کمالوندی
Keadilan dalam Perspektif Imam Ali
Tanggal 13 Rajab, umat Islam di berbagai penjuru dunia memperingati kelahiran manusia besar. Di Iran, hari ini dirayakan sebagai "Hari Ayah". Bertepatan dengan 13 Rajab, tepatnya 23 tahun sebelum hijrah, lahir seorang bayi agung dari keluarga Abu Thalib bernama Ali. Beliau adalah Imam, pewaris kenabian; suami perempuan terbaik di dunia, Sayidah Fatimah; menantu Rasulullah Saw, dan ayah para Imam maksum.
Beberapa hari menjelang kelahirannya, sang ibu, Sayidah Fatimah binti Asad melakukan tawaf dan memanjatkan doa kehadirat Allah swt. Pandangan matanya tertuju ke langit, dan dengan penuh khusyuk beliau bermunajat, "Ya Allah, sesungguhnya aku beriman kepada-Mu dan kepada semua yang datang dari sisi-Mu, yaitu para Rasul dan kitab-kitab yang mereka bawa. Sesungguhnya aku membenarkan seruan kakekku Ibrahim Al-Khalil as. Dialah yang membangun kembali Kabah yang mulia ini. Maka demi orang yang telah membangun Kabah ini, dan demi janin yang ada dalam kandunganku ini, aku memohon pada-Mu; mudahkanlah kelahirannya."
Tidak lama setelah itu, terjadilah peristiwa yang sangat menakjubkan, pertanda bahwa Allah swt telah mengabulkan doanya. Di saat itu, dinding Kabah terbelah sehingga Fatimah binti Asad bisa masuk ke dalamnya, setelah itu tertutup kembali. Peristiwa yang sangat aneh dan menakjubkan itu membuat semua orang heran menyaksikannya.
Abbas bin Abu Thalib yang turut menyaksikan kejadian tersebut langsung pulang ke rumah untuk mengabarkan kejadian tersebut kepada keluarga dan kerabatnya, lalu kembali menuju Ka'bah bersama beberapa orang wanita untuk membantu kelahiran janin Fatimah itu. Namun, mereka hanya mampu mengelilingi luar Kabah, tanpa bisa masuk ke dalamnya. Seluruh penduduk kota Mekah tetap dalam kebingungan sambil menanti Fatimah keluar. Empat hari kemudian, barulah Fatimah keluar dari dalam Kabah sambil menimang putranya yang baru saja lahir. Orang-orang bertanya-tanya tentang nama bayi mulia itu, Fatimah menjawab, "Namanya adalah Ali."
Semenjak kecil, Ali tumbuh dalam naungan pengajaran dan didikan Nubuwah di dalam rumah Nabi Muhammad Saw. Di salah satu khutbahnya yang terhimpun dalam Nahjul Balaghah, Ali pernah menuturkan, "Ketika aku masih kecil, Rasulullah Saw membaringkanku di tempat tidurnya, mendekapku dengan penuh kasih-sayang, dan mengunyahkan makanan untuk disuapkan ke mulutku."
Sejak masa kanak-kanak, Imam Ali tidak pernah lepas dari pendidikan manusia agung Rasulullah saw. Imam Ali mengisahkan, "Aku senantiasa mengikuti Rasulullah saw bak seorang anak unta yang masih menyusu selalu menyertai ibunya. Setiap hari Rasulullah saw selalu menyempurnakan perangaiku dan memintaku untuk mengikutinya. Setiap tahun aku selalu menyaksikan beliau pergi ke goa Hira’, sementara tidak seorang pun mengetahui kepergian beliau. Ketika itu, tidak ada satu rumah pun yang menyatukan seorang pun di dalam Islam selain Rasulullah, Khadijah, dan yang ketiga adalah aku sendiri. Kusaksikan cahaya wahyu dan risalah ilahi. Di sana kucium semerbak kenabian dari rumah kudus itu."
Salah satu karakteristik terpenting Imam Ali adalah komitmennya menegakkan keadilan dan membela orang-orang yang tertindas. Mengenai keutamaan Imam Ali Ibnu Abbas berkata,"Tidak ada pemimpin yang semulia Ali. Ia tidak berani berbohong, bahkan untuk kemaslahatan sekalipun demi meraih kekhilafahan maupun menarik simpati para penentangnya."
Seorang pemikir kristen Lebanon, George Jordac menjelaskan keutamaan Imam Ali, dalam bukunya The Voice of Human Justice menulis, "Di alam ini setiap lautan memiliki gelombang yang mengguncang. Namun aku tidak mengenal samudera yang terhampar luas dan agung sebagaimana samudera keutamaan Ali. Tidak ada yang tidak terguncang kecuali dua jenis manusia; orang yang terzalimi, dan orang yang takut kepada Allah di kegelapan malam.”
Menurut Imam Ali, keadilan adalah prinsip yang harus berdiri tegak di alam semesta. Beliau menegaskan, tidak ada yang menyamai keadilan, karena prinsip itulah yang menyebabkan kota-kota menjadi makmur. Menurut Imam Ali, keadilan bukan memperindah iman, tapi bagian dari prinsip keimanan sendiri. Di mata Imam Ali, kinerja terpenting pemerintahan adalah menciptakan keadilan. Poros upaya hal tersebut adalah terpenuhinya hak orang-orang yang terzalimi. Dalam pemerintahan Imam Ali, keadilan bukan hanya slogan belaka, tapi sebuah program praktis yang membumi. Dengan kata lain, keadilan adalah inti politik Imam Ali.
. Dalam pandangan Imam Ali, kezaliman dan ketidakadilan menghalangi manusia mencapai kesempurnaan.
Imam Ali mengubah sistem pemikiran dan budaya publik serta mereformasi struktur pemerintahan dan para pejabatnya dalam rangka mewujudkan keadilan di tengah masyarakat. Beliau menghidupkan kembali nilai-nilai agama dan menghilangkan jurang sosial dan diskriminasi. Untuk menghilangkan diskriminasi, Ali menerapkan persamaan di berbagai bidang. Kepada para hakim, Imam Ali berkata, "Kalian berlaku adillah dalam memutuskan sebuah perkara. Perlakukan setiap orang sama di hadapan hukum, sehingga orang-orang terdekatmu tidak rakus dan musuh kalian tidak putus asa terhadap keadilanmu."
Dalam instruksinya kepada para petugas pajak, Imam Ali berkata, "Bersikaplah adil dan penuh pertimbangan. Kalian adalah para bendahara negara, wakil rakyat dan duta pemerintahan. Sepak terjang kalian jangan sampai seperti binatang buas yang memangsa apa saja. Karena rakyat adalah manusia juga seperti kalian, tidak ada bedanya apakah ia muslim ataupun non muslim."
Walaupun Imam Ali memimpin pemerintahan Islam yang terbentang luas, namun dari sisi individu dan sosial ia tidak meyakini keistimewaan bagi dirinya sendiri. Beliau hidup seperti rakyat jelata. Imam Ali memulai kepemimpinannya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan di tengah masyarakat. Beliau pun berupaya sekuat tenaga untuk menghidupkan hak-hak manusia. kepada pegawainya beliau menginstruksikan untuk menciptakan iklim bebas di tengah masyarakat, mendengar pandangan mereka dan menyiapkan sarana untuk mewujudkan hak-haknya.
Imam Ali dalam surat yang disampaikan kepada Malik Ashtar berpesan, "Wahai Malik, pergunakan sebagian waktumu khusus untuk melayani orang-orang yang membutuhkanmu. Sediakan waktu untuk pekerjaan mereka dan duduklah pada pertemuan-pertemuan umum. Bersikaplah tawadhu dalam pertemuan itu. Jauhkanlah pengawalmu dari mereka, sehingga rakyat dengan bebas dan tanpa kekhawatiran sedikitpun berbicara denganmu."
Dalam pandangan Imam Ali, memberangus kezaliman adalah hak seluruh bangsa di dunia, dan pemimpin adalah orang yang harus mengupayakan hilangnya kezaliman dalam pemerintahannya.Terkait hal ini, Imam Ali menilai orang yang memimpin masyarakat adalah orang yang bisa mewujudkan keadilan dan memerangi segala bentuk ketidakadilan.(
Sayidah Zainab as; Perempuan Pemberani
“Ketika bulan Muharram tiba, kami biasa mengikuti majelis duka dan menggambarkan di benak bagaimana bila kami hadir di peristiwa Karbala. Seandainya kami berada di sisi Imam Husein as dan bertempur melawan para pezalim. Kini saat kami mengikuti berita regional dan dunia Islam, waktu itu pula kami merasa tiba waktunya. Kondisinya sama dan makam suci Sayidah Zainab as dalam kondisi bahaya.
Sekalipun tidak hidup dalam periode Imam Husein as, tapi kini kami menyaksikan segala bentuk kezaliman, penindasan, peperangan, kemunafikan dan penyimpangan. Lalu bagaimana kami dapat memahami kondisi ini? Oleh karenanya, kami memutuskan untuk bangkit membela kebenaran. Pembelaan ini tidak terbatas hanya pada satu makam suci, tapi pembelaan terhadap kemanusiaan dan kebebasan. Hal yang telah dibangun oleh Imam Husein dan Sayidah Zainab as dalam sejarah kemanusiaan.”
Ucapan sebelumnya berasal dari seorang syuhada pembela makam suci Ahlul Bait as dan pendukung makam suci Sayidah Zainab as. Perempuan agung yang telah melewati satu periode sejarah dengan metode dan gaya hidupnya. Kemampuannya melihat kondisi zamannya yang penuh dengan kezaliman memaksanya bangkit melawan semua itu. Sayidah Zainab as dengan bijak terlibat langsung dengan kebangkitan Imam Husein as dan tegar menghadapi kezaliman.
Partisipasi Sayidah Zainab as dalam kebangkitan ini untuk mencegah Yazid dan para pengikutnya menghitamkan sejarah kemanusiaan. Kini para pemuda pencari kebenaran dan keadilan bangkit mempersiapkan dirinya dengan menapaki nilai-nilai yang ditorehkan perempuan agung ini. Karena setiap harinya mereka menyaksikan para pemuda dari Lebanon, Irak, Suriah, Afghanistan dan Iran yang mereguk cawan syahadah membela Ahlul Bait di Suriah. Banyak dari mereka yang mengorbankan nyawanya saat berperang melawan teroris Takfiri di sana.
