کمالوندی
Kesimpulan Ulama Ahli Sunnah Tentang Makna “Mawla” dalam Hadits Al-Ghadir
Kalimat yang menjadi saksi pada peristiwa Ghadir dan pada hakikatnya pesan utama Ghadir terkandung di dalamnya adalah sabda Nabi Saw bersabda: ”
مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَعَليٌّ مَولاهُ ”
“Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla, maka ‘Ali adalah mawlanya.”
Orang-orang yang ber-istidlal (bernalar) dengan hadits ini memaknai mawla sebagai awla. Dan awlabermakna orang yang lebih layak untuk mengatur. Dengan ungkapan yang lebih sederhana adalah bahwa yang layak untuk membina dan memimpin.
Dengan demikian, makna hadits ini adalah: “Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpin dan pembinanya, ‘Ali As adalah pemimpin dan pembinanya.” Oleh karena itu, barangsiapa yang menerima Nabi Saw sebagai pemimpin dan pembinanya konsekuensinya menerima ‘Ali As sebagai pemimpin dan pembinanya.
Kini yang harus diketahui adalah apakah dalam bahasa Arab, makna ini digunakan atau tidak? Dan yang lainnya adalah apabila kita menerima bahwa mawla dalam bahasa Arab sesuai dengan makna ini, apakah dalam khutbah Ghadir kata mawla bermakna yang sama atau tidak?
Almarhum Allamah Amini menyebutkan empat puluh dua ulama besar dalam bidang tafsir dan bahasa dimana dua puluh tujuh dari mereka berkata: “Mawla bermakna awla.” Lima belas orang yang lain berkata: “Awla merupakan salah satu makna dari mawla.”
Akan tetapi tentang masalah apakah dalam hadits ini kata mawla bermakna yang sama (awla), dengan memperhatikan situasi dan kondisi tatkala hadits ini disampaikan dan menelaah khutbah yang memuat hadits ini, tidak secuil pun syak yang akan tersisa bahwa kata mawla dalam hadits ini adalah bermakna awla.
Lantaran sosok agung seperti Nabi Saw yang merupakan akal keseluruhan (aql kul), insan paripurna dan Nabi teragung dan duta langit, pada hari yang sedemikian panas dan sahara yang sedemikian membakar kaki-kaki para pengelana dan sinar matahari yang sedemikian terik yang membuat otak manusia mendidih, pada sahara yang membara dan tanpa adanya fasilitas dimana apabila daging di letakkan di atas tanah maka akan terpanggang.
Sebuah tempat yang tidak satu pun karavan yang mau berhenti di situ. Nabi Saw menahan puluhan ribu haji di tempat itu dan orang-orang yang telah pergi untuk menantikan orang-orang yang masih tinggal dan menyampaikan khutbah pada saat-saat yang paling terik dan di samping itu, Nabi Saw berulang kali bertanya kepada khalayak ketika itu untuk mencari tahu apakah mereka mendengarkan suara Nabi Saw dengan baik. Dan pada akhirnya menunjukkan ‘Ali As kepada mereka. Nabi Saw menyebutkan nama dan nasabnya lalu bersabda:
مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَعَليٌّ مَولاهُ
(Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya maka ‘Ali adalah mawlanya)
Lalu ia menugaskan orang-orang yang hadir untuk menyampaikan warta penting ini kepada orang-orang yang tidak hadir di tempat itu. Dan setelah itu ia meminta orang-orang untuk berbaiat kepadanya dan menyampaikan ucapan selamat, dan mengenakan ammamah kepunyaannya di atas kepala ‘Ali As dan bersabda kepadanya :
“Pakaian kebesaran bangsa Arab adalah ammamah.” Dan Nabi Saw bersabda kepada para sahabatnya, “Para malaikat yang turun membantuku pada hari Badar mengenakan ammamah seperti ini.”
Sekarang apabila kita berasumsi hadits ini sampai di tangan seseorang tanpa qarinah (indikasi), tafsir dan penjelasan dan tanpa ada tujuan memperhatikan hadits ini, ia akan menjumpai – berseberangan dengan ucapan sebagian orang-orang jahil – bahwa Nabi Saw tidak pada tempatnya berkata, “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai temannya maka ‘Ali adalah temannya.” Atau “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai penolongnya maka ‘Ali adalah penolongnya.!
Lantaran teman dan penolong tidak memerlukan adanya ucapan selamat, pengenaan ammamah dan secara umum sabda Nabi Saw ini tidaklah sedemikian penting sehingga harus disampaikan pada situasi dan kondisi seperti itu dan dengan adanya pengumuman pendahuluan.
Atas alasan-alasan ini, Sibt bin Jauzi seorang ulama Ahli Sunnah, setelah membahas tuntas masalah ini, sampai pada sebuah kesimpulan bahwa hadits ini (mawla) adalah bermakna awla.
Dan Ibn Thalha dalam kitab Mathâlib as-Su’âl menulis:
“Baginda Nabi Saw setiap makna mawla yang dinisbahkan kepadanya, ia nisbahkan juga kepada ‘Ali dan nisbah ini merupakan kedudukan tinggi yang diberikan kepada ‘Ali As.”
Hal ini merupakan konklusi yang ditunjukkan dari kandungan khutbah Rasulullah Saw dengan seluruh kalimatnya dan hal itu adalah yang dipahami dari sabda Nabi Saw oleh seratus dua puluh ribu Arab, tanpa adanya syak dan keraguan. Dan atas alasan ini, Hassan bin Tsabit bangkit dan berdiri mendeklamasikan syair untuk memuji Amirul Mukminin As dan aksinya itu mendapat sokongan dari Nabi Saw.
Setelah itu, siapa saja yang mendengar berita tentang peristiwa Ghadir memahami bahw Nabi Saw telah menetapkan pengganti dan khalifah selepasnya.
Sepanjang abad selanjutnya, seluruh pakar bahasa dan ulama Islam juga demikian memahami peristiwa Ghadir itu. Dan ratusan pujangga Arab dan non-Arab mendendangkan syair perihal Ghadir, dan dalam lirik-lirik syair mereka menjelaskan bahwa Nabi Saw memilih Amirul Mukminin ‘Ali As sebagai penggantinya dan karena itu mereka memuliakan hari Ghadir.
Amirul Mukminin As pada masa khilafah zahiri-nya (secara resmi) di Kufah acapkali berdalil dengan hadits ini dan meminta para sahabat Nabi Saw untuk bersumpah supaya memberikan kesaksian atas peristiwa Ghadir ini. Padahal kurang-lebih peristiwa Ghadir telah berlalu selama empat puluh tahun dan banyak dari kalangan sahabat Nabi Saw telah meninggal dan yang masih hidup di penjuru negeri. Dan di samping itu, kota Kufah terletak jauh dari pusat pemukiman para sahabat di Madinah.
Amirul Mukminin As tanpa prediksi dan persiapan pendahuluan meminta kesaksian dari mereka. Jumlah orang-orang yang memberikan kesaksian ini layak untuk diperhatikan. Orang-orang yang memberikan kesaksian cukup banyak dan membenarkan perkataan Imam ‘Ali As.
Jumlah saksi yang disebutkan dalam riwayat beragam. Menurut sebagian riwayat terdapat lima atau enam orang, sebagian riwayat melaporkan terdapat sembilan orang , riwayat yang lain menyebutkan dua belas orang , riwayat yang lain menukil dua belas orang ahli Badar (orang-orang yang ikut perang Badar, -AK) , riwayat yang lain terdapat tiga belas orang , dan riwayat yang lain enam belas orang , dan pada riwayat yang lain terdapat delapan belas orang , dan dalam riwayat yang lain terdapat tiga puluh orang , sesuai dengan riwayat yang lain sekelompok orang , sesuai dengan salah satu riwayat terdapat lebih dari sepuluh orang , sesuai dengan salah satu riwayat menyebutkan sebagian dan riwayat yang lain sekelompok orang banyak , dan riwayat lain terdapat tujuh belas orang yang memberikan kesaksian bahwa Nabi Saw pada hari Ghadir bersabda:
“مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَعَليٌّ مَولاهُ ”
Demikian juga Ahli Bait As dan para pengikutnya dalam banyak hal berdalil dan berdebat dengan menggunakan hadits ini. Almarhum Allamah Amini Ra menukil dua puluh dua entri dari perdebatan (ihtijâjâj).
Sumber : Buku “Al-Ghadir dalam Perspektif Ahlu Sunnah” karya Muhammad Ridha Jabbariyan.
Pilihanku Jatuh ke Syiah, Setelah Banyak Mengkaji
Menurut Kantor Berita ABNA, Muhammad Ali salah seorang mahasiswa Universitas Internasional al Mustafa Qom Republik Islam Iran yang berasal dari Myanmar dari pengakuannya pada wartawan ABNA yang mewancarainya mengatakan, “Ayah saya Sunni dan ibu saya Syiah dan saya terlahir sebagai seorang muslim bermazhab Sunni mengikuti ayah saya.”
“Disebabkan memiliki minat dan kegandrungan yang besar pada masalah-masalah agama, saya banyak membaca kitab-kitab agama begitupun kitab-kitab tafsir al Qur’an. Dengan mempelajari dan mengkaji kitab yang beraneka ragam tersebut, sayapun tiba pada kesimpulan bahwa mazhab Tasayyu adalah yang berada pada kebenaran. Dengan demikian, saya memantapkan diri untuk menganut mazhab Syiah sebagai caraku dalam berIslam. Sebagai muslim Syiah, sayapun pindah sekolah ke Madrasah Aliyah Amirul Mukminin as di Myanmar dan menyelesaikan studi di madrasah tersebut selama 3 tahun.” Lanjutnya.
Warga Myanmar yang sekarang menetap di kota Qom Iran tersebut melanjutkan kisahnya. Beliau berkata, “Saya bersyukur, lulus dengan predikat terbaik dalam ujian tes tertulis dan wawancara untuk melanjutkan studi ke Universitas Internasional al Mustafa Qom dengan meraih bea siswa penuh. Dengan alasan studi itulah, saya sekarang berada dan menetap di Iran.”
