کمالوندی
Ibadah karena terbiasa, atau karena Tuhan?
Nilai ibadah ada pada niat dan ketulusan pelakunya, yang mana amal ibadah itu dilakukan untuk mencari keridhaan Tuhan. Pelaku ibadah ini adalah hamba tertinggi di mata Tuhan.
Imam Ali as berkata bahwa hamba Allah ada tiga macam: hamba yang bagaikan budak, bagai pedagang, dan hamba yang bebas. Hamba yang seperti budak, menyembah Tuhan karena takut siksaan-Nya; hamba yang bagai pedagang, menyembah karena mengharap ganjaran dan balasan yang menguntungkannya; hamba yang bebas menyembah Tuhan karena Tuhan layak dan patut disembah.
Tidak ada salahnya jika kita menghamba seperti budak atau pedagang. Namun jika kita telusuri, menghamba sebagai orang yang bebas adalah makna hakiki penghambaan. Sedangkan hamba-hamba yang seperti budak atau pedagang, meskipun tak menutup kemungkinan ibadah mereka benar dan diterima, mereka tidak sepenuhnya beribadah. Karena mereka tidak beribadah sepenuhnya untuk mengharap keridhaan Allah swt semata, akan tetapi karena faktor-faktor yang non-Ilahi lainnya.
Faktor-faktor non-Ilahi tersebut yang dapat kita lihat dengan mudah, seperti yang telah disinggung, misalnya: takut api neraka, mengharapkan surga, dan lain sebagainya.
Sedangkan ada faktor-faktor lain yang cukup susah dilihat, yaitu faktor “kebiasaan”. Lihatlah contoh berikut ini:
Seseorang mulanya menekuni shalat berjama’ah di awal waktu. Ia benar-benar menikmati nilai spiritual dalam amal ibadah tersebut. Setiap kali ia menemukan halangan untuk shalat berjamaah di awal waktu, ia selalu berusaha menerjang halangan tersebut untuk tetap bisa shalat seperti biasanya. Lambat laun, ia mulai kehilangan arti amal ibadah yang ia lakukan. Sedikit demi sedikit, ia kurang bisa memaknai shalat jamaa’ah di awal waktu; namun ritual tersebut terus dijalankan. Suatu saat, ia berhalangan untuk melakukan “kebiasaan” tersebut, ia mulai gelisah seakan bakal ada masalah yang sangat besar jika sekalipun ia meninggalkan kebiasaannya. Ia bergegas menuju shalat berjamaah di awal waktu. Ia tidak bisa meninggalkannya.
Jika ingin dinilai, benar secara fisik amal perbuatannya, yakni shalat jamaah di awal waktu, benar dan sah, dan bahkan itu lah yang dianjurkan oleh Islam. Namun dari sisi psikis, ia menderita kegelisahan. Kegelisahan yang dihasilkan oleh hilangnya arti perbuatan yang terbiasa dilakukannya, entah apapun itu faktornya. Ia gelisah jika amal itu tidak sempat dilakukan sekali saja. Jika ternyata suatu saat amal itu tertinggalkan dengan tidak sengaja, begitu dahsyat ia merasa berdosa. Namun perlu diingat, kegelisahan yang ia rasakan tidak berkaitan dengan Tuhan, namun berkaitan dengan dirinya sendiri, dosa terhadap dirinya sendiri.
Seorang hamba yang sepenuhnya beribadah untuk Tuhan, kegelisahan dan penderitaan jiwa yang ia rasakan dikarenakan perasaannya di hadapan Tuhan, bukan di hadapan dirinya sendiri dan kebiasaannya.
Dengan demikian, dalam contoh di atas, orang tersebut bukan termasuk orang yang menghamba hanya untuk Allah semata (kecuali jika ia tidak kehilangan makna ibadahnya). Namun “diri” nya yang telah menjadi faktor non-Ilahi yang ikut campur dalam ibadahnya.
“Kebiasaan” ini hanyalah satu dari sekian banyak faktor lain yang mungkin dapat ikut serta dalam niat kita beribadah. Kita dapat merenungi faktor-faktor lain tersebut, mengenalinya, dan menyikapi dengan benar. Oleh karena hal ini Islam begitu mementingkan “tafakur”, yakni berhening, merenung, berfikir; bukan hanya memfokuskan diri pada ritual-ritual amal ibadah. Sebagaimana hadits yang berbunyi: “Berfikir sesaat (bertafakur) lebih baik dari beribadah satu tahun.”
Mengapa Al-Qur’an mewajibkan puasa?
Di dalam al-Quran, penjelasan mengenai hukum puasa Ramadhan terangkum dalam beberapa ayat dalam surah al-Baqarah, adapun ayat-ayat dalam surah lainnya semata menjelaskan mengenai pembagian puasa yang telah disyariatkan dalam Islam.
Ayat-ayat yang menunjukkan akan puasa Ramadhan seluruhnya terdapat dalam surah al-Baqarah, setidaknya ada tiga ayat yang berbicara mengenai ibadah agung ini yang letaknya saling berdampingan. Dalam tulisan singkat ini, kami mencoba menyoroti ketiga ayat tersebut:
Ayat pertama:
یا ایها الذین آمنوا کتب علیکم الصیام کما کتب علی الذین من قبلکم لعلکم تتقون
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183)
Menurut pandangan para ahli tafsir dan ululmul qur’an, ayat-ayat yang permulaannya menggunakan frasa “Wahai orang-orang yang beriman” diturunkan di kota Madinah dan surahnya dikatagorikan sebagai surah Madaniah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kewajiban puasa —sebagaimana kewajiban zakat dan berjihad—disyariatkan pada tahun kedua Hijriah.
Ayat di atas dengan jelas menyampaikan kepada kaum beriman akan kewajiban lain yang harus mereka tunaikan yang termaksud salah satu ibadah terpenting dalam agama Islam, kewajiban tersebut tidak lain ialah puasa di bulan Ramadhan. Ayat ini diawali dengan seruan “Wahai orang-orang yang beriman” yang bertujuan melunakkan hati kaum muslimin sehingga mereka dengan mudah dapat menerima syariat baru tersebut. Dalam hal ini Imam Jakfar as-Shadiq as mengatakan bahwa indahnya seruan ini telah menghilangkan kesukaran dalam menjalankan perintah puasa.
Selanjutnya ayat di atas menyebutkan bahwa ibadah puasa bukan hanya diwajibkan bagi umat masa ini, akan tetapi ia juga telah diwajibkan bagi umat-umat terdahulu, hal ini disampaikan salahsatunya juga dalam rangka menghilangkan kesukaran dalam hati kaum muslimin dalam melaksanakan ibadah puasa,
Berdasarkan penelitian, terbukti bahwa ritual puasa telah ada dalam tradisi umat-umat terdahulu bahkan pada umat penyembah berhala sekalipun, mereka melakukan puasa guna mendekatkan diri kepada berhala-berhala, dan hingga saat ini pun, ritual tersebut masih dapat kita saksikan dalam ritual orang-orang Hindu yang melakukan puasa pada waktu-waktu tertentu.
Ritual puasa juga terdapat dalam syariat umat Yahudi, Nashrani dan Shabiin, hal ini dapat kita saksikan dan Injil yang ada saat ini yang mendeskripsikan puasa sebagai amalan yang terpuji seraya mengabarkan akan puasa yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Isa as. Adapun dalam al-Quran, kita dapat temukan ayat yang menceritakan akan nadzar sayyidah Maryam yang dilakukannya dengan berpuasa.“Jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”.” (Q.S. Maryam: 26)
Tentunya puasa yang dilakukan Maryam as adalah berdiam diri atau puasa dari berbicara dengan orang lain, dimana amalan ini merupakan salah satu dari bentuk puasa. Adapun puasa yang dilakukan oleh nabi Musa dan Isa as adalah puasa sebagaimana yang umumnya difahami, yaitu menahan dari dari makan, minum dan sesuatu yang membatalkan.
