کمالوندی
Palestina Mengundurkan Diri dari Ketua Periodik Dewan Liga Arab
Menteri luar negeri Otorita Ramallah mengumumkan keputusan organisasi tersebut untuk melepaskan haknya untuk memimpin Dewan Liga Arab untuk masa jabatan saat ini.
"Pemerintah Palestina selalu berusaha memperkuat peran dan posisi Liga Arab dan tidak akan pernah melepaskan kursinya di Liga Arab, karena ini akan menciptakan kevakuman dan berbagai skenario berbeda," tegas Riyadh al-Maliki, Menteri Luar Negeri Otorita Ramallah hari Selasa (22/09/2020). Demikian kantor berita Palestina WAFA melaporkan.
Riyadh al-Maliki, Menteri Luar Negeri Otorita Ramallah
Dalam beberapa hari terakhir, Perdana Menteri Otorita Ramallah, Mohammad Shtayyeh menyalahkan Liga Arab karena memecah solidaritas Arab.
Menyusul normalisasi hubungan baru-baru ini antara Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain dengan rezim Zionis, Liga Arab pada pertemuannya menolak rencana Palestina untuk menentang normalisasi hubungan dengan rezim ini.
Upaya UEA dan Bahrain untuk menormalisasi hubungan dengan rezim Zionis telah banyak dikritik di dunia Islam.
UNIFIL Memperingatkan Militer Rezim Zionis
Kepala pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIFIL) di Lebanon, saat memperingatkan tentara Israel, mendesak mereka untuk tidak melanggar wilayah udara Lebanon.
Menurut laporan televisi al-Mayadeen, Stefano del Cole, kepala pasukan UNIFIL di Lebanon, mengatakan pada hari Selasa (22/09/2020) bahwa penerbangan jet tempur Israel di atas wilayah udara Lebanon melanggar Resolusi Dewan Keamanan 1701.
Pasukan UNIFIL di perbatasan Lebanon Selatan dan Palestina Pendudukan
Del Cole memperingatkan bahwa UNIFIL telah mencatat sejumlah pelanggaran wilayah udara Lebanon oleh jet tempur Israel dalam beberapa hari terakhir, seraya memperingatkan bahwa sabotase yang sedang berlangsung dapat menyebabkan ketegangan dan membahayakan kesekpakatan penghentian tindakan permusuhan antara Beirut dan Tel Aviv.
Resolusi 1701 Dewan Keamanan PBB yang diadopsi pada tahun 2006 setelah berakhirnya perang 33 hari Israel dengan Lebanon, memperingatkan rezim Zionis tentang tindakan permusuhan terhadap Lebanon, tetapi rezim tersebut selalu melanggar wilayah udara, darat dan laut Lebanon.
Lebanon telah berulang kali meminta Dewan Keamanan PBB dan komunitas internasional untuk mengambil tindakan guna mengakhiri serangan rezim Zionis ini.
Maduro: Dunia Bangkit Melawan Hegemoni Amerika
Presiden Venezuela meminta dunia untuk melawan hegemoni dan imperialisme Amerika.
Menurut laporan IRIB, dalam pidatonya di sidang ke-75 Sidang Umum PBB, Presiden Venezuela Nicolas Maduro menyerukan aksi global melawan hegemoni dan imperialisme AS.
Dalam pidatonya, Maduro menolak gagasan tentang dunia imperialisme, dunia hegemoni Amerika, dan menekankan perlunya persatuan global untuk memerangi virus Corona.
"Venezuela mendukung dunia multipolar, sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diperbarui yang tahu bagaimana menegakkan hukum internasional dan melindungi rakyat dunia," kata presiden Venezuela dalam sebuah pernyataan yang mengutuk tindakan AS terhadap Organisasi Kesehatan Dunia.
Menurut Nicolas Maduro, saat ini bukan saatnya menghina dan mengancam Organisasi Kesehatan Dunia, melainkan saatnya untuk bersatu.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Kuba Bruno Rodriguez mengatakan dalam pidatonya di Majelis Umum PBB bahwa Amerika Serikat mengancam perdamaian dan keamanan internasional karena perilakunya yang tidak bertanggung jawab.
Terungkap, Kerja Sama Rezim Pahlavi dan Saddam dalam Perang 8 Tahun
Televisi Irak Aletejah dalam berita khususnya menyatakan, beberapa dokumen dari dinas intelijen Saddam Hussein, keluarga rezim Pahlavi membantu rezim Ba'ath Saddam dalam perang delapan tahun melawan Republik Islam Iran.
Situs televisi Aletejah Irak menulis, dokumen dari dinas intelijen Irak di rezim sebelumnya menunjukkan bahwa Mohammad Reza Pahlavi dan para pembantunya bekerja sama dalam membantu rezim Ba'ath melancarkan perang melawan Republik Islam Iran.
Menurut dokumen-dokumen ini, keluarga Mohammad Reza Pahlavi setelah melarikan diri dari Iran, dengan bantuan beberapa kerabat Teymur Bakhtiar mantan kepala SAVAK (Organisasi Intelijen dan Keamanan Iran) dan Perdana Menteri Shapour Bakhtiar dari rezim Pahlavi membantu Saddam guna mencapai beberapa tujuannya dalam perang.
Rezim Saddam
Dokumen-dokumen ini menunjukkan bahwa beberapa peralatan militer, seperti jet-jet tempur Amerika dan Perancis yang dibeli oleh Iran pada masa pemerintahan Mohammad Reza Pahlavi, diserahkan kepada rezim Ba'ath Irak dengan persetujuan istri Shah, Farah Pahlavi, untuk digunakan menargetkan kota-kota Iran.