“Myanmar adalah Negara yang berpenduduk sekitar 60 juta jiwa, dan dari kalangan muslim, mayoritas adalah muslim Sunni. Muslim Syiah Myanmar sangat minoritas, hanya terdiri dari kurang lebih 8 ribu orang. Kaum muslimin di Myanmar sangat kurang dalam memberikan perhatian pada masalah-masalah agama, terlebih dalam pengkajian mazhab.” Tambahnya.
Muhammad Ali, kembali berkata, “Selain itu, tekanan dan permusuhan kelompok ekstrim dari kalangan non muslim yang mayoritas juga semakin menghambat laju dakwah Islam di negeri kami. Sehingga para muballigh dalam mendakwahkan ajaran Islam, sampai saat ini melakukannya dengan sembunyi-sembunyi dan ditempat-tempat yang tertutup.”
Ketika ditanya pendapatnya mengenai rakyat Iran. Muhammad Ali menjawab, “Rakyat Iran adalah rakyat yang secara sepenuhnya sadar dengan keyakinan dan agama mereka. Saya benar-benar kagum, betapa rakyat Iran sangat dekat dan akrab dengan Al-Qur’an. Tiap tahun penyelenggaran pameran Al-Qur’an selalu semarak dan diminati. Saya tidak pernah melihat penyelenggaraan pameran Al-Qur’an semarak sebagaimana di Iran. Hanya saja, kita memang tidak bisa memungkiri dan menutup mata, tetap saja ada warga Iran yang tidak mengamalkan ajaran agamanya dengan baik.”
Diakhir wawancara, mahasiswa Myanmar tersebut menyebutkan harapannya. Ia berkata, “Besar harapan saya adalah bertemu langsung dengan Ayatullah Sayyid Ali Khamanei, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran. Beliau adalah seorang tokoh besar dunia yang disegani dan sayapun turut mengagumi dan mencintainya. Dan saya sangat bersyukur sekali kepada Allah SWT kalau harapan saya ini terwujud.”
“Saya tidak tahu batasan kecintaan saya kepada Imam Khamanei. Yang saya tahu, kecintaan ini sangatlah besar pada pribadi dan sosok beliau yang mulia. Yang sekiranya beliau memintaku untuk mati, aku siap untuk itu.” Ungkapnya.
“Saya juga berharap bisa sekolah setinggi-tingginya di Iran ini. Harapan terdekat saya adalah mampu melanjutkan studi sampai program master, sehingga memiliki penguasaan ilmu agama yang bisa lebih bermanfaat. Sehingga suatu hari, ketika kembali ke tanah air, saya mampu memberikan pemahaman yang lebih mendalam pada kaum muslimin di Myanmar tentang syariat Islam yang mulia ini. Besar keinginan saya melihat, rakyat Myanmar sebagaimana rakyat Iran, dari anak kecil sampai orang dewasa memiliki kecintaan dan perhatian yang besar pada Al-Qur’an dan agama ini.” Ucapnya menutup pembicaraan.
Saya Menerima Kenabian Muhammad dan Ali adalah Washinya
Menurut Kantor Berita ABNA, salah seorang perempuan muda asal Ukraina menyatakan keislamannya dihadapan Ayatullah Nurullah Tabarsi wakil Wali Faqih di Mazandaran Republik Islam Iran. Didampingi suami dan keluarganya, Veronica, nama perempuan tersebut mengumumkan keislamannya dan memilih Syiah sebagai mazhabnya dalam berislam.
Veronica setelah mengucapkan ikrar keislamannya, beliau mengganti namanya menjadi Maryam sesuai keinginannya sendiri. Beliau berkata, “Setelah mempelajari mazhab Syiah khususnya dari suami saya yang lebih dulu memantapkan diri untuk memeluk Islam, saya merasa bahwa pilihannya itu tidak salah. Karenanya dengan ini saya menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah benar utusan Allah SWT dan Ali as adalah washinya. Saya menerima kenabian Muhammad Saw, kebenaran hari kiamat, dan keadilan Ilahi, serta wilayah keimamahan pada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as beserta keturunannya yang terpilih. Diantara sekian mazhab Islam saya memilih Syiah untuk diri saya.”
Dalam pernyataannya selanjutnya, Veronica alias Maryam mengatakan, “Dengan memilih Syiah, saya ikrarkan bahwa keyakinan saya keimamahan ada berawal di tangan Imam Ali as dan berakhir di tangan Imam Mahdi afs, dan kesemua jumlah Imam ada dua belas orang dan saya yakini kesemuanya adalah wakil dan washi dari Nabi Muhammad Saw yang ketaatan kepada mereka adalah wajib dan apa yang mereka ajarkan dan tuntunkan saya terima sebagai kebenaran dan kemestian untuk dijalankan.”
Veronica, warga asal Ukraina tersebut adalah sarjana Arsitektur dan menyatakan masuk islam 17 Februari 2014 silam, menyusul suaminya yang telah lebih dulu memeluk agama Islam beralih dari agama sebelumnya. Keduanya memilih menyatakan keislamannya dibawah bimbingan Ayatullah di Iran dan memantapkan diri meyakini Syiah sebagai mazhab pilihannya.
Barang Siapa Yang Menanam, Dia Yang Akan Menuai
Malam itu ketika Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kembali ke rumah dalam kondisi lelah, beliau baru tahu kalau istrinya sedang sakit. Sayidah Fathimah dengan wajah pucat sedang istirahat di atas tikar yang sudah jelek di sudut kamarnya. Imam Ali masuk ke kamar dan meletakkan kepala Sayidah Fathimah di pangkuannya dan menangisinya.
Dengan penuh kasih sayang, Imam Ali menanyakan kondisi istrinya seraya berkata, “Fathimah sayang! Engkau mau apa? Katakanlah, dan akan aku penuhi!”
Sayidah Fathimah berkata, “Aku tidak meminta sesuatu. Ayahku bersabda, ‘Jangan meminta sesuatu pada suamimu yang sekiranya sulit baginya untuk memenuhinya, sehingga dia merasa malu padamu!”
Imam Ali as berkata, “Aku bersumpah demi engkau! Katakan apa yang engkau maukan?!”
Sayidah Fathimah as berkata, “Kini karena engkau telah bersumpah, akan sangat baik bila ada delima.”
Segera Imam Ali keluar dari rumah dan pergi mencari delima. Meski beliau tahu bahwa musim delima telah lewat dan tidak akan ditemukan delima di kota. Beliau menemui beberapa sahabat dan menceritakan masalahnya dan mencari jalan keluar. Salah seorang sahabat berkata bahwa teman-teman Syam’un Yahudi telah memberikan beberapa delima kepadanya. Imam Ali pun pergi menuju rumah orang Yahudi ini. Syam’un terperangah melihat kedatangan Imam Ali dan bertanya, “Apa yang terjadi sehingga rumahku menjadi berkah karena langkah-langkah kakimu!”
Imam Ali berkata, “Saya mendengar, orang-orang dekatmu telah membawakan delima untukmu. Saya datang untuk membeli satu dari delima-delima itu untuk seorang yang sedang sakit.”
Dengan rasa malu lelaki Yahudi itu berkata, “Diriku sebagai tebusanmu! Aku telah menjual semua delima tersebut. Seandainya saja engkau memerlukan yang lainnya.”
Imam Ali berkata, “Coba lihat lagi di dalam rumah. Barangkali ada yang masih tersisa.”
Ketika itu juga istri Syam’un yang mendengar pembicaraan mereka, datang menemui keduanya dan berkata, “Saya telah mengambil satu dari delima-delima itu untuk diriku sendiri. Tapi sekarang akan aku berikan kepada Ali.”
Imam Ali benar-benar gembira dan mengambil delima itu. Beliau mengucapkan terima kasih kepada istri Syam’un dan menyodorkan uang empat Dirham. Syam’un berkata, “Harga delima ini setengah Dirham.”
Imam Ali berkata, “Sisanya adalah milik istrimu karena telah menggembirakan aku.”
Kemudian beliau berjalan menuju rumahnya. Di tengah perjalanan beliau mendengar suara jeritan dan beliau menuju pada suara itu. Seorang lelaki asing sedang duduk di sebuah bekas puing-puing bangunan dan berteriak. Imam Ali menanyakan keadaan lelaki itu dan ternyata lelaki itu sedang kelaparan. Itulah mengapa Imam Ali menanyakan kondisinya dan berkata, “Hai hamba Allah! Apa yang bisa aku bantu? Katakanlah, sehingga aku lakukan!”
Lelaki itu berkata, “Hai lelaki yang saleh! Aku datang dari kota Madain. Aku adalah seorang miskin dan papah. Aku datang ke sini barangkali Amirul Mukminin bisa menyelesaikan masalahku dan menolongku, ternyata aku sakit di sini.”
Imam Ali berkata, “Engkau mau apa?”
Lelaki asing itu menjawab, “Aku ingin delima.”
Imam Ali berkata, “Di seluruh kota ini hanya ada satu delima dan aku membelinya untuk orang yang sakit. Sekarang aku memberikan padamu separuh darinya dan separuhnya lagi akan aku bawa untuk dia yang sedang sakit.”
Lelaki itu mengucapkan terima kasih. Dia makan separuh dari delima yang ada dan berkata, “Bila yang separuhnya lagi itu engkau berikan padaku, maka aku akan berterimah kasih.”
Imam Ali memberikan sisa dari delima itu kepada lelaki asing ini dan dia mendoakan Imam. Imam Ali kembali ke rumah dengan tangan kosong, dalam kondisi tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada istrinya yang sedang sakit. Itulah mengapa dalam hati beliau mengatakan, “Seandainya saja Fathimah sedang tidur.”
Ketika sampai di rumah, beliau mengintip kamar istrinya, untuk melihat apakah istrinya sedang tidur ataukah tidak. Beliau terkejut melihat kondisi yang sedang disaksikannya. Sayidah Fathimah sedang duduk dan bersandar di dinding sedang makan delima dan di sampingnya ada sebuah bejana penuh dengan buah delima!
