کمالوندی

کمالوندی

Kamis, 29 Juli 2021 20:43

Bashar Assad: Iran Mitra Utama Suriah

 

Presiden Suriah di pertemuannya dengan ketua parlemen Republik Islam Iran menekankan, Iran mitra utama Suriah.

Menurut laporan IRNA, Bashar Assad Rabu (28/7/2021) di pertemuan dengan Mohammad Bagher Ghalibaf bersama rombongan di Damaskus mengatakan, Iran mitra utama Suriah dan koordinasi yang ada antara kedua negara di perang melawan terorisme menunjukkan hasil positif.

Lebih lanjut Bashar Assad menambahkan, Iran bersama rakyat Suriah melawan teroris dan mendukung Suriah di semua bidang.

Presiden Suriah juga mengatakan, koordinasi yang ada antara kedua negara akan terus berlanjut hingga pembebasan total wilayah Suriah dan kekalahan kelompok teroris.

Sementara itu, Ghalibaf di pertemuan ini mengatakan, pemilu terbaru di Suriah dan Iran membuktikan kekalahan kebijakan represi yang diterapkan terhadap mereka.

Di pertemuan ini juga dikaji hubungan kuat antara kedua negara Iran dan Suriah, kerja sama konstruktif antara kedua negara di berbagai level.

Kedua pihak juga menekankan peran utama parlemen Suriah dan Iran untuk membuka ufuk baru bagi kerja sama bilateral khususnya di sektor ekonomi, bukan saja untuk sektor pemerintah, tapi juga mengaktifkan kerja sama antara sektor swasta kedua negara untuk membantu kedua bangsa bersahabat dalam melawan perang ekonomi dan pendekatan blokade serta sanksi yang diterapkan kepada mereka.

Ketua parlemen Iran hari Selasa (27/7/2021) bersama delegasi tinggi parlemen bertolak ke Suriah. 

Kamis, 29 Juli 2021 20:42

Hari Raya Ghadir Khum

 

Hari ini Kamis, 18 Zulhijjah 1442 H bertepatan dengan 29 Juli 2021 Hari Raya Ghadir Khum, salah satu hari besar umat Islam.

Ghadir Khum, sebuah tempat antara Mekah dan Madinah, di mana Rasulullah Saw di Haji Wada mengangkat Imam Ali as, imam pertama Syiah sebagai Wali dan penggantinya.

Rasulullah Saw ketika kembali dari haji terakhirnya meminta seluruh jamaah haji untuk mengikuti acara ini dan berkumpul di Ghadir Khum serta mengumumkan Imam Ali as sebagai washi, saudara dan penggantinya yang ditunjuk Tuhan.

Rasulullah Saw di khutbah penting Ghadir Khum mengatakan, “Siapa saja yang menjadikanku sebagai walinya, maka setelahku Ali adalah maula mereka.”

Hari raya Ghadir Khum yang disebut riwayat sebagai hari raya terbesar, dapat juga disebut sebagai hari raya terbesar seluruh agama ilahi, karena seluruh hasil usaha para utusan Tuhan terealisasi di hari ini.

IRIB mengucapkan selamat Hari Raya Ghadir Khum kepada seluruh umat muslim dunia. 

 

PM Pakistan membantah dukungan negaranya terhadap aksi pemberontakan yang dilakukan Taliban di Afghanistan.

Perdana Menteri Pakistan Imran Khan mengatakan bahwa berita pengiriman 10.000 petempur ke Afghanistan dari Pakistan untuk mendukung Taliban dalam bentrokan baru-baru ini tidak benar.

Menyinggung penerimaan 3 juta pengungsi Afghanistan di Pakistan, Imran Khan mengatakan, "Kami sangat kecewa,meskipun banyak upaya Islamabad untuk memfasilitasi proses perdamaian, tapi mereka masih menyalahkan Pakistan atas apa yang terjadi di Afghanistan,".

Para pejabat Kabul mengkritik Pakistan atas pengiriman pasukan tambahan ke Afghanistan yang dibantah oleh Islamabad.

 

Bersamaan dengan semakin sengitnya perang di Afghanistan, delegasi politik Taliban yang dipimpin Mulla Baradar, Wakil Ketua Taliban bidang politik, melakukan kunjungan ke Cina, untuk bertemu dengan sejumlah pejabat tinggi negara itu.

Juru bicara Kantor Politik Taliban di Qatar, Mohammad Naim di akun Twitternya, Rabu (28/7/2021) menulis, delegasi politik Taliban yang terdiri sembilan orang dipimpin Mulla Baradar, berkunjung ke Cina.
 
Menurut Naim, delegasi politik Taliban berkunjung ke Cina hari Selasa (27/7) atas undangan resmi pemerintah Beijing.
 
Dalam kunjungan itu, delegasi Taliban bertemu dengan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi, dan Utusan khusus pemerintah Cina untuk Afghanistan. Menurut Mohammad Naim, dalam pertemuan ini dibicarakan sejumlah masalah termasuk politik, ekonomi dan keamanan.
 
Delegasi Taliban pada kesempatan itu meyakinkan Cina bahwa kelompok ini tidak akan menggunakan wilayah Afghanistan untuk mengancam keamanan negara mana pun.

 

Banyak dari masyarakat Muslim terusir dari negaranya dan menjadi pengungsi karena perang dan ambisi negara-negara Barat. Mereka menanggung kesulitan dalam perjalanan ke Eropa dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Dinas-dinas intelijen Barat dan beberapa negara Arab memanfaatkan situasi sulit yang dihadapi pengungsi dan mereka merekrut sejumlah pemuda untuk menjadi anggota kelompok-kelompok teroris. Langkah ini bertujuan untuk memajukan konspirasi dan ambisi Barat di negara-negara konflik.

Sejumlah pemuda Muslim di Eropa yang bergabung dengan kelompok teroris, merupakan umpan terbaik untuk memenuhi kepentingan dinas-dinas intelijen Barat, yang berusaha maksimal untuk merusak Islam.

Untuk melawan kampanye anti-Islam ini, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah Sayid Ali Khamenei mengirim sepucuk surat kepada para pemuda Eropa dan Amerika Utara pada 21 Januari 2015. Rahbar dalam pesannya itu menjelaskan tentang faktor-faktor sosial dan politik terorisme.

Surat ini telah diterbitkan dalam delapan bahasa dunia. Ia memainkan peran penting dalam menyadarkan masyarakat dunia dan menggagalkan propaganda anti-Islam yang dilakukan Barat dengan alasan terorisme.

Dalam perspektif Ayatullah Khamenei, alasan mendasar terorisme di Barat karena adanya pemikiran berbau kekerasan di masyarakat Barat. Hal ini terbentuk melalui sekumpulan pandangan dan ideologi yang kemudian melahirkan standar ganda dalam kebijakan Barat, membagi teroris dengan baik dan buruk, serta memprioritaskan kepentingan penguasa ketimbang nilai-nilai kemanusiaan dan etika.

Pemikiran seperti itu telah menciptakan kekerasan senyap akibat pemaksaan budaya Barat atas bangsa-bangsa lain.

