کمالوندی
Cara Ideal untuk Menghilangkan Kegelisahan
Setiap dari kita pasti sering merasakan kesumpekan, kegundahan, kekhawatiran dan kegelisahan terhadap sesuatu. Jelas hal ini akan mempengaruhi kondisi psikologis kita yang akhirnya berdampak pada aktivitas harian yang kita lakukan. Telah terbukti secara ilmiah bahwa Kondisi seperti ini bukanlah merupakan penyakit jasmani yang bisa kita sembuhkan dengan merujuk kepada seorang dokter. kesumpekan disebabkan oleh penyebab rohani kita seperti layaknya kebahagiaan dan kelapangan dada yang adalah lawan dari kegelisahan tersebut. Roh yang berdenyut di dalam diri kitalah yang menjadi sumber kesumpekan jika anda tertimpa kegelisahan.
Ketika anda tiba-tiba merasakan sumpek dan resah kapan pun itu dan tidak tahu cara membebaskan diri dari keadaan itu, maka perlu anda ketahui bahwa cara supaya terbebas dari kegelisahan adalah berlindung pada firman Allah Ta’ala dan jika anda mengaplikasikan pesan-pesan yang terkandung dalam firman tersebut, maka anda akan merasakan kelapangan yang luar biasa.
Syahid Syaikh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Seorang Ulama besar dari Suriah mengatakan bahwa jika anda merasakan kesumpekan dan kegelisahan serta tidak mengetahui jalan keluar untuk membebaskan diri darinya, maka hendaknya anda kembali kepada Kitabullah dan hendaklah anda menjadikan Al-Quran sebagai wirid harian anda.
Namun perlu diketahui bahwa anda pun harus menjaga adab-adab dalam membaca al-Quran sehingga akan memberikan efek lebih sempurna terhadap jiwa anda, seperti memiliki wudhu, duduk dengan menghadap kiblat, berusaha mentadabburi setiap ayat yang dibaca dan lain sebagainya.
Jika hal tersebut anda lakukan, maka niscaya Allah swt akan membebaskanmu dari kesumpekan.
Hukum Hanya Hukumnya Allah
Rasulullah Saw senantiasa memaafkan bila masalahnya terkait dengan pribadi beliau dan tidak mempermasalahkan perilaku buruk orang lain. Namun bila masalahnya terkait dengan urusan sosial dan agama, maka beliau benar-benar menunjukkan reaksinya. Agar hak umat Islam tidak terabaikan dan sunah Allah tidak terinjak-injak.
Pada masa pembebasan kota Mekah [Fathu Mekah] dan kemenangan umat Islam, sampailah sebuah kabar kepada Rasulullah Saw bahwa salah seorang wanita Quraisy mencuri. Rasulullah Saw berkata, berdasarkan hukum Allah tangan pencuri harus dipotong. Bawa kepadaku perempuan itu agar aku laksanakan hukum Allah terkait dengannya.”
Namun para sahabat dan orang-orang yang berada di sekitar beliau masing-masing mengatakan sesuatu. Seseorang berkata, “Sekarang bukan waktu yang tepat untuk melaksanakan hal ini. Kita baru saja datang ke kota ini. Kita harus mengambil hati masyarakat.
Yang lainnya berkata, “Perempuan ini adalah putrinya seseorang yang terkenal. Sebaiknya Anda abaikan saja kesalahannya.” Dan lain sebagainya.
Tapi Rasulullah Saw berkata, “Apakah kalian mengatakan, aku harus mengabaikan undang-undang Islam? Bila perempuan ini adalah perempuan yang tidak punya siapa-siapa, kalian juga akan mengatakan seperti ini? atau kalian mengatakan, aku harus menghukumnya supaya menjadi pelajaran bagi yang lainnya?”
Kemudian beliau bersabda, “Ketahuilah bahwa undang-undang Allah tidak bisa ditafsirkan dan tidak bisa diliburkan.” Dan beliau memerintahkan agar tangan perempuan itu dipotong.
Salam Dari Surga
Agama Islam sangat memperhatikan adab pergaulan. Rasulullah senantiasa mengatakan, “Bila dua orang muslim berjumpa atau masuk pada sebuah perkumpulan sebaiknya mengucapkan salam. Supaya rajutan kasih sayang semakin kokoh di antara mereka.”
Dan di tempat lain beliau bersabda, “Mengucapkan salam bisa menjauhkan seseorang dari takabbur [kesombongan]...Bila ada seseorang mengucapkan salam maka yang orang yang dituju hendaknya menjawab dengan intonasi yang lebih baik...”
Tentunya terkait mengucapkan salam ada banyak hadis dan riwayat dan salah satunya adalah “Mengucapkan salam hukumnya sunnah dan menjawabnya wajib...”
Di hari-hari pertama pengutusan kenabian, masyarakat ketika berjumpa dengan yang lainnya, mengucapkan selamat pagi, selamat sore dan selamat malam. Sampai ketika Rasulullah Saw mendatangi mereka dan mengatakan, “Jibril turun kepadaku dan menyampaikan ucapan Allah seraya berkata, “Jangan mengucapkan salam dengan yang lain dengan cara tradisi Jahiliyah.”
Kemudian bersabda, “Allah telah memberikan hadiah yang lebih baik untuk kita dan memerintahkan kita untuk mengucapkan salam dengan yang lain dengan cara para penghuni surga. Oleh karena itu, untuk selanjutnya, ketika berjumpa dengan saudara-saudara seagama ucapkanlah “Salamun ‘Alaikum” dan dengan mengucapkan salam dan jawabannya, hadiahkan keselamatan pada saudara-saudara kalian!”