Imam Ali gembira melihat pemandangan ini dan mendekati Sayidah Fahimah. Kemudian menanyakan kejadian yang ada. Dari wajahnya kelihatan bahwa Sayidah Fathimah as telah mendapatkan kesembuhannya dan menghadap kepada Imam Ali seraya berkata, “Wahai Ali! Sebelum engkau datang, ada yang mengetuk pintu dan Fiddhah [pengabdi Sayidah Fathimah] yang membukakan pintu. Beberapa saat kemudian dia kembali ke kamar dengan bejana ini dan berkata, “Seorang asing telah memberikan bejana yang berisi delima ini kepada saya dan berkata, “Delima-delima ini adalah kiriman Ali untuk Fathimah.” (Emi Nur Hayati)
Peran dan Risalah Wanita; Al-Haya’u dan Iffah
Rasa malu alami dalam pergaulan wanita dan pria
Terkait wanita dan pria, Islam berpandangan bahwa dua makhluk ini tidak memiliki perbedaan sama sekali dari sisi hak asasi sosial, nilai-nilai spiritual, tujuan-tujuan yang tinggi dan untuk memiliki spiritual di bidang keilmuan dan suluk menuju pada Allah. Keduanya sama dan di antara keduanya ada kerjasama di tengah-tengah masyarakat. Di dalam sistem pemerintahan Islam, tidak seorang pun mengatakan bahwa di berbagai kancah kehidupan sosial, kaum wanita dan kaum pria; satu sama lainnya tidak boleh bertemu. Namun pada saat yang sama mewajibkan wanita dan pria untuk tidak bergaul secara bebas. Islam telah menetapkan hijab di antara keduanya. Yaitu hijab rasa malu (al-Haya’u). Hijab rasa malu antara wanita dan pria merupakan sesuatu yang fitri. Ini adalah pandangan Islam. (pidato dalam pertemuan bersama para santri perempuan dan budayawan di musholla Qom, 16/9/1374)
Barat; Penghancur rasa malu di antara wanita dan pria
Masalah hijab yang menjadi sandaran Islam merupakan simbol dari dasar ini, sangat bagus dan penting. Islam tidak menerima pergaulan bebas antara wanita dan pria. Sementara Barat ngotot pada pergaulan bebas, khususnya antara wanita dan pria. Apa yang dilakukan Islam, yakni tidak menerima pergaulan bebas antara wanita dan pria, merupakan hal yang berdasarkan tabiat manusia. Tabiat wanita dan pria. Ada hijab secara fitri dan ada rasa malu secara fitri antara dua jenis ini. Secara alami ada pada manusia, tentunya tidak pada hewan. Orang yang merusak perkara fitri ini harus bertanggung jawab dan itu adalah Barat. Yaitu budaya telanjang yang dipaksakan oleh Barat. Pada tahun-tahun terakhir ini, pada dekade akhir ini secara perlahan-lahan merasakan satu persatu akibatnya yang merugikan. Hancurnya rumah tangga, rusaknya moral, merambahnya masalah ini pada usia dini dan sebagainya. Mereka harus bertanggung jawab. Merekalah sebenarnya yang menginjak-injak hak wanita dan hak pria. Islam dengan menjaga prinsip yang fitri ini sedang bersikukuh pada hak wanita dan hak pria. Islam telah menjaga hak-hak manusia. Jiwa semacam inilah yang harus dimiliki oleh wanita Iran saat ini, yang harus dimiliki oleh wanita muslim yang hidup di lingkungan Islam. (pidato dalam pertemuan bersama para santri perempuan dan budayawan di musholla Qom, 16/9/1374)
Rasa malu dan kemuliaan adalah gabungan antara kelembutan dan ketajaman iman
Hari perawat adalah hari ulang tahun kelahiran Sayidah Zainab. Ini adalah peringatan bagi kaum wanita kita. Temukanlah peran kalian. Pahamilah tentang keagungan menjadi seorang wanita, keterkaitan antara hijab, rasa malu dan kehormatan diri wanita (Iffah) dengan kemuliaan sebagai seorang muslim dan mukmin. Wanita muslim kita seperti ini.
Keagungan seorang wanita adalah ketika ia mampu menjaga hijab dan rasa malu serta kehormatan dirinya yang ditetapkan oleh Allah pada seorang wanita. Gabungkan hal ini dengan kemulian sebagai seorang mukmin. Gabungkan hal ini dengan rasa tanggung jawab dan menjalankan kewajiban. Pergunakan kelembutan ini pada tempatnya sendiri. Pergunakan juga ketajaman ini pada tempatnya sendiri. Gabungan halus ini hanya milik kaum wanita. Gabungan halus kelembutan dan ketajaman khusus bagi kaum wanita. Ini adalah keistimewaan yang diberikan Allah kepada wanita. Itulah mengapa dalam al-Quran dua wanita diumpamakan sebagai teladan keimanan, bukan teladan keimanan kaum wanita, tapi teladan keimanan seluruh umat manusia; wanita dan pria.
“Wa Dharaballahu Matsalan Lilladzina Amanu Imra’ata Fir’auna” (QS. Tahrim:11) dan “Maryama Binti Imrana” yang satu adalah istri Firaun dan yang kedua adalah Sayidah Maryam. Ini semua adalah isyarat dan tanda-tanda yang menunjukkan logika Islam. (pidato dalam pertemuan akbar bersama para perawat, 1/2/1389)
Kehormatan diri adalah pilar utama membela wanita
Setiap gerakan yang dilakukan untuk membela wanita, rukun aslinya adalah harus menjaga kehormatan diri wanita. Sebagaimana yang sudah saya sampaikan, di Barat karena tidak memerhatikan poin ini, yakni masalah kehormatan diri wanita tidak dianggap penting dan tidak memedulikannya, maka akibatnya adalah terjadinya pergaulan bebas. Jangan dibiarkan kehormatan diri wanita yang merupakan unsur terpenting bagi kepribadian seorang wanita, diabaikan begitu saja. Kehormatan diri wanita adalah sebuah perantara bagi ketinggian dan kemuliaan pribadi wanita di mata orang lain. Meski di hadapan mata para lelaki penyembah syahwatpun dan orang-orang yang tidak punya aturan. Kehormatan diri wanita adalah sumber penghormatan dan kepribadiannya. (pidato dalam acara seminar besar para wanita, bertepatan dengan kelahiran Sayidah Fathimah az-Zahra, 30/7/1376)
Menjaga kehormatan diri wanita lebih dari hanya sekedar urusan pribadi
Masalah kesucian dan menjaga kesucian diri bagi pria dan wanita merupakan perkara yang sangat penting. Dan secara umum telah keluar dari batas yang hanya sekedar urusan pribadi. Sekelompok orang beranggapan bahwa masalah ini kembali pada urusan pribadi seseorang. Pada akhirnya seseorang; apakah dia suci ataukah tidak? Masalahnya bukan ini. Yang didapatkan seseorang tentang sikap al-Quran dengan masalah wanita dan pria, hubungan wanita dan pria, menjaga kehormatan wanita dan kesucian pemuda; baik pria maupun wanita, sangat jelas dan bukan hanya sekedar masalah pribadi. Pada akhirnya, seseorang bergantung pada dirinya sendiri; apakah dia menjaga kesucian dirinya, ataukah tidak yakni berbuat dosa. Tapi masalahnya tidak demikian. Bahkan bisa memengaruhi nasib umat manusia, nasib peradaban dan gerakan sebuah masyarakat yang berkecimpung dengannya. (pidato dalam pertemuan dengan para pemain film Sayidah Maryam, 7/8/1378)
Menjaga kehormatan diri dan kesucian masyarakat; kewajiban besar
Wahai para hamba Allah, Wahai orang-orang mukmin dan mukminah, wahai orang-orang muslim dan muslimah, wahai para pelaku dan pendiri shalat, jagalah ketakwaan ilahi! Waspadalah! Kenalilah konspirasi musuh! Kenalilah darurat revolusi! Ketahuilah bahwa menjaga kehormatan diri dan kesucian masyarakat serta kesucian diri pria dan wanita di masa yang sangat sensitif masyarakat revolusioner Iran ini merupakan sebuah keharusan dan kewajiban yang besar. Berusahalah untuk menjaga kehormatan diri baik di lingkungan kantor, di lingkungan gang dan jalan maupun di lingkungan masyarakat. (pidato khutbah Jumat, 13/4/1359)
Saat ini di tengah-tengah kehidupan sosial, masyarakat kita cenderung menjaga kehormatan dan kesucian diri. Cenderung pada hijab. Kaum pria maupun wanita hidup dengan menjaga kesucian dan hijabnya. Tentunya ada beberapa orang yang tidak bisa mengontrol dirinya. Namun di samping semua ini ada kanal-kanal kefasadan [kekejian]. (pidato khutbah Jumat, 11/5/1365)
Komitmen bangsa Iran untuk menjaga kehormatan diri
Kondisi masyarakat kita berbeda dengan sebagian besar daerah-daerah di dunia bahkan semua penjuru dunia. Mungkin jarang kita temukan daerah di dunia yang secara keseluruhan masyarakatnya baik pria maupun wanita yang memiliki komitmen dalam menjaga kehormatan diri dan kesucian moral serta seksual sebagaimana masyarakat kita. Khususnya revolusi besar kita, dengan hancurnya pilar-pilar budaya Barat, telah menghidupkan semangat Islam pada diri kita. (pidato khutbah Jumat, 11/5/1365)
Konspirasi menghapus rasa malu dan kehormatan diri serta kesucian kaum wanita
Tanggal 17 Dey adalah hari yang dipakai oleh pemerintahan [rezim Shah Pahlevi] sebagai alat untuk menjalankan konspirasi dan politiknya. Mereka menjadikan hari ini untuk menyesatkan masyarakat dan menyeret separuh dari warga negara ini pada kekejian. Melalui cara ini kaum wanita dan kaum pria terseret pada kekejian, terhinanya wanita, terjadinya pelanggaran syariat Islam, baik dari sisi moral maupun rasio, menyebarnya budaya telanjang, dan terhapusnya rasa malu dan kehormatan serta kesucian diri. Namun dengan pertolongan ilahi, kewaspadaan masyarakat, khususnya kewaspadaan kaum wanita muslimah konspirasi dan rencana yang ada malah memberikan hasil sebaliknya dari yang diinginkan. Pada tanggal 17 Dey tahun 1356, para wanita muslimah telah memulai gerakan revolusinya yang pertama kalinya dengan melakukan demonstrasi bernuansa Islam. Gerakan ini menjadi permulaan bagi gerakan besar kaum wanita di dalam negeri dan kerjasama mereka dengan kaum pria sehingga memunculkan suasana revolusi dalam semua sisi di dalam negeri. Berkaitan dengan masalah ini saya ingatkan pada kaum wanita muslimah di seluruh negeri untuk menghargai suasana yang islami ini terkait dengan kehormatan dan kesucian diri bagi para wanita. (pidato khutbah Jumat, 16/10/1362)
Mengubah budaya kehormatan diri; rencana negara-negara industri dunia
Negara-negara industri dunia dengan memerhatikan pengalaman masa lalu negara-negara seperti Afghanistan, Mesir, Irak dan negara-negara Islam Arab dan non Arab, telah menganggap Islam sebagai bahaya utama. Dengan cara menguasai budaya, ekonomi dan sosial, mereka menjadikan kaum wanita sebagai sebuah eksperimen sejarah. Dan serangan itu dilakukan pada hijab wanita dan mengubah budaya kehormatan diri pada kaum wanita. Pada tahapan ini kita menyaksikan wanita muslimah mengerjakan shalat, berpuasa, dan pergi berziarah, namun tidak tidak berhijab. Karena tidak menentukan secara jelas seorang teladan wanita muslimah dan wanita menurut al-Quran. (pidato dalam seminar; peran wanita di dalam masyarakat di universitas Tarbiyat Moallem, 10/12/1364)
Mencopot hijab; mukadimah untuk mencerabut kehormatan diri dan rasa malu
Mencerabut hijab adalah mukadimah untuk mencerabut kehormatan diri. Untuk mencerabut rasa malu di tengah-tengah masyarakat Islam. Untuk menyibukkan masyarakat dengan faktor yang sangat kuat yaitu seksual. Tujuannya adalah supaya urusan yang lain tertinggal. Dan dalam beberapa waktu program ini berhasil. Namun, keimanan yang tinggi bangsa Iran tidak mengizinkannya. Para wanita muslimah kita tetap bertahan di hadapan tekanan yang menindas ini meski harus menghadapi tekanan-tekanan ini sepanjang zaman. Setelah kepergian Rezakhan [Shah Pahlevi] kondisinya sedemikian rupa, di masa dia sendiri juga demikian, di masa-masa thaghut yang lainnya juga demikian. Oleh karena itu, pada bulan Dey tahun 1356, pada tanggal 17 bulan Dey, di Mashad terjadi sebuah demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh para wanita muslimah dengan slogan “Menjaga Hijab”. (pidato dalam pertemuan bersama berbagai lapisan masyarakat Qom, 19/10/1386)
Hijab; penjaga kehormatan diri wanita
Masalah hijab, mahram dan non mahram, melihat dan tidak melihat, semua ini agar masalah kehormatan diri tetap terjaga. Islam menganggap penting masalah kehormatan diri wanita. Tentunya kehormatan pria juga penting. Kehormatan diri bukan khusus untuk wanita. Kaum pria juga harus menjaga kehormatan dirinya. Hanya saja, karena pria di tengah-tengah masyarakat lebih kuat dari sisi jasmani dan bisa berbuat zalim terhadap wanita, dan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan keinginan wanita, maka masalah kehormatan wanita lebih ditekankan.