Pengungsi tertahan di perbatasan salah satu negara Eropa. (Dok)
"Dalam pandangan saya, langkah pertama untuk membangun keamanan dan ketenangan adalah dengan mereformasi mentalitas yang melahirkan kekerasan ini. Selama standar ganda mendominasi kebijakan Barat, dan selama terorisme dibagi di mata pendukungnya yang kuat ke dalam kategori baik dan buruk, dan selama kepentingan pemerintah diberi prioritas di atas nilai-nilai kemanusiaan dan moral, akar terorisme seharusnya tidak dicari di tempat lain," jelas Ayatullah Khamenei.

Lingkungan budaya yang tidak sehat dan penuh kekerasan di Barat serta kebencian akut yang muncul akibat diskriminasi, telah menstimulasi sejumlah warga Eropa ke arah kekerasan dan kelompok-kelompok teroris.

Barat juga merendahkan budaya-budaya yang kaya meskipun mereka tidak memiliki kapasitas untuk menjadi alternatif. Belum lagi, budaya Barat menyimpan dua komponen negatif yakni agresivitas dan amoral. Pemikiran ini menyebarkan benih kebencian terhadap komunitas Muslim di Barat sebagai kelompok yang paling rentan.

Selain ketimpangan sosial dan dampak-dampak pelecehan budaya suku bangsa lain oleh negara-negara Barat, surat kedua Ayatullah Khamenei juga menyoroti dimensi lain terbentuknya kekerasan senyap di masyarakat Barat. Kekerasan senyap ini berakar pada kebijakan era imperialisme, konspirasi, dan intervensi asing di negara-negara Islam pada abad ke-19 dan 20.

Pada masa imperialisme, Barat menyemai benih-benih ekstremisme di tengah suku Badwi Arab dan di era modern, mereka membentuk kelompok Daesh untuk menciptakan kehancuran di negara-negara Muslim.

Surat Ayatullah Khamenei memperingatkan bahwa langkah-langkah reaktif, tidak akan membuahkan hasil apapun kecuali peningkatan polarisasi yang telah ada, sekaligus membuka pintu bagi munculnya berbagai krisis baru di masa mendatang.

“Setiap gerakan sensasional dan tergesa-gesa yang membuat masyarakat Muslim Eropa dan Amerika Serikat – yang terdiri dari jutaan manusia aktif dan bertanggung jawab – menjadi terisolasi maupun khawatir dan gelisah, membuat mereka terhalang dari hak-hak asasinya serta menjadikan mereka terkucil dari ranah sosial, bukan hanya tidak menyelesaikan masalah, tapi justru akan semakin memperlebar jarak dan meningkatkan permusuhan,” tulis Ayatullah Khamenei dalam suratnya kepada pemuda Barat.

Sejauh ini korban terbesar aksi tergesa-gesa menyikapi isu terorisme adalah warga Muslim, terutama yang berdomisili di negara-negara Barat.

Barat juga mengadopsi standar ganda terhadap gerakan kebangkitan di Dunia Islam dan memberi dukungan mutlak kepada rezim Zionis Israel meskipun terlibat pembantaian di Palestina.

Menurut Ayatullah Khamenei, standar ganda dan dukungan Barat kepada rezim Zionis telah mengakibatkan pemaksaan perang, penyebaran terorisme, pendudukan, dan rasa tidak aman bagi masyarakat regional dan internasional.

Donald Trump percaya bahwa Obama dan Hillary sebagai pembentuk Daesh.
Amerika Serikat dan kekuatan-kekuatan Eropa selama bertahun-tahun juga mendukung rezim diktator Arab. Dukungan ini menyulut sentimen anti-Barat di tengah bangsa-bangsa Arab dan Muslim di kawasan yang menuntut kebebasan.

Jadi, standar ganda dan sikap kontradiksi Barat telah menciptakan ruang bagi penyebaran pemikiran radikal dan ekstrem.

Mengenai kontribusi pemikiran Barat bagi terbentuknya terorisme, dosen di hauzah dan universitas di Iran, Hassan Rahimpour Azghadi menuturkan, "Hari ini ada kebutuhan mendesak untuk mendefinisikan terorisme, karena ribuan pemuda Muslim di Eropa dengan label 'teroris' berada di bawah penyiksaan. Pasca peristiwa 11 September, Barat membunuh jutaan orang dan mengejar agenda untuk meneror Islam dan menakut-nakuti kaum Muslim."

Menurutnya, definisi Barat tentang terorisme merupakan bentuk dari tindakan teror itu sendiri. Setiap individu Muslim mengetahui bahwa mengintimidasi atau membunuh orang tanpa proses hukum yang adil adalah perbuatan haram. Jadi, akar terorisme bukan Islam, tetapi hubungan internasional yang tercipta di masa sekarang.

Rahimpour Azghadi menambahkan, hubungan saat ini di kancah internasional telah melahirkan benih-benih teroris. Terorisme negara telah muncul yang kemudian diikuti oleh teroris non-negara, karena hubungan internasional saat ini benar-benar tidak adil dan bahkan komposisi Dewan Keamanan PBB disusun sepihak.

"Islam menolak kekerasan. Agama ini mewajibkan jihad dan qisas untuk melawan terorisme. Jelas keliru jika Barat memperkenalkan kedua unsur ini sebagai faktor pemicu kekerasan. Islam menganggap perang melawan penjajah sebagai jihad dan tentu saja ada kerangka akhlak yang sudah ditetapkan untuk ini," ujarnya.

Ayatullah Khamenei mengajak para pemuda Barat untuk berpikir dan mencari kebenaran sejati dengan menggugah hati nurani dan kemanusiaannya.

"Karena itu, saya ingin kalian kaum muda meletakkan dasar untuk interaksi yang benar dan terhormat dengan Dunia Islam berdasarkan pada pemahaman yang benar, wawasan yang mendalam, dan mengambil pelajaran dari pengalaman yang mengerikan. Dengan demikian, dalam waktu yang tidak lama lagi, kalian akan menyaksikan bangunan yang dibangun di atas pondasi kokoh ini yang menciptakan keyakinan dan kepercayaan bagi para pendirinya, memberikan kehangatan keamanan dan kedamaian kepada mereka, dan menyalakan harapan bagi masa depan yang cerah yang menerangi planet ini." 

 

Salah satu alasan negara-negara Eropa mengadopsi pendekatan negatif terhadap imigran Muslim adalah karena perbedaan identitas dan budaya mereka dengan budaya Eropa.

Kebanyakan warga Muslim di Eropa tidak menerima secara penuh budaya Barat dan belum terintegrasi secara utuh di tengah masyarakat Eropa. Realitas ini bertentangan dengan keinginan para pemimpin Eropa.

Ada dua pendekatan yang berbeda dalam memperlakukan komunitas Muslim di Eropa. Pertama, penekanan pada multikulturalisme dan pendekatan ini tampaknya diterapkan di negara-negara Eropa seperti Inggris. Masyarakat Muslim dipandang sebagai minoritas dengan identitas sendiri dan totalitas yang terintegrasi.

Dan kedua, pendekatan integratif (pembauran/penyatuan) di mana mendapat dukungan dari beberapa negara Eropa seperti Perancis. Pendekatan ini menginginkan pemberian hak-hak yang kelihatan setara dengan warga asli Eropa kepada minoritas agama termasuk Muslim dan meng-eropakan mereka (eropaisasi).

