کمالوندی
Dimensi Irfan Sajak Keterjagaan Imam Khomeini
Kalau kita mendengar nama Imam Khomeini (1902-1989), pertama kali yang hadir dalam imajinasi bahwa beliau itu seorang pemimpin kharismatik revolusioner pendiri Republik Islam Iran, sama seperti ketika bangsa Indonesia mendengar nama Ir. Soekarno sebagai proklamator kemerdekaan bangsa.
Di dalam kepemimpinan Ayatullah Khomeini, secara resmi Iran menjadi Republik Islam pada 1 April 1979, serta mengakhiri masa pemerintahan monarki Muhammad Reza Pahlevi.
Ingatan kolektif orang tentang Ayatullah Khomeini sebagai seorang pemimpin politik dengan konsep Wilayat al-Faqih yang terkenal. Padahal Imam Khomeini bukan hanya pemimpin besar pada wilayah politik. Pribadi beliau adalah sebuah kompleksitas, sesuai dengan latar belakangnya yang telah menyauk berbagai sumber hikmah serta ilmu pengetahuan.
Sebagai seorang pemikir besar beliau telah mengarang 40 buku serta, secara kongkret telah menerjemahkan “Hikmah Muta’aliyah” Mulla Sadra, kepada “Siyasah Muta’aliyah” pada tataran yang lebih kongkret sehingga dimensi perjalanan rohaninya sebagai seorang arif, berjalan paralel dengan transformasi serta spirit revolusi yang dibawanya bagi rakyat Iran. Beliau adalah seorang mujtahid, fuqaha, serta sebagaimana Maulana Rumi, Ferdawsi, Sa’di, serta Hafiz Shirazi, juga adalah seorang penyair yang meneguhkan jalan cinta mistik dengan tema sentral fananya segala maujud, di hadapan Allah sebagai Wujud Mutlak.
Sajak-sajak Ayatullah Khomeini, mengandung dimensi ‘irfani secara filosofis. Di Iran yang mayoritas Syi’ah, memang tidak dikenal istilah tasawuf sebagaimana di dunia Sunni yang telah memiliki dasar-dasar ontologis, epistemologis, serta aksiologis yang mapan. Yang lebih dikenal di Iran adalah ‘irfan sebagaimana pada Mulla Sadra, sebagai filosof yang mencapai puncak kegemilangan dari kekayaan tradisi ini. Imam Khomeini sendiri tidak hanya memahami tradisi ‘irfan ini secara teoritis, tetapi pada penghayatan serta prilaku praktis seperti pada disiplin pelaksanaan riyadhoh untuk menapaki jenjang maqamat sufi, serta puisi-puisinya, merupakan bagian dari ekspresi seorang pelaku suluk rohani. Dengan demikian Imam Khomeini bisa dikatakan sebagai pelaku ‘irfan amali atau di dunia Sunni disebut tasawuf amali.
Istilah ‘irfan berakar dari bahasa Arab ‘arafa. Maknanya paralel dengan makrifat, yang memiliki arti mengetahui Allah dari dekat. Tapi ‘irfan ini tampaknya berbeda dengan ilmu (`ilm). Dalam sudut pandang filosof Iran mutakhir, Mehdi Hairi Yazdi, “Ilmu Hudhuri, Prinsip-Prinsip Epistemologi di Dalam Filsafat Islam”, pengetahuan ‘irfan ini yang disebutnya sebagai “pengetahuan yang dihadirkan” (‘ilm hudhuri) yang berbeda dengan pengetahuan rasional yang disebut sebagai “pengetahuan yang dicari” (‘ilm muktasab) (1994:47-48)
Memahami serta menghayati sajak “Keterjagaan” dari buah renungan filosofis serta mistis Ayatullah Khomeini, pembaca pasti dikejutkan dengan cara pandang sangat unik, yang menjadi ‘jahan bini’ (pandangan dunia) yang khas dari kaum sufi seperti Abu Yazid al-Busthami serta al-Hallaj. Sajak “Keterjagaan” diambil dari terjemahan Abdul Hadi WM dari Jurnal Ulumul Qur’an (Edisi 4, 1992:22).
Karya “Keterjagaan” ini merefleksikan pencapaian kedudukan rohani sangat tinggi dari seorang yang telah mencapai Maqam ‘irfan atau Makrifat. Pengalaman spiritual itu kemudian disimbolisasi dengan menggunakan metafora-metafora yang profan sehingga seperti pengalaman hidup sehari-hari, padahal sedang menggambarkan aspek kerinduan azali terhadap Kekasih Sejati, Sang Mutlak.
Pengungkapan Hal atau kondisi spiritual yang dipenuhi dengan penghayatan mistik, menjadi penuh cita-rasa estetis karena memang dimaksudkan untuk menyampaikan kerinduan terhadap aspek jamaliyah-Nya, dengan simbolitas-simbolitas “bibir molek merah delimamu”, “pandang pilumu, menusukku”. Serta puncak dari kerinduan itu kondisi fana yang telah yang telah membebaskannya dari segala ketersiksaan “namun fana dalam Kau membuat diriku yang tersiksa jadi bebas”.
Bibir molek merah delimamu, titik hitam bundar di dahimu
Menjerat hatiku, kekasihku, dan bagai merpati aku terkurung
Pandang pilumu, menusukku hingga aku pun sakit dan merana
Namun fana dalam Kau membuat diriku yang tersiksa jadi bebas
Kupukul kendang “Ana al-Haqq,” seperti Mansur aku tahu
Apa tanggungannya, biar kurelakan nyawaku melayang
Sebab itulah jiwaku sembuh, terpana sembilan waktu
Dan pintu kedai anggur-Mu terbuka siang malam
Pada madrasah dan masjid aku sudah bosan
Jubah Fuqaha ini pun tak sanggup memberiku hiburan
Maka kukenakan baju fakir bertambal sulam
Yang membuatku sefar di tengah nyala api dan asap
Khutbah ulama menyebabkan mataku tertidur lelap
Nafas sempoyongan berbusa anggur menyampaikan kata emasnya
Tahu kau apa yang menyentak hingga terjaga?
Tangan molek pelayan kedai anggur membangunkan aku
Bagi Ayatullah Khomeini, sufi martir Mansur al-Hallaj yang banyak dipermasalahkan dari sisi syariat tampaknya memiliki kedudukan yang istimewa sebagai model penempuh jalan kearifan dengan ungkapan “Kupukul kendang “Ana al-Haq”. Ungkapan bombastis “Ana al-Haq”, ketika al-Hallaj sendiri berada dalam kondisi puncak pengalaman spiritual serta jubah kemanusiaan hancur serta segalanya larut dalam dimensi Lahutiyah-Nya.
Seperti pada Maulana Rumi yang menggambarkan kondisi fana dengan mempergunakan metafora “kedai anggur”, maka demikian pula Imam Khomeini. Kedai anggur sebagai sebuah tempat jamuan spiritual yang selalu terbuka sepanjang waktu. Kedai anggur yang merupakan tempat rahasia pertemuan manusia-manusia pilihan yang mengalami mabuk Ilahi, tempat di mana berbagai hijab yang membawa pada kelezatan spiritual dibukakan. Terdapat sikap kritis Ayatullah Khomeini terhadap aspek formal seperti pada “madrasah”, “mesjid”, “jubah fuqaha”, serta “khutbah ulama”.
Sebagai seorang ulama, yang dikritisinya adalah syariat tanpa hakikat yang membuat seseorang terjebak pada aspek lahiriah semata. Sedangkan untuk mencapai kondisi “terjaga” yang membuat mata batinnnya selalu terbuka terhadap limpahan berbagai rahasia Ilahi yang disimbolisasi “tangan molek pelayan kedai anggur membangunkan aku” tentu saja lahir dari kemampuan untuk mengintegrasikan syariat dengan hakikat sehingga puncak pengalaman irfan atau makrifat itu bisa didapat.
Demikianlah aspek ‘irfan yang terdapat pada puisi “Keterjagaan” Ayatullah Khomeini. Sebagai sebuah karya sastra yang merupakan ekspresi estetik dari sebuah pengalaman spiritual, sajak “Keterjagaan” beserta karya-karya puisi Imam Khomeini yang lain, telah turut memperkaya khasanah karya sastra sufi dunia.
*Penulis adalah Penanggung Jawab Iranian Corner UIN Sunan Gunung Djati Bandung serta aktivis LESBUMI-Nahdlatul Ulama.
Menguak Dimensi Kesepakatan Bahrain dan UEA dengan Israel
29 hari setelah kesepakatan Uni Emirat Arab (UEA) dengan rezim Zionis Israel menormalisasi hubungan di antara mereka, Bahrain, sebuah negara kecil Arab juga mengumumkan secara resmi hubungan diplomatiknya dengan Tel Aviv. Apa dampak dan dimensi dari kesepakatan dua negara Arab ini dengan Israel?
Meski Bahrain mengumumkan normalisasi hubungan dengan Israel setelah Uni Emirat Arab, namun Al Khalifa dapat disebut sebagai pelopor proses kompromi ini. Berdasarkan berbagai laporan, rezim Al Khalifa tahun 2011 meminta bantuan pasukan Israel untuk menumpas aksi protes di dalam negeri. Bahrain selama satu tahun terakhir terdepan dari setiap negara Arab untuk mengungkapkan normalisasi hubungan dengan Tel Aviv.
Khaled bin Ahmad Al Khalifa, menteri luar negeri Bahrain Mei 2019 membela serangan Israel ke Suriah dan mengklaim,”Israel berhak membela diri.” Ayoob Kara, menteri telekomunikasi Israel waktu itu menyebut statemen menlu Bahrain sebagai dukungan bersejarah Manama terhadap Tel Aviv.
Bahrain 25 dan 26 Juni 2019 menjadi tuan rumah pertemuan ekonomi di bawah koridor rencana Amerika, kesepakatan abad. Menlu Bahrain pada Juni 2019 menilai keliru absennya Palestina di sidang Manama. Khalid bin Ahmad pada Agustus 2019 seraya mendukung serangan Israel ke Suriah, Lebanon dan irak mengklaim bahwa agresi Zionis dilakukan untuk membela diri. Di klaimnya ia bersandar pada butir 51 Piagam PBB terkait pertahanan diri yang sah. Sementara itu, Dubes Bahrain di Washington termasuk tiga menteri Arab yang menghadiri peresmian rencana kesepakatan abad pada 28 Januari lalu.