Kalian bila melihat dunia saat ini, kalian akan menyaksikan bahwa salah satu masalah kaum wanita di dunia Barat khususnya di negara Amerika Serikat, kaum lelaki melanggar kehormatan wanita dengan bersandar pada kekuatan dirinya. Saya melihat data statistik yang disebarkan oleh para pejabat resmi Amerika sendiri, yang satu berkaitan dengan pengadilan Amerika dan satu lagi berkaitan dengan pejabat lainnya. Data yang ada benar-benar mengerikan. Dalam setiap enam detik terjadi pemerkosaan di negara Amerika. Lihatlah, betapa pentingnya masalah kehormatan diri! (pidato dalam acara seminar besar para wanita, bertepatan dengan kelahiran Sayidah Fathimah az-Zahra, 30/7/1376)
Menghargai nikmat besar suasana kehormatan diri di tengah-tengah masyarakat
Sekarang, hargailah kondisi ini dimana semua kaum wanita bisa hidup secara terhormat [dari sisi kehormatan diri]. Sekarang kondisi sosial kita adalah kondisi dimana para wanita kita, para remaja putri kita, mereka yang ingin hidup dengan terhormat dari sisi kehormatan dan kesucian diri, bisa hidup dalam kondisi ini dengan terhormat, ini adalah nikmat yang besar bagi sebuah masyarakat. (pidato khutbah Jumat, 16/10/1362)
Wanita Iran; menjaga kehormatan diri dan kewibawaan ketika hadir di kancah sosial dan aktivitas keilmuan
Karena berkah revolusi, wanita Iran berada di jalan yang sangat baik. Wanita Iran bisa masuk ke dalam kancah keilmuan dan melewati tahapan-tahapan keilmuan. Sementara pada saat yang sama mereka tetap menjaga agama, kehormatan diri, ketakwaan, kewibawaan, kepribadian dan kehormatan wanita muslimah. Sekarang di antara kalian sendiri, betapa banyak mahasiswi, dosen, ilmuwan wanita? Demikian juga wanita bisa masuk ke dalam kancah keilmuan dan pengetahuan agama, tanpa ada penghalang apapun di hadapannya. Sekarang di antara kalian sendiri ada banyak santri, mahasiswi, guru, dosen ilmu-ilmu agama yang belajar di bidang fikih Islam dan pandangan agama. Imam Khomeini juga sangat menganggap penting masalah ini. Itulah mengapa beliau memerintahkan untuk membangun muassasah Qom ini.
Sekarang, wanita di negara kita bisa menunjukkan kepribadiannya di bidang politik, aktivitas politik, sosial, perjuangan, berbakti pada masyarakat dan revolusi, dan hadir di berbagai kancah, dengan tetap menjaga kewibawaan dan hijab Islam. (pidato dalam pertemuan besar para wanita, 26/10/1368) (Emi Nur Hayati)
Sumber: Naghs wa Resalat-e Zan I, Ifaf wa Hejab Dar Sabke Zendegi-e Irani-Eslami
Bargerefteh az bayanat-e Ayatullah al-Udhma Khamenei, Rahbare Moazzam-e Enghelab-e Eslami.
Ali dan Fathimah; Rumah Tangga Penuh Cinta
Salah satu faktor utama yang membuat langgengnya sebuah pernikahan adalah cinta dan kasih sayang antara suami dan istri. Contoh terbaik kehidupan seperti ini dapat disaksikan pada pernikahan Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as. Pernikahan yang terjadi pada 1 Dzulhijjah 2 Hijriah Qamariah.
Pernikahan yang langgeng dan hakiki ketika dibangun di atas fondasi cinta dan kasih sayang. Allah Swt telah meletakkan hakikat tak ternilai bernama cinta dan kasih sayang ini dalam diri pria dan wanita.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”[1]
Oleh karenanya, bila suami dan istri ingin sampai pada ketenangan, kehangatan rumah tangga dan pengokohannya, maka harus menyatakan dan menyampaikan rasa cinta dan kasih sayang, agar hubungan keduanya lebih akrab dari sebelumnya. Sebaliknya, pernyataan cinta dan kasih sayang ini bakal mencegah terjadinya gesekan dan munculnya kemarahan di antara keduanya.
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Ketika seorang hamba bertambah keimanannya, pada saat yang sama bertambah pula kecintaannya kepada istrinya.”[2]
Sekaitan dengan hal ini, Imam Ridha as berkata, “Ketahuilah bahwa wanita itu beragam dan dari mereka ada yang berupa raihan tak ternilai dan kompensasi. Wanita seperti ini sangat mengasihi suaminya dan mencintainya.”[3]
Dari penjelasan di atas, poin pentingnya adalah menyampaikan rasa cinta kepada istri. Sekalipun cinta itu urusan hati, tapi tidak boleh berhenti hanya pada rasa cinta yang terpendam dalam hati. Cinta yang ada di hati harus disampaikan baik lewat lisan atapun perilaku, sehingga hasil yang diinginkan dapat diraih.
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Ucapan suami kepada istrinya ‘Aku mencintaimu’ tidak akan pernah hilang dari hatinya.”[4]
Contoh paling tepat dari kehidupan penuh cinta dan kasih sayang dapat ditemukan dalam pernikahan Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as. Sebuah pernikahan yang dibangun atas dasar kesederhanaan dan dilanjutkan dengan kasih sayang dan cinta.
Dalam merajut kehidupan rumah tangganya dengan Sayidah Fathimah, Imam Ali as berkata, “Kami berdua bak pasangan merpati di sarang.”[5]
Kasing sayang dan cinta suami dan istri ini sedemikian eratnya, sehingga Imam Ali as menyebut keberadaan Fathimah mampu menenangkan hatinya. Beliau berkata, “Demi Allah! Aku tidak pernah marah dan membencinya dikarenakan sesuatu, sehingga Allah mengambilnya dariku. Ia juga tidak pernah membuatku marah dan menentangku. Ketika aku melihatnya, maka tersingkap seluruh kegalauan dan kesedihanku.”[6]
Dalam riwayat disebutkan:
“Pada suatu pagi, Imam Ali as berkata kepada Fathimah as, ‘Apakah ada makanan?’
Sayidah Fathimah menjawab, ‘Tidak. Demi kebenaran Allah yang mengutus ayahku sebagai nabi dan engkau sebagai penggantinya! Tidak ada sesuatu di rumah. Sudah dua hari kami belum makan. Ada sedikit makanan di rumah yang kusisihkan untukmu dan anak-anak.’
Ali as berkata, ‘Wahai Fathimah! Mengapa engkau tidak memberitahuku agar aku menyiapkan makanan?’
Fathimah menjawab, ‘Wahai Abu al-Hasan! Aku malu di hadapan Allah meminta sesuatu darimu yang tidak dapat engkau lakukan.’[7]
Istri yang tidak menuntut, membantu urusan rumah, memanggil dengan penghormatan, berkorban dan lain-lain merupakan contoh lain dari cinta dan kasih sayang dari Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as. Demikianlah, sekalipun banyak masalah yang dihadapi rumah tangga keduanya, tapi dapat dihadapi dengan tenang. Karena rumah tangga itu dipenuhi dengan ketenangan dan keakraban yang berangkat dari cinta dan kasih sayang. (Saleh Lapadi)
[1] . QS. Ar-Rum: 21.