Para pendukung pendekatan integratif ingin menyatukan masyarakat Muslim ke dalam struktur budaya dan peradaban Eropa. Dalam pandangan pemerintah Eropa khususnya Perancis dan Inggris, Islam dapat dibagi menjadi Islam radikal dan moderat.

Pendekatan ini berusaha mengelompokkan Muslim ke dalam istilah moderat dan radikal, dan kemudian mendukung kelompok Islam moderat. Para pemimpin Islam moderat juga akan menerima pendidikan untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai Eropa.

Dalam upaya eropaisasi imigran Muslim, media-media dan think tank (wadah pemikiran) Eropa melakukan propaganda luas untuk menunjukkan bahwa Islam radikal itu benar-benar nyata dan menjadi lawan dari Islam moderat.

Barat menyebut kelompok-kelompok teroris yang berafiliasi dengan Arab Saudi seperti Al Qaeda, Daesh, dan Front al-Nusra sebagai kubu Islam radikal, sementara Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman dan para politisi Arab jebolan Barat diperkenalkan sebagai kelompok Islam moderat.

Di Eropa sendiri, pemerintah mendirikan lembaga-lembaga budaya dan Islamic Center untuk membuktikan keberadaan Islam moderat. Pembangunan Islamic Cultural Center di Belgia dan Dewan Pusat Muslim di Jerman adalah contoh dari kebijakan Eropa untuk menyatukan masyarakat Muslim dengan peradaban Eropa.

Dewan Agama Islam Perancis (CFCM) juga didirikan sebagai perwakilan masyarakat Muslim dalam berinteraksi dengan pemerintah Perancis. Lembaga dengan fungsi yang sama juga dibentuk di Inggris.

Negara-negara Eropa yang pro-integrasi imigran Muslim juga mengalokasikan dana riset untuk lembaga-lembaga, yang bertugas menjelaskan masalah pembauran imigran Muslim ke dalam masyarakat Eropa.

Di Perancis, setiap individu Muslim harus menerima prinsip-prinsip sekuler dan dalam mendefinisikan identitasnya, ia harus memperkenalkan dirinya sebagai warga Perancis, dan setelah itu baru berbicara tentang identitasnya sebagai Muslim.

Di negara itu, program integrasi meminta imigran Muslim untuk berkomitmen dengan nilai-nilai republik. Di Jerman, mereka diminta untuk setia pada nilai-nilai Jerman atau nilai-nilai liberal.

Sementara itu, negara-negara seperti Inggris dan Belanda menerapkan pendekatan multikulturalisme. Pemerintah tampaknya menerima keberagaman identitas ketimbang mengupayakan pembauran identitas.

Meski beberapa negara Barat seperti Inggris dan Amerika Serikat menerima multikulturalisme, namun saat ini banyak pihak di Barat mengkritik pendekatan tersebut. Dosen Universitas Harvard, Robert Putnam menuturkan, "Dispersi budaya menyebabkan tidak terbentuknya komunitarianisme (gagasan yang meyakini bahwa individu bukan aktor yang lepas dari lingkungannya) dan perpecahan di antara masyarakat Muslim dan Inggris meningkat."

Banyak riset mencatat bahwa pendekatan integrasi dan asimilasi pendatang Muslim di masyarakat Eropa telah gagal dalam banyak kasus. Kajian yang dilakukan Profesor Maria Haberfeld menunjukkan bahwa ada penolakan terhadap identitas Eropa di antara seluruh lapisan sosial dan ekonomi Muslim dan hanya tujuh persen dari Muslim di Inggris yang memperkenalkan dirinya sebagai warga Inggris, sementara 81 persen dari mereka lebih memilih menyebut dirinya Muslim.

Menurut sebuah survei tentang Muslim Inggris pada 2016, semakin banyak warga Muslim yang merasa dirinya tidak terkait dengan masyarakat Eropa. Sepertiga responden mengatakan bahwa mereka merasa memiliki banyak kesamaan dan ikatan yang lebih besar dengan Muslim di negara-negara lain ketimbang dengan masyarakat non-Muslim Inggris.

Jadi, peningkatan sentimen anti-imigran di antara pemerintah-pemerintah Eropa akan memperkuat rasa keterasingan dan ketidakcocokan imigran Muslim dengan masyarakat Eropa.

Penelitian menunjukkan bahwa kelompok sayap kanan dan anti-imigran memainkan peran utama dalam memperbesar pendekatan negatif terhadap imigran Muslim di Eropa.

Kelompok sayap kanan ekstrem Inggris dalam sebuah aksi protes. (Dok)
Sayap kanan ekstrem biasanya menguasai 10 persen suara di Austria, Belgia, Denmark, Perancis, dan Italia, dan sekitar 20 persen suara di Finlandia dan Norwegia. Angka ini meningkat dalam beberapa tahun terakhir di sebagian negara Eropa.

Dalam situasi seperti ini, rasa keterasingan warga Muslim dengan masyarakat Eropa merupakan reaksi alami mereka yang hidup di tengah sebuah budaya yang berlawanan.

Imigran Muslim di Perancis, Jerman, Belgia, dan negara-negara Eropa lainnya telah menciptakan "masyarakat paralel" dan lebih tertarik pada praktik-praktik keagamaan dan norma-norma budaya di negara asal mereka daripada budaya dan adat-istiadat negara-negara Eropa.

Pendekatan diskriminatif pemerintah Eropa dan pengucilan komunitas paralel ini telah membuat mereka rentan terhadap perekrutan oleh kelompok-kelompok radikal.

Pendekatan diskriminatif ikut mempersulit proses integrasi sosial-budaya Muslim di tengah masyarakat Eropa, dan rasa keterasingan ini telah meningkatkan kerentanan imigran Muslim dari propaganda sa

 

Perjalanan para imigran Muslim ke Eropa mulai disoroti dari aspek keamanan dan ini menjadi salah satu tantangan bagi mereka. Pemerintah-pemerintah Eropa dengan mempolitisasi isu keamanan, berusaha memperoleh simpati publik, menjawab masalah krisis identitas di Eropa, dan menerapkan pembatasan ekstrim bagi imigran.

Pemerintah Eropa memandang isu migrasi sebagai ancaman keamanan demi melegitimasikan kebijakannya untuk melawan para pengungsi dan pencari suaka, sekaligus memperoleh dukungan publik.

Dengan begitu, kebijakan yang tidak bisa diterapkan dalam situasi normal, sepertinya akan memperoleh legalitas dan menjustifikasi perilaku ekstra-yudisial dan bahkan tindakan represif pemerintah Eropa terhadap imigran Muslim dengan alasan menjamin keamanan nasional.

Pengalaman mencatat bahwa pemerintah Eropa secara sengaja mempolitisasi isu ancaman keamanan dalam kasus-kasus seperti, masalah imigran Muslim. Dengan cara ini, mereka ingin memperluas kekuasaan dan wewenangnya dengan dalih melawan apa yang disebut gangguan keamanan dari sisi imigran Muslim.

