کمالوندی
Muslim Sejati Tidak Harus Meninggalkan Sunni dan Tidak Harus Masuk Syiah
Pagi itu Kamis (12/1) kurang lebih pukul 07.00, ia datang ke rumah. Musim dingin di Iran membuat suasana masih gelap, matahari masih malu-malu untuk menampakkan diri. Wajahnya memucat, kepulan kabut keluar dari mulutnya setiap ia menghembuskan nafas. Topi kupluk, syal yang melilit di lehernya dan jaket tebal berwarna gelap lengkap dengan tas ransel di punggungnya, ia menyunggingkan senyum. "Bang, saya numpang sebentar ya!".Tidak saya jawab, saya persilahkan masuk rumah. Kusuguhi teh panas dan roti tawar yang telah saya olesi cokelat. "Antum ada urusan apa?" tanyaku membuka pembicaraan.
"Saya dari Gorgan, ada sedikit urusan untuk mengganti visa tinggal. Insya Allah madrasah ada agenda ke Karbala, saya mau ikut. Karena visa saya masih Qom jadi saya harus ubah dulu." Jawabnya. Tampak kelelahan di bola matanya. Saya bisa maklumi itu, Qom dan Gorgan terpisah jarak 350 mil. Ia harus berada dibus selama kurang lebih 9 jam.
"Antum begitu tiba, langsung kesini?".
"Tidak, saya mampir di Haram Sayyidah Maksumah dulu. Shalat subuh sekalian ziarah dan sedikit beristirahat."
Sambil mempersilahkan ia minum teh, saya bertanya. "Antum bilang, tadi mau ke Karbala, madrasah antum punya agenda ke Karbala juga?".
"Iya. Insya Allah pekan depan."
Saya bertanya demikian sebab madrasah tempat ia belajar adalah tempat mahasiswa-mahasiswa asing yang bermazhab Sunni menimba ilmu.
"Antum mau ikut, kenapa?" rasa penasaran saya menggelitik ingin tahu.
"Ziarah ke makam Imam Husain ra bang. Imam Husain ra bukan hanya milik umat Syiah. Bahkan Sunni lebih berhak untuk memuliakannya." Ia menikmati lembaran roti terakhir.
Jiwa jurnalismeku memberontak, ini bisa jadi berita pikirku. Selama ini masyarakat di Indonesia disuguhi berita-berita yang menyeramkan mengenai Iran dan Syiah. Sebut saja seperti, warga Sunni di Iran sebagai warga minoritas ditindas dan dipaksa pindah mazhab oleh pemerintah Iran, mereka dilarang mendirikan masjid, ulama-ulamanya ditangkap dan dibunuhi dan sebagainya. Serasa mendapat durian runtuh, saya pun segera mengambil alat perekam, selembar kertas dan pulpen. Dengan wajah bingung ia menulis di lembar kertas yang saya berikan. Saya meminta ia menulis biodata sekadarnya. Layaknya fotografer professional saya potret ia berkali-kali. Saya suguhi bakwan buatan istri, supaya ia lebih betah.
Dan selanjutnya terjadilah wawancara berikut.
Saya (S) : Coba ceritakan, bagaimana prosesnya antum bisa ke Iran? Dari mana antum dapat informasi dan apa motivasi antum?
Syarif Hidayatullah (SH): Setelah saya lulus sekolah di Pondok Pesantren Daarul 'Uluum 2, mudir (setingkat kepala sekolah) saya yang bernama ust. Nasruddin Latif memberikan sebuah formulir fotokopi pendaftaran belajar di al Mustafa Iran. Bagi yang berminat beliau meminta pula persetujuan wali atau orangtua. Saya tertarik dan mencari informasinya lebih detail di web site resminya. Sayapun mendownload formulir dan mengisinya.
S: Waktu itu teman sekolah antum, ada berapa orang yang mendaftar?
SH: Ada empat. 3 orang santri perempuan dan hanya saya sendiri yang laki-laki.
S: Kesemuanya lulus?
SH: Setelah melalui tes dan wawancara hanya saya saja yang lulus.
S: Menurut antum, mengapa mudir antum menawarkan belajar ke Iran, mengapa bukan ke Madinah atau Mesir?
SH: Mungkin mudir saya memandang Iran sebagai sebuah Negara Islam yang patut untuk dikagumi. Iran mampu meggulirkan sebuah revolusi Islam yang besar. Saking terinsipirasinya dengan Iran, nama-nama anak mudir saya berbau Iran.
S: Antum sendiri mengapa tertarik ke Iran? Sementara teman-teman antum yang lain sama sekali tidak berminat.
SH: Sejak ditawari oleh Mudir, saya banyak mencari tahu tentang Iran. Sayapun turut jatuh hati, termasuk kepada Ahmadi Nejad Presidennya yang katanya sederhana. Saya juga kagum pada keberaniannya menentang imperialisme Amerika. Dan waktu itu memang saya belum terlalu begitu mengenal Syiah.
S: Memang sejak di Indonesia antum tidak pernah punya niat untuk mengenal dan mempelajari Syiah yang merupakan mazhab mayoritas di Iran?.
SH: Niat itu ada. Awalnya begini, saya memang berminat belajar di Timur Tengah sekalian untuk memperdalam kemampuan bahasa Arab saya. Saya cenderung pada sastra Arab. Begitu ada tawaran ke Iran langsung saya sambut. Karena saya juga bisa sekalian mempelajari bahasa Persia. Jadi bisa mempelajari sastra Arab dan Persia.
S: Pengalaman antum sendiri begitu tiba di Iran?
SH: Awalnya agak takut juga. Bagaimanapun Iran masih sangat asing bagi saya. Belum lagi fiqh shalat yang berbeda dengan warga setempat. Waktu pertama kali shalat berjama'ah di Haram, saya turut tidak bersedekap sebagaimana Syiah. Namun dihari-hari selanjutnya, saya mengamalkan fiqh shalat yang saya yakini, yakni bersedekap. Begitupun pada shalat Jum'at.
S: Ada tidak yang memberi komentar?
SH: Iya ada. Pada umumnya langsung bertanya, kamu sunni ya? Yang kemudian beralih bertanya tentang asal Negara dan hal yang umum-umum.
S: Apa diantara mereka ada yang pernah berlaku negatif ke antum?
SH: Pernah ada, orang tua, kakek-kakek. Begitu selesai shalat ia langsung menegur. Saya jawab saja, saya bermazhab Sunni. Eh, ia malah minta saya mengulangi shalat dan harus sesuai dengan tata cara Syiah. Tetapi saya tidak melayani. Saya langsung tinggalkan. Agak ngeri juga he..he.. tapi kejadiannya cuman sekali itu.
S: Kalau di kampus sendiri bagaimana?
SH: Dari awal tiba Senin malam tanggal 13 Juni 2011 bersama 8 teman waktu itu. Saya ditempatkan di Madrassah Al Mahdi, sekolah pelajar asing bermazhab Syiah untuk belajar bahasa Persia. Awalnya memang oleh Mudir madrasah tersebut saya ditawarkan pilihan untuk tetap belajar di madrasah itu atau langsung ke madrasah Sunni di Gorgan. Karena masih ingin bersama teman-teman Indonesia lain, saya memilih untuk tetap di madrasah tersebut, dengan niat nanti setelah belajar bahasa Persia baru pindah ke Gorgan. Awalnya tidak ada masalah, saya shalat bersama teman-teman pelajar lain di mushallah Madrasah dengan tetap pada keyakinan fiqh saya. Namun tetap saja ada segelintir pelajar lain yang kurang sreg dengan keberadaan saya. Kami para pelajar dari Indonesiapun akhirnya dikumpulkan. Mudir memberi saran, untuk membangun kebersamaan, beliau menganjurkan saya shalat meluruskan tangan tidak bersedekap karena dalam mazhab Maliki di Sunnipun menetapkan bahwa dalam shalat tidak harus bersedekap dan boleh meluruskan tangan. Meskipun itu hanya berupa anjuran, saya merasa terpaksa melakukannya. Karena kurang nyaman, sebab saya masih meyakini bersedekap lebih utama, sayapun shalat di kamar, tidak berjama'ah. Di bulan Ramadhanpun saya shalat taraweh sendirian di kamar. Setelah beberapa lama, dalam pertemuan khusus pelajar Indonesia dengan mudir, sayapun mengadukan persoalan saya. Saya mengucapkan minta maaf ke Mudir karena tidak lagi shalat berjama'ah di mushallah yang merupakan program madrasah padahal saya sangat ingin berjama'ah. Namun Mudir tetap pada anjurannya, meminta saya shalat berjama'ah dengan tidak bersedekap, karena shalat lurus tangan di Sunni tidak membatalkan shalat. Meskipun itu hanya anjuran dan sifatnya tidak memaksa, namun tetap tidak nyaman bagi saya. Akhirnya karena kerinduan untuk shalat berjama'ah, sayapun dan seorang teman akhirnya menghadap Mudir dan meminta izin untuk dipindahkan ke Gorgan. Awalnya beliau menolak dan mengatakan itu keputusan yang salah. Namun pada akhirnya beliau mengizinkan dan setelah mengurus administrasi kepindahan, saya berdua dengan temanpun akhirnya ke Gorgan. Sementara 6 teman lainnya masih di Qom.
S: Antum di Gorgan sendiri bagaimana?
SH: Begitu tiba di sana, saya terkagum-kagum dan tidak menyesal kesana. Di masjid madrasah terpampang tulisan penggalan dari ayat Al-Qur'an, "Wa' tashimu bi hablillah jamian wa la tafarraqu, berpegang teguhlah kamu semua pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai berai." Sayapun tambah merasa yakin dengan pilihan saya. Awalnya saya mengira di kota Gorgan itu masyarakatnya Sunni semua, ternyata tidak, tetap mayoritas Syiah. Di madrasahpun ternyata tidak semua Sunni. Mudirnya tetap Syiah, bagian Darul Qur'annya juga Syiah. Di bagian pendidikannya saja yang Sunni. Yang menarik, di masjid madrasah tertulis jadwal imam shalat berjama'ah. Untuk shalat Dhuhur yang menjadi imam shalat adalah Mudir yang bermazhab Syiah atau terkadang ustad yang bermazhab Maliki. Imam shalat Ashar oleh ustad yang bermazhab Hanafi. Kalau shalat maghrib dan Isya di jadwal itu imamnya ustad yang bermazhab Syafi'i.
S: Kegiatan antara maghrib dan Isya antum apa?
SH: Setelah maghrib ada kegiatan yang dikelola Darul Qur'an, ada pengecekan hafalan Qur'an, kajian pemahaman Al-Qur'an ataupun sekedar tilawah.
S: Di madrasah itu mayoritas mazhab apa? Dan antum sendiri mazhabnya apa?
SH: Disana mayoritas Hanafi, dan saya sendiri Syafi'i.
S: Disana ada Maliki juga? memang shalatnya tidak bersedekap juga sebagaimana Syiah?
SH: Iya ada. Kadang bersedekap, kadang engga. Mungkin karena hukumnya mubah aja kali ya?.
S: Terus pelajaran-pelajaran sendiri disana bagaimana? Apa memang diwajibkan mempelajari semua mazhab atau yang bermazhab Syafi'i khusus belajar Syafi'i juga?
SH: Untuk itu saya belum terlalu banyak tahu. Karena saya baru disana, saya juga masih di program bahasa Persia. Tapi saya pernah lihat buku teman saya yang bermazhab Hanafi. Ia mempelajari pelajaran Hanafi Dasar.
S: Antum se kamar dengan siapa saja? Dan mazhab mereka apa?
SH: Pelajar Afghanistan 2 orang dan Tajekistan juga 2 orang. Mereka bermazhab Hanafi semua.
S: Kalau tanggapan masyarakat sendiri dengan keberadaan pelajar di sana?
SH: Tidak ada masalah. Hanya terkadang memang misalnya di taksi, supirnya tanya dari Negara mana? Mazhabnya apa? Ya hanya pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Dari supir taksi juga saya tahu ada kampung yang penduduknya Sunni semua yang tidak jauh dari Gorgan. Cuman saya belum pernah kesana. Kalau tidak salah namanya Harkukolo, katanya warganya bermazhab Hanafi semua.
S: Pandangan secara umum antum sendiri mengenai Iran apa? Apa ada penyesalan datang ke Iran atau menurut antum sesuatu yang harus disyukuri?
SH: Saya terus terang sangat bersyukur bisa ke Iran, dan sama sekali tidak ada penyesalan. Saya merasa beruntung. Maksudnya begini, kita jangan berpikir negatif tentang suatu mazhab yang benar-benar belum kita ketahui apalagi sampai mencapnya kafir atau diluar Islam. Dengan keberadaan saya di Iran dan melihat langsung warga Syiah, saya jadi tahu bahwa ternyata mereka juga punya alasan dan penjelasan yang kuat mengapa dalam beberapa hal memiliki pemahaman yang berbeda dengan Sunni. Ini yang saya maksud keberuntungan. Tidak termasuk orang-orang yang tergesa-gesa memberikan penilaian terhadap sesuatu yang belum sepenuhnya dikenali.
S: Antum masih aktif komunikasi dengan ustad-ustad atau teman-teman antum di Indonesia?
SH: Iya masih.
S: Pandangan ustad antum sendiri, apa ada semacam nasehat sebelum ke Iran untuk antum jangan sampai masuk Syiah dan tetap mempertahankan Sunni?
SH: Oh kalau Mudir saya memberi nasehat, untuk menjadi muslim yang sejati itu, tidak harus mempertahankan Sunni dan juga tidak harus masuk Syiah.
S: Dari biodata antum ini, kedua orangtua antum sudah meninggal? Usia antum berapa tahun saat itu?
SH: Iya. Waktu itu saya berusia 9 tahun.
S: Jadi selama ini yang menanggung biaya sekolah antum siapa?
SH: Saya sekolah selama ini gratis. Karena pondok pesantren Daarul 'Uulum itu membebaskan biaya sekolah buat santri yang yatim piatu.
S: Yang menjadi wali atas antum siapa?
SH: Kakak saya. Beliau yang menanggung saya beserta 3 adik saya selama ini.
S: Kerja beliau apa? Dan apa sudah berkeluarga?
SH: Kakak saya sopir. Iya sudah berkeluarga.
S: Apa tanggapan beliau waktu antum minta izin mau ke Iran? Apa mempersoalkan Syiah?
SH: Tidak. Ia tidak peduli saya mau Sunni atau Syiah. Beliau hanya meminta saya belajar, belajar dan belajar. Dari belajar itu katanya kita bisa mengetahui yang benar.
S: Kalau pandangan antum sendiri mengenai Syiah?
SH: Syiah bagi saya masih bagian dari Islam. Mereka juga shalat, Al-Qur'annya juga sama, mereka juga menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, pokok-pokok aqidahnya juga sama. Kata ustad saya dalam Sunni imamahpun bagian dari aqidah, hanya saja berbeda dengan Syiah yang mengharuskan imam dari kalangan Ahlul Bait, kalau di Sunni tidak.
S: Tanggapan antum mengenai peristiwa di Sampang Madura atau orang-orang di Indonesia yang masih antipati dengan Syiah bagaimana?
SH: Benar-benar sangat miris dan mengenaskan. Sebab Islam sendiri tidak mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan. Untuk menyikapi yang berbeda Islam mengajarkan kita menyampaikan kebenaran dengan cara hikmah dan bijaksana.
