کمالوندی
Pahala Melayani Jemaah Haji
Suatu hari, para sahabat Khaja Abu Sa'id berkumpul di sekitarnya. Dia sedang menjelaskan hadis Rasulullah Saw kepada para sahabatnya dan mereka juga menyimaknya dengan serius. Sebuah kafilah tiba-tiba mendatangi majlis Abu Sa'id dan mereka duduk dengan wajah sedih di majlis itu. Abu Sa'id kemudian menanyakan kondisi mereka.
Kafilah tersebut menjawab, "Kami baru kembali dari perjalanan haji. Rombongan kami diserang oleh perampok dan apa yang kami miliki telah dibawa lari. Sekarang kami tidak memiliki bekal apapun, tidak punya kemampuan untuk meneruskan perjalanan dan tidak mampu kembali ke kampung halaman kami." Abu Sa'id berkata, "Berapa jumlah harta kalian yang dirampok?" "Apa yang kami miliki telah dijarah," jawab kafilah itu.
Abu Sa'id kemudian bertanya kepada para sahabatnya, "Siapa di antara kalian yang bisa membantu kafilah ini dan memberi mereka bekal perjalanan, dan menyediakan apa yang telah hilang dari mereka." Dari arah belakang majlis terdengar suara seorang wanita berkata, "Wahai Syeikh, aku akan membantu kafilah ini dan mengganti rugi harta mereka." Semua orang terkejut dan memuji pengorbanan wanita itu.
Wanita tersebut kemudian meninggalkan majlis dan kembali dengan sebuah kotak kecil. Dia membawa semua emas dan perhiasannya dan menyerahkannya kepada Abu Sa'id. Abu Sa'id menyimpan perhiasan itu selama tiga hari penuh. Dia berkata kepada dirinya, "Wanita ini mungkin melakukannya karena terbawa perasaan dan emosi. Emas dan perhiasan ini sangat bernilai. Wanita ini mungkin akan menyesal dan meminta kembali barang-barangnya."
Tiga hari kemudian wanita tersebut mendatangi Abu Sa'id. Dia meletakkan gelangnya di depan Abu Sa'id dan berkata kepadanya, "Mengapa engkau menyimpan emas dan perhiasan yang aku berikan padamu?" Dia menjawab, "Aku khawatir engkau akan menyesal atas pemberianmu." Wanita itu berkata, "Aku berlindung kepada Allah, tidak demikian. Berikan emas dan perhiasan bersama gelang ini kepada kafilah haji untuk memenuhi janji yang pernah aku ucapkan."
Wanita itu menatap ke bawah dan dengan tenang berkata, "Gelang ini adalah kenangan dari almarhumah ibuku. Semua emas dan perhiasan ini tidak bernilai bagiku. Tadi malam aku bermimpi bahwa aku berada di surga dan wajahku berseri-seri. Aku mulai mengerti bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang telah memberi pahala kepadaku karena membantu kafilah haji. Dalam mimpi, aku melihat semua emas dan perhiasan yang aku berikan ada di leherku, tetapi aku tidak menemukan gelang ini di tanganku. Aku bertanya, 'mengapa kenangan dari ibuku tidak ada?'"
Seorang malaikat berkata, "Apa yang telah engkau kirim, telah dikembalikan kepadamu dan apa yang engkau infakkan di dunia, ia ada di surga dan kami kembalikan kepadamu. Jika seluruh isi dunia menjadi milikmu, apa yang telah engkau kirim kemari, ia akan kembali kepadamu dan ia akan tetap menjadi milikmu di akhirat."
Para jemaah haji adalah tamu Allah Swt dan mereka memiliki kedudukan dan kemuliaan di sisi-Nya. Rasulullah Saw dalam sebuah hadis bersabda, "Jemaah haji berada dalam jaminan dan perlindungan Allah, baik ketika ia berangkat maupun kembali. Jika ia menanggung kesulitan dan penderitaan dalam perjalanannya, Allah akan mengampuni dosa-dosanya karena itu, dan setiap langkah yang ia ayunkan, Dia akan meninggikan derajatnya di surga sampai seribu derajat dan setiap tetesan hujan yang membasahinya, pahala mati syahid akan ditulis untuknya."
Dikisahkan bahwa sebuah kafilah Muslim yang ingin menunaikan ibadah haji tiba di kota Madinah. Mereka menetap selama beberapa hari di Madinah untuk menghilangkan rasa lelah. Kafilah tersebut kemudian mempersiapkan hewan tunggangannya dan bergerak ke arah Mekkah. Mereka didatangi oleh seorang laki-laki di tengah jalan antara Madinah dan Mekkah. Para anggota kafilah mengenal lelaki tersebut.
Laki-laki itu kemudian bercerita panjang lebar dengan anggota kafilah. Di tengah pembicaraan, dia melihat seseorang di tengah kafilah yang melayani orang lain dengan penuh semangat dan antusias. Lelaki itu menatap wajah pria tersebut dengan seksama. Wajahnya memancarkan cahaya dan dari raut mukanya, bisa ditebak bahwa ia orang yang saleh dan bertakwa. Lelaki ini mengenal pria tersebut dan berkata dalam hatinya, "Ya Tuhan, apa yang telah dilakukan oleh kafilah ini."
Lelaki tersebut berbalik ke arah kafilah dan berkata, "Apakah kalian mengenal siapa pria yang sedang melayani dan melakukan pekerjaan untuk kalian?" Mereka menjawab, "Tidak, kami tidak mengenalnya. Pria itu bergabung dengan rombongan kami di Madinah. Dia orang yang saleh dan bertakwa. Kami tidak meminta dia untuk melakukan apapun buat kami, tetapi dia sendiri ingin membantu orang lain dan meringankan pekerjaan mereka."