Secara umum dan dari sudut pandang teoritis, rasa tidak aman bukanlah sebuah persoalan yang selalu datang dan pasti, tetapi tergantung pada situasi dan kondisi, dan definisi rasa tidak aman juga akan berbeda-beda. Rasa tidak aman terkadang sengaja diciptakan oleh penguasa dan kemudian berpura-pura mengatasinya.

Di Eropa, penguasa mengesankan fenomena seperti migrasi dan pencarian suaka sebagai gangguan keamanan sehingga bisa menerapkan kebijakan ekstrim untuk menghadapi imigran Muslim. Kebijakan ini akan menambrak banyak aturan hukum humaniter internasional jika diterapkan dalam situasi normal.

Sekuritisasi atau politisasi isu keamanan ini akan mempengaruhi banyak aspek lain seperti, masalah budaya, bahasa, kondisi kesehatan imigran, dan bahkan perbedaan mereka dengan penduduk asli, dan pada akhirnya persoalan utama terlupakan begitu saja.

Negara-negara Eropa ingin melepas tanggung jawabnya mengenai penyelesaian masalah para imigran di wilayah mereka dengan mengangkat isu-isu lain. Untuk lari dari tanggung jawab ini dan menjustifikasi pembatasan ekstrim, pemerintah Eropa justru menuduh para imigran telah menyalahgunakan kebebasan yang ada di Benua Biru.

Mengaitkan masalah imigran dan pencari suaka dengan isu keamanan sebenarnya bertentangan dengan kepentingan pertumbuhan ekonomi Eropa. Politisasi isu keamanan juga akan meningkatkan harapan publik Eropa agar pemerintahan mereka memperluas kebijakan pembatasan terhadap pendatang.

Padahal, negara-negara Eropa akan memperoleh keuntungan ekonomi dengan kedatangan imigran. Negara-negara industri Eropa membutuhkan tenaga kerja murah untuk menggerakkan roda ekonominya dan ini akan menguntungkan pengusaha setempat. Penerapan pembatasan ketat terhadap imigran justru akan meningkatkan kekhawatiran tentang pelanggaran HAM.

Ketika negara-negara Eropa pada 1970-an memberlakukan serangkaian larangan resmi mengenai migrasi tenaga kerja, masalah pendatang juga menjadi perdebatan di antara para pejabat Eropa.

Eropa kemudian menerapkan pembatasan penerimaan imigran menyusul kampanye besar-besaran tentang peningkatan kejahatan, pelanggaran hak-hak individu, pengangguran, masalah sosial, ancaman budaya dan agama, serta ketidakstabilan politik.

Dengan demikian, isu pendatang telah bergeser dari masalah sosial menjadi masalah keamanan. Misalnya, dalam upaya mengaitkan isu pendatang dengan keamanan pasca pemilu Inggris pada 2005, pemimpin partai konservatif Michael Howard berbicara tentang hubungan pencari suaka dengan terorisme.

Howard dalam sebuah pidato pada 29 Maret 2005 mengatakan, "Saat ini kita menghadapi ancaman teroris nyata di Inggris, ancaman terhadap keselamatan kita, cara hidup kita, dan kebebasan kita. Tapi kita sama sekali tidak tahu siapa yang datang atau meninggalkan negara kita. Ada seperempat juta pencari suaka yang gagal tinggal di negara kita hari ini. Tidak ada yang tahu siapa mereka atau di mana mereka berada. Untuk mengalahkan ancaman teroris, kita perlu tindakan, bukan ucapan. Tindakan untuk mengamankan perbatasan kita."

Saat ini, sekuritisasi migrasi dan masalah ancaman keamanan telah menjadi sebuah isu yang umum di tingkat Uni Eropa dan negara-negara Eropa. Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi juga mengakui bahwa migrasi dan pencarian suaka di Uni Eropa telah bergeser menjadi isu keamanan.


PBB dalam sebuah penelitian menyatakan bahwa munculnya kekhawatiran baru bagi negara-negara dunia, terutama pasca peristiwa 11 September 2001, telah menggeser masalah pencarian suaka ke isu keamanan. Para pencari suaka bukannya dianggap sebagai korban, tapi dicitrakan sebagai pemicu rasa tidak aman.

Di Uni Eropa, banyak dari pejabat politik terutama ultra-nasionalis sayap kanan dan kubu konservatif secara terbuka berbicara tentang hubungan migrasi dengan terorisme dan ekstremisme. Mereka secara sadar atau tidak mengaitkan masalah migrasi dengan banyak ancaman sosial di Eropa termasuk terorisme.

Inggris dengan standar ganda ingin mengesankan bahwa mereka tidak begitu mengaitkan persoalan migrasi dengan isu keamanan dibanding negara-negara lain Eropa. Pemerintah Inggris mencoba memperoleh dukungan publik sehingga memiliki tenaga kerja dengan upah murah. Namun, pemerintah juga perlu meredam kekhawatiran publik terkait bahaya keamanan yang mungkin ditimbulkan oleh imigran.

Meski demikian, Inggris mengadopsi undang-undang anti-terorisme baru pada musim gugur 2001. UU ini akan memungkinkan pemerintah untuk menahan atau mengusir pendatang yang dicurigai terlibat aktivitas terorisme. Pada musim dingin 2001, Inggris telah mengumpulkan banyak informasi pribadi dari para imigran Muslim.

Menariknya, paling tidak setengah dari para terduga teroris yang ditangkap di Inggris di bawah undang-undang baru anti-teror bukan warga asing, tetapi warga Inggris sendiri. Katakanlah jika semua terduga teroris yang ditangkap adalah warga asing, apakah pengusiran mereka dari Inggris akan menjadi cara efektif mengurangi ancaman atau tidak?

Isu ini sempat menjadi sebuah perdebatan penting di parlemen Inggris, terutama antara tahun 2002 hingga 2004. Banyak anggota parlemen mendorong pemerintah untuk mengubah pendekatannya terkait penangkapan atau pengusiran terduga teroris.


Arus imigran dianggap akan memperburuk krisis identitas di Eropa, dan persoalan ini mulai menjadi tema perdebatan di kancah politik. Para politisi Eropa menyoroti isu-isu yang berhubungan dengan eksistensi, homogenitas etnis, dan identitas budaya di Eropa serta krisis identitas.

Namun, para pemimpin Eropa bukannya mencari solusi yang rasional dan praktis untuk memecahkan masalah itu, tetapi malah mengangkat isu keamanan dalam kaitannya dengan arus imigran. Menurut pemerintah Eropa, imigran Muslim adalah salah satu faktor yang memperlemah peradaban Barat, tradisi-tradisi nasional, dan homogenitas sosial Eropa. Jika tren ini dibiarkan, maka identitas negara-negara Eropa akan berubah.

Oleh karena itu, masyarakat Eropa umumnya memperkenalkan imigran Muslim sebagai warga asing yang berbahaya. Pemerintah dan media-media Eropa memanfaatkan isu terorisme untuk mengambil pendekatan keamanan terhadap imigran dan menghubungkan fenomena migrasi dengan terorisme.

Banyak pemerintah Eropa memandang imigran sebagai perusak tatanan sosial dan memperlemah peradaban Barat. Menurut mereka, imigran akan merusak tradisi nasional dan keseragaman masyarakat Eropa. Mereka menganggap pendatang bukan sebagai orang asing dan pekerja murah, tetapi unsur yang akan mengubah demografi masyarakat Eropa. 