[2] . کُلَّمَا ازْدَادَ الْعَبْدُ إِیمَاناً ازْدَادَ حُبّاً لِلنِّسَاء. Majlisi, Muhammad Baqir bin Muhammad Taqi, Bihar al-Anwar, jilid 100, hal 228, Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut, 1403 HQ.
[3] . وَ اعْلَمْ أَنَّ النِّسَاءَ شَتَّی فَمِنْهُنَ الْغَنِیمَةُ وَ الْغَرَامَةُ وَ هِیَ الْمُتَحَبِّبَةُ لِزَوْجِهَا وَ الْعَاشِقَةُ لَه. Nuri, Husein bin Muhammad Taqi, Mustadrak al-Wasail wa Mustanbath al-Masail, jilid 14, hal 161, Moasseseh Alu al-Bait, Qom, 1408 HQ.
[4] . قَوْلُ الرَّجُلِ لِلْمَرْأَةِ إِنِّی أُحِبُّکِ لَا یَذْهَبُ مِنْ قَلْبِهَا أَبَداً. Kulaini, Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq, al-Kafi, jilid 5, hal 569, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, 1407 HQ.
[5] . کُنَّا کَزَوْجِ حَمَامَةٍ فِی أَیْکَة. Meibadi, Hossein bin Moeinuddin, Diwan Amir al-Mukminin as, hal 86, Dar Nida al-Islam Lin-Nasyr, Qom.
[6] . فَوَاللَّهِ مَاأَغْضَبْتُهَا وَ لَاأَکْرَهْتُهَا عَلَی أَمْرٍ حَتَّی قَبَضَهَا اللَّهُ عَزَّوَجَلَّ إِلَیْهِ وَ لَاأَغْضَبَتْنِی وَ لَاعَصَتْ لِی أَمْراً وَ لَقَدْ کُنْتُ أَنْظُرُ إِلَیْهَا فَتَنْکَشِفُ عَنِّی الْهُمُومُ وَ الْأَحْزَانُ. Arbali, Ali bin Isa, Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifah al-Aimmah, jilid 1, hal 363, Tabriz, 1381 HQ.
[7] . یَا أَبَاالْحَسَنِ إِنِّی لَأَسْتَحْیِی مِنْ إِلَهِی أَنْ أُکَلِّفَ نَفْسَکَ مَا لَاتَقْدِرُ عَلَیْهِ. Majlisi, Muhammad Baqir bin Muhammad Taqi, Bihar al-Anwar, jilid 43, hal 330, Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut, 1403 HQ.
Manfaat Bepergian
Masalah bepergian dalam agama Islam mendapat perhatian penting. Allah Swt dalam al-Quran memerintahkan manusia agar bepergian. Karena banyak hal yang dapat dipelajari dalam bepergian. Begitu juga yang ditekankan oleh ayat-ayat al-Quran. Salah satu penekanan al-Quran disebutkan dalam surat al-An’am ayat 11, Allah Swt berfirman, “Katakanlah, “Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.”
Istilah bepergian diambil dari bahasa Arab, Safar. Pada intinya berarti mengungkap tabir dan menyingkap tirai. Tabir yang berasal dari luar. Raghib Isfahani menulis, “Safara al-‘Imamata ‘an ar-Ra’si wa al-Khimar ‘an al-Wajhi”. Menyingkirkan sorban dari kepala dan penutup dari wajah.
Bepergian atau Safar ini juga dibahas dalam ilmu Fiqih dan orang yang melakukannya disebut Musafir. Pembahasannya terkait seseorang yang mukim kemudian melakukan perjalanan ke suatu tempat. Ada aturan tentang niat bepergian dari Musafir, jarak perjalanan dan lama tinggal di tempat tujuan.
Namun yang akan dibahas di sini terkait substansi bepergian menurut ulama akhlak. Faidh Kasyani, seorang ulama akhlak dalam karyanya al-Mahajjah al-Baidha’ menulis tentang bepergian sebagai berikut:
“Dengan melakukan perjalanan, manusia akan terbebaskan dari apa yang ditakutinya dan akan meraih apa yang diinginkannya.”[1]
Faidh Kasyani telah menyinggung poin penting terkait bepergian. Perjalanan mengubah sesuatu yang negatif menjadi positif dan meraih apa yang diinginkan. Bepergian menjauhkan rasa takut dari dirinya dan menggantikannya dengan sesuatu yang diinginkannya. Bepergian mengajarkan manusia menjauhkan diri dari urusan yang tidak biasa dan menggantikannya dengan hal-hal yang dapat mengantarkannya kepada kesempurnaan.
Bepergian Menurut Al-Quran dan Hadis
Ketika seseorang melangkahkan kakinya keluar dari rumah atau kotanya, ia akan merasakan manfaat yang banyak. Manfaat itu akan semakin bertambah, bila perjalanan ini dibarengi dengan niat baik dan punya tujuan spiritual. Sedemikian pentingnya, sehingga al-Quran berkali-kali mewasiatkan manusia untuk melakukan perjalanan. Menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah dan memikirkan akibat yang dialami oleh bangsa-bangsa terdahulu merupakan berkah yang ada dalam perjalanan.
Berikut ini tiga ayat al-Quran yang menekankan pentingnya bepergian.
1. Katakanlah, “Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu”.[2]
2. Katakanlah, “Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa”.[3]
3. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul).[4]
Selain manfaat yang disebutkan al-Quran, masih banyak manfaat lainnya bepergian menurut Hadis seperti berikut:
1. Kesegaran
Bepergian terbukti punya peran penting dan positif bagi kesehatan jiwa dan badan manusia. Perubahan cuaca dan suasana sangat membantu bagi kesehatan manusia. Ketika jiwa manusia gembira dengan kondisi baru, dengan sendiri badannya juga membaik dan lebih segar.
Rasulullah Saw bersabda, “Safiru Tashihhu.” Bepergianlah sehingga kalian sehat.[5]
2. Kematangan
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak melakukan perjalanan dapat menumbuhkembangkan rasio seseorang. Karena siapa saja yang bepergian akan menyaksikan pemandangan yang indah, memahami cara pandang dan berpikir orang di kota lain dan mengetahui kelebihan dan kekurangan sebuah masyarakat. Pengenalan ini sangat membantu pertumbuhan cara berpikir seseorang tanpa harus membuka buku-buku yang tebal dan melelahkan.
Rasulullah Saw dengan indah mengingatkan kita akan pentingnya bepergian. Beliau bersabda, “Safiru, Fainnakum in Lam Taghnamu Malan, Ufidtum Aqlan.” Bepergianlah. Sesungguhnya bila dalam perjalanan itu kalian tidak mendapatkan harta, setidaknya pengetahuan kalian bertambah.[6]
3. Pelajaran
Bepergian membuat manusia mengenal nasib dan peninggalan orang-orang sebelumnya. Sejatinya, pengenalan ini merupakan guru palling penting bagi manusia. Karena perjalanan merupakan satu upaya manusia mengkaji perilaku masyarakat sebelumnya, dimana sejarah menuliskan kembali nasib mereka. Inilah pelajaran terbesar yang disampaikan berulang kali oleh al-Quran.
Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?[7]
4. Kesabaran
Bepergian mengajarkan manusia untuk lebih sabar menghadapi segala kesulitan, sehingga mampu menaklukkannya. Karena siapa pun yang bepergian bakal menghadapi banyak kesulitan, dan untuk mengatasinya dibutuhkan kesabaran yang luar biasa. Dengan demikian, menghadapi masalah untuk sementara waktu merupakan latihan yang tepat bagi setiap orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat.
5. Persahabatan
Persahabatan dua orang atau lebih dapat diuji dari perjalanan bersama yang dilakukan. Bepergian memberikan kesempatan kepada seseorang untuk saling menguji satu sama lainnya, sehingga dapat mengetahui kadar loyalitas dan persahabatan. Itulah mengapa Imam Ali as berkata, “As-Safaru Mizan al-Akhlak.” Bepergian parameter akhlak.[8]
Imam Shadiq as berkata, “Jangan sebut orang itu temanmu sebelum mengujinya dengan tiga hal; Perhatikan kemarahannya apakah membawanya dari kebenaran kepada kebatilan? Ujilah dengan uang dinar atau dirham. Dan ketiga, bepergianlah bersamanya.”[9]
Dalam ucapannya, Imam Shadiq as menekankan bahwa bepergian dapat menjadi parameter untuk menilai seorang sahabat yang hakiki.
6. Keuntungan
Tak diragukan bahwa dalam bepergian, selain manfaat maknawi yang didapat, terkadang juga menguntungkan secara materi. Ekonomi dunia berkembang lewat perdagangan. Artinya terjadi perjalanan dari satu daerah ke daerah yang lain begitu juga dari satu negara ke negara yang lain. Dalam ajaran Islam juga ditekankan kepada manusia agar ke luar rumah dan berusaha keras. Karena tidak mungkin hanya diam di rumah dan menanti nikmat materi dan non materi dari Allah Swt.
Al-Quran dalam surat al-Jumuah ayat 10 punya pentakbiran yang sangat indah terkait masalah ini. Manusia hendaklah bertebaran di muka bumi agar mendapat nikmat ilahi dan caranya adalah dengan berdagang. Allah Swt berfirman, “Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Rasulullah Saw bersabda, “Safiru, Tashihhu wa Taghnamu.” Bepergianlah, sehingga sehat dan kaya.[10]
Begitu pula Imam Shadiq meriwayatkan dari ayahnya begitu seterusnya hingga Rasulullah Saw, “Safiru Tashihhu wa Turzaqu.” Bepergianlah, sehingga sehat dan mendapat rezeki.[11]
Manfaat bepergian tidak dapat dibatasi dengan penjelasan ini. Dalam pembahasan selanjutnya tentang bepergian dalam Islam, kita akan menemukan banyak manfaat lain. Namun berikut ini sedikit penjelasan tentang bepergian dalam Islam agar dapat dipahami pentingnya masalah ini.
Rasulullah Saw bersabda, “Allah menyayangi para musafir.” Dan dalam banyak tempat, Rasulullah senantiasa menyebut kasih sayang Allah kepada orang yang bepergian. Dengan demikian dapat dipahami bahwa bila bepergian dengan niat yang baik dan sesuai dengan syariat bakal menurunkan rahmat Allah.