Pendekatan dan statemen kepala diplomasi Bahrain mengungkapkan adanya hubungan resmi antara Manama dan Tel Aviv, namun hubungan ini terlambat satu tahun diumumkan secara resmi. Poin penting terkait Bahrain dan Israel adalah, keduanya menderita krisis legalitas. Al Khalifa menghadapi krisis legalitas di dalam negeri dan Israel menghadapi krisis legalitas di kawasan Asia Barat, karena setelah 72 tahun sampai saat ini mayoritas negara-negara kawasan tidak mengakui Tel Aviv. Oleh karena itu, tujuan utama Al Khalifa dan Israel dari kesepakatan normalisasi hubungan adalah meraih legalitas di dalam negeri dan kawasan.
Amerika Serikat pemain utama di normalisasi hubungan Bahrain dan Israel. Faktanya, pemerintah Amerika merancang skenario ini untuk kepentingan rezim Zionis dan Al Khalifa sebagai pelaksana skenario ini. Masoud Asaddollahi, pengamat senior isu-isu Asia Barat meyakini, normalisasi hubungan Bahrain dan Israel bagian eksternal dari kesepakatan abad yang diresmikan Presiden AS Donald Trump pada 28 Januari 2020. Sementara bagian internal kesepakatan abad adalah konsesi yang diraih Israel di bidang geografi dan keamanan. Sementara bagian eksternalnya adalah pemberian legalitas kepada Tel Aviv melalui normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab.
Faktanya adalah Bahrain merupakan negara Arab paling lemah dari sisi politik, ekonomi dan keamanan. Bahrain negara kecil di kawasan strategis Asia Barat. Al Khalifa bukan warga pribumi Bahrain dan mereka asli penduduk Arab Saudi. Dari sisi ekonomi, Bahrain sejak tahun 2011 hingga kini terus mengalami penurunan dan kesulitan ekonomi negara ini terus meningkat akibat berlanjutnya aksi protes rakyat menentang Al Khalifa. Lembaga Which April lalu memprediksikan defisit anggaran Bahrain tahun 2020 sebesar 13,5 persen. Selain itu, Bahrain seperti mayoritas negara Arab, tidak memiliki militer yang kuat dan solid serta kemampuan pertahanan untuk melawan ancaman.
Mengingat situasi ini, rezim Al Khalifa telah mengambil alih tuan rumah Pusat Armada Kelima AS untuk menikmati dukungan AS. Dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat telah mengambil alih Bahrain dan Al-Khalifa tidak memiliki kemerdekaan dalam memutuskan kebijakan luar negerinya. Oleh karena itu, pesan penting normalisasi hubungan Bahrain dengan rezim Zionis terletak pada masalah perwalian Amerika atas Bahrain yang sama. "Perjanjian ini menunjukkan hak asuh AS atas Bahrain dan Raja Bahrain berada di bawah kendali pemerintah AS," kata Dawood Shahab, kepala kantor informasi Gerakan Jihad Islam Palestina.
Ada tiga poin penting tentang kesepakatan Bahrain dengan rezim Zionis. Poin pertama adalah bahwa Donald Trump, seperti perjanjian UEA dengan rezim Zionis, bermaksud menggunakan perjanjian ini secara elektoral. Pemilihan presiden AS akan diadakan November mendatang, dan Trump berada di bawah tekanan dari protes rasis di Amerika Serikat, memburuknya ekonomi akibat wabah korona, dan ketidakmampuan untuk mengatasi meluasnya wabah korona, dimana seperempat kasus kematian akibat pandemi COVID-19 di dunia dari negara ini.
Di bidang kebijakan luar negeri, Trump juga menyaksikan kegagalan tekanan maksimal terhadap Iran, tidak membuahkannya konfrontasi ekonomi dengan Cina, serta sekutu tradisional mulai menjaga jarak dari Washington. Oleh karena itu, normalisasi hubungan negara-negara Arab dengan rezim Zionis yang telah berlangsung puluhan tahun ditujukan untuk pemanfaatannya secara elektoral dan untuk mencapai prestasi politik luar negeri.
Poin kedua adalah Bahrain adalah negara kecil di Asia Barat yang tidak memiliki bobot atau tempat dalam keputusan di kawasan ini. Yang penting bagi kesepakatan Bahrain dengan rezim Zionis adalah ketergantungan penuh Al-Khalifa pada Al-Saud. Al-Saud takut mempublikasikan hubungan dengan rezim Zionis karena posisi agama dan politik Arab Saudi di dunia Islam, dan di sisi lain, berada di bawah tekanan kuat dari pemerintah AS untuk mempublikasikan hubungan. Dengan demikian, kesepakatan Bahrain dengan rezim Zionis secara tidak langsung merupakan kesepakatan Arab Saudi dengan rezim ini.
"Meskipun Bahrain bukan kekuatan Timur Tengah atau bahkan kekuatan di Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC), namun penandatanganan perjanjian kompromi dengan negara sangat bermanfaat bagi Tel Aviv bermanfaat karena Manama memiliki hubungan sangat erat dengan Riyadh dan kesepakatan ini sama halnya dengan kompromi tak langsung Arab Saudi dengan Israel," tulis Eli Fouda, seorang profesor studi Islam dan Timur Tengah di Universitas Quds pendudukan.
Poin ketiga adalah Bahrain berbeda dengan negara-negara anggota P-GCC lainnya, gerakan rakyat di negara ini memiliki sejarah dan basis kuat. Gerakan Islam al-Wefaq, Gerakan Amal Islam, Koalisi 14 Februari, Gerakan Kebebasan dan Gerakan Haq (Kebenaran) termasuk faksi politik penting di Bahrain dan memiliki basis rakyat yang kokoh. Selain itu, Bahrain memiliki pemimpin politik dan spiritualitas penting seperti Sheikh Isa Qassim, Sheikh Ali Salman, Nabil Rajab dan Hasan Mushaima yang bukan saja tidak takut menghadapi rezim Al Khalifa, bahkan menerima penjara dan pengasingan. Oleh karena itu, kesepakatan dengan Israel bukan saja tidak aman bagi Al Khalifa, tapi akan meningkatkan ancaman dalam negeri terhadap rezim ini.
Pertanyaannya di sini adalah apakah kesepakatan Bahrain atau UEA dengan Israel akan memiliki konsekuensi keamanan yang nyata bagi Palestina? Sepertinya kesepakatan ini tidak akan memiliki konsekuensi baru bagi Palestina, karena negara-negara ini sebelumnya juga memiliki hubungan dengan rezim penjajah Quds dan kini mereka sekedar mengumumkan secara resmi hubungannya tersebut.
Sebaliknya kesepakatan tersebut dapat dinilai sebuah prestasi bagi Palestina, karena seperti yang dinyatakan Sekjen Hizbullah Lebanon, Sayid Hasan Nasrullah pada November 2018 lalu, “Normalisasi hubungan dengan Israel akan mengakhiri kemunafikan Arab dan topeng-topeng trik para pemain dan munafik akan terbuka.”
Di sisi lain, Otorita Ramallah kini sampai pada kesimpulan bahwa kompromi dan berunding dengan Israel bukan saja tidak membuahkan konsesi bagi Palestina, bahkan menyebabkan meningkatnya serangan dan pendudukan rezim ini. Ketika berbagai faksi Palestina mengedepankan rasionalitas dan kebijaksanaan serta mendefinisikan dirinya dalam koridor identitas nasional Palestina, kesepakatan ini dapat meningkatkan ancaman bagi UEA dan Bahrain, khususnya bagi Israel sendiri.
Salman, Sang Pencari Kebenaran
Salman terukir namanya dalam sejarah sebagai figur pencari kebenaran. Orang yang telah mencapai kebebasan sejati dan mengabaikan kebebasan dirinya hingga bersedia menjadi budak demi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw hingga menjadi Muslim. Bahkan, Rasulullah Saw mengatakan, "Salman bagian dari kami, Ahlul Bait".
Di kalangan masyarakat Muslim dewasa ini barangkali tidak ada yang tidak mengenal nama "Salman Farsi", yang menunjukkan status istimewanya sebagai sahabat Nabi Muhammad Saw. Pernyataannya bagaimana orang non-Arab bisa mencapai kedudukan seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad Saw, "Salman bagian dari kami, Ahlul Bait", menunjukkan sebuah fakta mengenai sosok pencari kebenaran ini meninggalkan tanah kelahirannya untuk memluk agama Islam.
Salman, terlahir dengan nama Roozbeh di sebuah masyarakat penganut Zoroster yang taat. Ayahnya adalah seorang tokoh agama kota Ji (salah satu distrik lama kota Isfahan). Dia menginginkan Roozbeh menggantikan posisinya sebagai tokoh agama. Tetapi hati dan jiwa Roozbeh tidakn menyukai kedudukan penting ayahnya. Salman tidak senang berkeliling taman indah yang dinikmati keluarganya, tapi masyarakat biasa tidak bisa menikmatinya
Ia mengkritik kesenjangan sosial yang tajam di tengah masyarakatnya. Ketika dia melihat orang-orang beribadah, dia berkata kepada dirinya sendiri, "Bagaimana mereka menyembah api, padahal mereka yang menyalakan api dan keabadiannya berada di tangan mereka sendiri?" Pertanyaan ini terus menjejali benak pemikiran Roozbeh yang membuatnya enggan untuk menyalakan api sebagai bagian dari ajaran agama yang dianutnya ketika itu.
Renungan Roozbeh membawanya menuju masalah paling subtansial mengenai sang pencipta alam semesta ini. Pencipta yang menciptakan api untuk digunakan manusia. Dia tidak bisa menerima bahwa Tuhannya senang dengan dominasi orang kaya terhadap orang miskin. Roozbeh memprotes kondisi sosial ketika itu yang menggunakan agama untuk kepentingan sosial. Dalam kondisi gelisah saat itu, dia berdoa memohon kepada Tuhan supaya ditemukan dengan orang yang bisa menuntunnya kepada kebenaran sejati.
Ayah Roozbeh ingin putranya menggantikan posisinya di Pusat Agama kota Ji. Dia berkata tentang ayahnya, "Saking sayangnya ayahku membuatku merasa seperti seorang gadis di rumah sampai aku menjadi pelayan kuil api." Tampaknya, ayah Roozbeh sudah membaca keingintahuan yang tinggi dari anaknya, dan spirit kebebasan yang berada dalam batin sang anak.