S: Antum bilang tadi mau ke Karbala. Itu program madrasah atau antum sendiri?
SH: Program madrasah.
S: Menurut antum atau madrasah antum ziarah ke Karbala itu sendiri bagaimana? Bukankah ritual itu sangat identik dengan Syiah?
SH: Begini, di Indonesia sendirikan kita sering berziarah kubur. Ke makam orangtua atau anggota keluarga lain yang telah lebih dulu meninggal. Bagi saya, Imam Husain ra itu bukan hanya milik orang Syiah, beliau milik semua kaum muslimin. Jika kita menganggap mulia anak yang sering berziarah ke kuburan orangtuanya, maka tentu lebih mulia lagi seorang muslim yang berziarah ke makam cucu Rasulnya. Dan di Irak, rencananya kami bukan hanya ke makam Imam Husain ra di Karbala, namun juga akan ke Najaf, makam Imam Ali ra, beliau bukan hanya menantu dan kemenakan Rasulullah saw namun juga Amirul Mukminin khalifah atas umat Islam.
S: Cita-cita antum sendiri apa?
SH: Cita-cita saya sih, pengen jadi orang berguna. Khoirunnasi anfauhum linnasi. Sebaik-baik kamu yang banyak berguna bagi orang lain. Kata Nabi saw.
**********
Hampir setengah jam wawancara itu berlangsung. Merasa cukup, saya matikan alat perekam. Karena saya minta, iapun memperlihatkan foto-foto aktivitas belajarnya di madrasah Gorgan. Termasuk memperlihatkan foto Syaikh Abdul Jabbar Mirobi seorang ulama Sunni yang mengajar di Hauzah Sunni Kurdistan. Ulama itu membawa ceramah keutamaan imam Husain pada acara Arbain di madarasahnya. Ia masih mau bercerita banyak. Tapi saya melihat kelelahan yang tidak bisa ditahan lagi dari kelopak matanya. Sayapun mengambilkan bantal, dan meminta ia istrahat sebelum menyelesaikan urusannya. Tidak lama, iapun terlelap di ruang tamu. Saya yang sebentar lagi insya Allah memiliki dua anak, tiba-tiba merasa sok tua dan berdoa, "Semoga Allah SWT memperpanjang usiamu anak muda dan menggapaikan engkau dengan apa yang menjadi cita-citamu." Semoga bermanfaat.
Qom, 21 Januari 2012
Ismail Amin, Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran Program Studi Ulumul Qur'an.
Sunni-Syiah Itu Bersaudara, Al-Qur'annya Satu

Silahkan buka tas saudara, kami periksa."
Sejak awal, memang saya agak ragu kalau bertemunya masjid, apalagi di hari Jum'at. Tidak sebagaimana di Indonesia, penjagaan dan pengawalan bagi para jama'ah shalat Jum'at di beberapa kota besar di Iran super ketat. Sebelum memasuki masjid, para jama'ah harus bersedia di periksa dan digeledah barang bawaannya. Bukan tanpa alasan mereka melakukannya. Iran dipenuhi dengan cerita dan kisah-kisah tragis mengenai ulama-ulama dan cendekiawan mereka yang harus meregang nyawa oleh serangan kelompok anti revolusi yang bahkan tidak segan-segan melakukannya di masjid sekalipun. Cerita terakhir dipenghujung tahun 2010 mengenai Dr Majid Shahriari, salah seorang pakar nuklir Iran yang menjadi korban peledakan bom. Mobil yang dikendarainya meledak setelah sebelumnya diberi bahan peledak oleh kelompok anti revolusi Islam. Karenanya, sampai hari ini pengawalan dan penjagaan ketat bagi orang-orang penting Iran masih terus dilakukan. Termasuk menjamin diantara jama'ah shalat tidak ada yang membawa sesuatu yang membahayakan, terutama bagi Khatib Jum'at yang memang termasuk deretan ulama-ulama besar.
Tidak menemukan sesuatu yang asing dari tas punggungku yang cuman berisi mushaf saku, charge HP, dua buku pelajaran dan kertas-kertas kosong, mereka beralih memeriksa tubuhku. Mujtaba yang telah diperiksa lebih dulu sebab hanya membawa mushaf saku dan satu buku pelajarannya, hanya tersenyum melihatku digeledah.
"HP bisa dibawa masuk, tapi mohon untuk dimatikan."
Saya bernafas lega. Saya sempat khawatir kalau HPku disita dan terlarang masuk areal masjid.
"Maaf, memang di Iran seperti ini, untuk shalat Jum'at harus digeledah dulu." Mujtaba menjelaskan.
"Iya saya tahu." Jawabku sambil membenahi isi tas yang telah diobrak abrik. Saya sudah berkali-kali mengalaminya. Bahkan untuk memasuki kampus sendiri harus digeledah, ketika kampus kedatangan tamu penting, pejabat penting kenegaraan atau ulama besar. Bagi warga Iran, shalat Jum'at bukan sekedar ibadah ritual tiap pekan, namun juga semacam pertemuan politik karena para khatib selalu mengobarkan semangat perjuangan Islam dalam khutbah-khutbah Jum'atnya. Mungkin karena itulah shalat Jum'at sangat sensitif dan rawan sabotase. Penjagaan diperketat jangan sampai ada diantara jama'ah yang membawa bahan peledak.
Masjid besar yang berada satu areal dengan kompleks pemakaman Sayyidah Fatimah Maksumah ini meskipun baru jam 10 pagi namun telah cukup berisi banyak jama'ah. Memang untuk bisa mendapat tempat di shaf-shaf terdepan, harus datang lebih awal. Sebab di Iran, pelaksanaan shalat Jum'at di pusatkan di satu masjid untuk satu kota besar. Jadi wajar, jika setiap shalat Jum'at, jama'ah meluber sampai ke jalan-jalan sebab kapasitas masjid tidak mampu menampung jama'ah yang jumlahnya sampai puluhan ribu orang. Sambil menunggu, jama'ah yang sudah ada biasanya mengaji, membaca buku, mengulang pelajaran sekolah atau sekedar mengobrol.
Untuk kepentingan wawancara ini, sayapun mencari tempat di sudut masjid yang masih kosong. Saya janjian dengan Mujtaba dua hari sebelumnya. Karena tidak ada pilihan hari lain, sebab esoknya, di kampusku telah memasuki musim ujian. Juga sangat tidak memungkinkan melakukan wawancara ke rumahnya, masyarakat Iran mentradisikan keluar rumah di malam Jum'at dan hari Jum'at. Jadi meskipun merupakan hari libur, namun hari Jum'at bagi masyarakat Iran adalah hari yang penuh aktivitas dari malam hingga keesokan harinya. Malam Jum'at mereka isi dengan pembacaan do'a dan zikir bersama di masjid-masjid, keesokan harinya, sekitar pukul 07.30 pagi mereka kembali berbondong-bondong ke masjid buat membaca do'a Nudbah berjama'ah. Sekitar pukul 10 pagi, secara serentak mereka menuju ke Haram Sayyidah Maksumah untuk persiapan shalat Jum'at berjama'ah. Menariknya, kaum perempuan Iran juga turut melaksanakan shalat Jum'at.
"Boleh dimulai wawancaranya?", kataku memecah keheningan setelah Mujtaba menuliskan biodatanya di kertas kosong yang saya berikan.
"Silahkan"
"Oh iya, tidak apa saya aktifkan HP? wawancara ini harus saya rekam."
"Iya tak apa, asal jangan sampai ketahuan petugas masjid." Matanya memandang sekitar. Tampak beberapa petugas berkeliaran, mewaspadai siapa saja yang dilihatnya.
HP saya letakkan di sisi tas, agar tidak mudah kelihatan.
"Mujtaba, kamu hafal berapa juz Al-Qur'an?"
"Saya hafal 30 juz."
"Menurutmu, Al-Qur'an itu bagusnya di hafal atau dipelajari?"
"Menurutku dua-duanya. Al-Qur'an harus dipelajari dan dihafal."
"Tetapi bukankah dalam Al-Qur'an tidak ada perintah buat menghafalnya?"
"Setahu saya memang tidak ada. Namun perintah untuk senantiasa membaca dan mentadabburinya ada. Dan menurut saya, cara untuk bisa senantiasa membaca dan mentadabburinya adalah dengan menghafalnya. Orang yang menghafal Al-Qur'an bisa membacanya kapan dan dimana saja dan pentadabburan atasnya bisa lebih mudah dilakukan dibanding yang tidak menghafal."
"Kamu sejak kapan menghafal seluruh Al-Qur'an?"
"Saya menghafal keseluruhan Al-Qur'an pada bulan Ramadhan tahun ini."
"Kapan kamu memulainya?"
"Saya memulainya sejak awal memasuki SD, sewaktu berumur 6 tahun. Namun karena tidak memiliki jadwal yang teratur dan metode yang tersistematis, sampai kelas 2 SMP saya menghafal tidak sampai 15 juz. Baru setelah menjelang naik kelas 3 saya tertarik dengan program kelas khusus Jamiatul Qur'an, yaitu program hafal 30 juz Al-Qur'an dalam setahun. Sayapun mendaftar dan dinyatakan lulus untuk mengikutinya. Karenanya dalam setahun itu, saya terpaksa harus meninggalkan sekolah dan total berkosentrasi dengan program Jamiatul Qur'an tersebut. Alhamdulillah, setahun itu, meskipun belum menghafal total seluruh Al-Qur'an, namun setidaknya saya bisa melanjutkan sendiri sisanya yang tinggal sedikit. Berkat taufik dari Allah Azza wa Jalla, pelajaran yang saya tinggalkan selama setahun bisa saya susul dalam 2 pekan. Sehingga tetap bisa mengikuti ujian akhir. Setelah itu, memanfaatkan liburan musim panas, saya melanjutkan hafalan, dan berhasil menghafal keseluruhan Al-Qur'an, pada bulan Ramadhan tahun ini."
"Jadi sekarang kamu kelas berapa?"
"Saya telah menyelesaikan SMP dan tahun ini kelas pertama saya di Madrasah Rusyd."
"Apa itu SMA?"
"Iya, bisa dibilang setingkat SMA, tapi bukan SMA, melainkan Hauzah Ilmiyah dibawah bimbingan Ayatullah Mizbah Yazdi."
Saya mengangguk. Kubiarkan dia menghela nafas sejenak. Seorang petugas masjid berlalu di belakang kami.
"Soal lainnya, apa kedua orangtuamu juga penghafal Al-Qur'an?"
"Bukan. Keduanya memang tidak menghafal Al-Qur'an, namun banyak berperan dalam proses penghafalan saya."
"Apakah menghafal Al-Qur'an keinginan kamu sendiri, atau saran orang tua?"
"Benar-benar murni keinginan saya sendiri, yang Alhamdulillah kedua orangtua saya mendukungnya. Sebelum kami sekeluarga ke Qom, di kota kami sering diselenggarakan musabaqah hafiz Al-Qur'an. Bukan hanya hafiz dari Iran, namun juga dari beberapa negara lainnya, seperti Tajakistan. Namun saya ragu dan lupa, apa waktu itu ada hafiz yang berasal dari Indonesia atau tidak. Yang pasti, saya begitu tertarik melihat para hafiz tersebut melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an lewat hafalannya tanpa harus membaca mushaf. Setiap ada penyelenggaraan musabaqah hafiz Al-Qur'an bisa dipastikan saya selalu menontonnya, dan saya pun bertekad ingin seperti mereka."
"Sampai akhirnya, dalam sebuah majelis Al-Qur'an pada malam Milad Imam Hasan Mujtaba, saya bertemu Ayatullah Hadi Syirazi, salah seorang ulama besar yang menjadi imam Jum'at Syiraz dan wakil Rahbar di Syiraz. Saya menyampaikan keinginan kuat saya kepada beliau untuk juga bisa menghafal Al-Qur'an. Beliaupun menyarankan agar saya belajar di Hauzah Ilmiyah Qom dan menghafal Al-Qur'an di kota tersebut. Tahun itu juga, saya bersama ibu saya untuk pertama kalinya ke kota Qom, dan bertemu dengan Sayyid Husain Thabathabai. Beliaupun mengajak saya untuk belajar di Jamiatul Qur'an. Saat-saat itu benar-benar sangat membahagiakan saya. Tanpa membuang waktu, tahun itu juga saya ikut program menghafal 30 juz Al-Qur'an dalam setahun." Lanjutnya.
"Terus ayah kamu bagaimana?"
"Ayah saya seorang guru. Karena saya ikut di Jamiatul Qur'an di Qom, beliapun akhirnya mengurus kepindahan ke Qom, dan akhirnya kami sekeluarga sekarang menetap di kota ini."
"Pekerjaan ibu kamu apa?"
"Ibu saya sebelumnya juga guru, bahkan kepala sekolah di sebuah sekolah khusus perempuan. Namun beliau memutuskan sepenuhnya menemani saya selama mengikuti program penghafalan Al-Qur'an. Di rumah beliau selalu membantu saya dalam pengecekan hafalan."
"Jadi sekarang ibu kamu tidak bekerja lagi?"
"Iya, beliau sepenuhnya ibu rumah tangga."
"Setiap hari libur, apa saja yang kamu kerjakan?"
"Saya tidak bisa memberikan jawaban pasti, sebab aktivitas saya setiap libur selalu bermacam-macam. Terkadang sekedar mengecek hafalan, atau mencoba menghafal do'a-do'a ziarah Jamiatul Kabir ataupun saya ikut kursus kaligrafi dan sebagainya. Yang pastinya, saya selalu berusaha hari liburpun saya melakukan yang bermanfaat dan positif."
"Terus, cara dan metode kamu menghafal Al-Qur'an seperti apa?"
"Seperti tadi, sayapun tidak punya jawaban khusus. Setiap orang punya caranya masing-masing, ada yang sekali baca bisa langsung hafal, sementara saya butuh 5-6 kali membacanya baru bisa menghafalnya. Metode yang saya gunakan dalam program setahun menghafal Al-Qur'an adalah metode klasik, sebagaimana yang umumnya orang tahu. Membaca berulang-ulang beberapa baris ayat Al-Qur'an, kemudian menghafalnya, dan baru pindah ke ayat selanjutnya setelah ayat sebelumnya telah benar-benar dihafal. Sebenarnya tidak ada yang lebih istimewa atau sesuatu yang baru yang diajarkan di Jamiatul Qur'an, namun setelah bergabung disana kita lebih berkosentrasi dan termotivasi untuk menghafal Al-Qur'an karena pengajar dan teman-teman di sana kesemuanya hafiz Al-Qur'an."
"Kalau cara kamu agar hafalanmu tidak hilang?"
"Saya juga tidak punya tekhnik khusus, sekedar rajin-rajin mengulang dan mengecek hafalan. Kalau di sekolah dan asrama saya mengeceknya lewat bantuan teman saya, Jahandi. Kalau di rumah, dibantu oleh ayah atau ibu."
Percakapan kami terhenti, beberapa pemuda, tampaknya siswa sekolah, duduk bergerombol tidak jauh dari kami. Mereka masing-masing membawa buku di tangan. Sesaat kemudian, mereka sudah asyik mendiskusikan pelajaran mereka.
"Mujtaba…." saya kembali bertanya, "Menurut kamu berbuat baik kepada kedua orangtua itu kewajiban atau bukan?"
"Iya kewajiban, banyak ayat dalam Al-Qur'an yang memuat perintah Allah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua."