Rasulullah Saw bersabda, “Bila manusia mengetahui rahmat Allah kepada musafir, maka mereka segera bergegas untuk melakukan perjalanan. Sesungguhnya Allah sangat mengasihi musafir.”[12]
Dalam sebuah hadis lain disebutkan, “Barang siapa yang menolong seorang musafir mukmin, Allah Swt akan menghilangkan 73 kesedihan darinya, melindunginya dari kegalauan baik di dunia dan akhirat dan menolongnya dari kesedihan besar di hari ketika orang zalim menggigit jarinya.”[13]
Banyak juga penekanan kepada mereka yang bepergian agar saling memperhatikan dan membantu satu dengan yang lain. Penekanan khusus ini semakin menunjukkan posisi penting bepergian dalam Islam.
Rasulullah Saw bersabda, “Ketika dua orang berjalan bersama, maka yang paling mendapat pahala lebih banyak dan lebih dicintai Allah adalah yang paling memperhatikan dan mengasihi temannya.”[14]
Banyak sekali riwayat yang menjelaskan masalah ini. Membantu seorang mukmin memiliki nilai yang tinggi di sisi Allah. Sekalipun riwayat ini tidak memuat kata safar dan musafir, tapi termasuk dalam sistem nilai membantu orang lain yang sangat ditekankan Islam. (Saleh Lapadi)
Sumber: Ayin Safar; Qommi, Sayed Asgar Nazemzadeh, Bostan Ketab, cet 3, 1386 HS.
[1] . Al-Mahajjah al-Baidha’, jilid 4, hal 39.
[2] . QS: Al-An’am: 11
[3] . QS: An-Naml: 69.
[4] . QS: Yusuf: 109.
[5] . Al-‘Iqd al-Farid, jilid 6, hal 271. Bihar al-Anwar, jilid 76, hal 221.
[6] . Makarim al-Akhlak, hal 240.
[7] . QS: Yusuf: 109.
[8] . Ibnu Abi al-Hadid, Syarah Nahj al-Balaghah, jilid 2, hal 296.
[9] . Bihar al-Anwar, jilid 74 hal 180.
[10] . Kanz al-Ummal, hal 701, hadis 17470. Bihar al-Anwar, jilid 62, hal 267.
[11] . Kanz al-Ummal, hal 701, hadis 17469.
[12] . Majmu’eh Warram, jilid 2, hal 33.
[13] . Makarim al-Akhlak, hal 266.
[14] . Wasail as-Syiah, jilid 8, hal 492. Al-Mahajjah al-Baidha’, jilid 4, hal 60.
Kedudukan Sayidah Fathimah Maksumah di Dunia dan Akhirat
Selain alam dunia, ada juga yang namanya alam akhirat. Masing-masing dari dua alam ini memiliki kapasitas untuk mengenal. Manusia juga demikian, di dua alam ini ia akan menampakkan kapasitasnya sebatas keberadaan dirinya. Terkait masalah ini, Ahlul Bait Rasulullah Saw memiliki posisi istimewa.
Mereka yang memiliki derajat kemaksuman dan keimamahan, sangat kecil kapasitasnya bila mengenal mereka melalui alam dunia. Selain para Imam Maksum as, ada sebagian anak-anak mereka yang menampakkan keistimewaan sebagai hamba Allah khusunya putra putri para Imam Maksum. Keberadaan Sayidah Fathimah Maksumah merupakan salah satu putri Imam Maksum yang harus dihormati. Masyarakat pun telah memanfaatkan keberadaan makamnya dengan baik dari sisi spiritual sepeninggal beliau.
Kedudukan Duniawi Sayidah fathimah as
Sebagaimana kita tahu bahwa alam akhirat adalah manifestasi hakiki alam dunia ini. Akhirat setiap orang nantinya akan menggambarkan kedudukan hakiki seseorang ketika di dunia ini. Itulah mengapa, sebelum kita memahami kedudukan Sayidah Fathimah Maksumah di akhirat, kita gali terlebih dahulu kepribadiannya saat beliau di dunia ini.
Sebagai putri seorang Imam Maksum, Sayidah Fathimah Maksumah besar di bawah asuhan seorang ibu yang bertakwa bernama Najmah Khatun bersama saudaranya yang bernama Imam Ridha as dan belajar serta mencapai kesempurnaan di bawah bimbingan Imam Maksum as. Sayidah Fathimah Maksumah mendapatkan gelar “Fidaha Abuha” dari ayahnya Imam Musa Kazhim sebagaimana gelar yang dimiliki Sayidah Fathimah az-Zahra as dari ayahnya Rasulullah Saw. Itulah mengapa saudara beliau yakni Imam Ridha as terkait Sayidah Fathimah Maksumah mengatakan, “Man Zara al-Ma’sumata Biqum Kaman Zarani...barang siapa yang menziarahi Maksumah di Qom, maka ia seperti menziarahiku.” Kisah tentang ucapan Imam Musa Kazhim as terkait putrinya juga berkaitan dengan posisi keilmuannya dan ini merupakan stempel dan bukti posisi keilmuwan Sayidah Fathimah Maksumah.
Posisi Ukhrawi Sayidah Fathimah Maksumah
Pujian yang paling penting para Imam Maksum as terkait kepribadian Sayidah Fathimah Maksumah adalah mengenai kedudukan dan posisi ukhrawinya. Posisi yang secara umum berkaitan dengan sebuah pintu yang menuju surga dan syafaat beliau untuk para pengikut Ahul Bait as.
Pintu masuk ke surga
Imam Shadiq as menjelaskan tentang gambaran masuknya seseorang dari kota Qom
Tempat Masuk Ke Surga
امام صادق(ع) تصویر ورود به بهشت را از شهر قم تبیین میکنند:
إِنَّ لِلهِ حَرَماً وَ هُوَ مَکَّةُ أَلَا إِنَّ لِرَسُولِ اللَّهِ حَرَماً وَ هُوَ الْمَدِینَةُ أَلَا وَ إِنَّ لِأَمِیرِ الْمُؤْمِنِینَ حَرَماً وَ هُوَ الْکُوفَةُ أَلَا وَ إِنَّ قُمَّ الْکُوفَةُ الصَّغِیرَةُ أَلَا إِنَّ لِلْجَنَّةِ ثَمَانِیَةَ أَبْوَابٍ ثَلَاثَةٌ مِنْهَا إِلَى قُمَّ تُقْبَضُ فِیهَا امْرَأَةٌ مِنْ وُلْدِی اسْمُهَا فَاطِمَةُ بِنْتُ مُوسَى وَ تُدْخَلُ بِشَفَاعَتِهَا شِیعَتِی الْجَنَّةَ بِأَجْمَعِهِمْ
Bagi Allah ada sebuah haram, yaitu Mekah. Bagi Rasulullah juga ada sebuah haram, yaitu Madinah. Bagi Amirul Mukminin ada sebuah haram, yaitu Kufah. Sesungguhnya Qom adalah Kufah kecil. Ketahuilah bahwa surga memiliki delapan pintu dan ketiga pintunya menghadap ke kota Qom. Di Qom ada seorang perempuan dari anak keturunanku yang akan meninggal dunia dan namanya adalah Fathimah binti Musa as dan dengan syafaatnya, seluruh pengikutku akan masuk surga.
Salah satu perkara akhirat hanya khusus milik Allah dan dengan izinnya adalah syafaat. Oleh karena itu berfirman:
یَوْمَئِذٍ لا تَنْفَعُ الشَّفاعَةُ إِلاَّ مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمنُ وَ رَضِیَ لَهُ قَوْلا
Pada hari itu tidak berguna syafa'at, kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.(QS. Thaha:109)
Oleh karena itu syafaat adalah sebuah kedudukan yang sangat agung khususnya terkait dengan seseorang harus dijelaskan oleh Imam Maksum as. Terkait masalah syafaat sebuah umat dengan cara melalui ziarah ke makam Sayidah Fathimah Maksumah as bisa ditafsirkan dengan dua makna:
Syafaat di dunia
Makna pertama; sebagaimana lahiriahnya hadis maknanya adalah mensyafaati para pengikut. Dengan artian bahwa para pengikut Ahlul Bait yang memiliki kesalahan di dunia maka dengan cara menziarahi makam Sayidah Fathimah Maksumah, maka mereka akan diampuni kesalahannya dan akan dimasukkan ke dalam surga atau melalui ziarah ke makam beliau, mereka akan diberi kedudukan yang tinggi di surga.
Imam Ridha as berkata:
مَنْ زَارَهَا فَلَهُ الْجَنَّةُ
Barang siapa yang menziarahinya, maka baginya surga. Maknanya adalah barang siapa yang benar-benar menziarahi Sayidah Fathimah Maksumah secara hakiki, maka ia akan masuk surga.
Makna kedua; sebagaiman firman Allah Swt bahwa untuk mendapatkan surga, seseorang harus berusaha di dunia ini:
وَسارِعُوا إِلى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّکُمْ وَ جَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّماواتُ وَ الْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقینَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali Imran: 133)
Mendapatkan hidayah di dunia ini dengan sendirinya sama dengan masuk ke dalam surga. Menziarahi Sayidah Fathimah Maksumah karena tingginya spiritualitas di dalamnya, menjadikan seseorang memperbaiki urusannya di dunia dan selanjutnya adalah keselamatan seseorang dari api neraka di alam akhirat dan masuk ke dalam surga. Bahkan mendapatkan posisi yang tinggi di surga.