Posisi perempuan dalam agama-agama memiliki pengaruh besar dalam akidah, perilaku sosial, tradisi dan budaya di sekitarnya. Islam yang memuliakan perempuan pada hakikatnya melindungi pribadinya baik secara alami maupun dalam hukum. Kesetaraan perempuan dan pria sebagai manusia dalam Islam menunjukkan keduanya merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah masyarakat dan pelengkap manusia. Keberadaan perempuan dan pria menjadi jaminan keselamatan masyarakat dan pelindung nilai-nilainya. Setiap dari keduanya memiliki tanggung jawab sendiri-sendiri dalam sebuah masyarakat dan ini menunjukkan derajat pribadi perempuan dan kesamaannya dengan pria.
Ini merupakan keniscayaan sosial bahwa perempuan memahami tanggung jawab sosialnya dan melaksanakan peran utamanya di tengah masyarakat. Perempuan muslim harus memainkan peran aktif dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya lalu melaksanakan peran hakikinya. Dalam hal ini, Sayidah Zainab as merupakan contoh perempuan teladan dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya.
Sayidah Zainab as merupakan perempuan pemberani yang menjadi pengawal dan penyampai pesan Asyura sepeninggal Imam Husein as. Beliau meninggal dunia saat melakukan perjalanan menuju Syam bersama suaminya Abdullah bin Jakfar. Kemudian jasad beliau dikebumikan di tempat tersebut. Sayidah Zainab as berhasil mencerahkan jalan yang diperjuangkan kakeknya Rasulullah Saw. Beliau mewarisi semangat melawan kezaliman dari ibunya, Fathimah dan ayahnya Imam Ali as. Kefasihannya mampu mengungkap kebenaran dan membongkar kezaliman.
Sepanjang hidupnya, Sayidah Zainab as dipanggil dengan banyak sebutan seperti Aqilah Bani Hasyim, Umm al-Mashaib, Arifah, Amilah, Zahidah, Bakiyah dan Shiddiqah Shugra. Sementara dari sisi keilmuwan beliau sempat mengajari tafsir al-Quran para perempuan muslim selama ayahnya tinggal di Kufah. Begitu juga selama Imam Zainal Abidin as sakit, beliau menjadi rujukan masyarakat dalam masalah syariat. Sejatinya, salah satu keutamaan beliau adalah ketinggian derajat keilmuwannya.
Sayidah Zainab as selama hidupnya dikenal sebagai cendekiawan, orator dan wakil khusus Imam Husein as dalam menjelaskan hukum halal dan haram. Pesan Asyura yang dibawa beliau telah disampaikan kepada seluruh perempuan muslim. Tidak hanya menyampaikan, tapi beliau menjelaskan dengan seksama dan detil risalah Imam Husein as. Selama hidupnya, Sayidah Zainab as menjadi pendukung para pejuang Islam dan senantiasa melakukan upaya-upaya sosial guna mendidik para calon pejuang Islam disertai dengan sikap menjaga kehormatan diri dan agama.
Keberanian merupakan satu karakter kuat yang ada dalam diri Sayidah Zainab as. Beliau begitu tegar saat menghadapi musuh dan bangkit melawan kezaliman dengan segala apa yang dimilikinya, bahkan nyawanya sekalipun. Itulah mengapa beliau juga dipanggil dengan sebutan ”Singa Bani Hasyim”. Karena beliau dengan gagah berani meneriaki musuh dan mencela perbuatan mereka tanpa takut sedikitpun. Pedang yang masih mengalirkan darah tidak dapat menakutinya.
Zainab tidak menghiraukan kekuasaan Ibnu Ziyad, Gubernur Kufah saat memasuki ruangannya dan lebih memilih duduk di sudut ruangan. Tanpa memperhatikan pertanyaan yang diajukan Ibnu Ziyad, beliau menyebutnya sebagai orang fasik dan fajir. Beliau berkata, “Segala puji kepada Allah yang memuliakan kami dengan kenabian Muhammad Saw dan mensucikan kami dari kotoran. Sesungguhnya yang fasik bakal terungkap, para pelaku keburukan adalah pembohong dan ia bukan dari kami.”
Begitu pula ketika mendengar umpatan Yazid, Sayidah Zainab as kembali menunjukkan keberaniannya. Beliau mengatakan, “Saya melihatmu sangat kecil untuk menjadi lawan bicaraku. Tapi saya tidak dapat menolak kenyataan bahwa masyarakat telah melenceng dari kebenaran dan memberikanmu kekuasaan. Dengan kekuasaan ini, engkau mendapat kesempatan untuk menggugursyahidkan putra Nabi Allah Saw. Begitu juga engkau berkesempatan menjadikan keluarganya sebagai tawanan dan mendudukkannya di majelis ini.”
Ayatullah Sayid Ali Khamenei, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran menilai pribadi Sayidah Zainab as sangat agung dan tepat dalam melakukan manajemen krisis. Beliau berkata, “Nilai dan keagungan Sayidah Zainab as dikarenakan sikap dan gerakan agung kemanusiaan yang dilakukan berdasarkan kewajiban ilahi. Perbuatan dan bentuk gerakannya yang memberikan keagungan kepada pribadinya. Beliau bukan perempuan yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, bahkan Sayidah Zainab as telah mencapai puncak keimuwan.
Ketika krisis tengah mencapai puncaknya, dimana orang terkuatpun tidak memahami apa yang harus dilakukan, Sayidah Zainab as memahami apa yang harus dilakukan. Beliau mendukung Imamnya dan mempersiapkan dirinya untuk syahid. Pasca kesyahidan Imam Husein as, ketika dunia dipenuhi kezaliman dan jiwa manusia dalam kegelapan, perempuan agung ini bak cahaya yang bersinar terang. Sayidah Zainab as telah sampai pada derajat, dimana hanya manusia-manusia agung dalam sejarah kemanusiaan, yakni para nabi, yang telah sampai ke sana.”(
Sirah Kebudayaan Imam Musa Kadzim as
Imam Musa Kadzim as dijuluki dengan Abdus Saleh atau Hamba Saleh, karena kezuhudan dan ibadahnya. Beliau juga dijuluki Kadzim karena kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi kesulitan masa, karena kadzim berarti orang yang meredam amarahnya. Imam Musa Kadzim as, gugur syahid pada tanggal 25 Rajab 183 Hijriah.
Dalam sejarah disebutkan, masa kepemimpinan Imam Musa Kadzim as, adalah masa tersulit dalam kehidupan politik, sosial dan budaya Islam. Dua orang terkuat dari Bani Abbasiah, bernama Mansur dan Harun, serta dua orang paling keji bernama Mahdi dan Harun, berkuasa pada era tersebut. Kala itu, pembunuhan dan pembantaian terjadi berulangkali di wilayah kekuasaan Bani Abbasiah dan banyak gerakan pemberontakan rakyat yang ditumpas.
Di sisi lain, penaklukan wilayah-wilayah baru dan rampasan perang yang melimpah, semakin menambah kekuatan dan kekokohan Bani Abbasiah. Pada saat yang sama, gerakan pemikiran dan keyakinan juga berkembang. Sehingga setiap hari muncul keyakinan baru dalam busana budaya dan mazhab yang masuk dalam masyarakat. Kemunculan keyakinan itu diterima dan bahkan didukung oleh pemerintah Bani Abbasiah.
Syair, seni, fiqih, hadis dan bahkan kezuhudan dan ketakwaan semuanya melayani para penguasa. Suasana yang mencekik juga tidak memungkinan hubungan langsung imam dengan masyarakat di berbagai belahan wilayah Islam. Pada era itu, hanya satu hal yang menjaga Islam tetap pada jalurnya, yaitu kebijaksanaan dan manajemen serta upaya tiada henti Imam Musa Kadzim as.
Dalam kondisi itu, Imam Musa Kadzim as melanjutkan program-program ayahnya Imam Jafar Sadiq as. Guna mencegah penyusupan ateisme serta untuk menjaga tuntutan pemikiran dan ideologi masyarakat, beliau memusatkan upaya-upaya beliau di sektor budaya. Beliau menyampaikan hukum dan maarif Islam di berbagai bidang melalui para sahabat dan murid pilihan.
Ibn Hajar Haitami, seorang ilmuwan dan ahli hadis terkemuka Ahlussunnah dalam kitab “Al-Sawaiq al-Muhriqah” menulis, “[Imam] Musa Kadzim, dia adalah pewaris [Imam] Jafar Sadiq dalam ilmu, makrifat, kesempurnaan dan keutamaan. Dia dijuluki Kadzim karena ketabahannya yang besar. Beliau juga dijuluki dengan Bab al-Hawaij yakni pintu semua hajat. Imam Musa Kadzim as, adalah manusia yang paling penghamba dalam masyarakatnya. Pada masanya, tidak ada yang dapat menandinginya dalam hal makrifat kepada Allah Swt, ilmu pengetahuan dan kedermawanan.”
Amr makruf dan nahyu munkar, adalah dua program penting Islam dan termasuk dalam furuuddin. Al-Quran dan para imam maksum as telah menekankan tentang tugas langit ini. Dua kewajiban itu bukan hanya ada dalam agama Islam, melainkan juga salah satu program pembimbingan terpenting di seluruh agama samawi lainnya. Imam Musa Kadzim as dalam aktivitas budayanya sangat menekankan masalah amr makruf dan nahyu munkar untuk membimbing umat Islam.
Kisah Bishr bin Harits Hafi, adalah contoh nyata dari cara Imam Musa Kadzim as bertabligh. Bishr bin Harits menjalani hidupnya dengan bergelimang dosa dan shahwat. Pada suatu hari, Imam Musa Kadzim as melintasi gang tempat tinggal Bishr, dan ketika beliau tepat berada di depan rumah Bishr, secara kebetulan pintu rumah itu terbuka dan salah satu pembantunya keluar rumah. Imam Musa Kadzim as bertanya kepada pembantu itu, “Apakah tuanmu seorang yang bebas atau hamba?” Sang pembantu itu menjawab: “Bebas”. Imam menggelengkan kepala dan berkata, “Memang seperti yang kau katakan. Karena jika dia adalah hamba maka dia akan beramal dengan kondisi penghambaan dan menaati Tuhannya.”
Setelah mengucapkan itu, Imam Musa Kadzim as melanjutkan perjalanannya. Bishr yang menyaksikan percakapan pembantunya dengan Imam, segera bergegas keluar tanpa sandal dan berlari mengejar Imam. Dia berkata, “Wahai tuanku! Ulangilah padaku apa yang kau katakan kepada perempuan ini.” Kemudian Imam Musa Kadzim as mengulangi ucapannya. Seketika secercah cahaya bersinar dalam hati Bishr dan ia menyesali perilakunya. Dia kemudian mencium tangan Imam Musa Kadzim dan mengusapkan tanah pada pipinya. Diiringi isak tangis dia berkata, “Iya, aku adalah hamba... iya aku adalah hamba.”