"Bisa kamu tunjukkan dalam surah apa saja?"
"Misalnya dalam surah al Isra ayat 23, Allah SWT berfirman, "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya." Dengan satu ayat ini saja telah menunjukkan betapa pentingnya berbuat baik kepada kedua orangtua. Allah sampai menempatkan perintah berbuat baik di urutan kedua setelah perintah hanya melakukan penyembahan kepada-Nya."
"Bisa kamu tunjukkan surah yang lain, kata kamu tadi banyak?"
"Letaknya saja ya. Kalau tidak salah, perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua dalam Al-Qur’an kurang lebih berulang sebanyak 13 kali. Seperti dalam surah Al-Baqarah ayat 83, 180 dan 215."
Setelah berpikir sejenak, ia melanjutkan, "Juga dalam An-Nisa ayat 36, An Naml ayat 10, An-Na’am ayat 151, Al Ahkaf ayat 15, awal-awal surah Al Ankabut kalau tidak salah ayat 8, dalam surah Luqman ayat 14, Ibrahim ayat 41,dalam surah Nuh ayat 28 dan surah Isra’ ayat 23 dan 24."
"Atau saya perlu membacakan bunyinya juga?" tanyanya seketika.
"Tidak perlu, itu sudah cukup."
"Apa kamu mengetahui tafsirnya juga?", kembali saya yang bertanya.
"Belum, setahun kemarin, hanya murni menghafal. Untuk mempelajari tafsirnya butuh belajar 3-5 tahun."
"Nanti kamu mau ambil bidang keilmuan apa?"
"Sampai sekarang saya belum memutuskan, sekarang masih belajar pelajaran-pelajaran dasar ilmu-ilmu hauzah. Nanti insya Allah bakal ketahuan sendiri bidang keilmuan mana yang saya minati."
"Apa kamu tidak berminat menjadi ulama besar kelak, pakar tafsir Al-Qur'an misalnya?"
"Bagi saya tidak penting mau jadi apa kelak, ulamapun bukan sesuatu yang istimewa, yang terpenting adalah kita berkhidmat kepada masyarakat."
Saya takjub mendengar jawabannya.
"Selanjutnya saya bertanya, selain Nabi Muhammad saww, diantara Anbiyah as lainnya, Nabi mana yang paling kamu kagumi riwayat dan kisah hidupnya."
"Menurut saya semua kisah Nabi itu menakjubkan."
"Iya, pilih salah satu, setidaknya yang paling berkesan menurutmu."
"Nabi Ibrahim as."
"Alasannya?"
"Ketulusan dan ketabahan Nabi Ibrahim as benar-benar sangat menakjubkan. Sampai Allah swt sendiri mengakui dan memberi maqam keimamahan kepada Nabi Ibrahim as. Bayangkan, putra yang dinanti-nantikannya baru di dapatkannya di usia yang sedemikian lanjut, namun setelah dididik dan dibesarkan, Allah malah memerintahkan untuk menyembelihnya. Kalau kita dalam posisi beliau, apa kita mau melakukannya?"
Saya hanya tersenyum. "Dalam surah mana kisah tersebut disebutkan?"
"Pada surah As-Saffat, sekitar halaman 449-450, saya lupa ayat keberapa. Salamun 'alaa Ibrahim, salam sejahtera bagi Ibrahim."
"Sekarang saya beralih kepada persoalan politik. Apa kamu tahu, mengapa Iran begitu membenci Amerika Serikat dan Israel?. Dalam setiap demonstrasi, masyarakat Iran tidak pernah lupa untuk menyebut, marg bar Amrika, marg bar Israel (kebinasaan buat Amerika, kebinasan buat Israel), apa alasannya?"
"Oh itu…" ia sedikit tertawa, "Bebinid, misalnya seperti ini, kamu punya rumah, kemudian ada tamu orang asing yang datang ke rumahmu. Tetapi ia datang dengan penuh kecongkakan, ia mengatur dan melarangmu untuk berbicara di rumahmu sendiri. Ia menguasai barang-barangmu, memintamu untuk menyerahkan ilmu dan apapun yang engkau ketahui, ia membuang apa-apa yang kamu sukai dari rumahmu dan memasukkan barang-barang yang tidak kamu sukai, kira-kira apa yang kamu lakukan?. Bagi orang yang berakal sehat, ia pasti berkata, siapa kamu? Laknat atasmu? Dan mengusir tamu yang tidak tahu diuntung itu. Seperti itu pula yang dilakukan warga Iran kepada Amerika Serikat yang sebelum revolusi telah menginjak-injak martabat dan harga diri masyarakat Iran dengan penjajahan politik, ekonomi dan budaya. Karenanya, kami begitu membenci Amerika. Kami membenci pemerintahnya dan sistem kezaliman yang berlaku di sana yang juga diterapkannya kepada Negara-negara miskin. Kami tidak membenci masyarakatnya, karena kami tahu diantara mereka juga ada orang baik, bahkan misalnya di Chicago, di New York banyak warganya yang muslim."
"Kamu banyak tahu juga tentang Amerika?"
Ia tersipu, "Iya, sebelum menyukai ataupun membenci sesuatu, kita harus mengenalnya lebih dulu." Katanya berfilsafat.
"Kalau Israel?"
"Tidak ada kata-kata yang baik buat Israel. Mereka zalim dan membunuhi rakyat Palestina yang tidak berdosa. Bahkan Imam Khomeini ra sendiri bilang, rezim zionis Israel harus terhapus dari peta dunia."
"Terus mengenai kebencian kepada orang-orang kafir dan zalim, dalam surah mana Al-Qur'an berbicara tentangnya?"
"Diantaranya surah An-Nisa', halaman 101 ayat 144, bismillah, yaayyuhal lazina amanu la tattakhidzuul kaafiriina auliyaa a minduunil mu'minin… dan beberapa ayat lain..ehm…" sambil berfikir.
"Tidak usah, sudah cukup." Saya memotong.
Keluarga yang Berhijrah demi Ilmu
Tanggal 6 Murdad 1375 HS menurut kalender Persia atau 28 Juli 1996, 14 tahun yang lalu di kota kecil Darab di Provinsi Fars, sekitar 444 mil bagian selatan Qom ia dilahirkan. Terlahir di tengah keluarga yang mencintai ilmu dan pendidikan, Mujtaba Karsenash tumbuh menjadi anak yang cerdas dan gemar membaca. Kedua orangtuanya berprofesi sebagai guru di sekolah umum, ayahnya bernama Ali Asghar dan ibunya bernama Zahra Bigum. Sejak kecil, Iapun gemar turut serta dalam majelis-majelis ilmu ataupun penyelenggaraan perlombaan-perlombaan pendidikan. Perlombaan yang diminatinya adalah musabaqah Hafiz Al-Qur'an. Ia sampai merasa perlu bersama keluargany ke kota Shiraz, ibu kota Provinsi Fars, sekitar 189 mil dari kota kelahirannya sekedar untuk menjadi penonton musabaqah tersebut. Awal masuk sekolah dasar, iapun bertekad untuk bisa menghafal Al-Qur'an. Iapun mencoba menghafal sedikit demi sedikit dengan caranya sendiri. Menurut pengakuannya, menghafal tidak hanya butuh semangat namun juga konsentrasi dan jadwal yang teratur. Sampai ia duduk di kelas 2 SMP, sampai separuh Al-Qur'anpun tidak di hafalnya. Hingga akhirnya, waktu itu kotanya mendapat kunjungan istimewa dari Wakil Rahbar untuk Shiraz, Ayatullah Hadi Shirazy. Sebagaimana kebiasaannya mengikuti majelis-majelis ilmu, iapun bertemu dengan Ayatullah Hadi, dan menyampaikan keinginannya untuk menjadi hafiz Al-Qur'an. Ayatullah Hadipun menyarankan buat ia belajar ke kota Qom, sebab Qom lebih kondusif untuk menjadi pelajar agama, terutama buat menghafal Al-Qur'an. Beruntung, kedua orangtuanya mendukung ia untuk belajar ke Qom. Bahkan ayahnyapun berkat bantuan Ayatullah Hadi dapat dengan mudah mengurus kepindahan tugasnya mengajar ke Qom. Hanya saja, ibu Mujtaba harus rela meninggalkan pekerjaannya dan tugasnya sebagai kepala sekolah di sekolah khusus perempuan, sebab memutuskan untuk sepenuhnya menemani anaknya untuk meraih apa yang diimpikannya sejak kecil. Berkat tekadnya yang kuat, dukungan dan bantuan sepenuhnya kedua orangtuanya, Mujtaba dalam setahun sesuai dengan target program yang dia ikuti, berhasil menghafal keseluruhan ayat Al-Qur'an. Bukan sekedar menghafal, iapun fasih menyebutkan letak ayat-ayat tersebut dalam Al-Qur'an, nama surah, nomor ayat dan nomor halamannya. Bahkan menerjemahkan Al-Qur'an yang berbahasa Arab ke bahasa ibunya, bahasa Persia.
"Terus, adik kamu apa hafiz Qur'an juga?", dalam kertas biografi yang saya minta ia isi, ia menuliskan, hanya punya seorang saudara, seorang adik laki-laki.
"Sekarang juga ia sedang sibuk menghafal, setahu saya sudah hafal 10 juz."
"Usianya berapa tahun? Namanya?"
"Namanya Murtadha, umurnya 8 tahun. Sejak tahun lalu, ia juga masuk Jamiatul Qur'an."
"Bagaimana hubungan kamu dengannya, apa kamu sering bertengkar?"
"Hubungan kami baik, hanya saja karena di Hauzah Ilmiyah saya harus tinggal di asrama jadi jarang bermain bersama lagi. Bertengkar pernah, tapi tidak selalu."
"Apa yang kau lakukan jika adikmu melakukan kesalahan, atau curang dalam bermain, apa kamu memukulnya?"
"Saya sudah lupa apa pernah memukulnya atau tidak. Tapi meskipun marah, saya berusaha untuk menasehati saja, bukan memukulinya."
"Apakah aktivitasmu mengulang-ulang hafalanmu setiap hari, tidak mengganggu pelajaranmu di Hauzah?"
"Mengapa harus saling menganggu? Menurut saya, pelajaran Hauzah adalah penjabaran dan penguraian dari ayat-ayat Al-Qur'an, sehingga antara saya mengecek hafalan dengan pelajaran hauzah saling bersinergi. Kita belajar Sharaf, belajar Nahwu justru memperkuat hafalan, belajar aqidah, fiqh, mantiq dan sebagainya membuat kita semakin mudah memahami Al-Qur'an."
Saya hanya mengangguk membenarkan.
"Sekarang, jika saya membaca satu ayat, apa kamu bisa memberitahu letaknya dimana?", tanyaku berikutnya, sambil membuka mushaf sakuku.
"Insya Allah…"
Setelah membaca ta'awudz, saya baca ayat-ayat suci yang tertulis di mushaf yang berada di genggamanku.
"Itu surah al Ahzab ayat 31 halaman 422." Jawabnya mantap. Saya mengangguk membenarkan. "Bisa kamu artikan?"
Dengan bahasa Persia, ia berkata (yang artinya) "Dan barang siapa di antara kamu (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan RasulNya dan mengerjakan kebajikan, niscaya Kami berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki yang mulia baginya."
"Kalau awal halaman 135?"
"Surah Al-An'am ayat 60, durust guftam (benar yang saya katakan)?"
"Iya, coba kamu baca?"
Ia pun melantunkan ayat yang saya maksud dengan bacaan yang fasih dan lancar.
"Oh iya Mujtaba, apa yang kamu kenal dengan Indonesia?" tanyaku sambil menutup mushaf.
"Sayang sekali saya tidak begitu banyak tahu, kecuali Indonesia itu ibukotanya Jakarta, dan Negara dengan penduduk muslim terbesar."
Saya cuman tersenyum. "Kalau Malaysia?"
"Saya prihatin dengan yang terjadi baru-baru di Malaysia. Mengapa Syiah harus dimusuhi dan dibenci?." Ternyata Mujtaba juga tahu, umat Syiah Malaysia yang mengadakan majelis duka Asyura pada 10 Muharram lalu digerebek dan dibubarkan secara sepihak. Media-media Malaysia secara besar-besaran menurunkan berita mengenai peristiwa tersebut sambil menyudutkan Syiah sebagai ajaran sesat dan dinyatakan sebagai aliran di luar Islam. "Perlu saudara-saudara Ahlus Sunnah mengetahui, bahwa kita bersaudara dalam iman, Al-Qur'an yang saya hafal dan baca adalah Al-Qur'an yang sama."
Bacaan ta'awudz dengan pembesar suara terdengar seketika ke seantero masjid, dilanjutkan dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Saya lirik jam besar di dinding tengah masjid, jarum jam telah mendekati angka 11. Memang tidak lama lagi, waktu shalat Jum'at akan dimulai. Saya merasa sudah cukup, saatnya mengakhiri wawancara.
"Pertanyaan terakhir, Mujtaba apa pesanmu buat teman-teman di Indonesia?"
"Yang saya tahu Indonesia negara multi etnis, agama yang dipeluk penduduknya beragam, karenanya pesan saya jagalah persatuan yang ada, khususnya sesama umat Islam. Harus kita terima, sulit menyatukan mazhab-mazhab yang ada dalam Islam. Karena itu kebutuhan kita saat ini bukan penyatuan, melainkan persatuan. Kelemahan bukan karena kita berbeda, tetapi merasa benar sendiri dan tidak menerima yang lainlah yang melemahkan. Tidak perlu lagi ada dikotomi Sunni dan Syiah, kesemuanya bersaudara, sama-sama umat Islam, Al-Qur'an kita satu. Anda sendiri melihatnya, di negeri ini, saya hanyalah salah seorang diantara ribuan hafiz yang ada. Apa yang kami hafal, baca dan kaji sama dengan Al-Qur'an yang dicetak di Negara anda. Anda juga tengah berada di dalam masjid yang sebentar lagi dipenuhi orang-orang untuk shalat Jum'at berjamaah, yang pada hari yang sama juga dilakukan oleh umat Islam di negeri anda."
Saya hanya mengangguk membenarkan. Saya tiba-tiba merasa kecil di hadapannya. Kalau bukan berhadapan langsung, sulit dipercaya, kata-kata yang bijak dan sangat dewasa ini keluar dari mulut seorang pemuda 14 tahun. Tampak ia masih mau melanjutkan pesannya, tapi alat perekam telah saya matikan. "Tak apa ya, jika saya potret?" HPku beralih fungsi menjadi kamera.
"Iya, tapi jangan sampai ketahuan."
Dengan hati-hati saya memotretnya. Hanya tiga kali pengambilan gambar. Saya khawatir jika petugas sampai harus menyita HP karena tidak mematuhi aturan mereka.
"Mujtaba, saya benar-benar berterimakasih atas waktu yang kamu luangkan untuk wawancara ini."
"Iya, sama-sama." Kujabat erat tangannya.
Kubenahi tasku. "Apa anda tidak ingin bersama duduk di shaff depan?" tanyanya.
"Oh, maaf, saya harus keluar dulu, masih ada waktu sejam. Saya ingin membeli sesuatu. Saya khawatir tokonya tutup sehabis Jum'atan." Ia mengangguk maklum.
Kujabat erat tangannya untuk kedua kalinya. Sekali lagi kuucapkan terimakasih.
