کمالوندی

کمالوندی

Pemerintah Persatuan Nasional Afghanistan menyerukan langkah praktis Pakistan untuk memenuhi tuntutan-tuntutannya.

Javid Faisal, wakil juru bicara Ketua Eksekutif Pemerintah Persatuan Nasional Afghanistan mengatakan, meski perujukan kasus Afghanistan ke PBB merupakan sebuah opsi, namun pemerintah Mohammad Ashraf Ghani, Presiden Afghanistan menyerukan langkah praktis pemerintah Pakistan. Demikian dilaporkan radio IRIB berbahasa Pashtu, Selasa (25/8/2015).

Sebelumnya, Ghani mengatakan, jika Pakistan melanjutkn intervensinya terhadap Afghanistan maka Kabul akan mengadukan tindakan Islamabad itu kepada Dewan Keamaman PBB.

Senada dengan hal itu, Nurul Haq Ulomi, Menteri Dalam Negeri Afghanistan mengatakan, pemerintah Kabul akan mengadukan intervensi Pakistan terhadap urusan internal Afghanistan kepada Dewan Keamaman PBB.

Ia menambahkan, militer Pakistan secara terang-terangan dan langsung memiliki peran dalam menciptakan instabilitas di Afghanistan. Oleh karena itu, Kabul akan mengadukan serangan militer Pakisan ke Afghanistan kepada Dewan Keamanan PBB.

Ketegangan antara Afghanistan dan Pakistan telah menimbulkan kekhawatiran luas, bahkan sejumlah pakar meyakini bahwa Pakistan ingin mengesankan kondisi Afghanistan tidak aman melalui dukungannya kepada kelompok-kelompok teroris.

Amerika Serikat berusaha menempatkan pesawat-pesawat tempurnya di Eropa dengan dalaih melindungi kawasan ini.

Menurut Reuters, AS berencana untuk menambah jumlah jet-jet tempurnya di Eropa dalam kerangka melaksanakan rencana pembelaan terhadap negara-negara Eropa dan dengan dalih memperkuat sistem rudal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dalam menghadapi Rusia.

Namun para pejabat AS dan Inggris belum memberikan informasi mengenai tanggal dan di mana pesawat-pesawat itu akan ditempatkan.

Berdasarkan laporan ini, Kementerian Pertahanan AS pada Senin (24/8/2015) mengabarkan penerbangan jet tempur F-22 di zona udara negara-negara Barat dalam kerangka agenda pertahanan Eropa.

Selasa, 25 Agustus 2015 07:56

AS Sambut Kesepakatan Korsel-Korut

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat menyambut kesepakatan antara Korea Selatan dan Korea Utara untuk mengakhiri ketegangan di Semenanjung Korea.

John Kirby dalam pernyataan terbarunya, menyingung kesepakatan antara Korsel dan Korut untuk mengakhiri ketegangan di kawasan.

Ia mengatakan, Washington tidak menganggap langkah Seoul yang menerima kesepakatan dengan Pyongyang sebagai penarikan mundur, namun AS menegaskan dukungan aliansi dengan Korsel dan terciptanya perdamaian dan keamanan di kawasan.

Kirby menambahkan, AS mengapresiasi  Park Geun-hye, Presiden Korsel untuk menciptakan stabilitas di Semenanjung Korea.

Jubir Kemlu AS  lebih lanjut menyinggung krisis di Ukraia, dan mengatakan, Washington menyambut pertemuan Angela Merkel, Kanselir Jerman, Francois Hollande, Presiden Perancis dan Petro Poroshenko, Presiden Ukraina di Berlin.

Kirby juga menekankan komitmen terhadap pelaksanaan penuh perjanjian Minsk untuk menyelesaikan krisis Ukraina.

Staf dan pegawai Badan Bantuan dan Kerja PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) menggelar demonstrasi memprotes kebijakan badan ini terhadap warga Palestina.

Menurut IRNA, ribuan staf UNRWA menggelar unjuk rasa di Jalur Gaza pada Senin (24/8/2015) untuk memprotes defisit keuangan badan ini. Mereka menyerukan pelaksanaan keadilan terkait para pengungsi Palestina.

Slogan yang mereka suarakan di antaranya; "akhirilah ketidakadilan ini" dan "tindak lanjuti hak-hak pengungsi."

