کمالوندی
Hanya Demi Keridhaan Allah Aku Berperang
Amr bin Abdiwud adalah salah seorang tukang perang Arab yang pemberani. Di perang Khandaq, Sayidina Ali menutup pintu gerbang Khandaq supaya musuh tidak bisa masuk. Setelah itu Amr datang di tengah-tengah medan peperangan dan berteriak, “Siapakah yang siap berperang denganku?”
Tidak ada seorangpun yang berani menantang. Amr kembali berkata, “Dimanakah umat Islam yang akan terbunuh di tanganku, lalu masuk surga? Mengapa kalian tidak segera menuju surga? Mengapa tidak ada seorangpun yang menjawab?”
Tidak ada seorangpun yang berkata. Amr bin Abdiwud dalam kondisi mengangkat pedangnya ke atas dan memutar-mutarkannya seraya berkata, “Suaraku sampai habis karena berkali-kali menginginkan lawan. Aku berdiri di tempat, dimana setiap tukang perang yang pemberani gemetaran dan ketakutan. Sesungguhnya keberanian dan pengorbanan adalah senjata yang paling bagus bagi para pelaku perang.”
Pada saat itu Sayidina Ali meminta izin kepada Rasulullah Saw untuk pergi melawan Amr. Rasulullah Saw kepada Sayidina Ali berkata, “Bersabarlah!”
Amr pun melanjutkan ocehannya dan menginginkan lawan. Setiap kali Sayidina Ali meminta izin kepada Rasulullah, beliau mengatakan, “Bersabarlah!”
Sayidina Ali berkata, “Wahai Rasulullah! Bila dia adalah Amr, maka saya adalah Ali bin Abi Thalib. Akhirnya Rasulullah Saw mengizinkannya dan berkata, “Saya meminta kepada Allah untuk memenangkanmu atas Amr.”
Kemudia Rasulullah Saw mendongakkan kepalanya dan berkata, “Ya Allah! Jangan biarkan sendirian saudaraku dan putra pamanku!”
Kemudian dengan mata berkaca-kaca kepada Sayidina Ali beliau berkata, “Pergilah! Allah menjadi penolong dan pendukungmu!”
Sayidina Ali pergi menuju medan pertempuran dan berkata, “Hai Amr! Jangan tergesa-gesa dalam perang! Orang yang akan melawanmu bukan orang yang lemah. Dia memiliki niat yang baik dan sadar dan sifat ini adalah dasar keberuntungan. Aku tidak mendatangimu kecuali dengan harapan menjadikan istrimu berduka atasmu dan aku akan memukulmu sedemikian rupa sehingga tidak akan pernah terlupakan.”
Mengingat Amr adalah lelaki sombong dan angkuh. Ia tidak mau menjawab ucapan Sayidina Ali.
Sayidina Ali melanjutkan, “Aku mendengar bahwa engkau berjanji; bila seorang lelaki dari Quraiys meminta salah satu dari tiga hal darimu, maka engkau akan menyetujuinya.”
Amr menjawab, “Iya.”
Sayidina Ali berkata, “Untuk itu, aku mengajakmu pada Islam dan risalah Muhammad Saw.”
Amr menjawab, “Aku tidak mau menerima.”
Sayidina Ali berkata, “Kalau begitu, kembalilah ke tempat dari mana kamu datang dan urungkanlah berperang dengan Rasulullah!”
Amr berkata, “Bila aku melakukan hal ini, maka para wanita Quraiys akan mencelaku. Karena ketika aku terluka di perang Badar, aku berjanji tidak akan duduk tenang selama aku belum membunuh Muhammad dan aku tidak akan berhenti melawannya.”
Sayidina Ali berkata, “Kalau begitu, aku terpaksa harus mengajakmu bertempur.”
Amr tertawa dan berkata, “Orang Arab tidak akan meminta hal ini padaku. Aku tidak suka membunuhmu. Karena dulu aku sebagai teman ayahmu Abu Thalib dan di antara paman-pamanmu ada yang lebih kuat darimu. Kamu seorang pemuda dan aku tidak ingin engkau mati di tanganku. Kamu tidak sejajar dan setingkat denganku.
Sayidina Ali berkata, “Tapi aku suka membunuhmu di jalan Allah.”
Amr berkata, “Apa yang aku dengar?” dan ia tertawa terbahak-bahak.
Sayidina Ali berkata, “Aku suka berperang denganmu dan aku bunuh engkau. Untuk itu, turunlah! Ayo kita berperang!”
Amr marah mendengar ucapan Sayidina Ali dan turun dari kudanya, kemudian mengangkat pedangnya. Sayidina Ali mengangkat tamengnya untuk menutupi kepalanya. Namun pukulan pedang membuat tameng itu terbelah menjadi dua dan mengena kepalanya. Menyaksikan hal ini, Rasulullah Saw mendatangi Sayidina Ali dan membalut kepala Sayidina Ali dengan surban.
Sayidina Ali kembali ke medan pertempuran dan berkata, “Hai Amr! Kau tidak malukah, membawa pendamping sebanyak ini, sementara aku sendirian menghadapimu?!”
Amr menoleh dan memandang pasukannya. Pada saat itu Sayidina Ali menyabet kaki Amr dengan pedangnya dan jatuhlah Amr. Tiba-tiba suara takbir para hadirin serentak menggema. Para musuh melarikan diri dan umat Islam dengan gembira mengejar dan mengusir mereka.
Imam Ali berdiri mendekati Amr dan ingin memenggal kepalanya. Amr berkata, “Kamu telah menipuku.”
Sayidina Ali berkata, “Inilah makna perang. Jangan selalu bersandar pada kekuatan lenganmu. Terkadang sebuah taktik bisa mengalahkan musuh. Demikian juga dengan kamu, seharusnya menggunakan pikiranmu daripada hanya mengoceh. Pada saat itu juga Amr meludai wajah Sayidina Ali. Sayidina Ali bangkit dan berjalan beberapa langkah kemudian kembali mendatangi Amr dan mau memenggal kepalanya.
Amr berkata, “Mengapa kamu tidak jadi dan sekarang kembali lagi?!”
Sayidina Ali berkata, “Kau meludai wajahku dan membuatku marah. Aku tidak ingin memenggal kepalamu pada saat aku dalam kondisi marah. Karena boleh jadi niatku terhitung sebagai balas dendam padamu. Padahal, sebagaimana telah kukatakan, aku berperang denganmu dengan niat karena keridhaan Allah.”
Sayidina ali memenggal kepala Amr bin Abduwud dan membawanya kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw mencium Sayidina Ali dan mendoakannya. (Emi Nur Hayati)
Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Ali as
Faedah Menangis dan Berduka untuk Imam Husein as
Majlis duka dan tangisan atas nama Imam Husein as memiliki ciri khas tersendiri. Ciri khas tangisan demi Imam Husein memiliki faedah di dunia dan pahala di akhirat.
Ketika ada pembicaraan tentang berduka untuk Imam Husein as dan tibalah bulan duka untuk keluarga Rasulullah Saw, maka muncullah berbagai macam kerancuan untuk melawan acara menyampaikan kecintaan dan belasungkawa untuk mereka.
Sebagian mengatakan, semua kesedihan dan tangisan ini percuma. Bahkan memrotes para imam maksum dan mengatakan, mengapa mereka menganjurkan para pecinta keluarga Rasulullah untuk menyelenggarakan majlis duka untuk Imam Husein?
Pada dasarnya orang-orang semacam ini menilai duka sebagai masalah yang tidak baik. Di sinilah kesalahan mereka, yakni tidak membedakan ragam duka. Bila mereka mengetahui macam-macamnya duka, pertanyaan seperti ini tidak akan muncul dalam diri mereka.
Macam-macam duka:
1. Duka penyakit
Duka penyakit merupakan salah satu jenis duka yang pada hakikatnya dia adalah sebuah penyakit. Duka seperti ini tidak ada nilainya sama sekali dan harus segera diobati. Duka seperti ini, kita menyaksikan bahwa seseorang telah menderita penyakit jiwa dan senantiasa sedih dan berduka. Seperti kesedihan yang disebabkan oleh penyakit hasud. Bila sifat yang tidak baik ini disingkirkan, maka seseorang tidak akan berduka lagi.