Kutinggalkan masjid yang telah hampir dipenuhi jama'ah. Pesannya tadi masih juga terngiang, pasti ia mengucapkan pesan itu karena pengaruh pertanyaanku sebelumnya mengenai Malaysia. Iya, di era informasi yang seakan dunia bisa dilipat-lipat ini, sangat mengherankan, masih juga ada yang berkeyakinan bahwa Iran dengan warganya yang mayoritas Syiah mempunyai Al-Qur'an yang berbeda, bahwa mereka tidak menunaikan shalat Jum'at dan propaganda-propaganda negatif lainnya. Dari menara masjid yang menjulang tinggi, masih terdengar lantunan ayat suci yang menggetarkan, "Afalam yasiiruu fil ardi fatakuna lahum quluubun ya'qiluna bihaa…Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati mereka dapat memahami…." (Qs. Al-Hajj: 46)
**********
Wawancara ini setelah mengalami pengeditan seperlunya dimuat dalam buku "Bintang-bintang Penerus Doktor Cilik" terbitan Pustaka Iiman termasuk wawancara dengan Muhammad Husein Tabatabai (Doktor Cilik) setelah berusia 20 tahun dan dua hafiz cilik Iran lainnya.
Semoga bermanfaat;
Ismail Amin, Mahasiswa Program Studi Ulumul Qur'an, Mostafa Internationa University Republik Islam Iran
Assad: Hizbullah Berperang Melawan Israel dan Agennya
َWawancara َPresiden Suriah, Bashar al-Assad dengan stasiun TV Libanon, al-Manar dilaksanakan hari Kamis (30/5 /13) .
Pertanyaan 1: Kita sekarang berada di Istana Rakyat. Krisis Suriah sudah berlangsung 2 tahun dan taruhannya adalah, presiden dan rezim akan digulingkan hanya dalam tempo beberapa minggu. Bagaimana Anda menggagalkan musuh dan plot lawan? Apa rahasia ketabahan ini?
Jawaban: Ada sisi di Suriah yang menggagalkan plot, dan ada sisi yang terkait dengan pembuat rencana yang menggagalkan diri mereka sendiri. Mereka menggagalkan diri sendiri karena mereka mengabaikan kondisi Suriah dan tidak membaca situasi Suriah dengan tepat. Jadi mereka memulai [kegagalan] itu sejak awal dengan membawa judul 'revolusi' [dalam gerakan mereka].
Mereka bergerak dengan mengajukan konsep sektarian dan simbol-simbol yang ditujukan untuk menciptakan perpecahan dalam masyarakat Suriah. [Memang] mereka berhasil menguasai beberapa sudut dalam masyarakat Suriah. Dan sudut-sudut seperti ini selalu ada dalam berbagai masyarakat; mereka yang lalai dan tidak waspada. Tapi pada dasarnya, mereka gagal menciptakan perpecahan itu. Jika langkah itu benar-benar terwujud, maka sejak awal Suriah sudah akan terpecah belah.
Mereka [lalu] menggunakan judul lain yang mereka sendiri akhirnya jatuh ke dalamnya, yaitu perjuangan untuk tetap berada di sebuah kantor [presiden]. Pada realitanya, sudah jelas bahwa perang itu tidak berhubungan dengan sebuah kantor. Perang itu adalah perang sebuah negara; bukan perang sebuah kantor. Tak ada orang yang bersedia berperang dan tewas agar seseorang tetap berada di sebuah kantor.
Pertanyaan 2: Bapak Presiden, dalam pertempuran negara itu, Suriah tampaknya cukup bertahan di lapangan setelah 2,5 tahun. Di sini muncul pertanyaan. Kenapa setelah 2,5 tahun, Anda memilih menyerang daripada bertahan? Apakah Anda tidak berpikir Anda terlambat mengambil keputusan menyerang itu? Karena itu, harga [serangan] itu sangat tinggi seperti kasus di Al- Qusayr?
Jawaban: Dalam pertahanan atau serangan kami, kami tidak hanya bergantung pada taktik militer yang digunakan secara terpisah dalam pertempuran kecil. Kami juga berurusan dengan situasi, bukan hanya melalui aspek militer, tapi juga melalui beberapa aspek, seperti aspek sosial dan politik.
Banyak warga Suriah yang tertipu di awalnya. Banyak sahabat Suriah yang tak menyadari masalah itu. Secara internal, tidak mungkin bertindak dengan cara yang sama sementara belum ada konsensus tentang sebuah kasus tertentu. Tidak diragukan lagi, perkembangan peristiwa membantu Suriah menyadari apa yang terjadi, menyadari kebenaran, dan ini sangat membantu Angkatan Bersenjata dalam menjalankan tugas dan [meraih] prestasi mereka. Apa yang sedang terjadi saat ini bukanlah pergeseran dari pertahanan jadi menyerang, tapi sebuah pergerseran kekuatan yang menguntungkan Angkatan Bersenjata.
Pertanyaan # 3: Bagaimana keseimbangan pergeseran kekuasaan itu? Suriah sedang dikritik karena menggunakan para pejuang asing. Mari kita sebut sebagaimana yang ada, Suriah disalahkan karena menggunakan pejuang Hizbullah. Mengingat dalam wawancara sebelumnya, Anda mengatakan bahwa warga Suriah 23 juta dan kami tidak membutuhkan siapa pun. Lalu apa yang dilakukan Hizbullah di Suriah?
Jawaban: Alasan pertama pergeseran keseimbangan kekuasaan itu adalah pergeseran dukungan. Ada dukungan di beberapa daerah untuk teroris dan saya jamin pada Anda bahwa [dukungan] itu bukan akibat dari kurangnya patriotisme, tapi kurangnya kesadaran.
Ada banyak cerita tentang orang-orang yang bergabung dengan kelompok militan karena berpikir [gerakan mereka] itu adalah sebuah revolusi. Dukungan ini lalu bergeser dan banyak militan yang meninggalkan kelompok ini dan kembali pada kehidupan normal mereka. Ini alasan yang mendasar. Bagi saya, apa yang muncul mengenai Hizbullah dan partisipasi pejuang asing merupakan isu yang sangat besar dan memiliki beberapa elemen. Jika kita ingin menjelaskannya, kita harus menjelaskan unsur-unsur terkait ini:
Kita tidak bisa memisahkan antara apa yang baru-baru ini muncul tentang Hizbullah dalam pertempuran Al-Qusayr dengan serangan Israel. Ada tiga unsur dalam satu kasus. Biarkan saya berterus terang. Baru-baru ini, terutama setelah pidato terakhir Sayyid Hasan Nasrullah, media Arab dan Barat mengatakan bahwa para pejuang Hizbullah bertempur di Suriah dan membela negara Suriah; tentu saja dalam bahasa mereka, mereka mengatakan 'rezim'. Tapi kami mengatakan negara; bukan 'rezim'.
Mari kita berbicara secara logis, jika Hizbullah ingin membela Suriah atau perlawanan [anti Israel], Hizbullah akan mengirim sejumlah pejuang. Berapa banyak akan mereka kirim? Ratusan, 1000, 2000? Kita berbicara tentang pertempuran yang mencakup ratusan ribu Angkatan Darat Suriah dan puluhan ribu teroris; paling tidak lebih dari 100 ribu, karena jumlah mereka terus meningkat. Ini berarti bahwa mengirimkan teroris dari negara tetangga dan negara luar yang mendukung masih terus berlangsung. Jadi jumlah yang bisa dikirim Hizbullah untuk membela negara dalam pertempuran dibandingkan dengan jumlah teroris dan Tentara Suriah, dan dibandingkan dengan ukuran Suriah, tidak akan melindungi sebuah rezim atau negara.
Ini di satu sisi. Jika mereka mengatakan Hizbullah membela negara [Suriah], kenapa hari ini? Kenapa saat ini? Pertempuran dimulai setelah bulan Ramadhan tahun 2011, dan terus meningkat sampai kami memasuki musim panas 2012. Pemberontak memulai pertempuran 'membebaskan Damaskus'. Mereka menentukan zero hour [waktu yang telah ditetapkan untukmemulai sebuah opperasi militer] pertama dan kedua, dan empat perwira tewas dibunuh. Banyak yang melarikan diri dari negara Suriah dan banyak yang percaya bahwa rezim Suriah akan segera jatuh. Tapi rezim tidak juga jatuh. Hizbullah tidak ikut campur pada waktu itu, lalu kenapa Hizbullah ikut campur hari ini?
Ada sisi lain yang penting. Mengapa kita tidak melihat Hizbullah di Damaskus dan Aleppo? Pertempuran terbesar terjadi di Damaskus dan Aleppo, bukan di Al-Qusayr. Al-Qusayr adalah sebuah kota kecil. Mengapa kita tidak melihat Hizbullah di Homs? [Jadi] semua data ini tidak akurat. Al-Qusayr kota strategis. Perbatasan itu sangat strategis bagi teroris. Semua perbatasan itu digunakan untuk menyelundupkan teroris dan tentara. Jadi semua judul yang diajukan tentang partisipasi Hizbullah tidak relevan. Semua ratapan dan kesedihan yang kita dengar di media Arab, dalam pernyataan pejabat Arab, dalam pernyataan pejabat Barat, dan bahkan (Sekjen PBB) Ban Ki-Moon menyatakan ketakutannya [tentang kehadiran] Hizbullah di Al-Qusayr, semua ini bertujuan untuk mencekik perlawanan [anti Israel]. Ratapan itu tidak ada hubungannya dengan membela negara Suriah. Padahal perkembangan, seperti yang Anda sebutkan, telah terjadi di Aleppo, Damaskus, pinggiran Damaskus dan tempat-tempat lain, tapi kita tidak mendengar ratapan yang sama.
Pertanyaan 4: Mengenai sifat pertempuran di al-Qusayr di mana Anda dan Hizbullah terlibat di dalamnya. Anda disalahkan bahwa pertempuran ini bertujuan membangun jalan aman yang akan menggabungkan pantai Suriah ke Damaskus. Karena itu, sebagaimana sudah diatur, jika pembagian atau perubahan geografis diterapkan di wilayah tersebut, akan muncul sebuah negara baru Alawi. Apa sebenarnya sifat pertempuran itu dan bagaimanan Anda menghubungkannya dengan perjuangan melawan Israel?
Jawaban: Pertama, dari aspek geografis, pantai Libanon dan Suriah tidak melewati Al-Qusayr. Jadi [alasan] ini tidak rasional. Kedua, tidak ada orang yang bersedia terlibat dalam pertempuran untuk meraih sebuah pembagian wilayah (divisi). Jika mereka ingin pembagian itu, biarkan mereka melakukannya; bukannya terlibat dalam pertempuran di seluruh Suriah. Mereka bisa mengambil satu poin [kawasan] tertentu. Dan jalannya pertempuran tidak mengungkapkan bahwa ada bagian-bagian [Suriah] yang berusaha meraih pembagian. Sebaliknya, pertempuran ini dilakukan demi menjaga persatuan Suriah, bukan sebaliknya.
Ketiga, nenek moyang kami pernah menghadapi masalah yang sama dengan Perancis ketika Perancis mengusulkan pembagian Suriah. Tapi nenek moyang kami berhati-hati tentang hal itu. Lalu apakah pantas jika kami, cucu-cucu mereka, tidak berhati-hati di beberapa abad kemudian?
Saya yakin bahwa pertempuran itu, perkembangan di Al-Qusayr, dan semua raungan yang kita dengar itu berhubungan dengan Israel. Mereka ingin mencekik perlawanan [anti Israel]. Pertempuran lama-baru ini akan selalu terjadi dalam berbagai bentuk yang berbeda. Sekarang, hal yang penting bukanlah Al-Qusayr sebagai kota, tapi sebagai sebuah perbatasan. Mereka ingin mencekik perlawanan lewat darat dan laut, dan di sinilah letak pertanyaannya.
Dikatakan bahwa gerakan perlawanan harus mengarahkan senjatanya pada musuh, karena itu [diarahkan] ke Selatan. Hal ini dikatakan 7 Mei lalu ketika beberapa agen Israel di Libanon mencoba mengusik jaringan komunikasi perlawanan. Mereka mengatakan bahwa perlawanan menggeser senjatanya ke dalam [Suriah]. Mereka juga mengatakan hal yang sama tentang Tentara Suriah. Mereka mengatakan bahwa Tentara Suriah harus berjuang di perbatasan melawan Israel. Dengan jelas kami katakan bahwa tentara Suriah akan memerangi musuh di mana pun musuh hadir. Ketika musuh di Utara, atau datang ke Utara, kami akan bergerak menuju Utara; atau Timur atau Barat. Hal yang sama berlaku untuk perlawanan. Mengapa Hizbullah hadir di perbatasan di Libanon atau di Suriah? Karena pertempuran yang ada adalah pertempuran melawan Israel dan agen-agennya di Suriah atau Libanon.[IT/M/NAT]
Apa Kata Tokoh Indonesia Tentang Syiah
KH. Alie Yafie (Ulama Besar Indonesia):
“Dengan tergabungnya Iran yang mayoritas bermazhab Syiah sebagai negara Islam dalam wadah OKI tersebut, berarti Iran diakui sebagai bagian dari Islam. Itu sudah cukup. Yang jelas, kenyataannya seluruh dunia Islam, yang tergabung dalam 60 negara menerima Iran sebagai negara Islam.”(tempointeraktif)
Said Agil Siradj (Ketua Umum PB NU):
“ Ajaran syiah tidak sesat dan termasuk Islam seperti halnya sunni. Di universitas di dunia manapun tidak ada yang menganggap Syiah sesat “(tempo.co)
Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah):
“ Tidak ada beda Sunni dan Syi’ah. Dialog merupakan jalan yang paling baik dan tepat, guna mengatasi perbedaan aliran dalam keluarga besar sesama muslim” (republika.co.id)
Buya Syafii Ma’arif (Cendikiawan Muslim, Mantan Ketua PP Muhammadiyah):
“Kalau Syiah dikalangan mazhab, dianggap sebagai mazhab kelima,” (okezone.com)
Amin Rais (Mantan Ketua PP Muhammadiyah):
“Sunnah dan Syi’ah adalah madzhab-madzhab yang legitimate dan sah saja dalam Islam “
(satuislam.wordpress.com)
Marzuki Ali (Ketua DPR RI):
“ Syi'ah itu mahzab yang diterima di negara manapun diseluruh dunia, dan tidak ada satupun negara yang menegaskan bahwa Islam Syi'ah adalah aliran sesat “
(okezone.com)
Jusuf Kalla (Mantan Wakil Presiden RI):
“ Harus ada toleransi terhadap perbedaan karena perbedaan adalah rahmat ” (tempo.co)
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA (Cendikiawan Muslim, Direktur Sekolah PascaSarjana UIN Jakarta):
“Syiah adalah bagian integral dari umat Islam dan tidak ada perbedaan yang prinsipil dan fundamental dalam Syiah dan Sunni, kecuali masalah kepemimpinan politik”
“ Fatwa haram atau sesat Syiah itu tidak diperlukan, baik secara teologis, ibadah dan fiqh karena pertaruhannya Ukhuwah Islamiyah di Indonesia,”
(republika.co.id)
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta):
“ Syiah merupakan bagian dari sejarah Islam dalam perebutan kekuasaan, dari masa sahabat, Karenanya akidahnya sama, Alqurannya, dan nabinya juga sama,”
(republika.co.id)
KH. Alie Yafie (Ulama Besar Indonesia):
“Dengan tergabungnya Iran yang mayoritas bermazhab Syiah sebagai negara Islam dalam wadah OKI tersebut, berarti Iran diakui sebagai bagian dari Islam. Itu sudah cukup. Yang jelas, kenyataannya seluruh dunia Islam, yang tergabung dalam 60 negara menerima Iran sebagai negara Islam.”(tempointeraktif)
Rhoma Irama ( Seniman dan Mubaligh ):
“Tuhan kita sama, nabi kita sama, kiblat kita sama, sholat kita sama, puasa kita sama, zakat kita sama, haji kita sama, kenapa harus saling mengkafirkan” (tempo.co)
Slamet Effendy Yusuf (Ketua PB NU):
“ Caranya terus menjaga persamaan sesama Umat Islam, bukan mencari perbedaannya,”
(republika.co.id)
Muhammad Mahfud MD (Ketua MK):
“ Kalau saya mengatakan semua keyakinan itu tidak boleh diintervensi oleh negara. Keyakinan itu tak boleh diganggu orang lain, kecuali dia mengganggu keyakinan orang lain,”
(Okezone.com)
Prof. Dr. Umar Shihab (Ketua MUI Pusat):
“ Syiah bukan ajaran sesat, baik Sunni maupun Syiah tetap diakui Konferensi Ulama Islam International sebagai bagian dari Islam,”
(rakyamerdekaonline.com)
Alm, Buya Hamka (Mantan Ketua Umum MUI Pusat):
Mengutip pernyataan Imam Syafi’i
“ Jika saya dituduh Syiah karena mencintai keluarga Muhammad Saw, maka saksikanlah wahai Jin dan Manusia, bahwa saya ini orang Syiah. Jika dituduhkan kepada saya bahwa saya Syiah karena membela Imam Ali, saya bersaksi bahwa saya Syiah”
(majalah.tempointeraktif.com)
KH Nur Iskandar Sq (Ketua Dewan Syuro PPP):
“ Kami sangat menghargai kaum Muslimin Syiah, ”
(Inilah.com)
Imam Mahdi as Dalam Al-Quran
Konsep Imam Mahdi as sebagai juru penyelamat adalah sebuah konsep yang sudah diterima oleh semua agama samawi, bahkan oleh semua umat manusia meskipun nama yang ditentukan untuk menyebutnya berbeda-beda. Kesepakatan konsep ini dapat kita bahas pada kesempatan yang lain.