Suatu hari, ayahnya yang sibuk meminta Roozbeh pergi ke desa. Ia pun berangkat untuk memenuhi perintah ayahnya. Tetapi dalam perjalanan dia melihat sebuah gereja, berdiri di depannya, mendengarkan suara-suara dari dalam dan kemudian masuk. Di sana dia melihat sekelompok orang berdoa. Kerendahan hati dan perhatian mereka kepada Allah dalam doa-doa mereka mengejutkannya. Dia pergi ke uskup gereja dan berbicara kepadanya dengan santun. Berjam-jam berlalu dan percakapan antara Roozbeh dan uskup itu selesai. Akhirnya, uskup berbicara tentang Sham, tempat kelahiran agama Kristen.
Ketika Roozbeh kembali ke rumah, dia menghadapi ayahnya yang gelisah. Tapi, Rouzbeh berkata dengan tenang, "Saya bertemu sekelompok orang Kristen yang berdoa di gereja mereka, apa yang saya lihat mengejutkan dan saya menemukan bahwa agama mereka lebih baik daripada kita." Ayah yang selalu mempersiapkan putranya untuk bertanggung jawab atas kuil api setelahnya dan memaksanya untuk melakukan semua ritual agama Zoroaster, melihat putranya berkata, "Tentu saja, agama Kristen lebih baik daripada agama kita. ".
Awalnya, sang ayah mencoba membujuk putranya dengan berbagai cara, tetapi Roozbeh menolak alasan sang ayah satu demi satu. Dan pada akhirnya dia berkata kepada ayahnya, "Ayah, Anda meniru leluhur kita dalam menyembah api, tetapi beri tahu saya bagaimana status api ini yang kita bakar dengan tangan dan tongkat kering kita sendiri? Hidup dan matinya benar-benar berada di tangan kita, jadi bagaimana mungkin bisa menjadi Tuhan kita?" Mendengar pernyataan anaknya ini, kemarahan sang ayah meledak, memenjarakannya di rumah.
Dia dikurung selama beberapa hari sampai salah seorang pelayan mereka, yang sesekali mengirimnya ke uskup, berkata, "Uskup telah memberi tahu saya bahwa besok malam dia akan pergi ke Sham." . Kebahagiaan muncul di wajah Roozbeh, sebelum fajar menyingsing perlahan, ia sudah meninggalkan rumah dalam kegelapan malam. Bergerak bersama angin meninggalkan Iran menuju Sham.
Akhirnya Roozbeh tiba di Damaskus, dan ia bertemu dengan orang paling bijak dari Nasrani. Warga kota membimbingnya ke keuskupan. Roozbeh dengan tekad baja pergi ke rumah Uskup Nasrani Ketika dia sampai di sana, uskup bertanya kepadanya, “Siapa kamu dan apa yang kamu inginkan?” Roozbeh berkata, “Saya seorang pria dari kota Ji Isfahan. saya ingin mencari ilmu. Terimalah saya dan jadikan temanmu. Ajari aku apa yang Tuhan ajarkan padamu! " Pembicaraan yang baik ini mengejutkan uskup, lalu ia menatap wajah pemuda itu. Di matanya dia melihat kecerdasan.
Berbulan-bulan berlalu. Roozbeh berada bersama uskup mengajar dan meneliti, ada waktu untuk beribadah, dan waktu untuk mendengar penjelasan tentang ayat-ayat Alkitab. Tapi kemudian nasib berkata lain. Uskup meninggal dan mereka,berpihak. Sejak itu, Salman melanjutkan perjalanannya mencari kebenaran dengan menempuh perjalanan panjang melewati gunung-gunung dan padang pasir. Dia menghabiskan sebagian besar hidupnya bepergian dari satu negeri ke negeri lain dan dari kuil ke kuil lain.
Tanpa kelelahan dan kebosanan, ia berusaha mencari oprang yang bisa memenuhi dahaga spiritualitasnya, yang akan menemukannya dengan cinta, kebebasan, persaudaraan, dan kesetaraan sejati. Sampai saat terakhir dalam perjalanannya yang melelahkan, ia mencapai Medinah. Di mana dia bertemu dengan Nabi Muhammad Saw yang bimbingannya menuju jalan kebenaran. Akhirnya, Roozbeh menerima ajaran Islam dan namanya berganti menjadi Salman.
Suatu hari muncul mengenai rencana Abu Sufyan untuk menyerang Madinah bersama suku-suku Arab lainnya dengan tujuan menghancurkan umat Islam yang dianggap melemahkan agama warisan leluhur mereka.Sejarah mencatat 10.000 petarung siap untuk menyerang Madinah di bawah komando Abu Sufyan.
Berita ini mengguncang hati banyak Muslim. Lalu Nabi Muhammad Saw mengumpulkan para sahabat dan membentuk dewan perang untuk merancang pertahanan menghadapi sepuluh ribu petarung tangguh Arab. dalam pertemuan itu, Salman menyampaikan pendapatnya, "Wahai Rasulullah, mari kita menggali parit di sekitar Madinah sehingga mereka tidak bisa memasuki Madinah."
Nabi Muhammad Saw menyambut usulan ini dan segera memerintahkan penggalian parit dimulai. Saat menggali parit, semua tokoh Muslim baik dari Muhajirin maupun Ansar mengungkapkan penghormatannya kepada Salman. Ketika itu, orang-orang muhajirin berkata, "Salman dari kami,". Ansar juga berkata, "Salman milik kita dan kita lebih pantas mendapatkannya,". Ketika itu, Nabi Muhammad Saw tangan di bahu Salman dan berkata, "Salman dari kami Ahlul Bait."
Ketika itu para sahabat Nabi mengitari dia, dan berkata kepadanya, "Selamat untukmu, wahai Salman dari Persia, kepada siapa Rasulullah menganugerahkan kepadamu kehormatan besar." Pada saat yang sama, Nab dengan penuh cinta, mengatakan kepada mereka, "Jangan katakan Salman Persia, tetapi katakan, Salman Al-Muhammadi."
Islamophobia di Barat (10)
Kampanye Islamophobia tidak hanya terjadi di negara-negara Barat, tetapi pemerintah dan media-media Barat telah memprovokasi sentimen anti-Muslim di wilayah lain dalam beberapa tahun terakhir.
Salah satu tragedi yang terjadi saat ini adalah genosida Muslim Myanmar di tengah kebisuan lembaga-lembaga pembela HAM dan pemerintah Barat. Minoritas Muslim Rohingya menderita akibat diskriminasi dan pendekatan rasis. Budha Myanmar bahkan tidak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negara Myanmar dan memperlakukan mereka secara diskriminatif.
Para ekstremis Budha masih terus melakukan kekerasan terhadap warga Muslim Rohingya. Dalam kasus terakhir, ekstremis Budha membunuh ratusan ribu orang Rohingya dan mengusir puluhan ribu lainnya dengan membakar rumah-rumah mereka.
Muslim Rohingya yang berusaha menyelamatkan diri juga menghadapi bahaya lain karena Bangladesh membatasi arus pengungsi. Para pengungsi ini tidak memiliki akses terhadap makanan dan air bersih. Gambar-gambar yang tersebar luas memperlihatkan kondisi tragis yang dihadapi mereka.
Militer Myanmar secara langsung juga melibatkan diri dalam pembunuhan orang-orang Rohingya dengan alasan memerangi milisi. Myanmar tidak memiliki sumber daya alam dan posisi strategis yang bisa diandalkan sehingga dapat menyita perhatian Barat, yang mengaku sebagai “pahlawan HAM.”
Aung San Suu Kyi, politisi dan aktivis terkenal Myanmar menerima Hadiah Nobel Perdamaian karena perlawanannya terhadap junta militer selama bertahun-tahun, tetapi sayangnya, ia tidak menggunakan pengaruh dan popularitasnya untuk melawan kekerasan dan diskriminasi rasial terhadap Muslim Rohingya.
Apa yang sedang terjadi di Myanmar dan perbatasan Bangladesh, tidak ada bedanya dengan apa yang menimpa rakyat Irak dan Suriah dalam beberapa tahun terakhir. Bedanya, Muslim Myanmar sedang menghadapi serangan terorisme, di mana pelakunya tidak dianggap sebagai teroris oleh dunia internasional.
Perbatasan Bangladesh – tempat ribuan Muslim Rohingya terkatung-katung – tidak menarik perhatian media-media dan pemerintah Barat bila dibandingkan dengan perbatasan Eropa. Gambar dan berita tentang kondisi tragis Muslim Rohingya tidak begitu menarik perhatian para pemimpin Eropa, jika dibandingkan dengan arus pengungsi yang menyerbu benua itu selama dua tahun terakhir.
Nyawa pengungsi Suriah dan Irak tentu saja tidak begitu berharga bagi para pemimpin Eropa. Hal yang membuat mereka peduli semata-mata untuk mempertahankan klaimnya tentang pembelaan hak asasi manusia. Di satu sisi, para pemimpin Eropa ingin menutupi perbatasannya terhadap pengungsi dan di sisi lain, kebijakan ini bertentangan dengan klaim dan deklarasi HAM Eropa.
Namun di wilayah yang jaraknya ribuan kilometer dari Eropa, ekstremis Budha tidak dianggap ancaman bagi Eropa, dan begitu juga dengan Muslim yang tertindas, tidak dipandang sebagai kasus yang bisa merusak reputasi pemerintah Barat, yang mengaku pembela HAM dan nilai-nilai kemanusiaan.
Penderitaan Suu Kyi dalam memperjuangkan kebebasan dan melawan junta militer, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kejahatan ekstremis Budha Myanmar terhadap Muslim Rohingya. Penderitaan Suu Kyi membuat terkenal dan dianggap layak menerima Hadiah Nobel Perdamaian.
Saat ini ribuan Muslim Myanmar mengalami penderitaan yang jauh lebih buruk dari Suu Kyi demi memperoleh kebebasan dan kehidupan yang bermartabat, namun tidak ada seorang pun di Barat yang bersedia menatap gambar pria, wanita, dan anak-anak Muslim Rohingya dan memprotes tragedi kemanusiaan di sana. Muslim Rohingya seakan-akan bukan manusia sehingga tidak pantas mendapat perhatian dari “para pahlawan HAM” di Barat.
Sikap standar ganda Barat dalam membela kebebasan dan hak asasi manusia bukan sesuatu yang bisa disembunyikan dari mata dunia. Salah satu contoh dari standar ganda Barat dalam membela kebebasan dan demokrasi adalah sikap bungkam mereka dalam menyaksikan minoritas agama dan etnis yang paling tertindas dunia di Myanmar.
