat ke 238-239

Artinya:
Peliharalah segala shalatmu dan peliharalah shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.

Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau bekendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.

Manusia yang sehat adalah manusia yang jasmani dan ruhnya mendapat santapan yang sehat dan berkesinambungan. Jika beberapa hari, makanan yang bergizi tidak masuh ke tubuh kita, maka kita akan menderita sakit. Demikian pula jiwa kita, untuk tumbuh dan berkembang serta mendekat kepada sumber alam semesta, memerlukan hubungan yang berkelanjutan dengan Tuhan yang Maha Esa.

Oleh yang demikian, mendirikan shalat tak ubahnya seperti porsi makanan seharian. Setiap hari dalam beberapa giliran telah diwajibkan untuk kita agar jasmani dan jiwa kita dapat mencapai kesempurnaan dan pertumbuhan. Selain itu, jiwa dapat terjauhkan dari kekotoran dan tumbuh segar. Atas dasar tadi, ayat al-Quran menekankan pemeliharaan faridhah (kewajiban) ilahi ini dalam semua keadaan, baik dalam perang, takut terhadap musuh, dan dikarenakan dalam kondisi mencekam itu, penunaian shalat tidak mungkin terlaksana secara sepenuhnya, sebagaimana dalam keadaan normal, maka Allah Swt menerima penunaian shalat dalam bentuk yang memungkinkan.

Dari ayat tadi, kita dapat memetik pelajaran bahwa perlunya manusia kepada shalat bersifat abadi dan senantiasa, bahkan sekalipun dalam situasi perang, shalat bukan hanya tidak mengganggu proses perang, malah menjadi faktor pengokoh jiwa prajurit.

 

Ayat ke 240-242

Artinya:
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.

Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya.

Ayat-ayat ini sekali lagi menyinggung soal keluarga dan memberikan pesan mengenai wanita-wanita yang ditinggal mati oleh suami mereka ataupun mereka itu berpisah dari suami mereka karena perceraian. Jika wanita bersabar hingga satu tahun untuk tidak kawin setelah ditinggal mati oleh suaminya sebagai rasa hormat kepada mantan suaminya, maka biaya hidupnya harus dijamin dan dipenuhi dengan cara yang baik dan tak seorangpun yang berhak mengeluarkannya dari rumah suaminya.

Demikian pula, bila setelah berakhirnya masa empat bulan dan sepuluh hari, ia berkenan kawin dengan lelaki lain, maka tak seorangpun yang berhak melarangnya dan bebas memilih calon suaminya. Manakala itu al-Quran menyatakan laki-laki Mukmin di saat bercerai, selain memberikan mas kawin, juga memberikan hadiah yang baik dan pantas supaya sebagian dari kepedihan dan kepahitannya dapat terobati.

Dari tiga ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Islam memberikan perhatian besar tentang hak wanita di dalam keluarga dan melihat pemenuhan biaya hidupnya secara baik bahkan selepas kematian suami atau telah bercerai dengannya, sebagai perkara yang penting dan diperlukan.
2. Wanita bebas memilih suami yang pantas buatnya dan kehormatan dan kepribadiannya harus dipelihara di dalam keluarga.

 

Ayat ke 243-244

Artinya:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.

Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Ayat ini mula-mula mengisahkan riwayat suatu kaum yang tidak bersedia membela agama dan keyakinan mereka di hadapan musuh dan mereka meninggalkan kampung halaman karena perasaan takut mati. Namun Allah Swt untuk memahamkan dan menyadarkan mereka bahwa kematian tidak hanya terjadi di medan jihad atau front pertempuran, melainkan kematian dapat datang dimanapun juga, Allah Swt yang mematikan dan menghidupkannya kembali untuk peringatan bagi ummat yang akan datang.

Selanjutnya ditujukan kepada Muslimin, Allah Swt berfirman yang artinya, "Ambillah pelajaran dari peristiwa ini dan ketahuilah bahwa lari dari perang bukan berarti lari dari kematian, malah seringkalinya, lari itu sendiri menyebabkan turunnya kemarahan dan siksa Allah. Maka perangilah musuh-musuh Allah dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui semua kepahitan disebabkan jihad, dan memberikan imbalan kepada mereka yang berjihad."

Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Menghidupkan orang-orang mati di hari kiamat bukanlah perkara yang mustahil. Allah Swt di dunia, sekian kali telah menghidupkan orang-orang yang telah mati.
2. Mungkin saja seseorang dapat lari dari kancah peperangan, namun lari dari kehendak Ilahi tidak ada artinya.
3. Jihad di jalan pembelaan agama, bukan berarti ekspansi wilayah atau menunjukkan kekuatan serta penjajahan.

 

Ayat ke 245

Artinya:
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.

Ayat yang sebelum ini kita bahas, mengajak orang-orang Mukmin untuk berjihad di jalan Allah. Dikarenakan perang selain memerlukan pengorbanan nyawa juga memerlukan bantuan-bantuan finansial rakyat, maka dari itu, ayat ini merangsang orang-orang Mukmin untuk memberikan harta di jalan Allah dengan ungkapan indah pemberian hutang kepada Allah.

Akan tetapi, memberikan hutang kepada Allah tidak hanya khusus untuk jihad, melainkan segala infaq dan bantuan untuk masyarakat lemah setara dengan manusia yang memberikan hutang atau pinjaman kepada Allah dan Allah Swt akan memulangkannya di dunia dan akhirat dengan berlipat ganda. Mengapa demikian? Rezeki kita berada ditangan-Nya dan apa yang kita belanjakan di jalan-Nya, maka akan tercatat disisi-Nya dan pada saatnya yang tepat, akan diganti dengan lipat ganda.

Dari ayat ini, kita dapat memetik pelajaran bahwa jika kita yakini keluasan dan kesempitan rezeki berada di tangan Allah, maka kita akan mudah membelanjakannya di jalan-Nya atau paling tidak kita utangkannya kepada orang lain dan dalam hal ini, kita tidak merasa menebar budi dan minta balasan karena balasannya akan kita terima dari Allah Swt.

Ayat ke 233

Artinya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Keluarga adalah tonggak setiap masyarakat dan segala bentuk kegoncangan di dalamnya akan melahirkan problema dalam masyarakat itu. Anda ingat bahwa dalam ayat-ayat sebelum ini, pembalasan kita berkisar pada perceraian wanita dan laki-laki, dalam ayat ini nasib anak-anak khususnya para bayi setelah perceraian, akan dijelaskan. Ayat ini dengan memperhatikan emosional para ibu dan pentingnya pemberian air susu ibu (asi) untuk anak, menganjurkan penyusuan anak selama dua tahun penuh, sekalipun ibunya sudah bercerai dengan suaminya ataupun si ayah sudah meninggal dunia, ibu harus memperhatikan hak anak dan perselisihan antara dirinya dengan suaminya jangan menyebabkan terganggunya jasmani maupun jiwa anak.