Oleh karena itu, dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang ditafsirkan dengan keberadaan Imam Mahdi as sebagai seorang juru penyelamat. Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Surah al-Qashash (28) : 5
وَ نُرِيْدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِيْنَ اسْتُضْعِفُوْا فِي الْأَرْضِ وَ نَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَ نَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِيْنَ
“Dan Kami ingin memberikan anugrah kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi ini, menjadikan mereka para pemimpin, dan menjadikan mereka sebagai para pewaris.”
Secara lahiriah, ayat ini menggunakan kata kerja mudhâri’ dalam menjelaskan maksud Allah. Secara realita, janji-janji yang termaktub dalam ayat tersebut belum terealisasikan hingga sekarang. Dengan pemerintahan yang telah dibentuk oleh Rasulullah saw di Madinah yang berjalan kurang lebih selama sepuluh tahun, kami kira hal itu belum terwujudkan secara sempurna mengingat masih banyak pojok dunia yang belum pernah mencicipi lezatnya hukumnya Islam.
Menurut beberapa hadis, ayat ini mengindikasikan tentang Imam Mahdi as, bahwa semua janji Allah itu akan terwujud pada saat beliau turun ke bumi dan membentangkan sayap keadilan di atasnya. Dalam Nahjul Balâghah, Imam Ali as berkata:
لَتَعْطُفَنَّ الدُّنْيَا عَلَيْنَا بَعْدَ شِمَاسِهَا عَطْفَ الضَّرُوْسِ عَلَى وَلَدِهَا
“(Pada waktu itu), dunia akan menganugrahkan kelembutannya kepada kami setelah ia membangkang sebagaimana unta betina yang membangkang (baca: enggan memberi air susu kepada anaknya) menyayangi anaknya.”
Ibnu Abil Hadid berkata: “Para sahabat (baca: ulama) kita berpendapat bahwa beliau menjanjikan (kemunculan) seorang imam yang akan menguasai bumi dan menaklukkan seluruh kerajaan dunia.”
Dalam sebuah hadis yang lain beliau berkata: “Orang-orang tertindas di muka bumi yang termaktub di dalam al-Quran dan akan dijadikan para pewaris oleh Allah adalah kami, Ahlulbait. Allah akan membangkitkan Mahdi mereka yang akan memuliakan mereka dan menghinakan para musuh mereka.” [1]
b. Surah an-Nûr (24) : 56
وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَ لَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَ لَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِيْ لاَ يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْئًا وَ مَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih untuk menjadikan mereka sebagai khalifah di muka bumi ini sebagaimana Ia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah, menyebarkan bagi mereka agama yang telah diridhainya untuk mereka secara merata dan menggantikan ketakutan mereka dengan rasa keamanan (sehingga) mereka dapat menyembah-Ku dan tidak menyekutukan-Ku. Barangsiapa ingkar setelah itu, merekalah orang-orang yang fasiq.”
Secara lahiriah, kita dapat menagkap tiga janji dari ayat tersebut:
Pertama, menjadikan mereka sebagai khalifah di atas bumi ini.
Kedua, menyebarkan agama mereka (Islam) di atas bumi secara merata sehingga dapat dinikmati oleh seluruh penduduk dunia.
Ketiga, menggantikan rasa takut mereka dengan rasa aman sehingga mereka dapat menyembah Allah dengan penuh keleluasaan dan tidak menyekutukan-Nya.
Yang jelas, semua janji itu belum pernah terwujudkan hingga sekarang. Kapankah kita pernah merasakan Islam dijalankan secara sempurna? Oleh karena itu, dalam beberapa hadis Ahlulbait as, kita akan menemukan takwil dari ayat tersebut bahwa semua janji itu akan terealisasikan pada masa kemunculan Imam Mahdi as.
Dalam tafsir Majma’ al-Bayân disebutkan bahwa Imam Ali bin Husain as pernah membaca ayat tersebut. Setelah itu beliau berkata: “Demi Allah, mereka adalah para pengikut kami Ahlulbait as. Allah akan mewujudkan semua itu dengan tangan salah seorang dari kami. Ia Adalah Mahdi umat ini, dan ia adalah orang yang disabdakan oleh Rasulullah saw: “Jika tidak tersisa dari usia dunia ini kecuali satu hari, niscaya Allah akan memanjangkannya hingga seorang dari ‘Itrahku muncul. Namanya sama dengan namaku. Ia Akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana ia telah dipenuhi oleh kezaliman dan kelaliman.”[2]
Tanpa diragukan lagi pembahasan tentang mahdi as telah tertera di pelbagai sumber dan kitab-kitab Islami. Rasul saw sendiri yang mengajarkan hal tersebut. Imam Ali as dan para imam yang lain juga tidak ketinggalan, mereka senantiasa menyinggung pembahasan yang satu ini dan mengulang-ulangnya. Para ulama dan pemuka sekte-sekte islam sepanjang sejarah juga satu demi satu di segenap penjuru Negara Islam telah menulis dan menyusun buku yang tidak sedikit jumlahnya.
Dengan pelbagai hal tersebut apakah dapat dibayangkan topik dan pembahasan yang begitu populer dan urgen ini tidak tertera dalam kitab suci al-Quran? Jawaban tentu tidak. Pasti pembahasan semacam ini benih-benihnya telah terdapat di dalamnya.
Al-Quran sebatas singgungan atau secara gamblang telah menjelaskan peristiwa dan kejadian yang nantinya akan terjadi di akhir zaman seperti kemenangan kaum mukmin terhadap kaum non-mukmin. Ayat-ayat semacam ini, telah ditafsirkan oleh para mufasir-dengan mengacu pada riwayat dan poin-poin tafisiri-berkaitan dengan pemerintahan Imam Mahdi as di akhir zaman.
Al-hasil para mufasir mutaakhir menghitung dan mentahqiq jumlah ayat-ayat yang berkaitan dengan beliau as, jumlah sensaionalpun mereka dapatkan yaitu sekitar 350 ayat. Tahqiq ini dilakukan oleh Yayasan Intidhare Nur. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa metode mereka dalam pencarian tersebut adalah umum mencakup ayat-ayat yang secara gamblang menjelaskan permasalahan Mahdawiyah dan yang lain, atau ayat yang para mufasir dengan suatu hal dalam tafsiran ayat tersebut membawakan riwayat atau pembahasan Mahdawiyah.
Pada kesempatan ini, kita akan membawakan 10 ayat saja yang memiliki indikasi yang jelas terhadap permasalahan Mahdawiyah.
Ayat pertama
وَ لَقَدْ كَتَبْنا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الأَْرْضَ يَرِثُها عِبادِيَ الصَّالِحُونَ
Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya kami telah menuliskan di Zabur setelah Dzikr, bahwa dunia akan diwarisi oleh hamba-hamba yang saleh” (QS 21: Anbiya : 105).
Imam Muhammad Baqir as bersabda:”hamba-hamba tuhan yang akan menjadi pewaris bumi-yang tersebut dalam ayat-adalah para sahabat Mahdi as yang akan muncul di akhir zaman.”
Syekh Thabarsi setelah menukil riwayat ini mengatakan: sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Syi’ah dan Ahlusunnah menjelaskan dan menguatkan riwayat dari Imam baqir as di atas, hadis tersebut mengatakan ‘jika usia dunia sudah tidak tersisa lagi kecuali tinggal sehari, Allah SWT akan memanjangkan hari tersebut sehingga seorang saleh dari Ahlul-baitku bangkit, dia akan memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana dunia telah dipenuhi oleh kezaliman dan kelaliman”’. Imam Abu bakar Ahmad bin Husain Baihaqi dalam buku “al-Ba’tsu wa Nutsur” telah membawakan riwayat yang banyak tentang hal ini [3] .
Dalam kitab Tafsir Ali bin Ibrahim disebutkan: Kami telah menulis di Zabur setelah zikr … semua kitab-kitab yang berasal dari langit disebut dengan Zikr. Dan maksud dari bahwa dunia akan diwarisi oleh para hamba-hamba yang saleh adalah (Mahdi) Qaim as dan para pengikutnya [4] .
Ayat kedua
وَ نُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الأَْرْضِ وَ نَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَ نَجْعَلَهُمُ الْوارِثِينَ
“Kami menginginkan untuk menganugerahkan kepada mereka yang tertindas, dan akan Kami jadikan para pemimpin dan pewaris dunia.” (QS 28. al-Qashash: 5)
Ayat ini sesuai dengan beberapa ungkapan Imam Ali as di dalam Nahjul balagah serta sabda para imam yang lain berkaitan dengan Mahdawiyah, dan sesungguhnya kaum tertindas yang dimaksud adalah para pengikut konvoi kebenaran yang terzalimi yang akhirnya akan jatuh ke tangan mereka. Fenomena ini puncaknya akan terwujud di akhir zaman. Sebagaimana Syekh Shaduq dalam kitab Amali menukil sabda Imam Ali as yang berkata:”ayat ini berkaitan dengan kita”.
Ayat Ketiga
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَ يُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكافِرِينَ يُجاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَ لا يَخافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ
“Wahai orang-orang yang beriman barangsiapa dari kalian berpaling (murtad) dari agamanya maka Allah SWT akan memunculkan sekelompok kaum yang Dia cinta mereka dan mereka juga mencintaiNya,” (QS. Madinah: 54)
Dalam tafsir Ali bin Ibrahim disebutkan:”ayat ini turun berkaitan dengan Qaim dan para penguikutnya merekalah yang berjuang di jalan Allah SWT dan sama sekalim tidak takut akan apapun”.
Ayat Keempat
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأَْرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَ لَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضى لَهُمْ وَ لَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَ مَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذلِكَ فَأُولئِكَ هُمُ الْفاسِقُونَ
Allah SWT menjanjikan orang-orang yang beriman dari kalian dan yang beramal saleh, bahwa mereka akan dijadikan sebagai khalifah di atas muka bumi, sebagaimana Ia juga telah menjadikan para pemimpin sebelum mereka dan –Ia menjanjikan untuk menyebar dan menguatkan agama yang mereka ridhai, dan menggantikan rasa takut mereka menjadi keamanan. (QS. Nuur: 54)
Syekh Thabarsi mengatakan:”dari para Imam Ahlul bait diriwayatkan bahwa ayat ini berkaitan dengan Mahdi keluarga Muhammad saw. Syekh Abu Nadhr ‘Iyasyi meriwayatkan dari imam Ali Zainal Abidin as bahwa beliau membaca ayat tersebut setelah itu beliau bersabda:”sumpah demi Allah SWT mereka yang dimaksud adalah para pengikut kita, dan itu akan terealisasi berkat seseorang dari kita. Dia adalah Mahdi (pembimbing) umat ini. Dialah yang rasul saw bersabda tentangnya:”jika usia dunia sudah tidak tersisa lagi kecuali sehari lagi, Allah SWT akan memanjangkan hari tersebut sampai seseorang dari keluarga ku muncul dan memimpin dunia. Namanya seperti namaku (Muhammad), riwayat semacam ini juga dapat ditemukan melalui jalur yang lain seperti dari imam Muhammad Baqir as dan imam Ja’far Shadiq as”.
Aminul Islam Syekh Thabarsi mengakhiri ucapan dan penjelasannya tentan ayat ini dengan penjelasan berikut ini:”mengingat penyebarluasan agama ke seluruh penjuru dunia dan belum betul-betul global, maka pastilah janji ini akan terwujud dalam masa yang akan datang, di mana hal tersebut-globalitas agama- tidak dapat dielakan dan dipungkiri lagi”. Dan kita ketahui bahwa janji Allah tidak akan pernah hanya janji semata.
Ayat Kelima
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدى وَ دِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَ لَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
Dialah Zat yang yang telah mengutus rasulNya dengan hidayah dan agama yang benar untuk sehingga Ia menangkan agama tersebut terhadap agama-agama yang lain, kendati para musyrik tidak menginginkannya.
Dalam kitab tafsir Kasyful Asyrar, disebutkan:
Rasul dalam ayt tersebut adalah baginda nabi Muhammad saw, sedang hidayah yang dimaksud dari ayat tersebut adalah kitab suci al-Quran dan agama yang benar itu adalah agama Islam. Allah SWT akan memangkan agama (Islam)ini, atas agama-agama yang lain, artinya tiada agama atau pedoman di atas dunia, kecuali ajaran Islam telah mengalahkannya. Dan hal ini sampai sekarang belum terwujud. Kiamat tidak akan datang kecuali hal ini terwujud. Abu Said al-Khudri menukil, bahwa Rasul saw pad suatu kesempatan menyebutkan bala dan ujian yang akan datang kepada umat Islam, ujian itu begitu beratnya, sehingga beliau mengatakan bahwa setiap dari manusia tidak dapat menemukan tempat berlindung darinya. Ketika hal ini telah terjadi, Allah SWT akan memunculkan seseorang dari keluargaku yang nantinya dunia akan dipenuhi oleh keadilan. Seluruh penduduk langit dan bumi rela dan bangga dengannya. Di masanya hujan tidak akan bergelantungan di atas langit kecuali akan turun untuk menyirami bumi, dan tiada tumbuh-tumbuhan yang ada di dasar bumi kecuali bersemi dan tumbuh. Begitu indah dan makmurnya kehidupan di masa itu sehinga setiap orang berandai-andai jika sesepuh dan sanak keluaerganya yang telah meninggal dunia kembali lagi dan merasakan kehidupan yang sedang mereka rasakan.