Para pengunjuk rasa memulai aksinya dari markas UNRWA dan bergerak menuju Kantor Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO).

Menurut mereka, pengurangan jumlah siswa Palestina, cuti tanpa gaji bagi para staf UNRWA dan penundaan tahun ajaran baru sekolah-sekolah di Gaza disebabkan defisit anggaran badan ini, merupakan alasan mereka untuk menyelenggarakan demonstrasi.

Senin kemarin adalah hari pembukaan sekolah-sekolah di Gaza, namun sebelumnya sekolah-sekolah ini diperkirakan akan tetap libur dan lebih dari 220.000 siswa Palestina tidak dapat melanjutkan belajar mereka.

Dalam laporan UNRWA terkait penundaan pembukaan sekolah-sekolah di Gaza, disebutkan bahwa badan ini memerlukan bantuan 367 juta dolar untuk melaksanakan agenda daruratnya, namun sekarang hanya 31 persen dari anggaran yang terpenuhi.

Beberapa waktu lalu, UNRWA mengabarkan defisit anggaran sebesar 101 juta dolar. Oleh karena itu, badan ini berencana menunda dimulainya ajaran baru di lima wilayah termasuk di Jalur Gaza, Tepi Barat, Yordania, Lebanon dan Suriah.

Keputusan tersebut akan menyebabkan setengah juta siswa Palestina tidak dapat bersekolah di 700 sekolah milik UNRWA yang tersebar di wilayah dan negara-negara tersebut.

Selasa, 11 Agustus 2015 14:22

Dukungan AS untuk Boko Haram di Afrika

Presiden Nigeria Muhammadu Buhari mengatakan Amerika Serikat mendukung kelompok Boko Haram di Nigeria.
 

 

Dia menyampaikan hal itu pada acara wisuda para taruna Akademi Militer Nigeria, Ahad (9/8/2015), seperti dilansir AFP.

 

Presiden Buhari menuding Washington memberi dukungan kepada Boko Haram dan meminta kementerian pertahanan negaranya untuk mempersiapkan kondisi yang diperlukan bagi swasembada senjata Nigeria.

 

“Amerika menolak menjual senjata kepada Nigeria dan dengan begitu, mereka memperkuat militan Boko Haram,” ujarnya. Dia meminta kementerian pertahanan mengambil langkah-langkah efektif untuk memutus ketergantungan persenjataan Nigeria.

 

Buhari beberapa waktu lalu, mengunjungi Washington dengan harapan memperoleh bantuan serta dukungan finansial dan militer dari Amerika untuk memerangi militan Boko Haram. Namun, para pejabat Washington menolak memberikan senjata dan segala bentuk bantuan militer.

 

AS sejak enam tahun lalu hingga sekarang menolak penjualan senjata ke Nigeria dan menyebut penolakan itu karena pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah Abuja.

 

Buhari menepis tudingan tersebut dan menandaskan, tuduhan pelanggaran HAM yang belum terbukti telah menghalangi Nigeria untuk memperoleh senjata-senjata strategis dan tepat guna meneruskan perang anti-Boko Haram.

 

Menurut sejumlah pengamat, para pejabat Amerika meski selalu melontarkan slogan perang anti-terorisme, tapi pada prakteknya mereka menolak terlibat dengan bermacam alasan.

 

Buhari setelah pulang dari Amerika kembali menegaskan bahwa perang menumpas habis Boko Haram akan terus berlanjut dengan mengandalkan kemampuan militer Nigeria dan negara-negara kawasan.

 

Menurut para pengamat, setelah Amerika menolak kerjasama dalam memerangi militan Boko Haram, Nigeria sepertinya ingin memacu produksi senjata di dalam negeri untuk memperkuat pasukannya.

 

“Nigeria harus mencapai mekanisme yang diperlukan untuk bisa memproduksi alat utama sistem persenjataan dan logistik militer. Untuk itu, negara harus memproduksi senjata nasional untuk mengurangi ketergantungan pada senjata asing,” ujar Presiden Buhari.

 

Dia menilai ketergantungan Nigeria kepada negara lain dalam mempersenjatai tentaranya sebagai hal yang tidak dapat diterima. Dia menegaskan, “Kita harus mengembangkan mekanisme yang kredibel untuk mencapai swasembada di bidang produksi alat utama sistem persenjataan dan perlengkapan canggih militer.”