Namun di balik itu, si ayah juga memiliki tanggungjawab terhadap anaknya yaitu menyediakan keperluan makanan dan sarana kesejahteraan untuk isteri dan juga anaknya dan janganlah merugikan mereka.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Pemeliharaan anak adalah wajib hukumnya bagi kedua orang tua dan sekiranya terjadi perceraian, maka anak tidak boleh menjadi korban perceraian tadi.
2. Dalam pemerintahan Islam, lali-laki bertanggungjawab memenuhi keperluan-keperluan mendasar keluarga dan wanita tidak memiliki tanggungjawab mengenai pemenuhan biaya hidup.

 

Ayat ke234

Artinya:
Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya, beriddah empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka, menurut apa yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Selain perceraian, salah satu perkara yang menyebabkan perpisahan determinatif wanita dari suaminya adalah kematian suaminya yang terjadi karena proses alamiah. Di kalangan berbagai kaum dan bangsa, dalam kasus di mana isteri ditinggal mati oleh suami mereka, terdapat sikap yang berbeda antara satu dengan lainnya. Sebagian berkeyakinan bahwa apabila suami meninggal, isteri harus ikut meninggal dengan dikuburkan hidup-hidup bersama suaminya dan sebagaian kaum lainnya melarang isteri yang ditinggal mati suaminya untuk kawin lagi, sementara sebaliknya, ada yang membolehkan isteri yang ditinggal mati oleh suaminya langsung kawin lagi dengan laki-laki lain.

Di tengah-tengah ifrat dan tafrit (ekstrim berlebihan dan berkurangan), agama Islam guna memelihara kehormatan mantan suami yang meninggal dan menentukan kehamilan si isteri, memandang pentingnya menunggu untuk beberapa masa. Namun Islam mengizinkan kepada wanita itu setelah selesai masa penantian (iddah) untuk menikahi laki-laki yang ia sukai dan ia tidak perlu memperhatikan pandangan dan pendapat orang lain.

 

Ayat ke235

Artinya:
Dan tidak ada dosa bagimu meminang wanit-wanita itu dengan sendirian atau kamu mnyembunyikan keinginan mengawini mereka dalam hatimu, Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadkaan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kepada mereka perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam bertetap hati untuk beraqad nikah sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepadaNya dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

Sebagai lanjutan ayat sebelumnya yang mengizinkan para isteri yang ditinggal mati suami mereka untuk menikah lagi sesuai dengan yang diinginkan, ayat ini menyatakan, sekalipun akad pernikahan tidak diperbolehkan dalam masa terbatas yang dijelaskan tadi, namun tindakan kaum lelaki untuk meminang dan berunding sebagaimana wajarnya sebelum perkawinan, bukanlah perkara yang dilarang. Akan tetapi dengan syarat pertemuan-pertemuan tadi dilakukan dalam bingkai yang sesuai dan baik serta cocok dengan kondisi isteri yang sedang berkabung dan berduka karena ditinggal mati suaminya.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Islam adalah agama fitrah. Setiap manusia secara fitrah cenderung untuk menikah. Oleh karena itu, Islam bukan hanya tidak menentang keinginan ini, melainkan juga menyediakan peluang yang seirama dengan syariat sebelum perkawinan.
2. Hendaknya, janji dan pertemuan-pertemuan rahasia untuk perkawinan dan juga perkataan dan perilaku yang tidak senonoh dihindari sebelum perkawinan.

 

Ayat ke 236-237

Artinya:
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.

Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.

Dua ayat ini menekankan soal pemeliharaan hak isteri saat perceraian dan menyatakan, seandainya dalam catatan perkawinan, kalian tidak menentukan mas kawin, maka dengan kalian memberikan hadiah yang sesuai sekadar kemampuan keuangan kalian, maka hadiah itu dapat mengobati kepahitan perceraian, dan ini adalah cara orang-orang yang baik dan saleh. Dan jika kalian telah menentukan jumlah mas kawin dan kalian telah menggauli mereka, maka kalian harus memberikannya secara penuh, kendati satu hari, dan jika kalian belum mencampuri mereka, maka lebih baik juga kalian berikan mas kawinnya secara penuh dan ini menandakan kedermawanan dan kemuliaan diri, dan paling tidak, anda berikan separuh atau sebagian darinya.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Keluarga Qurani adalah keluarga yang sekalipun telah bercerai, mereka tidak melupakan akhlak dan kemuliaan insani.

2. Dalam perceraian atau talak, kedua pihak selain harus menunaikan hak yang wajib, mereka dianjurkan supaya berpisah dengan kebesaran diri dan pengorbanan, bukannya dengan kebencian dan dendam serta pemberontakan.

Ayat ke 224-225

Artinya:
Janganlah kamu jadikan nama Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan islah di antara manusia dan Allah maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud untuk bersumpah, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang disengaja untuk bersumpah oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha penyantun.

Sebagaimana dalam kitab-kitab tafsir disebutkan antara menantu dan anak perempuan salah seorang sahabat NabiMuhammad Saw terjadi perselisihan. Sahabat Nabi itu bersumpah, bahwa tidak akan ikut campur untuk menengahi dan mendamaikan mereka. Ayat ini kemudian turun dan menyatakan, janganlah kalian jadikan sumpah sebagai jalan untuk lari dari tanggung jawab. Yaitu mendamaikan masyarakat dan janganlah kalian berlepas tangan dari perbuatan-perbuatan baik lantaran sumpah-sumpah yang tidak pada tempatnya. Malah sumpah-sumpah semacam tadi secara dasarnya tidaklah memiliki nilai dan Allah memaafkan orang yang melanggarnya. Allah Swt mengampuni kekhilafan-kekhilafan yang muncul dari ketidaksadaran dan kosongnya pikiran.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Janganlah kita jadikan sumpah sebagai penghalang perbuatan baik, hendaknya nama Allah dimuliakan dan dihormati dan janganlah kita manfaatkan nama-nama Allah itu untuk urusan hina dan sepele.
2. Kalian hendaknya mencontohi Tuhan, yaitu memaafkan omongan atau ucapan yang dikeluarkan atas dasar kemarahan dan khilaf dan janganlah kalian membalas dendam kepadanya.