2. Duka alami dan duniawi
Dalam duka jenis ini, seseorang berduka karena urusan duniawi dan materi. Misalnya seseorang ingin menjadi orang kaya. Mengingat dia tidak mencapai keinginannya, lantas berduka. Dalam hal ini Imam Shadiq as berkata:
اَلرَّغْبَةُ فِی اَلدُّنْیَا تُورِثُ اَلْغَمَّ وَ اَلْحَزَنَ وَ اَلزُّهْدُ فِی اَلدُّنْیَا رَاحَةُ اَلْقَلْبِ وَ اَلْبَدَنِ
Cenderung pada dunia menyebabkan duka dan kesedihan. Dan mengabaikan dunia menjadikan hati dan badan tenang.[1]
3. Duka kemanusiaan
Ketika seseorang memiliki keinginan fitrah dan menjadikan sesuatu sebagai nilai dan tujuan, namun ia tidak bisa mencapai hal itu, maka ia akan mengalami duka kemanusiaan. Misalnya seseorang ingin kekal di dunia, tapi hal itu tidak mungkin terjadi, maka dia akan sedih.
4. Duka yang bagus
Jenis duka yang terakhir adalah duka yang bagus. Duka ini benar-benar bernilai dan menyebabkan kebahagiaan dan pahala di akhirat. Dalam hal ini Imam Shadiq as berkata:
نَفَسُ المَهمُوم لِظُلمِنا تَسبیحٌ وَ هَمُّهُ لَنا عِبادَة
Nafas seseorang yang bersedih karena kemazluman kami terhitung sebagai tasbih dan kedukaannya karena kami terhitung sebagai ibadah.[2]
Di samping hadis-hadis ini, ada sebagain riwayat yang menunjukkan tingginya nilai kedukaan untuk Imam Husein as. Membandingkan kedukaan Imam Husein dengan duka-duka yang lain salah dan tidak pada tempatnya. Duka yang sudah terpahat di hati orang-orang Mukmin.
Oleh karena itu Rasulullah Saw bersabda:
إنَّ لِقَتْلِ الْحُسَیْنِ حَرَارَةٌ فِی قُلُوبِ الْمُؤْمِنِینَ لَنْ تَبْرُدَ أَبَداً
Sesungguhnya untuk syahadahnya Husein, ada kobaran api di hati orang-orang mukmin yang tidak akan dingin selamanya.[3]
Berduka dan menangis untuk Imam Husein pada hakikatnya memperbarui baiat dengannya. Sebuah baiat yang berabad-abad lamanya pasca syahadah Imam Husen tetap dan akan berlanjut. Dengan menangis atas musibah Imam Husein, seseorang telah menunjukkan garis pemikirannya dan mengumumkan kebenciannya terhadap para musuh Imam Husein. Tangisan seperti ini merupakan ikatan perjanjian persahabatan antara seseorang dengan Imam Husein as.
Demikian juga dengan Imam Ridha as. Beliau berpesan kepada Rayan bin Syabib untuk menangisi Imam Husein as.
یَا ابْنَ شَبِیبٍ إِنْ کُنْتَ بَاکِیاً لِشَیْ ءٍ فَابْکِ لِلْحُسَیْنِ بْنِ عَلِیٍّ فَإِنَّهُ ذُبِحَ کَمَا یُذْبَحُ الْکَبْشُ وَ قُتِلَ مَعَهُ مِنْ أَهْلِ بَیْتِهِ ثَمَانِیَةَ عَشَرَ مَا لَهُمْ فِی الْأَرْضِ شَبِیهُونَ
Hai Putra Syabib, bila engkau menangis karena sesuatu, maka menangislah untuk Husein bin Ali, karena sesungguhnya ia disembelih seperti kambing yang disembelih dan delapan belas orang dari keluarganya dibunuh bersamanya yang tidak ada bandingannya di dunia.[4]
Masalah menangis untuk Imam Husein tidak sama dengan tangisan dan duka lainnya, sehingga kita samakan dan dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik. Tapi menangis untuk Imam Husein sejak awal beda. Imam Shadiq as berkata:
إِنَّ الْبُکَاءَ وَ الْجَزَعَ مَکْرُوهٌ لِلْعَبْدِ فِی کُلِّ مَا جَزِعَ مَا خَلَا الْبُکَاءَ عَلَى الْحُسَیْنِ بْنِ عَلِیٍّ ع فَإِنَّهُ فِیهِ مَأْجُورٌ
Sesungguhnya setiap tangisan dan jeritan itu makruh bagi seseorang kecuali tangisan untuk Husein bin Ali. Karena sesungguhnya ia [tangisan untuk Husein] ada pahalanya.[5]
Jenis duka untuk Imam Husein as dengan duka-duka yang lain begitu berbeda, sehingga jauh-jauh sebelum tragedi Asyura menyampaikan tentang nilainya menangis untuk Imam Husein as dan bersabda:
یا فاطِمَةُ! کُلُّ عَینٍ باکِیَةٌ یَومَ القِیامَةِ إلاّ عَینٌ بَکَت عَلى مُصابِ الحُسَینِ
Hai Fathimah! Setiap mata akan menangis di Hari Kiamat, kecuali mata yang menangis atas musibah-musibah [yang menimpa] Husein.[6]
Faedah Menangis dan berduka untuk Imam Husein as
Ketika menangisi musibah Imam Husein begitu dianjurkan, dan disebutkan betapa besar pahalanya di akhirat; yakni memahamkan kepada kita bahwa amal ini juga memiliki pengaruh dan faedah yang sangat penting di dunia. Salah satu pengaruhnya adalah melewati gerbang gejolak dan masuk menuju lautan pemahaman. Menangis untuk Imam Husein bukan akhir pekerjaan, tapi permulaan untuk memahami. Perasaan yang akan bangkit dan kita dibawa untuk memikirkan. Sebuah pemikiran yang membangun yang terbentuk dari ilham yang berasal dari musibah yang ada.
Risalah menangis untuk Imam Husein adalah menjaga nama, peninggalan dan jalan Imam Husein. Tangisan inilah yang mengajarkan budaya syahadah pada para pecinta jalan Imam Husein, juga yang menjaga darah [perjuangan] Imam Husein.
Menangis untuk Imam Husein pada dasarnya mengenali para pezalim dan despotik dunia. Setelah bertahun-tahun ada saja orang-orang yang melanjutkan jalannya Yazid dan orang-orang seperti Yazid. Menangis untuk Imam Husein menjadikan seseorang terdidik menjadi seorang pejuang. Pejuang yang sungguh-sungguh yang menghadapi kezaliman dan imperialisme sampai akhir hayat dan di jalan menuju pada Allah tidak takut sama sekali pada pezalim. Selain itu, menangis untuk Imam Husein adalah mewariskan kecintaan kepada Imam Husein pada generasi selanjutnya dan mengalihkan budaya Asyura dari generasi ke generasi. Jangan lupa bahwa alat untuk menyampaikan budaya Imam Husein di tangan Sayidah Zainab dan Imam Sajjad adalah tangisan untuk Imam Husein as.
Kesimpulan
Duka memiliki berbagai macam jenis. Tidak semua jenisnya percuma. Tapi salah satu dari empat jenis duka adalah duka yang bagus, yang bisa membuat seseorang berkembang dan menentukan tujuan bagi seseorang. Berduka dan menangis atas musibah yang menimpa Imam Husein merupakan duka yang bagus; selain memiliki pahala akhirat, juga memiliki banyak faedah di dunia.
Mengingat dunia imperialis, para pezalim dan despotik tahu bahwa majlis-majlis duka untuk Imam Husein yang akan menghancurkan pemerintahannya, mereka berusaha menjauhkan para pemuda dari majlis-majlis ini dengan cara menyebarkan keraguan atas duka ini. (Emi Nur Hayati)
[1]. Tuhafful Uqul, hal 358.
[2]. Amali, Syeikh Mufid, hal 338.
[3]. Mustadrak al-Wasa’il, Jilid 10, hal 318.
[4]. Wasail as-Syiah, jilid 13, hal 503.
[5]. Wasail as-Syiah, jilid 13, hal 506.
[6]. Biharul Anwar, jilid 44, hal 293.