Allah Merindukan Pertemuan Denganmu
Di Akhir usianya, Rasulullah Saw sakit parah dan akibatnya adalah beliau meninggal dunia. tiga hari sebelum wafat, Jibril datang menemui beliau dan berkata, “Hai Ahmad! Allah mengutusku kepadamu untuk menyampaikan salam-Nya dan kukatakan bahwa Dia mengetahui kondisimu.”
Tapi sekarang katakan bagaimana dengan kondisimu sendiri?
Rasulullah Saw berkata, “Hai Jibril, aku sedih dan suntuk.”
Tiga hari kemudian [di detik-detik terakhir usianya] Jibril datang menemui Rasulullah bersama Izrail dan seorang malaikat bernama Ismail dan tujuh puluh ribu malaikan lainnya. Jibril berkata, “Hai Ahmad, aku diutus Allah kepadamu untuk menyampaikan salam-Nya kepadamu dan kukatakan bahwa Dia mengetahui kondisimu. Tapi sekarang katakan bagaimana dengan kondisimu sendiri?
Rasulullah Saw berkata, “Hai Jibril, aku sedih dan suntuk.”
Jibril berkata, “Hai Ahmad, ini adalah malaikat maut. Dia datang untuk mengambil nyawamu dan dia meminta izin kepadamu. Padahal selama ini dia tidak pernah meminta izin kepada seseorang untuk mengambil nyawanya. Setelah ini juga tidak akan meminta izin kepada siapapun.”
Rasulullah Saw berkata, “Atas namaku, izinkan dia!”
Jibril memberikan izin kepada Izrail dan Izrail maju dan berdiri di depan Rasulullah Saw seraya berkata, “Hai Ahmad, Allah telah mengutusku kepadamu dan Dia memerintahkanku untuk menjalankan perintahmu. Bila engkau mengizinkan, maka akan aku bawa ruhmu. Bila tidak, maka aku tidak akan melakukannya.”
Kemudian Jibril berkata, “Hai Ahmad, Allah merindukan pertemuan denganmu.”
Rasulullah Saw tersenyum dan dengan gembira berkata, “Hai malaikat maut, Lalukanlah apa yang diperintahkan kepadamu!”(Emi Nur Hayati)
Sumber: “Sad Pand va Hekayat” Nabi Muhammad Saw
Rasulullah Saw, Simbol Persatuan Dunia Islam
Umat Islam di seluruh penjuru dunia memperingati maulid Nabi Muhammad Saw, meskipun terdapat perbedaan penanggalan kelahirannya menurut riwayat Sunni dan Syiah. Sunni meyakini Rasulullah Saw dilahirkan tanggal 12 Rabiul Awal, sedangkan Syiah meyakini tanggal 17 Rabiul Awal. Meskipun demikian, hal ini justru dipahami sebagai momentum persatuan Dunia Islam.
Di Iran, Imam Khomeini mencanangkan “Pekan Persatuan Dunia Islam” dalam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Hingga kini, Iran terus menerus menyuarakan persatuan Muslim di tengah keragaman mazhab masing-masing.
Persatuan umat Islam dipahami bahwa kaum Muslim mengedepankan kesamaan pandangan sebagai pokok pijakan bersama, yaitu: Tauhid, al-Quran dan Nabi Muhammad Saw dalam menghadapi berbagai ancaman terhadap prinsip Islam dan masyarakat Muslim, sekaligus sebagai pengikat umat Islam untuk menjauhi friksi antarmazhab, politik, etnis, bahasa dan lainnya.
Dewasa ini, urgensi persatuan Islam lebih mendesak dari sebelumnya.Sebab Islam dan Muslim di seluruh penjuru dunia saat ini menjadi sasaran musuh dengan berbagai programnya, termasuk Islamofobia. Oleh karena itu, seluruh Muslim harus menaati perintah Allah swt dan menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai teladannya, dan perilaku mereka mengikuti contoh yang telah diberikan oleh Rasulullah Saw. Nabi Muhammad Saw berhasil menyatukan bangsa jahiliyah yang tidak berbudaya dalam ikatan tauhid dan solidaritas umat Islam.
Nabi Muhammad Saw sangat menekankan urgensi persatuan dan solidaritas umat Islam demi mewujudkan tujuan mulia agama Islam, dan beliau sangat mengetahui dengan baik jalan untuk mewujudkannya.Oleh karena itu, Rasulullah Saw mengerahkan seluruh upayanya untuk mewujudkan persatuan umat Islam.
Setelah hijrah dari Mekah ke Madinah, langkah pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw salah satunya adalah mengambil janji setia dan mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Ansar. Dalam perjanjian ini, Rasulullah Saw juga menyatukan suku Aus dan Khazraj yang sering berperang hingga bertahun-tahun. Sejarah mencatat, peperangan antara dua kabilah itu lebih dari seratus tahun.
Rasulullah Saw dengan baik memahami bahwa Islam tidak akan berakar kuat di kota Madinah dan di wilayah lainnya ketika antarsesama anggota masyarakat masih berperang mengenai masalah suku maupun etnis dan kelas sosial. Dengan metode yang sangat cerdas, Rasulullah Saw mempersaudarakan satu persatu dari kedua kelompok. Nabi Muhammad Saw dalam sebuah pertemuan besar bersabda, “Setiap pasang terdiri dari dua orang menjadi saudara seagama”.
Saking kuatnya ikatan persaudaraan ini, seorang Muslim akan mendahulukan saudara seagama dari dirinya sendiri. Sejarah mencatat suatu hari terjadi pembagian pampasan perang atau ghanimah. Rasulullah Saw berkata kepada orang-orang Ansar supaya mempersilahkan muhajirin ikut dalam pembagian ghanimah tersebut.
Pihak Ansar menjawab, “Kami tidak hanya akan memberikan ghanimah kepada saudara muhajirin, tapi mereka juga diperbolehkan untuk tinggal di rumah kami,”. Sejatinya, tindakan Rasulullah Saw mempersaudarakan kaum muhajir dan Ansar merupakan terobosan besar yang dicatat dalam sejarah. Persatuan tersebut menjadi model persatuan dunia Islam hingga kini.