Di akhir ayat, dengan isyarah pendek Allah Swt menjelaskan falsafah disyariatkannya puasa, yaitu guna meraih ketakwaan. Yaitu dengan menahan dari dari sebagain kenikmatan jasmani demi melaksanakan perintah Ilahi, seorang telah melatih dirinya untuk munundukkan hawa nafsunya. Latihan ini dilakukan selama satu bulan sehingga berpotensi menumbuhkan ketakwaan dalam dirinya yang akan menjadikannya mampu dengan mudah meninggalkan perbuatan dosa, memakan dan melanggar hak orang lain kendati perbuatan itu sejalan dengan kepentingannya. Dengannya ia memiliki power guna mengotrol hawa nafsunya sehingga tunduk di bawah kendalinya dan bergerak sesuai perintah Allah Swt
Ayat kedua:
«ایاما معدودات فمن کان منکم مریضا او علی سفر فعده من ایام اخر و علی الذین یطیقونه فدیه طعام مسکین فمن تطوع خیرا فهو خیر له و ان تصوموا خیر لکم ان کنتم تعلمون.
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 184)
Setelah menjelaskan mengenai hukum dan falsafah puasa, pada bagian selanjutnya, Allah Swt menyampaikan beberapa aturan ibadah puasa yang dengannya dapat meringankan beban umat dalam menjalankan ibadah tersebut, di antaranya ialah:
1. Puasa yang diwajiban bagi kaum muslimin bukanlah puasa sepanjang tahun, akan tetapi puasa itu hanya diwajibkan dalam beberapa hari.
2. Puasa tidak diwajibkan bagi mereka yang sakit atau dalam perjalanan (musafir), bagi mereka yang berhalangan, hendaknya mengqadha puasa mereka pada hari-hari lainnya di luar bulan Ramadhan.
3. Bagi mereka yang tidak mampu melakukan puasa, baik mereka yang sakit, orang tua, ibu hamil dan menyusui, maka mereka tidak lagi diwajibkan berpuasa, dan sebagai gantinya mereka harus membayar fidyah atau kafarah. Kadar satu fidyah ialah memberi makan seorang fakir miskin hingga ia merasa kenyang untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan, namun jika seorang hendak membayar fidyah lebih dari kadar yang ditentukan, maka akan menjadi lebih baik.
Pada bagian akhir ayat, Allah kembali mengingatkan bahwa ibadah puasa banyak mengandung manfaat dan kebaikan bagi manusia, sehingga seandainya seorang mengetahuinya, maka ia tidak akan meninggalkan atau merasa berat melakukannya, bahkan sebaliknya ia akan menjalankannya dengan antusias dan penuh ketulusan.
Ayat ketiga:
شهر رمضان الذی انزل فیه القرآن هدی للناس و بینات من الهدی و الفرقان فمن شهد منکم الشهر فلیصمه و من کان مریضا او علی سفر فعده من ایام اخر یدید الله بکم الیسر و لا یرید بکم العسر و لتکلموا العده و لتکبرو الله علی ما هدکم و لعلکم تشکرون.
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S. al-Baqarah: 185)
Ayat ini memberikan batasan bahwa beberapa hari yang diwajibkan puasa adalah hari-hari pada bulan Ramadhan, bulan yang mulia dan penuh berkah karena di bulan ini lah kitab suci al-Quran telah diturunkan, kitab yang menjadi sumber hidayah bagi seluruh umat manusia. Dengannya, manusia dapat berjalan di jalan yang lurus hingga mampu menggapai hakikat dan kebahagiaan. Sungguh bulan ini memiliki banyak keutamaan yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya.
Di akhir ayat ini, Allah Swt kembali menegaskan bahwa disyariatkannya puasa bukanlah untuk memberatkan manusia, namun dikarenakan manfaat besar yang terkandung di dalamnnya, sesunguhnya Allah menginginkan kemudahan bagi mereka. Oleh karenanya ada tiga hal yang hendaknya dilakukan seorang mukmin:
1. Hendaknya ia menyempurnakan hari-hari Ramadhan dengan puasa, namun jika ia sakit atau dalam perjalanan, maka hendaknya ia berbuka dan mengqadha puasanya di hari-hari lain.
2. Dikarenakan petunjuk yang telah diberikan Allah Swt kepadanya, maka hendaknya seorang mukmin mengumandangkan takbir kepada-Nya.
Kemungkinan yang dimaksud takbir di sini adalah takbir yang diucapkan saat shalat Iedul Fitri atau saat shalat sunnah yang dilakukan setelah shalat-shalat wajib di hari raya tersebut.
3. Seorang mukmin hendaknya selalu bersyukur kepada Allah Swt atas segala nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya, khususnya nikmat disyariatkannya puasa Ramadhan yang sarat dengan kemuliaan dan keagungan.
Bersyukur kepada Allah swt
Menyatakan syukur dengan perbuatan merupakan syukur sempurna dan yang terbaik dalam menyatakan syukur kepada Allah Swt. Syukur seperti ini merupakan hasil dari dua tingkatan syukur yang terbetik dalam hati dan terucap dalam lisan. Dengan kata lain, tatkala manusia, dengan perantara hatinya memahami kenikmatan sebuah anugerah dan menyatakannya dengan lisan maka ia telah bersyukur kepada sang Pemberi Nikmat. Tentu saja sudah pada tempatnya dan selayaknya apabila ia juga menampakan rasa syukur itu pada tataran perbuatan. Karena itu, orang yang benar-benar bersyukur akan menggunakan segala nikmat Ilahi untuk memperoleh keridhaan dan tujuan Sang Pemberi nikmat (Mun’im) serta senantiasa tahu dengan baik bagaimana menggunakan segala nikmat itu supaya tidak tergolong sebagai orang-orang yang mengkufuri nikmat-nikmat Allah Swt.
Imam Shadiq As bersabda, “Mensyukuri nikmat dilakukan dengan menjauhi perbuatan-perbuatan haram dan keseluruhan rasa bersyukur itu tatkala seseorang berkata, “Segala puji bagi Allah Swt Tuhan seru sekalian alam.”[1]
Secara pasti maksud dari ucapan “Alhamdulillah” bukanlah semata-mata lipstik dan penghias bibir saja melainkan bersumber dari kedalaman hati dan lubuk jiwa. Alangkah banyaknya orang yang menyatakan syukur kepada Allah dengan lisan namun kufur dalam perbuatan. Karena itu, tatkala Allah Swt berfirman: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Qs. Saba [34]:13) sejatinya tengah menyoroti dan menekankan pernyataan syukur dengan perbuatan.[2]
Apa pun yang diupayakan dan diusahakan manusia untuk menunaikan syukur secara sempurna pada hakikatnya ia tidak akan mampu melakukan hal itu. Karena itu, bagian syukur yang terbaik adalah mengakui secara totalitas atas ketidakmampuan dan ketidakberdayaan dalam menunaikan kesyukuran dan membenarkan bahwa taufik untuk bersyukur itu sendiri merupakan salah satu nikmat Ilahi.[3]
Adapun syukur yang dinyatakan dengan perbuatan memiliki beberapa contoh yang akan dijelaskan sebagai berikut sebagai contoh dengan bersandar pada beberapa riwayat:
Sujud syukur, melaksanakan salat syukur dan berbuat baik merupakan beberapa contoh dari syukur yang dinyatakan dengan perbuatan.
[4]
Diriwayatkan bahwa “Tatkala Rasulullah Saw mengalami kegembiraan atau bahkan kerisauan maka Rasulullah Saw melakukan sujud untuk menyatakan syukur kepada Allah Swt.”
[5]
Memaafkan dan melupakan (kesalahan) sebagai bentuk kesyukuran atas kemenangan melawan musuh. Tindakan memaafkan seperti ini merupakan salah satu contoh bentuk syukur yang dinyatakan dalam perbuatan sebagaimana Amirul Mukminin Ali As bersabda, “Tatkala engkau mengalahkan musuhmu maka jadikanlah maaf sebagai tanda syukurmu atas kemenangan ini.”
[6]
Menginfakkan sebagian harta di jalan Allah Swt merupakan salah satu contoh dari pernyataan syukur dengan perbuatan. Imam Ali As bersabda, “Sebaik-baik syukur atas nikmat-nikmat yang diperoleh adalah menginfakkanya.”