Pertemuan para pemimpin Barat dengan Aung San Suu Kyi hanya menyinggung tentang aktivitas wanita ini dalam memperjuangkan kebebasan dan Hadiah Nobel Perdamaian yang diraihnya, tanpa sedikit pun berbicara mengenai genosida Muslim Rohingya di Myanmar.
Muslim Rohingya hanya memiliki dunia Islam, yang sedang dilanda konflik, perang, dan perpecahan, tetapi masih ada sedikit harapan untuk memberikan perhatian dan menangani krisis yang dihadapi kaum Muslim dunia. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan lembaga-lembaga HAM internasional diharapkan dapat mengobati penderitaan Muslim Rohingya di Myanmar.
Republik Islam Iran senantiasa menunjukkan kepedulian dan reaksi terhadap penindasan yang terjadi di berbagai belahan dunia, demikian juga dengan tragedi yang menimpa Muslim Rohingya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Bahram Ghassemi dalam sebuah pernyataan mengatakan, tindakan tidak manusiawi dan kekerasan terhadap Muslim Rohinya terus berlanjut di Myanmar.
“Dalam kerangka menghormati hak-hak dasar dan martabat manusia, pemerintah Republik Islam menyampaikan keprihatinan serius terhadap perampasan hak-hak Muslim di Myanmar, yang telah menyebabkan banyak kematian dan eksodus paksa. Kami mengumumkan kekecewaan kami terhadap berlanjutnya situasi tragis ini, pembunuhan, dan eksodus Muslim Myanmar,” tegasnya.
Dia menambahkan bahwa jika negara-negara Muslim menentang genosida di Myanmar dengan suara bulat, para pelaku kekerasan mengerikan ini pasti akan mundur.
Republik Islam Iran menyerukan persatuan dunia Islam dalam mendukung warga Rohingya sebagai tugas kolektif negara-negara Muslim. Iran bersama Indonesia, Malaysia, dan Turki telah mengambil langkah-langkah di forum internasional untuk memperjuangkan hak-hak Muslim Rohingya. Sejauh ini, Iran juga telah mengirim bantuan kemanusiaan dan tim medis dari Organisasi Bulan Sabit Merah untuk membantu Muslim Rohingya di Bangladesh.
Islamophobia di Barat (9)
Waktu shalat sudah tiba, tetapi Raja Miah, seorang imam di sebuah masjid Raval di kota Barcelona, sadar bahwa jumlah jemaah yang akan datang tidak sebanyak seperti di masa lalu.
Serangan kembar di Barcelona dan Cambrils (Spanyol) yang diklaim dilakukan oleh Daesh, membuat masyarakat Muslim Barcelona khawatir akan serangan balasan anti-Islam.
"Orang-orang sangat ketakutan," kata Miah (23 tahun) sambil duduk di sebuah ruangan kecil di masjid Raval, tak jauh dari sekelompok anak yang sedang mengaji pada 19 Agustus 2017.
"Orang-orang sangat takut sehingga mereka enggan keluar rumah. Sangat sedikit orang yang pergi untuk shalat. Biasanya ada sekitar 40 orang, tadi malam tak sampai 15 orang dan tadi pagi hanya 10 orang," kata Miah, yang hijrah ke Barcelona dari Bangladesh sembilan tahun lalu.
Seperti itulah suasana yang menyelimuti Barcelona pasca serangan teroris pada 17 Agustus 2017. Sama seperti kasus-kasus lain di Eropa, orang-orang Muslim dianggap sebagai terduga serangan teror.
Sayap kanan ekstrim memanfaatkan iklim sentimen anti-Muslim di Eropa dan kemudian menyerang orang Muslim dan pusat-pusat kegiatan umat Islam. Masjid Seville Foundation menjadi sasaran serangan rasis pada 19 Agustus menyusul teror Barcelona. Dinding masjid dicoret-coret dengan kata-kata anti-Muslim dan anti-imigran dari Afrika Utara. Salah satu bunyi kalimat rasis itu adalah "Pembunuh, Anda akan membayarnya."
Pada saat yang sama, sekelompok kanan ekstrim menyerang dan membakar sebuah masjid di kota Granada. Perempuan dan anak-anak berlarian keluar masjid untuk menyelamatkan diri.
Kelompok rasis mendatangi masjid tersebut sambil membentangkan spanduk dengan tulisan, "Siapa pun yang mendanai masjid ini, mendukung terorisme." Juru bicara masjid, Jalid Nieto mengatakan dia telah melaporkan kelompok itu ke polisi, dan menyebutnya sebagai kejahatan kebencian.
"Mereka memanfaatkan serangan teror Barcelona, yang membuat masyarakat Muslim berduka, untuk mengkampanyekan pemikiran rasisnya. Warga harus mengerti bahwa umat Islam, sama seperti orang lain, dapat menjadi korban ketidakadilan kelompok-kelompok teroris," tambahnya.
Situs NBC News Amerika menulis, "Para analis khawatir bahwa banyak warga Muslim yang tinggal di kota tersebut akan menghadapi situasi yang lebih sulit."
Direktur El Mirador dels Immigrants Spanyol, Javid Mughal mengakui peran komunitas dalam mencegah serangan ekstremis, dan juga memperingatkan xenofobia sebagai dampak dari serangan 17 Agustus.
"Hanya karena seseorang di Catalonia melakukan kejahatan, bukan berarti semua orang di wilayah itu bertanggung jawab," katanya.
Akan tetapi, banyak pihak di Barat mencari kesempatan untuk menyebarkan Islamophobia dan memprovokasi sentimen anti-Muslim di tengah warga Eropa. Salah satu pendukung gerakan rasis ini adalah Ketua Rabbi Yahudi Barcelona, Meir Bar-Hen.
"Warga Yahudi Barcelona akan binasa, karena penguasa Spanyol tidak mau melawan Islam radikal," ujarnya. Rabbi ini juga mendorong orang-orang Yahudi untuk bermigrasi ke tanah pendudukan Palestina.
Meir Bar-Hen mendorong komunitas Yahudi untuk melarikan diri dari Spanyol, yang disebutnya sebagai "pusat teror Islam untuk seluruh Eropa." Dia bahkan meminta para pengikutnya untuk membeli properti di Palestina dan tidak mengulangi kesalahan orang-orang Yahudi Aljazair dan Yahudi Venezuela.
"Saya memberi tahu para jemaat saya, jangan mengira kita ada di sini untuk selamanya. Dan saya mendorong mereka untuk membeli properti di "Israel." Tempat ini hilang. Jangan ulangi kesalahan orang Yahudi Aljazair dan orang Yahudi Venezuela. Lebih baik [keluar] lebih awal daripada terlambat," ujarnya.
Bar-Hen mengatakan serangan tersebut telah mengungkap kehadiran "pinggiran radikal" di tengah komunitas Muslim, dan masalah ini berlaku untuk seluruh Eropa. "Eropa telah kalah," katanya.
Sebenarnya, Rabbi Bar-Hen ingin membenturkan masyarakat Eropa dengan orang-orang Muslim. Ia bahkan menuding Islam sebagai agama teror, padahal rezim Zionis adalah salah satu sumber penyebaran terorisme dan kekerasan di Timur Tengah dan dunia.
Secara prinsip, pendudukan tanah Palestina dan pembentukan rezim penjajah Israel dilakukan oleh kelompok kanan ekstrim dan rasis Yahudi. Israel sampai hari ini adalah sebuah rezim rasis. Rezim ini dibangun atas ideologi Apartheid dan rasisme.
Saat ini, hubungan erat terjalin antara kelompok takfiri dan teroris terutama Daesh dengan rezim Zionis Israel. Bagi umat Islam, Israel adalah musuh nomor satu dan penjajah yang merampas dan menduduki kiblat pertama mereka. Namun, bagi kelompok teroris, Israel bukan hanya tidak dianggap musuh, tetapi berdasarkan sejumlah dokumen, ada hubungan erat antara Daesh dan rezim Zionis.
Dua tahun lalu, sejumlah dokumen mengungkap tentang upaya Israel untuk mempersenjatai para teroris di Suriah serta dukungan luas Arab Saudi dan Qatar kepada mereka. Dokumen ini dibocorkan oleh sekelompok hacker yang menyerang situs kantor-kantor penting rezim Israel.
Para hacker Anonymous berhasil membobol komputer sejumlah pegawai keamanan rezim Zionis dan salah satunya milik Mendi Safadi, pegawai kantor PM Israel yang fokus untuk masalah Suriah.
Dari data yang diperoleh, Mendi Safadi membangun hubungan dengan para antek Israel di Suriah, Lebanon, Arab Saudi, Qatar, Yordania, dan tanah pendudukan Palestina untuk menyalurkan bantuan militer, finansial, dan intelijen kepada kelompok teroris, khususnya Daesh dan Front al-Nusra.
Para teroris yang terluka di Suriah juga dibawa ke Israel untuk menerima perawatan medis. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bahkan membesuk salah satu teroris yang dirawat di Israel. Oleh karena itu, teroris yang melakukan kejahatan atas nama Islam, tidak pernah menganggap rezim Zionis sebagai musuhnya.
Tindakan teror yang dilakukan atas nama Islam di Eropa juga mengejar satu tujuan yaitu merusak citra Islam sebagai agama penyeru perdamaian dan keadilan.
Salah satu pihak yang mengambil keuntungan dari kampanye Islamophobia adalah rezim Zionis Israel dengan tujuan menutupi kejahatannya di tanah Palestina. Israel sangat diuntungkan atas pembantaian dan penghancuran Suriah dan Irak oleh kelompok teroris takfiri. Para teroris ingin melemahkan kubu perlawanan yang menentang keberadaan rezim Zionis.
Kelompok teroris takfiri khususnya Daesh belum pernah melepaskan satu butir peluru pun ke arah Israel. Serangan mereka juga tidak pernah menyasar orang-orang Zionis. Semua ini merupakan bukti atas hubungan teroris takfiri dengan rezim Zionis untuk merusak citra Islam.
Setelah serangan teror Barcelona, warga Muslim Spanyol melakukan aksi solidaritas dengan para korban dan mengecam tindakan terorisme. Mereka menyatakan Muslim sendiri telah menjadi korban utama kejahatan teroris dan jangan memandang orang-orang Muslim sebagai terduga.