"Jelas kalian tidak mengenalnya, jika kalian tahu, kalian pasti tidak akan bersikap tidak sopan kepadanya dan membiarkan dia melayani kalian," ujar lelaki itu. Kafilah kemudian bertanya, "Siapa gerangan pria tersebut?" "Dia adalah putra Husein bin Ali as, cucu baginda Rasulullah Saw. Dia adalah Ali Zainal Abidin bin Husein as," jawabnya.
Para anggota kafilah bergegas bangkit dari tempatnya. Dengan terburu-buru dan rasa malu, mereka mendatangi Imam Ali Zainal Abidin as. Mereka berkata, "Kami benar-benar merasa malu, mengapa engkau tidak memperkenalkan dirimu kepada kami? Mungkin saja kami telah merendahkan kamu karena ketidaktahuan kami dan kami akan menanggung dosa besar di sisi Allah."
Imam Ali Zainal Abidin as berkata, "Aku sengaja memilih kafilah kalian dan melakukan perjalanan bersama kalian. Ketika aku memilih kafilah yang mengenaliku, mereka akan mencurahkan kebaikan dan kasih sayang untukku karena rasa hormatnya kepada Rasulullah Saw, dan mereka tidak akan membiarkanku melakukan pekerjaan apapun. Oleh karena itu, aku ingin memilih kafilah yang tidak mengenaliku dan aku juga tidak memperkenalkan diri kepada mereka sehingga aku bisa dengan senang hati melayani teman-teman seperjalanan."
Kemuliaan akhlak dan perilaku Imam yang demikian bijak itu membuat siapa pun mengagumi beliau. Sejarawan Muslim terkenal, Ibnu Syahr Asyub menuturkan, "Suatu ketika Imam Ali Zainal Abidin as menghadiri sebuah pertemuan yang digelar Khalifah Umayah, Umar bin Abdul Aziz. Saat Imam meninggalkan pertemuan itu, Umar bin Abdul Aziz bertanya kepada orang-orang di sekitarnya dan berkata, ‘Siapakah orang yang paling mulia di sisi kalian? Semuanya berkata, "Anda wahai khalifah!" Namun ia balik menjawab, "Bukan sama sekali! Orang yang paling mulia adalah sosok yang baru saja meninggalkan pertemuan kita. Semua kalbu dibuat terpesona olehnya hingga siapa pun ingin menjadi seperti dia."
Imam Ali Zainal Abidin sangat menekankan pentingnya pengabdian kepada masyarakat. Pengabdian terhadap masyarakat bukan diukur dari seberapa besar pekerjaan itu, tapi kualitas layanan dan ketulusan niatlah yang menjadi parameter dari bernilai atau tidaknya sebuah pekerjaan. Selain itu, pengabdian juga menumbuhkan sebuah ketenangan spiritual bagi seseorang yang bisa berbuat kebaikan kepada orang lain.
Dalam sebuah riwayat Rasulullah Saw bersabda, "Sungguh beruntung orang yang berlaku baik dengan masyarakat dan tidak pernah ragu dalam membantu mereka, dan menjauhkan keburukannya dari orang lain."
Keagungan Hari Arafah
Salah satu amalan haji yang dilakukan pada hari ke-9 bulan Dzulhijjah adalah wukuf di Arafah. Para haji setelah selesai melaksanakan umrah tamattu, bergerak ke Arafah. Arafah adalah sebuah gurun yang rata dan terletak di kaki sebuah gunung bernama Jabal Al Rahmah, 25 kilometer dari kota Mekah.
Tanah Arafah terletak di Tenggara Mekah. Para haji setelah mengenakan ihram dan menyelesaikan umrah tamattu bergerak ke tempat itu. Pada Hari Arafah atau tanggal 9 Dzulhijjah, para haji melakukan wukuf di Arafah, dan melantunkan doa dan munajatnya untuk mendapat rahmat Allah Swt.
Pada kenyataannya, haji, di antara ibadah-ibadah lainnya adalah ibadah yang paling penuh rahasia dalam hubungan antara Tuhan dengan hamba-Nya. Sebuah ibadah yang setiap amalannya memiliki aspek lahir dan batin. Arafah, salah satunya. Setiap orang yang telah melewati wukuf Arafah akan merasakan makrifat hubungan antara dirinya dengan alam malakut.
Arafah berarti pemahaman, pengetahuan dan pengenalan terhadap sesuatu disertai dengan perenungan akan dampak-dampaknya. Tanah Arafah disebut Arafah karena ia adalah sebuah wilayah yang jelas dan dikenal di antara gunung-gunung. Gurun Arafah sepanjang sejarahnya menjadi lokasi keberadaan nabi-nabi besar, seperti Nabi Adam as, Nabi Ibrahim as, Nabi Muhammad Saw dan Imam Husein as.
Nabi Adam as dan Siti Hawa setelah keluar dari surga dan tiba di muka bumi, dan setelah terpisah sekian lama, bertemu kembali di tempat ini. Oleh karena itu, wilayah ini disebut Arafah dan harinya sebagai Hari Arafah. Sebagian kalangan mengatakan, Arafah berarti pengenalan, dan Nabi Ibrahim as di tempat ini dikenalkan tentang manasik haji oleh malaikat Jibril.
Dalam sebuah hadis, Imam Shadiq as terkait penamaan Arafah berkata, Jibril mengajarkan tentang Hari Arafah kepada Nabi Ibrahim as. Jibril berkata, akuilah dosa-dosamu dan kenalilah manasik, dan karena beliau mengakuinya, maka tempat itu dinamai Arafah. Nabi Muhammad Saw setelah menunaikan haji wada di tahun ke-10 Hijriah, menyampaikan khutbah bersejarah yang menghasilkan sebuah piagam Islam global dan menjelaskan garis pemisah dari seluruh ajaran-ajaran masa jahiliyah di hadapan para haji di Hari Arafah.