 

Para pengamat sudah sering memberikan peringatan tentang dukungan kekuatan-kekuatan besar, termasuk Amerika kepada kelompok teroris terutama di Afrika dengan tujuan memanfaatkan posisi dan kekayaan benua itu.

 

Meski Boko Haram tampaknya terus melakukan operasi teror di Nigeria dan beberapa negara tetangga, namun perang dan penumpasan kelompok tersebut masih menjadi agenda utama negara-negara di kawasan.

 

Saat ini, pasukan multinasional yang terdiri dari tentara Nigeria, Chad, Kamerun, Niger dan Benin sedang melakukan operasi besar-besaran untuk menumpas Boko Haram. Kerjasama regional dan kebijakan mengandalkan kemampuan pasukan negara-negara setempat sepertinya lebih efektif ketimbang berharap pada uluran tangan asing.

Selasa, 11 Agustus 2015 14:16

Myanmar dan Perundingan Damai

 

Perundingan damai antara pemerintah Myanmar dan kelompok sparatis etnis berujung pada kesepakatan untuk menggelar perundingan lebih banyak lagi. Wakul pemerintah Myanmar dan separatis etnis di perundingan terbarunya sepakat akhir bulan Agustus menggelar perundingan lebih intensif guna mencapai kesepahaman terkait gencatan senjata.

Kedua pihak juga sepakat terkait draf kesepakatan gencatan senjata, kecuali poin seruan kepada seluruh kelompok bersenjata, guna menandatangani isi kesepakatan.

Kesepakatan ini tercapai setelah sembilan putaran perundingan damai di kota Yangon antara pemerintah dan sebuah delegasi khusus dari kelompok separatis etnis. Pemerintah Myanmar dan kelompok bersenjata minoritas terpenting akhir Maret 2015 mencapai kata sepakat terkait draf kesepakatan perdamaian yang disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sangat bersejarah.

Utusan pemerintah dan kelompok separatis etnis di perundingan terbarunya sepakat menghapus friksi yang tersisa terkait gencatan senjata termasuk undangan kepada saksi dalam negeri dan internasional untuk mengawasi kesepakatan serta melanjutkan perundingan mereka. Bagaimana pun juga optimis akan penandatanganan kesepakatan ini di waktu dekat.

Media lokal Myanmar menyebut kelompok Karen National Union (KNU), Partai Progresif Nasional Karenni (KNPP) dan Partai Negara Baru Mon (MNSP) sebagai kelompok bersenjata yang berseria menandatangani kesepakatan damai dengan pemerintah negara ini.

Kelompok Karen National Union (KNU) tercatat sebagai kelompok bersenjata anti pemerintah terbesar dan telah terlibat kontak senjata dengan pemerintah selama 50 tahun. Hingga kini ada tiga kelompok bersenjata yang telah berdamai dengan pemerintah. Ketiganya adalah Negara Bagian Shan-Utara (SSA-N), Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA) dan sebuah kelompok militan lainnya.

Berdasarkan program pemerintah Myanmar, proses perdamaian mencakup tiga tahap. Pertama, gencatan senjata dan menjalin kanal komunikasi serta lawatan ke daerah masing-masing tanpa membawa senjata. Kedua, menggelar perundingan dan penerapan pajak bagi pembangunan daerah di bidang pendidikan, kesehatan dan komunikasi. Ketiga, penandatanganan kesepakatan damai permanen dengan dihadiri anggota parlemen dan partai politik.

Pemerintah Myanmar berusaha menjadikan kesepakatan damai dengan kelompok etnis bersenjata sebagai konsesi penting dan strategis dalam menghadapi pemilu mendatang yang bakal digelar 8 November. Masyarakat internasional menilai pemilu kali ini sebagai ujian demokrasi bagi pemimpin Myanmar.

Pemerintah Myanmar saat ini menghadapi beragam kendala baik instabilitas akibat serangan berbagai milisi bersenjata etnis, banjir dan harapan publik bagi kebebasan politik. Krisis Muslim Rohingya juga menjadi isu penting dan aksi brutal etnis Budha radikal terhadap kaum minoritas tertindas ini kian mencoreng wajah Myanmar di mata dunia. Oleh karena itu, rakyat Myanmar dan elit kawasan serta internasional mengharapkan pemerintah negara ini demi mengakhiri krisis instabilitas di Myanmar memperhatikan secara serius kondisi Muslim Rohingya  serta para partai politik pun di slogan kampanye pemilu juga mengusung program untuk menyelesaikan krisis ini.