Islamophobia di Barat (8)
Kampanye Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Jerman mencatat peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir. Selama masa kampanye pemilu parlemen Jerman pada tahun 2017, Partai Alternatif untuk Jerman (Alternative für Deutschland/AfD) melakukan kampanye anti-Islam secara luas.
AfD merupakan partai yang anti-Islam dan anti-imigran. Program dasar partai ini pada pemilu 2017 mengklaim bahwa Islam bukan milik Jerman. AfD menentang penggunaan pakaian syar’i dan jilbab di Jerman dan berusaha mendorong pelarangan penuh pakaian Islami di negara itu.
Partai Alternatif untuk Jerman menentang kegiatan lembaga-lembaga Islam di Jerman sebagai bagian dari hak-hak warga negara asing di negara tersebut.
Gerakan PEGIDA atau "Warga Eropa Patriotik Melawan Islamisasi Barat" muncul di Jerman dalam beberapa tahun terakhir. Gerakan yang menentang kehadiran Muslim di Jerman ini mencoba memperluas aktivitasnya di seluruh wilayah Eropa. Mereka juga mengadakan demonstrasi anti-Muslim di beberapa negara Eropa.
PEGIDA merencanakan demonstrasi mingguan di kota Dresden untuk menjaga sikap anti-Islam mereka di Jerman. Tetapi rencana itu tidak dilanjutkan karena kurangnya dukungan dari orang-orang Jerman.
Pada 2009 lalu, seorang wanita Muslim Mesir bernama Marwa El-Sherbini meninggal dunia di ruang pengadilan kota Dresden. Ia ditikam hingga tewas dengan 18 tusukan pisau, padahal kondisinya juga sedang hamil tiga bulan. Sherbini menggugat si pembunuh itu ke pengadilan setelah dia menyebutnya "teroris" karena mengenakan jilbab. Menurut jaksa penuntut, penyerang (Axel W) terdorong oleh kebencian akut terhadap Muslim dan warga asing.
Sherbini meminta bantuan polisi setelah Axel W menghina dirinya dengan kata-kata kotor dan menyebut dirinya sebagai teroris. Di pengadilan, Axel W dihukum membayar denda. Namun pelaku tidak terima dan mengajukan banding.
Media-media Jerman tidak begitu menyoroti insiden penikaman Marwa El-Sherbini. Seorang kolumnis surat kabar The Guardian Inggris dalam artikelnya menulis, “Halaman utama media-media Jerman awalnya tidak mengangkat kejadian itu dan setelah ribuan warga Mesir melakukan protes di Kairo, pemerintah federal Jerman – setelah memilih diam selama hampir seminggu – menyatakan penyesalan atas insiden tersebut.”
Angka serangan rasis terhadap empat juta Muslim di Jerman tidak menunjukkan penurunan dalam delapan tahun terakhir. Partai-partai ekstrem kanan anti-Islam seperti AfD tumbuh subur seiring dengan kampanye Islamophobia, yang gencar dilakukan di Jerman.
Slogan-slogan kampanye Partai Alternatif untuk Jerman tampak lebih kontroversial dan agresif daripada partai-partai lain. Seperti kalimat kontroversial, “Islamfreie Schulen” yang berarti sekolah tanpa Islam atau “Burka? Kami Lebih Suka Bikini.” Slogan partai populis dan sayap kanan ini lebih banyak mengangkat masalah kontradiksi budaya dan isu-isu rasis yang menyerang warga Muslim.
Menurut jajak pendapat pada 2017, popularitas partai AfD sekitar sepuluh persen. Namun, jika pemilu diadakan hari ini, AfD diprediksi akan menduduki posisi ketiga Jerman setelah Partai Kristen Demokrat (CDU) dan Partai Sosial Demokrat (SPD).
Pengaruh yang besar ini merupakan sebuah peringatan bagi kebangkitan Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Jerman. Padahal, kebebasan beragama di Jerman adalah masalah yang dijamin oleh konstitusi.
Tentu saja, pemenuhan hak-hak sipil dan kewarganegaraan di negara-negara Eropa seperti Jerman, selalu ada pengecualian untuk warga Muslim. Konstitusi negara-negara Eropa, Piagam Sosial Eropa, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (yang disusun oleh Barat) menekankan kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, dan kehidupan bebas para pengikut setiap agama berdasarkan ajaran agama mereka.
Namun penekanan ini diabaikan ketika menyangkut warga Muslim, dan pemerintah-pemerintah Eropa serta gerakan-gerakan ekstremis tidak mau mematuhi hak-hak sipil dan kewarganegaraan terhadap individu Muslim.
Para politisi dan media-media Barat telah memperkenalkan Islam sebagai agama pendukung kekerasan, ekstremisme, dan terorisme, sehingga membenarkan segala pelanggaran hak-hak sipil dan kewarganegaraan terhadap masyarakat Muslim.
Masalah pakaian wanita Muslim bahkan telah menjadi isu politik dan perdebatan publik di negara-negara Eropa termasuk Jerman. Masing-masing negara bagian di Jerman menetapkan aturan khusus untuk membatasi gerak wanita Muslim di ruang publik.
Beberapa organisasi pembela hak-hak perempuan di Jerman, seperti Terre des Femmes dan beberapa penulis majalah feminis EMMA, menganggap pemakaian jilbab untuk anak sekolah dasar sebagai langkah keliru. Mereka mempertanyakan pemakaian pakaian syar’i dari perspektif feminisme dan klaimnya tentang pembelaan hak-hak perempuan.
Penggunaan pakaian syar’i dipilih atas dasar kesadaran dan wanita Muslim ingin menjaga auratnya berdasarkan perintah agama. Oleh karena itu, pihak lain tidak bisa menerapkan pembatasan atas dasar interpretasi keliru mereka tentang Islam atau karena klaim-klaim tak berdasar.
Salah satu jurnalis wanita yang menentang perlakuan diskriminatif terhadap wanita Muslim di Jerman adalah Meredith Haaf, seorang penulis dan aktivis feminis.
Dalam sebuah artikel di surat kabar Süddeutsche Zeitung (12 Juli 2017), Meredith Haaf mengatakan bahwa melabeli kelompok-kelompok atas dasar etnis atau agama adalah sebuah lipstik di tangan mereka – karena alasan yang benar-benar berbeda – ingin mempertahankan dan menuntut perlakuan agresif dan diskriminatif terhadap umat Islam.
Dalam artikel dengan judul “How Islamophobic is feminism?” Meredith Haaf menulis, “Kaum feminis yang ingin melarang jilbab perempuan telah mengkhianati tujuan perempuan dan bermain di tangan populis sayap kanan.”
Dia menjelaskan bahwa pandangan feminisme kadang bisa merugikan masyarakat sendiri. Para pendukung prostitusi berusaha menanggalkan jilbab dari wanita Muslim dan tentu ini disayangkan. Para aktivis feminisme bahkan tidak mengerti makna feminisme dan tidak menghormati hak-hak perempuan.
Di sini jelas bahwa kelompok anti-Islam bahkan bersedia mengabaikan prinsip-prinsip pemikiran mereka sendiri demi menentang Islam dan kaum Muslim. Ini adalah sebuah kebencian terhadap umat Islam dan bertentangan dengan klaim orang-orang Eropa yang mengaku memiliki pandangan rasional terhadap semua persoalan. Namun sekarang justru menuduh lawan mereka sebagai ekstremis dan irasional.
Islamophobia di Barat (7)
Sekelompok warga Muslim pada Sabtu subuh (5 Agustus 2017) mendatangi Masjid Dar Al Farooq Bloomington di Minnesota, Amerika Serikat untuk menunaikan shalat. Namun, ledakan bom telah mengejutkan seluruh jemaah dan untungnya tidak ada yang terluka dalam insiden itu.
Ketua Dar Al Farooq Islamic Center, Mohamed Omar mengatakan tempat ini sebelumnya juga menerima ancaman lewat telepon dan email. "Dar Al Farooq sebelum ini melakukan aktivitas sebagai pusat keluarga dan pemuda Al Farooq. Semua tetangga masih tidur saat ledakan terjadi dan suara ledakan membuat warga terkejut," jelasnya.
Direktur Eksekutif Dewan Gereja Minnesota, Curtiss DeYoung meletakkan sebuah karangan bunga di luar masjid dengan pesan yang berbunyi, "Saya dan teman-teman saya telah mengunjungi masjid ini pada bulan Ramadhan dan di sini kami berada di samping Muslim."
Dia kemudian mengikuti aksi solidaritas yang diselenggarakan di halaman belakang masjid untuk memberikan dukungan kepada warga Muslim. Dalam pidatonya, DeYoung berkata, "Serangan terhadap masjid adalah serangan terhadap sinagog, serangan terhadap gereja, dan serangan terhadap semua komunitas agama. Kita harus menghadapi kebencian semacam ini. Untuk itu, kita semua berdiri di samping kalian Muslim."
"Kami di sini menunjukkan solidaritas dan dukungan bagi umat Islam tidak hanya di pusat ini, tetapi juga bagi umat Islam di seluruh negara bagian kami dan dunia," tambahnya.
Jika sebuah gereja Kristen di Amerika dibom, ia akan disebut sebagai aksi terorisme dan Presiden Donald Trump akan berteriak bahwa itu adalah perang melawan agama Kristen dan peristiwa ini akan menjadi salah satu liputan utama tidak hanya di Amerika, tetapi di seluruh dunia. Namun, di Amerika hampir setiap pekan terjadi serangan terhadap salah satu masjid atau pusat kegiatan umat Islam.
Dua insiden anti-Muslim dalam kurun waktu kurang dari seminggu terjadi di Amerika, tetapi itu hanyalah puncak gunung es dari gelombang teror yang telah diarahkan terhadap Muslim Amerika pada masa Trump. Selama tiga bulan pertama 2017, empat masjid dibakar dalam insiden yang dianggap sebagai pembakaran.
Gambar dari masjid-masjid yang hancur mulai dari Florida dan Texas hingga Washington mengingatkan kita pada gambar-gambar gereja milik warga kulit hitam yang dibakar oleh supremasi kulit putih dalam beberapa dekade terakhir.
Warga Muslim melakukan pawai di New York. (Dok)
American Civil Liberties Union (ACLU) bahkan telah mempublikasikan peta 50 negara bagian, yang menunjukkan lokasi masjid-masjid yang dibakar di Amerika. Peta ini sungguh sangat mengejutkan, di mana hampir tidak ada negara bagian yang terbebas dari insiden serangan terhadap masjid. Meskipun ini mengkhawatirkan, tetapi tidak mengejutkan setelah Trump berkuasa.