Persatuan Islam merupakan salah satu faktor terpenting bagi kemuliaan dan kemenangan Muslim di berbagai bidang, dari aspek sosial hingga politik. Sebaliknya, perselisihan dan friksi hanya menghasilkan kelemahan dan ketidakberdayaan umat Islam. Potensi sumber daya Muslim yang besar terbuang percuma, dan umat Islam terkotak-kotak secara etnis, kelompok sosial dan kecenderungan politiknya masing-masing.
Nabi Muhammad Saw memandang sama setiap Muslim. Bagi Rasulullah Saw, tidak ada bedanya seorang budak seperti Bilal dan Zaid bin Haritsah, yang menjadi komandan pasukan Muslim. Parameter keutamaan dalam Islam yang dijadikan pijakan oleh Rasulullah Saw adalah ketakwaan. Oleh karena itu, orang yang paling takwa adalah orang yang paling mulia tanpa memandang status sosial maupun etnisnya.
Suatu hari Salman sedang duduk di Masjid, dan sebagian tokoh juga berada di sana. Lalu muncul pembicaraan mengenai silsilah keturunan mereka. Masing-masing berbangga dengan keturunannya sendiri. Kemudian tibalah giliran Salman untuk menjelaskan garis keturunannya.
Ketika itu, Salman berkata, “Namaku Salman, putra salah seorang hamba Allah. Dulu tersesat, tapi Tuhan memberikan hidayah melalui Nabi Muhammad Saw. Dahulu aku miskin, tapi Allah swt membuatku tidak membutuhkan melalui Muhammad. Dahulu aku budak, tapi kini Tuhan membebaskanku melalui Muhammad. Inilah silsilah garis keturunanku.”
Pada saat itu, Rasulullah Saw memasuki masjid, dan peristiwa tersebut dijelaskan kepada beliau oleh salah seorang dari mereka yang berada di masjid itu. Di hadapan para pemuka Quraisy, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Wahai kaum Quraisy! Apa artinya darah? Apa maknanya suku? Garis keturunan tidak pernah menjadi kebanggaan dalam agama seseorang. Ksatria adalah orang yang berakhlak mulia dan berbuat baik lebih banyak.Keutamaan setiap orang adalah akal dan pemahamannya.Lalu apa yang lebih utama dari akal?” Pernyataan Rasulullah saw tersebut menegaskan penolakan terhadap fanatisme kabilah, dan mengutamakan persatuan.
Nabi Muhammad Saw menentang keras fanatisme etnis, dan mendukung orang orang yang tertindas. Kebanyakan dari mereka adalah budak yang tidak berada dalam perlindungan satu kabilah pun. Tapi, Rasulullah saw mengakui hak sosial dan politik mereka yang sama dengan orang lain.
Rasulullah Saw dengan baik mengetahui bahwa manusia sama secara fitrahnya. Semua manusia dilahirkan sama dari sisi kemanusiaannya, dan perbedaan suku, bahasa dan tempat kelahiran tidak menghalangi hak kemanusiaan mereka. Selain itu, Nabi Muhammad Saw juga menghapuskan tradisi ribuan tahun dua kelompok; budak dan tuan, yang berkembang di tengah masyarakat ketika itu.
Terkait hal ini, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Tuan dan budak sama saja, mereka saudara dan berasal dari satu keturunan. Semua asalnya dari tanah. Tidak ada keunggulan kulit putih dari kulit hitam. Para budak yang berada di bawah kalian adalah saudara kalian juga dan memiliki hak seperti kalian. Makanan yang kalian makan, berikan juga kepada mereka. Pakaian yang kalian kenakan, berikan juga kepada mereka. Jangan memaksa mereka melakukan pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakannya. Kalian juga harus membantu pekerjaan mereka,”.
Di bagian lain, Rasulullah Saw menegaskan hak-hak para budak yang harus diperhatikan para tuannya,“Perhatikan adab setiap kali kalian memanggil mereka. Jangan panggil mereka dengan budakku! Sebab mereka semua, baik laki-laki maupun perempuan adalah hamba Tuhan! Semua milik-Nya.” Sabda Rasulullah Saw tersebut memberikan pengaruh terhadap para sahabatnya. Contohnya, Zaid bin Haritsah membebaskan budak yang dihadiahkan istrinya. Lalu ia mengangkat budak itu sebagai anaknya. Kemudian dinikahkan dengan putri bibinya dari kabilah terkemuka Quraisy.
Perpecahan dan friksi di Madinah selalu muncul baik terbuka maupun tersembunyi. Tapi dengan sigap Rasulullah Saw meredamnya. Salah satu yang menjadi pemicunya adalah manuver Abdullah bin Ubay, seorang munafik yang dicatat dalam sejarah Islam. Meskipun Abdullah bin Ubay menampakkan diri beriman, tapi ia selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk memecah belah umat Islam. Bahkan ia juga menjalin hubungan dengan Musyrikin Mekah. Selain itu, ia juga memainkan peran penting dalam memprovokasi Yahudi Madinah supaya melanggar perjanjian dengan Muslim.
Meskipun Rasulullah Saw mengetahui sepak terjang Abdullah bin Ubay, tapi beliau tidak menindak langsung demi menjaga persatuan umat Islam dan hanya mengontrolnya dan meminimalisir dampak buruknya. Sejatinya, Rasullah Saw selalu mengutamakan persatuan dan solidaritas umat Islam, dan inilah yang dihadiahkan beliau kepada umat Islam di hari mulia kelahirannya.