Imam Husein as sore Hari Arafah, ketika bergerak keluar dari Mekah ke arah Karbala bersama Ahlul Bait as dan sahabat-sahabatnya, beliau keluar dari Gurun Arafah kemudian menuju Jabal Rahmah untuk memanjatkan doanya. Sebuah munajat yang sarat dengan kata-kata indah dalam dialognya dengan Tuhan. Kata-kata yang penuh dengan rasa cinta kepada Tuhan, sehingga bau wangi penghambaan akan selalu tercium di tempat ini hingga akhir masa.
Kata Arafah dan doa saling bercampur serta berkaitan erat, sehingga semua orang mengenal Arafah sebagai doa dan munajat, dan waktu terbaik untuk berdoa adalah Hari Arafah. Di dalam doa terdapat pintu yang luas dan terbuka serupa dengan seluruh pintu kebahagiaan dan kebaikan.
Membuka pintu itu lebih mudah dibandingkan dengan membuka pintu-pintu lainnya. Dari seluruh pintu kebahagiaan, hanya pintu doa saja yang bisa mengantarkan manusia ke seluruh tujuan, baik yang khusus maupun umum, tujuan duniawi maupun ukhrawi dan semua harapan serta cita-cita manusia. Arafah adalah sebuah hari ketika doa sangat dekat dengan ijabah.
Diriwayatkan, Imam Ali Zainal Abidin as di Hari Arafah mendengar suara seorang pengemis yang tengah meminta bantuan kepada masyarakat dan kepadanya beliau berkata, celakalah kamu, apakah kamu meminta sesuatu selain kepada Tuhan di hari ini, di saat harapan akan rahmat Tuhan meliputi bayi-bayi di dalam perut ibunya sehingga mereka berbahagia.
Oleh karena itu kewajiban terpenting seorang Mukmin di Hari Arafah, selain harus memperhatikan kasih sayang Tuhan, ia juga harus mengajak orang lain untuk memusatkan perhatiannya pada rahmat, pengampunan dan kasih Tuhan di hari penuh berkah ini, dan mintalah mereka untuk terus berdoa dan memohon kepada Tuhan.
Doa adalah hadiah Ilahi yang dianugerahkan kepada manusia. Sungguh indah ketika berdoa di Hari Arafah, kita lebih dahulu mendoakan orang lain sebelum kita sendiri. Imam Shadiq as terkait dampak luar biasa lebih dulu mendoakan orang lain berkata, barangsiapa yang mendoakan saudaranya, malaikat berseru dari langit, Hai hamba Tuhan 200 ribu kali lipat dari apa yang engkau inginkan akan menjadi milikmu.
Malaikat yang lain dari langit ketiga berseru, Hai hamba Tuhan 300 ribu kali lipat dari apa yang engkau inginkan akan menjadi milikmu. Malaikat yang lain dari langit keempat berseru, Hai hamba Tuhan 400 ribu kali lipat dari apa yang engkau inginkan akan menjadi milikmu, begitu seterusnya hingga malaikat dari langit ketujuh.
Saat itu, Allah Swt berfirman, Aku tidak membutuhkan sesuatu apapun dan tidak akan pernah membutuhkan, wahai hamba Tuhan, ribuan dari apa yang engkau inginkan akan menjadi milikmu.
Poin penting yang perlu diperhatikan secara seksama di sini adalah, ketika Anda berdoa untuk orang lain, berarti Anda betul-betul menyayanginya dan siap memenuhi hak-haknya yang lain. Karena, jika tidak demikian, maka doa Anda tidak seperti yang dijelaskan dalam riwayat tersebut.
Pentingnya doa di Hari Arafah sedemikian tingginya sehingga Nabi Muhammad Saw yang kerap melaksanakan shalat Zuhur dan Asar dengan jeda waktu, di Hari Arafah melaksanakan kedua shalat itu tanpa jeda sehingga tersedia waktu yang lebih banyak untuk berdoa dan bermunajat.
Salah satu doa yang paling indah dan mengandung makna yang dalam dan dibaca di Hari Arafah adalah Munajat Imam Husein as. Imam Husein as di dalam doa penuh makna itu, menjelaskan Tauhid dengan kalimat-kalimat luhur dan indah. Semangat irfan dan makrifat mencapai puncaknya di setiap baris doa ini.
Imam Husein as di dalam doanya menjelaskan salah satu sisi dari nikmat tanpa akhir Tuhan untuk manusia di seluruh kehidupannya. Salah satu di antaranya, Imam Husein as mengatakan bahwa kasih sayang dan kesabaran seorang ibu adalah percikan kasih sayang Tuhan.
Setelah itu Imam Husein as menjelaskan tentang pentingnya bersyukur atas segala nikmat Ilahi dan menganggap dirinya tidak mampu bersyukur bahkan satu kalipun. Setiap baris doa ini adalah pintu dari cinta dan kasih sayang Tuhan yang dibuka bagi manusia. Makna terdalam doa ini menunjukkan bahwa Imam Husein as dengan seluruh wujudnya mencintai Allah Swt dan beliau merasakan kehadiran Tuhan di seluruh wujudnya.
Di salah satu bagian doanya, Imam Husein as bermunajat, Ya Tuhanku Engkaulah yang memberikan nikmat, Engkaulah yang berbuat baik, Engkaulah yang bersikap baik, Engkaulah yang memuliakan, Engkaulah yang membuatku mampu, Engkaulah yang memberikan kemuliaan, Engkaulah menyempurnakan rahmat-Mu, Engkaulah yang memberi rizki, Engkaulah yang bertindak atas kemuliaan-Mu.
Engkaulah yang menjauhkanku dari dosa, Engkaulah yang menutup dosa-dosa, Engkaulah yang mengampuni dosa-dosa, Engkaulah yang menerima kekurangan, Engkaulah yang mencegahku berbuat dosa, Engkaulah yang memberikan kemuliaan, Engkaulah yang mendukung, Engkaulah yang meneguhkan sikapku, Engkaulah yang memberi kesempatan, Engkaulah yang memberi kesehatan, Engkaulah berderma, Maha Agung Engkau Tuhanku, segala puji selamanya bagi-Mu.