Barangkali Punya Nama Lain
Begitu tunggangan Imam Husein as sampai di tanah Karbala, ia tidak lagi mau melangkahkan kakinya. Semakin Imam Husein menggerakkannya untuk berjalan, tetap saja ia tidak mau melangkahkan kakinya. Imam Husein as meminta kendaraan yang lainnya dan menaikinya. Tapi sama, hewan itupun tidak mau bergerak.
Imam Husein mengganti kuda sampai enam kali. Namun tidak satupun dari mereka yang mau melangkahkan kakinya. Imam Husein as menghadap kepada para sahabatnya dan berkata:
“Tanah apakah ini?”
Mereka menjawab, “Ghadhiriyah.”
Imam Husein as berkata, “Barangkali punya nama lainnya.”
Mereka berkata, “Iya. Disebut juga dengan Syathi’ul Furath.”
Imam Husein as berkata, “Apakah punya nama lainnya lagi?”
Mereka menjawab, “Iya. Ia juga disebut Karbala.”
Imam Husein as berkata, “Sekarang aku sudah merasa nyaman.”
Kemudian beliau menghela nafas panjang dan menangis tersedu-sedu, kemudian berkata, “Demi Allah! Inilah tanah karbun wa bala’. Demi Allah! Di sinilah para lelaki kami dibunuh. Demi Allah! Di sinilah para wanita kami akan menjadi janda. Demi Allah! Di sinilah anak-anak kami dipenggal kepalanya. Demi Allah! Di sinilah martabat kehormatan kami dicabik-cabik. Dengan demikian, turunlah hai para kesatria! Di sinilah tempat kuburan kita.”
Kemudian Imam Husein turun dari kendaraannya dan begitu kaki beliau sampai di tanah Karbala, tanah berubah warna menjadi kuning dan debunya terangkat sampai ke rambutnya Imam Husein as. (Maqtal Az Madinah Ta Madinah, Sayid Mohammad Javad Zehni Tehrani, hal 341-342, menukil dari Maqtal Abu Mikhnaf, hal 326-327)
Membeli Tanah Karbala
Ketika Karavan Sayidus Syuhada [Imam Husein] sampai di Karbala. Beliau memanggil para penduduk daerah itu. Beliau membeli tanah untuk tempat kuburannya dan tanah sekitar kuburannya dari penduduk Nainawa dan Ghadhiriyah dengan harga enam puluh ribu dirham. Imam Husein meminta kepada mereka untuk mengarahkan masyarakat ke kuburannya dan menjamu para peziarah kuburan beliau sampai selama tiga hari.
Imam Shadiq as berkata, “Luas tanah yang dibeli untuk kuburan itu empat kali empat mil dan hukumnya halal bagi anak-anak dan para pecinta Imam Husein dan haram bagi yang lainnya. (Maqtal Az Madinah Ta Madinah, Sayid Mohammad Javad Zehni Tehrani, hal 344, menukil dari Kasykul Syeikh Bahai)
Karavan Asyura: Bagaimana Ibnu Ziyad Provokasi Umar bin Saad Perangi Imam Husein as?
Bulan Muharam Tiba dan umat Islam semakin antusias memeringati hari-hari berkabung untuk Imam Husein as dan sahabatnya. Di hari kedua bulan Muharam 61 Hijriah terjadi sejumlah peristiwa terhadap Imam Husein as dan para sahabatnya. Berikut ini kita akan mengetahui satu kejadian lain yang terjadi di hari itu secara ringkas.
Ibnu Ziyad mengumpulkan para pendukungnya. Ia mengatakan, “Wahai masyarakat! Siapa yang siap memerangi Husein bin Ali as dan sebagai gantinya aku akan menjadikannya gubernur di daerah yang diingikannya?”
Semua terdiam. Tidak ada yang berani menjawab tantangan Ibnu Ziyad. Tapi hal itu tidak membuat Ibnu Ziyad kehilangan ide. Ia lalu menatap Umar bin Saad bin Abi Waqqash. Karena beberapa hari lalu ia telah mengeluarkan surat pengangkatannya sebagai gubernur Rey. Ia juga mengeluarkan perintah agar Umar bin Saad memerangi daerah Daylam dan tengah menyiapkan diri dan pasukannya untuk berangkat ke sana.
Dalam kondisi yang demikian, Ibnu Ziyad berkata kepada Umar bin Saad, “Saya ingin engkau pergi memerangi Husein bin Ali as. Setelah masalah ini selesai, engkau bisa pergi menjadi gubernur. Insya Allah!”
Umar bin Saad menjawab, “Wahai Amir! Bila engkau dapat membebaskan aku dari perang melawan Husein bin Ali as, maka tolong lakukan itu!”
Ibnu Ziyad berkata, “Baiklah. Saya membebaskanmu dari tugas ini. Tapi kembalikan surat pengangkatanmu sebagai gubernur dan tinggallah di rumahmu. Setelah itu aku akan mengirim orang lain.”
Umar menyela, “Berikan saya waktu hari ini untuk memikirkan tawaran ini!”
Ibnu Ziyad berkata, “Baiklah, saya memberimu waktu.”
Umar bin Saad kembali ke rumahnya. Ia kemudian bermusyawarah dengan saudara dan orang-orang yang dapat dipercayainya. Tapi semua sama berpendapat, “Takutlah kepada Allah dan jangan lakukan itu!”
Hamzah anak Mughirah bin Syu’bah, keponakannya mendatanginya dan berkata, “Wahai paman! Demi Allah, jangan pergi memerangi Husein bin Ali as. Karena itu berarti engkau bermaksiat kepada Allah dan memutuskan silaturahmi! Apa yang akan engkau lakukan dengan kekuasaan? Takutlah kepada Allah. Jangan sampai di Hari Kiamat engkau menemui Allah Swt dengan darah Husein anak Fathimah.”
Umar bin Saad hanya terdiam. Tapi cinta akan posisi sebagai gubernur Rey telah merebut hatinya. Dini hari, ia menemui Ibnu Ziyad di istananya. Ibnu Ziyad berkata, “Wahai Umar! Apakah engkau sudah mengambil keputusan?”
Umar menjawab, “Wahai Amir! Engkau telah mengangkatku sebagai gubernur dan telah menulis surat pengangkatanku. Rakyat juga telah mengetahui apa yang engkau lakukan. Di kota Kufah ada tokoh-tokoh yang dapat memerangi Husein bin Ali as.”
Setelah itu ia menyebut nama tokoh-tokoh tersebut.
Ubaidillah bin Ziyad berkata kepadanya, “Saya lebih mengenal tokoh-tokoh Kufah daripadamu. Saya hanya menginginkanmu membantuku menyelesaikan masalah ini. Dengan demikian engkau menjadi orang terdekatku. Bila tidak, kembalikan surat pengangkatan dan kembalilah ke rumahmu. Saya tidak memaksamu melakukan hal ini!”
Umar bin Saad untuk kesekian kalinya terdiam.
Ibnu Ziyad berkata, “Wahai anak Saad! Demi Allah, bila engkau tidak segera bergerak menuju Husein as, menjadi komandan pasukan dan membawa sesuatu kepadaku yang membuatnya sedih, maka aku akan memenggal lehermu dan merampas hartamu!”
Umar menjawab, “Dengan bantuan Allah, besok aku akan bergerak menuju Husein as.”
Ibnu Ziyad memberinya banyak hadiah dan menyiapkan 4000 pasukan penunggang kuda lalu berkata, “Pergi dan datangilah Husein bin Ali as.”
Ubaidillah bin Ziyad mengirim Umar bin Saad bin Abi Waqqash dengan 4000 pasukan berkuda menuju Imam Husein as.
Sebelumnya, Ibnu Ziyad telah mengangkat Umar bin Saad sebagai gubernur Rey dan pasukan berkuda itu juga telah disiapkan bersamanya menuju Daylam. Ketika ia memerintahkan Umar bin Saad memerangi Husein as, Umar sempat menolak, tapi Ibnu Ziyad mengancamnya menarik kembali surat pengangkatannya, merampas harta dan memenggal lehernya. Ancaman itu membuat Umar bin Saad menerima perintah memerangi Imam Husein as.