Imam telah melaksanakan tugasnya dalam amr makruf dan nahyu munkar dengan baik. Dengan ucapan pendek, beliau telah menyadarkan Bishr dan membalikan hatinya sedemikian rupa sehingga dia bertaubat dan menghabiskan sisa umurnya dalam ketaatan.
Para khalifah Bani Abbasiah menisbatkan diri mereka dengan Rasulullah Saw, untuk melegitimasi kekuasaan mereka dan juga untuk menyusupkan pengaruh spiritualitas dalam masyarakat. Mereka yang berasal dari keturunan paman Rasulullah yaitu Abbas bin Abdul Muthalib, memanfaatkan secara maksimal kekerabatan dengan Nabi Muhammad dan mengklaim diri sebagai khalifah. Mereka juga mengklaim bahwa para imam maksum as, dari keturunan Sayidah Fatimah as, dan mengingat setiap orang dinisbatkan kepada kakek ayah, maka para imam maksum as tersebut bukan putra dan keturunan Rasulullah Saw.
Dengan cara seperti itu, mereka berupaya mengelabuhi opini masyarakat awam. Oleh karena itu, Imam Musa Kadzim as melawan makar mereka dengan bersandarkan pada ayat-ayat al-Quran. Debat beliau dengan Harun al-Rashid, termasuk di antara upaya beliau dalam menjelaskan posisi Ahlul Bait as serta kebenaran dan keutamaan mereka dalam masalah kepemimpinan umat.
Pada suatu hari, Harun al-Rashid bertanya kepada Imam, “Bagaimana Anda mengklaim sebagai putra Rasulullah padahal Anda adalah putra Ali as?” Imam Musa Kadzim menjawabnya dengan membacakan ayat 84 dan 85 surat al-An’am, di mana Allah Swt berfirman:
“...dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang shaleh.”
Kemudian Imam berkata, “Di antara yang disebutkan dari keturunan Ibrahim, hanya Nabi Isa yang dinisbatkan kepada ibunya. Padahal dia tidak memiliki ayah dan masuk dalam nasab para nabi melalui ibunya. Oleh karena itu, kami juga dinisbatkan sebagai keturunan Rasulullah Saw melalui ibunda kami Fatimah az-Zahra (as).”
Menerima jawaban logis Imam, Harun al-Rashid meminta penjelasan lebih lanjut. Kemudian Imam menceritakan peristiwa Mubahalah, di mana Allah Swt dalam ayat 61 surat Al-Imran, berfirman kepada Rasulullah Saw:
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” Mendengar jawaban tersebut, Harun al-Rashid merasa telah mendapatkan jawaban dan memuji Imam.
Al-Quran adalah anugerah terbesar Allah Swt untuk kebahagiaan abadi umat manusia. Peran penting kitab samawi ini dalam pertumbuhan dan penyampaian manusia pada kesempurnaan sangat jelas. Al-Quran sebagai mukjizat terbesar Rasulullah Saw telah mampu mengubah masyarakat Arab di berbagai bidang sosial, politik dan budaya. Peristiwa ini, khususnya perubahan mendalam di sektor budaya sama seperti penghembusan nyawa baru pada tubuh umat manusia yang telah setengah mati.
Dalam hadits Tsaqalain yang terkenal, Rasulullah Saw telah menekankan kebersamaan itrah dan Ahlul Bait Nabi. Dan Rasulullah Saw telah berjanji bahwa barang siapa yang berpegang teguh pada keduanya maka mereka tidak akan pernah tersesat.
Imam Musa Kadzim as sebagai seorang pembimbing umat, juga sangat menekankan pentingnya al-Quran sebagai sumber hidayah. Bukan hanya menyeru masyarakat untuk membaca dan mengamalkan ayat-ayat al-Quran, melainkan beliau juga terdepan dalam memberikan contoh. Syeikh Mufid dalam kitab Irshad menulis, “Imam Kadzim (as) adalah manusia paling faqih di masanya, dan paling penghapal al-Quran di masanya, serta paling indah dalam berqiraah dalam masyarakat.”
Perhatian Imam Musa Kadzima as terhadap posisi al-Quran tidak hanya terbatas pada dimensi individualnya. Beliau menjelaskan dan menafsirkan al-Quran. Dengan berbagai cara, beliau berusaha meningkatkan pemahaman dan makrifat masyarakat Islam.
Suatu ketika beliau ditanya tentang ayat 19 surat al-Rum yang menyebutkan bahwa bumi akan dihidupkan setelah kematiannya. Beliau menjawab, “Hidupnya bumi bukan dengan hujan, melainkan Allah Swt akan membangkitan manusia-manusia akan menghidupkan keadilan dan bumi akan hidup kembali dengan hidupnya keadilan serta penegakan hukum-hukum Allah Swt di muka bumi lebih bermanfaat dari hujan 40 hari.”
Ufuk Kebahagiaan dalam Risalah Hakiki Muhammad Saw
Pada hari-hari sebelum tanggal 27 Rajab, Muhammad Saw selalu ke gua Hira dan terkadang keberadaan beliau di goa tersebut hingga berhari-hari. Kepada istrinya yang setia Khadijah sa, beliau selalu mengungkapkan kerinduan kepadanya dan berkata, “Kau tahu cinta dan keterikatanku padamu; akan tetapi dalam beberapa hari terakhir ini secara menakjubkan aku ingin tidak ada sesuatu hal lain ada dalam hatiku kecuali mengingat Tuhan Pencipta Semesta.”
Pada akhirnya, malam penuh misteri itu tiba. Sinar rembulan secara perlahan menerangi puncak gunung dan lembahnya di bagian selatan. Mendadak semua tempat dilanda kesunyian penuh misteri. Muhammad Saw menghabiskan malam-malam dengan terjaga. Tidak ada suara pada kegelapan malam itu, akan tetapi kesunyian malam itu sangat berbeda.
Seketika terpancar cahaya dari langit yang menerangi ufuk pandangan Muhammad Saw. Beliau merasakan getaran hebat pada batin dan jasmaninya. Seakan jiwa lembut Muhammad Saw, memiliki kapasitas besar. Setelah itu muncul sosok agung di hadapan Muhammad Saw. Penampilannya penuh wibawa dan bersahaja. Ke mana pun Muhammad menatap, sosok itu selalu ada di hadapannya.
Dia adalah Jibril, sang malaikat penyampai wahyu. Jibril menghampiri Muhammad Saw dan berkata; “Wahai Muhammad, bacalah.” Muhammad Saw menatap tajam. Beliau menyaksikan tulisan di hadapannya. Kemudian terdengar kembali suara, “Bacalah dengan nama Tuhanmu.” Dengan suara bergetar, Muhammad Saw berkata, “Apa yang harus aku baca? Aku tidak dapat membaca.” Dan malaikat itu berkata; “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Seluruh wujud Muhammad Saw terbalut kecintaan samawi dan kemudian beliau mengikuti bacaan sang malaikat itu. “Wahai Muhammad, kau adalah Rasulullah,” demikian suara berwibawa itu kembali terdengar dan menggetarkan jiwa Muhammad Saw.
Apa yang didengar Muhammad Saw? Itu bukan mimpi, karena itu semua sepenuhnya nyata. Adalah kehendak Allah Swt untuk berfirman kepada hamba-Nya dan Muhammad Saw adalah termasuk di antara segelintir hamba Allah Swt yang layak menerima wahyu. Muhammad Saw selalu memikirkan jalan membebaskan masyarakat dari kesesatan dan penyimpangan; dan sekarang beliau harus memikul tugas besar itu.
Apa yang dirasakan Muhammad Saw sungguh tidak dapat terbayangkan. Rasa panas menyelimuti sekujur tubuh beliau. Pundak beliau bergetar. Beliau ingin bangkit namun tidak mampu. Seketika beliau meletakkan dahi ke tanah dan tanpa sadar beliau menangis. Pada malam penuh misteri itu, yaitu malam 27 Rajab, Muhammad Saw diangkat sebagai Nabi.
Semua Rasulullah, diutus Allah Swt untuk membimbing umat manusia dari kegelapan, kebodohan dan keragu-raguan, menuju cahaya ilmu dan makrifat. Meski demikian, masing-masing mereka menggunakan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi di masanya.
Masalah penting dalam pengaruh dan perluasan agama Islam, berkaitan dengan keutamaan dalam kepribadian dan juga pesan Rasulullah Saw. Ayat-ayat al-Quran memuat maarif yang sangat edukatif dan bernilai. Maarif al-Quran, membuka jalan bagi penerimaan logika dan menghapus seluruh keraguan dan keambiguan dalam benak umat manusia. Kini, kriteria itu pula yang mengundang keinginan dan perhatian para pencari Islam.
Rasulullah Saw telah menyampaikan pesan-pesan beliau bersama logika dan argumentasi, juga dengan bahasa yang fasih dan indah. Beliau menyampaikan seruan penghambaan kepada Allah Yang Maha Esa dengan sangat indah. Allah Swt yang menciptakan langit, bumi dan alam semesta. Rasulullah Saw berulangkali menyebutkan tanda-tanda wujud Allah Swt dan mengarahkan manusia pada wujud Sang Pencipta.
Berbagai konsep seperti pencarian kebenaran, perwujudan keadilan, hubungan sehat dan manusiawi yang terkandung dalam pesan-pesan luhur Nabi Muhammad Saw, menjawab tuntutan alami dan fitrah manusia. Hati dan jiwa kembali tersegarkan dengan seruan tersebut serta menuntun mereka menuju kehidupan bahagia. Jelas bahwa jika maarif Islam tidak memiliki kriteria dan keutamaan tersebut, maka tidak akan ada dukungan dalam dakwah. Namun pada kenyataannya, apa yang disampaikan Rasulullah Saw diterima hati dan akal masyarakat.