 

Ayat ke 226-227

Artinya:
Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan lamanya. Kemudian jika mereka kembali kepada isterinya, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Salah satu dari kebiasaan buruk yang ada di kalangan orang Arab sebelum Islam, adalah sebagian laki-laki guna meletakkan istrinya dalam posisi sulit dan tertekan, mereka bersumpah untuk tidak mendatangi mereka dan membiarkan mereka tanpa kejelasan, bukannya diceraikan sehingga wanita itu bebas, dan tidak menjadi istri yang bermanfaat. Islam dalam rangka memerangi tingkah laku buruk ini, mengumumkan bahwa barang siapa bersumpah semacam ini, hanya berkesempatan empat bulan untuk memastikan nasib istrinya, atau mereka boleh melanggar janji dan kembali hidup seatap dengan istri-istri mereka kalau sudah tidak memungkinkan lagi hidup seatap, maka secara resmi, ia harus menceraikannya.

Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Salah satu dari tugas para Nabi adalah memutuskan tradisi-tradisi jahiliyah dan khurafat dalam rangka memperbaiki kondisi masyarakat.
2. Islam menerima penceraian dengan segala kepahitan dan penderitaannya, akan tetapi Islam menolak prilaku membiarkan wanita tanpa kejelasan nasibnya. Namun dengan syarat, perceraian yang ada maslahatnya untuk keluarga, bukannya perceraian yang berpijak pada perbudakan hawa nafsu laki-laki atau wanita yang nanti di Hari Qiyamat harus dipertanggung jawabkan.
3. Kendati pengaturan rumah tangga berada di pundak laki-laki, namun laki-laki tidak berhak bersikap arogan atau mengganggu istrinya.

 

Ayat ke 228

Artinya:
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri(menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya , jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.

Ayat ini dalam rangka memelihara kehormatan keluarga dan anak anak, menjelaskan bahwa sekiranya terjadi perceraian, maka wanita mesti bersabar untuk tidak kawin dengan orang lain sehingga sekiranya mengandung anak dalam perutnya, maka dalam jangka waktu tiga bulan tersebut menjadi jelas dan hak anak terpelihara dan mungkin saja, bayi itu membuka peluang bagi menyelesaikan sengketa. Kedua, alangkah besar kemungkinannya, wanita dan laki-laki menyesali keputusan untuk berpisah dan menginginkan untuk memulai kembali kehidupan keluarga dan sudah barang tentu, suami pertama lebih utama dari laki-laki lain.

Bagian akhir ayat mengingatkan satu poin penting kepada suami istri yang hendak berpisah sebagai jalan buat mencabut akar kebencian dan dendam serta mewujudkan ishlah antara mereka berdua. Pertama, al-Quran menyatakan kepada pihak lelaki, sekalipun istri-istri kalian memiliki tanggung jawab soal rumah tangga dan keluarga, namun sebesar itu pula, kalian para suami memiliki tanggung jawab kemanusiaan, yang harus kalian tunaikan dengan baik. Kemudian al-Quran mengatakan kepada pihak wanita, manajemen rumah tangga dan urusannya adalah tanggung jawab lelaki dan dalam hal ini, lelaki lebih utama dari wanita.

 

Ayat ke 229

Artinya:
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma;ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya, itulah hukum hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya, barang siapa yang melanggar hukum hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim.

Menyusul ayat sebelumnya yang mengatakan, wanita harus bersabar selama tiga bulan setelah bercerai, sehingga kalau ada anak di perut dapat menjadi jelas dan jika pihak lelaki menyesali keputusannya untuk berpisah, maka memungkinkan baginya untuk kembali ke istrinya. Ayat ini menyatakan, kendati laki-laki hanya berhak menceraikan istrinya dua kali dan rujuk (kembali) kepadanya dan jika pada kali ketiga, maka tidak memungkinkan lagi baginya untuk kembali.

Kemudian al-Quran mengingatkan satu dasar umum ditujukan untuk laki laki yang diperlukan bagi mengatur keluarga bahwa hendaknya kalian serius menjalani kehidupan dan bermuamalah dengan istri secara terpuji dan baik, atau kalau karena berbagai alasan, kalian tidak mungkin melanjutkan hidup dengannya, maka bebaskanlah ia dengan baik, akan tetapi, kalian harus membayar mas kawinnya, namun sekiranya pihak istri yang menuntut cerai, maka ia dapat membebaskan pembayaran mas kawin tadi dan bercerai dengannya. Namun bagaimanapun juga, laki-laki tidak berhak menyempitkan kehidupan istrinya sehingga istrinya terpaksa merelakan mas kawinnya dan menuntut cerai darinya.

Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Selain dari hak kemanusian istri, hak miliknya juga harus diperhatikan, dan laki-laki tidak boleh merampas harta dan mas kawin istrinya.
2. Bila mana perceraian sudah tidak dapat dihindari lagi, maka perceraian itu hendaknya disertai ihsan dan kebaikan bukan dengan kebencian dan dendam.
3. Keluarga bahagia, adalah keluarga yang hubungan antar anggotanya berlandaskan undang undang ilahi, akan tetapi jika hubungan itu berlanjut dengan dasar dosa, maka perceraian lebih baik dari berlanjutnya keluarga itu.

 

Ayat ke 230-232

Artinya:
Kemudian jika sisuami mentalaknya (sesudah talak yang kedua). maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain itu menceraikan, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum hukum Allah. Itulah hukum hukum Allah, diterangkan -Nya kepada kaum yang mau mengetahui.

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu merujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka, barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri, janganlah kamu jadikan hukum hukum Allah sebagai permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang diturunkan Allah kepadamu yaitu al-kitab dan al hikmah, Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah maha mengetahui segala sesuatu.

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu(para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila terdapat kerelaaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.

Dikarenakan Islam menghormati keinginan-keinginan yang tidak melanggar syariat dan fitrah, maka agama sempurna ini menyambut baik segala bentuk ishlah (perdamaian) guna kembalinya wanita dan laki-laki serta pertumbuhan anak anak di pelukan orang tua, dengan itulah, islam mengijinkan, jika wanita kawin dengan lelaki lain, kemudian berpisah dengannya, dan bersepaham dengan suami pertamanya, ia boleh kembali membina rumah tangga dengan suami pertamanya itu dan tidak jauh kemungkinan, kehidupan itu menjadi manis dan harmonis. Jelas sekali, para wali wanita atau lain lainnya tidak berhak menghalangi atau melarangnya dan kesepakatan wanita dan lelaki itu sudah cukup untuk perkawinan kembali bagi syahnya akad nikah.

Dari ayat ini kita dapat memetik pelajaran bahwa, pendapat wanita dalam memilih suami harus dihormati dan diperlukan dan pada dasarnya, tonggak perkawinan adalah kesepakatan dan kerelaan dua pihak dengan cara terpuji dan baik.