Setelah memutuskan untuk memerangi Imam Husein as, kabilah Umar bin Saad Bani Zuhreh mendatanginya dan berkata, “Demi Allah! Jangan sampai engkau memegang kendali memerangi Husein as. Karena demikian itu memunculkan permusuhan antara kita dan Bani Hasyim!”
Umar bin Saad kembali menemui Ubaidillah bin Ziyad dan meminta agar membebaskannya dari tugas tersebut. Namun Ibnu Ziyad tidak menerima. Akhirnya Umar bin Saad memutuskan untuk berangkat menuju Imam Husein as dan karavannya.
Waktu itu ada 50 orang yang bersama Imam Husein as dan kemudian ada 20 orang dari pasukan Umar bin Saad yang bergabung dengan beliau. Sementara dari keluarga Imam Husein as sendiri ada 19 laki-laki yang berada bersamanya.
Ketika Imam Husein as melihat bahwa Umar bin Saad dan pasukannya ingin memeranginya, beliau berkata, “Wahai kalian semua! Dengarkan! Semoga Allah Swt memberi rahmat kepada kalian! Apa yang kami lakukan terhadap kalian? Wahai warga Kufah! Apa yang ingin kalian lakukan terhadap kami?”
Mereka menjawab, “Kami takut gaji dan hadiah kami diputus.”
Imam Husein as berkata, “Bukankah hadiah kalian dari Allah lebih baik?”
Saya Akan Menunggu Di Sini
Waktu itu setelah Zuhur di musim panas dan suhunya pun sangat panas. Masyarakat yang lewat menyaksikan Rasulullah Saw berdiri di bawah terik matahari dan keringat beliau bercucuran. Kepada Rasulullah Saw mereka bertanya, apa alasan Anda berdiri di bawah terik matahari dan tidak berkutik dari tempat ini?
Rasulullah Saw menjawab, “Saya menunggu seorang lelaki karena ada janjian bertemu dengannya.”
Seorang lelaki yang ada di situ berkata, “Aduh...siapakah lelaki yang tidak tepat janji ini, sehingga membuat repot Rasulullah? Setidaknya Anda agak ke sana sehingga bisa berdiri di bawah naungan korma.”
Rasulullah Saw berkata, “Saya tidak bisa melakukan hal itu, karena kami sepakat bertemu di sini di samping lempengan batu. Saya akan menunggu di sini. Bila ia tidak datang, maka dia yang tidak menepati janji.”
Kesetiaan
Sebelum Rasulullah Saw mencapai posisi kenabian, dalam beberapa waktu beliau menggembala. Ammar Yasir pada masa itu juga sebagai seorang penggembala dan biasanya menggembala bersama-sama. Suatu hari Ammar dan Muhammad Saw janjian bahwa hari berikutnya akan membawa kambing-kambing mereka ke sebuah daerah subur supaya kambing-kambing mereka makan rumput yang bagus.
Hari itu Muhammad Saw menggiring kambing-kambingnya ke tempat itu. Tapi Ammar terlambat datang. Ketika Ammar dan kambing-kambingnya sampai di sana, ia melihat Muhammad sedang berdiri di depan kambing-kambingnya dan melarang mereka dari memakan rumput. Ammar berkata, “Mengapa Engkau tidak mengizinkan kambing-kambingmu makan rumput yang segar?!”
Muhammad Saw menjawab, “Kesepakatan aku dan kamu adalah kita datang bersama-sama di tempat ini. Tapi kamu datang terlambat dan aku tidak ingin kambing-kambingku makan rumput-rumput ini lebih dari kambing-kambingmu.”
Kembalikanlah Kambing-Kambing Itu Kepada Para Pemiliknya
Perang Khaibar berlangsung lama. Bekal kaum Muslimin telah habis. Mereka terpaksa makan daging hewan yang hukumnya makruh. Bahkan sampai ketika benteng Khaibar terbuka pun, masih tidak ada makanan bagi mereka. Dalam kondisi seperti ini datanglah seorang Yahudi yang kerjaannya menggembalakan kambing orang-orang Yahudi Khaibar.
Yahudi ini meminta kepada Rasulullah untuk memberitahukannya tentang hakikat agama Islam. Rasulullah menjelaskan tentang Islam kepadanya. Ia tertarik dengan penjelasan Rasullah dan masuk Islam. Dia berkata, “Kambing-kambing ini adalah milik orang-orang yang berperang melawan Anda. Karena sekarang saya telah menerima agama Islam, maka saya tidak ada tempat di sisi mereka. Oleh karena itu, lebih baik ambillah kambing-kambing ini sebagai ghanimah [rampasan perang].”
Namun Rasulullah Saw berkata, “Dalam ajaran kami, berkhianat dalam amanat adalah dosa besar. Wajib bagimu untuk mengembalikan kambing-kambing ini kepada para pemiliknya, lalu kembalilah kepada kami!”
Kerapian dan Ketertiban (1)
Rasulullah Saw sangat memperhatikan kerapian dan ketertiban. Setiap kali Rasulullah Saw datang ke masjid untuk mengerjakan salat, pertama dengan telaten beliau merapikan dan menertibkan barisan yang ada. Terkait masalah ini ada yang bertanya, dan beliau menjawab, “Hai hamba-hamba Allah yang beriman! Tertibkan barisan kalian! Kalau tidak, maka Allah akan menetapkan perselisihan di antara kalian dan karena ketidaktertiban kalian akan bercerai-berai.
Suatu kali Rasulullah Saw menertibkan barisan para jemaah salat. Ketika mau melakukan takbiratul ihram, beliau tahu ada seseorang yang lebih maju dari yang lain. Beliau menegur lelaki ini agar berdiri tertib supaya ketertiban salat tidak rusak.
Kerapian dan Ketertiban (2)
Sa’ad bin Muadz salah satu sahabat Rasulullah Saw yang setia. Dalam salah satu perang, kakinya terkena anak panah dan berapa hari berikutnya mencapai syahadah. Kaum Muslimin berkumpul di masjid. Rasulullah Saw yang mengimami salat jenazahnya, kemudian menguburkannya.
Rasulullah Saw masuk ke dalam liang lahad dan meletakkan jenazah sahabat setianya. Setelah itu, masyarakat meletakkan batu di atas liang lahad dan Rasulullah menata bau-batu itu dengan rapi di atas kuburannya dan menimbunnya dengan tanah dengan teliti dan rapi. Seseorang merasa takjub menyaksikan ketelitian dan kerapian Rasulullah dan bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah! Semua ketelitian ini untuk apa? Sekarang kita akan menimbun batu-batu ini dengan tanah...!?”
Rasulullah Saw menjawab, “Saya tahu tanah akan menutupi batu-batu ini! Namun Allah menyukai; hamba-Nya yang memulai sebuah pekerjaan dan menyelesaikannya dengan teliti dan telaten.”
Berharap Pada Rahmat Allah
Dikabarkan kepada Rasulullah Saw bahwa salah seorang muslim sakit parah sehingga ia tidak punya harapan untuk hidup. Rasulullah Saw berencana untuk menjenguknya. Oleh karena itu, beliau pergi ke rumahnya bersama beberapa orang sahabat. Orang ini tidak jelas apa penyakitnya. Dengan suara yang sangat pelan yang hampir tidak bisa didengar, ia berkata, “Wahai Rasulullah! Sebab semua kesusahan dan penyakit ini adalah aku meminta kepada Allah agar menyiksaku di dunia ini supaya dosa-dosaku bersih, kemudian aku pergi menemui-Nya. Sekarang Allah telah mengabulkan doaku dan telah memberikan penyakit ini kepadaku supaya hambanya bersih dari dosa.”
Rasulullah tidak senang mendengar ucapan lelaki ini dan berkata, “Bila Allah ingin menyiksa hamba-Nya di dunia untuk setiap dosanya, maka yakinlah bahwa penyakitmu yang parah ini tidak akan ada apa-apanya di hadapan siksa itu.”
Kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Adapun kewajiban kita adalah berharap pada rahmat Allah dan senantiasa berdoa kepada-Nya agar mengampuni kesalahan-kesalahan kita. Dan menjaga kita di jalan yang lurus. Inilah rahasia keselamatan hamba. Kita harus senantiasa mengucapkan, “Rabbana Atina Fiddunya Hasanah Wa Fil Akhirati Hasanah Wa Qina Adzabannar...Ya Allah! Berikanlah kebaikan dunia dan akhirat untuk kami dan selamatkanlah kami dari siksa neraka jahannam.