Para pendukung Islamophobia di Amerika mengejar dua tujuan utama dalam menargetkan masjid dan pusat kegiatan umat Islam. Pertama, menciptakan rasa takut di antara warga Muslim sehingga mencegah mereka meramaikan masjid-masjid, dan kedua memprovokasi Muslim untuk melakukan serangan serupa terhadap tempat ibadah agama lain dan mengesankan mereka sebagai anti-Amerika.
Dengan demikian, mereka akan mencapai tujuan utamanya yaitu memperkenalkan warga Muslim sebagai teroris dan mencitrakan Islam sebagai agama pendukung radikalisme dan kekerasan.
Pendiri ACT for America (salah satu kelompok anti-Muslim di AS), Brigitte Gabriel mengatakan seorang Muslim yang taat dan percaya Al Quran, tidak bisa menjadi warga negara Amerika Serikat yang loyal.
Serangan dan perilaku rasis terhadap Muslim di Amerika meningkat beberapa kali lipat sejak Trump berkuasa. Pada dasarnya, kampanye Islamophobia meluas di Amerika dengan alasan memerangi terorisme.
Untungnya, masyarakat Muslim menyikapi serangan anti-Islam itu dengan cerdas. Mereka tidak terseret dalam permainan berbahaya ini dan memilih memberikan pencerahan tentang agama Islam. Salah satu langkah yang diambil masyarakat Muslim adalah membuka pintu-pintu masjid dan pusat kegiatan Islam untuk seluruh warga Amerika dan menjawab pertanyaan mereka seputar ajaran Islam.
Warga Muslim Illinois meluncurkan program "Open Mosque Day" bagi seluruh warga Amerika guna mengenalkan mereka dengan ajaran Islam. Puluhan warga Illinois mendatangi salah satu masjid di negara bagian itu untuk bertanya seputar Islam dan secara langsung berkomunikasi dengan warga Muslim dan imam masjid.
Program Open Mosque Day ini disambut oleh warga Amerika dari berbagai agama dan kelompok dan bagi banyak orang, ini menjadi pengalaman pertama mereka berkunjung ke sebuah masjid dan pusat kegiatan umat Islam.
Michelle Goodenough, salah satu peserta kegiatan tour di Islamic Center of DeKalb, Illinois menuturkan bahwa Minggu lalu, seorang pastur di gereja berbicara tentang persatuan di masyarakat dan menekankan pentingnya untuk memperluas persekutuan kami di luar pintu gereja dan keikutsertaan saya dalam tour ini juga untuk menjalin persahabatan dengan warga Muslim Amerika.
Peserta lain, Carol Hajic mengatakan bahwa ia telah membaca tentang Islam dan senang mendengar jawaban atas pertanyaan-pertanyaan umum secara langsung. “Aku pikir penjelasan mengapa engkau (Direktur Islamic Center of DeKalb) melepas sepatumu ketika memasuki masjid, bisa dimengerti dan logis, karena kalian bersujud di sini dan tentu saja tempat ini harus bersih,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, Direktur Islamic Center of DeKalb, Mohammed Labadi berbicara tentang pentingnya shalat lima waktu bagi kaum Muslim dan menjawab pertanyaan dari para pengunjung.
Di negara-negara Eropa dan Amerika, satu hari telah dipilih sebagai hari pintu masjid terbuka untuk menyambut semua orang dari berbagai agama dan kelompok di masjid-masjid. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar tentang Islam dan Muslim.
Sebuah riset menunjukkan bahwa meskipun kampanye Islamophobia meningkat di Amerika, tetapi tingkat ketertarikan masyarakat untuk mengenal Islam dan tingkat usaha mereka untuk menyampaikan solidaritas dengan Muslim juga mencatat peningkatan.
Masyarakat Muslim melakukan berbagai terobosan untuk memperkenalkan Islam kepada warga Amerika. Ayaz Virji adalah warga India-Amerika yang tinggal di desa Dawson, barat Minnesota, ikut berjuang untuk melawan Islamophobia di Amerika. Ia adalah seorang dokter lulusan Universitas Georgetown dan memutuskan untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat setelah Trump terpilih sebagai Presiden AS.
Sebagai dokter, dia memberikan pelayanan yang tulus kepada pasien dan mulai disenangi oleh banyak orang meskipun ia imigran Muslim asal India. Ayaz Virji kemudian memanfaatkan popularitas ini untuk memberikan pemahaman yang benar tentang Islam kepada penduduk Dawson.
Direktur Dewan Hubungan Islam Amerika (CAIR) cabang Minnesota, Jaylani Hussein mengenai kegiatannya dalam berdakwah menuturkan, "Salah satu langkah (melawan Islamophobia) adalah merekrut warga non-Muslim Texas untuk menjadi anggota tim manajemen krisis sebagai reaksi atas serangan rasial terhadap Muslim."
"Para relawan dari non-Muslim menerima pelatihan sehingga bisa menjawab komentar yang menyerang Islam. Permusuhan terhadap warga Muslim meningkat pasca pemilu presiden dan setelah Trump melarang imigran Muslim memasuki Amerika. Banyak warga Amerika tertarik untuk bergabung dalam tim ini dan melawan kebijakan rasis Trump," tuturnya.
Menurut Jaylani Hussein, para pembela Muslim perlu mengambil beberapa langkah sederhana seperti, membagikan kenangan baiknya bersama Muslim di media sosial atau berpartisipasi dalam pengumpulan bantuan sosial untuk imigran.
Islamophobia di Barat (6)
Islamophobia di Barat berakar dari propaganda anti-Islam yang dilakukan selama bertahun-tahun. Negara-negara Barat – lewat bantuan media dan dengan memanfaatkan interpretasi keliru yang dihadirkan oleh beberapa kelompok dalam Islam seperti Wahabi – menyusun program jangka panjang untuk merusak citra Islam yang menyerukan perdamaian dan keadilan.
Rasulullah Saw diutus dengan membawa ajaran tauhid dan kasih sayang, dan risalahnya menjadi penyempurna atas ajaran para nabi terdahulu. Beliau menghadapi banyak kesulitan dalam menyampaikan risalahnya dan bahkan kehilangan orang-orang terdekatnya.
Rasulullah menyampaikan pesannya melalui dakwah dan bahkan setelah menguasai seluruh Jaziarah Arab dan mendirikan pemerintahan Islam di Madinah, dakwah masih tetap menjadi metode terpenting dalam menyampaikan pesan Ilahi, bukan pedang.
Tidak ada seorang pun yang masuk Islam dengan paksaan dan seseorang bisa tetap mempertahankan keyakinannya dan hidup damai berdampingan dengan masyarakat Muslim di bawah perlindungan pemerintahan Islam. Bahkan orang-orang yang memusuhi Islam dan selama belum menghunuskan pedangnya atas orang Muslim, hak-hak mereka tetap terjaga di tengah masyarakat Islam dan tidak satu pun berhak menyerang mereka.
Selama 10 tahun masa pemerintahan Rasulullah Saw di Madinah, kaum Muslim hanya memerangi kabilah-kabilah yang menghunuskan perang atas mereka. Kaum Muslim bahkan memperlakukan para tawanan perang secara manusiawi di mana banyak dari mereka memilih masuk Islam secara sukarela.
Sejarah Islam mendokumentasikan banyak kisah tentang pembelaan Rasulullah Saw dan Imam Ali as terhadap hak-hak warga non-Muslim dan mencegah terjadinya penindasan, yang mungkin dilakukan oleh individu Muslim terhadap mereka.
Islam dengan ajaran luhurnya serta kebesaran jiwa dan moral para tokohnya, mustahil menjadi penebar kekerasan, radikalisme, dan terorisme. Sebagian individu telah melakukan kejahatan di Suriah dan Irak serta beberapa negara lain atas nama Islam, tetapi mayoritas Muslim khususnya minoritas Muslim di negara-negara Barat, termasuk komunitas agama yang mencintai perdamaian dan taat hukum.
Minoritas agama Yahudi, Kristen, dan pengikut agama lain juga bebas menjalankan keyakinannya di negara-negara Muslim dan menjalani kehidupan yang damai bersama masyarakat Muslim. Di Republik Islam Iran, minoritas agama Kristen, Yahudi, Zoroaster, dan Kristen Assyria bahkan memiliki perwakilan di parlemen.
Kelompok-kelompok takfiri dan teroris adalah minoritas yang sangat kecil di tengah masyarakat Muslim. Namun, Barat melakukan generalisasi dengan mengaitkan perilaku dan kejahatan mereka kepada seluruh Muslim. Propaganda dan konspirasi ini bertujuan untuk memajukan tujuan politik Barat di negara-negara Muslim.
Pemerintah dan media-media Barat secara bias mengaitkan tindakan dan kejahatan kelompok teroris takfiri dengan Islam, dan memperkenalkan Islam sebagai agama sponsor kekerasan dan radikalisme.
Salah satu sosok yang telah meningkatkan kampanye Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Barat adalah Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Menurut penelitian yang dilakukan Pew Research Center, sekitar setengah dari Muslim Amerika mengalami berbagai bentuk perlakuan rasis sejak Trump berkuasa.
Pew Research Center telah melakukan survei melalui telepon terhadap 1.001 orang Muslim dewasa Amerika mulai 23 Januari hingga 2 Mei 2017 lalu. Mereka berbicara tentang kecemasan dan kegelisahan yang luas tentang kondisi di Amerika setelah tampilnya presiden yang tidak ramah terhadap Muslim.
"Secara keseluruhan, Muslim di Amerika Serikat merasakan banyak diskriminasi terhadap kelompok agama mereka, mencurigai Presiden Donald Trump, dan berpikir warga Amerika tidak melihat Islam sebagai bagian dari masyarakat utama AS," tulis Pew Research Center.
Warga Muslim AS yang mengalami perlakuan diskriminatif cenderung meningkat, di mana 48% responden mengatakan mereka mengalami setidaknya satu insiden diskriminatif berdasarkan agama selama setahun terakhir, dibandingkan dengan 40% selama satu dekade lalu.
Bentuk diskriminasi yang paling umum adalah diperlakukan dengan rasa curiga (32%), diperlakukan diskriminatif oleh aparat keamanan bandara (19%), disebut dengan ejekan dan sindiran (18%), disikapi secara rasis oleh penegak hukum (10%), dan terancam atau diserang secara fisik (6%).