 

Di masa-masa awal Islam, perjuangan besar Nabi Muhammad Saw melahirkan revolusi besar di dunia.

Nabi Muhammad Saw mengusung prinsip mengenai martabat manusia, kebebasan, keadilan, penghapusan diskriminasi sosial dan transformasi moral dengan poros agama Islam.

Periode sepuluh tahun kehadiran Nabi Muhammad di Madinah adalah salah satu periode pemerintahan paling cemerlang dalam sejarah manusia. Sebuah era ketika sistem Islam didirikan serta model aturan agama diciptakan dan disajikan oleh Rasulullah Saw untuk semua tempat dan waktu.

Faktanya, revolusi yang diusung Nabi dan sistem barunya menjadi peta jalan bagi orang-orang yang mencari bimbingan untuk menemukan jalan terbaik  dalam kehidupannya. Nabi Muhammad Saw membangun sistem sosialnya di Madinah dengan indikator yang jelas dan menyampaikannya kepada umat manusia. Sejak itu, banyak orang telah menulis dan meneliti untuk mengenali  kepribadian beliau yang hebat ini.

Para orientalis termasuk di antara cendekiawan yang banyak membahas masalah Islam dan kehidupan Nabi Muhammad Saw yang seringkali dikaitkan dengan motif politik atau tujuan budaya tertentu.

Pertumbuhan Islam yang begitu cepat, dan daya tarik luar biasa dari kepribadian Nabi Muhammad Saw menyebabkan beberapa pendeta Eropa berbicara tentang Nabi, bukan karena ketulusan dan keadilan, tetapi untuk mendiskreditkan ajaran dan metodenya. Padahal sosok agung beliau tidak membutuhkan pujian atau penolakan, karena kehadirannya sendiri menjadi cahaya matahari yang menerangi dunia ini.  Sebagaimana digambarkan Alquran dalam surat al-Ahazab ayat 45 dan 46 sebagai berikut:

"Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, serta pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan juga menjadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya untuk jadi cahaya yang menerangi,".

 Pada acara sebelumnya telah dibahas buku Profesor Annemarie Schimmel berjudul "And Muhammad Is His Messenger". Dalam mengenalkan Nabi Islam, orientalis Jerman ini tidak membatasi diri pada apa yang dikatakan dan didengar, melainkan berusaha menyingkap tirai dan mencari kedalaman karakternya dengan mengutip fakta sejarah dan bukti Alquran.

Schimmel dalam karyanya ini menunjukkan manifestasi transenden dan spiritual Nabi Islam. Oleh karena itu, ia menyebut dendam dan hinaan sebagian orang Barat terhadap Nabi tidak rasional dan menyedihkan. Islamolog Jerman ini menyebut Nabi Muhammad Saw sebagai matahari yang bersinar terang. Ia berkata:

"Nur Mohammadi bersinar terang menyinari kehidupan. Tuhan menganugerahkan cahayanyatidak terbatas pada waktu dan tempat tertentu saja, tapi menyinari dunia melalui Nabi-Nya. Dia adalah cahaya penerang yang mengungkap sebagian dari dunia gaib dan dimanifestasikan di alam semesta. Cahaya ini muncul pada Adam dan kemudian pada nabi-nabi lain sampai sempurna dalam diri Muhammad dan berbagai fenomena penciptaan selesai dalam dirinya."

Di sini, Schimmel juga menarik perhatian dengan mengungkapkan, "Meskipun Muhammad mencapai pencerahan tingkat tinggi, tetapi dia tetap menjadi hamba Tuhan dan makhluk-Nya. Inilah yang menjadi inti ajaran Muslim dalam salatnya, ketika mereka bersaksi tentang misi risalahnya, pertama-tama mengakui bahwa Muhammad adalah hamba Tuhan. Wajah manusiawi Nabi selaras dengan kebenaran spiritualnya. Para sufi menggunakan terma Nur Muhammadi dalam interpretasi sastra sufistik yang indah dan memuji kualitas kemanusiaannya."

Di salah satu bab karyanya yang berjudul, "And Muhammad Is His Messenger", Schimmel mengkaji kebenaran kenabian. Menurutnya, seseorang yang diutus oleh Tuhan untuk membimbing umatnya haruslah terpuji dan memiliki kualitas karakter moral yang sangat baik seperti jujur dan amanah.

Dia menulis, "Muhammad menghindari tradisi penyembahan berhala di Mekah sejak usia dini dan menghindari berpartisipasi dalam permainan teman-teman mudanya. Oleh kareana itu,mengikut Muhammad (Saw) itu penting karena ia terbebas dari segala kesalahan dan dosa serta mampu menjadi teladan bagi masyarakat, bahkan dalam hal-hal terkecil sekalipun.

Dia tidak pernah membiarkan debu dosa mengendap di jiwanya yang suci. Muhammad adalah contoh dari manusia sempurna yang berhasil mengatasi naluri dan nafsu duniawinya. Dia melaksanakan perintah Tuhan dalam setiap momentum kehidupan, dengan pikiran dan tindakannya. Oleh karena itu, setan tidak berdaya menghadapinya.

Kualitas manusia sempurna ini juga tercermin dalam doa-doa yang dibaca umat Islam. Mereka memohon kepada Tuhan supaya menghiasinya dengan kualitas moral indah yang sama dari Muhammad. Ciri-ciri Muhammad begitu unik sehingga para ulama menekankan bahwa untuk menjaga rasa hormat kepada Nabi, beliau tidak boleh dibandingkan dengan para raja dan pejabat atau politisi dunia lainnya."

Di bagian lain bukunya, Profesor Schimmel menganggap mukjizat Nabi Islam sebagai manifestasi dari karakter spiritualnya. Ia berkata, "Alquran adalah mukjizatnya yang luar biasa. Kitab suci ini tidak hanya mengacu pada atribut dan amalan luhur Nabi, tetapi juga menceritakan tentang beberapa peristiwa misterius dalam hidupnya. Para mufasir Alquran, ulama terkenal, serta sufi dan penyair dalam Alquran telah menemukan konten yang sesuai dan menciptakan cerita maupun teks yang indah darinya,".

Dia menambahkan, "Muhammad sebagai Umi adalah kejutan lain yang menambah ruang lingkup mukjizatnya. Pasalnya, bagaimana seseorang yang tidak bisa membaca dan menulis menemukan pengetahuan yang akurat tentang peristiwa masa lalu dan masa depan? Pengetahuan langsungnya dari Tuhan memungkinkan Nabi mengetahui segala sesuatu di dunia, bahkan masa depan, kemudian menciptakan transformasi besar dalam kehidupan manusia,".