Mab'ats, Momentum Bangkitnya Kemanusiaan
Pada saat itu, rahmat Allah turun ke bumi. Nabi Muhammad menyaksikan malaikat Jibril turun dari langit membawa cahaya terang benderang ke arah beliau. Jibril tiba dan memegang pundak Nabi Muhammad lalu berkata, Wahai Muhammad, bacalah ! Nabi Muhammad menjawab, apa yang mesti kubaca ? Jibril berkata, Iqra bismirabbikaladzi khalaq.... bacalah dengan nama Tuhan yang menciptakanmu. Jibril menyampaikan wahyu yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad dan kembali ke langit.
Menggambarkan kejadian ini, Imam Hadi as berkata, Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul saat turun dari gua Hira dan menyaksikan keagungan dan kebesaran Ilahi. Menerima wahyu, begitu berat bagi Nabi Muhammad sehingga ia tampak menggigil seperti seorang yang sedang sakit demam.
Allah Swt berkehendak membersihkan "dada" Nabi Muhammad yaitu mewujudkan kesempurnaan dan meneguhkan hatinya. Saat Nabi Muhammad kembali ke rumahnya, bebatuan besar, kerikil dan segala sesuatu yang dilewatinya mengucapkan salam. Benda-benda itu berujar, Assalamualaika Ya Rasulullah. Selamat kepadamu karena Tuhan telah memberi keutamaan dan menghiasimu dengan keindahan, dan selamat untuk umat manusia dari awal hingga akhir.
Peristiwa terpenting dalam sejarah Islam yang menjadi momentum agung dan paling berpengaruh bagi nasib umat manusia adalah Mab'ats atau pengangkatan Nabi Muhammad menjadi rasul. Bi'tsah artinya dibangkitkan dan dalam istilah berarti pengutusan seorang manusia dari sisi Tuhan untuk menghidayahi manusia lain.
Bi'tsah dan risalah kenabian tidak bisa kita batasi hanya pada kaum atau etnis tertentu saja, karena Nabi Muhammad diutus untuk seluruh umat manusia di sepanjang masa. Dengan bi'tsah, Allah Swt menyerukan perintah yang bersumber dari rahmat-Nya kepada manusia untuk bangkit. Wahyu Tuhan dibawa turun ke bumi oleh Jibril dan disebarluaskan oleh Nabi Muhammad ke seluruh penjuru alam.
Menjelang diangkatnya Nabi Muhammad menjadi rasul, dunia berada dalam krisis dan kemerosotan moral akut. Kebodohan, perampokan, penindasan, kerusakan sosial, kebebasan tak terkendali, diskriminasi dan ketidakadilan, dicampakkannya akhlak dan kemanusiaan, saat itu menguasai seluruh manusia di muka bumi.
Jazirah Arab khususnya Hijaz dari sisi kebudayaan, politik, ekonomi dan sosial adalah wilayah yang mengalami kondisi paling buruk kala itu. Perempuan Arab bukan hanya tidak terpenuhi hak-hak dasarnya, bahkan diperjualbelikan layaknya barang. Anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup.
Sebagaimana dijelaskan dalam Surat An Nahl ayat 58-59, "Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu".
Al Quran di banyak ayat menjelaskan tujuan pengangkatan Nabi Muhammad. Tujuan paling mendasar Mab'ats adalah menyeru manusia kepada tauhid dan penyembahan Tuhan yang esa, dan menolak segala bentuk syirik dan thagut. Di ayat ke 36 Surat An Nahl, Allah Swt berfirman, "Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu".
Pada kenyataannya, tugas terpenting nabi-nabi Tuhan adalah memberantas kebodohan, kepalsuan dan standar-standar yang salah, lalu menggantinya dengan nilai-nilai Ilahi. Tujuan penting lain pengangkatan Nabi Muhammad adalah menegakkan keadilan di tengah masyarakat.
Para nabi diangkat untuk menerapkan hukum Tuhan dan menegakkan keadilan sehingga kehidupan manusia kental dengan nilai Ilahi. Dalam Surat Hadid ayat 25, Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan".
Rasulullah Saw menyebut tujuan terpenting Mab'ats adalah menyempurnakan akal dan pikiran manusia, karena tauhid dapat diterima jika umat manusia meningkatkan level berpikirnya. Manusia yang lalai atas kekayaan berharganya itu, bisa saja menyembah batu atau bunga, namun manusia-manusia agung dan ahli berpikir yang berhasil mengungkap sumber penciptaan, akan mensyukuri pencipta seluruh benda itu.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda, Allah Swt tidak mengangkat seorang nabi dan rasul kecuali untuk menyempurnakan akal dan kemampuan berpikir manusia, oleh karena itu para nabi dan rasul harus memiliki kemampuan berpikir yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, Mab'ats adalah dimulainya kebangkitan Islam dan sumber peradaban serta kebudayaan Islam, juga terbentuknya sebuah masyarakat Islam yang bersatu. Dari sini, tidak ada gerakan apapun yang bisa dibandingkan dengan gerakan Islam. Realitasnya, Mab'ats adalah perubahan di seluruh masyarakat manusia dan menunjukkan bahwa masyarakat paling terbelakang sekalipun yang takut akan perubahan dalam tradisi dan kebiasaannya, bisa meraih puncak keutamaan manusia.
Hasil perjuangan dan jihad Nabi Muhammad selama 23 tahun begitu kokoh dan berakar sehingga dalam waktu yang tidak lama, Muslimin di puncak kemuliaannya, berhasil membangun pondasi peradaban agung di dunia. Nabi Muhammad sebagai utusan terakhir Tuhan, adalah yang paling sempurna dan menunjukkan jalan kebahagiaan yang paling lengkap bagi generasi umat manusia. Maka setiap kali manusia menerima pengetahuan yang bersumber dari Nabi Muhammad, keburukan akhlak akan tercabut dari masyarakat dan ia akan menyaksikan dunia lebih indah.