Kesimpulannya, keberadaan Sayidah Fathimah Maksumah as yang penuh berkah tidak hanya terbatas pada masa hidupnya yang pendek namun keberkahan itu sampai kini meliputi dunia Islam dan umat manusia pada umumnya baik dari sisi keilmuan maupun spiritual. Bahkan di akhirat, puncak kedudukannya akan menjadi jelas yakni seluruh para pengikutnya akan masuk surga karena syafaatnya. (Emi Nur Hayati)
Peran dan Risalah Wanita; Hubungan Wanita dan Pria (3)
Perlunya Menjelaskan Batas-Batas Hubungan Wanita dan Pria Menurut Islam
Ketika kita mengatakan, masalah kefasadan dan fahsya (perbuatan keji) dan batas-batas hubungan wanita dan pria menurut Islam harus kita jelaskan, hal ini bukan hanya untuk masyarakat dunia, tapi untuk masyarakat kita sendiri juga. Hakikatnya adalah di tengah-tengah masyarakat Islam terkait masalah kebebasan yang tak beraturan dan dilarangnya fahsya dan kefasadan belum ada kegiatan budaya yang dilakukan. Tentunya masyarakat kita memiliki iman yang sempurna tentang hijab dan penjagaan yang diperlukan yang telah ditentukan oleh Islam. Namun, mengingat masalah hijab dan batasan hubungan wanita dan pria bagi sebagian orang belum jelas, dan belum dipahami, maka kita punya kewajiban untuk menjelaskan masalah ini kepada masyarakat. (khutbah salat Jumat, 9/8/1365)
Menjaga Hubungan Wanita dan Pria di Radio dan Televisi
Antara wanita dan pria telah ditetapkan sebuah hijab. Saling berbicara, bertransaksi, bertengkar, berteman; namun dengan sebuah hijab dan penjagaan. Ini ada dalam Islam dan harus dijaga. Hubungan wanita dan pria dalam percakapan ini harus dijaga. Terkadang hubungan wanita dan pria di sebagian arena begitu dekat dan akrab dimana seseorang yang menontonya di depan televisi benar-benar merasa malu. Kami sebagai orang lelaki lanjut usia, tapi tetap merasa malu. Jagalah hal-hal seperti ini. Tidak perlu berpura-pura. Kita seperti orang-orang yang berdiri di tepi kolam renang. Sebagian yang berada di atas mengkritik mereka yang melompat di kolam renang dan mengatakan kaki si fulan, miring atau tangannya demikian! Kerjaannya hanya mengkritik orang-orang yang melompat. Kita katakan, coba kamu sendiri yang melompat. Dia katakan, aku tidak bisa melompat. Sekarang adalah penukilan kita. Kita sendiri tidak bisa melakukannya. Namun ketika kita melihatnya, kita tahu bahwa kakinya miring. Karena tidak sedang melompat. Misalnya kakinya terbalik. Manusia berpikir bahwa sebagian dari hal-hal ini bisa dilakukan dengan benar. (pertemuan bersama para direktur radio dan televisi, 15/11/1381)
Kebiasaan Salah; Menggunakan Gambar Wanita Untuk Menarik Perhatian di Media
Bayangkan -bukan hanya khusus media saja- bila film-film Persia atau media Persia berusaha menayangkan wajah dan gambar wanita dengan bentuk yang menarik bagi kaum lelaki, sehingga membuat film-filmya di sukai sekelompok orang. Secara bertahap hal ini akan menjadi sebuah kebiasaan. Yakni perlahan-lahan hasilnya bila gambar ini tidak ada dalam film, maka film ini tidak akan menarik lagi. Padahal sejak awal tidak demikian, tapi perlahan-lahan menjadi seperti ini. (dalam tanya-jawab perkumpulan wanita Iran dan asing, 18/7/1377)
Mencegah Percampuran Wanita dan Pria di Tempat-Tempat Umum
Kami meyakini bahwa cara-cara yang dipakai waktu itu dan diusahakan agar percampuran wanita dan pria semakin pesat, maka hal itu harus dicegah. Sikap wanita dan pria saling memamerkan dirinya di depan yang lain di lingkungan selain rumah tangga dan lingkungan luar, harus dihindari. Alat-alat yang dipakai oleh penjajah dunia untuk menguasai budaya terkait masalah wanita dan pria, harus dicegah. Ini merupakan pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan. (dalam wawancara tentang kedudukan wanita di Republik Islam, 4/12/1363)
Menjaga Kewibawaan dalam Hubungan Wanita dan Pria
Jagalah kewibawaan. Tertawa yang tidak pada tempatnya, bisa merusak kewibawaan. Pembicaraan antara wanita dan pria yang tidak tepat bisa merusak keseimbangan yang ada. Seorang wanita dan pria yang sedang berbicara akan terwujud keseimbangan yang baik. Seorang wanita dengan penuh kewibawaan dan dengan suara yang bagus sedang berbicara; seorang lelaki juga sedang berbicara dengan suara yang bagus dan hangat dan dengan penuh kewibawaan. Namun bila tiba-tiba kondisi pembicaraan seorang wanita dan seorang pria di radio ini misalnya berubah menjadi pembicaraan seorang pria penjual dan pemilik butik dengan pembeli wanitanya, lihatlah bagaimana keseimbangan ini akan rusak. Mungkin saja seorang wanita dan pria di butik berbicara demikian. Tidak tentu haruskah wanita pembeli dan pemilik butik itu kita panggil dan kita sanksi mengapa kalian berbicara demikian. Tapi berbicara seperti itu jangan sampai terjadi di radio. Karena akan merusak kewibawaan yang seharusnya ada pada acara yang ada. Oleh karena itu dalam pembicaraan antara wanita dan pria, dalam menggunakan kalimat, dalam mewujudkan kondisi keakraban bahkan pada pria, kalian harus tetap menjaga kondisi kewibawaan. (dalam pertemuan bersama anggota kelompok sosial radio Republik Islam Iran, 29/11/1370)
Mengarahkan Pada Cinta yang Suci dengan Cerita
Bercerita memiliki dayak tarik [tersendiri] dan indah. Menurut saya, hal ini harus dimanfaatkan. Oleh karena itu, bila sebuah cerita sekalipun tidak memiliki daya tarik seksual, ia sendiri tetap menarik. Selain itu, daya tarik seksual juga bisa dimasukkan ke dalamnya dengan tanpa menimbulkan masalah. Yakni ketika seorang pemudi dan seorang pemuda saling mencintai secara suci dan cinta ini akhirnya berujung pada pernikahan, tidak masalah sama sekali. Bahkan bisa menjadi pelajaran. Karena bagaimanapun juga cinta itu ada. Kalian tidak mungkin bisa memberangus cinta yang ada di dunia. Bagaimanapun juga cinta itu ada. Kalian bisa mengarahkan hal ini. (dalam pertemuan bersama para pengurus lembaga pengembangan pemikiran anak-anak dan remaja, 18/5/1376)
Usaha Menjaga Keamanan Akhlak di Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan harus sehat; baik untuk anak lelaki maupun anak perempuan. Universitas harus aman bagi anak-anaknya masyarakat; baik anak perempuan maupun anak lelaki. Gang dan jalan harus aman dari sisi akhlak dan kesucian; baik bagi anak-anak perempuan maupun anak-anak lelaki, tidak ada bedanya. Bila keamanan ini tercapai, maka lingkungan akan menjadi aman, di gang dan di pasar kondisinya aman, di universitas akan aman, di sekolah menengah umum akan aman. Ketika keamanan akhlak dan pemikiran terjamin, -para pejabat, parah ayah dan ibu harus menjaminnya- maka anak perempuan muslim, anak lelaki muslim, pria muslim, wanita muslim bisa melakukan aktivitasnya (dalam pertemuan bersama kaum wanita Khouzestan, 20/12/75)
Percampuran Wanita dan Pria di Lingkungan Keilmuan dan Rumah Sakit
Masalah kedokteran dan menyikapinya dengan masalah-masalah syariat, khususnya terkait perbedaan dua jenis wanita dan pria, sangat penting.
Tentunya masalah kedokteran dan menyikapinya dengan masalah syariat dalam beberapa bidang, sangat penting. Yang paling penting adalah sejauh yang saya hadapi, yaitu masalah wanita dan pria dan perbedaan dua jenis ini. tapi tidak hanya terbatas pada keduanya. Ada hal-hal lainnya seperti masalah menggugurkan janin dan memotong anggota badan, menghapus anggota badan dan semacamnya dari sisi taklif syariat secara detil harus jelas. Yang paling banyak menghadapi dari yang lain adalah masalah wanita dan pria baik di bagian keilmuan, pendidikan; baik di bagian keilmuan dan rumah sakit, tempat praktek dan semacamnya, benar-benar pekerjaan besar yang telah kalian mulai; para saudara dan saudari. (dalam pertemuan dengan anggota kelompok Enthebagh-e Pezeshki Ba Mavazin-e Shariy, 16/8/1374)
Merujuknya Para Wanita Pada Dokter Wanita
Usahakan, dalam pemerintahan Republik Islam [Iran], pada tahap pertama; untuk setiap penyakit, bila seorang wanita ingin berobat kepada dokter wanita, baginya mudah. Pada tahap kedua; sebisa mungkin bila seorang wanita ingin berobat kepada dokter lelaki, baginya sangat sulit. Tentunya kami tidak mengatakan, terlarang. Tidak. Bagaimanapun juga ini sebuah pekerjaan seperti pekerjaan-pekerjaan lainnya, manusia bebas melakukannya. Kalian sebagai pemerintah; dalam urusan pendidikan usahakan untuk mempermudah hal-hal yang halal dan mempersulit hal-hal yang haram atau makruh atau hal-hal yang ada pada tempat-tempat yang haram dan makruh. (dalam pertemuan dengan anggota kelompok Enthebagh-e Pezeshki Ba Mavazin-e Shariy, 16/8/1374) (Emi Nur Hayati)
Sumber: Naghs wa Resalat-e Zan I, Ifaf wa Hejab Dar Sabke Zendegi-e Irani-Eslami
Bargerefteh az bayanat-e Ayatullah al-Udhma Khamenei, Rahbare Moazzam-e Enghelab-e Eslami.
Penuturan Doktor Fahimeh Mostafavi Tentang Ayahnya, Imam Khomeini ra (3)
Bagaimana sikap Imam Khomeini terhadap keluarga?
Pada dasarnya, Imam Khomeini sangat ketat terkait hubungan dengan non mahram. Ketika putra saya dan putranya Haj Ahmad Agha berusia lima belas sampai enam belas tahun dan kami diundang untuk makan siang di rumah ayah [Imam Khomeini], anak-anak lelaki tidak boleh datang. Kalaupun mereka datang, kami tinggal di rumah ibu dan makan di sana, sementara mereka berada di rumah Haj Ahmad Agha, supaya anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan tidak makan bersama. Tidak hanya jangan bercampur dalam satu jamuan makan, tapi jangan saling mengucapkan salam. Karena tidak wajib.
Bagaimanapun juga, ayah [Imam Khomeini] menilah haram; model pertamuan para wanita dan pria non mahram dan duduk bersama-sama dalam satu jamu makan.