Dengan mempelajari kehidupan Nabi Islam secara cermat, Shimmel menerima pesan Alquran bahwa Nabi adalah rahmat bagi semesta alam. Dia menulis, "Berdasarkan ayat Alquran ini, orang beriman meyakininya tanpa ragu-ragu. Sebab, mereka tahu bahwa Nabi mereka dapat menghidupkan hati yang telah mati dan menjadi tempat  berlindung para pecintanya. Para penyair Muslim telah menemukan gambaran indah untuk menggambarkan karakter Nabi, dan  berbicara tentang kasih sayangnya dan rahmat ilahi dengan cara yang menyenangkan," 

Dari sudut pandang profesor Jerman ini, kebesaran Nabi bisa dipahami bahkan dari namanya. Nama-nama seperti Muhammad dan Ahmad memiliki tempat khusus di kalangan para tokoh besar dunia. Penyair seperti Attar Neyshabouri dan Jami memiliki deskripsi yang indah tentang nama-nama ini dan atribut lain yang melekat pada Nabi. Umat Islam memberikan tempat khusus untuk nama Nabinya demi mendapatkan berkah beliau.

Mereka tidak menyebut nama Nabi dan merujuknya tanpa mengirimkan salam dan shalawat kepadanya. Salawat kepada Nabi telah menemukan tempat khusus di kalangan Muslim dalam sholat dan kehidupan umat Islam. Salawat adalah doa yang menunjukkan kemuliaan Nabi. Orang-orang percaya sepenuhnya memahami  bahwa shalawat kepada Nabi Muhammad Saw akan memberikan berkah yang melimpah dalam kehidupan mereka.

Dengan kajiannya yang mendalam mengenai budaya dan peradaban Islam, Schimmel menyebut Islam sebagai anugerah besar dari Nabi di tengah gegap-gempita media Barat yang memandang Islam dengan kacamata pejoratif. ia menulis, "Saya sangat menyayangkan di kalangan Barat memandang Islam dari sudut pandang negatif. Padahal Islam memiliki tingkatan tinggi yang harus diperhatikan lebih cermat. Agama Muhammad telah menarik hati jutaan orang dan menjadi agama perdamaian, ketentraman dan keadilan. Agama ini mengutuk terorisme dan pembunuhan manusia,".

Sarjana terkemuka Jerman ini menyimpulkan dalam bukunya, "Ungkapan bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa sendiri memuji utusannya adalah kata yang mempersulit pekerjaan para penyair  dan penulis. Sebagaimana dikatakan pemikir Mesir, Busiri, salah satu mukjizat Nabi Muhammad (Saw) adalah ketidakmampuan bahasa yang tidak bisa mengungkapkan apa yang pantas disandangnya."

Shalawat dan salam kepada utusan terakhir Allah swt, Nabi Muhammad Saw, yang merupakan rahmat bagi seluruh alam semesta 

 

Buku berjudul “And Muhammad Is His Messenger”, atau “Dan Muhammad adalah Utusan-Nya”, merupakan buku berharga karya orientalis asal Jerman, Annemarie Schimmel.

Tokoh-tokoh besar yang mempengaruhi dunia dengan pemikirannya adalah bintang bersinar di jagad raya yang tetap lestari dalam lembaran kehidupan umat manusia, setara dengan tingkat pengaruhnya. Orang-orang ini dikenal seiring perkembangan zaman, melalui tangan para ilmuwan dan pemikir yang mempelajari karya-karya mereka.
 
Pribadi agung dan Ilahi, Nabi Muhammad Saw menjadi figur utama dari sebuah peradaban besar umat manusia. Manusia agung ini selalu dipuji oleh para pengikutnya, dan para ilmuwan menciptakan karya-karya yang tak terhitung jumlahnya tentang sosok besar ini. Nabi Muhammad Saw juga dipuji dan menjadi pusat perhatian para orientalis dan non-Muslim.
 
Di pendahuluan buku yang diberi judul “Dan Muhammad adalah Utusan-Nya”, orientalis Jerman, Annemarie Schimmel menulis, “Buku ini adalah hasil kecintaan saya selama 40 tahun kepada pribadi Nabi Umat Islam. Pada dekade kedua kehidupan, pertama saya mengenal makna Muhammad sebagai seorang tokoh spiritual dan hal itu membuat saya sangat jatuh hati padanya. Di tahun-tahun yang sarat dengan aktivitas jiwa itu, di antara buku-buku yang menarik hati dan menginspirasi saya adalah buku karya sejarawan Bangladesh, Syed Ameer Ali berjudul 'The Life dan Teachings of Mohammed', dan hasil penelitian cerdas Andrae. Di masa kuliah di Universitas Berlin saya juga menikmati lantunan syair Suleyman Celebi tentang Nabi Muhammad Saw. Selama bertahun-tahun di tengah aktivitas penelitian, saya menyadari bahwa Nabi Muhammad, Utusan Tuhan itu adalah orang terakhir dari silsisah nabi-nabi yang membawa agama dan wahyu pamungkas. Sebuah agama yang menghimpun seluruh ajaran agama-agama langit, pada saat yang sama membangun fondasi umum dari awal dengan keaslian dan kemurnian pertamanya.”
 
Annemarie Schimmel sejak muda gemar mempelajari kajian Timur dan Islam, di kemudian hari ia memberikan pencerahan tentang hakikat agama Islam di negara-negara Barat. Islam yang dikenal Schimmel selama setengah abad, jauh berbeda dengan Islam yang dipahami oleh para ilmuwan Eropa atau para pendeta Kristen yang asing terhadap Islam. Mereka ingin menyimpangkan wahyu dan menggambarkan Nabi Muhammad Saw sebagai sosok ekstrem dan haus perang.
 
Schimmel menyebut hal ini sebagai peristiwa pahit dan menyiksa, dan setelah mengkaji Islam ia menulis, “Islam adalah sebuah keyakinan yang dipahami orang-orang Barat dengan sangat buruk, agama ini dituduh dengan berbagai tuduhan tak benar oleh orang-orang yang tidak kenal Islam, dan tendensius.” 
 
Annemarie Schimmel menulis ratusan buku tentang budaya, ajaran, Irfan serta tokoh-tokoh Islam dalam bahasa Jerman, Inggris dan Arab. Salah satu karya Schimmel adalah buku berjudul “Dan Muhammad adalah Utusan-Nya”. Buku ini ditulis dalam bahasa Jerman dan Inggris, dan dari semua karyanya, tampak jelas bahwa pemikir Jerman ini memahami dengan baik kedudukan tinggi Nabi Muhammad Saw di atas semua nabi lainnya.
 
Cakrawala luas orientalis Jerman ini, menyoroti berbagai dimensi berbeda dari sosok Nabi Muhammad Saw. Ia meletakkan berbagai sudut pandang para pemikir non-Muslim di samping pencerahan ahli Irfan Islam, dan mengungkapnya dalam bingkai kata menakjubkan untuk para pembaca. Kata-kata Annemarie Schimmel dalam buku ini jauh dari fanatisme dan upaya mencari ketenaran.
 
Para pembaca buku Schimmel, “Dan Muhammad adalah Utusan-Nya” adalah warga negara Barat yang non-Muslim. Dalam bukunya Schimmel berusaha menunjukkan aspek spiritual dan kemanusiaan Nabi Muhammad Saw, untuk membersihkan gambaran keliru orang-orang Barat tentang tokoh agung ini, dan menunjukkannya sebagai nabi rahmat dan cinta kasih.
 