Nabi Muhammad sebagai pembawa pesan Islam, dalam waktu tidak terlalu lama mampu mengubah kondisi masyarakat yang jumud dan liar, dan setelah 13 tahun beliau mendirikan sebuah pemerintahan yang berlandaskan ilmu pengetahuan, keadilan, tauhid, spiritualitas dan akhlak.
Ketika terbuka kesempatan untuk mendirikan sebuah pemerintahan Islam pasca hijrah beliau dari Mekah ke Madinah, Nabi Muhammad langsung membangun semangat persaudaraan di tengah Muslimin dan menyingkirkan seluruh perbedaan, perpecahan serta permusuhan dari mereka.
Kemudian Nabi Muhammad mempersenjatai mereka dengan ilmu pengetahuan. Ia mewariskan sebuah ajaran kepada umat manusia yang selalu menjamin kebahagiaan mereka. Dengan pengangkatannya, Rasulullah Saw melakukan revolusi mendasar dalam pemikiran dan nilai-nilai sosial, dan menyeru umat manusia kepada cinta, kemanusiaan, kasih sayang, iman dan keadilan.
Will Durant, sejarawan dan filsuf terkenal Amerika menulis, jika kita mengukur tingkat pengaruh manusia besar ini di tengah masyarakat, harus kita katakan bahwa Muhammad adalah salah satu tokoh sejarah terbesar umat manusia. Dia berjuang meningkatkan level pengetahuan dan akhlak sebuah kaum yang liar karena pengaruh ekstremnya cuaca dan keringnya gurun pasir, sehingga menjadi umat yang satu.
Ia dikaruniai kemampuan yang lebih baik dari para reformis dunia. Sedikit orang, kecuali dia yang dapat memahami bahwa seluruh cita-citanya dapat dicapai melalui jalan agama, karena ia meyakininya. Dari kaum penyembah berhala dan bertebaran di gurun pasir, terbentuklah sebuah umat yang satu.
Ia membawa agama yang lebih baik dan lebih tinggi dari agama Yahudi, Kristen, dan agama-agama kuno Arab. Ajaran yang sederhana, jelas dan kokoh ditopang spiritualitas yang berlandaskan keberanian dan anti-rasis yang selama satu generasi berhasil memenangkan 100 peperangan. Dalam seabad berhasil membangun imperium besar dan luas, dan di masa kita merupakan kekuatan penting yang menancapkan pengaruhnya di setengah dunia.
Secara umum dapat dikatakan bahwa Rasulullah Saw dengan pengangkatannya berhasil memberikan kehidupan baru di semua bidang kemanusiaan. Manusia bahagia adalah yang menerima seruan kepada kehidupan ini.
Sebagaimana disebutkan Al Quran dalam Surat Al Anfal ayat 24, "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan".
Manifestasi Al-Quran dalam Kebangkitan Imam Husein (5)
Banyak dimensi dari kepingan perjalanan Imam Husein dari Madinah ke Karbala yang bisa dipetik sebagai pelajaran berharga. Perilaku Imam Husein mencerminkan nilai-nilai luhur Al-Quran. Beliau adalah teladan keutamaan, kemuliaan dan kepahlawanan.
Ketika dihina orang lain, beliau tidak membalasnya, tapi justru membantu memenuhi kebutuhan mereka yang dicatat dalam sejarah Islam. Suatu hari seorang laki-laki asal Syam yang menyimpan dendam dan permusuhan terhadap Imam Husein karena terpengaruhi propaganda keji Muawiyah terhadap Ahlul Bait Nabi, tiba di Madinah.
Ketika bertemu dengan Imam Husein, dia langsung menghina dan melontarkan kata-kata tidak sopan dan hinaan. Imam Husein menatapnya dengan penuh kasih sayang dan berkata, "Jika kau meminta bantuan dari kami, kami akan membantumu. Jika kau menginginkan sesuatu, kami akan memberikannya padamu, dan jika kau menginginkan bimbingan dan hidayah, kami akan membimbingmu."
Diperlakukan dengan sangat baik oleh Imam Husein, lelaki itu merasa malu dan mengubah sikapnya, serta meminta maaf kepada beliau. Menyaksikan penyesalan orang itu, Imam Husein berkata, "Tidak ada celaan dan hardikan untukmu, semoga Allah Swt mengampunimu, karena Dia-lah Yang Maha Pengasih." Perilaku mulia Imam Husein ini menunjukkan ketinggian akhlaknya yang tidak bisa dilepaskan dari al-Quran sebagai pedoman Imam Husein.
Di manapun dan dalam keadaan apapun, Imam Husein berupaya menjalankan nilai-nilai al-Quran dan menyampaikan kepada orang lain, bahkan nasihat tersebut juga disampaikan kepada musuhnya sekalipun.
Manifestasi terindah dari akhlak mulia Imam Husein terlihat dalam perilaku beliau memperlakukan musuh dalam perjalanan menuju padang Karbala. Ketika itu, rombongan Imam Husein as dalam perjalanan menuju Kufah berpapasan dengan pasukan yang dipimpin Hur bin Yazid Ar-Riyahi.
Pasukan Hur diperintahkan untuk mencegat Imam Husein as beserta rombongannya dan menahan mereka di sebuah wilayah yang kering tanpa air. Namun pasukan Hur sendiri juga kehabisan bekal air. Imam Husein memerintahkan para sahabat dan keluarga beliau untuk berbagi air dengan pasukan Hur.
Seorang tentara dari pasukan Hur yang tiba paling akhir, sedemikian haus dan lemas tubuhnya hingga tidak mampu turun dari kuda untuk meminum air. Imam Husein menyaksikan hal itu dan beliau sendiri yang memberikan air ke mulut tentara itu.
Tetapi ironisnya kemudian pada hari Asyura, mereka bertindak sebaliknya tidak mengizinkan bayi Imam Husein yang baru berusia enam bulan untuk minum air. Tidak hanya itu, mereka juga melesatkan anak panah ke leher bayi yang sedang berada di tangan ayahnya di hari Asyura.