Referensi
[1] Al-Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 51, hal. 63, bab ayat-ayat yang ditakwilkan dengan Imam Mahdi as.
[2] At-Thabarsi, Majma’ al-Bayân, jilid 7, hal. 152.
[3] Tafsir Majma’ul bayan, jild 7, hal 66-67.
[4] Tafsir Nur Tsaqalain, jild 3, hal 464.
Sayyidah Fathimah az Zahra; Biografi dan Kepribadiannya
Fatimah as adalah salah seorang puteri Rasulullah saw. Ia merupakan wanita yang paling mulia kedudukannya. Kemuliaannya diperoleh sejak menjelang kelahirannya, ketika kelahirannya dibidani oleh 4 wanita suci.
Ketika menjelang kelahirannya ibunda tercintanya Khadijah Al-Khubra as meminta tolong kepada wanita-wanita Qurays tetangganya. Tapi mereka menolaknya sambil mengatakan kepadanya bahwa ia telah mengkhianati mereka mendukung Muhammad. Saat itu ia bingung kepada siapa harus minta tolong untuk melahirkan puteri tercintanya. Saat kebingungan Khadijah as mengatakan: “Aku terkejut luar biasa ketika aku menyaksikan empat wanita yang berwajah cantik dilingkari cahaya, yang sebelumnya aku tidak aku kenal mereka. Mereka mendekatiku, Saat aku dalam keadaan yang cemas, salah seorang dari mereka menyapaku: Aku adalah Sarah ibunda Ishaq; dan yang tiga yang menyertaiku adalah
Maryam ibunda Isa, Asiah puteri Muzahim, dan Ummu Kaltsum saudara perempuan Musa. Kami semuanya diperintahkan oleh Allah untuk mengajarkan ilmu kebidanan kami jika anda bersedia. Sambil mengatakan hal itu, mereka duduk di sekitarku dan memberikan pelayanan sampai puteriku Fatimah as lahir.”
Fatimah as berbicara saat dalam Kandungan
Sejak masih dalam kandungan ibundanya, Fatimah as sering menghibur dan mengajak bicara ibunya. Rasulullah saw bersabda: “Jibril datang kepadaku dengan membawa buah apel dari surga, kemudian aku memakannya lalu aku berhubungan dengan Khadijah lalu ia mengandung Fatimah. Khadijah berkata: “Aku hamil dengan kandungan yang ringan. Ketika engkau keluar rumah janin dalam kandunganku mengajak bicara denganku. Ketika aku akan melahirkan janinku aku mengirim utusan pada perempuan-perempuan Quraisy untuk dapat membantu melahirkan janinku, tapi mereka tidak mau datang bahkan mereka berkata: Kami tidak akan datang untuk menolong isteri Muhammad. Maka ketika itulah datanglah empat perempuan yang berwajah cantik dan bercahaya, dan salah dari mereka berkata: Aku adalah ibumu Hawa’; yang satu lagi berkata: Aku adalah Asiyah binti Muzahim; yang lain berkata: Aku adalah Kaltsum saudara perempuan Musa; dan yang lain lagi berkata: Aku adalah Maryam binti Imran ibunda Isa. Kami datang untuk menolong urusanmu ini. Kemudian Khadijah berkata: Maka lahirlah Fatimah dalam kedaan sujud dan jari-jarinya terangkat seperti orang sedang berdoa.” (Dzakhâir Al-`Uqbâ, halaman 44)
Menjelang usia 5 tahun, Fatimah as ditinggal wafat oleh ibunda tercintanya. Sehingga ia harus menggantikan posisi ibunya, berkhidmat kepada ayahnya, membantu dan menolong Rasululah saw. Sehingga ia mendapat gelar Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). Tidak jarang Fatimah as menyaksikan ayahnya disakiti orang-orang kafir Quraisy. Ia menangis saat-saat menyaksikan ayahnya menghadapi ujian yang berat akibat prilaku orang-orang kafir Quraisy. Bahkan tangan Fatimah yang berusia kanak-kanak yang membersihkan kotoran di kepala ayahnya saat melempari Rasulullah saw dengan kotoran.
Fatimah as buah surga dan tidak pernah haid. Aisyah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Ketika aku diperjalankan ke langit, aku dimasukkan ke surga, lalu berhenti di sebuah pohon dari pohon-pohon surga, dan aku tidak melihat yang lebih indah dari pohon yang satu itu, daunnya paling putih, buahnya paling harum. Kemudian aku mendapatkan buahnya lalu aku makan. Buah itu menjadi nuthfah di sulbiku. Setelah aku sampai di bumi aku berhubungan dengan Khadijah kemudian ia mengandung Fatimah. Setelah itu setiap aku rindu bau surga aku mencium bau Fatimah.” (tafsir Ad-Durrul Mantsur tentang surat Al-Isra’: 1; Mustadrak Ash-Shahihayn 3: 156)
Fatimah as digelari Az-Zahra’
Abban bin Tughlab pernah bertanya kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq as: Mengapa Fathimah digelari Az-Zahra’? Ia menjawab: “Karena Fathimah as memacanrkan cahaya pada Ali bin Abi Thalib tiga kali di siang hari. Ketika ia melakukan shalat sunnah di pagi hari, dari wajahnya memancar cahaya putih sehingga cahayanya memancar dan menembus ke kamar banyak orang di Madinah dan dinding rumah mereka diliputi cahaya putih. Mereka heran atas kejadian itu, lalu mereka datang kepada Rasulullah saw dan menanyakan apa yang mereka saksikan. Kemudian Nabi saw menyuruh mereka datang ke rumah Fathimah. Lalu mereka mendatanginya, ketika sampai di rumahnya mereka melihat Fathimah sedang shalat di mihrabnya. Mereka melihat cahaya di mihrabnya, cahaya itu memancar dari wajahnya, sehingga mereka tahu bahwa cahaya yang mereka saksikan di rumah mereka adalah cahaya yang terpancar dari wajah Fathimah as.
Ketika Fathimah as melakukan shalat sunnah di tengah hari cahaya kuning memancar dari wajahnya, cahaya itu menembus ke kamar rumah orang banyak, sehingga pakaian dan tubuh mereka diliputi oleh cahaya berwarna kuning. Lalu mereka datang kepada Rasulullah saw dan bertanya tentang apa yang mereka saksikan. Nabi saw menyuruh mereka datang ke rumah Fathimah as, saat itu mereka melihat dia sedang berdiri dalam shalat sunnah di mihrabnya, cahaya kuning itu memancar dari wajahnya pada dirinya, ayahnya, suaminya dan anak-anaknya, sehingga mereka tahu bahwa cahaya yang mereka saksikan itu adalah berasal dari cahaya wajah Fathimah as.
Ketika Fathimah as melakukan shalat sunnah di punghujung siang saat mega merah matahari telah tenggelam wajah Fathimah memancarkan cahaya merah sebagai tanda bahagia dan rasa syukur kepada Allah Azza wa Jalla. Cahaya itu menembus ke kamar orang banyak sehingga dinding rumah mereka memerah. Mereka heran atas kejadian itu. Kemudian mereka datang lagi kepada Rasulullah saw menanyakan kejadian itu. Nabi saw menyuruh mereka datang ke rumah Fathimah as. Ketika sampai di rumah Fathimah mereka melihat ia sedang duduk bertasbih dan memuji Allah, mereka melihat cahaya merah memancar dari wajahnya. Sehingga mereka tahu bahwa bahwa cahaya yang mereka saksikan itu berasal dari cahaya wajah Fathimah as. Cahaya-cahaya itu selalu memancar di wajahnya, dan cahaya itu diteruskan oleh putera dan keturunannya yang suci hingga hari kiamat.” (Bihârul Anwar 43: 11, hadis ke 2)
Fatimah as digelari penghulu semua perempuan
Fatimah as mendapat gelar penghulu semua perempuan (sayyidatu nisâil `alamîn). Aisyah berkata: Fatimah as datang kepada Nabi saw dengan berjalan seperti jalannya Nabi saw. Kemudian Nabi saw mengucapkan: “Selamat datang duhai puteriku.” Kemudian beliau mempersilahkan duduk di sebelah kanan atau kirinya kemudian beliau berbisik kepadanya lalu Fatimah menangis. Kemudian Nabi saw bersabda kepadanya: “Mengapa kamu menangis?” Kemudian Nabi saw berbisik lagi kepadanya. Lalu ia tertawa dan berkata: Aku tidak pernah merasakan bahagia yang paling dekat dengan kesedihan seperti hari ini. Lalu aku (Aisyah) bertanya kepada Fatimah tentang apa yang dikatakan oleh Nabi saw. Fatimah menjawab: Aku tidak akan menceritakan rahasia Rasulullah saw sehingga beliau wafat. Aku bertanya lagi kepadanya, lalu ia berkata: (Nabi saw berbisik kepadaku): “Jibril berbisik kepadaku (Rasulullah saw), Al-Qur’an akan menampakkan padaku setiap setahun sekali, dan ia akan menampakkan padaku tahun ini dua kali, aku tidak melihatnya kecuali datangnya ajalku, dan engkau adalah orang pertama dari Ahlul baitku yang menyusulku.” Lalu Fatimah menangis. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Tidakkah kamu ridha menjadi penghulu semua perempuan ahli surga atau penghulu semua isteri orang-orang yang beriman?” Kemudian Fatimah tertawa. (Shahih Bukhari, kitab Awal penciptaan, bab tanda-tanda kenabian dalam Islam; Musnad Ahmad 6: 282, hadis ke 25874)
Fatimah as menyerupai Nabi saw
Aisyah Ummul mukminin berkata: Aku tidak pernah melihat seorangpun yang paling menyerupai Rasulullah saw dalam sikapnya, berdiri dan duduknya kecuali Fatimah puteri Rasulullah saw. Selanjutnya Aisyah berkata: Jika Fatimah datang kepada Nabi saw, beliau berdiri menyambut kedatangannya, dan mempersilahkan duduk di tempat duduknya. Demikian juga jika Nabi saw datang kepadanya ia berdiri menyambut kedatangan beliau dan mempersilahkan duduk di tempat duduknya…” (Shahih At-Tirmidzi 2: 319, bab keutamaan Fathimah; Shahih Bukhari, bab Qiyam Ar-Rajul liakhihi, hadis ke 947; Shahih Muslim, kitab Fadhil Ash-Shahabah, bab Fadhail Fathimah)
Marah Fatimah as Marah Rasulullah saw
Rasulullah saw bersabda: “Fatimah adalah bagian dari diriku, barangsiapa yang membuatnya marah ia telah membuatku marah.” (Shahih Bukhari, kitab awal penciptaan, bab manaqib keluarga dekat Rasulullah saw; Kanzul Ummal 6: 220, hadis ke 34222)
Sakit Fatimah as Sakit Rasulullah saw
Rasulullah saw bersabda: “Fatimah adalah bagian dari diriku, menggoncangkan aku apa saja yang menggoncangkan dia, dan menyakitiku apa saja yang menyakitinya.” (Shahih Bukhari, kitab Nikah; Shahih Muslim, kitab Fadhil Ash-Shahabah, bab Fadhail Fathimah; Musnad Ahmad bin Hanbal 4: 328, hadis ke 18447)
Sebagian Karamah Fatimah Az-Zahra’ as
Jabir Al-Anshari, salah seorang sahabat Nabi saw berkisah bahwa beberapa hari Rasulullah saw tidak makan sedikit pun makanan sehingga diriku lemas, kemudian beliau mendatangi isteri-isteriku untuk mendapatkan sesuap makanan, tapi tidak mendapatkannya di rumah mereka. Lalu beliau mendatangi Fatimah as dan berkata: “Wahai puteriku, apakah kamu punya makanan untuk aku? aku lapar. Fatimah as berkata: Demi Allah, demi ayahku dan ibuku, aku tidak punya makanan.
Ketika Rasulullah saw keluar dari rumah Fatimah as, ada seorang perempuan mengirimkan dua potong roti dan sepotong daging, lalu Fatimah as mengambilnya dan meletakkannya dalam mangkok yang besar dan menutupinya. Fatimah as berkata: Sungguh makanan ini aku akan utamakan untuk Rasulullah saw daripada diriku dan keluargaku. Padahal mereka juga membutuhkan sesuap makanan.
Fatimah as berkata: Lalu aku mengutus Al-Hasan dan Al-Husein kepada kakeknya Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw datang padaku. Aku berkata: Ya Rasulallah, demi ayahku dan ibuku, Allah telah mengkaruniakan kepada kami sesuatu, lalu aku menyimpannya untuk kupersembahkan kepadamu.
Fatimah as berkata: Ada seseorang mengantarkan makanan padaku, lalu aku meletakkannya dalam mangkok besar dan aku menutupinya. Saat itu juga dalam mangkok itu penuh dengan roti dan daging. Ketika aku melihatnya aku takjub. Aku tahu bahwa itu adalah keberkahan dari Allah swt, lalu aku memuji Allah swt dan bershalawat kepada Nabi-Nya.
Rasulullah saw bertanya: “Dari mana makanan ini wahai puteriku?” Fatimah menjawab: Makanan ini datang dari sisi Allah, sesungguhnya Allah mengkaruniakan rizki kepada orang yang dikehendaki-Nya dari arah yang tak terduga. Kemudian Rasulullah saw mengutus seseorang kepada Ali as lalu ia datang. Rasulullah saw, Ali, Fatimah, Al-Hasan, Al-Husein as dan semua isteri Nabi saw makan makanan itu sehingga mereka merasa kenyang, dan makanan itu tetap penuh dalam mangkok itu.
Fatimah as berkata: Lalu aku juga mengantarkan makanan itu pada semua tetanggaku, Allah menjadikan dalam makanan itu keberkahan dan kebaikan yang panjang waktunya. Padahal awalnya makanan dalam mangkok itu hanya dua potong roti dan sepotong daging, selebihnya adalah keberkahan dari Allah swt.
Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda kepada Fatimah dan Ali as: “Segala puji bagi Allah yang tidak mengeluarkan kalian berdua dari dunia sehingga Allah menjadikan bagimu (Ali) apa yang telah terjadi pada Zakariya, dan menjadikan bagimu wahai Fatimah apa yang telah terjadi pada Maryam. Inilah yang dimaksudkan juga dalam firman Allah swt: “Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrabnya, ia dapati makanan di sisinya.” (Ali-Imran: 37).
Kisah dan riwayat ini terdapat di dalam:
1.Tafsir Al-Kasysyaf, Az-Zamakhsyari, tentang tafsir surat Ali-Imran: 37.
2.Tafsir Ad-Durrul Mantsur, tentang ayat ini.
Ini adalah hanya sebagian dari pribadi Fatimah Az-Zahra as yang bisa kami ungkapkan. Masih banyak lagi tentang keutamaan dan karamahnya tak mungkin diungkapkan dalam tulisan yang sangat singkat ini, karena akan membutuhkan buku yang sangat tebal jika hendak diungkapkan secara lebih detail.