Kelebihan Annemarie Schimmel adalah banyak melakukan perjalanan ke wilayah-wilayah Muslim, dan pemahamannya tentang kecintaan mendalam umat Islam terhadap Nabi Muhammad Saw. Ia menulis, “Mengikuti sunah Muhammad dan memperhatikan perilaku serta kebiasaan baik Nabi, mendorong setiap Muslim untuk memujinya. Lewat perilaku mulia inilah Rasulullah selalu segar di benak umatnya. Ia menguasai hati dan jiwa umat Islam.”
 
Mengutip Arthur Jeffery, seorang penulis asal Australia, Annemarie Schimmel menulis, “Orang-orang Kristen secara irasional telah menyakiti umat Islam. Masalah ini dikarenakan ketidakmampuan orang-orang non-Muslim memahami kesucian dan keagungan sosok Nabi Muhammad Saw.” Schimmel percaya bahwa Barat menyampaikan pandangan-pandangan tak adil tentang Nabi Muhammad Saw, seorang nabi yang menurutnya sebagai nabi paling sukses dalam menciptakan kebangkitan agama di muka bumi.
 
Schimmel mengatakan,  “Di masa kita hidup, bagi Barat yang selama bertahun-tahun menganggap Islam tidak ada, kebangkitan dan pengenalan baru umat Islam terhadap dirinya, sungguh mencengangkan. Akan tetapi pengenalan diri baru ini mendorong Barat untuk memahami lebih baik budaya umat Islam, beberapa pemikiran asasi agama, dan sosial Islam. Saya juga ingin menunjukkan kepada para pembaca non-Muslim bahwa Muhammad adalah teladan terbaik dan model bagi setiap manusia yang ingin mengikuti seluruh perilaku dan kebiasaan hidupnya. Kecintaan umat Islam kepada Nabi Muhammad Saw sangat kuat, dan dalam. Di sepanjang masa begitu banyak laki-laki yang menghormatinya, dan menjadikannya perantara. Lakab-lakab paling mulia disematkan kepadanya. Nabi ini sampai akhir masa akan tetap menjadi teladan kebaikan bagi kehidupan semua orang yang bersaksi di setiap shalat bahwa dia sebenar-benar utusan Tuhan.” 
 
Pada bab pertama buku “Dan Muhammad adalah Utusan-Nya”, Annemarie Schimmel menyinggung kompetensi Nabi Muhammad Saw dan menuturkan, Nabi Muhammad tenggelam dalam lautan pemikiran, dan pencarian sesuatu yang lebih tinggi dan lebih tepat dari tradisi serta kebiasaan di zamannya. Terkadang ia pergi ke Gua Hira di dekat Mekah, dan di sana, tempat ia mengalami ketersingkapan Ilahi untuk pertama kalinya, menenggelamkan jiwa dan di sana pulalah wahyu Ilahi diturunkan. Muhammad berkata, dan dalam ayat Al Quran juga beberapa kali diingatkan bahwa ia seorang manusia.
 
Manusia yang keunggulan khususnya adalah kapasitas menerima wahyu Tuhan, dan kekhususan ini dianugerahkan kepadanya. Muhammad sadar semua yang sampai kepadanya tidak lain rahmat yang tak tergambarkan dari sisi Tuhan. Ia adalah orang terpilih yang menjadi perantara sampainya rahmat kepada manusia. Dua kalimat syahadat “Asyahadu ala ilaha ilallah wa Asyhaddu anna Muhammada Rasulullah” menjelaskan cara hidupnya dalam dua dimensi, individu dan sosial yang bagi para penganut agama merupakan sesuatu yang kredibel dan memberi solusi secara hukum. Dengan kata lain, perilaku Muhammad bagi masyarakat memiliki kredibilitas dan standar tertinggi.
 

Saat mengenalkan Nabi Muhammad Saw, Schimmel mengatakan, Nabi Muhammad selain sebagai manusia paling berakhlak mulia, juga memiliki penampilan yang baik dan menawan. Keindahan fisik Nabi Muhammad adalah cermin keindahan batinnya, karena Tuhan menciptakannya sempurna secara jasmani maupun rohani. Semerbak wangi Nabi Muhammad Saw menjadi sumber hikayat ini bahwa ketika Nabi Muhammad pergi menemui Tuhan di malam Isra Mikraj, setetes keringat dari wajahnya jatuh ke bumi menumbuhkan bunga yang wangi. Sifat-sifat mulia akhlak Nabi Muhammad Saw menjadi sumber inspirasi seni para penyair, sastrawan, dan ahli Irfan untuk melukiskan dirinya. 
 
Dalam pandangan orientalis Jerman, jika para pembaca di Barat yang kebanyakan memiliki sudut pandang keliru tentang Muhammad, memahami bahwa di semua kabar dan laporan, sifat Muhammad yang paling menonjol adalah sabar dan kasih sayang, pasti mereka akan terkejut. Banyak sumber yang menunjukkan kasih sayang Muhammad terhadap kaum papa, dan mengabarkan kasih sayang Nabi Islam itu. Hidup sederhana yang dijalani Muhammad dan keluarganya juga menjadi salah satu daya tarik bagi masyarakat. Kasih sayang tak terhingga yang ditunjukkan Muhammad meliputi seluruh manusia.
 
Kecintaannya pada anak-anak telah menjadi buah bibir. Mereka memberi salam kepadanya di gang-gang, dan bermain dengannya. Dalam hal ini kita juga tidak boleh melupakan penghormatan tinggi Nabi Muhammad Saw kepada para ibu.
Annemarie Schimmel terkait kemampuan Nabi Muhammad Saw dalam menggabungkan urusan dunia dan akhirat menulis, dimensi lain dari hidup Muhammad adalah penyatuan agama dan pemerintahan, dalam pandangan Islam, Nabi Muhammad memanfaatkan sarana duniawi untuk mendakwahkan pesan Ilahi sehingga dapat membimbing masyarakat ke jalan kebahagiaan.
 
Kemampuan ini telah menambah keluhuran derajat dan hakikat kenabian Muhammad. Terinspirasi dari teladan ini, umat Islam, berbeda dengan kaum liberal Barat, tidak memisahkan agama dan politik. Secara umum dapat dikatakan, Nabi Muhammad dalam perang dan damai, dalam perjalanan dan tinggal, dalam agama dan dunia, dalam setiap fase kehidupan dan kerja keras, menjadi teladan sempurna kemanusiaan dan spiritualitas. Apapun yang dilakukannya menjadi teladan abadi

 

Media Eropa dan AS selama bertahun-tahun gencar menanamkan Islamofobia pada masyarakat di negara-negara tersebut.

Mereka memperkenalkan Islam kepada masyarakatnya sebagai agama kekerasan, dan agama pedang. Pada Abad Pertengahan, sejumlah penulis Barat mulai menulis tentang Islam dengan warna yang bias dan miring, tetapi tidak berhasil karena orang Kristen dan Yahudi, yang telah hidup berdampingan dengan Muslim melihat persahabatan dan kemakmurannya di dunia Islam.

Para orientalis kemudian terus mempropagandakan sentimen anti-Islam dengan menggunakan kemajuan media massa, terutama di industri percetakan yang mencapai puncaknya setelah terjadi peristiwa 11 September 2001.