[7]
Ibadah dan bermunajat di hadapan Allah Swt juga merupakan salah satu cara untuk menyatakan syukur kepada Allah Swt dengan perbuatan sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Ali As bahwa ibadah dengan motivasi syukur dinyatakan sebagai ibadahnya orang-orang merdeka dan sebaik-baik amalan.”
[8]
Mengajarkan ilmu kepada orang lain dan beramal atasnya; syukur atas nikmat ilmu yang dianugerahkan Allah Swt kepada alam semesta. Amirul Mukminin Ali As dalam hal ini bersabda, “Pernyataan syukur seorang alim atas ilmu yang diperoleh adalah mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.”
[9]
Pernyataan syukur yang dilakukan oleh para hamba itu berbeda-beda sesuai dengan kedudukan dan stratanya sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ali As dalam sebuah hadis singkat, “Pernyataan syukur kepada Tuhanmu adalah senantiasa engkau memuji-Nya, syukur kepada atasan kalian adalah engkau senantisa berlaku jujur, syukur kepada sesama adalah menunaikan persaudaraan dengan baik, syukur kepada bawahan adalah tidak mempersulitnya.”[10]
CATATAN:
[1] Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, al-Kāfi, Riset dan edit oleh, Ghaffari, Ali Akbar & Akhundi, Muhammad, jil. 2, hal. 95, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Keempat, 1407 H.
«شُكْرُ النِّعْمَةِ اجْتِنَابُ الْمَحَارِمِ، وَ تَمَامُ الشُّكْرِ قَوْلُ الرَّجُلِ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ»
[2] Qarasyi, Sayid Ali Akbar, Qāmus Qur’ān, jil. 4, hal. 63, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Keenam, 1371 S.
[3] Gulistane, Sayid ‘Alauddin Muhammad, Minhāj al-Yaqin (Syarh Nāme Imām Shādiq As be Syia’ayān, Surat Imam Shadiq kepada Kaum Syiah), Riset dan edit oleh Shahfi, Mujtaba, Shadrai Khui, Ali, hal. 54, Dar al-Hadits, Qum, Cetakan Pertama, 1429 H.
[4] Ibid.
[5] Allamah Hilli, Hasan bin Yusuf, Nahj al-Haq wa Kasyf al-Shidq, hal. 432, Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut, Cetakan Pertama, 1982 M.
[6] Hurr Amili, Muhammad bin Hasan, Wasāil al-Syi’ah, jil. 12, hal. 171, Muassasah Alu al-Bait As, Qum, Cetakan Pertama, 1409 H.
«اِذا قَدَرْتَ عَلى عَدُوِّكَ فَاجْعَلِ الْعَفْوَ عَنْهُ شُكْراً لِلْقُدْرَةِ عَلَيْهِ»
[7] Tamimi Amadi, Abdul-Wahid bin Muhammad, Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim, Riset dan edit oleh Rajai, Sayid Mahdi, hal. 195, Dar al-Kitab al-Islami, Qum, Cetakan Kedua, 1410 H.
«اَحْسَنُ شُكْرِ النِّعَمِ اَلانعامُ بِها»
[8] Ibnu Syu’bah al-Harrani, Hasan bin Ali, Tuhaf al-‘Uqul ‘an Āli al-Rasul (Shallallahu ‘alaihi wa Alihi wa al-Salam), Riset dan edit oleh, Ghaffari, Ali Akbar, hal. 246, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Kedua, 1404 H.
.«اِنَّ قَوْمَاً عَبَدوُهُ شُكْرَاً فَتِلْكَ عِبادَةُ الاحْرارِ وَ هِيَ أَفْضَلُ الْعِبَادَةِ.»
[9] Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim, hal. 407.
Keutamaan Solat Awal Waktu
Sholat adalah salah satu dari rukun-rukun islam yang sangat ditekankan kepada seluruh ummat islam untuk menjalankannya bahkan anjuran dari nabi besar Muhammad saw untuk tidak meninggalkannya, karena seluruh perbuatan baik dan buruk tergantung pada yang satu ini.
Sholat adalah salah satu dari rukun-rukun islam yang sangat ditekankan kepada seluruh ummat islam untuk menjalankannya bahkan anjuran dari nabi besar Muhammad saw untuk tidak meninggalkannya, karena seluruh perbuatan baik dan buruk tergantung pada yang satu ini. Jika sholat kita baik maka seluruh perbuatan kita juga akan baik, karena sholat yang kita lakukan setiap hari sebanyak lima waktu itu subuh, dzuhur, asar, magrib dan isya akan mencegah kita dari perbuatan jelek, namun sebaliknya jika kita mendirikan sholat dan masih juga melakukan hal yang tidak terpuji maka kita harus kembali pada diri kita masing-masing dan mengkoreksi kembali apakah sholat yang kita dirikan itu benar-benar sudah memenuhi syarat atau ketika kita mendirikannya, benak dan pikiran kita masih dikuasai atau diganggu oleh pikiran-pikiran selain Allah. Itu semua perlu juga kita perhatikan.
Sholat di awal waktu dalam pandangan Alquran
Allah swt berfirman: Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa [152]. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. [1]
[152] Shalat wusthaa ialah shalat yang di tengah-tengah dan yang paling utama. ada yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan Shalat wusthaa ialah shalat Ashar. menurut kebanyakan ahli hadits, ayat Ini menekankan agar semua shalat itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Dan ada yang mengatakan bahwa sholat wusthaa itu adalah sholat dzuhur.
Imam Shadiq as bersabda:
امتحنوا شيعتنا عند مواقيت الصلاة كيف محافظتهم عليها [2]
Ujilah syiah kami ketika datang waktu sholat, bagaimana mereka menjaga waktu sholat.
Allah swt juga berfirman: “Celaka bagi orang-orang yang mendirikan sholat, yang mana mereka mendirikannya secara lalai.[3] Berkenaan dengan ayat ini, Imam Shadiq as ditanya, beliau menjawab: “Yang dimaksud dengan ayat ini adalah orang yang melalaikan sholatnya, dan ia tidak mendirikannya di awal waktu tanpa ada halangan (uzur).[4]
Keutamaan sholat di awal waktu dalam pandangan riwayat
Imam Bagir as bersabda:
اعلم ان اول الوقت ابدا افضل فتعجل الخيرابدا ما استطعت
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya awal waktu itu adalah sebuah keutamaan, oleh karena itu laksanakanlah secepatnya pekerjaan baikmu selagi kamu mampu,.”[5]
Imam Shodiq as bersabda:
لفضل الوقت الاول على الاخير خير من ولده وماله
“Sesungguhnya keutamaan yang ada di awal waktu dibandingkan akhirnya lebih baik bagi seorang mukmin dari anak-anaknya dan hartanya.”[6]
Beliau juga dalam haditsnya yang lain bersabda:
فضل الوقت الاول على الاخير كفضل الآخرة على النيا
“Keutamaan awal waktu atas akhirnya sebagaimana keutamaan akherat terhadap dunia.”[7]
Imam Musa bin Jakfar as bersabda:
“Sholat-sholat wajib yang dilaksanakan pada awal waktu, dan syarat-syaratnya dijaga, hal ini lebih wangi dari bunga melati yang baru dipetik dari tangkainya, dari sisi kesucian, keharuman dan kesegaran. Dengan demikian maka berbahagialah bagi kalian yang melaksanakan perintah shalat di awal waktu.”[8]
Imam Shadiq as bersabda:
“Seorang yang mengaku dirinya haq (Syiah) dapat diketahui dengan tiga perkara, tiga perkara itu adalah: 1. Dengan penolongnya, siapakah mereka. 2. Dengan sholatnya, bagaimana dan kapan ia melaksanakannya. 3. Jika ia memiliki kekayaan, ia akan teliti dimana dan kapan akan ia keluarkan.[9]
Sholat di awal waktu cermin kesuksesan ruhani
Diantara salah satu rahasia penting sholat di awal waktu adalah keteraturan hidup dengan tolak ukur agama dan tidak lalai kepada tuhan. Adapun orang yang mendirikan sholat, namun tidak terikat dengan awal waktu, dasar tolak ukur hidup mereka adalah ditentukan oleh permasalahan selain tuhan, dan ketika masuk waktu sholat, mereka mendirikannya, namun terkadang di awal waktu, pertengahan dan atau diakhirnya, permasalahan ini sudah sangat merendahkan dan meremehkan sholat itu sendiri sebagai tiang dan pondasi agama bahkan merupakan rukun islam bagi setiap muslim, dan dengan demikian seseorang akan merasa bahwa setiap permasalahan duniawi yang datang, akan lebih ia dahulukan ketimbang mengerjakan sholat, seperti contoh: Di tengah pekerjaan, makanan sudah dihidangkan, dikarenakan teman atau tamu yang bertandang kerumah dan lain sebagainya dari permasalahan dunia yang menyebabkan kita lalai dan tidak mengerjakannya di awal waktu. Hal semacam ini adalah sebuah kejangkaan dan tidak komitmen terhadap urusan agama.