Sayyidah Fatimah as dalam Ucapan Ulama-ulama Ahlus Sunnah
Tidak ada yang dapat memungkiri mengenai keagungan, keutamaan dan kemuliaan Sayyidah Fatimah as. Ali Syariati mengatakan, "Saya tidak dapat mengungkapkan apapun mengenai Fatimah, kecuali satu hal, Fatimah adalah Fatimah." Dalam kitab-kitab klasik Syiah maupun kontemporer kita menemukan bejibun pernyataan, syair, puisi yang mencoba memuji keutamaan Sayyidah Fatimah as, namun kesemuanya itu tidak mampu mewakili keutuhan pribadi Sayyidah Fatimah as. Nabi Muhammad Saw berkenaan dengan putri tercintanya pernah bersabda, "Jika semua kebaikan dikumpulkan dan diletakkan disebuah tempat, maka az Zahra masih jauh lebih baik dari semua kebaikan tersebut." Yang bisa kita ketahui dari apa yang dimaksudkan Nabi Saw tersebut, penjelasan dan gambaran apapun yang dikemukakan tidak bisa mewakili kemuliaan dan keagungan hadhrat Fatimah az Zahra as.
Literarur Ahlus Sunnahpun tidak luput dari menceritakan sebagian dari keutamaan Sayyidah Fatimah az Zahra as tersebut. Jalaluddin Suyuti dalam kitab الثغور الباسمه فی فضائل السیده فاطمه (kitab yang ditulis khusus berkenaan dengan Sayyidah Fatimah as mengenai fadilah-fadilah beliau baik sebelum hijrah maupun setelah hijrah, serta kumpulan hadits-hadits yang diriwayatkan Sayyidah Fatimah maupun nukilan ucapan-ucapan beliau) menulis: "Kami berkeyakinan, sebaik-baik perempuan seluruh alam adalah Bunda Maryam dan Sayyidah Fatimah." Syaikh Mahmud Afandi Alusi yang lebih dikenal dengan nama Syaikh Al Alusi dalam kitab tafsirnya Ruh al Ma'ani pada jilid 3 hal. 138 menulis, "Fatimah lebih utama atas semua perempuan baik yang terdahulu maupun yang akan datang. Adalah sabda Rasulullah Saw yang menunjukkan keutamaan Fatimah atas semua perempuan adalah sesuatu yang pasti (tidak ada keraguan didalamnya), karena beliau adalah ruh dan jiwa Rasulullah, bahkan lebih utama dari Aisyah sekalipun."
Syaikh Fakhr al Din al Razi dalam magnum opusnya 'Tafsir al Kabir' menjelaskan mengenai makna al Kautsar (anugerah yang melimpah) dalam surah al Kautsar. Beliau menulis, "Surah al Kautsar turun untuk membantah mereka yang berpandangan bahwa Nabi Muhammad Saw tidak akan memiliki keturunan. Oleh karena itu surah tersebut berkenaan mengenai karunia yang Allah SWT berikan kepada Nabi Muhammad Saw berupa keturunan yang akan terjaga sepanjang zaman. Perhatikan, betapa banyak dari keluarganya yang terbunuh, namun orang-orang berilmu dari kalangan keturunan Rasulullah Saw sangat banyak dan melimpah. Dan tak seorangpun dari keluarga Bani Umayyah yang mampu menyaingi salah satupun dari keluarga Nabi. Dan perhatikan pula, dari keturunan Nabi lahir ulama-ulama besar seperti al Baqir, as Shadiq, al Kadzim dan ar Ridha serta Nafs Zakiah (nama aslinya Muhammad bin Abdullah bin al Hasan, salah seorang keturunan imam al Hasan as yang pada tahun 145 H syahid di masa pemerintahan al Manshur)." (Tafsir al Kabir, jilid 32, hal. 124). Jadi dalam kitab tafsirnya tersebut, ulama mufassir Sunni ini menyebutkan, bahwa anugerah melimpah dari Allah SWT untuk nabi Muhammad Saw yang dimaksud adalah keturunan yang dimulai dari Sayyidah Fatimah az Zahrah yang lahir dari beliau ulama-ulama dan pejuang-pejuang Islam yang menegakkan dan menjaga agama dari berbagai anasir yang hendak merusak dan menodainya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh An Naisabury dalam Kitab Gharaib Al Qur’an Wa Raghaib Al Furqan jilid 8, hal. 576.
Salam atasmu duhai putri sebaik baiknya makhluk, salam atasmu wahai putri nabi, salam atasmu wahai istri al-washi, salam bagimu duhai ibu al-Hasan dan al-Husain, salam atasmu wahai wanita suci yang dizhalimi dan diambil haknya, salam bagi ruh dan jasadmu yang suci nan semerbak dari lisan yang penuh dengan dosa ini…
Salam bagimu.....
Imam Ali as Teladan Untuk Semua
Subuh tanggal 19 Ramadhan hati Imam Ali as bergetar petanda akan terjadi sebuah peristiwa besar. Berkali-kali beliau keluar dari kamarnya dan menatap langit sembari menitikkan air mata. Kepada dirinya Imam Ali berkata, "Malam ini adalah malam yang telah dijanjikan." Beliau kemudian mengingat ucapan Rasulullah yang disampaikan kepadanya di bulan Ramadhan. Rasul berkata, "Akan terjadi peristiwa getir yang menimpamu di bulan ini. Aku melihatmu tengah melaksanakan shalat ketika seorang paling celaka di muka bumi menghantam kepalamu dengan pedang sehingga jenggotmu bersimbah darah yang bercucuran dari kepalamu." (‘Uyun Akhbar ar-Ridha, jilid 1, hal 297) Subuh hari itu tengkuk kepala Imam Ali terbelah setelah disabet pedang yang telah dilumuri racun milik Abdurrahman bin Muljam di mihrab masjid Kufah. Darah membasahi seluruh wajah Imam Ali as, namun terdengar dari lisannya beliau berkata, "Demi Allah pemilik Ka'bah! Aku Beruntung." Tiga hari kemudian pada Subuh tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijrah, Imam Ali as meninggalkan dunia yang fana menemui penciptanya. Sejak waktu itu anak-anak yatim menjadi sedih, tidak mendengarkan langkah-langkah Imam Ali as menuju mereka. Anak-anak yatim harus meyakinkan dirinya bahwa tidak ada orang lagi yang dapat diajak bermain. Karena selama ini mereka dengan gembira bermain menaiki punggung Imam Ali as. Sementara orang-orang miskin baru mengetahui bahwa orang asing yang setiap malam membawakan roti dan korma kepada mereka telah tiada. Kebun kurma yang biasanya didatangi Imam Ali di malam-malam untuk bermunajat sudah tidak dapat mendengar lagi lirihnya munajat beliau. Semua merasa kehilangan. Pengaruh wujud sebagian tokoh besar terkadang berlanjut hingga beberapa waktu. Tapi sangat jarang ada tokoh dalam sejarah yang berpengaruh untuk segala masa. Berlalunya waktu tidak dapat menghilangkan mereka dari ingatan. Salah satunya adalah Imam Ali as. Beliau untuk semua. GibranKhalil Gibran, penulis Lebanon yang meskipun memeluk Kristen, tapi ia begitu terpikat dengan pribadi Imam Ali as. Sekaitan dengan Imam Ali as, ia menulis, "Saya tidak habis pikir bagaimana ada orang yang mendahului masanya. Menurut keyakinan saya, Ali bin Abi Thalib bukan hanya untuk masanya. Ia pribadi yang senantiasa berada di sisi jiwa yang menguasai wujud." Potensi wujud dan fitrahnya yang sudi membuat Imam Ali as istimewa di setiap dimensi kemanusiaannya. Beliau berada di atas semua masa dan generasi. Ali bin Abu Thalib dibesarkan oleh pribadi besar seperti Rasulullah Saw yang membuatnya sampai pada keadilan dan ketakwaan yang tinggi. Allamah Syahid Murtadha Muthahhari dalam bukunya "Daya Tolak dan Tarik Imam Ali as" menulis: "Imam Ali as benar-benar wujud yang adil dan seimbang. Ia mampu mengumpulkan seluruh kesempurnaan manusia. Ia memiliki pemikiran yang dalam dan afeksi yang lembut. Di siang hari mata manusia menyaksikan pengorbanan yang dilakukannya dan telinga mereka mendengarkan nasihat-nasihat penuh hikmahnya. Sementara di malam hari bintang-bintang menyaksikan air matanya yang menetes saat beribadah dan langit mendengarkan munajat penuh cintanya. Imam Ali as adalah seorang bijak dan arif. Ia pemimpin sosial, sekaligus tentara, buruh, orator dan penulis. Pada intinya, Imam Ali as adalah seorang manusia sempurna dengan segala keindahannya." Apa sebenarnya yang menyebabkan pribadi Imam Ali as masih menarik perhatian hati manusia setelah berlalu berabad-abad dan akal senantiasa memujinya? Rahasia keabadian Imam Ali as terletak pada hubungannya yang terus menerus dengan Allah. Hubungan ini yang membuatnya melewati ruang dan waktu. Setiap hati manusia pasti mencintainya. Karena beliau punya hubungan sangat dalam dengan kebenaran. Dari sini, setiap fitrah yang masih suci dan sehat serta punya kecenderungan meraih hakikat, sudah barang tentu akan memuji Imam Ali as dan mencintainya. Imam Ali as adalah contoh nyata orang yang berjalan di jalan yang lurus. Orang-orang jujur dalam berbuat dan berkata. Ketika berada di puncak kekuasaan, maka akan dimanfaatkan sebagai alat untuk menghidupkan kebenaran. Kekuasaan yang dimiliki menjadi sarana bagi pertumbuhan keutamaan manusia dan menciptakan keadilan. Terkadang kita menyaksikan beliau menghadapi orang-orang yang begitu mencintai dunia, tapi terkadang beliau harus menghadapi orang-orang munafik dan di lain waktu harus memerangi orang-orang yang ingin menipu masyarakat dengan simbol-simbol agama. Imam Ali as memerintah dengan gaya yang sangat merakyat dan keadilan merupakan ciri khasnya. Tidak ada yang dapat mempengaruhinya dalam menegakkan keadilan, sekalipun itu keluarganya sendiri. Gaya hidup Imam Ali as dalam kehidupan sehari-hari bersumber dari cara pandangnya terhadap dunia dan bagaimana menghadapinya. Dunia dan alam diciptakan oleh Allah dengan sangat indah. Langit, bumi, laut, gunung, awan dan angin semua merupakan tanda-tanda kebesaran Allah Swt. Imam Ali as juga mencintai dunia dan alam sebagai tanda-tanda kebesaran Allah. Dalam sejarah disebutkan bagaimana Imam Ali as begitu mencintai mata air, kebun dan sawah. Beliau memanggul pohon korma untuk di tanam di kebun. Beliau menggali sumur seorang diri guna mengairi korma-korma itu. Itulah mengapa dalam satu ucapannya Imam Ali as mencela orang yang mencaci dunia. Imam Ali as berkata: "Dunia tempat kejujuran bagi orang-orang yang jujur, tempat yang sehat bagi mereka yang mengenal dunia rumah sehat dan dunia tempat yang tidak dibutuhkan bagi mereka yang telah memiliki bekal... Dunia adalah tempat penyembahan kepada Allah bagi mereka yang mencintai-Nya dan tempat shalat para malaikat... Dunia adalah pasar untuk mencari untung bagi para pecinta Allah dan di dunia mereka meraih rahmat Allah serta memiliki surga yang kekal." (Nahjul Balaghah, hikmah 131) Dengan dasar ini, Imam Ali as memandang dunia sebagai pengantar bagi akhirat agar jangan sampai kita telah bersusah payah di dunia, tapi ternyata tidak mendapatkan apa-apa di akhirat. Dunia adalah tempat ujian dan sarana untuk meluncur meraih puncak kesempurnaan. Dunia merupakan pasar dimana orang-orang beriman memanfaatkan segala kemampuan materi dan spiritualnya untuk mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi. Mereka melayani, memperluas keadilan dan melindungi kehormatan manusia demi menciptakan masyarakat yang bahagia. Dunia menurut Imam Ali as akan bernilai dan mulia selama tetap pada fungsinya sebagai alat untuk melayani masyarakat, menciptakan keadilan dan memperkuat fondasi perdamaian. Cara pandang terhadap dunia yang diajarkan Imam Ali as membuat beliau sendiri menjadi seorang pejuang gigih dalam melawan kezaliman dan ketidakadilan. Beliau melawan setiap bentuk penindasan demi mengembalikan hak-hak orang tertindas. Tapi pada saat yang sama, cara pandang beliau terhadap dunia membuatnya berpanas-panas untuk menanam korma dan hasilnya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan orang-orang miskin. Tapi bila dunia dijadikan tujuan dan berhadap-hadapan dengan akhirat, maka ini akan menjadi penghalang besar bagi manusia untuk meraih kesempurnaan. Bila di dunia ini tujuan mulia manusia ditumpas dan manusia ditawan dan bila ajaran langit, perasaan manusia dan moral terbakar dalam api kekuasaan dan kekayaan, maka pada waktu itu dunia menjadi tercela. Imam Ali as berperang dengan dunia yang dipandang dengan cara seperti ini. Dunia seperti inilah yang dilukiskan begitu hina dan buruk oleh Imam Ali as. Terkadang beliau menyamakan dunia dengan ular yang tampaknya indah, tapi sangat berbisa. Di lain kesempatan beliau mengatakan dunia di mataku lebih hina dari tulang babi yang berada di tangan seorang yang berpenyakit kusta atau daun yang tak bernilai di mulut belalang. Di sini Imam Ali as memulai perjuangannya melawan dunia. Imam mengingatkan dunia dapat menjadi tempat manusia tergelincir dan tertinggal dari jalan Allah menuju kesempurnaan. Oleh karena itu orang-orang yang beriman harus melihat dunia sebagai tempat penyeberangan menuju akhirat.
Imam Hasan as, Suluh Penerang Umat
Imam Hasan as adalah cucu pertama Rasulullah Saw dari Ali bin Abi Thalib as dan Sayidah Fathimah as. Beliau lahir pada pertengahan bulan Ramadhan tahun ke-3 Hijriah di kota Madinah. Ketika Rasul Saw diberi kabar tentang kelahiran cucu pertamanya itu, wajah beliau berseri-seri dan hatinya dipenuhi rasa gembira. Beliau bergegas menuju rumah Sayidah Fathimah as untuk melihat langsung cucunya itu. Sayidah Fathimah as langsung menyerahkan Imam Hasan as yang masih bayi kepada Rasulullah Saw. Setelah menggendongnya, Rasul Saw kemudian membacakan azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri Imam Hasan as. Ketika itu, malaikat Jibril as turun dan menyampaikan perintah Allah Swt kepada beliau agar menamakan cucu pertamanya dengan Hasan, yang berarti baik dan terpuji.
Imam Hasan as senantiasa mendampingi Rasulullah Saw. Terkadang ia duduk di pangkuan Nabi, terkadang pula beliau memikul cucu kesayangannya itu di pundaknya. Setiap kali wahyu turun, ia pun mendengar langsung dari bibir Rasulullah Saw dan menukilkannya untuk sang ibu, Sayidah Fathimah as. Semasa hidupnya, Nabi Saw menunjukkan kecintaan beliau yang sangat besar kepada anak-anak Fathimah. Suatu kali, Fathimah as datang ke rumah Nabi dengan membawa dua putranya Hasan dan Husein. Kepada ayahnya, Fathimah as berkata, "Ayah, ini adalah dua putramu. Berilah mereka sesuatu yang akan selalu menjadi pengingatmu." Kemudian Nabi Saw bersabda, "Hasan akan mewarisi kewibawaan dan keberanianku, sedangkan Husein akan memperoleh kedermawanan dan keberanianku."