Nabi Muhammad SAW  sebagai cermin utuh dari keindahan dan kemuliaan Tuhan Yang Maha Kuasa,  Yang Maha Esa, dan Maha Agung, Pencipta segala keindahan.

Berdasarkan teks Alquran, Nabi Muhammad SAW adalah Nabi yang penuh kasih dan utusan perdamaian yang menebarkan rakhmat untuk alam semesta. Kelembutan dan perilaku damai Nabi Muhammad SAW ini telah menjadi salah satu strategi paling sukses beliau dalam menarik orang dan menaklukkan hatinya.

Dalam surat at-Taubah ayat 128, Allah swt menyebutkan kasih sayang, rahmat, dan kebaikan Nabi Muhammad SAW sebagai berikut, "Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin,". 

Kepribadian agung Nabi Muhammad SAW menjadi jawaban yang kuat terhadap setiap serangan musuh terhadap Islam. Dalam situasi ini, siapapun yang berpikir rasional dan bebas akan mengabaikan setiap propaganda miring media Barat mengenai islam dan Rasulullah Saw.

Profesor Carl Ernst termasuk di antara mereka yang bergabung dengan gerakan tersebut dan mengambil posisi untuk membela Islam dan Nabi Muhammad Saw. Profesor Carl Ernst adalah Profesor Studi Keagamaan di Universitas North Carolina.

Ia lahir pada tahun 1950 di Amerika Serikat. Ernst menerima gelar sarjana dalam studi "Perbandingan Agama" dari Universitas Stanford pada tahun 1973, dan menyelesaikan studi pascasarjana di bidang yang sama di Universitas Harvard, hingga akhirnya meraih gelar doktor pada tahun 1981.

Profesor Amerika terkemuka ini percaya bahwa pandangan Barat tentang Islam bias menindas, dengan kebencian dan kurangnya pemahaman tentang Islam. Oleh karena itu, ia menganggap tugasnya untuk menulis buku "Following Muhammad: Rethinking Islam in the Contemporary World" sebagai upaya untuk menanggapi tren ini.

Dalam pengantar buku tersebut, Profesor Ernst menunjukkan bahwa dia bukan seorang Muslim, dan berkata,"Saya bukan Muslim, tetapi posisi sebagai non-Muslim tidak menghalangi saya untuk menyingkap fakta dan tidak membela pengabaian terhadap Alquran dan Islam. Selama bertahun-tahun, saya telah menjalin hubungan yang erat dengan sejumlah Muslim yang telah mengundang saya ke rumahnya dan keluarga mereka menyambut saya dengan baik. Oleh karena itu, mengangkat topik dalam buku ini paling tidak harus saya lakukan setelah hubungan itu."

Di tempat lain, Carl menyatakan bahwa tujuan penulisan buku ini adalah sebagai berikut, "Buku Following Muhammad ditulis untuk menghilangkan awan kecurigaan dan kesalahpahaman sebagai upaya menyediakan platform bagi pembaca untuk memiliki pemahaman yang terlepas dari situasi dan subjek historis yang berdampak signifikan terhadap Muslim dan non-Muslim di dunia saat ini,". 

Profesor Carl Ernst telah belajar secara ekstensif tentang Islam dan melakukan perjalanan ke banyak negara Muslim. Dia saat ini termasuk salah satu tokoh internasional paling terkemuka di bidang studi sejarah tentang Islam.

Beliau menjadi murid Annemarie Schimmel, seorang sarjana Islam kontemporer, dan telah mendedikasikan bukunya untuk Schimmel. Profesor Ernst sangat tertarik dengan mistisisme Islam dan telah melakukan banyak penelitian tentang Sheikh Roozbehan yang memenangkan Penghargaan Festival Farabi tahun lalu untuk karyanya tersebut.

Carl Ernst menulis buku "Following Muhammad: Rethinking Islam in the Contemporary World" yang terdiri dari enam bab. Di sepanjang buku ini ditekankan peran Nabi Islam sebagai tokoh kunci dalam menyuarakan spiritualitas Islam.

Bab ketiga didedikasikan untuk sumber suci Islam, yaitu Alquran dan Sunnah. Bab ini dimulai dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW dan menekankan peran signifikannya sebagai Rahmatan lil Alamin dalam ajaran Islam.

Dalam buku ini, pemahaman Profesor Ernst tentang Islam yang mengangkat isu wilayah, mendekati pandangan Syiah. Dalam bab yang sama, dia membahas posisi pihak yang memusuhi Alquran, terutama yang terakhir, buku Salman Rushdie tentang Ayat-ayat Setan, dan menanggapinya.

Carl Ernst sangat tertarik pada Rasulullah SAW dan memandangnya sebagai poros Islam. Dengan menelusuri akar wacana anti-Islam, ia menggali arus abad pertengahan dan Perang Salib hingga abad ke-21.

Ia menulis, "Selama Abad Pertengahan, penulis Kristen mengubah semua kebajikan yang menunjukkan kemuliaan Muhammad di mata umat Islam dan mengubahnya menjadi kekurangan. Hal itu dilakukan karena mereka tidak percaya bahwa ada seorang Nabi datang setelah Yesus."

Ernest dalam bukunya menyampaikan pesannya kepada Barat bahwa Anda melihat wajah Nabi Islam di balik layar ketidaktahuan, padahal orang-orang Yahudi dan Kristen di masa Islam awal tidak pernah menampilkan citra Nabi Muhamamd SAW seperti itu. Dia menegaskan, "Setelah peristiwa 11 September dan tekanan yang meningkat pada umat Islam, dan dengan wajah cantik yang dia tunjukkan sebagai rahmat universal, Nabi Islam membuka jalan untuk dialog antar agama,".  

Carl Ernst menjelaskan dua prinsip utama Alquran dan Nabi Muhammad Saw tentang agama suci Islam, dan dalam banyak kasus menganggap Alquran lebih suci daripada Alkitab dan Taurat, serta memperkenalkan Nabi Muhammad Saw sebagai sosok universal.

Dia menunjukkan kualitas moral yang indah dan perilaku baik Nabi kepada orang Barat. Terlebih hal itu dilakukannya dengan menghadirkan citra Nabi Muhammad SAW yang indah dari sudut pandang Imam Ali  dalam Nahj al-Balaghah.

Sayidina Ali yang merupakan perwujudan moralitas, kemanusiaan dan keadilan, sangat memuliakan Nabi Muhammad Saw. Bahkan, ia memandang beliau sebagai sumber mata air keilmuan, dan ketinggian akhlak.

Beliau menjelaskan tentang Nabi Muhammad Saw, dengan mengatakan, "Nabi (SAW) adalah pemimpin yang saleh dan sumber visi dan wawasan bagi mereka yang mencari petunjuk. Dia adalah lampu dengan cahaya yang bersinar dan bintang yang bersinar terang... Tuhan memilih Nabi dari silsilah besar para Nabi sebagai sumber cahaya dan petunjuk atau lampu yang menyala dalam kegelapan ketidaktahuan. Sia menjadika sumber kebijaksanaan. Dia adalah seorang dokter yang bergerak untuk mengobati dan merawat pasiennya di manapun..."

Profesor Carl Ernst memperkenalkan Muslim ke dunia saat ini dengan tampilan baru dan menyambut kepribadian agung Rasulullah SAW.(