Masalah penting dalam agama Islam, yang sangat ditekankan dan menjadi tujuan luhur dakwah Rasulullah Saw adalah pengajaran dan pembimbingan. Mendorong masyarakat dan upaya untuk memperluas ilmu pengetahuan dan makrifat, di samping bimbingan jiwa dan batin. Allah dalam al-Quran dalam ayat 2 surat al-Jum’ah, berfirman: Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Dengan demikian, Rasulullah Saw ditugaskan untuk membaca ayat-ayat al-Quran untuk membersihkan jiwa masyarakat dari debu-debu syirik dan keyakinan batil, serta menghiasinya dengan akhlak mulia. Sebagaimana yang dalam hadits Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Oleh karena itu, salah satu tujuan terpenting pengutusan Rasulullah Saw, sebagaimana yang disebutkan al-Quran adalah penyucian dan pembimbingan masyarakat dalam rangka mengaktifkan dan mengembangkan potensi besar manusia. Dalam proses pembimbingan tersebut, hubungan antara manusia dan Allah Swt dalam masyarakat Islam juga akan terislahkan.
Rasulullah Saw adalah teladan bukan hanya dalam ucapan melainkan juga dalam amal perilaku. Rasulullah Saw lebih menekankan dirinya untuk melaksanakan ajaran agama Islam lebih dari orang lain. Akhlak yang mulia dan perilaku yang terpuji dan penuh kasih sayang beliau, menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk mengikuti seruan Rasulullah. Oleh karena itu, akhlak mulia Rasulullah Saw yang menarik perhatian masyarakat jahil Arab dan membimbing mereka ke jalan Allah Swt.
Masa paling sulit dalam dakwah Rasulullah Saw, adalah pengubahan dan penghapusan keyakinan kaum Arab dan musyrikin. Mereka kebanyakan adalah orang-orang fanatik. Untuk berhasil dalam misi dakwahnya, Rasulullah Saw sangat menekankan beberapa poin penting. Beliau tetap menjaga kehormatan dan kemuliaan setiap manusia bahkan orang-orang paling fanatik sekali pun. Beliau berupaya untuk menciptakan situasi tenang dan jauh dari gejolak, dalam menyampaikan pesan risalah. Rasulullah Saw menghindari mencemooh orang-orang jahil dan bahkan beliau tidak mengolok mereka jika terpaksa berdebat. Pada kesempatan berbeda, beliau berusaha mengajak mereka berdialog kembali. Dalam menyampaikan pesan kebenaran, biasanya Rasulullah Saw memulai dari titik yang juga diterima oleh pihak lawan. Cara tersebut digunakan Rasulullah Saw khususnya dalam menghadapi para pemeluk agama samawi.
Rasulullah Saw selalu menyesuaikan dakwah beliau dengan kapasitas dan kemampuan penalaran audien. Beliau juga berinteraksi dengan seluruh usia. Terkadang dengan senyum manis dan juga tatapan tajam, Rasulullah Saw mempersiapkan hati pihak seberang untuk menerima pesan dakwah beliau.
Sekarang, di masa-masa penuh kesulitan dan bencana ini, kita menyaksikan pembantaian umat Islam oleh para manusia era Jahiliyah. Dan pada peringatan Bi’tsah Rasulullah Saw ini, mari kita semua merujuk pada ajaran Islam hakiki, damai dan penyegar jiwa-jiwa manusia.
Mengenal Karakteristik Unggul Imam Husein as
Kota Madinah pada 3 Sya’ban tahun 4 Hijriah menjadi tuan rumah kelahiran anak dari keluarga Nabi. Keluarga yang kerap disebut Rasulullah sebagai Ahlul Bait Nabi pasca turunnya ayat Tathir. Nabi pun senantiasa mengucapkan salam kepada keluarga ini. Di hari yang berbahagia tersebut, Nabi berdiri di samping pintu rumah Fatimah. Beliau menunggu terbitnya cahaya Husein as. Ketika dunia diterangi cahaya suci Husein, nabi kemudian berkata, Asma’ bawa kesini anakku! Asma’ menjawab, Ya Rasulullah! Aku belum membersihkan bayi ini dan menyiapkannya. Dengan penuh keheranan Nabi bertanya, Kamu membersihkannya? Asma’ kemudian memandang Nabi dan akhirnya ia memahami pertanyaan beliau. Asma’ pun membawa Husein kepada Rasulullah. Nabi kemudian merangkul cucunya, menciumnya dan secara perlahan berbicara kepadanya.
Husein adalah kecintaan Rasulullah. Ia akan tenang ketika dalam pelukan Nabi dan hati Rasulullah akan gembira saat bertemu dengan Husein. Masa kecil Husein dilalui dengan kenangan manis bersama kakek tercintanya, Rasulullah. Terkadang pundak Rasulullah menjadi tempat duduk Husein dan terkadang tangan beliau menggandeng sang cucu kesana kemari. Semua orang menyaksikan ciuman Rasulullah ke wajah Husein. Nabi berbicara dengan Husein menggunakan bahasa anak-anak serta sangat menyayanginya.
Terkait kasih sayangnya yang besar terhadap Husein, Nabi dengan transparan menjelaskan, “Kasih sayang yang Aku limpahkan kepada Husein, lebih besar lagi dari apa yang kalian saksikan.” Sabda Nabi ini telah mengarahkan manusia pada hakikat bahwa kasih sayang yang dilimpahkan Rasulullah kepada anak kecil ini, bukan sekedar kecintaan keturunan dan keluarga, namun sebuah kecintaan Ilahi. Telah jelas bahwa Nabi bukan manusia biasa. Menurut al-Quran, seluruh perilaku dan ucapan Nabi bukan bersumber dari pribadi dan hawa nafsu, seperti yang dijelaskan dalam Surat An-Najm ayat 3-4 yang artinya, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Oleh karena itu, Allah Swt berfirman dalam Surat al-Ahzab ayat 21 yang artinya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Kecintaan besar Rasulullah Saw kepada Husein banyak dimuat di berbagai kitab, bahkan kitab-kitab dari Ahlu Sunnah pun banyak menukilnya.
Di antaranya adalah sebuah riwayat yang menyebutkan, sekelompok orang bersama Rasulullah pergi bertamu, Nabi pun berjalan di depan dan mendahului kelompok ini. Di tengah jalan, Nabi bertemu dengan Husein. Nabi ingin memeluk Husein, namun cucunya tersebut lari kesana kemari. Nabi menyaksikan tingkah laku cucunya dan kemudian mengejarnya. Ketika berhasil memegang Husein, Rasul kemudian memeluk dan menciumnya. Selanjutkan Nabi menghadap kepada masyarakat dan bersabda, “Husein dariku dan Aku dari Husein. Siapa saja yang mencintai Husein, maka Allah akan mencintainya.” (Hadis ini diriwayatkan dari Musnad Ahmad jilid 4, Sunan Ibnu Majah jilid 1 dan Manaqib Ibn Sharashub jilid 3)
Imam Husein memiliki karakteristik unggul di berbagai dimensi. Imam bahkan unggul dari manusia lain di seluruh kesempurnaan, keutamaan dan ibadah. Imam Husein memiliki ibadah dan penghambaan khusus, karena sejak masih berada di kandungan ibunya, Fatimah as hingga kepala beliau dipenggal oleh jahiliyah Umawiyah, Imam Husein senantiasa sibuk dengan memuji dan bertasbih kepada Allah Swt serta bacaan al-Quran terus terdengar dari mulut suci beliau. Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad, putra beliau menceritakan tentang ibadah sang ayah dan bersabda, “Ayahku, Husein bin Ali bin Abi Thalib menghabiskan waktu malamnya dengan ruku’, sujud dan berdoa kepada Allah Swt. Setiap malam, ayahku banyak mengerjakan shalat.”
Imam Husein adalah penjaga ajaran agama dan sunnah Rasulullah. Beliau dengan gigih memajukan tujuan dan misi suci Islam. Salah satu karakteristik Imam Husein adalah cinta kebebasan dan membenci kezaliman. Beliau adalah pahlawan yang tidak pernah bersedia berdampingan dengan kezaliman dan depotisme. Beliau dikenal sebagai peletak metode kebebasan dan nilai-nilai kemanusiaan, di mana seluruh pencinta kebebasan dan anti kezaliman serta pejuang di jalan keadilan harus mengambil teladan darinya.
Sikap anti kezaliman dan keberanian Imam Husein tercermin nyata ketika dipaksa untuk berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah yang jelas-jelas fasid dan melakukan dosa secara terang-terangan. Beliau bersabda, “Husein tidak akan tunduk pada kehinaan...”Menghormati kepribadian seseorang merupakan karakteristik unggul lain Imam Husein. Dalam hal ini Imam akan berbuat sedemikian hati-hati dalam menegur kesalahan orang lain sehingga orang tersebut tidak akan merasa malu akan kesalahannya tersebut.
Diriwayatkan bahwa Imam Husein menyaksikan seseorang melakukan kesalahan dalam berwudhu dan orang tersebut membutuhkan bimbingan wudhu yang benar. Namun karena takut membuat malu orang tersebut, Imam akhirnya memikirkan cara yang lebih baik supaya tidak menyinggung orang ini. Imam Husein kemudian mengajak saudaranya, Imam Hasan as untuk berlomba wudhu dan meminta orang tersebut sebagai wasit. Dengan demikian Imam telah memberikan pelajaran wudhu yang benar secara tidak langsung kepada orang ini.
Akhirnya orang tersebut memahami kesalahannya dan mendapat pelajaran wudhu yang benar. Orang tersebut berkata kepada kedua cucu Rasulullah, “Kalian berdua telah wudhu dengan benar, dalam hal ini Aku yang keliru dan tidak memahami kewajibanku dengan benar. Kalian berdua dengan tepat telah memberi pelajaran kepadaku bagaimana wudhu yang benar.”
Imam Husein juga terkenal sangat menghormati hak-hak orang lain. Diceritakan seorang bernama Abdurrahman telah mengajari surat al-Fatihah kepada salah satu anaknya, kemudian Imam memberinya hadiah seribu dinar dan seribu pakaian serta berbagai hadiah lainnya. Orang tersebut sangat takjub dengan pemberian Imam. Imam Husein yang menyaksikan kondisinya, lantas berkata, “Semua hadiah ini tidak berarti dengan apa yang telah kamu lakukan.”
Karakteristik lain Imam Husein as adalah kelembutan beliau kepada orang lain dan suka bersahabat, khususnya kepada mereka tertimpa kemurungan dan kesedihan dalam mengarungi kehidupan yang pasang surut ini, atau mereka menghadapi kesulitan besar dan menemui jalan buntu. Diceritakan Imam Husein pergi mengunjungi Usamah bin Zaid. Sesampainya di rumah Usamah, Imam menyaksikannya dalam kondisi murung dan sedih. Imam kemudian bertanya kepada Usamah apa yang menyebabkannya terlihat begitu sedih. Usama pun kemudian mengungkapkan kesedihannya dihadapan Imam Husein.