Adapun orang yang terikat -dengan urusan agama- mereka mendirikan sholat di awal waktu. Tolak ukur kehidupan mereka, mereka susun sesuai dengan tolak ukur yang sudah ditentukan oleh Ilahi. Dalam artian bahwa setiap pekerjaan telah disusun sedemikian rupa sehingga ketika datang waktu sholat, mereka tidak disibukkan dengan pekerjaan yang lain selain ibadah sholat. Dan perhatikanlah jika menjanjikan sasuatu jangan mendekati waktu sholat, dan jika hendak menyantap makan siang atau malam, hendaknya tidak pada waktu sholat, dan jika hendak mengundang tamu atau berpergian untuk tamasya, hendaknya disusun sesuai dengan waktu sholat. Dengan demikian ia telah menunjukkan bahwa untuknya agama dan sholat adalah segala-galanya. Permasalahan inilah yang memiliki pengaruh yang sangat dalam untuk membentuk jiwa seorang insan menuju kesempurnaan.
Sholat di awal waktu adalah rumus untuk dapat menguasai jiwa, hawa nafsu dan pikiran serta menentang keinginan syahwat, karena dengan cara mengatur waktu dan janji yang kuat, seorang manusia seiring dengan berjalannya waktu dapat menemukan dan berhadapan dengan berbagai ragam hawa nafsu. Ketika keragaman seperti makan, istirahat, rekreasi dan pekerjaan menghadang, yang mana seseorang berkeinginan untuk melakukannya, namun dikarenakan waktu sholat telah tiba, hal itu dikesampingkan demi beribadah kepada Tuhannya (sholat), hal yang demikianlah yang disebut dengan tegarnya jiwa dan kuatnya iman.
Seorang yang ingin mendirikan sholatnya di awal waktu, tentu telah mengatur jadwal kehidupannya, misalnya: untuk dapat sukses melaksanakan sholat subuh di awal waktu, dia akan tidur lebih awal dan meninggalkan sebagian menu(kegiatan) yang menyebabkan ia begadang malam, karena hal itu bertentangan dengan keterjagaan di awal waktu. Di lain hal kita mengetahui bahwa bangun diwaktu(azan) subuh itu memiliki banyak barakah dari sisi kejiwaan dan bahkan dari sisi materi.
Nah yang terpenting sekarang adalah kita harus mementingkan peranan sholat dalam diri kita, dan mulailah sejak saat ini mengambilnya sebagai rancangan yang mau tidak mau harus kita mulai dan kita kerjakan walaupun terkadang sering kali dalam memulainya kita ketinggalan untuk mengerjakan sholat itu di awal waktu, namun secepatnya kita mendirikannya. Bukan sebaliknya kemudian kita menaruhnya di akhir waktu, sehingga dengan cara ini, secara perlahan hal tersebut akan menjadi adat bagi kita untuk menjalankannya secara mudah dan tidak merasa beban. Dan ketika itulah sholat seseorang akan berbentur dengan keharuman dan kesucain yang luar biasa.
Dan Jika Tidak Sampai Laknatlah Aku
Almarhum Alamah Thabatabai dan Ayatullah Bahjat menukil dari almarhum Qadhi ra, ketika itu beliau berkata: “Kalau saja seorang yang mendirikan sholat wajibnya pada awal waktu dan ia tidak sampai pada jenjang yang tinggi (dari sisi keruhaniannya), maka laknatlah aku!.”(dalam naskah lain beliau berkata: “ …maka ludahilah wajahku!”).
Awal waktu adalah rahasia yang sangat agung, karena firman allah swt yang berbunyi “ حافظوا على الصلوات Peliharalah segala sholatmu…”, adalah salah satu poros dan sebagai pusat, dan selain itu juga terdapat firman Allah yang lain yang berbunyi “ واقيموا الصلاة Dan dirikanlah sholat…”, seorang insan yang mementingkan dan mengikat dirinya untuk mendirikan sholat di awal waktu, pada dasarnya itu adalah baik, dan memiliki pengaruh yang sangat besar dan positif untuk dirinya, walau tanpa dihadiri dengan sepenuh hati.[10]
Dari mana engkau dapatkan kedudukan ini
Mullah Mahdi Naroki yang sangat melatih dirinya dengan sifat-sifat baik seperti wara, kesucian, kesehatan, ketakwaan dan lain-lainnya, sehingga dengan itu semua beliau berhasil dapat melihat dengan mata akherat, berkata: “Pada hari raya, saya pergi berziarah ke tempat pemakaman, dan saya berdiri ke sebuah makam dan kepadanya saya katakan: “Adakah hadiah yang dapat engaku berikan padaku di hari raya ini?”.
Malam harinya ketika saya beranjak tidur, dalam mimpi, saya melihat seseorang yang wajahnya indah dan bercahaya datang menghampiriku, dan berkata: “Datanglah esok hari ke makamku, akan aku berikan sesuatu kepadamu sebagai hadiah di hari raya”. Keesokan harinya aku datang kepemakaman yang diisyaratkan oleh mimpiku itu. Sesampainya aku di sana, tiba-tiba tersingkaplah alam barzah untukku. Ketika itu tampaklah sebuah taman yang indah dan sangat menakjubkan, di dalamnya ada sebuah pintu dan pepohonan yang sebelumnya tidak pernah seorang pun melihatnya, tapi aku dapat temukan di sana. Di tengahnya terdapat sebuah istana yang sangat megah berdiri kokoh. Kemudian saya diajak memasuki ke ruangan dalam istana, ketika aku masuk, aku melihat seseorang yang duduk penuh dengan keagungan di atas singgasana yang bertahtakan intan permata. Kepadanya aku katakan: “Dari golongan manakah engkau?. Ia menjawab: “Aku dari golongan orang-orang yang beribadah. Kemudian aku tanyakan kembali: “Dari manakah engkau dapatkan kedudukan ini?. Ia berkata: “Pekerjaan yang sehat, dan sholat berjamaah diawal waktu.[11]
Perjalanan Ahlul Bait as dalam Sholat di Awal Waktu
1. Sholat Awal Waktu pada Perang Shiffiin (Shofain)
Dalam cuaca panas peperangan Shiffin, ketika imam Ali as sedang sibuk-sibuknya berperang, Ibnu Abbas ra melihat beliau yang sedang berada di tengah dua barisan perang itu, secara tiba-tiba menegadahkan wajahnya ke arah matahari, ia bertanya: “Wahai imam, Ya Amirul Mukminin, untuk apa hal itu engkau lakukan?. Beliau menjawab: “Aku melihatnya karena ingin memastikan apakah sudah masuk waktu sholat dzuhur, sehingga kita mendirikannya?. Kemudian Ibnu Abbas berkata: “Apakah sekarang ini saatnya untuk mendirikan sholat?. Peperangan telah menghalangi kita untuk mendirikan sholat, imam menjawab: “Untuk apa kita berperang melawan mereka?, Bukankah kita berperang dengan mereka supaya kita dapat mendirikan sholat?, hanya karena sholat kita berperang melawan mereka. Setelah itu perawi berkata: “Imam Ali sama sekali tidak pernah meninggalkan sholat malamnya walaupun pada malam “Lailatul Harrir” [12] (Lailatul Harrir adalah sebuah malam yang sangat genting dimana pasukan Imam Ali dan Muawiah (laknat Allah kepadanya) meneruskan perang mereka sampai pagi.)