Salah satu masalah penting yang ditegaskan oleh beliau adalah takwa. Al-Quran surat at-Talaq ayat 2 menegaskan, "…barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar,".
Ketika dihadang pasukan Hur, Imam Husain mengajak mereka untuk menunaikan shalat berjamaah. Selesai mengerjakan salat Ashar, Imam Husein berkhutbah di depan penduduk Kufah.
Setelah mengucapkan pujian kepada Allah Swt dan shalawat atas Rasul-Nya, beliau bersabda, "Wahai manusia! Jika kalian mengedepankan takwa kepada Allah Swt dan jika mengerti siapakah yang layak memegang hak (untuk memimpin umat),"
Imam Husein melanjutkan nasihatnya, "…dan (ketahuilah) bahwa kami, Ahlulbait Nabi Muhammad Saw, adalah orang lebih layak memimpin kalian daripada mereka yang mengaku layak tetapi sebenarnya tidak memiliki kelayakan dan mereka yang telah menggerakkan kezaliman dan rasa permusuhan (terhadap kami),"
Imam Husein menambahkan, "Jika kalian tidak mengerti hal ini dan hanya memahami kebencian kepada kami, tidak mengetahui hak kami, dan kata-kata kalian sekarang sudah tidak seperti yang kalian katakan dalam surat-surat kalian yang telah datang menyerbuku bersama para utusan kalian, maka aku akan pergi meninggalkan kalian."
Kemudian Imam Husein membacakan ayat al-Quran surat Fath ayat 10 yang berbunyi, "..orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar."
Ayat ini diturunkan setelah terjadi perdamaian Hudaibiyah yang dilakukan antara Rasulullah saw dan kaum Musyrik Mekah pada bulan Dzulkaidah tahun keenam Hijriyah. Perjanjian ini ditandatangani di daerah Hudaibiyah pada tahun ke-6 H.
Peristiwa tersebut direkam dalam Surah Al-Fath. Ketika itu Rasulullah saw dan kaum muslimin bermaksud pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, tapi pihak musyrik Quraisy menahan mereka. Oleh karena itu, Rasulullah Saw mengirim utusan kepada Quraisy untuk berunding.
Sebelum terjadi perjanjian ini, Rasulullah Saw mengambil janji setia dari orang-orang Mukmin yang disebut Baiat Ridwan yang dijelaskan dalam surat Al-Fath ayat 18 yang berbunyi, " Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)."
Orang-orang Kufah menulis surat kepada Imam Husein supaya datang, tapi mereka mengingkari janjinya sendiri. Alih-alih menolong Imam Husein, mereka justru memeranginya. Pelanggaran dan pengkhianatan yang mereka lakukan terhadap Imam Husein pada akhirnya merugikan mereka sendiri.
Selain melakukan dosa besar karena telah berkhianat, mereka membantu musuh. Oleh karena itu mereka tidak akan mendapatkan karunia ilahi sebagaimana diberikan kepada para pendukung perjuangan Imam Husein.
Manifestasi Al-Quran dalam Kebangkitan Imam Husein (4)
Imam Husein dan rombongan meninggalkan kota Madinah pada tanggal 28 Rajab 60 Hijriyah lalu bergerak menuju Mekah, dan tiba di Karbala pada 2 Muharam 61 Hijriyah. Dalam perjalanan, Imam Husein senantiasa menyampaikan pencerahan kepada masyarakat di setiap daerah yang dilaluinya.
Sebagai Ahlul Bait, Imam Husein mewarisi keutamaan akhlak mulia Rasulullah Saw. Sama seperti kakeknya, beliau tidak akan berdiam diri menghadapi penyimpangan yang terjadi di tengah masyarakat.
Imam Husein tanpa kenal lelah dan berani terus-menerus memberikan penyadaran kepada masyarakat, terutama kepada para pemimpin agama dan tokoh masyarakat di berbagai tempat yang ditemuinya dari Mekah menuju Karbala.
Di salah satu pesannya yang disampaikan kepada masyarakat, Imam Husein berkata, "Sadarlah! Ketika suatu kaum telah mentaati setan dan meninggalkan ketaatan terhadap Allah swt, melakukan kerusakan secara terang-terangan dan menghentikan hukum Allah, menjadikan Baitul Mal sebagai kas pribadi dan menghalalkan yang telah diharamkan oleh Allah, maka aku datang untuk mengubah keadaan ini !"
Tindakan yang dilakukan Imam Husein senantiasa berpijak dari Al-Quran, termasuk seruan dari surat Al-Fusilat ayat 30 yang disitir ketika menyampaikan nasehatnya, "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu".
Imam Husein di bagian lain nasihatnya yang disampaikan secara bijak kepada masyarakat, mengungkapkan masalah kehormatan dan maknanya yang tinggi dalam diri seorang mukmin.
Beliau berkata, "Sadarlah, mereka yang memberiku dua pilihan, pedang dan kehinaan! Kami memilih syahid, bukan kehinaan. Sebab Allah swt dan Rasul-Nya menghendaki demikian."
Di hari Asyura, Imam Husein tetap memberikan nasihat dan bimbingan kepada musuh sekalipun. Setiap baris nasihatnya mengandung makna yang sangat dalam.
Jika dikaji lebih dalam, perkataan ini disampaikan ketika Imam Husein sudah tahu usianya tidak akan lama, dan beliau akan mencapai kesyahidan.Tapi pernyataan ini disampaikan sebagai pelajaran penting bagi umat Islam tentang betapa berharganya kehormatan manusia, meski harus ditebus dengan nyawa sekalipun. Seruan Imam Husein ini sepanjang sejarah menjadi inspirasi tidak hanya untuk umat Islam, tapi juga bagi pejuang penegak keadilan di seluruh penjuru dunia.