Rasa tidak aman di samping perlakuan diskriminatif telah mempengaruhi kehidupan sehari-hari warga Muslim Amerika secara signifikan. Sebanyak 74% Muslim Amerika mengatakan Presiden Trump tidak ramah terhadap mereka.
Dalam 10 hari pertama pasca kemenangan Trump, Southern Poverty Law Center (SPLC) melaporkan 867 insiden pelecehan dan intimidasi terhadap warga Muslim. SPLC juga melaporkan peningkatan jumlah kelompok anti-Muslim di Amerika dari 34 pada 2015 menjadi 101 pada 2016.
Dewan Hubungan Amerika-Islam melaporkan peningkatan 57% dalam insiden anti-Muslim pada tahun yang sama. Salah satu kelompok anti-Muslim di negara itu adalah ACT for America.
Menurut laporan surat kabar The Washington Post pada 21 Juli 2017, lusinan acara diselenggarakan di bawah kampanye "March Against Sharia" di seluruh Amerika pada Juni 2017.
Khizr Khan, anggota dari People For the American Way mengatakan, "Panitia mengaku acara itu bukan anti-Muslim, tetapi tidak ada keraguan bahwa kampanye itu ingin mengesankan syariat sebagai ancaman terhadap Konstitusi, dan mendorong lahirnya undang-undang anti-syariah di tingkat nasional. Mereka ingin menggambarkan Muslim Amerika sebagai bukan orang Amerika."
Kampanye melawan syariat mencerminkan kesalahpahaman yang mendalam tentang apa itu syariat. Dan yang lebih buruk lagi adalah menyalahkan semua Muslim atas tindakan keji dari segelintir orang yang melakukan kekerasan terhadap orang lain atas nama Islam. Tuduhan salah alamat seperti ini dapat menyebabkan munculnya tragedi demi tragedi.
Pendiri ACT for America, Brigitte Gabriel mengatakan bahwa seorang Muslim yang taat dan percaya Al Quran, tidak bisa menjadi warga negara Amerika Serikat yang loyal.
Orang-orang Kristen konservatif yang mendukung para pejabat Republik, berpendapat bahwa Islam bukanlah agama tetapi sebuah ideologi totaliter, dan oleh karena itu Muslim Amerika tidak dilindungi di bawah Amandemen Pertama UU Kebebasan Beragama. Kampanye anti-Islam ini telah membangkitkan pandangan negatif terhadap Muslim Amerika.
Perilaku rasis terhadap Muslim di Amerika meningkat beberapa kali lipat sejak Trump berkuasa. Beberapa hari setelah berkantor di Gedung Putih, Trump melarang warga dari enam negara Muslim memasuki Amerika dengan alasan menangkal terorisme.
Padahal, warga dari enam negara tersebut sama sekali tidak terlibat dalam serangan teroris di Amerika selama beberapa tahun terakhir. Salah satu negara itu adalah Iran, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, tidak ada laporan apapun tentang kekerasan yang melibatkan warga negara Iran di Amerika. Warga Iran yang tinggal di Amerika termasuk salah satu dari komunitas asing yang hidup berbaur dengan masyarakat setempat.
Trump melarang warga dari enam negara Muslim memasuki Amerika dengan alasan memerangi terorisme dan juga menandatangani kontrak senjata ratusan miliar dolar dengan Arab Saudi selama kunjungannya ke Riyadh pada 2017. Padahal, 15 dari 19 pelaku serangan teroris 11 September adalah warga negara Arab Saudi.
Dokumen terpercaya yang disusun komisi khusus di Kongres AS menunjukkan bahwa para pelaku serangan teroris 11 September mendapat dukungan politik dan finansial dari pemerintah Arab Saudi.
Namun, tidak boleh diabaikan bahwa kampanye Islamophobia di Amerika telah mendorong sebagian pihak untuk mempelajari landasan pemikiran Islam. Kajian ini akhirnya melahirkan simpati dengan warga Muslim dan penentangan terhadap kampanye Islamophobia di Amerika.
Islamophobia di Barat (5)
Islam adalah agama keadilan, perdamaian, dan kasih sayang. Salah satu faktor yang mempercepat penyebaran Islam di masyarakat Badui di Jazirah Arab adalah karena kasih sayang dan akhlak mulia Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw dan Ahlul Bait selalu berpesan agar manusia berperilaku baik dan berakhlak mulia antar-sesama. Nasihat ini tidak hanya ditujukan kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada mereka yang bahkan tidak menerima Islam. Beliau selalu menekankan masalah kasih sayang dan persaudaraan.
Ada banyak riwayat yang berbicara tentang perilaku mulia Rasulullah dan Ahlul Bait dengan masyarakat non-Muslim, dan banyak orang memilih masuk Islam karena akhlak mulia ini.
Sekarang setelah 1400 tahun dari kemunculan Islam, sebagian pihak di Barat mencoba memperkenalkan Islam sebagai agama sponsor radikalisme dan terorisme. Mereka menyebarkan fenomena Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di berbagai penjuru dunia.
Sayangnya, beberapa paham di negara-negara Muslim khususnya Wahabisme di Arab Saudi – yang menafsirkan Islam secara keliru dan bertindak radikal – telah menyediakan amunisi bagi Barat untuk memperkenalkan Islam sebagai agama sponsor kekerasan.
Mereka dengan membentuk dan mendukung kelompok-kelompok teroris takfiri seperti Daesh, telah mengabdi kepada para pendukung kampanye Islamophobia di Barat untuk merusak citra Islam. Padahal, Islam murni versi Nabi Muhammad Saw tidak ada hubungannya dengan Islam Daesh dan Wahabisme yang berkuasa di Arab Saudi.
Negara-negara Barat terutama Amerika Serikat dan Inggris adalah sekutu strategis Arab Saudi. Dengan mendukung kebijakan Riyadh, negara-negara Barat sebenarnya telah membantu kampanye Islamophobia di dunia. Mereka ingin menutupi wajah Islam murni yang menyerukan keadilan, perdamaian, dan kasih sayang; Islam yang menyerukan pada tauhid, menolak penindasan, dan membangun masyarakat berdasarkan keadilan dan perdamaian.
Dampak dari hubungan strategis Barat dan Arab Saudi ini, perilaku kekerasan dan diskriminasi rasial dan agama terhadap warga Muslim di negara-negara Barat mengalami kenaikan.
Dewan Hubungan Amerika-Islam (Council on American-Islamic Relations/CAIR) dalam sebuah laporan menyatakan jumlah kejahatan yang berlatar kebencian anti-Muslim di Amerika Serikat naik 91 persen pada semester pertama tahun 2017 dibandingkan dengan periode yang sama pada 2016. CAIR mengatakan kejahatan kebencian telah meningkat sejak 2016, yang merupakan tahun terburuk dalam catatan insiden anti-Muslim sejak kelompok ini memulai sistem pendokumentasiannya pada 2013.
Menurut catatan CAIR, jumlah kasus fanatisme pada paruh pertama 2017 juga naik 24 persen dibandingkan dengan enam bulan pertama 2016.
"Kampanye pemilihan presiden dan pemerintahan Trump telah memanfaatkan kefanatikan dan kebencian, yang akhirnya mendorong penargetan Muslim Amerika dan kelompok minoritas lainnya," kata Zainab Arain, koordinator CAIR yang bekerja untuk memantau dan memerangi Islamophobia.
"Jika tindakan bias yang berdampak pada komunitas Muslim Amerika terus berlanjut, 2017 bisa menjadi salah satu tahun terburuk dalam insiden semacam itu," tambahnya.
CAIR menerangkan bahwa pemicu paling umum dari kasus fanatisme anti-Muslim pada tahun 2017 tetap etnis atau asal kebangsaan korban, terhitung 32 persen dari total kasus kekerasan terhadap Muslim. Sebanyak 20 persen kasus kekerasan terjadi karena seorang individu dianggap Muslim. Jilbab wanita menjadi pemicu 15 persen insiden kekerasan anti-Muslim.
Islamophobia di Eropa terutama di Inggris juga sedang meningkat. Kelompok pemantau Islamophobia di Inggris (Tell MAMA) mengatakan antara Mei 2013 dan Juni 2017, 167 masjid di Inggris menjadi target dalam insiden dan serangan anti-Muslim. Secara keseluruhan, ini sama dengan rata-rata satu kasus serangan terhadap masjid setiap minggu.
Masjid telah menjadi sasaran serangan karena ia adalah simbol yang terlihat dari lembaga-lembaga Islam di masyarakat, titik fokus utama di mana umat Islam berkumpul. Para pelaku terkadang juga percaya bahwa dampak dari tindakan mereka bisa lebih luas daripada hanya menargetkan individu Muslim. Serangan terhadap sebuah masjid mengirimkan sinyal kepada para jamaah bahwa mereka juga menjadi sasaran dan komunitas itu sendiri berada di bawah ancaman.
Tell MAMA mencatat berbagai kasus serangan dan teror terhadap masjid dan pusat-pusat kegiatan Islam di Inggris. Teror tersebut kadang berupa pengiriman surat ancaman, pengiriman serbuk putih, pembakaran yang disengaja, dan pelemparan kepala babi.
Teror terhadap masjid-masjid di Inggris dilakukan secara terorganisir dan kasus terbaru adalah pengiriman serangkaian surat yang mengancam masjid dengan alat peledak. Aksi ini bertujuan menciptakan ketakutan di antara warga Muslim.
Tell MAMA mengatakan bahwa pihaknya telah memeriksa kasus-kasus yang telah dilaporkan kepada mereka, dan ada 167 masjid yang ditargetkan selama empat tahun terakhir, jumlah sebenarnya mungkin lebih tinggi. Beberapa masjid tidak melaporkan insiden serangan dan ancaman kepada polisi atau ke agen pemantau kejahatan pihak ketiga seperti Tell MAMA.
Islamophobia tentu saja tidak terbatas pada serangan fisik terhadap Muslim dan institusi-institusi Islam. Salah satu cara lain adalah penulisan artikel dan buku-buku anti-Islam. Beberapa media di Inggris menyediakan kolom khusus untuk orang-orang yang mendukung kampanye Islamophobia. Mereka juga diberi kesempatan untuk tampil di layar kaca.