Disebutkan bahwa lelaki tersebut mengamalkan anjuran Rasulullah ini dan dengan takjub dia selamat dari penyakitnya. (Emi Nur Hayati)
Sumber: “Sad Pand va Hekayat” Nabi Muhammad Saw.
Karavan Asyura: Aku Tidak Akan Memulai Perang!
Bulan Muharam Tiba dan umat Islam semakin antusias memeringati hari-hari berkabung untuk Imam Husein as dan sahabatnya. Sebagai kelanjutan pembahasan sebelumnya, kita akan mengenal sejumlah peristiwa yang terjadi pada Imam Husein as dan para sahabatnya di hari pertama bulan Muharam 61 Hijriah Qamariah.
Ketika waktu Subuh tiba, karavan Imam Husein as melaksanakan salat berjamaah dan setelah itu mereka bergerak. Sementara Hurr dan pasukannya mendatangi mereka lalu berusaha menggiring mereka ke arah Kufah, tapi Imam Husein as menolak. Zuheir bin Qein berkata, “Tuanku, kita berperang melawan mereka dengan pasukan sedikit. Mengalahkan mereka sangat mudah.”
Imam Husein as menjawab, “Saya tidak akan pernah memulai perang.”
Pada hari itu datang utusan dari Kufah. Sementara karavan Imam Husein as tengah menuju Nainawa karena dipaksa Hurr. Ternyata utusan itu dikirim oleh Ubaidullah yang membawa pesan buat Hurr. Pesan itu berisikan perintah agar memaksa Husein berbaiat dan bila tidak dilakukan, paksa ia dan karavannya ke daerah tanpa air, rumput, rumah dan tempat berlindung hingga datang perintah selanjutnya.
Hurr ar-Riyahi memberitahukan Imam Husein as akan isi surat yang dibawa utusan tersebut.
Imam berkata, “Biarkan kami di desa ini dan tinggal di sini!”
Hurr menjawab, “Orang yang diutus Ubaidillah adalah seorang mata-mata dan tengah mengawasi apa yang kulakukan. Tolong jangan meminta itu dari saya.”
Imam dan karavannya kemudian berangkat dan sampai di lembah tanpa air dan rumput.
Kuda Imam Husein as berhenti. Beliau lalu bertanya, “Tempat apakah ini?”
Zuheir berkata, “Tempat ini punya banyak nama. Ada yang menyebutnya Aqr dan nama lainnya adalah Karbala.”
Imam Husein as berkata, “Hentikan karavan di sini dan pasang kemah-kemah kalian. Aku mengenal daerah ini. Ketika aku bersama ayahku ke Shiffin, beliau beristirahat di sini. Ketika terbangun dari tidurnya, beliau berkata, “Aku bermimpi lembah ini penuh dengan darah dan Husein bergelimangan darah di sana.”
Syeikh Abbas al-Qommi dalam buku Malhuf mengutip:
Di hari kedua Muharam tahun 61 HQ, Imam Husein as tiba di Karbala dan ketika tiba di sana, beliau bertanya, “Apa nama tempat ini?”
Ada yang menjawab, “Mereka menamakan tempat ini Karbala.”
Ketika mendengar nama Karbala, beliau berkata, “Allahumma Inni A’udzubika min al-Karb wa al-Bala’”. Ya Allah, aku berlindung dari kesedihan dan cobaan.
Setelah itu beliau berkata, “Ini adalah tempat kesedihan dan cobaan. Turunlah di sini. Karena di sini tempat persinggahan dan tenda-tenda kita. Daerah ini tempat mengalirnya darah kita. Ini adalah tempat kuburan kita.”[1]
Kedatangan karavan Imam Husein as di Karbala adalah hari kedua bulan Muharam 61 Hq. Setelah hari ini, kondisi menjadi sangat sulit dan setiap hari blokade pasukan Kufah semakin ketat dan jumlah mereka semakin bertambah, sehingga Imam Husein as menilai perang pasti terjadi.[2]
Peran dan Risalah Wanita; Hubungan Wanita dan Pria (2)
Melihat Non Mahram; Sebuah Transaksi Penuh Kerugian
Bila Islam dengan tegas mengatakan, tundukkanlah pandangan kalian, jangan melihat non mahram, kepada wanita dikatakan dalam bentuk tertentu dan kepada lelaki dikatakan dalam bentuk yang lain, tujuannya; ketika mata tertuju pada arah tertentu, maka bagian yang menjadi saham seseorang katakanlah istri kalian, akan tertuju ke sana. Nah, baik kalian sebagai lelaki maupun kalian sebagai wanita; tidak ada bedanya. Sebagian telah tertuju ke sana. Ketika yang bagian sini kalian kurangi, maka kasih sayang akan melemah. Ketika kasih sayang melemah, maka pilar-pilar rumah tangga akan goyah. Maka apa yang kalian perlukan pada saat itu akan hilang dan apa yang merugikan kalian, kalian anggap telah kalian dapatkan. (Pidato dalam khotbah akad nikah, 17/ 2/ 1375)
Islam Menentang Kebebasan Seksual
Prinsip pergaulan wanita dan pria dalam pandangan Islam adalah Islam benar-benar menentang fahsya (perbuatan keji), kefasadan seksual dan kebebasan tanpa aturan yang di dunia masa kini hal itu disebut dengan kebebasan seksual. Bila wanita dan pria sibuk dengan kelezaatan seksual di luar lingkungan rumah tangga, di lingkungan sosial, pendidikan, pekerjaan dan lingkungan ilegal, maka kerugian terbesar yang akan diwujudkan adalah kehancuran dan terputusnya ikatan kuat antara wanita dan pria, dan antara keluarga. (khotbah shalat Jumat Tehran, 18, 7, 1365)
Bukti Ketakwaan; Menjaga Batas-Batas Interaksi
Yang paling tampak dari manifestasi ketakwaan adalah menjaga batas-batas dan aturan ilahi terkait masalah seksual dan hubungan wanita dan pria. Jagalah ketakwaan dalam masalah ini dan pasti Allah akan memberikan pahala yang besar bagi orang-orang yang berusaha dan berjuang di jalan ini. (khotbah shalat Jumat, 10/5/1365)
Batas-Batas yang Ditentukan Dalam Islam Terkait Pergaulan Wanita dan Pria
Batas wanita dan pria dalam Islam sudah ditentukan. Wanita dan pria jangan bercampur dan jangan bergaul antara wanita dan pria non mahram. Jangan memandang secara tajam wajah ke wajah. Jangan memandang disertai syahwat. Nah, siapa yang bilang, jangan mengucapkan “Labbaika” secara bersamaan di Mekah, misalnya. Tidak masalah wanita mengucapkan “Labbaikallahuma Labbaik” juga lelaki secara bersamaan. (Jawaban atas sebuah pertanyaan, 11/3/1360)
Ketakwaan Terkait Hubungan Wanita dan Pria
Saya menghimbau kepada semua saudari dan saudara, para wanita dan pria di Tehran dan yang ada di berbagai kota dalam negeri untuk menjaga ketakwaan ilahi terkait masalah hubungan wanita dan pria dan masalah-masalah yang mendekatkan mereka pada fahsya (perbuatan keji) dan kefasadan. Hati-hatilah, jangan sampai melanggar batas-batas yang ditentukan Islam. Hati-hatilah, jangan sampai bakteri kefasadan masuk kembali ke dalam hati masyarakat yang sehat. Hati-hatilah musuh-musuh kita yang telah melarikan diri karena perjuangan keras kita di bidang politik dan militer dan mereka terpaksa melarikan diri, jangan sampai mereka kembali lagi ke surga Republik Islam dan masuk dengan tipu dayanya. (khutbah shalat Jumat, 14/10/ 1360)
Batas Pergaulan Wanita dan Pria Dalam Islam
Bila kita menginginkan fahsya (perbuatan keji) dan kefasadan seksual jangan sampai menyebar di tengah-tengah masyarakat, maka pencegahan lebih baik daripada penyembuhan. Dan pencegahan yang paling baik adalah mewujudkan batasan-batasan dalam hubungan antara wanita dan pria. Tentunya bukan bermakna wanita tidak bekerja, wanita tidak berkarier, bukan bermakna wanita tidak belajar, atau wanita tidak beraktivitas dalam masyarakat atau tidak muncul di gang dan pasar. Tidak. Wanita bisa ikut berpartisipasi di kancah sosial, belajar, mengajar, berdagang, bekerja di kantor, bekerja sebagai buruh. Wanita juga bisa melakukan semua aktivitas sosial, politik dan perjuangan yang dilakukan oleh pria di tengah-tengah masyarakat. Tentunya dengan hijab. Pergaulan wanita dan pria dalam Islam, kita katakan tidak dilarang, tapi dibatasi dengan batasan tertentu. (pidato dalam pertemuan dengan sekelompok perawat, 15/10/1365)
Pemisahan Dua Jenis: Ciri Khas Budaya Asli Barat dan Timur
Masalah wanita dan pria, sebagaimana yang kalian lihat di dunia selain Barat saat ini adalah terpengaruh dari Barat. Bahkan di kebanyakan negara-negara Barat juga demikian, yakni masalah kebebasan tanpa aturan dan semacamnya, sebenarnya bukan bagian dari budaya Barat yang asli. Dalam budaya Barat yang asli, ibaratnya sama sebagaimana yang ada dalam Islam. Sementara yang ada saat ini yakni tidak adanya pemisahan antara dua jenis sebenarnya sebagian karena penyimpangan mereka dari ajaran Kristen, sebagian karena masalah sejarah dan geografi dan daerah tempat tinggal.