2. Sholat Terakhir Imam Husain as
Siang hari dari sepuluh Muharram yang dikenal dengan hari Asyura, keadaan yang begitu menyengat karena teriknya matahari, dan cuaca yang panas dengan peperangan yang tidak seimbang sedang terjadi di tanah Karbala, salah seorang dari pembela Sayyidus Syuhada Imam Husain as bernama Abu Tsamamah Asshoidi kepada Imam berkata: “Wahai Aba Abdillah (Lakqab panggilan Imam Husain as), jiwaku aku korbankan untukmu, saya lihat para musuhmu ini sudah dekat denganmu, aku bersumpah demi Allah sungguh engkau tidak akan terbunuh, kecuali dengan seizin Allah aku kobankan dulu nyawaku, namun aku akan senang sekali menemui Tuhanku dalam keadaan aku telah menjalankan tugasku yaitu mendirikan sholat yang sekarang ini sudah saatnya melakukankan sholat dzuhur.
Seketika Imam Sayyidus Syuhada menengadahkan wajah suci beliau kearah langit dan melihat matahari (yang sudah condong) kemudian bersabda: “Engkau ingat akan sholat!, Semoga Allah swt menjadikan engkau termasuk orang-orang yang selalu ingat akan mendirikan sholat. Ya sekarang ini saatnya mendirikan sholat di awal waktu, mintalah dari mereka waktu sesaat untuk mengangkat senjata sehingga kita dapat mendirikan sholat. Seketika itu seorang yang terlaknat bernama Hashin bin Tamim berkata: “Sholat yang kalian dirikan tidak akan diterima., Kemudian perkataan itu dijawab oleh Habib bin Madzohir, dikatakan padanya: “Wahai peminum arak, kau pikir sholat yang didirikan oleh keluarga rasulullah saww tidak diterima Allah swt, sedangkan sholat yang kau dirikan diterima!, jangan kira begitu”.
Kemudian Imam Husain as mendirikan Sholat Khauf bersama segelintir para pembela beliau yang tersisa.[13]
Perjalanan Imam Khomaini dalam mendirikan sholat di awal waktu
Dalam sebuah media penerbitan yang menukil perkataan salah seorang dari putra Imam yang menceritakan bahwa: “Hari pertama kali Muhammad Reza Syah pergi, saat itu kami berada di kota Novel Losyatu. Hampir tiga atau empat ratus wartawan berkumpul mengelilingi rumah Imam, sebuah ranjang kecil disiapkan, dan Imam berdiri di atasnya. Seluruh kamera yang ada aktif mengontrol seluruh ruangan. Dan sesuai perjanjian setiap orang dari mereka melontarkan satu pertanyaan, setelah dua tiga pertanyaan, tiba-tiba suara azan terdengar, tanpa ada aba-aba Imam langsung meningalkan ruangan dan berkata: “Saat fadhilahnya (waktu yang diutamakan) melaksanakan sholat dzuhur”. Semua orang yang hadir merasa heran dan takjub karena Imam meninggalkan ruangan begitu saja. Kemudian ada seseorang yang memohon kepada beliau untuk sedikit bersabar sampai minimalnya empat atau lima pertanyaan yang akan disampaikan beberapa wartawan, kemudian Imam dengan marahnya berkata: “Tidak bisa sama sekali” dan pergi meninggalkan ruangan.[14]
Imam Khomaini ra sampai akhir hayatnya, selalu merasa khawatir untuk tidak dapat menjalankan sholatnya di awal waktu, walaupun ketika beliau dirawat di rumah sakit. Dinukil dari Syekh Ansori ketika datang menjenguk beliau yang sedang dirawat, berkata: “Apakah engkau hendak mendirikan sholat?, kemudian beliau menggerakkan tangannya dan kami pun sadar bahwa beliau sedang beribadah sholat.[15]
Semua yang aku miliki dari menjalankan sholat di awal waktu
Hujjatul Islam Haji Hasyimi Nejad berkata: “Tempo lalu ada orang tua yang datang ke sebuah masjid bernama Loleh Zar pada bulan Ramadhan, ia termasuk seorang yang sukses di zaman itu, dan sebelum azan dikumandangkan ia selalu hadir di dalam masjid.
Kepadanya aku katakan: “Haji Fulan, saya lihat engkau termasuk orang yang sangat sukses, karena setiap hari saya datang ke masjid ini, pasti engkau lebih dahulu datang dariku dan mengambil tempat di salah satu bagian masjid. Ia menjawab: “Sebenarnya, semua yang aku miliki ini, karena sholat yang aku dirikan di awal waktu. Kemudian setelah itu ia meneruskan perkataannya: “Pada masa mudaku, aku pergi ke Masyhad dan aku berjumpa dengan Almarhum Haji Syekh Hasan Ali Bagceh-i, aku katakan padanya: “Aku memiliki tiga keinginan, dan aku ingin Allah memberikan ketiganya di masa mudaku, bisakah engkau mengajarkan sesuatu sehingga aku dapat mencapai semua keinginanku tadi.
Kemudian beliau bertanya, “Apa yang engkau inginkan; , aku katakan padanya: “Aku ingin di masa mudaku, aku bisa mengamalkan ibadah haji, karena ibadah haji di masa muda memiliki kelezatan tersendiri”.
Lalu ia berkata: “Sholatlah di awal waktu dan berjamaah”.
Dan kembali aku katakan: “Keinginanku yang kedua adalah aku ingin Tuhan memberikanku istri yang baik dan sholehah”.
Beliau pun menjawab: “Sholatlah di awal waktu dan berjamaah”.
Keinginanku yang terakhir aku katakan: “Aku ingin Allah memberikanku sebuah pekerjaan yang terhormat”.
Kemudian beliau menjawab sama seperti jawaban yang pertama dan kedua: “Sholatlah di awal waktu dan berjamaah”.
Setelah itu aku mulai jalankan amalan yang diajarkan Syekh itu kepadaku, dan dalam jangka waktu tiga tahun, Allah memberikan aku jalan untuk dapat menjalankan ibadah haji, dan mendapatkan istri yang mukminah dan sholehah dan memebrikan padaku sebuah pekerjaan yang mulia.[16]
[]
Referensi
(1) Surah Albaqarah ayat 238.
(2) Biharul Anwar jilid 80 hal: 23, dinukil dari kitab Qurbul isnad.
(3) Surah almaaun ayat 3-4.
(4) Biharul Anwar jilid 80 hal: 6.
(5) Idem dinukil dari kitab Asrar
(6) Idem hal: 12, dari kitab Qurbul Isnad.
(7) Idem dari kitab Tsawabul ‘Amaal.
(8) Idem hal: 18-20, dinukil dari kitab Tsawabul ‘Amaal dan Almahasin
(9) Idem.
(10) Dar Mahzare Digaran, hal, 99.
(11) Qeseha-e Namaz, hal: 92
(12) Biharul Anwar, jilid 80 hal: 23 dinukil dari Irsyadul Qulub, Dailami.
(13) Nafsul Mahmum, hal: 164.
(14) Simo-e Farzonegan, hal: 159.
(15) Dostonho-e Namaz, hal: 87. kemudian dikatakan bahwa Imam Khomaini setelah itu berkata: “Panggil perempuan-perempuan itu, ada sesuatu yang ingin aku katakan pada mereka”. Ketika mereka datang, beliau berkata: “Jalan, jalan yang sangat sulit dan meletihkan, kemudian beliau mengulangi perkataan beliau dan berkata: “janganlah kalian berbuat dosa”.
(16) Idem.
Apa yang kita tanam pasti akan berbuah kemudian
Dahulu, Lukman al-Hakim adalah budak seseorang. Tuannya adalah seorang manusia yang baik dan termasuk orang yang meyakini Allah, akan tetapi sayangnya tuannya itu seorang yang lalai. Ketika malam hari, semua manusia pergi ke tempat tidurnya. Begitu juga dengan Lukman al-Hakim, namun kemudian dia bangun dari tidurnya untuk mengerjakan shalat malam. Lukman al-Hakim merasa heran kepada tuannya yang mengaku beriman kepada Allah namun tidak terlihat tanda-tanda hendak bangun untuk mengerjakan shalat malam. Lukman pun pergi dan berkata kepada tuannya. “Tuanku, bangunlah dari tidur, marilah kita sama-sama mengerjakan shalat malam. Karena kafilah orang-orang yang shalat tidak akan lalai dari pahala dan ganjaran Allah. Oleh karena itu, bangunlah wahai tuanku!”