Ayat ke 219-220

Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Kaum Muslimin menanyakan kepada Rasul Saw tentang tiga persoalan yang mereka alami dan Rasul Saw memberikan jawaban pertanyaan-pertanyaan itu berdasarkan wahyu, bukan dari diri sendiri. Salah satu kebiasaan buruk bangsa Arab sebelum Islam ialah meminum minuman keras dan main judi. Oleh yang demikian, sebagian Muslimin menanyakan hukum Islam mengenai minumam keras dan judi. Rasul berkata, meskipun, menjual minuman keras dan berjudi memberikan keuntungan yang besar bagi sebagian dari kalian, namun keburukan dan kekejian dua perkara itu lebih besar dari keuntungan lahiriyahnya, maka tinggalkan pekerjaan itu.

Pertanyaan lain Muslimin adalah mengenai kadar infak dan bantuan terhadap orang lain, yaitu apakah yang harus diinfakkan dan sebesar mana. Dalam jawaban pertanyaan ini, Rasul Saw menjawab pertanyaan ini berdasarkan wahyu ilahi, "Apa saja yang terlebih dari keperluan kalian, infakkanlah! Bukannya semua harta kalian sehingga kalian jatuh miskin dan bukan juga kalian acuh tak acuh terhadap orang-orang yang tertindas, sehingga orang lain menjadi memerlukan. Akan tetapi, peliharalah sikap pertengahan dan keseimbangan.

Pertanyaan-pertanyaan lain yang diajukan kepada Rasul Saw mengenai metode pemeliharaan anak-anak yatim, karena sebagian Muslimin dikarenakan takut hartanya bercampur dengan harta anak-anak yatim, sampai-sampai mereka memisahkan piring makanan mereka dan hal ini melahirkan kesulitan-kesulitan bagi mereka. Rasul Saw dalam menjawab pertanyaan ini dengan merujuk kepada wahyu ilahi. Apa yang penting adalah memperbaiki urusan anak-anak yatim agar tidak terlantar dan dirugikan, bukannya karena takut harta mereka tercampur dengan harta anak yatim, mereka berlepas tangan dari mengayomi mereka ataupun meninggalkan anak-anak yatim itu sendirian.

Tercampurnya kehidupan mereka dengan kehidupan kalian, jika tidak merugikan harta anak-anak yatim itu, dan niat kalian bukanlah untuk menyalahgunakan harta mereka, maka hal itu tidak dilarang. Ketahuilah bahwa Allah Swt memantaui kerja-kerja kalian dan orang yang berniat kebaikan dapat dibedakan dengan orang yang bertujuan buruk dan jahat dan Allah Swt tidak ingin membuat kalian tersiksa dan menderita dan memerintahkan agar kalian membedakan harta anak-anak yatim dari harta kalian sendiri, maka peliharalah diri kalian.

Dari dua ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Dalam memilih pekerjaan, janganlah memilih pekerjaan yang merugikan jiwa dan spiritualitas kita walaupun penghasilannnya besar seperti membuat minuman keras dan menjualnya atau bermain judi, sedangkan Allah Swt melarang perbuatan itu.
2. Marilah kita memelihara dan menjaga keamanan serta kebebasan sosial. Allah Swt melarang minuman keras yang menyebabkan lemah dan hilangnya akal dan judi yang melahirkan ketidakamanan ekonomi dan kebencian serta kejahatan-kejahatan lainnya.
3. Harta kalian yang lebih, infakkanlah kepada orang-orang yang lemah dalam batasan yang sederhana, karena dalam batasan ini, selain anda dapat menyelamatkan kehidupan orang lain, juga kalian tidak terjatuh ke lembah israf dan mubazir.
4. Jika kita memikirkan hukum-hukum dan peraturan-peraturan ilahi, maka kita akan memahami bahwa kesemuanya berpijak pada hikmah dan kemaslahatan masyarakat. Maka janganlah kita bermalas-malasan dalam melaksanakan hukum-hukum itu.
5. Anak-anak yang tak memiliki orang tua, tidak boleh ditelantarkan dalam masyarakat melainkan masyarakat Islam itu sendiri harus mengayomi dan menjaga harta mereka.

 

Ayat ke 221

Artinya:
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Agama Islam sangat mengambil penting soal perkawinan dan pembentukan keluarga, dan menentukan syarat-syarat bagi memilih calon istri begitu juga suami. Syarat terpenting untuk memilih istri adalah keimanan dan ideologinya yang benar. Karena pengalaman telah membuktikan bahwa lingkungan keluarga dan cara bersikap dan perkataan kedua orang tua sangat memainkan peran penting dalam pendidikan anak. Sialnya, dewasa ini status sosial dan kekayaan individu telah menduduki peran menentukan dalam memilih suami ataupun istri. Sementara nilai-nilai spiritual sudah tidak lagi memiliki peran besar dalam perkara sakral ini.

Namun dari sudut pandang agama, seorang budak yang beriman yang dari kaca mata sosial, tergolong dalam barisan terendah, adalah lebih utama dari seorang merdeka yang tidak beriman. Karena, kriteria kemuliaan dan keutamaan dalam perspektif Islam adalah kesucian dan keimanan, bukannya harta dan pangkat.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Pertalian suci perkawinan harus dilaksanakan atas dasar iman, supaya dapat menelorkan generasi yang bersih dan sehat kepada masyarakat.
2. Dalam memilih istri ataupun suami, hendaknya kita memperhatikan nilai-nilai spiritual, bukan kejelitaan jasmaniah atau sisi-sisi kebendaan yang cepat sirna. Kita harus memikirkan akibat perbuatan bahwa perkawinan suci adalah tangga menuju surga atau sebaliknya ke Neraka.

 

Ayat ke 222-223

Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.

Di antara tujuan perkawinan, adalah untuk memiliki anak demi kelanggengan generasi manusia yang mana dalam merealisasikannya, laki-laki dan wanita, keduanya sama-sama berperan. Namun, alam penciptaan, telah menyerahkan tanggungjawab penting pembimbingan anak bahkan sebelum kelahiran ke pundak wanita. Al-Quran dalam ungkapan yang indah dan gamblang, mengumpamakan wanita dengan ladang pertanian yang mana benih anak diambil dari eksistensi laki-laki dan selama sembilan bulan, benih tadi dikandung di dalam perut wanita dan dilahirkan ke dunia bagaikan bibit yang keluar dari tanah dan dihaturkan ke masyarakat. Namun, ladang ini untuk menerima benih, memerlukan persiapan dan masa datang bulan (haid) adalah untuk persiapan ini.

Maka dari itu, Allah Swt memerintahkan agar kaum lelaki tidak mendatangi istri-istrinya pada hari-hari tertentu dalam setiap bulan yang mana akan mengakibatkan kerugian pada jasmani dan jiwa mereka dan tidak memiliki kesiapan untuk menghasilkan keturunan. Hendaklah kalian memikirkan untuk membina anak-anak yang saleh dan bersih dang menghaturkan mereka ke tengah-tengah masyarakat, dan ketahuilah bahwa di sisi Allah di pengadilan Hari Kiamat, kalian harus bertanggung jawab sebagai ayah dan ibu di hadapan anak.