Selain di Barat, di mana saja kalian lihat di dunia ini, ada yang namanya pemisahan antara dua jenis dan saling menjauhnya antara dua jenis wanita dan pria. Ini bukan khusus pada Islam saja. Hanya saja dalam Islam ditentukan dalam batasan tertentu. Di mana-mana hal seperti ini ada. Di mana saja ada, dalam bentuk tertentu. Di dalam Islam juga dalam bentuk tertentu sebagaimana yang kita ketahui. Yang kita sebut dengan “mahram dan non mahram”.
Ini bukan bermakna tidak masuknya salah satu jenis ke tempat yang dihadiri oleh jenis lain. Bukan bermakna tidak adanya kontak antara mereka. Bukan bermakna tidak adanya kerja sama antara mereka. Tapi bermakna khusus dimana kalian mengetahuinya dalam ajaran suci Islam; yakni bisa diartikan “segala yang menyebabkan fitnah seksual”. Inilah parameter yang telah ditetapkan dalam ajaran suci Islam. Fitnah seksual benar-benar fitnah yang buruk dan membahayakan. Penyebab penderitaan umat manusia. Bukan hanya khusus satu negara, dua negara, dunia bagian sini atau dunia bagaian sana. Di mana saja, dalam tingkatan apa saja, bila wanita dan pria terjangkit fitnah ini maka akan menyebabkan kesesatan, kelalaian dan ketergelinciran mereka. Ajaran Islam menetapkan untuk memberantas keburukan ini. inilah caranya. Oleh karena itu kalian akan menyaksikan bahwa kebersamaan wanita dan pria non mahram -bahkan di dalam kamar berduaan saja- hukumnya akan haram dan hukumnya akan makruh; di sini sama sekali tidak menyebutkan syarat misalnya dengan syarat melihat, atau dengan syarat tidak melihat, atau dengan syarat baju mereka demikian. Tidak. Lihatlah isyarat pada hal ini. Padahal bila wanita dan pria ini juga ketika di gang atau di tempat lain, tidak ada orang tapi tempat itu tidak tertutup, bukan tempat yang terkunci, dan keduanya juga bersamaan, keberadaan mereka berdua tidak masalah. Berbicara dan berbincang-bincang berdua. (Dalam pertemuan bersama anggota kelompok Enthebagh-e Pezeshki Ba Mavazin-e Shariy, 16/8/1374) (Emi Nur Hayati)
Sumber: Naghs wa Resalat-e Zan I, Ifaf wa Hejab Dar Sabke Zendegi-e Irani-Eslami
Bargerefteh az bayanat-e Ayatullah al-Udhma Khamenei, Rahbare Moazzam-e Enghelab-e Eslami
Karavan Asyura: Aku Tidak Takut Mati Dalam Kebenaran!
Bulan Muharam Tiba dan umat Islam semakin antusias memeringati hari-hari berkabung untuk Imam Husein as dan sahabatnya. Berikut ini dua peristiwa di hari pertama dan kedua bulan Muharam tahun 61 Hijriah Qamariah yang terjadi pada Imam Husein as dan para sahabatnya.
Bertemu dengan pasukan Hurr ar-Riyahi
Imam Husein as di hari pertama bulan Muharam bertemu dengan pasukan Hurr ar-Riyahi. Beliau memberi minum pasukan Hurr hingga kenyang.
Diriwayatkan bahwa tampaknya pada awal Muharam karavan Imam Husein as bergerak dan pagi harinya beliau memerintahkan para sahabatnya untuk memenuhi semua tempat air lalu bergerak. Tiba-tiba seorang sahabatnya mengucapkan takbir dengan nada tinggi dan mengatakan ada kebun korma terlihat dari jauh.
Imam Husein bertanya, “Apa yang engkau lihat?”
Sebagian berkata, “Yang engkau lihat bukan kebun korma. Telinga kuda terlihat sedemikian rupa menyerupai pohon korma.”
Mereka semakin dekat dan ternyata jumlah mereka ada 1000 pasukan penunggang kuda yang dipimpin oleh Hurr. Mereka datang dengan perintah Ubaidullah bin Ziyad.
Imam Husein as berkata kepada para sahabatnya, “Jamu dan beri minum mereka yang haus.”[1]
Hingga hari kedua bulan Muharam, Hurr memaksa Imam Husein as dan karavannya untuk dibawa ke Kufah. Imam Husein as dan Hurr terlibat dialog. Ketima tiba waktu salat, Imam Husein as melaksanakan salat dan pasukan Hurr menjadi makmum beliau.
Setelah menunaikan salat Zuhur dan Asar, Imam Husein as bangkit dan berkhotbah menasihati mereka. Sementara Hurr tetap bersikeras dengan sikapnya menurut perintah yang disampaikan kepadanya, Imam Husein as tidak menerima keinginannya.
Hurr berkata kepada Imam Husein as, “Bila engkau tetap menolak dan bersikeras dengan sikapmu, engkau dan mereka yang bersamamu akan terbunuh.”
Dalam kondisi itu, Imam Husein as mengutip puisi dari sahabatnya dan berkata, “Engkau menakut-nakutiku dengan kematian? Ksatria tidak takut mati. Apalagi bila harapannya adalah kebenaran, ingin membela kebenaran dan berjihad...”
Ketika Hurr mendengar syair itu, ia minggir dan bergerak bersama pasukannya. Imam Husein as dan karavannya juga bergerak hingga tiba di tempat pemberhentian bernama Bidhah.
Demi menyempurnakan hujjahnya, Imam Husein as berkhutbah dan menjelaskan tujuannya. Sambil mengutip sabda Rasulullah Saw yang berkata, “Barangsiapa yang memandang penguasa zalim yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan membatalkan janjinya, maka wajib bagi umat Islam untuk bangkit memrotesnya.”[2]
Dalam perjalanan ketika Imam Husein as berangkat dari Mekah pada hari kedelapan bulan Dzulhijjah hingga tiba di Karbala, beliau banyak bertemu dengan orang-orang dan pelbagai karavan.
Salah satunya adalah pertemuan dengan Abdurrahman Hurr. Imam Husein as memintanya agar bergabung dengan karavan Karbala, tapi ia menolak. Namun menawarkan kudanya untuk dipakai Imam Husein as.
Imam Husein as menolak tawaran itu.