Tuannya menjawab, “Saya masih ngantuk, biarkan saya tidur sesaat lagi, nanti saya akan bangun, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang.” Begitu pula ketika mendekati waktu subuh. Lukman pun membangunkan lagi. Dan tuannya menjawab lagi, “Tinggalkan saya, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang.” Akhirnya tuannya itu bangun setelah sinar matahari menyorot dirinya.
Lalu ia memberikan biji gandum kepada Lukman sambil berkata, “Pergilah ke ladang, dan tebarkanlah biji gandum ini di sana.” Lukman kemudian bermaksud memberi pelajaran kepada tuannya. Lukman pergi ke ladang namun ia tidak menanam biji gandum, tapi biji bulgur. Lalu dia pulang dan memberitahukan apa yang dilakukannya kepada tuannya. Mendengar itu tuannya berkata kepadanya, “Apakah engkau gila dengan apa yang kamu lakukan?”
Lukman menjawab, “Sesungguhnya Allah Maha Penyayang. Saya lihat gandum itu harganya mahal sementara bulgur harganya murah maka oleh karena itu saya berpikir untuk menanam bulgur, sementara nantinya kita akan menuai gandum, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang.”
Tuannya marah dan bertanya kepadanya, “Dari mana kamu belajar ini?” “Dari Tuan,” jawab Lukman tenang. “Karena Anda tidur sepanjang malam dan tidak bangun untuk mengerjakan shalat Subuh, sementara Anda mengatakan “Sesungguhnya Allah Maha Penyayang, dengan itu Anda berharap mendapat surga, keridhaan Allah dan bidadari Mahsyar pada Hari Kiamat,” lanjut Lukman.
Dengan demikian sebenarnya apa yang akan kita tanam dalam hidup ini akan berbuah kemudian.
Ketika Manusia Dicuci dari Dosa-dosanya
"Anggap saja kita ini baju berwarna putih.."
Aku senang jika temanku berbicara tentang kehidupan. Logika-logika berfikir dipaksa untuk memandang dari sudut yang berbeda olehnya, dan -anehnya- aku tidak bisa menolak jalan pikirnya.
Sore tadi kami seperti biasa bercerita tentang bagaimana memandang sesuatu itu pada tempatnya..
"Pada waktu lahir, kita ini seperti baju putih, bersih tanpa noda. Seiring bertambahnya usia, kita mulai terjebak pada kenikmatan dan godaan dunia.
Dunia ini sejatinya tempat yang kotor dan semakin kita tenggelam pada kenikmatannya, maka kotoran akan semakin melekat di jiwa kita. Tebalnya kotoran yang melekat sebanding dengan seberapa dalam dan lamanya kita bermain di lumpur itu.."
Ehm, analogi yang menarik. Teruskan, kataku dalam hati.
"Ada saat kita mengalani titik balik dalam hidup kita dan kita bertobat, mohon ampun. Karena Tuhan itu Maha penyayang, kita pasti diampuni.. " Katanya tersenyum. Aku terus mengikuti jalan ceritanya.
"Yang banyak orang lupa adalah bahwa Tuhan juga Maha adil. Jadi meskipun kita diampuni, kita harus melalui tahapan pencucian sesudah sekian lama berkubang di lumpur..." Ia menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.
"Nah, mesin cuci manusia dari dosa-dosanya ada 2, yang pertama ada di alam kehidupan. Tuhan mencuci dosa manusia melalui banyak peristiwa mulai sakit, sulit, miskin dan lain sebagainya.
Semakin tebal lumpurnya, maka proses menggosoknya semakin kuat dan lama. Kita pasti merasakan sakit dan perih.
Disinilah Tuhan selalu berfirman, "sabar dan syukuri.." Sabar itu berarti kita harus melewati prosesnya dan syukur itu adalah berterima-kasih karena sudah dicuci di dunia dengan ujian yang sebenarnya tidak ada artinya.."
"Pencucian di dunia sebenarnya tidak ada artinya.." Temanku melanjutkan. "Ketika baju kita masih kotor di dunia meski sudah dicuci sedemikian kuatnya, maka ada mesin cuci kedua, yaitu di alam kematian atau alam penantian atau kita kenal dengan nama alam barzakh.."
Tampak ia mulai resah..
"Di alam barzakh, kita "dicuci" dengan model seperti yang sering digambarkan dalam kitab-kitab, yaitu siksa sesuai dengan apa dosa yang pernah kita lakukan di dunia.
Banyak yang bilang, jika Tuhan Maha penyayang masak menyiksa ? Padahal inilah wujud kasih sayang Tuhan, bahwa kita melalui proses pencucian dosa. Tanpa itu bagaimana kita harus menghadapi timbangan di hari pengadilan nanti ?"
Tidak mampu kubayangkan apa yang terjadi di alam itu nanti, apalagi dengan semua maksiat yang pernah kulakukan.
"Proses pencucian di alam barzakh sangat dahsyat, karena itu bersyukurlah ketika kamu dicuci di dunia. Dan pada waktu kiamat, semua manusia dibangkitkan sesudah melalui proses panjang itu menghadap timbangan di hari pengadilan. Akan ditimbang lebih berat mana amal atau dosa kita di dunia?
Tetapi karena kita sudah melalui proses pencucian yang dahsyat itu, tentu kita harus lega bahwa dosa kita sudah jauh berkurang, tinggal berharap amal kita cukup untuk menyeimbangkannya.
Ketika ternyata dosa kita masih lebih berat dari amal kita meski sudah melalui proses-proses itu, yang kita harapkan adalah syafaat atau grasi dari para manusia suci yang sudah diturunkan ke dunia, dalam Islam ada Nabi Muhammad SAW.
Syafaat beliau adalah kerinduan yang besar bagi umatnya sesudah mengalami proses yang menakutkan..."
Belum pernah kualami memandang hal itu dari sudut pandang yang berbeda. Hanya, aku - sekali lagi - tidak mampu membantah logika berfikirnya yang kuyakin berdasarkan petunjuk-petunjuk yang ada.
Ah, Tuhan.. semoga aku nanti dihukum dengan Kasih SayangMu dibanding dengan keadilanMu... Karena jika tidak ada kasih sayangMu dan yang ada hanya keadilanMu, habislah aku...
Sampai sekarang cerita itu membekas dalam pikiranku. Sampai sekarang..
Manifestasi Syukur
Dalam suatu hadits Amirul Mukminin Ali as bersabda: “Ketika sudut-sudut nikmat sampai kepadamu janganlah engkau memutuskannya dengan sedikit bersyukur” (Nahjul Balagah, Hikmah 13).
Dalam hikmah ini Amirul Mukminin menjelaskan bahwa syarat langgeng dan lestarinya nikmat Tuhan -baik itu nikmat maknawi maupun nikmat materi- adalah memperbanyak syukur kepada Allah Swt atas nikmat yang diberikan-Nya. Pandangan ini senada dengan firman Tuhan: “Jika kamu bersyukur niscaya Aku tambahkan padamu (nikmat-Ku), dan jika kamu kufur (tidak bersyukur), niscaya azab-Ku sangatlah pedih” (Al-Qur’an: Surah Ibrahim, ayat 7).
Berasaskan hal ini jelaslah bahwasanya salah satu penghalang turunnya rahmat dan nikmat Ilahi adalah kufraan nikmat (kebalikan dari syukur nikmat), yakni hamba tidak berterima kasih dan bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya. Namun disamping itu sebagaimana yang dijelaskan dalam berbagai riwayat, penghalang lain turunnya rahmat dan nikmat Tuhan adalah dosa dan maksiat yang dilakukan manusia. Imam Shadiq as berkata: Seorang mukmin melakukan dosa, dan karena dosanya itu maka ia tidak dapat bagian dari rezki (Bihar, jld 73, hal 349). Dalam do’a Kumail (Imam Ali as mengajarkan do’a kepada sahabatnya Kumail) terdapat ungkapan munajat seperti ini: “Ya Allah! Aku memohon ampun pada-Mu atas dosa-dosa yang mengubah nikmat-nikmat. Ya Allah! Aku memohon ampun pada-Mu atas dosa-dosa yang menahan terkabulnya do’a. Ya Allah! Aku memohon ampun pada-Mu atas dosa-dosa yang menurunkan bala dan bencana (Kutipan Do’a Kumail).