Usamah berkata, “Aku memikul hak orang lain di pundakku. Aku berhutang kepada orang lain dan Aku berharap selama masih hidup mampu mengembalikan hutang tersebut. Aku tidak ingin mati dengan membawa beban hutang.” Setelah mendengar penuturan Usamah, Imam Husein langsung memerintahkan untuk melunasi hutang Usamah. Saat itulah, Usamah dengan hati lapang meninggalkan dunia yang fana ini.
Salah satu karakteristik unggul lain Imam Husein adalah infak secara ikhlas baik itu infak secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, kepada orang yang tak dikenal atau tidak. Malam hari Imam Husein tak segan-segan memanggul bahan makanan dan kebutuhan hidup bagi mereka yang membutuhkan dan anak-anak yatim serta meletakkannya di depan pintu rumah mereka.
Oleh karena itu, di hari Asyura, terlihat bekas-bekas di pundak beliau yang menunjukkan bahwa beliau sering memanggul barang berat. Ketika Imam Sajjad ditanya sebab dari bekas-bekas tersebut, beliau berkata, “Itu adalah bekas dari memanggul sedekah dan hadiah secara sembunyi-sembunyi yang dipikul ayahku pada malam hari dan diberikan kepada anak yatim serta orang-orang miskin.”
Abul Fadhl, Teladan Pengorbanan dan Sifat Ksatria
Tanggal 4 Sya’ban adalah hari kelahiran Abul Fadhl Abbas, putra Ali bin Abi Talib. Abul Fadhl memiliki raut muka yang tampan dan didukung pula dengan akhlaknya yang mulia. Baik luar maupun dalam, Abul Fadhl adalah sosok penuh daya tarik dan menonjol. Sisi luarnya merupakan cermin dari batinnya. Wajahnya yang gemilang bak bulan yang bersinar terang. Di antara keturunan Bani Hasyim, Abul Fadhl seperti bulan yang terang, sehingga dijuluki Qomar Bani Hasyim.
Hari ke empat bulan Sya'ban tahun 26 Hijriah, kota Madinah seakan-akan mendapat pancaran cahaya ilahi dengan kelahiran Abbas putra Ali bin Abi Talib as. Bayi yang baru lahir ini dikemudian hari akan tercatat dalam sejarah berkat keberanian dan pengorbanannya yang tinggi bagi kejayaan Islam serta nilai-nilai kemanusiaan. Bukan hanya umat Islam yang bangga dengan Abbas bin Ali bin Abi Talib, orang-orang kafir pun merasa bangga terhadap putra Ali yang satu ini.
Ketika berita kelahiran Abbas disampaikan kepada Ali bin Abi Talib, beliau bergegas pulang ke rumah dan dengan hangat memeluk sang bayi. Wajah bayi yang baru melihat dunia ini mendapat hujanan ciuman dari sang ayah. Dengan khidmat Imam Ali mengumandangkan azan di telinga kanan anaknya dan iqomah di telinga kirinya. Kemudian Imam Ali memberikan infak kepada mereka yang membutuhkan demi keberkahan anaknya.
Sang ayah menyaksikan cahaya ilahi dalam wajah anaknya khususnya sifat ksatria dan gagah berani dengan jelas terpancar dari tubuh bayi tersebut. Oleh karena itulah Imam Ali memberikan nama bayi ini Abbas yang artinya singa. Di kemudian hari bayi ini cemerlang hidupnya dan tidak pernah menyerah pada kezaliman khususnya di saat kezaliman memenuhi kehidupan manusia. Imam Ali dengan teliti mendidik dan membesarkan Abbas dengan membekalinya keimanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Imam Ali memperlakukan Abbas serupa dengan anak-anaknya yang lain dan beliau tidak pilih kasih dalam mendidik anaknya.
Abul Fadhl juga mendapat kesempatan untuk menimba ilmu dan nilai-nilai kemanusiaan dari dua penghulu pemuda surga, Imam Hasan dan Husein, cucu Rasulullah Saw dan sekaligus saudara seayahnya. Kedekatan Abul Fadhl dengan cucu Rasulullah khususnya Imam Husein membuat dirinya banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat mulia Abu Abdillah, Husein bin Ali bin Abi Talib.
Imam Husein yang melihat dengan jelas sifat-sifat mulia yang dimiliki Abul Fadhl membuat beliau sangat menyayangi saudaranya ini. Kedekatannya dengan cucu Rasulullah membuat Abul Fadhl mencapai tingkat kesempurnaan relijius dan menjadikannya manusia saleh. Upaya tak kenal lelah Abul Fadhl membela sesamanya dan pengorbanannya demi mensukseskan cita-citanya telah membuat umat manusia tercengang dan namanya bersinar terang sepanjang sejarah.
Abul Fadhl selama 14 tahun berada di bawah didikan langsung ayahnya, Ali bin Abi Talib as, bahkan disebutkan pula remaja keturunan manusia suci ini kerap turut andil di peperangan selama ayahnya menjadi khalifah umat Islam. Bahkan para sejarawan berlomba menceritakan kepahlawanan serta keberanian remaja ini di perang Siffin. Ketika pasukan Muawiyah memblokade sumber air dan pasukan Imam Ali mulai kekurangan suplai air minum, Imam Ali memerintahkan pasukannya untuk mendobrak penjagaan musuh terhadap sumber air. Di antara pasukan tersebut terlihat Abbas kecil bersama saudaranya Imam Husein yang berlomba menghalau pasukan musuh dan merebut sumber air.
Abul Fadhl tidak hanya terkenal karena keberaniannya di medan perang. Pemuda Ahlul Bait ini juga dikenal memiliki ideologi khusus di proses politik yang tengah berlangsung di tengah masyarakat sehingga beliau dengan jelas memahami antara kekafiran dan kemunafikan. Di kepribadian beliau terkumpul berbagai sifat mulia, kehidupan sederhana, ibadah dan ketinggian ilmu.
Keberanian, pengorbanan dan sifat ksatria tercermin kental dalam sosok Abul Fadhl, putra Ali bin Abi Talib. Sifat-sifat tersebut membuat namanya abadi dan menjulang tinggi. Dengan mengibarkan nilai-nilai kemanusiaan, moral, kebenaran dan keadilan, Abul Fadhl telah melakukan perombakan besar-besaran ideologi dan moral masyarakat. Sejarah memiliki tokoh-tokoh pemicu perubahan cukup banyak. Namun sosok Abul Fadhl memiliki keunikan tersendiri dalam melakukan perubahan di tengah masyarakat. Apa yang dilakukan oleh putra Ali ini bersumber dari keikhlasan dan kecintaan. Oleh karena itu, perjuangannya untuk mencapai keadilan, kebenaran dan keimanan dibarengi dengan kesabaran.
Mengenai keutamaan Abbas, Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Pamanku Abbas bin Ali memiliki pandangan yang tajam dan iman yang tebal. Ia senantiasa berada di samping Abu Abdillah Husein dan berjuang bersamanya. Abul Fadhl berhasil lulus dalam ujian dan meneguk cawan syahadah." Adapun terkait kedudukan Abbas bin Ali, Imam Jakfar as berkata," Segala puji bagi Allah Swt dan para malaikat-Nya. Salam sejahtera bagi para nabi dan orang-orang saleh. Salam bagi seluruh syuhada dan orang-orang yang jujur. Salam sejahtera bagi Abbas bin Ali bin Abi Thalib."
Pada kesempatan lain, Imam Shadiq as menjelaskan tentang keberanian dan pengorbanan Abbas bin Ali, dan berkata, "Aku bersaksi bahwa engkau (Abbas bin Ali) telah melaksanakan tugas amar ma'ruf dengan sempurna, dan engkau telah menjalankan hal itu dengan seluruh kemampuanmu. Aku bersaksi bahwa engkau tidak pernah membiarkan rasa lemah, takut, dan ragu-ragu menguasai dirimu, dan engkau memilih jalanmu hanya berdasarkan kesadaran dan pandangan hati. Engkau mengikuti jejak orang-orang saleh dan para nabi."
Keberanian dan pengorbanan Abbas ini lahir dari makrifat dan pengetahuannya tentang agama dan cita-cita Ilahi. Kematangan pengetahuan itu membuat beliau rela berkorban di jalan Allah Swt. Abbas belajar dari ayahnya bahwa hidup harus memiliki tujuan. Karena itu alangkah mulianya jika hidup manusia dibaktikan di jalan Ilahi dalam menyebarkan dan meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan dan memerangi kemungkaran dan ketidakadilan.
Keimanan dan ketakwaan merupakan kunci kemenangan para tokoh dalam menghadapi musuh-musuh Allah Swt. Abbas telah menghiasi diri dengan sifat tersebut dan sejak kecil membangun hubungan mesra dengan Sang Pencipta. Gairah iman dan takwa beliau selalu berkobar di sepanjang masa hidupnya, sehingga prilaku dan tindakan beliau senantiasa dihiasi dengan akhlak mulia. Dari segi keilmuan dan spiritualnya, Abbas bin Ali dikenal sebagai tokoh yang amat bertakwa, berperilaku saleh dan menjadi kepercayaan masyarakat. Siapapun yang mengenalnya niscaya mengakui beliau sebagai seorang yang bijak dan mulia. Sikapnya yang terbuka dan ramah membuat siapapun tertarik kepada beliau.
Mengingat keilmuannya yang tinggi, Abbas selalu menjadi rujukan masyarakat dan tumpuan mereka dalam mendiskusikan berbagai masalah. Ia juga dikenal memiliki pengetahuan agama yang mendalam, baik di bidang fiqih maupun akidah. Abul Fadhl atau Abbas bin Ali dijuluki pula sebagai Babul Hawaij (Seseorang yang memenuhi keinginan dan keperluan orang lain) lantaran kebiasaan beliau yang selalu membantu dan menolong orang yang memerlukan.
Sikap rela berkorban adalah karakter utama kepribadian Abbas bin Ali. Pengorbanan agungnya itu ia pentaskan dengan begitu indahnya di medan Karbala. Hingga masa-masa akhir hidupnya, ia masih menjadi penolong setia Imam Husein as. Sampai-sampai tiap kali nama Imam Husein as disebut dalam mengenang peristiwa Asyura, maka nama Abul Fadhl pun akan terucap pula. Abbas bin Ali adalah pembawa panji pasukan Imam Husein as dalam peristiwa kebangkitan Karbala.