Teymur Bakhtiar, Kepala SAVAK pertama di rezim Pahlavi yang pergi ke Irak setelah berselisih pendapat dengan Raja Iran.
Menurut laporan keamanan Irak, setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran, beberapa kerabat Teymur Bakhtiar menjadi mediator keluarga Pahlavi untuk membantu Saddam berperang dengan Iran.
Tentara agresor rezim Saddam (diktator Irak yang digulingkan) pada tanggal 31 September 1980, berpikir bahwa mereka akan menaklukkan Tehran dalam waktu seminggu, melancarkan invasi besar-besaran ke Iran dengan menggunakan semua jenis senjata.
Hatami: Teror Syahid Soleimani untuk Mencegah AS Lebih Terhina
Menteri Pertahanan Republik Islam Iran mengatakan bahwa tujuan musuh dalam meneror Letjen Qassem Soleimani adalah untuk mencegah penghinaan lebih lanjut terhadap Amerika Serikat di mata sekutu regionalnya.
Menurut laporan IRNA, Brigadir Jenderal Amir Hatami, Menteri Pertahanan Iran dalam sebuah acara konferensi video pada hari Selasa (22/09/2020) mengatakan bahwa memori syahid Qassem Soleimani akan selalu hidup di hati para pejuang kebebasan dunia.
"hak untuk mengejar para pembunuh syahid Soleimani tetap kuat dan gempa ini akan selalu menimpa tubuh para penjahat," ujar Brigjen Hatami.
Syahid Qassem Soleimani dan Syahid Abu Mahdi al-Muhandis
Menteri Pertahanan Iran menyatakan bahwa Perang Pertahanan Suci bangsa Iran, tidak seperti pertempuran Iran lainnya di masa lalu, membawa kehormatan, martabat dan kebanggaan bagi negara.
"Situasi Iran saat ini di berbagai bidang ilmiah, politik dan terutama pertahanan sedemikian rupa sehingga meskipun ada ancaman kejam dari sistem dominasi, Iran dapat mendeteksi dan menetralkan ancaman apa pun di titik awalnya, bahkan di luar perbatasannya," ungkap Menhan Hatami.
Menunjukkan bahwa contoh obyektif dari kekuatan Iran telah diungkapkan kepada semua orang pada waktu yang berbeda, Brigjen Hatami menyatakan, "Ketika musuh menduduki tanah yang luas dengan menciptakan kelompok teroris, Iran, dengan rancangan dan inspirasinya dari Perang Pertahanan Suci, mampu mengatasi musuh dan terorisme fiktif dengan bantuan angkatan bersenjata dan rakyat Suriah dan Irak."
"Perlawanan akan berlanjut sampai musuh diusir dari Asia Barat dan wilayah tersebut dibersihkan dari kotoran setan besar," pungkas Brigjen Hatami.
Rahbar: Pertahanan Suci Bagian dari Identitas Nasional Iran
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei seraya mengisyaratkan kemenangan gemilang bangsa Iran di perang pertahanan suci menekankan, pertahanan suci bagian dari identitas nasional Iran.
Ayatullah Khamenei Senin (21/9/2020) saat menyampaikan pidato melalui video konferensi di acara peringatan Pekan Pertahanan Suci menambahkan, bangsa Iran di perang pertahanan suci mampu melawan kekuatan timur dan Barat serta negara-negara bonekanya serta menang dengan mulia.
Ayatullah Khamenei menilai Saddam yang haus kekuasaan hanya sekedar alat bagi kekuatan besar dunia khususnya Amerika Serikat dan mengatakan, pihak utama di pertempuran dengan bangsa Iran, yakni Amerika yang ingin menghancurkan Revolusi Islam, kekuatan yang takut munculnya identitas baru Islam-Iran di kawasan, NATO dan negara-negara Eropa Barat dan Timur, memprovokasi Saddam untuk menyerang Iran guna menghancurkan pemerintah serta Revolusi Islam.
"Tujuan utama musuh mengobarkan perang adalah menumbangkan pemerintahan Islam, menguasai kembali Iran dan memecah belah negara ini, namun mereka gagal menduduki wilayah Iran walaupun hanya sejengkal tanah, serta tidak mampu memaksa Republik Islam dan bangsa Iran mundur walaupun hanya selangkah," tegas Rahbar.
Seraya mengisyaratkan perilisan dokumen kesepakatan Amerika dan Saddam sebelum meletusnya perang, Rahbar menyebutkan, selama perang, bantuan militer, intelijen dan finansial Barat dan Timur kepada rezim Baath melalui Uni Emirat Arab (UEA), Kuwait, Arab Saudi dan jalur lain terus berlanjut.
Rahbar juga menekankan pentingnya memperhatikan upaya musuh untuk menyimpangkan realita Pertahanan Suci, menjelaskan poin-poin dimensi menakjubkan dan besar fenomena ini serta menandaskan, salah satu contoh investasi sumber daya manusia di era perang Pertahanan Suci adalah Syahid Qasem Soleimani yang melakukan langkah-langkah memukau di kawasan dan di bidang diplomasi serta sampai saat ini bangsa Iran tidak memiliki informasi yang cukup akan aktivitas syahid ini.
Ayatullah Khamenei terkait masalah Arbain mengingatkan, bangsa Iran mencintai Imam Husein dan ziarah Arbain, namun isu pawai Arbain harus ditentukan oleh Badan Nasional Pencegahan Corona, dan sampai saat ini mereka menentang acara ini. Oleh karena itu, semua pihak harus tunduk dan mengikuti.
Islamophobia di Barat (30)
Masjid adalah rumah ibadah dan tempat suci bagi kaum muslim. Di setiap kota dan daerah yang mereka tinggali, kaum muslim biasanya mendirikan masjid sebagai rumah ibadah dan madrasah pendidikan agama.