Dari dua ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dan memberikan jawaban untuk semua keperluan dan pertanyaan-pertanyaan manusia di berbagai bidang termasuk pembentukan keluarga dan memiliki anak.
2. Perintah-perintah agama bersesuaian dengan sistem penciptaan, setiap perbuatan yang menyebabkan kerugian diri dan orang lain, adalah dilarang agar keselamatan individu-individu masyarakat, baik laki-laki maupun wanita terjamin.
3. Nafsu seksual manusia harus terkendalikan dan pelampiasan nafsu haruslah dalam bingkai perkawinan, tidak selainnya.
4. Wanita dalam perspektif Islam, dalam taman yang selain sumber kedamaian, juga merupakan sarana bagi pembinaan anak-anak saleh.

Ayat ke 214

Artinya:
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh mala petaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan dengan bermacam-macam cobaan sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman yang bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah." Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.

Melanjuti ayat sebelumnya yang menjelaskan peran keimanan kepada Allah dalam menyampaikan kepada kesejahteraan dan kebahagian serta menjauhkan perselisihan, ayat ini menjelaskan, "Iman tadi dengan sendirinya tidak cukup, melainkan harus dibuktikan dalam praktek. Di saat tertimpa peristiwa-peristiwa pahit, seorang Mukmin harus tetap memelihara keimanannya dengan bertawakal dan dalam liku-liku kehidupan, ia tidak menyeleweng dari jalan Allah. Karena semua kejadian merupakan ujian dan derajat keimanan seseorang diuji atau ditimbang dalam ujian-ujian tadi.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Berharap masuk surga tanpa menempuh kepahitan adalah harapan yang salah.

2. Ujian merupakan salah satu sunnah Allah bagi semua manusia agar setiap manusia dapat menemukan dan menunjukkan jati dirinya.

 

Ayat ke-215:

Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan, hendaklah diberikan kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya."

Di antara sekian tanda orang Mukmin yang banyak kali disinggung oleh al-Quran adalah suka membantu orang-orang tertindas dan mau mendengar keluh kesah mereka. Kaum Muslimin di permulaan kedatangan Islam pernah bertanya kepada Rasul Saw, berapa besar dan benda apakah yang sebaiknya kita infakkan?

Dikarenakan jenis dan jumlah infak bukanlah merupakan perkara tetap dan jelas, dan bergantung kepada fasilitas kita serta keperluan pihak yang akan menerima infak, maka al-Quran dalam menjawab pertanyaan tadi menyatakan, dalam infak, yang penting adalah benda yang kita infakkan itu berfaedah, apapun saja, dan tak terbatas jumlahnya. Dalam hal ini hendaknya seorang Mukmin peduli terhadap semua orang yang ada di sekitarnya, terutama ayah, ibu yang sangat memerlukannya, demikian juga kepada kerabat miskin serta berbagai lapisan masyarakat yang memerlukan uluran bantuannya.

Bagian akhir ayat menyatakan, "Bukan hanya infak, akan tetapi setiap perbuatan baik yang anda kerjakan untuk orang lain, Allah Maha Mengetahui. Maka janganlah anda berobsesi, agar semua orang mengetahui amal baik anda, akan tetapi berusahalah berinfak dengan cara rahasia yang mana hal itu lebih dekat dengan budi pekerti mulia."

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Dalam infak, kedua orang tua dan kerabat yang memerlukan harus didahulukan dari orang lain.
2. Amal baik seseorang tidak akan sia-sia, baik orang lain mengetahuinya, atau pun tidak mengetahuinya, terbuka ataupun rahasia.

 

Ayat ke 216

Artinya:
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal perang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.

Untuk memelihara dan membela agama, Allah Swt mewajibkan jihad kepada orang-orang Mukmin. Namun secara fitrah, manusia cenderung kepada kesenangan dan kebebasan, dan tidak menyukai perang yang melahirkan luka, kematian dan kerugian. Ayat ini menjelaskan bahwa kendati perang dengan musuh itu sulit dan tidak menyenangkan, namun kebahagiaan dunia dan akhirat kalian bergantung kepadanya.

Maka di hadapan perintah-perintah Allah, janganlah kalian mendefinisikan baik dan buruk sesuai dengan hawa nafsu dan insting jiwa. Seperti anak kecil yang lari dari suntikan, padahal kesehatan dan kehidupannya bergantung kepada suntikan tadi. Sebaliknya, ia menyukai makan lezat, padahal makanan itu merugikan dan berbahaya buatnya, ketika ia sedang sakit. Maka kesimpulannya adalah bukan semua kesenangan itu baik dan bukannya segala yang sulit dan pahit itu buruk.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Kriteria baik dan buruk bukanlah diukur dengan insting manusia, melainkan diukur dengan perintah-perintah Allah yang telah ditetapkan berdasarkan maslahat dan menjamin serta membawanya kepada kesejahteraan.
2. Ilmu manusia terbatas dan ilmu Allah tidak terbatas. Maka haruslah pasrah dan tunduk kepada perintah-perintah Allah, kendati kita tidak dapat memahami maslahat sebagian dari perintahNya, ataupun pelaksanaan itu berat dan sulit bagi kita.

 

Ayat ke 217-218

Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi manusia dari jalan Allah, kafir kepada Allah, menghalangi orang masuk Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar dosanya di sisi Allah dan berbuat fitnah lebih besar dosanya dari pada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka dapat mengembalikan kamu dari agamamu kepada kekafiran, seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Sebelum ini, pernah kami sebutkan bahwa di kalangan bangsa Arab semenjak masa Nabi Ibrahim AS, sudah menjadi hal yang umum, di dalam empat bulan dalam setahun perang adalah dilarang. Islam menerima tradisi dan kebiasaan baik itu dan melarang perang dalam empat bulan hijriyah qamariyah yaitu bulan Rajab, Dzulqa'dah, Dzulhijjah dan Muharram.

Adapun mengenai ayat ini, dalam sejarah disebutkan bahwa sebelum perang Badar, Rasul Saw mengirim satu kelompok berjumlah delapan orang dari Muslimin untuk pergi ke Mekah guna mencari-cari informasi tentang keadaan musuh. Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan kafilah Quraisy yang mana salah seorang dari mereka adalah pemuka kafir. Para delegasi Rasul tadi tanpa mempedulikan bahwa mereka sedang berada dalam bulan haram, langsung menyerang orang-orang kafir tersebut dan membunuh si pemuka kafir tadi. Kedelapan orang tadi membawa pampasan perang dan sejumlah tawanan ke sisi Rasul.