Akan tetapi aku, Wahai Tuhanku, mengakui seluruh kesalahanku, maka ampunilah aku. Akulah yang berbuat dosa, akulah yang berbuat salah, akulah yang berbuat bodoh, akulah yang berjanji, aku pula yang tidak menepatinya, akulah yang melanggar janji, akulah yang berikrar atas kejahatanku sendiri. Aku mengakui seluruh nikmat yang Engkau berikan kepadaku, aku mengakui semua dosa-dosaku dan tidak akan mengulanginya, maka ampunilah aku.
Haji dan Revolusi Diri
Haji adalah salah satu pilar agama Islam. Haji diwajibkan bagi setiap Muslim dan Muslimah merdeka yang memenuhi syarat berhaji menurut Al Quran, yaitu mampu secara finansial dan fisik (isthita'at) serta tidak punya halangan lain. Haji diwajibkan bagi seluruh Muslimin sekali seumur hidup setelah mempelajari tata cara dan manasiknya.
لَبَّیْکَ ألَّلهُمَّ لَبَّیْک! لَبَّیْکَ لاشَریْکَ لَکَ لَبَّیْک! إِنَّ الحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَکَ وَالمُلْکَ لاشَریکَ لَکَ لَبَّیْک!
Ikrar Tauhid inilah yang sekarang sedang menggema di seluruh penjuru Mekah. Terdengar suara rintihan permohonan ampun dan cinta manusia-manusia yang menyambut undangan Tuhannya untuk datang ke tempat suci ini dari tempat-tempat yang jauh. Musim haji adalah momen untuk mengungkapkan rasa cinta dan penghambaan, kesempatan belajar dan melaksanakan amalan ibadah sehingga bisa mencapai puncak derajat ikhlas.
Salah satu surat Al Quran adalah surat Al Haj. Awal surat ini mengabarkan tentang guncangan di Hari Kiamat dan sampainya akhirat, kemudian baru membahas masalah haji. Dengan mengkaji ayat-ayat di Surat Al Haj, seolah-olah ada kesamaan antara Padang Mahsyar di akhirat kelak dengan ritual haji, sehingga Allah Swt mengaitkan keduanya. Ibadah haji dipelopori oleh Nabi Ibrahim as, seorang nabi terpilih yang dijuluki Tuhan sebagai "hanif" dan penuntut kebenaran mutlak serta memiliki keyakinan tauhid murni.
Keseluruhan ayat Surat Al Haj menjelaskan bahwa ibadah penting ini adalah sebuah rentang waktu yang mencakup upaya menjauh dari dunia beserta semua urusannya, penyucian diri dengan tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dilarang, dan hidup di tengah sebuah masyarakat manusia yang merupakan penampakan akhirat. Dalam rentang waktu ini, kita berusaha meraih keyakinan Tauhid murni dengan menjalankan serangkaian amalan dan manasik yang pelaku pertamanya adalah Nabi Ibrahim as.
Allah Swt, sehubungan dengan pelaksanaan ibadah haji berfirman dalam Surat Al Haj ayat 27-28,
"Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka….."
Di ayat 97 Surat Ali Imran, Allah Swt berfirman,
"…..mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah….."
Urgensitas haji dari satu sisi terkait dengan kesucian tempat dan kedudukannya. Allah Swt menyebut Ka'bah dan Masjidil Haram sebagai rumah-Nya yang dibangun bagi manusia untuk menyembah-Nya dan menjadikannya sebagai tempat yang penuh keberkahan dan membimbing umat manusia. Sebuah tempat yang di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas seperti Maqam Ibrahim dan barangsiapa yang memasuki Rumah Tuhan, maka akan selamat. Muslimin selain diwajibkan untuk berhaji, juga dianjurkan untuk selalu memperkokoh pusat Tauhid dan tempat memerangi syirik ini.
Amalan haji dilaksanakan di satu lokasi geografis tertentu bernama Mekah dan di waktu terbatas yang telah ditentukan. Setiap Muslimin dari segala penjuru dunia menenggelamkan diri dalam lautan luas haji dan membersihkan jiwanya di sana sehingga terlahir kembali menjadi manusia yang baru.
Mungkin manusia hanya berkesempatan sekali untuk bisa menikmati kebahagiaan hadir di haji. Oleh karena itu, kesempatan ini jangan pernah disia-siakan. Akan tetapi di waktu yang terbatas ini, amalan haji diatur sedemikian rupa sehingga setiap orang bisa memanfaatkannya dengan optimal dan menciptakan perubahan besar di dalam dirinya.
Haji memiliki serangkaian tata cara dan manasik, yang di dalamnya setiap orang mengenal Rumah Tuhan, sejarah dan usianya, juga tempat diturunkannya wahyu serta peninggalan-peninggalan Nabi Muhammad Saw dan para Imam Maksum as. Jelas bahwa menghidupkan sejarah Islam dengan berbagai kenangan baik dan buruknya di setiap sudut kota suci Mekah dan Madinah, dapat memberikan pengenalan luas kepada manusia.
Dengan kata lain, di dalam haji setiap orang kembali diingatkan tentang sejarah Islam. Kehadiran jemaah haji di berbagai tempat di Mekah, mulai dari Gua Hira sampai Arafat, Mina dan masjid-masjid di Madinah, menyadarkan mereka tentang hukum, makrifat dan tersebarnya ajaran Maksumin as ke seluruh dunia.
Selain itu, pengenalan dan dialog dengan Muslimin dari berbagai negara dengan beragam budaya dan bahasa, menjadikan haji sebagai sebuah kongres besar umat manusia. Pertemuan agung ini menyebabkan kemajuan dan kesadaran serta perencanaan yang benar bagi Muslimin untuk memanfaatkan seluruh potensi dan memajukan masyarakat Islam. Di sisi lain, karena menyambungkan manusia dengan Tauhid dan sumber eksistensi, haji berpengaruh besar pada perubahan dan pembangunan jiwa manusia.