Jika tidak mungkin mendirikan masjid, mereka akan membangun mushalla untuk keperluan ibadah dan berkumpul. Ibadah khususnya shalat memiliki tempat khusus dalam Islam. Shalat adalah salah satu dari rukun Islam dan kaum muslim menunaikan kewajiban ini pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Mereka biasanya akan mendirikan shalat secara berjamaah di masjid atau mushalla.
Salah satu sasaran serangan kubu anti-Islam di Barat adalah masjid dan pusat kegiatan masyarakat muslim. Serangan terhadap masjid terjadi hampir setiap pekan di negara-negara Barat. Serangan ini bersifat terencana dan bertujuan untuk memadamkan syiar-syiar Islam, mengucilkan komunitas muslim, dan pada akhirnya mengusir mereka dari Barat.
Organisasi Komunitas Muslim Jerman (IGMG) menyatakan bahwa angka serangan anti-muslim meningkat di negara itu dan ini menjadi sinyal alarm bagi para pemimpin Jerman. Sekretaris Jenderal IGMG, Bekir Altas dalam sebuah pernyataan mengatakan, Islamophobia harus diperangi dengan tegas.
Altas menuturkan jumlah sebenarnya kejahatan anti-muslim cenderung jauh lebih besar, karena ada banyak kasus yang tidak dilaporkan. Menurutnya, orang-orang muslim merasa bahwa polisi Jerman tidak serius menanggapi kekhawatiran mereka.
Dia mengkritik serangan terhadap masjid dan pusat-pusat Islam yang terus meningkat di Eropa. "Serangan terhadap masjid dalam beberapa pekan terakhir meningkat secara dramatis. Warga Muslim khawatir dan salah satu alasan kekhawatiran ini adalah sikap diam komunitas internasional dalam menyikapi peristiwa ini," ungkap Atlas.
"Sebuah masjid baru-baru ini diserang di kota Aachen dan Fiersen. Insiden seperti ini juga terjadi di bagian lain Eropa seperti Prancis. Misalnya, para penyerbu menyerang sebuah masjid di Bordeaux, Prancis, dan menulis kalimat-kalimat bernada ancaman di dinding masjid," jelasnya.
Atlas menekankan bahwa serangan terhadap masjid harus dilawan, dan menurutnya, insiden ini terjadi karena dinas-dinas keamanan dan pemerintah Eropa tidak menindak tegas pelaku kejahatan ini. Oleh karena itu, serangan ini terus terulang dan menyebar ke kota-kota lain.
Jerman menjadi salah satu negara yang banyak menerima pencari suaka dalam beberapa tahun terakhir. Pada saat bersamaan, partai-partai ekstrem kanan dan anti-Islam seperti PEGIDA dan Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) menikmati popularitas di masyarakat.
Jerman masuk dalam daftar negara-negara Eropa yang paling anti-Islam, padahal jumlah Muslim hanya 5,5 persen dari total populasi Jerman yang mencapai 82 juta jiwa.
Konstitusi Jerman menjamin kebebasan beragama dan pembangunan lembaga keagamaan dan sekolah agama. Saat ini ada 18 masjid resmi di Jerman yang sejak awal dibangun sebagai masjid. Pusat-pusat keagamaan muslim diperkirakan berkisar antara 1.000 hingga 1.200 unit. Sebagian besar lembaga ini bersifat sementara dan sebagian besar berlokasi di gedung sewaan, pabrik atau gudang.
Masjid-masjid penting di Jerman bisa ditemui di kota Mannheim, Hamburg, Berlin, Marl, Dortmund, Cologne, Welsling, Bonn, Frankfurt, Zingen, dan Pforzheim. Tentu saja, masjid-masjid di kota Aachen dan Munich juga dianggap sebagai masjid penting di Jerman.
Sebagian besar masjid ini tidak terawat dengan baik, jauh dari pusat kota, dan umumnya berada di wilayah industri. Dengan semua pembatasan, masyarakat muslim berusaha menahan diri terhadap kelompok anti-Islam dan tidak bertindak dengan cara yang melanggar hukum Jerman. Dengan semangat persahabatan dan damai ini, mereka mampu menarik simpati banyak warga Jerman untuk melawan kelompok anti-Islam dan anti-imigran di negara itu.
Pada 3 Februari 2018, demonstran pro dan anti-imigran berunjuk rasa di kota Cottbus, Jerman. Sekitar 600 demonstran menyerukan penerimaan imigran dan keterbukaan, sementara kerumunan yang lebih besar menentang kehadiran imigran dan meneriakkan slogan-slogan anti-Islam.
Para demonstran anti-imigran juga terlihat memegang spanduk bertuliskan, "Merkel harus pergi" mengacu pada keputusan Kanselir Angela Merkel yang mengizinkan hampir satu juta pengungsi untuk menetap di Jerman selama krisis pengungsi 2015.
Di sisi lain, demonstran pro-imigran menyerukan hidup damai dan tanpa kebencian. Mereka menyuarakan slogan "Live Without Hate" dan menentang sikap anti-imigran sambil mengangkat balon dan bunga.
Kota Cottbus telah menjadi berita utama sejak pergantian tahun 2018 setelah serangkaian serangan kekerasan antara sebagian penduduk setempat dan pengungsi. Pada malam tahun baru, sekelompok penduduk setempat menyerang kamp penampungan imigran di kota tersebut.
Demonstran pro-imigran di kota Cottbus menyerukan hidup damai dan tanpa kebencian, "Live Without Hate."