Imam Jakfar as meriwayatkan dari Nabi yang bersabda, “Sifat ksatria umatku memiliki sepuluh tanda, jujur, suka memenuhi janji, melaksanakan amanat, tidak berbohong, menyantuni anak yatim, mengeluarkan infak dari rejeki yang ia terima, suka berbuat baik, senang menerima tamu, baik hati serta memiliki rasa malu.”
Sayyidah Khadijah as, Pendamping Terbaik Rasulullah Saw
Pada hari ini, hari kesepuluh di bulan suci Ramadhan, tiga tahun sebelum hijrah Rasulullah menuju Madinah, sejarah Islam mencatat kenangan pahit, yaitu wafatnya seorang istri setia sekaligus seorang ibu yang penuh kasih, Sayidah Khadijah al-Kubra as. Kepergian beliau tepat di tahun yang sama dengan meninggalnya paman Rasulullah Saw, Abu Thalib. Kehilangan dua orang yang sangat dicintai itu, membuat Rasulullah Saw tenggelam dalam duka yang sangat berat. Oleh karena itu, tahun itu dikenal dengan nama Aamul Huzn atau Tahun Kesedihan.
Sejarah Islam dipenuhi dengan para perempuan teladan dan mulia yang masing-masing telah menunjukkan perjuangan besar di masa mereka dalam mencapai kesempurnaan jiwa dan akhlak. Nama-nama mereka untuk selamanya menjadi teladan bagi yang ingin meniti jalan menuju kesempurnaan dengan meneladani sirah mereka. Salah satu di antara para wanita teladan tersebut adalah Sayyidah Khadijah al-Kubra as, istri Rasulullah Saw.
Sayyidah Khadijah selama 24 tahun menjadi pendamping dan istri yang setia dan jujur bagi Rasulullah Saw. Wanita mulia ini, baik di tahun-tahun sebelum bi’tsah maupun tahun-tahun penuh derita setelah bi’tsah, tidak pernah lalai dari Rasulullah. Dengan menghadapi seluruh kesulitan dan kontradiksi sosial yang ada di masanya, Sayyidah Khadijah as menjadi pendamping terbaik bagi Rasulullah Saw.
Pada hari pertama setelah Muhammad diutus sebagai Rasulullah dan sedang turun dari goa Hira, Sayyidah Khadijah langsung menyambutnya dan menjadi wanita pertama yang memenuhi seruan risalah Nabi Muhammad Saw dan memeluk agama Islam. Ketika Rasulullah Saw menyampaikan Islam kepada istri tercinta beliau, Sayyidah Khadijah berkata: “Aku beriman, aku meyakini kenabianmu, aku menerima agama Islam dan aku berserah diri.” (Bihar al-Anwar jilid 18). Sejak awal, Sayyidah Khadijah mampu mengenali kebenaran, menerimanya dengan sepenuh hati serta mengucapkannya dengan lantang.
Sayyidah Khadijah as, adalah wanita bijaksana yang lahir di kota Mekkah, 68 tahun sebelum Hijrah. Dari sisi nasab, kehormatan, status sosial dan keluarga, beliau memiliki posisi yang istimewa di antara kaum perempuan Jazirah Arab dan Quraish. Dari sisi kesempurnaan, kepribadian dan kebijaksanaan, Sayyidah Khadijah as adalah yang paling utama di antara semua wanita di masa itu. Sejak usia belia, beliau adalah salah satu wanita tersohor di Hijaz dan Arab. Karena beliau adalah wanita pedagang pertama dan merupakan salah satu saudagar terkemuka di Hijaz.
Di samping berdagang, beliau juga sangat meningkatkan kepribadian dan nilai-nilai kemanusiaan dalam dirinya. Sayyidah Khadijah as, tidak mengejar keuntungan membabi-buta. Oleh karena itu, dalam berdagang beliau berusaha menjauhkan diri dari keuntungan tidak benar yang marak di masa itu seperti riba dan lain sebagainya.
Hal ini menjadi faktor pemikat kepercayaan dari banyak kelompok dan lapisan masyarakat serta meningkatkan keberhasilan dan keuntungan yang diperoleh Sayyidah Khadijah as, melalui perdagangan yang halal. Dalam sejarah disebutkan, “Ribuan onta berada di tangan pembantu dan pekerja Khadijah yang melintasi berbagai negeri seperti Mesir, Sham dan Habasyah untuk berdagang dan mengangkut barang dagangan.”
Selain dikenal sebagai seorang pengusaha besar dan sukses, Sayyidah Khadijah as juga dikenal sebagai sosok spiritual, lembut, suci, dermawan, serta memiliki pemikiran tinggi dan pandangan jauh ke depan. Bahkan di era Jahiliyah, di mana kesucian tidak berarti sama sekali, Sayyidah Khadijah juga dikenal dengan nama Thahirah, karena kesuciannya.
Berbagai keutamaan tersebut disandingkan dengan status keluarga dan kekayaannya yang melimpah, membuat banyak pembesar Mekkah yang melamar beliau. Akan tetapi, Sayyidah Khadijah as adalah wanita dengan pandangan dan kesadaran yang tinggi, hanya mencari keutamaan akhlak dan spiritual. Oleh karena itu, beliau menolak semua lamaran.
Akan tetapi ketika beliau mengenal seorang sosok terkenal menjaga amanat dan berhati bersih seperti Muhammad, Sayyidah Khadijah sendiri yang melangkah maju dan mengajukan permintaan pernikahan. Dalam pertemuannya dengan Nabi Muhammad Saw, Sayyidah Khadijah berkata, “Wahai Muhammad! Aku mendapati dirimu sebagai sosok mulia, penjaga amanat dan seorang manusia di puncak kemurnian, kejujuran, kesucian dan kebenaran, di mana kau menjaga dirimu tetap suci dan tidak ada sedikit pun noda di pangkuanmu. Kau berakhlak baik, terpercaya dan jujur, kau tidak takut untuk berkata jujur dan kau tidak melepaskan nilai-nilai kemanusiaanmu di hadapan apapun. Karakter dan kepribadian muliamu ini telah sedemikian mempesonaku sehingga sekarang aku ingin mengemukakan permintaan pernikahan dan juga perkenalan denganmu. Jika kau menyetujui permintaanku, aku siap untuk melaksanakan acara pernikahan kapan pun waktu yang tepat.” (Tadzkirah al-Khawas jilid dua).
Selama 25 tahun hidup bersama Nabi Muhammad Saw, Sayidah Khadijah telah memberikan pengorbanan besar kepada beliau dan Islam. Dukungan finansial, mental dan emosional kepada Rasulullah Saw, keyakinan dan pembenaran atas kenabian beliau di saat orang-orang mendustakannya, serta pertolongan beliau kepada Nabi Saw dalam menghadapi orang-orang musrik adalah bagian dari pengorbanan besar beliau kepada Rasulullah Saw dan Islam.
Ketika Nabi Muhammad Saw menjalankan tugas beliau sebagai utusan Allah Saw untuk memberikan hidayah kepada umat manusia, orang-orang musyrik mengganggu dan memusuhi beliau. Di saat-saat seperti itu, istri yang mengerti dan penuh kasih sayang seperti Khadijah adalah penenang hati terbaik yang meredakan kesusahan tersebut.
Ibnu Ishaq, seorang sejarawan terkenal menulis, "Nabi tidak mendengar perkataan kaum yang menolak dan mendustakan, di mana menyebabkan kesedihan dan mengganggu pemikirannya, kecuali Allah Swt telah menghilangkan kesedihan itu melalui Khadijah. Khadijah telah meringankan dampak berat dari ucapan-ucapan kasar yang dilontarkan kepada Rasulullah Saw dan membenarkan beliau. Beliau juga menganggap tidak bernilai terhadap perilaku dan kelancangan orang-orang kepada Rasulullah Saw.
Hari kesepuluh dari bulan Ramadhan adalah hari terakhir bagi seorang perempuan yang selama 25 tahun senantiasa mengiringi langkah utusan terakhir Allah Swtitu. Nabi Muhammad Saw di hari semacam ini harus merelakan istri tercintanya untuk kembali kepada Yang Maha Kuasa. Sebuah peristiwa yang menyayat jiwa beliau setelah beberapa waktu sebelumnya harus kehilangan pamannya Abu Thalib as.
Wafatnya Sayidah Khadijah begitu mempengaruhi beliau, sehingga tahun itu disebut sebagai "tahun kesedihan" (Am al-Huzn). Ketika Sayidah Khadijah as wafat, Nabi Muhammad Saw menangis. Nabi mengusap air matanya yang bercucuran dengan kedua tangannya ketika memakamkan isteri tercintanya itu. Pada waktu itu beliau berkata, "Tidak ada yang dapat menyamai Khadijah. Ketika semua mendustakanku, ia membenarkanku. Ia menjadi penolongku dalam mendakwahkan agama Allah Swt dan dengan hartanya, ia membantuku."
Mengenal Kepribadian Imam Hasan as
Nuansa religi dan berkah bulan Ramadhan terasa kental sekali saat ia sudah menginjak hari pertengahan bulan suci ini. Kegiatan buka bersama tampak lebih meriah dan semangat infak terlihat sangat kentara di tengah masyarakat. Di setiap sudut jagad ini, kaum Muslim kerap menerima undangan untuk buka bersama dan semua berbicara tentang kedermawanan Ahlul Bait as. Pada pertengahan Ramadhan, kaum Muslim dengan meneladani Imam Hasan al-Mujtaba as, menyempurnakan puasa mereka dengan membantu kaum fakir dan anak yatim.Mereka menyambut penuh suka cita dan rasa syukur atas kelahiran cucu baginda Rasulullah Saw itu.
Berbuat kebajikan dan bermurah hati termasuk dari karakteristik utama Imam Hasan as. Pribadi mulia ini selalu menjadi tumpuan kaum fakir dan miskin, kadang sebelum mereka mengeluhkan keperluannya, Imam Hasan langsung memenuhi kebutuhan mereka dan tidak membiarkan mereka merasa malu dengan mengiba. Beliau kadang juga memberi bantuan dalam jumlah besar sekaligus kepada kaum fakir dan pemberian ini demi mewujudkan sebuah kehidupan yang bermartabat bagi mereka. Oleh sebab itu, Imam Hasan dikenal sebagai Karim Ahlul Bait, yang berarti pemilik sifat dermawan, mulia, dan utama. Kata Karim dalam berbagai ayat dan riwayat adalah sekumpulan keutamaan dan sifat terpuji dan menjadi pembeda seseorang dengan yang lain.