Rasul Saw sangat marah dengan tindakan mereka itu dan bersabda, "Aku tidak memerintahkan kalian untuk menyerang mereka, karena ini bulan haram. Oleh karena itu, Rasul tidak mau menerima pampasan perang dan tawanan yang mereka bawa. Dan Muslimin yang lainpun mencela tindakan mereka. Pihak musuh mengambil manfaat dari peluang ini dan berkata bahwa Nabi Muhammad menghalalkan perang dan penumpahan darah serta penawanan di bulan-bulan haram dan mendukung Muslimin untuk melakukan tindakan ini.

Di balik propaganda musuh, ayat ini diturunkan, dan mengingatkan poin penting ini, bahwa kendati perang di bulan haram adalah perbuatan terlarang dan dosa. Namun tindakan itu berlangsung tanpa seijin Rasul dan bukanlah disengaja oleh pemimpin Muslimin, sementara gangguan dan siksaan terhadap Muslimin oleh orang-orang Kafir dan pengusiran mereka dari rumah serta penutupan rumah Allah terhadap kaum Muslimin bukan saja beberapa bulan melainkan sepanjang tahun.

Selanjutnya, ayat tadi mengingatkan Muslimin agar berwaspada dan janganlah kalian berpikir bahwa mereka akan melepaskan kalian, melainkan mereka itu terus berupaya untuk menjauhkan kalian dari agama kalian. Maka ketahuilah bahwa barang siapa yang melepaskan imannya, maka kehidupannya di dunia akan binasa, demikian juga di akhirat nanti, akan berada di barisan orang-orang Jahannam.

Di sisi lain, karena orang-orang Muslim yang menyerang kafilah tadi adalah dengan tulus untuk Allah dan mereka hijrah dan berjihad juga untuk-Nya, bukan untuk tujuan duniawi, maka Allah Swt mengampuni dosa-dosa mereka dan turunlah ayat 218 yang menyatakan bahwa mereka itu telah dimaafkan.

Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Hendaknya kita senantiasa mewaspadai tindak-tanduk kita, supaya musuh tidak dapat memanfaatkan kesalahan kita sebagai alasan.
2. Dalam menghukumi, kita harus realistis, bukannya melihat persoalan dari sisi lahiriahnya saja, kita harus melihat akar persoalan, bukannya ranting dan daunnya. Seorang yang berniat melakukan tindakan makar dan fitnah, pada zahirnya, ia tidak membunuh seseorang, akan tetapi, fitnahnya tadi seringkali membangkitkan pertikaian berdarah dan akhirnya konflik berdarah antar kelompok. Oleh karena itulah, al-Quran menyatakan bahwa bahaya fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan.

Ayat ke 210

Artinya:
Tiada yang mereka nanti-nantikan pada hari kiamat, melainkan datangnya siksa Allah dalam naungan awan dan Malaikat dan diputuskanlah perkaranya, dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan.

Banyak sekali orang yang berharap untuk mendapat melihat Allah dan Malaikat serta mendengarkan ucapan mereka sehingga beriman. Padahal harapan semacam ini adalah mustahil. Karena Allah serta Malaikat bukanlah berbentuk fisik sehingga dapat dilihat dengan mata lahiriah. Apalagi, Allah Swt telah memberikan kepada manusia akal dan wahyu serta telah menunaikan secara sempurna tugas pemberian petunjuk dan tidak perlu menuruti permintaan-permintaan tidak logis seperti itu.

Dari ayat ini kita dapat petik pelajaran bahwa angan-angan untuk melihat Allah dengan indera adalah angan-angan yang tak masuk akal dan tidak pada tempatnya. Keimanan kepada Allah akan bernilai jika berlandaskan kepada akal dan logika serta fitrah.

 

Ayat ke 211

Artinya:
Tanyakanlah kepada Bani Israel: "Berapa banyaknya tanda-tanda kebenaran yang nyata, yang telah kami berikan kepada mereka." Dan barang siapa yang menukar nikmat Allah setelah datang nikmat itu kepadanya, maka sesungguhnya Allah sangat keras siksaNya.

Sejarah adalah sebaik-baiknya modal ibrah (pelajaran). Allah Swt telah memberikan nikmat-nikmat materi dan maknawi yang begitu melimpah. Allah telah menganugerahkan seorang pemimpin seperti Nabi Musa yang menyelamatkan mereka dari cengkeraman Firaun dan memberikan fasilitas-fasilitas ilahi tadi di jalan yang menyeleweng dan dosa serta kezaliman. Sepatutnya, mereka menyembah Allah yang Maha Esa, malah mereka menyembah anak sapi. Sepatutnya mereka belajar dari Musa, mereka malah berguru kepada Samiri.

Akhirnya, mereka mendapat kemurkaan Allah dan mengalami nasib yang sangat pedih gara-gara perbuatan mereka sendiri di dunia. Dewasa ini, meskipun di dunia industri, masyarakat manusia telah memiliki berbagai kenikmatan dan fasilitas yang tak terhitung jumlahnya. Namun sayangnya, dikarenakan jauh dari ajaran-ajaran samawi para Nabi, semua nikmat dan fasilitas tadi digunakan pada jalan dosa, kezaliman dan kebinasaan sosial.

 

Ayat ke 212

Artinya:
Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendakiNya tanpa batas.

Kehidupan dunia begitu mempesona dan menggiurkan di mata orang kafir, sehingga mereka mabuk dan sombong. Sementara orang-orang Mukmin yang tidak peduli dengan gebyar lampu dunia, disebut bodoh dan jahil dan senantiasa diolok-olok. Padahal, tolak ukur atau kriteria keunggulan manusia adalah terletak pada nilai-nilai spiritual dan ilahi. Karena keimanan dan takwalah yang nanti pada hari kiamat akan menyelamatkan dan meninggikan manusia, bukan harta dan jabatan serta status duniawi.

Dari ayat ini kita dapat memetik beberapa pelajaran bahwa kecintaan kepada dunia menyebabkan kesombongan diri dan mengecilkan atau menghina orang-orang lain. Sebaliknya, ketakwaan merupakan modal bagi kebahagiaan dunia dan akhirat serta anugerah-anugerah ilahi yang melimpah.

 

Ayat ke-213:

Artinya:
Manusia itu adalah ummat yang satu. Setelah timbul perselisihan, maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendakinya kepada jalan yang lurus.

Ayat ini menyingung soal peran penting agama dan undang-undang Tuhan dalam mengatur masyarakat manusia dan menyatakan bahwa pada permulaannya, manusia menjalani kehidupan dengan sangat sederhana dan terbatas. Namun dengan semakin meluasnya manusia dan lahirnya masyarakat-masyarakat secara alamiah, muncullah perselisihan antara rakyat dan memerlukan peraturan dan penguasa yang jelas. Di sinilah para nabi ditugasi untuk menyelamat dan membimbing manusia dan mengadili serta memerintah berlandaskan kepada kitab-kitab samawi.