Secara umum, haji bukanlah ibadah individu semata, tapi serangkaian amal yang meliputi berbagai dimensi kehidupan manusia mulai dari politik, sosial, ekonomi sampai budaya. Amalan haji membawa manusia kepada Tuhan dan kesempurnaan, juga menciptakan pemandangan indah dari sebuah keseragaman manusia. Ibadah ini menunjukkan bahwa setiap manusia, terlepas dari suku bangsa dan warna kulitnya, semua di hadapan Tuhan adalah sama sebagai makhluk-Nya dan satu-satunya ukuran keunggulan mereka adalah ketakwaan.
Jelas, untuk mencapai derajat takwa, seorang manusia harus belajar penghambaan dan menyiapkan dirinya di jalan ini. Haji adalah media untuk menunjukkan jiwa penghambaan kepada Allah Swt. Setiap manusia akan merasakan nikmatnya munajat kepada Sang Pencipta di dalam haji dan memanfaatkan rahmat dan berkah Ilahi. Kedekatan diri kepada Tuhan ini membebaskan manusia dari penghambaan kepada materi dan kekuasaan penindas, serta menciptakan gelombang kemuliaan, kekuataan dan ketenangan dalam diri manusia dan masyarakat.
Poin penting lainnya adalah, haji bertujuan untuk melakukan jihad melawan hawa nafsu, memperbaiki diri dan meraih sifat takwa. Jemaah haji dalam perjalanan ruhani ini harus selalu mengingat Tuhan dan menghadirkan-Nya di setiap saat serta menganggap-Nya sebagai pengawas. Meski bermaksud menuju Ka'bah dan Masjidil Haram, namun hakikatnya adalah berziarah dan menemui Allah Swt. Dari sisi keberkahan dan keagungan, ibadah haji merupakan salah satu cita-cita terbesar Maksumin as. Dalam lantunan munajat Maksumin as di doa bulan Ramadhan, kita membaca,
"Ya Allah berilah kesempatan kepada hamba untuk berhaji dan menziarahi Baitul Haram tahun ini dan di tahun-tahun berikutnya."
Amalan dan manasik haji dengan seluruh kesulitannya, merupakan ujian untuk mengukur keikhlasan dan keimanan manusia. Imam Ali as di dalam kitab Nahjul Balaghah , Khutbah ke-192 mengatakan, “Apakah kamu tidak melihat hakikat yang begitu jelas bahwa Tuhan menguji seluruh manusia mulai dari yang pertama di masa Nabi Adam as sampai manusia terakhir di dunia ini. Maka dari itu Tuhan menempatkan rumah-Nya di wilayah bebatuan yang paling jarang ditumbuhi tumbuhan dan di lembah yang paling sempit, di antara pegunungan dan gurun pasir yang panas, dengan mata air yang kering dan tidak ada satupun hewan yang bisa diternakkan baik unta, sapi maupun kambing.”
Imam Ali as melanjutkan, “Jika Tuhan berkehendak, Dia bisa membangun Ka'bah dan tempat-tempat peribadatan besar-Nya di tengah-tengah taman asri, sungai-sungai jernih yang mengalir, di padang rumput yang ditumbuhi pepohonan dengan beraneka ragam buah, di dekat bangunan-bangunan yang saling tersambung dan di dekat lahan pertanian gandum berwarna emas, di sebuah taman yang hijau dan dipenuhi tumbuhan, atau wilayah yang memiliki sumber air melimpah.
Jika itu Dia lakukan, maka pahala jemaah haji, karena mudahnya ujian, akan sedikit. Jika batu fondasi Ka'bah dan batu dinding, semuanya dari zamrud hijau dan yakut merah serta cahaya, maka keraguan di dalam hati akan berkurang, jangkauan dan upaya Iblis akan terbatas dan kegelisahan manusia akan sirna. Akan tetapi Tuhan menguji makhluknya dengan berbagai cara, sehingga kesombongan hilang dari hatinya dan rendah hati menancap di lubuk hatinya. Semuanya adalah pintu yang terbuka menuju rahmat-Nya dan media yang mudah untuk memaafkan dan mengampuni makhluk-Nya.”
Haji adalah hijrah dan kembali kepada jati diri sebenarnya. Haji yang hakiki adalah permohonan seorang hamba kepada Tuhanya, dan Ka'bah adalah tempat yang diharapkan untuk bertemu dengan-Nya. Begitu banyak orang yang melemparkan kesombongan dirinya di Mina, mengharapkan keselamatan jiwa dan hatinya di Shafa dan melantunkan kegembiraannya di Masy'ar, dan begitu banyak orang yang terbebas dari berbagai ketergantungan, dalam hijrah dan perjuangan suci ini.
Rahbar: Sampaikan Pesan Politik Haji Revolusi Islam ke Dunia Islam!
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei Senin (1/10) saat bertemu dengan panitia penyelenggara ibadah haji menekankan urgensitas penyampaian pesan politik haji Revolusi Islam ke dunia Islam.
Ayatullah Khamenei menilai perintah Allah Swt kepada umat Muslim untuk berkumpul di satu tempat dan satu waktu untuk melaksanakan kewajiban ibadah haji membawa pesan politik penting seperti urgensitas interaksi dan sinergi umat muslim serta menunjukkan kekuatan umat Islam.
"Selain sisi spiritualitas haji yang sangat penting, realita penting ini dan tujuan Islami (sisi politik haji) juga harus dipopulerkan serta diprogram dan dilaksanakan," papar Rahbar.
Rahbar menyebut interaksi seluruh umat Islam di haji, menyampaikan pesan revolusi Islam kepada para peziarah dan menghapus keraguan serta ambiguitasnya, peluang untuk menciptakan atau memperkuat hubungan Iran dengan seluruh negara Islam dan hidup bersahabat dengan mazhab Islam lainnya termasuk pesan politik dan penting bagi seluruh dunia Islam di ritual haji.