Sejatinya, keistimewaan terbesar yang dimiliki Imam Hasan as adalah kepribadian beliau yang begitu mirip dengan Rasulullah Saw. Meski ia adalah cucu Nabi Saw, namun beliau selalu menyebut Imam Hasan as sebagai putranya. Seluruh ulama dan sejarawan Muslim juga meyakini hal itu. Imam Hasan as hanya beberapa tahun saja hidup sezaman dengan Rasulullah Saw. Ketika ia beranjak usia tujuh tahun, datuk tercintanya, Nabi Muhammad Saw pergi memenuhi panggilan Ilahi. Setelah kepergian Rasul, ia mendampingi ayahnya, Imam Ali as selama 30 tahun. Setelah syahidnya sang ayah, Imam Hasan as memegang tampuk kepemimpinan umat selama 10 tahun.
Selama masa hidupnya, Imam Hasan as selalu dikenal sebagai pribadi yang dermawan, penenang setiap kalbu yang didera kesusahan, dan pengayom kaum fakir-miskin. Tak ada seorang miskin pun yang datang mengadu kepadanya lantas kembali dengan tangan hampa. Terkadang, jauh sebelum si miskin mengadukan kesulitan hidupnya, Imam telah terlebih dahulu membantu mengatasinya dan tak membiarkannya harus merasa hina lantaran meminta bantuan. Imam Hasan as berkata, "Memberi sebelum diminta adalah kebesaran jiwa yang teragung." Imam Hasan as adalah pribadi yang sangat agung, penyabar, sangat berwibawa dan teguh pendirian. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang sangat pemberani. Ketinggian ilmu dan hikmah beliau membuat kagum siapapun serta sangat bijak dalam memutuskan suatu perkara.
Sepanjang hidupnya, Imam Hasan as senantiasa berkiprah untuk membimbing dan mencerahkan masyarakat. Metode pendekatan beliau dengan seluruh warga – bahkan dengan musuh – sangat indah dan menyita perhatian semua orang. Dikisahkan bahwa suatu hari, Imam Hasan as berjalan di tengah keramaian masyarakat. Tiba-tiba di tengah jalan beliau bertemu dengan orang tak dikenal yang berasal dari Syam. Pendatang itu ternyata seorang yang sangat membenci Ahlul Bait Nabi as. Mulailah ia mencaci maki Imam Hasan. Beliau tertunduk diam tidak menjawab sepatah kata pun terhadap cacian itu, hingga orang tersebut menuntaskan hinaannya.
Setelah itu, Imam Hasan as membalasnya dengan senyuman, lantas mengucapkan salam kepadanya sembari berkata, "Wahai kakek, aku kira engkau seorang yang asing. Bila engkau meminta pada kami, kami akan memberimu. Bila engkau meminta petunjuk, aku akan tunjukkan. Bila engkau lapar, aku akan mengenyangkanmu. Bila engkau tidak memiliki pakaian, aku akan berikan pakaian. Bila engkau butuh kekayaan, aku akan berikan harta. Bila engkau orang yang terusir, aku akan mengembalikanmu. Dan bila engkau memiliki hajat yang lain, aku akan penuhi kebutuhanmu."
Mendengar jawaban seperti itu, kakek tersebut terperanjat dan terkejut, betapa selama ini ia keliru menilai keluarga Nabi Saw. Sejak saat itu, dia sadar bahwa Muawiyah telah menipu dirinya dan masyarakat lain. Bahkan Muawiyah telah menyebarkan isu dan fitnah tentang ihwal Ali bin Abi Thalib as dan keluarganya. Terkesima oleh jawaban Imam as, kakek itu pun menangis dan berkata, "Aku bersaksi bahwa engkau adalah khalifah Allah Swt di muka bumi ini, dan sesungguhnya Allah Maha Tahu kepada siapa risalah-Nya ini hendak diberikan. Sungguh sebelum ini engkau dan ayahmu adalah orang-orang yang paling aku benci dari sekalian makhluk Tuhan. Tapi, sekarang engkau adalah orang yang paling aku cintai dari segenap makhluk-Nya." Lelaki tua itu akhirnya diajak oleh Imam Hasan as ke rumahnya dan beliau menjamunya sebagai tamu kehormatan hingga ia pamit untuk pulang.
Sebuah kisah populer juga menyebutkan bahwa suatu hari, Imam Hasan as dan Imam Husein as berjalan menuju masjid. Tiba-tiba mereka menyaksikan seorang kakek yang sedang berwudhu. Namun, tata cara wudhunya tidak benar. Imam Hasan as berpikir sejenak, bagaimana cara menunjukkan wudhu yang benar kepada kakek tersebut tanpa harus menyinggung perasaannya. Kemudian, keduanya mendatangi kakek tersebut seolah-olah mereka sedang bertengkar tentang wudhu siapakah yang benar. Masing-masing berujar, "Wudhumu tidak benar! Kemudian keduanya berkata pada kakek tersebut, "Wahai kakek, berilah keputusan yang bijak untuk kami berdua, mana di antara kami yang wudhunya benar." Kemudian, mulailah keduanya berwudhu. Lantas kakek itu mengatakan, "Wudhu kalian semua sudah benar." Kemudian kakek itu menunjuk kepada dirinya sendiri dan berkata, "Hanya kakek yang bodoh inilah yang tidak benar wudhunya, dan kini telah belajar dari kalian berdua."
Dalam perspektif Islam, golongan kaya memikul tanggung jawab yang berat terhadap kaum fakir dan miskin. Mereka dituntut untuk selalu berusaha memenuhi kebutuhan orang-orang tak mampu di tengah masyarakat. Para nabi dan kekasih Allah Swt tidak hanya memberikan petuah untuk bersikap dermawan, tapi mereka juga mempraktekkan dalam kehidupannya dan menjadi contoh yang patut diteladani. Imam Hasan as dikenal sebagai Karim Ahlul Bait, yang berarti pemilik sifat dermawan, mulia, dan utama. Kata Karim dalam berbagai ayat dan riwayat adalah sekumpulan keutamaan dan sifat terpuji dan menjadi pembeda seseorang dengan yang lain.
Sejarah menyebutkan bahwa Imam Hasan as pernah dua kali menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah Swt dengan membantu orang-orang yang membutuhkan. Beliau juga tiga kali mendermakan setengah dari hartanya, separuh untuk dirinya dan setengah lainnya diinfakkan di jalan Allah. Keteladanan inilah yang menyebabkan Imam Hasan dikenal sebagai Karim Ahlul Bait. Beliau dengan keluhuran akhlaknya memberikan ketentraman di hati orang yang membutuhkan dan melindungi kaum lemah. Setiap fakir yang datang ke rumahnya pasti pulang dengan membawa sesuatu dari pemberian Imam Hasan as. Bahkan sering kali sebelum seorang fakir membuka mulut untuk meminta pertolongan darinya, Imam Hasan as langsung membantunya.
Sumber-sumber sejarah menyebutkan, ketika Imam Ali gugur syahid, Imam Hasan as berpidato di Masjid Kufah dan mengingatkan kedudukan mulia Ahlul Bait Nabi as serta pengorbanan mereka demi kejayaan Islam. Setelah menyampaikan khutbahnya, akhirnya beliau dibaiat oleh umat Islam pada 21 Ramadhan 40 Hijriah sebagai Imam dan Khalifah umat Islam. Selanjutnya baiat kepada Imam Hasan as mulai menyebar dari Kufah ke kota-kota lainnya seperti, Basrah dan seluruh wilayah Irak, Hijaz dan Yaman.
Akhirnya Imam Hasan as resmi menggantikan kedudukan Imam Ali sebagai khalifah umat Islam, namun akibat krisis yang dikobarkan oleh Dinasti Umawiyah, pemerintahan Imam Hasan tidak bertahan lama. Setelah baiat terhadap Imam Hasan diambil dari seluruh wilayah Islam, Muawiyah bin Abi Sufyan bangkit menentang beliau. Imam Hasan setelah memberikan nasehat kepada Muawiyah dan sikap keras kepala anak Abu Sufyan ini maka beliau terpaksa memerangi penguasa Syam ini. Setelah kembali ke kota Madinah, Imam Hasan sekitar delapan tahun mengabdikan dirinya di bidang budaya dan sosial. Karena umat Islam sangat memerlukan revolusi budaya. Pada tahun 50 Hijriah atas skenario busuk Muawiyah, Imam Hasan as diracun dan beliau gugur syahid pada usia 48 tahun.
Mengenal Sejarah dan Kitab-kitab Hadits Syiah
Al Husain bin Muhammad meriyatkan dari Ahmad bin Ishaq dari Sa'dan bin Muslim dari Muawiyah bin Umar yang berkata,"Saya bertanya kepada Imam Shadiq as mana yang lebih utama, seseorang yang mendengarkan perkataan anda dan menyampaikan kepada manusia atau ahli ibadah yang tidak melakukan itu?. Imam Shadiq as menjawab, "Seseorang yang menyampaikan perkataan kami sehingga membekas di dalam hati umat Syiah jauh lebih utama dari seribu ahli ibadah." (Al Kafi, jilid 1, hal. 33)
Abu Muhammad Ismail
Pendahuluan
Sunnah -yang di sisi muslim Syiah bermakna perkataan, perbuatan dan penetapan Maksumin as- adalah sumber rujukan kedua untuk mengenal dan mempelajari agama Islam setelah al-Qur'an.
Sunnah (sering juga disebut hadits) perannya sebagai penjelas dan pendamping al-Qur'an, sehingga menjadi sumber rujukan para fukaha dan ulama untuk menetapkan ahkam syar'i dan masalah-masalah fikih.
Nabi Saw dan para Aimmah as sangat menekankan dan menganjurkan kepada kaum muslimin untuk mempelajari dan menghafal hadits-hadits yang dengan itu sunnah dapat terjaga dan tersampaikan kepada setiap generasi.
Berikut diantara hadits-hadits Maksumin as yang menekankan kepada kaum muslimin untuk mempelajari sunnah.
Mempelajari Hadits:
Jabir meriwayatkan dari Imam Ja'far Shadiq as yang bersabda, "Wahai Jabir, demi Allah satu hadits yang engkau pelajari dari seseorang yang terpercaya mengenai halal dan haram adalah lebih besar nilainya dari tempat dimana matahari terbit dan terbenam." (Bihar al Anwar, jilid 2, hal. 146).
Menghafal Hadits:
Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa dari ummatku yang menghafal 40 hadits yang bermanfaat baginya dalam urusan agama, Allah Azza wa Jalla akan membangkitkannya pada hari kiamat sebagai faqih dan alim." (Bihar al Anwar, jilid 2, hal. 153).
Menyampaikan Hadits:
Al Husain bin Muhammad meriyatkan dari Ahmad bin Ishaq dari Sa'dan bin Muslim dari Muawiyah bin Umar yang berkata,"Saya bertanya kepada Imam Shadiq as mana yang lebih utama, seseorang yang mendengarkan perkataan anda dan menyampaikan kepada manusia atau ahli ibadah yang tidak melakukan itu?. Imam Shadiq as menjawab, "Seseorang yang menyampaikan perkataan kami sehingga membekas di dalam hati umat Syiah jauh lebih utama dari seribu ahli ibadah." (Al Kafi, jilid 1, hal. 33)
Membahas Hadits:
Rasulullah Saw bersabda, "Saling mengunjungilah, dan bahaslah hadits bersama-sama, sebab hadits itu membersihkan hati. Hati seperti pedang yang bisa berkarat, dan batu asahnya adalah hadits." (Al Kafi, jilid 1, hal. 41)
Seiring dengan terpisahnya jarak dengan para Maksumin as, maka untuk mengenal keshahihan dan kebenaran sebuah hadits, maka lahirlah ilmu hadits. Ilmu hadits adalah ilmu yang mempelajari mengenai keadaan hadits dan para perawi dari segi diterima tidaknya. Mengajarkan tentang solusi permasalahan yang didapatkan dalam memahami sebuah hadits dan cara menetapkan validitas hadits. Namun karena banyaknya cabang-cabang ilmu yang harus dipelajari dalam ilmu hadits maka ilmu hadits sering disebut juga Ulumul Hadits.
Sebagaimana yang ditulis Muhammad 'Ajjaj al Khatib dalam kitabnya 'Ulum al Hadits'1, ilmu-ilmu hadits memiliki enam cabang diantaranya:
1. Ilmu al jarhu wa ta'dil: ilmu yang mempelajari adanya pernyataan mengenai cacat/cela atau 'adalah/keadilan pada perawi.
2. Ilmu rijal al hadits: ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits.
3. Ilmu mukhtaliful hadits wa musyakilihi: ilmu yang membahas hadits-hadits yang tampak bertentangan kemudian menghilangkan pertentangannya atau mengkompromikannya serta membahas hadits-hadits yang sulit dipahami lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.
4. Ilmu 'ilalil hadits: lmu yang membahas tentang penyakit-penyakit yang tidak nampak dalam suatu hadits, yang dapat menjatuhkan kualitas hadits tersebut.
5. Ilmu gharibil hadits: ilmu yang membahas tentang kalimat-kalimat yang sukar dalam hadits.
6. Ilmu nasikh al hadits wa mansukh: ilmu yang membahas hadits-hadits dari sisi mansukh (dihapus) dan hadits yang terakhir sebagai nasikh (yang menghapus).
Namun ulama-ulama lainnya mengenai cabang-cabang ulum al hadits memiliki pendapat yang sangat beragam. Jalaluddin Suyuti misalnya dalam Tadrib ar Rawi2 menyebutkan Hazami mengenal lebih dari seratus cabang ulum al hadits dan Ibn Shalah membaginya menjadi 65 cabang. Sementara Ibn Khaldun dalam kitab Tarikhnya3 menyebutkan 6 cabang ulum al hadits terdiri dari: Ilmu nasikh dan mansukh, ilmu ar rijal, ilmu istilah hadits, Ilmu matan hadits, ilmu syarat-syarat naql dan ilmu fiqhul hadits. Sedangkan Hafizh Naisyaburi dalam kitab Ma'rifat ulum al hadits4 menyebutkan 52 cabang ilmu hadits.
Dari berbagai pembagian yang beragam tersebut, ulum al hadits dapat dibagi dalam empat kelompok besar:
1. Ilmu tarikh hadits dan pengenalan terhadap matan hadits.
2. Ilmu musthalah al hadits.
3. Ilmu penilaian sanad dan rijal hadits.
4. Ilmu dirayah dan fiqh al hadits.
Kesemua pembagian cabang ulum al hadits terangkum dalam ke empat kelompok besar ini. Dalam tulisan ini, kita akan membahas kelompok yang pertama, mengenai tarikh (sejarah) hadits dan pengenalan terhadap kitab-kitab hadits khususnya yang masyhur dikalangan Syiah.
[bersambung]
Foot note:
1. Muhammad 'Ajjaj al Khatib, Ulum al Hadits, hal. 107
2. Jalaluddin Suyuti, Tadrib ar Rawi, hal. 3 dan 14.
3. Tarikh Ibnu Khaldun, hal. 796, 797.
4. Al Imam Naisyaburi, Ma'rifat ulum al hadits, hal. 256.



