Kendati para nabi telah banyak menguras tenaga dan usaha untuk menciptakan keamanan dan kestabilan sosial, namun tak sedikit orang yang menentang dan tidak bersedia menerima kebenaran atas dasar hawa nafsu, fanatisme dan iri hati. Di tengah-tengah ini, hanya orang-orang Mukmin yang dapat mencapai persatuan dan kedamaian di bawah naungan iman kepada Allah dan kitab samawi-Nya serta meniti jalan kebenaran dan petunjuk. Akan tetapi orang-orang kafir masih tetap tinggal dalam perselisihan dan konflik karena harta benda yang menjadi sumber kesesatan mereka.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎
1. Masyarakat memerlukan undang-undang dan penguasa, dan sebaik-baik undang-undang adalah kitab-kitab samawi, dan sebaik-baik penguasa adalah para nabi dan para pemimpin agama.
2. Cara yang terbaik bagi menyelesaikan perselisihan antara manusia di dalam berbagai persoalan keluarga dan sosial, adalah pasrah di hadapan undang-undang Allah.

Ayat ke-204:

Artinya:
Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan persaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras.

Ayat ini menyinggung kemunafikan sekelompok Munafikin dan menjelaskan bahwa sebagian masyarakat menyatakan keimanan dengan ucapan dan mereka berbicara tentang kehidupan dunia sedemikian rupa, sehingga orang-orang Mukmin terkesan dan hormat dengan ucapan-ucapan mereka. Al-Quran mengingatkan soal bahayanya orang-orang Munafik tadi dan menganjurkan Muslimin agar waspada dan tidak mempercayai mereka itu. Mereka tidak memiliki iman di dalam hati, melainkan mereka bermusuhan terhadap Muslimin, namun mereka menyembunyikan permusuhan tersebut.

Dari ayat ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa jangan kita termakan tipuan ucapan-ucapan indah dan propaganda-propaganda menarik. Kita harus lihat apakah mendasari motif pembicara tadi dan apa tujuannya, adakah pembicaraannya tersebut memperkuat sifat materialisme di dalam diri kita, atau sebaliknya mengingatkan kita kepada Allah Swt.

 

Ayat ke-205:

Artinya:
Dan apabila ia berpaling dari kamu, ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.

Orang-orang yang berbicara dengan ucapan-ucapan yang indah dan berjanji, jika mereka sampai pada kursi kekuasaan, maka akan meluaskan kesejahteraan dan keamanan di dalam masyarakat, ketika mereka benar-benar berhasil menduduki kursi kekuasaan, guna memiliki harta yang banyak, mereka mengelabukan dan membuat rakyat menderita.

Selain ekonomi masyarakat yang mereka hancurkan, dan juga generasi muda tersesatkan karena ulah mereka.

Al-Quran di dalam ayat-ayat lain menyatakan, setiap kali orang-orang shalih mendapat kekuasaan, mereka berpikir untuk memperbaiki agama dan dunia rakyatnya, selain memperkokohkan shalat yang merupakan refleksi terbaik hubungan makhluk dengan Allah, juga menguatkan masyarakat dengan mengeluarkan zakat, yaitu hubungan dengan rakyat dan orang-orang tertindas.

Dari ayat ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa dalam menghadapi orang lain, jangan memperhatikan ucapan mereka saja, melainkan kita harus melihat, bagaimana tindak-tanduk mereka. Adakah mereka bekerja untuk kebaikan masyarakat ataupun menyebabkan luasnya kefasadan di tengah rakyat.

 

Ayat ke-206-207:

Artinya:
Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa, maka cukuplah balasannya neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha penyantun kepada hamba-hambaNya.

Melanjuti ayat-ayat sebelumnya berkaitan dengan kezaliman dan kefasadan Munafikin yang ahli dalam menipu. Ayat 206 menyingung tentang kesombongan mereka dan menyatakan bahwa sekiranya ada orang yang menasehati dan mencegah orang Munafik tadi agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Di sini, bukan saja ia tidak mau mendengar nasehat, malah semakin jadi melakukan perbuatan-perbutan fasad dan tak segan-segan melakukan segala tindakan. Namun, di balik manusia-manusia sombong dan mabuk dunia ini, ada orang-orang yang berjiwa suci dan pasrah serta taat kepada perintah Allah dan bersedia berkorban jiwa di jalan keridhaan Allah.

Di dalam kitab tafsir, disebutkan bahwa orang-orang Musyrik memutuskan untuk melakukan serangan terhadap rumah Rasul pada malam hari dengan tujuan membunuh beliau. Rasul mengetahui niat keji itu melalui wahyu dan berniat untuk segera keluar dari Mekkah. Namun agar para musuh tidak mencium kepergian beliau, Ali bin Abi Talib tidur di pembaringan Rasul dan berkorban jiwa untuk utusan Allah. Maka turunlah ayat 207 dan malam bersejarah itu dinamakan "Laylatul-Mabit"

Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:‎
1. Salah satu dari penyebab terulangnya dosa adalah kesombongan dan fanatisme serta keangkuhan terhadap kebenaran yang sepatutnya bertaubat dan menyesali, malah menambah tumpukan dosa.
2. Orang Mukmin adalah ahli berbuat. Ia melakukan transaksi dengan Allah dengan mencari keridhaan Allah, akan tetapi orang munafik bertransaksi dengan uang dan harta dunia, dan motifasinya adalah memperoleh keridhaan makhluk.

 

Ayat ke-208-209:

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Tetapi jika kamu menyimpang dari jalan Allah, sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.


Ayat ini menyeru orang-orang Mukmin kepada perdamaian dan ketenangan supaya masyarakat Islam menjadi seubah masyarakat yang akrab dan kompak serta membuang jauh-jauh perselisihan yang merupakan pedang setan guna menciptakan kebencian dan perpecahan. Pada umumnya, hal-hal seperti keturunan, bahasa dan kekayaan serta perbedaan-perbedaan lahiriyah dan materi menjadi sebab dan rangsangan bagi menuntut superioritas dan keunggulan dan hanya keimanan kepada Allah jualah yang dapat melahirkan kesatuan jiwa dan menjamin perdamaian yang sejati.

Dengan alasan itulah, dengan bersandar kepada argumentasi-argumentasi yang jelas dari sumber akal dan wahyu mengenai pentingnya menjauhi langkah-langkah syaitan, maka setiap perbuatan yang menghancurkan keharmonisan, kedamaian dan ketenangan sosial Islam, merupakan penyelewengan dari iman dan orang semacam ini harus tahu bahwa di hadapannya ada Allah yang Maha kuasa dan bijaksana.