"Haji haru membuat Republik Islam Iran bangga, oleh karena itu sisi politik tidak boleh dilupakan dan Haji Ibrahimi adalah haji pasca Revolusi Islam dengan haji sebelumnya serta haji negara-negara yang tidak merasakan sendi-sendi Islam serta revolusi Islam sangat berbeda," ungkap Rahbar.
Seraya mengisyaratkan sabotase pemerintah Arab Saudi terhadap acara pembacaan doa Kumail, Rahbar menambahka, harus ada upaya besar dan inisiatif untuk melewati kendala ini.
Ayatullah Khamenei di kesempatan tersebut juga mengkritik keras aksi perusakan besar-besaran terhadap warisan bersejarah Islam seperti peninggalan Rasulullah Saw, Imam Ali bin Abi Talib, para khalifa dan pejuang era pertama Islam dengan alasan pengembangan haji.
"Ketika berbagai negara lain dengan gigih mempertahankan warisan bersejarah mereka dan bahkan terkadang tak segan-segan melakukan distorsi sejarah demi menunjukkan warisan mereka bernilai tinggi, tapi kini banyak peninggalan Islam di Mekah dan Madinah justru dihancurkan," kata Ayatullah Khamenei.
Rahbar memberi instruksi kepada Organisasi Haji dan Ziarah Republik Islam Iran dan lembaga terkait untuk melaksanakan tugasnya dan melakukan kontak dengan pejabat haji negara Islam lainnya demi mencegah perusakan warisan Islam.
Makam Bibi Hakimeh Khatoon
Salah satu Emamzadeh besar yang dimakamkan di selatan Republik Islam Iran adalah Hadrat Bibi Hakimeh sa. Letak makam ini di antara selat di selatan distrik kaya minyak Gachsaran, Provinsi Kohgiluyeh dan Boyer-Ahmad, tepatnya di lerang gunung besar. Jalan Dogonbadan menuju Baba Kalan melewati Makam Bibi Hakimeh.
Makam Bibi Hakimeh Khatoon menjadi tempat ziarah terpenting di seluruh selatan dan barat daya Iran setelah makam saudaranya, Ahmad bin Musa as. Bibi Hakimeh Khatoon adalah salah satu putri Imam Musa Ibn Ja'far as.
Tampaknya beliau bersama saudaranya itu melakukan perjalanan dari Hijaz menuju Merv untuk mengunjungi Imam Ali Ridha as. Namun kemudian beliau meninggal dunia di perjalanan karena sakit dan dimakamkan di Gachsaran.
Setiap tahun, makam Bibi Hakimeh Khatoon menjadi tempat ziarah ribuan pecinta Ahlul Bait as dari dalam dan luar negeri. Dalam beberapa abad lalu, bangunan tua makam beliau telah berulang kali diperbaiki.
Pasca kemenangan Revolusi Islam Iran, makam dan sekitarnya dibangun dengan struktur yang stabil dan pemandangan yang indah.
Siapa Yang Harus Didahulukan, Ayah Ataukah Ibu?
Hormat kepada ayah dan ibu, juga taat kepada perintah-perintah mereka adalah suatu hal yang lazim dilaksanakan. Sebagai anak kita harus bisa bersikap sedemikian rupa sehingga perintah keduanya bisa kita penuhi. Akan tetapi jika terjadi perbedaan antara perintah keduanya, maka yang harus didahulukan adalah perintah ibu. Itu semua karena derajat dan kedudukan seorang ibu dalam Islam lebih tinggi dibanding ayah.
Berkenaan dengan kedudukan seorang ibu terdapat kisah menyentuh di zaman Nabi saw. Mari kita simak bersama!
Suatu hari seorang sahabat Rasul bertanya, “Wahai Rasulullah! Kepada siapa aku harus berbuat baik?”
“Pada ibumu! Pada ibumu! lalu pada ayahmu”. Jawab Rasul saw.[1]
Cerita lain yang masih terjadi di jaman Nabi saw berkenaan tentang mendahulukan ibu dibanding ayah yaitu suatu hari ada seorang pemuda yang sedang menghadapi sakratulmaut lalu Rasulullah menghampirinya dan bertanya,
“Apa yang sedang kamu saksikan sekarang?”
“Aku melihat dua makhluk dengan wajah yang hitam sedang menuju kepadaku” Jawab pemuda itu.
“Apakah pemuda ini mempunyai ibu?” tanya Rasul pada orang-orang yang hadir. Setelah itu ibu pemuda tersebut datang lalu Rasulullah bertanya, “Apakah kamu ridha kepadanya?”
Sang ibu menjawab, “Tidak! Tapi karena Engkau, Wahai Rasulullah, sekarang aku ridha”.
Setelah itu pemuda yang sedang sekarat berkata, “Sekarang dua makhluk dengan wajah yang berseri sedang menghampiriku.”[2]
Kesimpulannya adalah ketika antara perintah ayah dan perintah ibu terjadi perbedaan yang bertentangan maka yang harus didahulukan adalah perintah ibu. Itu semua karena dalam Islam derajat dan kedudukan seorang ibu lebih tinggi dibanding ayah.
[1] Biharul Anwar, Jild 74, hal 49.
[2] Kanzul Umal, hadits no 14569.
Bebaskan Dirimu dari Masalah
Seorang pria tua memiliki seekor keledai yang sangat ia sayangi, setiap hari ia menyempatkan untuk berjalan-jalan mengelilingi desa dengan kesayangannya tersebut. Pada suatu hari dimana ia sedang berjalan dengan keledainya itu, keledainya terjatuh ke dalam sebuah lubang yang dalam dan dia tidak bisa menarik keledai tersebut keluar, tidak peduli seberapa keras ia mencobanya. Oleh karena itu, dengan berat hati ia memutuskan untuk mengubur keledainya hidup-hidup dan merelakannya.
Lelaki tua itu pun mulai menimbun lubang tersebut dengan tanah. Keledai yang merasa badannya tertimpa tanah, menggoyangkan tubuhnya untuk menjatuhkan tanah di atas tubuhnya, dan melangkah di atas tanah tersebut. Tanah berikutnya ditimbun kembali ke dalam lubang.