Gelombang kekerasan ini mendorong Menteri Dalam Negeri Brandenburg, Karl-Heinz Schroter untuk menunda masuknya pengungsi ke Cottbus sampai pemberitahuan lebih lanjut. Dia mengatakan langkah ini diperlukan untuk meredakan ketegangan di kota tersebut. "Kalau tidak, iklim ini hanya akan bertambah buruk," ujarnya.
Juru bicara pemerintah kota Cottbus, Jens Glossmann mengatakan, "Anda bisa mengatakan ada terlalu banyak perubahan, terlalu cepat."
Dalam dua tahun terakhir, jumlah pengungsi di kota berpenduduk 100.000 jiwa ini hampir dua kali lipat, dari 4,5 menjadi 8,5 persen. "Saya akui, lebih banyak yang bisa dilakukan untuk memberi informasi yang lebih baik kepada penduduk setempat," ujar Glossmann.
Menurutnya, penduduk Cottbus kurang berpengalaman dalam menghadapi imigran dibandingkan dengan kota-kota besar di barat Jerman, dan hal ini mengundang sambutan dingin dari mereka. Kebanyakan warga setempat memandang imigran sebagai "orang asing."
Banyak warga Jerman sayangnya tidak mengenal Islam dengan benar. Pemerintah dan media-media Jerman juga memberikan gambaran keliru tentang muslim dan mengesankan Islam sebagai agama yang kasar dan ekstrem.
Rasulullah Saw adalah penyeru rahmat dan kasih sayang. Ia dikenal sebagai rahmatan lil 'alamiin atau Rasul pembawa rahmat bagi seluruh alam. Allah Swt berfirman, "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (Surat al-Anbiya, ayat 107)
Umat manusia – baik muslim maupun kafir – semua berhutang budi pada Rasulullah Saw sebagai pembawa rahmat, karena ia menyebarkan sebuah ajaran yang akan menyelamatkan mereka. Rahmat ini bersifat umum dan untuk semua orang meskipun ada golongan yang menerimanya dan juga ada golongan yang menolak seruannya.
Kalimat Lil 'Alamiin memiliki pemahaman yang sangat luas yang meliputi seluruh umat manusia di sepanjang masa. Ayat tersebut juga merupakan sebuah isyarat bahwa Rasulullah Saw adalah nabi terakhir dan penutup para nabi (Khatam al-Anbiya').
Keberadaan Nabi Muhammad Saw adalah rahmat bagi seluruh umat manusia sampai hari kiamat. Lalu, apakah agama yang memiliki sosok mulia seperti ini, dapat menjadi penyebar kekerasan dan ekstremisme?
Islamophobia di Barat (29)
Surat kabar The Independent dalam sebuah laporan setelah satu tahun kepemimpinan Presiden Donald Trump di AS, menulis bahwa sejak Trump meluncurkan kampanyenya untuk melangkah ke Gedung Putih, jumlah kelompok anti-Muslim di Amerika meningkat tiga kali lipat.
Dalam laporannya pada 23 Januari 2018, The Independent menyatakan, "Sejak kampanye pemilu Trump yang sering mengecam umat Islam dan bersumpah akan melarang mereka memasuki AS, jumlah kelompok anti-Muslim dan juga jumlah kejahatan rasial yang dilakukan terhadap Muslim telah meningkat."
Madihha Ahussain, seorang pengacara yang fokus pada masalah fanatisme anti-Muslim menuturkan, "Insiden-insiden ini mencakup semuanya mulai dari intimidasi terhadap anak-anak Muslim di sekolah, pelecehan terhadap wanita Muslim yang mengenakan jilbab, dan perusakan masjid."
Aktivis Muslim Palestina-Amerika, Linda Sarsour dalam sebuah artikel di majalah Time menulis, "Sejak serangan tragis 11 September, Muslim Amerika menyaksikan peningkatan upaya untuk mentersangkakan mereka atas dasar ras dan agama di semua tingkat penegakan hukum. Kami menyaksikan program pengawasan, deportasi, dan pencatatan yang tidak beralasan dan ilegal. Kami juga secara keliru dimasukkan pada daftar larangan terbang dan mengalami peningkatan eksponensial dalam kejahatan rasial terhadap komunitas kami."
Sejak Trump berkuasa, warga Muslim Amerika menyaksikan peningkatan perilaku diskriminatif rasial. Dalam hal ini, Linda Sarsour yang pernah menggugat perintah eksekutif Trump tentang larangan Muslim di pengadilan AS, menuturkan, "Tidak peduli berapa banyak larangan Muslim atau kebijakan buruk lainnya yang diperkenalkan oleh Trump dan pemerintahannya, satu hal yang jelas - ketika kita bertarung bersama, kita menang setiap saat."
"Tahun ini adalah pertama kalinya kami melihat partisipasi rekan-rekan kaum Muslim untuk melawan rasisme dan kefanatikan yang diarahkan pada kami. Partisipasi saya yang terlihat dalam Women's March di 2017 dan peringatan yang sangat sukses awal bulan ini telah menjadi pengalaman yang mengharukan bagi Muslim di seluruh dunia. Itu menginspirasi," tambahnya.
Women's March adalah sebuah demonstrasi yang diadakan pada 21 Januari 2017 di Washington dan kota-kota lain di Amerika untuk melindungi hak-hak perempuan, mendorong reformasi undang-undang imigrasi, dan memerangi diskriminasi rasial.
Di Eropa, serangan rasial dan sentimen anti-Muslim juga meningkat setelah partai-partai sayap kanan ekstrem memenangi pemilu di benua itu. Salah satu partai ekstrem kanan di Eropa yang meraih sukses besar dalam pemilu parlemen 24 September 2017 adalah Partai Alternatif untuk Jerman (AfD).
Untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II, sebuah partai dengan semangat anti-imigran dan anti-Islam berhasil memperoleh sekitar 13 persen suara. Dengan perolehan ini, AfD berhasil menguasai 96 kursi di Bundestag. Salah satu slogan kampanye partai ini adalah "Islam tidak memiliki tempat di Jerman."
Kehadiran partai ini di parlemen Jerman merugikan kaum konservatif Merkel dan partai-partai arus utama lainnya, serta semakin memecah-belah lanskap politik partai dan membuatnya lebih sulit untuk mendapatkan mayoritas parlemen.
AfD adalah partai pertama dan penentang keras kebijakan imigrasi pemerintah Jerman dan kedatangan imigran di negara itu.
AfD telah menikmati dukungan besar setelah Kanselir Angela Merkel memutuskan untuk membuka perbatasan Jerman bagi para pengungsi yang terdampar di Hongaria. Mereka meminta pemerintah untuk menutup perbatasan Uni Eropa dan sepenuhnya mengontrol perbatasan Jerman. Menurut partai ini, Islam bukan bagian dari masyarakat dan budaya Jerman.
Komentar salah satu anggota senior AfD tentang Islam telah membuat partai ini kembali menjadi sorotan media-media dunia. Bjoern Hoecke bersumpah bahwa begitu partainya berkuasa, mereka akan melarang Islam mulai dari Selat Bosporus di kota Istanbul - titik tepat di mana benua Eropa dimulai.
Berbicara kepada para pendukung AfD di kota Eisleben, Bjoern Hoecke mengatakan, "Begitu kita berkuasa, kita akan menegakkan apa yang perlu bagi kita untuk menjalani hidup kita secara bebas. Kami akan mengakhiri tiga huruf M besar yaitu Muhammad, Muazzin, dan Menara!"
Dia berjanji akan melarang pembangunan masjid dan menara di Jerman dan negara-negara Eropa. Menurut Hoecke, kaum Muslim tidak boleh lagi membangun masjid di Eropa dengan berpijak pada "kebebasan beragama."
Ini adalah sikap anti-Islam yang paling keras yang disampaikan oleh seorang anggota partai ekstrem kanan. Oleh karena itu, komentar Hoecke mendapat sorotan luas di dalam dan luar Jerman dan bahkan di lingkup internal AfD. Mantan Ketua AfD, Frauke Petry bahkan meminta partai untuk memecat Hoecke.
Agama Islam tentu saja akan membuka jalannya untuk menyampaikan kebenaran kepada orang-orang yang mencari kebenaran meskipun terus dimusuhi. Salah satu politisi senior AfD di wilayah Brandenburg bahkan memilih masuk Islam. Arthur Wagner menjadi pemberitaan utama di seluruh dunia setelah diketahui bahwa ia telah menjadi seorang muallaf.
Pria berusia 48 tahun ini kemudian mengubah namanya menjadi Ahmed. Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Bild, Wagner menjelaskan alasannya memilih masuk Islam.
"Salah satu alasannya adalah perubahan cara gereja yang membuat saya tidak mengerti lagi," kata Wagner, yang sebelumnya adalah seorang Kristen yang taat dan anggota gereja Protestan.
“Saya pindah agama karena gereja tempat saya beribadah dulu tidak lagi sejalan dengan kepercayaan yang saya anut,” tegas Wagner. Ia tidak bisa menerima sikap toleran terhadap pernikahan sesama jenis, serta terlibatnya para pendeta di Pawai Gay Pride di Berlin. Ia menganggap ini sebagai kemunduran moral.
Warga Jerman keturunan Rusia ini menuturkan bahwa ia memutuskan untuk masuk Islam pada 2015 selama kunjungan ke kota Ufa, Rusia, rumah bagi komunitas Muslim Tatar.
Wagner mengundurkan diri sebagai wakil pemimpin cabang AfD di Brandenburg, tetapi mengatakan dia ingin tetap berada di partai itu untuk membangun jembatan antara Muslim Jerman dan masyarakat arus utama.
Arthur Wagner tentu saja menghadapi banyak penentang di AfD dan ia tidak akan dibiarkan untuk mempertahankan keanggotaannya di partai tersebut atau membiarkannya hidup tenang di Jerman.
Dia mengatakan telah menerima surat ancaman sejak statusnya sebagai Muslim dipublikasikan. "Saya mendapat surat yang memberitahu saya untuk keluar dari Jerman sebelum saya mulai membuat bom," katanya.
"Banyak anggota menginginkan dia keluar dari partai. Sayangnya, AD/ART partai kami tidak mengizinkan kami langsung memecatnya sepihak,” kata Kai Berger, Ketua Dewan Pimpinan Daerah AfD.
Masyarakat Barat meskipun telah lama berjuang untuk memberikan sebuah model dari interaksi, toleransi, dan kebebasan berekspresi, namun sekarang mereka semakin mengambil jarak dari nilai-nilai yang dihormati secara universal.
Pemerintah Eropa bahkan membiarkan dirinya untuk mengomentari isu kebebasan sipil di negara-negara lain. Tetapi di wilayah mereka sendiri, minoritas agama, terutama Muslim adalah minoritas etnis yang menghadapi banyak pembatasan.
Tiada hari tanpa penerapan pembatasan baru terhadap Muslim di Eropa atau serangan terhadap salah satu lembaga Islam. Ini mengindikasikan bahwa negara-negara Eropa telah mengambil jarak dari nilai-nilai liberal yang telah mereka perjuangkan selama beberapa dekade di dunia.