Dari dua ayat tadi terdapat duapelajaran yang dapat dipetik:‎
1. Kedamaian dan ketenangan hanya mungkin diwujudkan di bawah naungan keimanan yang sejati, dan tanpa iman serta bergantung kepada peraturan-peraturan buatan manusia, maka perang dan ketidakamanan tidak akan dapat disirnakan di muka bumi.
2. Setan adalah musuh persatuan dan setiap seruan yang bersifat memecah belah, adalah keluar dari tenggorokan syaitan.

Ayat ke 197

Artinya:
Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasi dan berbantah-bantahan di dalm masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepadaku hari orang-orang yang berakal.

Upacara-upacara haji setiap tahunnya, hanya sekali, itupun pada zaman tertentu dan setiap orang yang pergi ke haji, maka sejak awal, maka ia harus menyiapkan kebersihan kesucian, dan takwa sebagai bekal perjalanan spiritual dan disusul dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik dan menjauhi dosa.

Mekah adalah basis keamanan, persatuan dan ibadah. Maka di hari-hari Haji, lingkungan ini harus disucikan dari pertikaian dan konflik atau perbuatan dosa ataupun melakukan hubungan seksual agar pintu untuk pendekatan diri kepada Allah terbuka.



Ayat ke 198-199

Artinya:
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia rezki hasil perniagaan dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram dan berdzikirlah dengan menyebut Allah sebagaimana yang ditunjukkannya kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.

Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak ('Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dalam ayat-ayat tadi dinyatakan bahwa melakukan perbuatan-perbuatan yang membahayakan keamanan dan persatuan Muslimin, adalah dilarang, namun ayat ini berbeda dengan keyakinan Arab Jahiliyah yang memandang setiap bentuk transaksi adalah dosa di hari-hari Haji. Al-Quran menyatakan bahwa pelaksanaan urusan ekonomi dan transaksi yang merupakan tuntutan pelaksanaan acara ini bukan saja boleh, bahkan diperlukan.

Dalam pada itu, ayat al-Quran menjelaskan salah satu lagi dari hukum haji yaitu bergerak dari Arafah menuju Masy'aril Haram dan Allah berfirman bahwa pertama dalam perjalanan ini harus senantiasa mengingat Allah sehingga Allah dapat menyelamatkan kalian dari kesesatan dan diberi petunjuk ke jalan Allah. Kedua, secara berkelompok dan bersama-sama dan janganlah kalian merasa berhak mendapat superioritas dari orang lain.

Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:‎
1. Islam adalah agama sempurna dan di samping ibadah ritual seperti Haji, ia juga memperhatikan sisi kehidupan material, pencarian nafkah masyarakat.
2. Di dalam perjalanan, kita harus mengambil manfaat dari nikmat-nikmat material, namun jangan sampai kita melupakan Allah.
3. Di dalam Haji, pangkat atau status pribadi disingkirkan, dan semua harus seperti lainnya dan bersama-sama merampungkan upacara tadi.

Ayat ke 200-202

Artinya:
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek-moyangmu atau bahkan berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka diantara manusia ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia", dan tiadalah baginya bagian yang menyenangkan di akhirat.

Dan diantara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka." Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan Allah sangat tepat perhitunganNya.

Di dalam sejarah disebutkan bahwa orang-orang Arab pra-Islam setelah usai menunaikan upacara-upacara haji, mereka berkumpul di suatu tempat dan masing-masing dari mereka membangga-banggakan kaum dan kabilah serta nenek-moyangnya. Al-Quran menyatakan: "Sebagai ganti berbangga-bangga dengan nenek-moyang, ingatlah Allah; syukurilah nikmat-nikmat terdahulu dan mohonlah masa depanmu kepadaNya."

Selanjutnya al-Quran menambahkan bahwa masyarakat terbagi dua kelompok, satu kelompok yang setelah rampung menunaikan amalan-amalan haji, mereka hanya memikirkan soal duniawi dan kebutuhan-kebutuhan materi dan tidak memohon kepada Allah sesuatu selain itu. Sudah sewajarnya, jika kelompok ini nanti pada hari kiamat dikala manusia memerlukan segala sesuatu, berada dalam keadaan tangan kosong.

Namun kelompok kedua di dalam doa-doanya, selain peduli terhadap dunia yang merupakan sarana untuk sampai kepada kesempurnaan, juga meminta kepada Allah pada hari kiamat nanti terselamatkan dari siksa neraka dan mendapat nasib khusnul khatimah.

Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:‎
1. Di dalam berdoa kepada Allah, janganlah kita berpikiran pendek dan hanya melihat apa yang ada di depan kaki dan kehidupan beberapa hari di dunia.
2. Islam adalah agama pertengahan atau dalam istilah al-Quran umat Islam disebut dengan "ummatan washato". Islam adalah agama yang memperhatikan dua sisi kehidupan dunia maupun akhirat, sehingga orang Muslim harus memikirkan juga tentang kemajuan dan kesejahteraan material dirinya dan juga masyarakat.
3. Kita memohon kepada Allah kebaikan, kemaslahatan, dan kesejahteraan, bukannya kita menentukan perkara-perkara parsial dalam doa kita kepada Allah, karena kita tidak mengetahui masa depan kita sendiri dan apa yang menjadi kebaikan untuk kita.

 

Ayat ke 203

Artinya:
Dan berdzikirlah dengan menyebut Allah dalam beberapa hari yang berbilang, barang siapa yang ingin menangguhkan keberangkatannya dari dua hari itu, maka tiada dosa baginya, dan barang siapa yang ingin menangguhkan keberangkatannya dari dua hari itu, maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkan kepadaNya.

Melanjutkan ayat sebelumnya yang menyatakan sebagai ganti berbangga-bangga dengan nenek-moyang di dalam upacara haji, maka ingatlah Allah, ayat ini menjelaskan momentnya.

Setelah upacara Idul Qurban pada hari kesepuluh bulan Dzulhijjah, hari kesebelas, kedua belas dan ketiga belas, para Hujjaj berada di padang Mina. Tempat itu merupakan kesempatan dan peluang yang sangat baik untuk bertafakkur dan tadabbur di alam semesta serta beribadafh dan bermunajat dengan Tuhan yang Maha Kuasa. Ayat ini mengingatkan dari pada menyebut-nyebut kecemerlangan dan kebanggaan-kebanggaan nenek-moyang dan keunggulan kaum atau kabilah, maka sebaiknya mereka mengingat Allah dan nikmat-nikmatNya.

Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Jjika manusia ahli takwa dan kesucian, maka Allah tidak akan mempersulit urusannya.

2. Pekerjaan ahli takwa meskipun sedikit, akan diterima oleh Allah dan menutupi kekurangan dan kelemahan-kelemahan perbuatannya.