Berulang kali keledai itu mengibaskan kembali tubuhnya dan menaiki tanah tersebut. Semakin tanah ditimbun, semakin tinggi tanah tersebut naik. Menjelang siang, keledai itu dapat keluar dari lubang, dan berhasil menyelamatkan diri lalu merumput di padang rumput hijau. Si pemilik pun merasa senang akhirnya si keledai bias keluar dari lubang tersebut.
Setelah banyak ‘mengibaskan’ masalah, Dan melangkah (belajar dari kisah di atas), Suatu saat setelah terlepas dari masalah, anda akan mampu merumput di padang rumput hijau yang artinya anda akan mampu meraih apa yang anda impikan.
jadi jangan menyerah dengan keadaan yang terlihat begitu sulit di hadapan anda, mulailah berpikir memanfaatkan sesuatu di sekeliling anda untuk membebaskan diri dari setiap masalah.
Kriteria Sahabat Menurut Islam
Salah satu nikmat terbesar yang dianugerahkan oleh Allah swt adalah kita diberikan insting untuk bersosialisasi dengan sesamanya dan hasil dari itu semua adalah terciptanya persahabatan antara individu yang menjalin satu ikatan kebersamaan. Dan dari pada itu semua persahabatan memiliki efek kepada kehidupan kita dan pada pola fikir kita sebagai manusia dalam memandang masa depan. Ini semua efek dari adanya jalinan persahabatan yang merupakan kebutuhan setiap manusia sebagai makhluq social.
Tanpa diragukan lagi, hal-hal terpenting yang membentuk pribadi seseorang setelah kehendak dan kemauannya sendiri adalah persahabatan dan pergaulan dengan sesama. Karena disadari ataupun tidak semua itu memiliki dampak pada pribadi seseorang seperti pola pikir, prilaku dan pandangan hidup diperoleh dari apa yang ia ambil dari sahabatnya. Disamping itu, sahabat bisa membawamu pada keridoan ataupun kemurkaan Tuhan.
Islam memandang persahabatan sebagai nilai agung dan menentukan dalam nasib dan kehidupan seseorang. Sehingga Nabi Muhammad saw dan sahabatnya yang mulia sangat menekankan untuk menjadikan seseorang sebagai sahabat kita sesuai dengan kriteria yang terkandung dalam nilai-nilai agama Islam. Beliau bersabda: “Orang menjalin persahabatan setelah teliti dalam memilih sahabat, maka persahabatannya akan langgeng dan kokoh”.
Menurut Islam, kriteria terpenting kematangan seseorang dalam bernalar sehingga dapat mengambil sikap yang bijak dan logis dalam semua hal. Dan dia harus menjadi penasehat bagi orang lain yang menunjukan kesalahan sahabatnya bukan hanya memujinya dalam segala hal dalam rangka menarik simpatinya. Banyak hadis yang menyatakan bahwa kita harus memilih sahabat yang bijak dan berakal sehingga kita senantiasa bersama orang-orang yang berakal dan itu merupakan jalan keselamatan bagi kita. Salah satu hadits dari Rasulullah saw menggambarkan hal ini, beliau bersabda: “Bersahabat dengan orang Arif dan bijak akan menghidupkan jiwa dan Ruh.”
Hal yang lain yang harus kita jadikan kriteria sebagai seorang sahabat adalah apa yang datang nasihat-nasihat para Nabi dan yang terdapat dalam Quran yang mengisyarahkan tentang ciri sahabat yang baik yang harus kita pilih. Diantaranya :
· Iman
Iman merupakan pondasi persahabatan yang paling kuat yang bisa menjadikan wasilah untuk mempererat hubungan hamba dengan Tuhannya. Iman disini adalah keyakinan terhadap pondasi agama seperti keesaan Tuhan, Nabi dan Hari Kiamat. Di dalam al-Quran di isyaratkan untuk tidak berteman selain dengan orang-orang mukmin dan jika tidak maka kita akan terlepas dari pertolongan Tuhan. ‘QS. Ali Imran : 28’
· Memberikan rasa hormat terhadap yang berbeda keyakinan (Toleran)
· Jujur
Kejujuran merupakan modal untuk mempererat tali persahabatan yang dengannya akan tercipta rasa saling percaya satu sama lain.
· Bukan orang munafik
Mereka adalah orang-orang yang akan membahayakan aqidah kita dan agama kita, karena kemunafikan seseorang bersumber dari keingkarannya terhadap apa yang kita yakini dan dia akan menjadi agen musuh agama kita. ‘al-Baqarah : 14’
· Berakhlaq mulia
Mereka inilah yang akan selalu mengingatkan kita kepada akhirat, dengan melihatnya akan menstimulasi diri kita untuk lebih mencintai agama kita. Mereka akan selalu mengingatkan akan kesalahan-kesalahan yang kita lakukan, bukan membenarkan setiap apa yang kita lakukan meskipun itu salah.
Apa Makna Ayat “Allah Mengeluarkan Orang-Orang Beriman Dari Kegelapan Menuju Cahaya” Dalam Ayat Kursi?
Apakah Orang-Orang Beriman Pernah Masuk Dalam Kegelapan?
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah, ayat 257)
Pertanyaannya adalah apakah orang-orang yang beriman pernah masuk dalam kegelapan?