Jalaluddin al-Suyuthi, seorang ulama dan cendekiawan Muslim menulis, “Hasan bin Ali memiliki banyak keluhuran akhlak dan keutamaan insani. Ia adalah seorang pribadi besar, penyabar, penuh ketenangan, dermawan, murah hati, dan sosok yang dipuji oleh masyarakat.”
Imam Hasan as, putra dari Ali bin Abi Thalib dan Sayidah Fatimah as, lahir pada pertengahan bulan Ramadhan tahun ke-3 Hijriah di Kota Madinah.Pada waktu itu, Sayidah Fatimah meminta Imam Ali untuk memberi nama atas putranya yang baru saja lahir. Akan tetapi Ali berkata, “Aku dalam hal pemberian nama kepada anak-anaku tidak akan mendahului Rasulullah.” Kemudian mereka membawa putranya ke rumah Nabi Saw untuk diberi nama. Setelah menggendongnya, Rasul kemudian membacakan azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri cucu pertamanya itu.
Setelah itu, Rasul Saw bersabda, “Malaikat Jibril turun kepadaku dari sisi Allah dan setelah menyampaikan salam dan ucapan selamat atas kelahiran putraku, ia berkata, ‘Allah berfirman bahwa kedudukan Ali di sisiku sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Jadi,namailah putra Ali ini seperti nama putra Harun.’” Aku kemudian bertanya, “Lalu siapa nama putra Harun ketika itu?” Jibril menjawab, “Shabbar.” “Aku bertutur dengan bahasa Arab,” ujar Rasul. “Shabbar berarti Hasan dalam bahasa Arab,” jawab Jibril.
Imam Hasan merupakan kelahiran pertama dari Ahlul Bait Nabi. Ia memiliki kemuliaan dan kedudukan yang tinggi. Ia adalah putra dari Ali dan Fatimah dan cucu dari Rasulullah Saw. Imam Hasan tumbuh dewasa dalam bimbingan Nabi Saw dan Imam Ali serta dibesarkan dalam pangkuan wanita penghulu surga, Fatimah az-Zahra. Imam Hasan senantiasa mendampingi Rasulullah Saw, terkadang ia duduk di pangkuan Nabi dan kadang Nabi memikul cucu kesayangannya itu di pundaknya dan bersabda, “Ya Allah! Aku mencintai Hasan dan cintailah pula dia oleh-Mu.”
Imam Hasan hanya beberapa tahun saja hidup sezaman dengan Nabi Saw. Ketika ia beranjak usia tujuh tahun, datuk tercintanya pergi memenuhi panggilan Ilahi.Semasa hidupnya, Nabi Saw menunjukkan kecintaan yang sangat besar kepada anak-anak Fatimah. Suatu hari, Sayidah Fatimah datang ke rumah Nabi Saw dengan membawa dua putranya Hasan dan Husein. Fatimah lalu berkata kepada ayahnya, "Ayah, ini adalah dua putramu. Berilah mereka sesuatu yang akan selalu menjadi pengingatmu." Kemudian Nabi Saw bersabda, "Hasan akan mewarisi kewibawaan dan keberanianku, sedangkan Husein akan memperoleh kedermawanan dan keberanianku."
Kemuliaan sifat dan kesucian jiwa membuat Imam Hasan memiliki kedudukan yang sangat istimewa, di mana Nabi Saw dalam beberapa surat perjanjian mencantumkan nama Hasan sebagai saksi meski ia masih anak-anak. Pada saat Nabi Saw pergi bermubahalah dengan kaum Nasrani Najran, Imam Hasan dan Husein beserta Imam Ali dan Fatimah, diikutsertakan bersamanya atas perintah Allah Swt. Ayat Tathir(ayat 33 surat al-Ahzab) turun untuk memberi kesaksian atas kesucian mereka.
Imam Hasan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk melakukan perbuatan baik dan pekerjaan mulia. Beliau telah menginfakkan banyak hartanya di jalan Allah Swt. Sejarah mencatat bahwa Imam Hasan pernah dua kali menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah dengan membantu orang-orang yang membutuhkan. Beliau juga tiga kali mendermakan setengah dari hartanya, separuh untuk dirinya dan setengah lainnya diinfakkan di jalan agama.
Alkisah, suatu hari seorang miskin datang menemui Imam Hasan. Namun karena merasa malu, lisannya tidak sanggup mengutarakan kebutuhannya. Menyaksikan itu,Imam Hasan kemudian berkata, “Jika demikian, sampaikanlah kebutuhanmu secara tertulis.” Orang miskin itu pun langsung melaksanakan perintah Imam Hasan. Beliau lalu membaca surat tersebut dan memberinya bantuan dua kali lipat dari permintaannya. Salah seorang yang hadir di sana berkata, “Wahai putra Nabi, betapa berkahnya surat tersebut baginya.” Imam Hasan menjawab, “Keberkahannya lebih besar untuk kami, karena Allah menjadikan kami sebagai orang-orang yang berbuat baik.”
Imam Hasan as adalah pribadi yang sangat agung, penyabar, sangat berwibawa dan teguh pendirian. Ketinggian ilmu dan hikmah beliau membuat kagum siapapun serta sangat bijak dalam memutuskan suatu perkara. Sepanjang hidupnya, Imam Hasan senantiasa berkiprah untuk membimbing dan mencerahkan masyarakat.Beliau mengajak masyarakat untuk beribadah secara ikhlas dan dalam keadaan bersih, dan beliau sendiri memakai pakaian yang paling bagus untuk menunaikan shalat. Saat ditanya tentang penampilannya itu, Imam Hasan menjawab, “Allah adalah indah dan mencintai keindahan. Untuk itu aku memperindah penampilan di sisi Allah, Dia telah memerintahkan untuk memakai pakailah yang indah setiap memasuki masjid.”
Imam Hasan juga dikenal sebagai sosok yang penyabar, terutama pada masa memimpin dan membimbing umat. Dengan kesabaran ini pula, Imam Hasan berhasil menggagalkan konpsirasi-konspirasi rezim penguasa waktu itu. Pada dasarnya, penandatanganan perjanjian damai dengan Muawiyah merupakan cara lain dari perang melawan kezaliman yang diadopsi oleh pemuda surga itu. Para sejarawan menulis, “Suatu hari Imam Hasan berjalan di tengah keramaian, tiba-tiba beliau berpapasan dengan orang asing yang berasal dari Syam. Pendatang itu ternyata seorang yang sangat membenci Ahlul Bait Nabi. Mulailah ia mencaci maki Imam Hasan. Beliau tertunduk diam tidak menjawab sepatah kata pun terhadap cacian itu, hingga orang tersebut menuntaskan hinaannya.”
Setelah itu Imam Hasan membalasnya dengan senyuman, lantas mengucapkan salam kepadanya sembari berkata, "Wahai kakek, aku kira engkau seorang yang asing. Bila engkau meminta pada kami, kami akan memberimu. Bila engkau meminta petunjuk, aku akan tunjukkan. Bila engkau lapar, aku akan mengenyangkanmu. Bila engkau tidak memiliki pakaian, aku akan berikan pakaian. Bila engkau butuh kekayaan, aku akan berikan harta. Bila engkau orang yang terusir, aku akan mengembalikanmu. Dan bila engkau memiliki hajat yang lain, aku akan penuhi kebutuhanmu."
Mendengar jawaban itu, kakek tersebut terperanjat dan terkejut, betapa selama ini ia keliru menilai keluarga Nabi Saw. Sejak saat itu, ia sadar kalau Muawiyah telah menipu dirinya dan masyarakat. Bahkan Muawiyah menyebarkan fitnah tentang ihwal Ali bin Abi Thalib as dan keluarganya. Terkesima oleh jawaban Imam Hasan, kakek itu pun menangis dan berkata, "Aku bersaksi bahwa engkau adalah khalifah Allah di muka bumi ini, dan sesungguhnya Allah Maha Tahu kepada siapa risalah-Nya ini hendak diberikan. Sungguh sebelum ini engkau dan ayahmu adalah sosok yang paling aku benci dari sekalian makhluk Tuhan. Namun kini engkau adalah pribadi yang paling aku cintai dari segenap makhluk-Nya." Lelaki tua itu akhirnya diajak oleh Imam Hasan ke rumahnya dan beliau menjamunya sebagai tamu kehormatan hingga ia pamit untuk pulang.
Berikut ini kami kutipdua perkataan hikmah dari Imam Hasan as;
"Memberi sebelum diminta adalah kebesaran jiwa yang teragung."
“Kedudukan utama di sisi Allah adalah milik orang yang paling mengerti dengan hak-hak masyarakat dari semua orang lain dan dalam menunaikan hak-hak tersebut, ia berbuat lebih banyak dari yang lain. Dan barang siapa yang bersikap rendah hati di hadapan saudaranya seiman, Allah akan menempatkannya sebagai Shiddiqin dan Syiah Ali as.”
Imam Ali Menjemput Kesyahidan
Pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriah, Imam Ali syahid di usia 63 tahun. Dua hari sebelumnya, Ibnu Muljam, lelaki jahil dan keras kepala menebaskan pedang beracun ke arah Imam Ali yang sedang menunaikan shalat. Sebelum syahid, Amirul Muminin berkata, "Kematian bagiku bukan tamu yang tidak diundang dan tidak dikenal. Antara diriku dengan kematian seperti orang yang kehausan mencari air, atau orang yang menemukan kembali barang bernilai yang pernah hilang".
Kerinduan Imam Ali terhadap kesyahidan bersumber dari keimanan dan keyakinan yang kuat kepada Allah swt. Pada prinsipnya, manusia mulia seperti Imam Ali senantiasa menjalani kehidupannya di dunia dengan memperhatikan masalah akhirat. Beliau bukan hanya tidak takut kepada kematian. Tapi lebih dari itu, kerinduannya yang besar kepada Yang Maha Kuasa membuatnya ingin segera menjemput kesyahidan.
Di malam hijrah Rasulullah Saw dari Mekah ke Madinah, Imam Ali bin Abi Thalib menggantikan beliau di tempat tidurnya.Tentu saja, tindakan seperti ini butuh keberanian tinggi, karena berhadapan dengan ancaman kematian. Tapi Ali bin Abi Thalib tidak takut. Yang ada di pikirannya hanya pengorbanan demi Rasulullah Saw dan ridha Allah swt. Terkait peristiwa ini, Allah swt dalam al-Quran menjelaskan pengorbanan Ali bin Abi Thalib. Dalam surat al-Baqarah ayat 207, Allah swt berfirman, "Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya."