Tingkatan-tingkatan Syukur
Seorang hamba dalam merepleksikan syukurnya terhadap limpahan nikmat dari Tuhan, dapat dilakukannya dalam tiga bentuk:
1. Syukur Lisan:
Memuji Tuhan dan bertasbih dengan lidah. Apa saja bentuknya dan dalam keadaan apapun, dzikir memuji Tuhan dengan lidah disebut juga dzikir lisan. Membiasakan lidah mngucapkan syukur ketika mendapatkan nikmat atas nikmat-nikmat terdahulu merupakan kebiasaan terpuji dengan syarat muncul dari hati yang paling dalam dan bukan sekedar ucapan-ucapan bibir dan lidah saja.
2. Syukur Qalbu:
Memperhatikan nikmat-nikmat Ilahi dan memutuskan untuk melakukan syukur kepada Tuhan yang disebut dengan syukur qalbu dan pikiran. Adapun pikiran yang tidak memperhatikan pemberian-pemberian Tuhan dan melewatinya dengan lalai maka disebut qalbu dan pikiran yang kufur atas nikmat Tuhan. Syukur jenis ini lebih tinggi derajatnya dari syukur lisan, sebab dalam syukur ini manusia diajak untuk khusyu’ tentang keesaan dan kebesaran Tuhan.
3. Syukur Anggota Badan (Jawaarih)
Tingkatan ini biasa disebut syukur perbuatan, yakni anggota badan berbuat dan berprilaku sesuai dengan kehendak dan keinginan Tuhan. Seperti melihat apa yang dianjurkan-Nya, melihat alam sebagai tanda-tanda keagungan-Nya, melihat dan mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an, melihat Ka’bah, melihat wajah ulama Rabbani, melihat kedua orang tua dengan penuh cinta dan kasih, mendengar ibrah dan nasehat ulama, dll, semua ini termasuk syukur kepada Tuhan, begitu pula menahan pandangan untuk tidak melihat yang diharamkan Tuhan, menahan pendengaran, lisan, tangan, dan kaki dari yang diharamkan-Nya. Jadi seluruh anggota badan yang merupakan nikmat-nikmat Ilahi jikalau digunakan sesuai dengan hukum dan perintah agama maka termasuk syukur amali atau perbuatan, dan orang yang merepleksikannya termasuk orang-orang yang bersyukur kepada Allah Swt.
hakekat kalimat "Insya Allah"
Makna frase insya Allah adalah jika Allah menghendaki.
Seseorang yang mengucapkan kalimat ini meyakini bahwa terdapat iradah di atas iradahnya sendiri artinya, jika Ia tidak menghendaki sesuatu maka tidak ada sesuatu yang bisa terjadi.
Dalam sebagian perkara, kalimat “Insya Allah” merupakan bentuk mengambil berkah dan orang-orang selalu mengucapkan “Inysa Allah’ dan “Masya Allah”. Al-Quran berdasarkan ayat
«لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرامَ إِنْ شاءَ اللهُ آمِنِینَ»
“Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman” (Qs Al-Fath [48]: 27)
Pada ayat lain, Allah Swt berfirman:
«سَنُقْرِئُکَ فَلا تَنْسى إِلَّا ما شاءَ اللهُ»
“Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf, Yusuf merangkul ibu bapaknya dan berkata, “Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah kamu dalam keadaan aman.” (Qs Yusuf [12]: 99)
«سَنُقْرِئُکَ فَلا تَنْسى إِلَّا ما شاءَ اللهُ»
“Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allah menghendaki.” (Qs A’la [87]: 6)
Dalam perkara-perkara ini frase insya Allah dinyatakan sebagai bentuk tabarruk (mengambil berkah) dan menyinggung tentang keagungan dan kekuasaan Allah Swt. Atas dasar itu, di kalangan Arab bahkan pekerjaan yang telah selesai dilakukan sekalipun maka mereka menyandarkannya kepada kehendak dan iradah Allah Swt dengan berkata Hajajjtu insya Allah (Aku akan pergi haji insya Allah) dan “zurtu insya Allah” (Aku akan pergi berziarah insya Allah).[1]
Dalam riwayat dari Imam Shadiq As disebutkan bersbada “Awali hari kalian dengan berbuat kebaikan dan diktekan kepada malaikat yang mencatat amal kebaikan pada awal dan akhir hari sehingga insya allah apa-apa yang menimpa kalian di antara awal dan akhir hari akan mendapatkan pengampunan Ilahi.”[2]
Frase Insya Allah disebutkan dalam akhir hadis untuk bertabaruk/mengambil berkah dan tayamun atau untuk menghindari manusia dari kesombongan. []
CATATAN :
[1] Ja’fari, Ya’qub, Kautsar, jil. 5, hal. 30, tanpa tempat, tanpa tahun.
[2] Al-Kāfi, jil. 2, hal. 142, Tehran, Islamiyah, cet. 2, 1362 S.
«افتتحوا نهارکم بخیر و أملوا على حفظتکم فی اوله و فی آخره خیرا یغفر لکم ما بین ذلک ان شاء الله
Realitas di Balik Lupa dan Mengingat Allah
Di kalangan masyarakat secara umum, dosa dipahami terbagi atas dua, yaitu dosa besar dan dosa kecil. Dalam hal ini, penting mengetahui apa tolak ukur dalam menentukan besar dan kecilnya sebuah dosa.
Sebagian orang mengatakan bahwa keduanya adalah perkara relatif. Jika salah satunya lebih diperhatikan itu adalah dosa besar, sementara yang kurang diperhatikan adalah dosa kecil. Tetapi apabila merujuk pada arti bahasanya, dosa besar adalah setiap dosa yang menurut pandangan Islam besar dan sangat diperhatikan. Besarnya perhatian bisa diketahui bahwa dalam al-Quran dosa tersebut tidak cukup hanya dengan larangan, akan tetapi disertai dengan adanya ancaman siksa neraka. Dosa itu antara lain bunuh diri, zina, makna harta riba, dan sebagainya.
Oleh karena itu, terdapat hadis-hadis diriwayatkan oleh Imam Ja’far Shadiq yang berbunyi,”Dosa besar adalah dosa-dosa yang Allah menetapkan atasnnya siksa neraka.” Terdapat pula riwayat, menyebutkan ada tujuh dosa besar, namun sebagian besar menyebutkan ada dua puluh, ada pula menyebutkan tujuh puluh. Ini merupakan hal yang tidak bertentangan, dengannya hal ini relevan mengenai adanya dosa besar tingkat pertama, dosa besar tingkat kedua, dan semuanya tergolong jenis dosa besar.
Akan tetapi, poin penting yang harus diperhatikan di sini ialah, adanya dosa kecil diartikan sebagai dosa yang apabila kita mengulang-ulanginya. Sebagaimana Sayyid Said Husain Husaini menjelaskan bahwa, bila dosa kecil terus dilakukan, itu merupakan bentuk ketidakpedulian, kesombongan, dan kesewenang-wenangan, kepada Allah SWT. Karena sesuai al-Quran dan berbagai riwayat disebutkan bahwa dosa kecil bisa berubah menjadi dosa besar:
Pertama, ketika selalu mengulangi perbuatan dosa kecil, Imam Ja’far Shadiq berkata, “Tidak ada dosa kecil yang disertai dengan terus-menerus mengulanginya.”.
Kedua, ketika sebuah dosa dianggap kecil dan diremehkan, Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata, “Dosa yang paling berat adalah dosa yang diremehkan oleh pelakunya.”
Ketiga, ketika dosa dilakukan secara sewenang-wenang, sombong, dan durhaka di hadapan Allah SW. Seperti yang tergambar dalam QS. Al-Naziat ayat 37 “Adapun orang yang melampaui batas dan lebih megutamakan kehidupan dunia sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya.”