Di akhir waktu malam, beliau meminta para pemuda untuk mengisi tempat-tempat air. Setelah itu beliau mememerintahkan karavan untuk berangkat dari tempat peristirahatan Qashr bani Muqatil. Mereka bergerak, sementara Imam Husein as sempat tertidur di atas kudanya dan kemudian terbangun. Beliau berkata, “Innaa Lillaahi wa Innaa Illaihi Raaji’uun. Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.” Beliau dua atau tiga kali mengulangi ucapan tersebut.
Ali Akbar, anak Imam Husein as menemui ayahnya dan bertanya tentang maksud dari apa yang dikatakannya.
Imam Husein as menjawab, “Anakku! Saya melihat di alam mimpi ada seorang penunggang kuda berkata kematian mendatangi anggota karavan dan anggota karavan bergerak cepat menuju kematian.”
Ali Akbar bertanya, “Wahai ayah! Apakah kita berada pada kebenaran?”
Imam Husein as menjawab, “Anakku! Kita dalam kebenaran dan kembalinya semua manusia kepada Allah.”
Ali Akbar berkata, “Wahai ayah! Kalau begitu kita tidak takut bila haus mati dalam kebenaran.”
Imam Husein as begitu gembira mendengar ucapan anaknya dan mendoakannya.[3]
Ketika Subuh tiba, anggota karavan menunaikan salat Subuh dan kemudian mulai bergerak. (Saleh Lapadi)
[1]. Al-Irsyad, Syeikh Mufid, cet 1, Qom, Alul Bait, 1414 HQ, jilid 2, hal 77-78.
[2]. Ibid, hal 82.
[3]. Ibid, jilid 2, hal 83-84.
Anak-Anak Sayidah Fathimah (1)
Hasan dan Husein, anak-anak Sayidah Fathimah sedang bermain gulat di hadapan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw tersenyum menyaksikan kegembiraan dua anak ini dan terus-terusan mengatakan, “Hai Hasan! Bangkitlah...bagus! Jatuhkan saudaramu dan kalahkan dia!
Dengan heran Sayidah Fathimah berkata, “Wahai ayah! Saya heran, mengapa Anda menyemangati Hasan, padahal Husein lebih kecil dan lebih membutuhkan dukungan?!”
Rasulullah Saw berkata, “Putriku! Malaikat Jibril sedang menyemangati Husein. Oleh karena itulah aku harus menyemangati Hasan!”
Anak-Anak Sayidah Fathimah (2)
Sayidah Fathimah sangat memerhatikan permainan anak-anaknya. Itulah mengapa selalu membarengi anak-anaknya bermain, meski punya banyak masalah. Supaya potensi mereka berkembang. Selain itu beliau juga memerhatikan poin-poin penting pendidikan.
Dikatakan bahwa ketika Sayidah Fathimah bermain dengan anak sulungnya; Hasan as, beliau mengangkat dengan kedua tangannya dan melemparkannya ke atas kemudian menangkapnya lagi sambil berkata, “Wahai Hasan! Jadilah seperti ayahmu! Jauhkan akar kezaliman dari kebenaran! Sembahlah Allah yang memiliki segala nikmat! Jangan berteman dengan orang-orang yang berhati kotor!”
Ketika bermain dengan Husein, Sayidah Fathimah berkata, “Wahai Husein! Engkau mirip ayahku dan tidak mirip Ali!” *
Sayidina Ali pun gembira dan tertawa mendengar ucapan ini.
* Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Imam Hasan as adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah Saw. Dengan demikian, boleh jadi dengan ucapan ini Sayidah Fathimah ingin bercanda dengan anak-anak dan suaminya.
Minimal Kalian Sedikit Bersabar
Rasulullah Saw meninggal dunia dan kepalanya berada di pangkuan Sayidina Ali. Sayidah Fathimah, Hasan dan Husein menangis atas perpisahan ini. Sayidah Fathimah yang selama ini telah menanggung segala kesulitan dan kesengsaraan, kini sedang merasakan semua kesedihan dunia telah memberati hatinya.
Ketika keluarga ini sedang berduka dan Sayidina Ali sedang menyiapkan pemakanan Rasulullah Saw, ada kabar bahwa sekelompok muslim sedang berkumpul di sebuah tempat bernama Saqifah Bani Saidah untuk menentukan siapa pengganti Rasulullah.
Tidak lama kemudian ada kabar bahwa orang-orang Muslim itu telah memilih Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah.
Mendengar kabar ini hati Sayidah Zahra terasa hancur. Kabar yang sulit dipercaya. Sayidah Fathimah bergumam, “Bukankah ayahku telah memilih Ali sebagai penggantinya? Bukankah penetapan Ali sebagai penggantinya atas perintah Allah sejak di hari ketika mulai menyampaikan dakwah di tengah-tengah keluarga dan para pembesar Quraisy? Bukankah Rasulullah berkali-kali menyampaikan tentang kemuliaan suamiku Ali? Bukankah Rasulullah telah mengumumkan tentang Ali sebagai penggantinya di Haji Wada’ dan Ghadir Khum di tengah-tengah kehadiran kaum Muslimin?
Sudahkah masyarakat melupakannya? Secepat inikah mereka melupakan kenangan kehadiran ayahku di antara mereka?
Kemudian Sayidah Fathimah teringat ucapan terakhir ayahnya yang menyampaikan dengan tangisan dan kekecewaan yang bersabda, “Sepeninggalku, engkau akan menghadapi berbagai musibah dari tangan masyarakat ini yang sampai saat ini belum pernah ada orang yang mengalaminya...”
Sayidah Fathimah di Medan Perang
Pada tahun kelima Hijriah, atas usulan Salman Farsi untuk mencegah serangan musuh, Rasulullah Saw memerintahkan kaum Muslimin untuk menggali sebuah parit [Khandaq] di sekeliling kota dan memenuhinya dengan air. Rasulullah Saw sendiri juga ikut serta menggali parit ini.
Selama melakukan penggalian Khandaq, kondisi kaum Muslimin sangat sulit dan terkadang harus menahan lapar karena tidak punya makanan untuk dimakan.
Suatu hari Sayidah Fathimah pergi ke medan perang untuk mengetahui kabar dan kondisi ayahnya. Rasulullah Saw takjub ketika melihat putrinya dan berkata, “Putriku! Ada apa engkau di sini? Seharusnya sekarang engkau berada di sisi anak-anakmu?!”
Sayidah Fathimah mengeluarkan sepotong roti yang dibawanya seraya berkata, “Saya telah membuat sedikit roti untuk anak-anak. Namun saya tidak tega bila Anda tidak memakan roti ini. Karena saya tahu Anda pasti lapar. Saya membawa sedikit dari roti itu untuk Anda.”
Rasulullah Saw bersabda, “Putriku! Sepotong roti yang engkau bawa untukku ini adalah makanan pertama kali yang aku masukkan ke mulutku setelah tiga hari.”
Kemudian Rasulullah Saw mendoakannya dan kembalilah Sayidah Fathimah ke rumahnya.
Fahimah yang Berusia Sepuluh Tahun
Ketika perang Uhud, Sayidah Fathimah berusia sepuluh tahun. Setelah perang berakhir, Sayidah Fathimah yang sangat merindukan ayahnya, dengan susah payah pergi menjenguk ayahnya di medan perang yang berjarak beberapa kilometer dari Madinah.
Dalam perang ini Rasulullah Saw mengalami banyak luka di badannya. Sayidah Fathimah membersihkan wajah ayahnya dengan air yang dibawanya dan mengobati luka-luka yang ada.
Rasulullah yang saat itu merasa gembira karena pertemuannya dengan putrinya, memberikan pedang Sayidina Ali kepadanya dan bersabda, “Putriku! Bersihkan juga pedang ini. Suamimu telah memenuhi hak pedang ini dengan baik.”
Aku Ingin Berbicara Denganmu
Hai Ali! Detik-detik perpisahan sudah dekat. Aku ingin berbicara denganmu. Ali merasa bahwa bumi yang dipijaknya sedang bergetar. Karena dia tahu, sebentar lagi bakal sendirian. Oleh karena itu, meminta agar mereka berduaan saja. Kemudian beliau duduk di sisi istrinya dan dengan penuh kasih sayang berkata, “Fathimah sayang! Sampaikan saja apa yang ingin engkau katakan dan saya akan mendengarkannya dengan baik.”