Tidak hanya itu, Ali bin Abi Thalib hadir membela Nabi Muhammad Saw dalam perang Uhud. Pada perang yang menimbulkan kekalahan akibat kelengahan sebagian Muslim itu, banyak mujahid yang gugur syahid di medan perang termasuk paman Nabi Hamzah. Ali bin Abi Thalib bersama sedikit Muslim mengorbankan dirinya demi membela Nabi Muhammad Saw dari serangan musuh. Ketika itu, malaikat Jibril berkata, "Tidak ada lelaki seperti Ali dan tidak ada pedang laksana Zulfiqar".
Setelah perang tersebut, Imam Ali menyaksikan sekitar 70 orang Muslim syahid. Beliau pun terluka parah. Ali bin Abi Thalib kecewa, karena tidak syahid bersama mujahid lainnya. Rasulullah Saw yang mengetahui kondisi tersebut bersabda, "Aku kabarkan berita besar untukmu, engkau akan syahid nanti".
Sekian lama Ali bin Abi Thalib menantikan kematian di jalan Allah swt. Beliau selalu teringat sabda Rasulullah saw tentang datangnya kesyahidan menjemputnya. Rasulullah berkata kepada Ali, "Ya, itu pasti akan terjadi, tapi bagaimana dengan kesabaranmu ?" Ali menjawab, "Ketika itu bukan masalah kesabaran, tapi kabar gembira". Dua hari sebelum kesyahidannya, setelah pedang Ibnu Muljam menebas tubuh Imam Ali yang sedang menunaikan shalat, beliau berkata, "Demi Tuhan Kabah aku bahagia". Ya, Amirul Mukminin syahid di jalan Allah swt, dan tidak ada sedikitpun ketakutan dalam hatinya ketika menjemput kematian.
Hanya satu yang dipikirkan Ali, apakah ketika beliau meninggal dunia dalam kondisi menegakkan agama Islam atau tidak. Sebab, sejumlah sahabat Rasulullah yang mukmin, setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw memilih jalan lain. Tapi Rasulullah Saw sangat percaya dan meyakini keimanan Ali bin Abi Thalib. Bahkan berulangkali Rasulullah menunjukkan keutamaan Ali.
Suatu hari ketika Rasulullah Saw menyampaikan khutbah mengenai keutamaan di bulan suci Ramadhan, Ali bertanya, "Wahai Rasulullah Saw, apa perbuatan terbaik di bulan ini ?". Rasulullah saw menjawab. "Bertakwalah dan jauhi maksiat". Tapi seketika Rasulullah terlihat bersedih, ketika melihat wajah Ali bin Abi Thalib. Lalu Ali menanyakan sebab kesedihan mertuanya itu. Rasulullah bersabda, "Wahai Ali! Kesedihanku karena penistaan dan kezaliman yang dilakukan orang lain terhadapmu yang terjadi di bulan [Ramadhan] ini. Aku seperti melihatmu enggkau sedang menunaikan shalat, lalu orang yang dilaknat masa lalu dan masa mendatang, yang tidak lain dari saudara pembunuh unta Tsamud menebaskan pedangnya mengenai kepalamu hingga mihrab dipenuhi darah".
Mendengar sabda Rasulullah Saw, Ali bertanya, "Apakah ketika itu agamaku selamat dan terjaga?" Rasulullah Saw bersabda, "Ya, ketika itu agamamu selamat." Lalu, Rasulullah Saw mengungkapkan kalimat indah bahwa Ali adalah penerusnya.
Berita gembira mengenai kesyahidan Imam Ali membuat beliau senantiasa menantikan kedatangan ajal di jalan Allah swt menjemputnya. Bahkan, dalam beberapa hari di akhir hayatnya beliau seperti mengetahui penantian panjangnya akan berakhir. Meskipun mengetahui akan kesyahidannya langsung dari Nabi Muhammad Saw, tapi beliau tetap menjalankan tugasnya mengabdi dan melayani sesama demi meraih ridha Allah swt. Terkait hal ini, Ali berkata, "Merugilah orang yang malas dan tidak memperdulikan kehidupan dunianya. Sebab orang yang tidak memperhatikan dunianya, dalam masalah akhiratpun lebih malas dan tidak perduli".
Imam Ali adalah pekerja keras. Beliau dengan tangannya sendiri menggali banyak sumur. Ulama terkemuka Sunni, Ibn Abil Hadid menjelaskan tentang keutamaan Imam Ali, "Ia bekerja dengan tangannya sendiri. Menggali tanah dan menyiraminya. Menanam kurma dan setelah berbuah mewakafkan kebun itu untuk orang-orang miskin". Tidak sedikit sumur yang digali Imam Ali diwakafkan untuk orang lain yang membutuhkan demi mencari ridha Allah swt.
Puncak penghambaan dan ketaatan Imam Ali bin Abi Thalib terhadap perintah Allah swt terjadi selama lima tahun kekhilafahannya. Beliau menjadi khalifah umat Islam demi menjalankan perintah ilahi serta mewujudkan hak orang-orang yang tertindas dan menegakkan keadilan. Tujuan suci yang diwujudkan Imam Ali menimbulkan kekecewaan sejumlah orang yang merasa terancam kepentingannya.
Akhirnya, mereka memberontak dan menghalangi terwujudkan keadilan yang sedang ditegakkan oleh Imam Ali. Tapi dengan keberaniaannya, Imam Ali tetap menjalankan tanggungjawabnya melaksanakan perintah Allah dan memenuhi hak sesama manusia. Selain menghadapi orang yang haus kuasa dan gila harta, Imam Ali berhadapan dengan orang-orang jahil dan beliau syahid di tangan mereka di mihrab masjid Kufah.
Hingga kini begitu banyak pernyataan para ilmuwan Muslim dan non-Muslim mengenai kedudukan tinggi dan keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib. Setelah Imam Ali dimakamkan, Imam Hassan naik ke atas mimbar, dan dalam keadaan bersedih berkata, "Tadi malam, seorang lelaki meninggalkan dunia ini. Di antara orang yang menjadi pemuka Islam tidak ada menyamainya selain Rasulullah Saw. Beliau berjihad bersama Rasulullah Saw dan memanggul bendera risalah di pundaknya sementara malaikat Jibril dan Mikail mendukungnya. Di malam yang dinugerahi rahmat Allah, ketika Al-Quran turun malam itu kepada Rasulullah dan Nabi Isa putra Maryam diangkat ke langit, serta Yusya bin Nun syahid.... Ayahku tidak mewariskan harta dan kekayaan duniawi bagi kami, kecuali 700 dirham untuk keluarga...."
Faktor yang Menjalin Persahabatan (Bagian 1)
Pada bagian ini akan dibahas tentang perilaku dan sifat-sifat yang mampu membangun hubungan persahabatan dengan orang lain. Menemukan cara untuk menjalin persahabatan merupakan ketrampilan paling penting yang harus dikuasai oleh segala kalangan masyarakat bagi kehidupan sosialnya. Karena bila faktor-faktor ini hilang dari kehidupan manusia, maka motor penggerak masyarakat akan mati dan dengan sendirinya kegembiraan dan kegairahan akan tercerabut dari masyarakat. Dalam pandangan Islam, hanya Allah yang mampu menciptakan keakraban dan persahabatan. Hanya Dia yang menaburkan bibit cinta dalam hati manusia.
“Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin, dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Anfal: 62-63)
Hal ini tidak bertentangan dengan kondisi dimana Allah meletakkan faktor-faktor khusus yang mempengaruhi terjalinnya persahabatan dan dengan izin-Nya tercipta keakraban dan persahabatan antara manusia. Dari sini, dengan mempelajarinya dan memanfaatkan faktor-faktor ini manusia menguasai seni menjalin hubungan dengan sahabatnya. Mereka memiliki kemampuan menebar benih persahabatan pada hati orang-orang yang sejalan dengannya. Bahkan boleh jadi, kebanyakan akar dari masalah sosial terkait menjalin persahabatan kembali pada ketidakmampuan manusia mengenal faktor-faktor ini.
Sesuai secara psikologis
Sering terjadi kita bertemu dengan seseorang yang memiliki sifat dan jiwa yang sama, sekalipun demikian kita tidak banyak mengenalnya. Kesamaan ini membuat kita ingin menjalin hubungan dengannya. Sebab dari keinginan ini adalah kesamaan jiwa. Dalam riwayat Ahlul Bait, masalah ini disampaikan dengan pentakbiran yang beragam. Sebagai contoh, dalam sebagian riwayat disebutkan kesamaan psikologi, sebagian lainnya kesamaan alami dan yang lainnya menyebut kesamaan hati. Tapi semua mengisyaratkan tentang kesamaan jiwa manusia dan kesamaan alami yang dimiliki manusia.
Tabiat setiap manusia akan cenderung menjalin hubungan dengan orang lain yang memiliki kesamaan lebih banyak dengan dirinya. Itulah mengapa mengakrabkan dua orang yang memiliki perbedaan kejiwaan sangat sulit.
Imam Ali as menyinggung masalah ini dan berkata, “Anakku! Hati memiliki pasukan yang senantiasa siap. Mereka melihat yang lain dengan kasih sayang, dengan dasar ini mereka bermunajat dan menyikapi musuh juga dengan cara ini. Oleh karenanya, bila engkau menyukai seseorang, sekalipun ia tidak memulai untuk mendekatimu, maka engkau bisa berharap padanya. Sementara bila engkau tidak menyukai seseorang, padahal orang itu tidak berbuat buruk padamu, maka jauhilah dia.”[1]
Dengan demikian, penting bagi kita untuk menjalin persahabatan dengan orang lain yang memiliki kesamaan. Sebuah peribahasa Persia menyebut burung merpati dengan merpati, sementara elang dengan elang. Karena bila seorang mukmin ingin menjalani kehidupannya dengan penuh keimanan, ia tidak boleh bersahabat dengan orang yang akan menyeretnya pada keburukan.
Dalam ucapannya yang lain, Imam Ali asmengatakan, “Orang berakal bergaul akrab dengan yang sama dengannya.”[2]
Sumber: Dousti va Doust Dashtan dar Quran va Rivayat, Mohammad Hemmati, Markaz Pezhouhesh-ha Eslami Seda Va Sima, Qom, 1392 Hs.



