Dalam perjalanan menuju kota Kufah dari kota Mekah, Imam Husein bertemu dengan penyair terkenal bernama Farazdaq. Imam Husein kepada Farazdaq menggambarkan kondisi yang terjadi saat itu.
Imam Husein berkata, “Wahai Farazdaq, kelompok ini telah menyingkirkan ketaatan kepada Allah Swt dan mengikuti setan. Mereka melakukan kerusakan di bumi Allah, meninggalkan ajaran-ajaran ilahi, menenggak minuman keras, merampas hak kaum tertindas dan miskin. Untuk itu, aku sudah sepantasnya bangkit membela agama dan kemulian, serta melakukan jihad di jalan Allah Swt.”
Gerakan Asyura yang dikibarkan Imam Husein demi menjaga dan menyebarkan ajaran agama Allah dari ulah musuh yang hendak memadamkan cahaya ilahi. Sebagaimana disinggung dalam al-Quran surat as-Saff ayat 8, Allah swt berfirman, "Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya".
Di ayat ini, Allah swt berfirman bahwa cahaya-Nya itu tidak akan padam, tapi justru dengan berlalunya waktu semakin benderang. Oleh karena itulah, Nabi Muhammad Saw bersabda, "Sesungguhnya kesyahidan Imam Husein menjadi api yang berkobar di hati orang-orang mukmin yang tidak akan pernah padam".
Dalam perang Badar yang terjadi di bulan Ramadhan tahun kedua Hijriyah, Allah swt mengirimkan sebanyak 3.000 malaikat untuk membantu Rasulullah Saw. Demikian juga, ketika Imam Husein meninggalkan Madinah menuju Karbala didampingi oleh para malaikat untuk membantu beliau.
Tapi Imam Husein mengucapkan terima kasih kepada mereka dan mengutip ayat al-Quran surat Nisa ayat 78 yang berbunyi," Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh…"
Ketika keimanan terhunjam kuat di dalam dada, maka kekhawatiran dan ketakutan akan sirna. Kekuatan iman menjadi benteng paling kuat menghadapi berbagai rintangan yang menghadang.
Contoh terbaik dari kekuatan Iman adalah keyakinan Imam Husein yang tidak khawatir dan takut sedikitpun menghadapi ancaman dan rintangan yang menghalanginya dalam perjalanan menuju Karbala hingga beliau syahid bersama anggota keluarga dan pengikutnya.
Imam Husein menyandarkan seluruh hidupnya kepada Allah swt. Oleh karena itu, tidak ada sedikitpun kekhawatiran menyongsong datangnya kematian. Keyakinan kuat imam Husein mengenai kematian ini berpijak dari ayat al-Quran surat al-Nisa ayat 142 yang berbunyi, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan,".
Sebaliknya Imam Husein memberikan nasihat kepada orang-orang yang ragu untuk memilih jalan kebenaran dan tidak membiarkan diri mereka diliputi keraguan.
Surat An-Nisa ayat 143 menjelaskan, "Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya,".
Imam Husein telah menggambarkan hakekat kebenaran yang dibawanya dengan indah. Hakekat yang digambarkan Imam Husein adalah melawan kezaliman dan menyuarakan keadilan meski nyawa harus dipertaruhkan. Karbala menjadi bukti perlawanan puncak Ahlul Bait Rasulullah Saw terhadap kezaliman, sekaligus menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan.
Manifestasi Al-Quran dalam Kebangkitan Imam Husein (3)
Imam Husein sebagai pemimpin umat Islam dan hujah Allah swt di muka bumi menjadikan kehidupannya sebagai pelayan masyarakat, terutama orang-orang yang membutuhkan dan ditindas. Selain itu, beliau juga berjuang untuk menjalankan nilai-nilai al-Quran.
Salah satu prinsip gerakan Qurani Imam Husein yang diperjuangkan dari awal hingga kesyahidannya adalah amar makruf dan Nahi Munkar. Pada saat meninggalkan kota Mekah dan Madinah itu, Imam Husein menulis sebuah surat wasiat kepada saudaranya, Muhammad al-Hanafiyah.
Dalam surat itu, Imam Husein menulis, "Ini adalah surat wasiat Husein bin Ali kepada saudaranya Muhammad al-Hanafiyah. Husein bersumpah tidak ada yang disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba- dan utusan-Nya yang diangkat dengan kebenaran. Sesungguhnya surga dan neraka adalah benar adanya dan begitu juga dengan kiamat. Allah akan membangkitkan semua manusia dari alam kubur."
Setelah mengumumkan isi pemikiran dan keyakinannya, Imam Husein kemudian menjelaskan tentang tujuan perjalanannya itu. Beliau menulis, "Sesungguhnya aku tidak bangkit karena egois dan mengikuti hawa nafsu. Tidak juga untuk melakukan kerusakan. Aku melakukan ini demi memperbaiki urusan umat kakekku,".
Imam Husein melanjutkan penjelasannya, "Aku ingin menjalankan Amar Makruf dan Nahi Munkar. Aku bergerak sesuai dengan teladan dari perilaku kakekku, Rasulullah Saw, dan ayahku, Ali bin Abi Thalib. Barang siapa yang menerima kebenaran yang aku bawa, berarti ia lebih layak mendapat kebenaran. Sementara siapa saja yang menolakku, maka aku akan bersabar, sehingga Allah memutuskan antara aku dan umat ini. Karena Allah adalah hakim yang terbaik."
Imam Husein telah menjelaskan motivasi dan tujuan utama kebangkitannya yaitu, melawan kerusakan yang tersebar secara luas di tengah umat Islam dan menentang perilaku anti-kemanusiaan yang dipertontonkan oleh pemerintah Yazid.
Gerakan yang dilakukan Imam Husein berpijak pada al-Quran, salah satunya adalah surat Ali-Imran ayat 104, yang menjelaskan, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."