Islamophobia di Barat (28)
Masyarakat Muslim Austria memulai tahun baru 2018 dengan rasa takut dan keprihatinan. Televisi Euronews menyiapkan sebuah laporan mengenai ketakutan warga Muslim terhadap kampanye Islamophobia yang diadopsi oleh pemerintahan koalisi Austria.
Koalisi baru konservatif dan ekstrem kanan Austria mengumumkan programnya untuk pemerintah. Program ini menyebut nama Islam sebanyak 21 kali yang umumnya berkaitan dengan isu keamanan negara. Sebaliknya, tidak ada satu pun penyebutan ekstremisme sayap kanan atau fasisme di dalamnya.
Menurut laporan Euronews, program baru pemerintah secara tidak proporsional berfokus pada Muslim dan Islam politik, tetapi mengabaikan aktivitas sayap kanan. Program pemerintahan koalisi Austria ini berjudul "Together for Our Austria."
Meskipun ada peningkatan dramatis dalam jumlah serangan sayap kanan selama beberapa tahun terakhir di Austria, namun tidak disinggung aktivitas sayap kanan atau fasisme dalam dokumen yang diterbitkan pada Desember 2017 oleh Partai Rakyat (OVP) pimpinan Sebastian Kurz ( OVP) dan Partai Kebebasan sayap kanan (FPO).
Menurut Dinas Intelijen Domestik Austria (BVT), pihak berwenang mengajukan dakwaan sekitar 1.690 kasus terkait dengan kegiatan sayap kanan pada 2015 - jumlah tertinggi dalam satu tahun dan meningkat dari 1.200 kasus pada 2014.
Austria adalah satu-satunya negara di Eropa Barat dengan pemerintahan sayap kanan sejak Sebastian Kurz memenangkan pemilu pada Oktober 2017. OVP memerintah Austria untuk lima tahun ke depan dalam koalisi dengan FPO, sebuah partai yang didirikan oleh para mantan anggota Nazi, yang saat ini dipimpin oleh Heinz-Christian Strache.
Retorika pemerintah koalisi telah membuat khawatir sejumlah Muslim Austria dan mereka takut akan dicap sebagai ancaman bagi masyarakat.
Profesor Farid Hafez, dosen di Universitas Georgetown mengatakan fokus pemerintah pada Islam dalam program mereka belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Republik Austria Kedua.
"Dalam dirinya sendiri, ini adalah sesuatu yang sangat baru," kata Hafez kepada televisi Aljazeera. "Saya pikir apa yang akan kita lihat dalam lima tahun ke depan adalah sesuatu yang belum pernah kita lihat sebelumnya di Austria," tambahnya.
Banyak warga Austria khawatir bahwa penggunaan istilah "Islam politik" ini tidak didefinisikan dengan jelas dan pada kenyataannya, program pemerintahan baru menargetkan warga Muslim Austria.
Dengan slogan "Combating Political Islam," pemerintahan koalisi Austria menyerukan pemantauan lebih dekat terhadap sekolah-sekolah Islam dan menutupnya jika "persyaratan hukum tidak terpenuhi."
Ini menunjukkan bahwa gagasan tentang apa yang menjadi ancaman bagi keamanan nasional telah diperluas dengan cara yang ambigu, di mana akan memungkinkan negara untuk melegitimasi intervensi jangkauan luas di bidang keamanan.
Salah satu tujuan mereka adalah untuk mencegah pengaruh asing, khususnya di bidang pendidikan dan menerapkan larangan pendanaan dari luar negeri. Namun, larangan tersebut hanya berlaku untuk Muslim, dan tidak ada komunitas agama lain yang disebutkan dalam program pemerintah.
Langkah-langkah pencegahan dan deradikalisasi dalam program tersebut juga hanya berfokus pada Muslim, sementara bahaya yang ditimbulkan oleh kelompok lain diabaikan.
"Islam adalah agama yang menyebarkan perdamaian dan sama sekali tidak berbahaya bagi negara atau masyarakat mana pun. Sayangnya, ketika kita melihat program pemerintah, Islam ditempatkan di sudut itu," kata Presiden Komunitas Islam Austria, Ibrahim Olgun.
"Kami benar-benar tidak setuju dengan ini, karena agama Islam bukanlah alat politik dan harus diperlakukan sama dengan agama-agama dominan di Austria," tambahnya.
Manifesto pemerintah juga menyerukan agar terjemahan al-Qur'an yang resmi dari Jerman digunakan dan umat Islam harus menjauhkan diri dari bagian-bagian tertentu dari kitab suci mereka.
"Partai Kruz telah mengubah fokus mereka sepenuhnya dan mereka tidak melihat Muslim lagi sebagai mitra dalam masyarakat Austria, melainkan sebagai ancaman bagi masyarakat Austria," jelas Farid Hafez.
Menurut Dokustelle (sebuah organisasi yang mendokumentasikan kasus-kasus Islamophobia dan rasisme anti-Muslim), pelecehan verbal dan fisik terhadap warga Muslim di Austria telah meningkat. Antara 2015 dan 2016, serangan Islamophobia meningkat 62 persen menjadi 253 insiden.
Serangan terhadap wanita Muslim merupakan 83 persen dari jumlah total serangan Islamophobia di Austria.
Dalam kasus terbaru yang menandai awal tahun baru 2018, Asel Tamga, bayi Wina pertama yang lahir pada 1 Januari 2018, menjadi berita utama internasional setelah bayi ini menjadi sasaran gelombang komentar Islamophobia dan rasis.
Bayi itu tampil di halaman sosial media surat kabar Heute. Foto itu menunjukkan sang bayi berada dipelukan ibu berjilbab. Dengan cepat berbagai komentar negatif dan harapan buruk ditulis di kolom komentar foto tersebut.