Keempat, ketika dosa dilakukan oleh orang orang yang memiliki kedudukan khusus di masyarakat. Kesalahan dan dosa mereka tidak dianggap sama dengan orang lain. Al-Quran mengungkapkan soal ini sehubungan dengan istri-istri Nabi SAW dalam surah al-Ahzab ayat 30 “Apabila kalian melakukan perbuatan buruk, kalian akan mendapatkan siksanya dua kali lipat.”
Kelima, bila seseorang senang dan bahagia melakukan dosa, bahkan merasa bangga atas hal itu, Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang berbuat dosa dan ia malah tertawa, ia akan masuk neraka dalam keadaan menangis.”
Keenam, ketika seseorang menganggap bahwa Allah tidak segera menyiksanya, mengira hal itu menunjukkan keridhaa-Nya atas dosa yang dia lakukan, menganggap bahwa ia selamat dari siksaan, dan dirinya adalah orang yang dicintai Allah. Sebagaimana al-Quran surah al-Mujadilah ayat 8 digambarkan tentang perkataan sebagian para pendosa yang congkak: “Mereka mengatakan kepada diri mereka sendiri: Mengapa Allah tidak menyiksa kita? Kemudian al-Quran menegaskan: Cukuplah bagi mereka neraka Jahannam.”
Maka dari itu, mengetahui sebab perubahan dosa kecil yang menjadi sebuah dosa besar, sebagaimana point-point di atas, kemudian menjadi alarm agar terhindar dari perbuatan tersebut. Sebagai manusia yang ingin mendekatkan diri dan mengharap kasih sayang Tuhan, kita harus waspada jangan sampai baik secara sadar maupun tidak sadar, telah menumpuk banyak dosa. Berat sebuah dosa tidak sama dengan beratnya alasan untuk melakukannya. Pendosa yang tahu bahwa dosanya kebanyakan, lazimnya segera bertobat. Akan tetapi bencana zaman mulai datang, begitu manusia menyepelekan dosa dan melakukan pembenaran akan dosa-dosanya. Ia tidak hanya menutup pintu tobat, bahkan menjadikan manusia lebih mantap dan lebih berani berbuat dosa. Oleh karena itu, kaum muslim yang sadar senantiasa merenungkan kembali dosa-dosa, amal perbuatan, dan melakukan introspeksi diri agar tidak menjadi golongan orang-orang yang dimurkai-Nya.
Berdoalah dengan Rendah Hati
Sa’ad bin Waqqas adalah sahabat Nabi saw. Ia berusia
panjang sepeninggal Nabi. Pada hari-hari terakhir
hidupnya, ia buta dan tinggal di Makkah. Ia sering
didatangi orang yang meminta berkah. Tidak semua orang
ia berkati. Tapi orang yang diberkati selalu berhasil
memperoleh hajatnya atau menyelesaikan urusannya.
Abdullah bin Sa’ad meriwayatkan kepada kita: “Aku
mengunjungi dia. Ia selalu baik padaku dan selalu
mendoakan aku. Karena aku anak yang selalu ingin tahu,
aku bertanya kepadanya: Doa Tuan untuk orang lain
tampaknya selalu diijabah. Mengapa Tuan tidak berdoa
agar disembuhkan dari kebutaan Tuan? Orang tua itu
menjawab: Pasrah kepada kehendak Allah jauh lebih baik
dari kenikmatan karena bisa melihat.”
Kisah dari khazanah Islam di atas dikutip oleh dokter
Larry Dossey, sebelum ia mengutip perkembangan
penelitian tentang efek doa bagi kesembuhan. Ia
menyebut doa sebagai “the healing words”, kata-kata
yang menyembuhkan. Berbagai penelitian kedokteran
tentang efek doa dilaporkan Dossey dalam bukunya
Healing Words: The Power of Prayer and the Practice of
Medicine.
Tapi tidak setiap doa mujarab. Psikolog LeShan
memperkirakan hanya sekitar 20 persen saja sembuh
karena doa. George Bernard Shaw, pujangga Inggris,
melihat tumpukan kursi roda dan penyangga kaki di
Lourdes. Seperti Anda ketahui, Notre Dame de Lourdes
adalah kota kecil di Haute Pyrennees, Perancis yang
dikunjungi ribuan orang setiap tahun. Mereka datang ke
kota itu untuk memperoleh kesembuhan dari penyakitnya.
Menurut Shaw, Lourdes bukan kota yang menunjukkan kuasa
Allah, tapi kota yang menghujat Allah. Mengapa di situ
tidak ada tumpukan satu kaki kayu, kaca mata, dan wig?
Artinya, Tuhan tidak dapat menyembuhkan orang yang
pincang, penderita myopia atau hiperopia –rabun jauh
atau rabun dekat- dan orang-orang botak. Artinya, ada
penyakit yang tidak mampu disembuhkan Tuhan. Kota itu
menghujat Tuhan, kata Shaw.
Baik Shaw maupun LeShan keliru. Doa bukan panacea yang
menyembuhkan segala penyakit. Bandingkan dengan
penicillin. Penicillin sangat mujarab untuk sakit
tenggorokan, tapi tidak ada gunanya untuk mengobati
tuberkulosis. Sekiranya penicillin digunakan untuk
semua infeksi, paling tinggi ia hanya efektif sekitar
20 persen saja.
Mungkin Anda berkata, jangan bandingkan penicillin
dengan karya Tuhan. Bukankah doa berhubungan dengan
Yang Mahakuasa? Mestinya Tuhan dapat menyembuhkan semua
penyakit? Doa bukan hanya melibatkan kekuasaan Tuhan
yang menerima doa. Doa juga menyangkut sifat-sifat
makhluk yang berdoa. Bisa jadi doa tidak dijawab bukan
karena Tuhan tidak berkuasa, tapi karena pendoa tidak
benar dalam berdoa. Hasil doa adalah akibat dari
interaksi Khaliq dengan makhluk. Doa gagal bukan karena
doanya, tapi karena pendoanya, not of prayer but of the
pray-er .
Bisa jadi juga doa tidak dikabulkan karena ada
kebijakan ilahi di dalamnya. Tentara Amerika berdoa
ketika menyerbu Iraq, dan tentara Iraq berdoa ketika
menahan serangan Amerika. Jika Tuhan mengabulkan
keduanya, apa yang akan terjadi? Ada lima orang calon
Presiden. Semuanya berdoa ingin menang dalam pemilu.
Pernah milyaran orang berdoa ingin dipanjangkan umurnya
pada ranjang kematiaannya. Bayangkan kalau semua doa
itu diijabah? Dunia ini pasti kacau balau. Bumi akan
penuh sesak, karena tidak satu pun orang mati. Kalau
doa semua yang sakit dikabulkan, seluruh rumah sakit
tutup dan ilmu kedokteran bangkrut.
C.S Lewis, novelis dari Irlandia, menulis, “Jika Tuhan
mengabulkan semua doaku yang tolol sepanjang hidupku,
aku tidak tahu di mana aku sekarang?” Kenangkan doa-doa
kita dahulu. Sekarang kita tahu betapa bijaknya Tuhan,
karena Dia tidak menjawab semua doa kita. Guru saya,
dosen Unpad, pernah ditolak sebagai pegawai yang
dikirim ke Australia untuk training selama tiga bulan.
Ia meradang karena doanya pada waktu salat malam tidak
diterima Tuhan. Almarhum Guru saya itu memang tidak
jadi ke Australia, karena Tuhan kemudian mengirimkannya
ke Amerika. Sekiranya waktu itu doanya dikabulkan, ia
tidak akan menjadi guru besar di Unpad. Mungkin ia
hanya pensiunan pegawai RRI seperti kawan-kawannya yang
berhasil ke Australia.
Karena itu berdoalah dengan rendah hati, seperti yang
kita ucapkan dalam doa hajat: Tuhanku, jangan
Kautinggalkan aku di sini dengan dosa kecuali
Kauampuni, dengan aib kecuali Kaututupi, dengan rezeki
kecuali Kauluaskan, dengan penyakit kecuali
Kausembuhkan. Dan penuhi keperluanku itu jika ia
mendatangkan kebaikan kepadaku dan memperoleh ridoMu!.



