Berkenaan dengan pertanyaan di atas, penulis Tafsir Al-Mizan mengatakan bahwa dari awal penciptaan, manusia sudah mempunyai cahaya yaitu cahaya fitrah yang sifatnya masih umum dan belum sempurna. Jika ia menjaga cahaya fitrah ini maka cahaya itu akan tumbuh dalam dirinya dan menyempurna. Maka dari itu dikarenakan seorang manusia dari awal penciptaannya hanya mempunyai cahaya yang belum menyempurna maka ia masih belum mempunyai pengetahuan terhadap ilmu kebenaran dan amal-amal soleh, jadi manusia masuk dalam dzulmat (kegelapan). Dari sinilah kegelapan dalam ayat ini bermakna tidak lengkapnya pengetahuan akan kebenaran yang hakiki.[1]
Akan tetapi Mufasir lainnya dalam menjawab pertanyaan ini mengatakan bahwa hal ini diungkapkan berdasarkan kaidah sastra bahasa arab dan istilah keseharian orang Arab. Kelompok ini berpendapat bahwa keluarnya seorang mukmin dari kegelapan bukan bermakna bahwa ia sebelumnya berada dalam kegelapan lalu setelah itu keluar darinya. Namun ini merupakan istilah yang banyak digunakan dalam bahasa Arab. Yaitu ketika orang Arab berbicara tentang keluarnya seseorang dari sebuah tempat maka tidak melazimkan ia telah masuk dalam tempat tersebut setelah itu mereka mengeluarkannya. Namun maksud mereka adalah ia terhalang dari masuk dalam tempat tersebut atau tidak seharusnya ia masuk ke sana.[2]
Contoh penggunaan ini terdapat dalam surah Yunus, ayat 98, Allah swt berfirman, “Tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia”. Yang mana pada saat itu sama sekali kaum Yunus belum merasakan azab Allah swt. Akan tetapi dzahir ayat mengatakan bahwa Allah mengangkat kaum Yunus dari azab karena mereka telah beriman yang seakan-akan kaum Yunus telah merasakan azab Allah.
Atau dalam riwayat juga dikatakan bahwa siapa saja yang bersyahadat dengan “Asyhaduanna Muhammadarrasulullah” maka ia akan keluar dari api neraka. Namun sudah sangat jelas bahwasanya orang-orang yang bersyahadat sama sekali tidak akan masuk dalam api neraka yang mana ingin keluar darinya. Akan tetapi maksud dari riwayat ini adalah terhalang dan tidak akan masuknya mereka ke dalam neraka. Maka dari itu kata “keluar” di sini bermakna terhalang dan terhindar.[3]
Maka dari itu, maksud dari ayat ini ialah tidak ada kelaziman masuknya orang-orang mukmin dalam kegelapan yang mana setelah itu ia keluar darinya, akan tetapi sesuai dengan kaidah sastra Arab dan istilah penggunaan orang Arab sehari-hari bahwa maksud dari ayat ini adalah masuknya mereka dalam naungan cahaya dan terhalangnya mereka dari masuk kedalam kegelapan.
[1] Al-Mizan, jild 2, hal 346.
[2] Mafatihul Ghaib, jild 7, hal 19.
[3] Ibid.
Mengapa Al-Quran Menyebut Ashabul Kahfi Dengan “Para Pemuda” Padahal Tidak Semuanya Muda?
Mengapa Al-Quran Menyebut Ashabul Kahfi Dengan “Pemuda” Padahal Tidak Semuanya Muda?
إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا۟ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
“(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”. (Al-Kahfi, ayat 10)
Berita Dunia- (فتية) adalah bentuk plural dari (فتى) yang bermakna pemuda. Secara dzahiriyah, pemuda adalah sebuah keadaan dimana usia seseorang masih muda dan juga tubuh sedang berada dalam kondisi segar, kuat, serta perasaan menggebu-gebu, dan penuh asmara. Namun jika makna pemuda dilihat dari sisi bathiniyyah maka akan bermakna mereka yang hatinya selalu siap menerima cahaya kebenaran, menjalankan tugas dengan cinta, rela berkorban, dan pemaaf walaupun usia mereka sudah tua.
Ketika kita menggunakan kata pemuda kepada seseorang yang sudah tua maka di sana ada tujuan khusus yang ingin kita sampaikan yakni hakikatnya kita ingin memuji mereka karena mereka itu berani, rela berkorban, pemaaf, dan kuat walaupun usianya sudah tidak masuk dalam kategori muda lagi.
Apabila kita melihat ayat al-Quran juga sejarah ringkas yang hadir di depan kita maka kita menyaksikan bahwasanya Ashabul Kahfi hidup di zaman yang mana pada saat itu orang-orang menjadikan berhala sebagai tuhan, penguasa negara yang dzalim, serta akhlak-akhlak penduduk yang buruk seperti mencuri, membunuh, dan lailn-lain. Pernah para pemuda Ashabul Kahfi berencana untuk melawan ini semua namun disebabkan ketidak mampuan mereka maka mereka pergi meninggalkan wilayah yang penuh dengan maksiat tersebut. Namun pembahasan kita sekarang adalah apakah benar bahwa anggota Ashabul Kahfi itu semuanya adalah pemuda?
Dalam menjawab keraguan macam ini terdapat sebuah riwayat dari cucunda baginda Nabi saw yang bernama Sayidina Jafar Shadiq.
Suatu hari ia bertanya pada salah satu muridnya, “Apakah kamu tahu makna dari kata “Fata” (pemuda)?
“Fata (pemuda) adalah orang yang usianya masih muda”. Jawab salah satu muridnya.
Lalu Sayidina Jafar berkata, “Apakah kalian tahu bahwa Ashabul Kahfi adalah orang-orang tua dan tidak muda lagi? Akan tetapi Allah dalam al-Quran menyebut mereka dengan “Fityah” yakni para pemuda. Itu semua dikarenakan bahwa mereka adalah orang-orang beriman.”
Setelah itu lalu beliau melanjutkan perkataannya,
“من آمن باللَّه و اتقى فهو الفتى”
“Barang siapa yang beriman dan bertaqwa kepada Allah maka ia adalah seorang pemuda”.[1]
Kesimpulannya adalah karena anggota Ashabul Kahfi adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt maka di dalam al-Quran, Allah menyebut mereka dengan sebutan “para pemuda”.
[1] Nurul Tsaqalain, jild 3, hal 224.



