Komentar tersebut meningkat sedemikian rupa sehingga Presiden Austria, Alexander Van der Bellen turun tangan dengan menulis di Facebook, "Keyakinan dan kohesi lebih besar daripada kebencian dan hasutan. Selamat datang, Asel sayang!"
Sementara itu, Muslimah Austria yang berpendidikan khawatir bahwa larangan hijab atau jilbab, mungkin terjadi setelah Menteri Pendidikan Austria yang baru, Heinz Fassman mengatakan kepada sebuah media lokal bahwa guru tidak boleh mengenakan jilbab.
"Ini juga akan mempengaruhi sektor-sektor lain dan memiliki dampak negatif pada situasi pekerjaan yang sudah berbahaya bagi wanita Muslim." kata Dudu Kucukgol, seorang mahasiswa PhD dan peneliti tentang seksisme, rasisme, dan Islamophobia.
"Kurz disambut oleh komunitas Muslim ketika ia menjabat sebagai menteri luar negeri pada 2011. Dia membuat pernyataan positif dan benar-benar tampaknya membawa perubahan dalam paradigma. Dia menentang debat jilbab, dia sangat bersikeras bahwa Muslim adalah bagian positif dari masyarakat Austria. Namun, setelah beberapa tahun bahasa dan politiknya berubah," ungkap Kucukgol.
Husein Veladzic, seorang imam masjid di kota Linz Austria, percaya bahwa kampanye Islamophobia dapat memiliki efek yang berlawanan di beberapa aspek. Dia mencatat bahwa ketika sayap kanan semakin populer, lebih banyak warga Austria non-Muslim mengunjungi masjidnya untuk belajar tentang Islam.
"Tentu saja serangan (terhadap Islam dan Muslim) memang berat, tetapi itu juga memacu minat terhadap Islam. Orang-orang mulai bertanya pada diri sendiri, 'Apa itu (Islam)? Apakah benar-benar seperti ini?' Orang-orang mulai menggali informasi untuk diri mereka sendiri," kata Veladzic.
Muslim Austria tidak dipandang melalui kacamata hak asasi manusia dan kebebasan beragama sebagai kelompok yang harus dilindungi, tetapi sebaliknya secara eksplisit dianggap sebagai ancaman potensial yang harus diatasi dengan bantuan tindakan diskriminatif dan represif.
Kebijakan anti-Islam di pemerintahan Barat akan membahayakan kehidupan damai jutaan Muslim di Eropa, yang hidup berdampingan dengan warga Eropa lainnya.
Islamophobia di Barat (27)
Dari Inggris – yang dikenal sebagai salah satu pusat demokrasi dan kebebasan beragama di dunia – terdengar laporan tentang diskriminasi agama di negara itu.
Sejarah Islam di Wales kembali ke permulaan abad ke-12 Masehi. Menurut sensus 2011, Muslim membentuk 46.000 orang dari 3 juta penduduk di wilayah itu. Persisnya 45.950 Muslim tinggal di Wales dengan perbandingan satu orang dari 60 warga Wales adalah Muslim.
Di Cardiff, ibukota negara Wales, perbandingannya satu orang dari 14 warga adalah Muslim. Setengah dari Muslim Wales tinggal di daerah yang serba kekurangan, sementara hanya 1,7% dari mereka tinggal di daerah gentrifikasi. Tingkat pengangguran sangat tinggi dan statistik penyakit di kalangan lansia banyak dilaporkan.
Salah satu problema Muslimah Wales adalah ketimpangan antara kebutuhan dan kondisi lingkungan kerja serta kebiasaan tradisional lingkungan keluarga.
Daud Salman (69 tahun), yang telah memimpin Cardiff Islamic Center selama 27 tahun, berbicara tentang perubahan yang mempengaruhi komunitas Muslim di Wales. Menurutnya, rekonstruksi dan pengembangan Butetown di Cardiff memiliki dampak negatif bagi kehidupan umat Islam.
Salman menuturkan seperti Muslim lainnya di Wales, ia merasa bahwa tingkat penganiayaan warga Muslim telah meningkat di negara itu. "Wanita Muslim saat mereka pergi ke jalanan dengan jilbab, menghadapi intimidasi buruk, padahal wanita Muslim sama sekali tidak menimbulkan masalah bagi masyarakat," ujarnya.
Rahimah Zaman, salah seorang ibu Muslim berbicara tentang sejumlah kasus diskriminasi di tempat kerjanya dan terhadap putrinya (12 tahun) di sekolah. Ia mengatakan, "Kata-kata yang didengar oleh pelajar Muslim di sekolah sangat mengerikan, seringkali sesuatu dilempar ke arah mereka dan bunyi suara ledakan dibuat untuk mengejek siswa Muslim. Bagaimana mereka harus menanggapi perilaku ini?"
Sejauh ini ribuan perempuan kulit putih telah memeluk Islam di Inggris Raya, di mana pada tahun 2010 saja, 100 ribu wanita dengan usia rata-rata 28 tahun memeluk Islam.
Rahimah Zaman terkait diskriminasi terhadap para wantia Muslim berkulit putih mengatakan, "Saya kenal wanita Muslim kulit putih, terpaksa bermigrasi ke daerah di luar Cardiff karena diskriminasi dan pelecehan, dan kendati kulitnya mereka sama dengan tetangganya, namun mereka pun diancam dan dibenci dikarenakan mengenakan jilbab."
Amanda Morris, keturunan Kanada yang memeluk Islam di usia 25 tahun, terkait diskriminasi terhadap gadis-gadis Muslim menuturkan, "Ada gadis-gadis yang menyembunyikan keislaman mereka di tengah keluarga, karena jika kedua orang tua mereka mengetahui hal tersebut, mereka akan diusir dari rumahnya."