Sayangnya, kampanye Islamophobia tidak terbatas di negara-negara Barat, tetapi juga telah menjalar ke Asia dan bahkan Afrika. Pada Juli 2017, penangkapan dua pemuda Singapura atas tuduhan radikalisme telah memicu kembali keprihatinan di kalangan pemuda Muslim bahwa sentimen anti-Muslim di Singapura akan meningkat setelah penahanan itu.
Dalam sebuah forum yang digelar di Singapura pada 22 Juli 2017, beberapa peserta menyatakan kekhawatiran tentang Islamophobia dan bertanya bagaimana mereka dapat membantu menghilangkan keraguan atau kesalahpahaman yang mungkin dimiliki oleh komunitas lain tentang Islam.
"Islamophobia di Singapura tidak seburuk di Barat, tetapi hari ini saya khawatir beberapa orang akan memandang saya secara berbeda atau curiga karena agama saya," kata mahasiswa Institute of Technical Education (ITE), Nur Nabilah Isaman, yang memakai jilbab.
Dia juga mengakui perlunya menjangkau orang-orang dari ras dan agama lain, untuk membantu mereka memahami Islam. "Untuk memerangi Islamophobia, saya tidak bisa diam saja dan berharap orang-orang tidak akan berpikir yang terburuk tentang saya," ujar Nur Nabilah.
Sementara itu, Menteri Hukum dan Dalam Negeri Singapura, K. Shanmugam mengatakan kepada para wartawan bahwa kebijakan Singapura dan pendekatan integrasi telah membantu menumbuhkan kohesi sosial. Tetapi pada saat yang sama, lanjutnya, serangan di seluruh dunia telah membuat rusak upaya membangun kepercayaan itu.
"Pemuda Muslim harus memahami bahwa mereka bisa menjadi Muslim yang baik dan mengambil bagian dalam kegiatan yang melibatkan komunitas Singapura yang lebih besar. Membangun ikatan antara komunitas yang berbeda adalah kunci dalam perang melawan terorisme," tegasnya.
Islamophobia di Barat (4)
Islamophobia dan sentiment anti-Muslim di Eropa menemukan dimensi baru setiap harinya. Pola baru serangan terorisme terhadap warga Muslim ditemukan di Eropa, tetapi pemerintah dan media setempat tidak tertarik untuk mengulas kejahatan ini dan mereka tampaknya tidak merasa prihatin atas serangan teror terhadap Muslim.
Serangan terorisme rasialis terhadap warga Muslim sedang menyebar di berbagai negara Eropa. Mereka mengadopsi pola yang dilakukan teroris takfiri Daesh dan juga tindakan yang terbilang baru.
Serangan rasisme terhadap warga Muslim di Inggris lebih parah dari negara lain Eropa. Kasus pertama serangan mobil terhadap warga Muslim di Eropa terjadi di Inggris. Melepas penutup kepala wanita Muslim secara paksa atau menyerang dengan senjata tajam, termasuk serangan rasisme yang melibatkan kelompok rasis di Eropa. Serangan ini meningkat tajam selama beberapa bulan terakhir.
Data pihak kepolisian Inggris menunjukkan insiden yang terkait dengan kebencian naik sebesar 23 persen dalam 11 bulan pasca referendum Brexit. Di beberapa daerah Inggris dan Wales, kejahatan berbasis kebencian meningkat lebih dari 40 persen, dan beberapa daerah termasuk Gwent, Nottinghamshire dan Kent melonjak lebih dari setengahnya dalam setahun.
Pada 16 Juli 2017, jilbab seorang wanita Muslim dicopot paksa oleh seorang pria dalam serangan keji di London, di tengah lonjakan insiden kejahatan rasial di Inggris. "Pria di stasiun Baker Street dengan paksa menarik jilbab saya dan ketika saya secara naluriah mengambil balik jilbab saya, ia memukul saya," tulis Aniso Abdulqadir via akun Twitter-nya sambil memposting gambar pria yang menyerangnya.
Sayap kanan ekstrem di Eropa mengadopsi pola baru dalam melakukan serangan teror terhadap warga Muslim yaitu penyiraman air keras. Kejahatan ini merupakan salah satu tindakan anti-kemanusiaan yang terjadi di berbagai negara, tetapi penggunaan pola ini oleh sayap kanan ekstrem untuk menyerang warga Muslim Eropa adalah sebuah fenomena baru.
Sejumlah kasus penyiraman air keras terhadap warga Muslim terjadi di Inggris selama 2017. Lima warga Muslim terluka akibat serangan penyiraman air keras di London dalam satu malam pada Juli 2017. Pada 21 Juni 2017, serangan air keras menyebabkan dua sepupu Muslim (Jameel Muhktar dan Resham Khan) terluka parah di timur London.
Pelaku dan para korban sama sekali tidak saling mengenal. Padahal, pelaku dan korban biasanya saling mengenal dalam kasus serangan air keras dan motifnya pun karena sakit hati atau balas dendam. Namun, kasus serangan air keras di Inggris didorong oleh pemikiran ekstrem dan rasisme.
Media-media Inggris terutama BBC – sebagai corong propaganda terbesar negara itu – memperlihatkan reaksi yang berbeda dalam kasus kejahatan ini. BBC tidak meyinggung isu terorisme dan rasisme dalam serangan air keras terhadap lima warga Muslim Inggris.
Media milik pemerintah Inggris ini dalam laporannya mengulas tentang sejarah penyiraman air keras di berbagai negara, dan serangan air keras terhadap warga Muslim dianggap sebagai insiden biasa yang melibatkan beberapa geng dan perampok.
Setelah serangan air keras terhadap seorang Muslim, juru bicara Kepolisian Metropolitan London mengatakan para penyerang menargetkan pengemudi delivery dengan tujuan mencuri sepeda motor atau sarana transportasi mereka.
Dalam kasus serangan terhadap Jameel Muhktar dan Resham Khan, polisi Metropolitan London awalnya mengesampingkan motif agama atau ras dalam kejahatan itu. Namun, polisi kemudian mengatakan bahwa bukti baru yang ditemukan mendorong mereka untuk menyelidiki serangan itu sebagai kejahatan rasial.
Jameel Muhktar menuturkan bahwa dia dan sepupunya menjadi sasaran karena agama mereka. "Ini jelas merupakan kejahatan rasial," katanya kepada Channel 4 News. "Saya percaya itu ada hubungannya dengan Islamophobia."
Mukhtar menambahkan bahwa jika itu dibalik dan seorang pria Asia menyerang pasangan Inggris dengan air keras, seluruh negara tahu itu akan digolongkan sebagai serangan teror.
Menurut laporan Dewan Kepala Polisi Nasional Inggris (NPCC), lebih dari 400 serangan asam atau zat korosif dilakukan dalam enam bulan hingga April 2017 di seluruh wilayah kepolisian di Inggris dan Wales. Daerah yang umumnya dihuni oleh komunitas Muslim London, termasuk Newham, Barking and Dagenham, Tower Hamlets, Havering, dan Redbridge, mencatat kasus serangan air keras terbanyak.
Jika serangan ini melibatkan seorang Muslim atau imigran Muslim, maka gelombang propaganda terhadap Muslim dan Islam akan mengguncang negara-negara Barat, dan kondisi korban serangan akan selalu menghiasi media-media Barat.
Puluhan kasus serangan air keras terhadap wanita dan pria Muslim terjadi di Inggris, tetapi para politisi dan media-media Eropa tidak begitu menyoroti aksi teror itu.
Menurut laporan Huffington Post, jumlah media yang meliput kasus serangan air keras sangat terbatas, terutama jika korbannya Muslim. Selain itu, penelitian untuk menyingkap alasan meningkatnya fenomena ini juga sedikit.
Publikasi yang minim ini tentu saja sejalan dengan kebijakan Islamophobia yang diadopsi oleh negara-negara Barat, terutama pemerintah Inggris. Media-media Barat khususnya BCC memainkan peran efektif dalam menyebarkan Islamophobia di Barat. Media pro-sayap kanan di Inggris mengesankan Islam dan masyarakat Muslim sebagai sumber masalah di negara itu.
Dalam perspektif mereka, Islam mensponsori terorisme dan Muslim adalah pelaku utama serangan teror. Sayap kanan ekstrem Inggris seperti, Britain First dan neo-Nazi secara terbuka mengancam aksi balas dendam terhadap warga Muslim.
Kampanye Islamophobia digaungkan oleh kelompok-kelompok tersebut. Orang-orang seperti Brigitte Gabriel, Milo Yiannopoulos, Ayaan Hirsi Ali, Glenn Beck, Pamela Geller, Katie Hopkins, dan banyak lainnya, menguasai kolom artikel di media-media Barat. Mereka kadang terang-terangan menggunakan kata-kata rasis untuk menyerang warga Muslim.
Saat ini, belum bisa diprediksi kapan fenomena Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Barat akan berakhir. Banyak dari pemimpin dan pemikir Barat berbicara tentang perlunya pemisahan antara ajaran Islam dan ideologi kelompok-kelompok teroris seperti Daesh dan Al Qaeda, namun kampanye Islamophobia masih terjadi secara luas di negara-negara Barat.
Pemerintah di Barat sepenuhnya menyadari tentang motif dari tindakan teror yang dilakukan oleh sayap kanan ekstrem dan rasis. Pesan-pesan rasis yang bernada ancaman banyak tersebar di media sosial, dan pesan ini jelas ditujukan kepada imigran dari Asia atau Muslim.
Di media-media Barat, tidak ada seorang pun yang akan menjawab pertanyaan ini, siapa yang telah memicu sentimen anti-Islam di Barat? Karena para politisi Barat mengabaikan hasil penelitian tentang hubungan antara ideologi radikal dengan pemerintah Arab Saudi. Negara-negara Barat tetap memperluas hubungan politik, ekonomi, dan militer dengan rezim Al Saud meski mengetahui bahwa Wahabisme memainkan peran utama dalam menyebarkan pemikiran radikal dan terorisme di Barat.
Wahabisme memiliki interpretasi yang keliru tentang ajaran Islam yang menyerukan keadilan dan perdamaian. Kelompok Wahabi memainkan peran utama dalam merusak citra Islam di Barat dan menciptakan ruang bagi pembenaran Islamophobia di sana.
Dapat dikatakan bahwa pemerintah dan media-media Barat ikut terlibat dalam tindakan teror, yang dilakukan oleh kelompok teroris takfiri dan kubu sayap kanan ekstrem dan rasis di Barat.



