Mubarez Qorbanali, Ketua Komisi Negara Urusan Organisasi Agama Republik Azerbaijan mengatakan, bahwa kelompok teroris Takfiri ISIS tidak punya pendukung di negaranya.

Pejabat Azerbaijan ini tanpa menyebutkan nama individu, lembaga atau negara menambahkan, “Sejumlah kelompok ekstrimis teroris, berniat menggalang simpatisan dan pendukung, akan tetapi kelompok ini harus mengetahui bahwa langkah mereka akan dicegah.”

Dia juga menilai berita-berita yang terpublikasi tentang semakin dekatnya kelompok teroris Takfiri ISIS dengan wilayah Republik Otonomi Nakhchivan dan fokus kelompok-kelompok ekstrim yang condong pada ISIS terhadap sejumlah individu, bukan hal kebetulan.

Ini bukan pertama kalinya seorang pejabat tinggi pemerintah Azerbaijan yang menilai sia-sia aksi-aksi kelompok ekstrim khususnya ISIS di Azerbaijan itu. Sebelumnya, para pejabat Azerbaijan memberangus kemungkinan aktivitas kelompok sesat Wahabi di negara itu. Para pengamat berpendapat bahwa berlanjutnya aktivitas kelompok sesat Wahabi yang tampil islami secara lahiriyah itu, bertentangan dengan kepentingan nasional negara Muslim yang mayoritas warganya bermazhab Syiah itu.

Faktanya adalah bahwa kelompok-kelompok Takfiri dan Salafi yang berafiliasi dengan pihak asing, khususnya kelompok sesat Wahabi serta lengan militerya yaitu ISIS, telah berada di wilayah utara Kaukasus, sebelum masa kemerdekaan Azerbaijan.

Rezim Arab Saudi dan sejumlah rezim reaksioner di pesisir Teluk Persia, dengan alasan mengumpulkan kekuatan untuk melawan komisme Uni Soviet di Afghanistan, mulai akhir dekade 70-an, telah memulai aktivitas mereka di wilayah utara kaukasus. Tidak dirgaukan lagi bahwa aktivitas kelompok sesat Wahabi dan teroris ISIS di Republik Azerbaijan tidak akan mampu mewujudkan tujuan rezim Saudi dan sekutu Arabnya.

Sebagai contoh, kelompok Takfiri ISIS hanya mampu mengelabuhi 300 pemuda Muslim Azerbaijan untuk memerangi pemerintah sah Presiden Suriah, Bashar al-Assad. Sementara untuk mengirim mereka ke Suriah, Arab Saudi dan sekutunya seperti Uni Emirat Arab dan Qatar, harus mengeluarkan milyaran dolar.

Terlepas dari fakta tak terpungkiri itu, para pengamat menilai bahwa masalah yang dihadapi pemerintah Azerbaijan dalam memberantas kelompok-kelompok ekstrimis teroris karena dua faktor.

Faktor pertama adalah kemitraan Azerbaijan dengan negara-negara pendukung kelompok sesat yang mengklaim islami seperti Amerika Serikat, Inggris, Arab Saudi, Turki, Uni Emirat Arab dan bahkan Israel. Negara-negara tersebut dengan berbagai cara  mendukung berkembangnya kelompok-kelompok Wahabi dan ISIS.

Adapun faktor adalah meluasnya suap dan korupsi di antara para pejabat tinggi pemerintah Azerbaijan. Dala beberapa tahun terakhir, sejumlah elemen dan antek-antek asing memanfaatkan titik kelemahan tersebut sehingga mampu menciptakan situasi kondusif untuk menyebarluaskan paham Wahabisme di sebuah negara dengan mayoritas penduduknya bermazhab Syiah di wilayah Kaukasus Selatan.

Dengan mempertimbangkan dua faktor tersebut, maka sangat mungkin jika pemerintah Azerbaijan membuka lebar-lebar pintu bagi kelompok Wahabi guna menghindari tekanan dari negara-negara sekutunya.(

Selasa, 11 Agustus 2015 13:40

Menlu Iran Tunda Kunjungan ke Turki

Seorang pejabat di Kementerian Luar Negeri Iran mengatakan, kunjungan Menlu Mohammad Javad Zarif ke Turki masih dalam agenda dan akan dilakukan dalam penjadwalan berikutnya.