"Salah satu guru sekolah menyelenggarakan program kunjungan ke masjid dan sinagoga Yahudi, di mana 30% orang tua tidak mengizinkan anaknya untuk mengunjungi masjid,” tambahnya.
Statistik Badan Perumahan Wales menunjukkan bahwa 2.941 kejahatan berlatar kebencian terhadap Muslim dicatat oleh polisi Wales antara tahun 2016 dan 2017.
Sejak tahun 2001, warga Muslim Wales menderita pelecehan dan serangan kebencian.
Ana Miah, Sekretaris Masjid Shah Jalal di Cardiff yang berlokasi di daerah bentrokan etnis, mengatakan salah satu penganiayaan yang saya lihat adalah ketika kami meninggalkan masjid, dan pada saat bersamaan seorang pria Wales menurunkan kaca mobilnya dan menghina kami.
Islamophobia dan sentimen anti-Muslim secara resmi telah memasuki literatur politik sebagian besar negara Eropa. Sekarang para pemimpin Eropa tidak lagi peduli jika mereka dituduh anti-Islam dan anti-imigran.
Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orban menyebut pengungsi Muslim sebagai orang yang menginvasi untuk mencari kehidupan lebih baik. Ia menyampaikan hal itu saat ditanya alasan mengapa Hungaria tak mau menerima pengungsi.
"Kami tidak menganggap mereka pengungsi, mereka adalah penyerbu," tegasnya. Para pencari suaka ini dinilai sebagai orang yang akan merusak tatanan yang selama ini dibangun.
"Mereka bukan sedang menyelamatkan diri mereka, mereka pergi untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, pemerintah Hungaria lebih memilih menyebut mereka migran ekonomi daripada pengungsi," ungkap Orban.
Sikap anti-imigran dan anti-Islam telah menjadi satu paket di banyak negara Eropa. Para politisi anti-Islam di Eropa memberlakukan pembatasan yang ketat terhadap Muslim dengan alasan kehadiran imigran berdampak negatif pada ekonomi dan budaya serta komposisi demografis negara-negara mereka.
Salah satu politisi anti-Islam di Eropa adalah Milos Zeman, Presiden Republik Ceko. Dia dikenal karena menentang Islam dan pencari suaka di Eropa Timur. Milos Zeman menggambarkan krisis pengungsi pada 2015 sebagai "pendudukan terorganisir" di Eropa. Dia bersikeras bahwa integrasi Muslim dengan masyarakat Eropa merupakan sesuatu yang mustahil diwujudkan.
"Biarkan mereka hidup dengan budaya mereka sendiri di negara mereka masing-masing dan tak perlu membawanya ke Eropa," tegasnya.
Republik Ceko merupakan salah satu negara Eropa di mana kubu sayap kanan memiliki peran yang dominan di kancah politiknya. Pada Desember 2017, Praha menjadi tuan rumah pertemuan partai-partai ekstrem kanan dan anti-Islam di Eropa. Mereka menggunakan setiap kesempatan untuk mengubah slogan anti-Islamnya ke dalam bentuk undang-undang yang membatasi warga Muslim.
Ketua kampanye Partai untuk Kebebasan (PVV) di Utrecht, Henk van Deun mengatakan dia lebih suka masjid-masjid kota itu dibakar. Dalam sebuah wawancara dengan radio lokal, ketika seorang narasumber mengatakan bahwa ia ingin semua orang bangga dengan keberadaan masjid Utrecht ini seperti halnya mereka bangga dengan Dom Tower, Van Deun menegaskan, "Kami lebih suka semua masjid dibakar."
Ketika ditanya oleh pembawa acara apakah dia ingin mencabut pernyataannya, Van Deun berkata, "Kami menentang semua masjid dan berpikir mereka semua harus ditutup."
Mungkin dapat dikatakan bahwa tidak ada negara di Eropa yang tidak ditemukan perilaku diskriminasi agama dan sentimen anti-Islam di dalamnya.
Luksemburg adalah salah satu negara kecil dan maju di Eropa. Nama negara ini sangat jarang menghiasi media-media dunia kecuali jika ada hajatan pertemuan Uni Eropa, namun siapa sangka warga Muslim menghadapi serangan anti-Islam di negara tersebut.
Untuk melawan rasisme dan Islamophobia, sekelompok warga Muslim kemudian mendirikan Observatorium Islamophobia di Institut Kajian Budaya (Iredi) di kota Dudelange pada awal 2018. Lembaga ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang serangan-serangan berlatar Islamophobia, seperti diskriminasi dan kekerasan terhadap warga Muslim di Luksemburg.
"Setelah mengalami beberapa situasi Islamophobia, di mana korban adalah istri dan teman saya, saya menemukan diri saya berkewajiban untuk melindungi diri saya dengan satu atau lain cara," kata pendiri Observatorium Islamophobia Luksemburg.
Kelompok ini terdiri dari tiga hingga empat orang dengan berbagai spesialisasi, yang semuanya ingin tetap dirahasiakan identitasnya di media karena mereka sering menjadi korban pertama serangan Islamophobia.
Kegiatan Observatorium Islamophobia sepenuhnya dijalankan secara sukarela dan tidak memiliki iuran tetap. Diperkirakan ada antara 10.000 dan 15.000 Muslim yang tinggal di Luksemburg.
Para pemimpin Muslim dan kelompok-kelompok advokasi di seluruh dunia telah menyatakan keprihatinan tentang peningkatan gelombang Islamophobia, yang didefinisikan sebagai ketidaksukaan atau prasangka terhadap Islam atau Muslim.



