Sayidah Fathimah berkata, “Wahai anak pamanku! Selama kita hidup bersama, aku tidak pernah membangkangmu dan sama sekali aku tidak pernah berbohong dan berkhianat padamu.”
Dengan penuh kasih sayang Sayidina Ali berkata, “Engkau lebih bertakwa dan lebih tawadhu. Sehingga tidak layak bagiku untuk menyalahkanmu. Oh! Perpisahan dan jauh darimu akan sulit bagiku. Dengan kepergianmu kenangan kematian Rasulullah Saw kembali terbayang bagiku. Kehilangan dirimu, sulit bagiku dan menyedihkan. Aku berlindung kepada Allah atas kedukaan ini dan kuserahkan hatiku pada-Nya. Musibah kematianmu; tidak ada sesuatu yang bisa menebusnya...”
Setelah perpisahan yang pahit ini, Sayidina Ali meletakkan kepala Sayidah Fathimah di dadanya dan keduanya menangis tersedu-sedu. (Emi Nur Hayati)
Sumber: Sad Pand va Hekayat; Sayidah Fathimah Zahra as
Pengakuan Muawiyah
Seorang miskin datang kepada Imam Hasan as dan meminta bantuan kepadanya. Imam Hasan senantiasa lebih dahulu dari yang lain dalam membantu orang-orang yang membutuhkan. Namun kali ini beliau melihat sebaiknya lelaki miskin ini diutus menghadap Muawiyah yang menjadi khalifah di masa itu.
Imam Hasan kepada lelaki itu berkata, “Bila engkau mau, aku utus engkau menghadap khalifah supaya mendapatkan hadiah yang bagus.”
Lelaki itu berkata, “Bagaimana caranya?”
Imam Hasan berkata, “Anak perempuan khalifah baru saja meninggal dunia. Pergilah kepadanya dan aku akan mengajarimu sebuah ucapan. Katakan padanya..., maka engkau akan menyaksikan dia akan memberikan bantuan yang cukup lumayan untukmu...”
Setelah mendengar ucapan Imam Hasan, lelaki itu pergi menemui khalifah. Syukur kepada Allah, anak perempuan telah bersembunyi di bawah tanah di bawah naunganmu. Karena bila engkau lebih dahulu meninggal dunia, maka anakmu akan terlantar dan boleh jadi orang-orang yang menginginkan keburukannya akan menghinanya.”
Sejenak khalifah memandang lelaki itu dan memikirkan makna ucapannya. Kemudian tersenyum dan berkata, “Hai lelaki! apakah kata-kata yang indah ini dari dirimu dan engkau ingin menenangkan hatiku?!
Lelaki itu berkata, “Tidak. Ini adalah ucapan yang diajarkan Hasan bin Ali kepadaku.”
Muawiyah berkata, “Engkau benar. Ucapan ini darinya. Dia adalah sumbernya kata-kata yang indah dan penuh makna.”
Kemudian memerintahkan untuk memberikan uang yang banyak kepada lelaki tersebut.
Engkau Menginterogasiku?!
Abu Said ‘Aqisha salah seorang sahabat Imam Hasan menemui beliau pasca perdamaian dengan Muawiyah dan berkata, “Wahai putra Rasulullah! Mengapa Engkau berdamai denga Muawiyah, padahal kebenaran ada padamu?”
Imam Hasan menjawab, “Hai Abu Said! Apakah aku bukan hujjah Allah atas makhluknya?!”
Abu Said berkata, “Iya”.
Imam Hasan berkata, “Bukankah Rasulullah Saw bersabda tentang aku dan saudaraku Husein bahwa “Hasan dan Husein; keduanya adalah Imam, baik dia bangkit atau tidak bangkit?!”
Abu Said berkata, “Iya, Wahai Putra Rasulullah!”
Imam Hasan berkata, “Untuk itu, saat ini saya adalah Imam dan pemimpin, baik saya bangkit atau tidak. Hai Abu Said! Alasan perdamaianku dengan Muawiyah, sama seperti alasan yang dimiliki oleh Rasulullah Saw ketika berdamai dengan kabilah Bani Dhumrah dan Bani Asyja’. Pada waktu itu warga Mekah meminta agar berdami dengan dua kabilah ini. Saat ini mereka meminta kepada saya untuk tidak mengajak mereka berperang. Hai Abu Said! Ketika saya dipilih oleh Allah sebagai imamnya masyarakat, jangan sampai mempertanyakanku tentang keputusan yang kuambil. Meski sebab keputusan yang kuambil tidak jelas. Apakah engaku melupakan kisah Khidhir ketika kapal itu dilubangi, ketika anak lelaki itu dibunuh dan ketika dinding itu diperbaiki? Musa protes kepadanya. Karena ia tidak tahu apa sebabnya. Ketika ia memahami sebab perbuatan yang dilakukan Khidhir. Ia rela. Sekarang perbuatanku juga demikian. Karena engkau tidak tahu rahasianya, engkau memprotes. Engkau tidak tahu; bila aku tidak melakukan hal ini, maka tidak satu orang pun dari para pengikutku akan tetap hidup.”
Perdamaian Rasulullah dengan kabilah Bani Dhumrah dan Bani Asyja’ dikenal dengan “Shulh Hudaibiyah”. Perdamaian ini terjadi karena begitu pasukan muslimin berhadap-hadapan dengan dua kabilah ini langsung terjadi gerhana matahari. Karena masyarakat ingin mencari kesempatan untuk mengundurkan diri dari perang, kepada Rasulullah Saw mereka berkata, “Gerhana matahari adalah bukti ketidakrelaan Tuhan atas perang ini. Namun dengan segala usaha yang dilakukan oleh Rasulullah, masyarakat tetap tidak mau. Akhirnya Rasulullah terpaksa menulis perjanjian perdamaian dan tidak jadi perang.
Aku Lebih Layak Darimu!
Pasca perjanjian damai ditandatangani, Muawiyah datang ke Kufah untuk mengetahui kondisi kota ini dari dekat. Dia datang dengan gembira dan sombong karena berhasil membuat Imam Hasan menyerah padanya. Ia masuk ke dalam masjid dan berbicara di depan masyarakat. Namun Imam Hasan as mendahuluinya dan naik ke atas mimbar dan berpidato:
“Hai orang-orang! Muawiyah beranggapan bahwa aku menilainya layak menjadi seorang khalifah dan aku sendiri tidak layak dalam hal ini. Namun anggapan dia ini adalah salah. Saya lebih layak dari yang lain untuk memimpin masyarakat; di dalam kitab Allah maupun dari mulut Rasulullah. Demi Allah! Bila kalian berbaiat kepada saya dan tidak membiarkan saya sendirian, maka langit akan menurunkan air hujan dan bumi akan memberikan keberkahannya pada kalian. Hai Muawiyah! Seandainya saya engkau tidak rakus pada kekuasaan. Padahal Rasulullah Saw bersabda, “Bila seseorang mengambil kekuasaan atas masyarakat, sementara ada yang lebih pandai darinya di tengah-tengah masyarakat, maka ia akan menyeret urusan masyarakat itu pada kehinaan, sampai pada batas kembali menyembah sapi...”
Tidak ada Kebaikan Padamu
Suatu Hari Muawiyah kepada Imam Hasan berkata, “Hai Hasan! Engkau menyaksikan bahwa aku lebih baik darimu!”
Imam Hasan berkata, “Bagaimana mungkin engkau mengasa khayalan salah ini pada benakmu?!
Muawiyah berkata, “Karena masyarakat telah mengelilingiku, sementara tidak ada seorangpun di sisimu.”
Imam Hasan berkata, “Sungguh engkau salah anggapan, wahai putra pemakan hati! Mereka yang mengelilingimu; yang menaatimu dan yang terpaksa. Mereka yang menaatimu adalah yang membangkan Allah. Sementara mereka yang terpaksa, oleh kitab Allah akan dimaafkan. Selain itu, jangan sampai terjadi; kukatakan bahwa aku lebih baik darimu. Karena tidak ada kebaikan padamu. Allah telah membersihkanku dari segala jenis kotoran, sebagaimana Allah telah menjauhkanmu dari segala keutamaan!” (Emi Nur Hayati)
Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Hasan as



