Berbicara kepada wartawan Farsnews, Selasa (11/8/2015), pejabat terkait membenarkan penundaan kunjungan Menlu Zarif ke Turki dan mengatakan, lawatan itu masih masuk agenda dan karena ada masalah jadwal untuk saat ini, jadi rencana kunjungan tersebut akan diatur ulang.

Menurut agenda sebelumnya, Zarif dijadwalkan tiba di Ankara hari Senin untuk berdialog dengan para pejabat Turki sebagai bagian dari tur regionalnya.

Zarif pada akhir Juli lalu, melakukan kunjungan ke Kuwait, Qatar dan Irak untuk membahas isu-isu bilateral dan masalah regional. (IRIB Indonesia/RM)

Surat kabar The Guardian menulis, upaya Presiden Barack Obama untuk mengaktifkan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dengan Iran dan Kuba, telah menyebabkan negara itu gagal di Suriah.

Dalam sebuah artikel pada Selasa (11/8/2015), The Guardian menyoroti kinerja Obama dalam kebijakan luar negeri Amerika dan menambahkan, Obama ingin mengaktifkan kebijakan luar negerinya dengan Iran dan Kuba, tapi kebijakan Amerika tampaknya gagal di Suriah. Demikian dikutip laman Mehrnews.

“Suriah terperosok dalam krisis dan merupakan salah satu bukti terbesar kegagalan Obama. Kerjasama AS dan Rusia di Dewan Keamanan PBB mengenai berkas senjata kimia Suriah akan sedikit menutupi rentetan kegagalan negara itu di Suriah,” tambahnya

Menurut koran terbitan Inggris itu, perang internal di Suriah memasuki tahun kelima dan jumlah korban perang itu mencapai lebih dari ratusan ribu orang dan angka pengungsi Suriah tercatat lebih dari 10 juta orang. Namun, Amerika tidak mampu berbuat sesuatu untuk krisis Suriah yang berdampak buruk bagi keamanan global.

Respon Obama terhadap kekerasan di Suriah, menunjukkan bahwa Amerika dengan sendirinya tidak mampu mengatasi krisis internasional dan kapasitas Washington untuk menyelesaikan krisis terbatas.

The Guardian menulis bahwa AS sedang berupaya untuk tidak terlibat dalam krisis baru di Timur Tengah dan negara itu lebih memilih membatasi krisis di Suriah ketimbang mengakhirinya.

Surat kabar The Guardian menulis, upaya Presiden Barack Obama untuk mengaktifkan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dengan Iran dan Kuba, telah menyebabkan negara itu gagal di Suriah.

Dalam sebuah artikel pada Selasa (11/8/2015), The Guardian menyoroti kinerja Obama dalam kebijakan luar negeri Amerika dan menambahkan, Obama ingin mengaktifkan kebijakan luar negerinya dengan Iran dan Kuba, tapi kebijakan Amerika tampaknya gagal di Suriah. Demikian dikutip laman Mehrnews.

“Suriah terperosok dalam krisis dan merupakan salah satu bukti terbesar kegagalan Obama. Kerjasama AS dan Rusia di Dewan Keamanan PBB mengenai berkas senjata kimia Suriah akan sedikit menutupi rentetan kegagalan negara itu di Suriah,” tambahnya

Menurut koran terbitan Inggris itu, perang internal di Suriah memasuki tahun kelima dan jumlah korban perang itu mencapai lebih dari ratusan ribu orang dan angka pengungsi Suriah tercatat lebih dari 10 juta orang. Namun, Amerika tidak mampu berbuat sesuatu untuk krisis Suriah yang berdampak buruk bagi keamanan global.

Respon Obama terhadap kekerasan di Suriah, menunjukkan bahwa Amerika dengan sendirinya tidak mampu mengatasi krisis internasional dan kapasitas Washington untuk menyelesaikan krisis terbatas.

The Guardian menulis bahwa AS sedang berupaya untuk tidak terlibat dalam krisis baru di Timur Tengah dan negara itu lebih memilih membatasi krisis di Suriah ketimbang mengakhirinya.