Saya masih ingat, waktu itu saya berusia lima belas tahun ketika almarhum Agha Eshraghi menikah dengan saudari saya dan menjadi menantu kami. Suatu hari kami semua diundang ke rumahnya. Ketika saya dan Imam Khomeini masuk ke rumahnya, saya melihat Agha Eshraghi datang menyambut. Kepada Imam Khomeini saya berkata, “Ayah, saya ucapkan salam? Beliau berkata, “Tidak wajib.” Karena saya juga tidak enak kalau tidak mengucapkan salam, akhirnya saya masuk melewati taman supaya tidak berhadap-hadapan dengan Agha Eshraghi.
Ketika Imam Khomeini diasingkan ke Turki, paman saya [Ayatullah Pasandideh] mau menjenguk ayah ke Turki. Beliau datang ke rumah kami dan dari balik pintu berkata, “Saya ingin bicara dengan ibu, barangkali ada pesan secara langsung yang akan disampaikan untuk ayah.” Oleh karena itu, ibu terpaksa mengucapkan salam kepadanya. Kemudian, saya masih ingat bahwa ibu merasa tidak enak. Karena ini adalah salam pertama kali yang diucapkan kepada lelaki non mahram di saat ayah tidak ada dan beliau berkata, “Bagaimana kalau ayah [Imam Khomeini] tidak rela?”
Jangan sampai tidak tersampaikan, ayah tidak masalah terkait urusan wajib dan genting. Tentunya harus berbicara secara serius. Bukannya, percuma duduk-duduk bersama dan mengucapkan salam. Begitu juga bila Imam Khomeini melihat sesuatu tidak sesuai dengan kedudukan seseorang, maka beliau memotres. Misalnya, salah satu keluarga kami memakai baju, meskipun warnanya hitam, namun menurut Imam tampak mewah. Waktu hari raya dan kami di rumah Imam Khomeini. Beliau berkata:
“Baju ini tidak tepat. Jangan dipakai.”
Orang yang ditegur mengatakan, “Ini adalah hitam.” Imam Khomeini berkata:
“Iya. Tapi ini tidak sesuai dengan posisimu.”
Orang itu menerima dan pergi mengganti bajunya. Tentunya bila sesuatu terpikirkan oleh beliau, maka beliau menegur. Namun teguran beliau sangat halus. Selain itu, teguran itu hanya ditujukan sesuai kepada orangnya.
Imam Khomeini sangat memberikan kebebasan kepada orang-orang terkait dalam menjalankan sesuatu yang hukumnya mubah. Namun terkait dengan hal-hal yang haram beliau sangat tegas. Saya masih ingat, beliau berbeda dengan para mujtahid yang lainnya. Ketika para mujtahid ngotot agar istrinya memakai cadar [penutup wajah] dan semacamnya, tapi Imam Khomeini sama sekali tidak mempersulit masalah ini.
Dalam menjawab sesuatu, Imam Khomeini tidak akan berlama-lama. Ucapan yang akan kalian sampaikan kalian pikirkan sebelumnya selama berhari-hari, maka Imam Khomeini akan menjawabnya segera. Ini karena bersumber dari logikanya. Misalnya, sekali waktu saya diundang ke Cina. Suatu hari saya menemui beliau. kabar ini saya sampaikan di sela-sela pembicaraan bahwa karena ada undangan resmi perkumpulan para wanita Cina, saya ingin pergi ke Cina. Beliau tidak mengatakan sesuatu. Hanya langsung mengangkat kepalanya dan berkata:
“Kamu ingin pergi ke Cina?”
Saya tertawa dan berkata, “Sekarang saya lihat dululah.”
Saya merasa beliau tidak setuju dengan kepergian saya. Tapi tidak menyampaikannya. Kali berikutnya ketika saya menemui beliau. kepada saya beliau berkata:
“Berdirilah ke depan sini.”
Saya maju ke depan dan di dekat telinga saya beliau berkata:
“Jangan pergi ke Cina.”
Saya berkata: “Iya.”
Waktu itu berlalu. Ketika saya menemui beliau kembali, saya berkata, “Mengapa Anda membisikkan di telinga saya? Beliau berkata:
“Lantas, kau ingin aku menyampaikannya ke telapak kakimu?”
Saya berkata, “Tidak. Maksud saya; coba Anda menyampaikannya saat sepi.”
Beliau berkata:
“Iya. Aku telah memangilmu dari keramaian dan menyampaikan kepadamu di saat sepi.”
Imam Khomeini merasa senang dengan pekerjaan-pekerjaan yang sederhana seperti pergi salat Jumat dan ikut serta demonstrasi. Ketika beliau melihat kami pergi salat Jumat. Dengan mudah kami bisa menyaksikan kerelaan di wajahnya. Begitu juga ketika ada demonstrasi, secara tidak langsung mengatakan:
“Kalian [kan] besok mau pergi.”
Selama hidupnya, beliau hanya sekali atau dua kali menasihati kami. Sekali ketika pernikahan putri kami. Ketika beliau menyampaikan khutbah nikah, kami berada di sisi beliau dan Imam Khomeini menasihati putri saya seraya berkata:
“Ketika suamimu pulang dan marah dan bahkan dia menuduhmu dan berbicara tidak sesuai kenyataan. Jangan katakan apapun padanya. Bersabarlah. Ketika kemarahannya sudah redah, katakan, ucapanmu adalah tuduhan [fitnah].”
Kemudian menghadap kepada pengantin pria dan berkata:
“Kamu juga harus demikian. Ketika kamu pulang ke rumah dan istrimu marah, maka pada saat itu kamu jangan menegurnya.”
Ketika pernikahan putri saudariku; putri Agha Eshraghi dan menantunya Agha Khatami. Beliau juga menasihati. Tentunya, karena pengantin lelaki bukan mahram kami, dia tidak ada. Imam Khomeini berkata:
“Kamu siapkan rumah sedemikian rupa dan kamu sendiri harus sedemikian rupa sehingga ketika suami teringat ingin kembali ke rumah, dia datang dengan senang dan semangat, bukan dengan ketidaksukaan.”
Ibu saya mengatakan, “Suatu hari saya berkata kepada Imam Khomeini, kemana saja Anda pergi saya ikut. Apa saja yang terjadi pada Anda, saya bertahan menyertai Anda. Namun sekarang saya menginginkan sesuatu dari Anda. Bila Anda masuk ke surga maka bawalah saya bersama Anda. Mengingat Imam Khomeini bukan orang yang suka basa basi, beliau berkata:
“Tidak. Sampai di mana saja Anda menyertai saya, saya mengucapkan terima kasih. Namun di sana [surga] setiap orang adalah dirinya sendiri dan amalnya. Di sana saya tidak bisa [membawamu].”
Imam Khomeini membuat teh sendiri. Beliau juga yang mencuci sendiri ceret dan gelasnya. Bahkan ketika kami menjenguk beliau, beliau yang membuatkan teh dan menyuguhkan kepada kami. Imam Khomeini dengan kedudukan dan usianya, beliau tidak pernah mengatakan kepada saya yang sebagai anak kecilnya, “Bangkit dan kerjaan pekerjaan fulan atau ambilkan fulan sesuatu.”
Selain malam-malam bulan Ramadhan, bila Imam Khomeini mau berpuasa dan yang lain tidak berpuasa, beliau tidak akan membangunkan yang lain untuk urusan sahur. Dengan pelan beliau bangun dari tidur. Kemudian menyalakan samavar [tempat merebus air] dan membuat teh. Makan sahur Imam Khomeini hanya sebutir telur.
Meski Imam Khomeini tidak pernah menasihati, namun dengan tegurannya tepat waktunya dan dengan perilakunya beliau membimbing kami. Suatu hari saya mendengar bahwa salah satu pembantu rumah Imam Khomeini dibawa ke penjara karena satu kesalahan. Beberapa hari berikutnya saudari saya bertanya kepada saya tentang orang tersebut. Saya bilang, dia sudah tidak ada. Dan saya menceritakan kejadian yang ada. Waktu itu cerita saya belum selesai, Imam Khomeini berkata:
“Ini adalah Ghibah.”
Saya berkata, “Perbuatan dia terang-terangan dan dia sekarang di penjara.”
Imam Khomeini berkata: "Tidak. Dia berbuat sesuatu. Dan kewajiban mereka adalah memasukkannya ke dalam penjara. Tapi kamu tidak boleh menjatuhkan harga dirinya di tempat lain.”
Sekali waktu beliau memanggil semua anggota rumah dan berkata:
“Saya berencana untuk menyampaikan sesuatu ketika kalian semua berkumpul.”
Kemudian berkata: “Kalian tahu bahwa ghibah hukumnya haram?”
Kami menjawab, “Iya.
Beliau berkata: “Kalian tahu bahwa betapa besarnya dosa membunuh seseorang dengan sengaja?”
Kami menjawab, “Iya.
Beliau berkata: “Ghibah [dosanya] lebih besar.”
Kemudian berkata:
“Kalian tahu bahwa betapa besarnya doa perbuatan di luar syariat yang bertentangan dengan harga diri [zina]?”
Kami menjawab, “Iya.
Beliau berkata: “Ghibah [dosanya] lebih besar.”
Imam senantiasa memperhatikan perilaku dan kehidupan kami. Ketika hari libur beliau melihat saya belajar, beliau berkata:
“Kamu tidak akan sukses, karena waktunya istirahat, kamu harus istirahat.”
Masalah ini sangat serius disampaikan kepada putra saya di depan saya seraya berkata:
“Saya tidak menggunakan satu jam pun waktu istirahat saya untuk belajar dan tidak menggunakan satu jam pun waktu belajar saya untuk istirahat.”
Yakni segala sesuatu ada waktunya sendiri. Beliau juga menasihati putra saya seraya berkata:
“Kamu harus punya kesempatan istirahat. Kalau tidak punya, maka kamu tidak bisa menyiapkan diri untuk belajar.” (Emi Nur Hayati)
Dikutip dari penuturan Fahimeh [Zahra] Mostafavi, anak Imam Khomeini ra.
Sumber: Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra, 1387, cetakan 6, Moasseseh Nashr-e Panjereh



