Dalam berbagai keadaan Imam Husein senantiasa mengingatkan masyarakat dan menyadarkan mereka mengenai pesan-pesan Al-Quran termasuk prinsip Amar Makruf dan Nahi Munkar.
Ketika berada di tengah perjalanan ke Kufah, Imam Husein mengutip sebuah hadis dari Rasulullah Saw. Beliau mengatakan, "Wahai manusia! Sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda? Barangsiapa yang menyaksikan seorang penguasa yang jahat, menghalalkan yang diharamkan Allah, melanggar perjanjian Allah, melawan Sunnah Rasulullah Saw dan bersikap zalim kepada hamba-hamba Allah, tapi ia tidak mengubahnya baik dengan perbuatan atau ucapan, maka Allah berhak memasukkannya ke tempat yang seharusnya."
Perjuangan Imam Husein untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan terwujudnya nilai-nilai agama Allah, dan menciptakan pemerintahan Islam serta menghancurkan kezaliman. Tujuan gerakan beliau adalah meneruskan jalan Nabi Muhammad Saw dan para Nabi yang lain.
Sebagai Ahlul Bait Rasulullah Saw, nilai-nilai perjuangan Imam Husein senantiasa berpijak pada al-Quran. Ketika Imam Husein dan rombongan meninggalkan kota Madinah pada tanggal 28 Rajab 60 Hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 7 Mei 680 Masehi, beliau membacakan ayat 21 surat al-Qasas.
Ayat tersebut mengisahkan tentang perjalanan Musa bin Imran ke Mesir dan persiapannya untuk berperang melawan Firaun. Allah Swt berfirman, "Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa, "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu." Ayat ini dijadikan dasar oleh Imam Husein untuk melawan Yazid bin Muawiyah.
Imam Husein tiba di Mekah pada tanggal 3 Sya'ban dan tinggal di rumah Abbas bin Abdul Muthalib. Ketika sampai di kota suci itu, beliau membacakan ayat 22 surat al-Qasas yang berbunyi, "Dan tatkala ia menghadap ke arah negeri Madyan, ia berdoa (lagi), ?Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar."
Tujuan Imam Husein membacakan kedua ayat tersebut adalah untuk menunjukkan keterasingannya di tengah umat Islam, sebab mayoritas penduduk Madinah tidak mengindahkan peringatan berulangkali yang beliau sampaikan kepada mereka tentang kepemimpinan lalim Yazid, dan mereka membiarkan beliau sendiri terjebak dalam berbagai peristiwa.
Imam Husein meninggalkan kota kelahirannya dan berlindung di sebuah tempat lain demi mewujudkan cita-cita yang mulia. Beliau datang ke Mekah untuk sebuah tujuan besar dan tidak akan terealisasi tanpa petunjuk dan pertolongan dari Allah swt.
Menurut Tarikh al-Tabari, Imam Husein setelah tiba di Mekah, menulis sebuah surat kepada para pemimpin Basrah ,dan mengatakan, "Saya mengajak kalian untuk mengikuti kitab Ilahi dan sunnah Rasulullah Saw. Sebab, bid'ah dan penyimpangan agama kembali hidup. Jika kalian mendengar pesan ini dan menerimanya, saya akan membimbing kalian ke jalan kebahagiaan." Dalam surat itu, mereka juga diharapkan tidak lalai terhadap kondisi yang terjadi di tengah masyarakat.
Kebangkitan melawan kelaliman merupakan salah satu tugas para Nabi dan aulia Allah swt yang ditegaskan dalam al-Quran, sebagaimana dilakukan oleh Nabi Musa yang bangkit menghadapi Firaun. Al-Quran surat Taha dengan baik merekam peristiwa yang penuh pelajaran ini. Surat Taha ayat 24 menjelaskan, "Pergilah kepada Fir'aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas".
Berdasarkan ayat ini, salah satu alasan mengapa Imam Husein bangkit melawan Yazid karena penguasa bani Umayah ini sudah melampaui batas. Selain tidak menjalankan ajaran Islam, bahkan menunjukkan penentangan terhadap hukum Islam seperti minuman keras, Yazid juga berlaku zalim kepada rakyatnya.
Peristiwa Asyura dengan segenap penderitaan dan dukanya memberikan pelajaran penting mengenai perjuangan Imam Husein bersama keluarga dan pengikut setianya tentang konsekuensi sebagai Muslim sejati yang menerima al-Quran sebagai sumber ajaran agamanya, juga Rasulullah dan Ahlul Baitnya sebagai pedoman menjalankan nilai-nilai Qurani.
Manifestasi Al-Quran dalam Kebangkitan Imam Husein (2)
Kebangkitan Imam Husein menunjukkan nilai pengorbanan, keberanian, kecintaan, serta seruan keadilan dan kebenaran. Sejarah mencatat, bagaimana pengorbanan Imam Husein memperjuangkan kebenaran, meskipun musuh berupaya untuk membungkamnya.
Semua nilai yang diperjuangkan Imam Husein tersebut berakar dari al-Quran. Oleh karena itu, dalam ziarah Asyura kita membaca, "Asyhadu anaka tali likitabillah,". Aku bersaksi denganmu Husein, yang melantunkan kitab Allah.
Al-Quran sangat menekankan masalah ilmu dan akal, serta sebaliknya menentang kebodohan dan kelalaian manusia. Mengenai masalah ini, Imam Husein mengatakan bahwa kelalaian dan ketidaksadaran adalah penyakit terburuk manusia dan juga masyarakat. Dari sanalah lahir berbagai bentuk penyimpangan pemikiran dan perilaku manusia.
Ketidaksadaran dan lalai adalah akar dari seluruh kekacauan perilaku baik di tingkat individu maupun sosial. Sebab, orang yang tidak sadar sedang tidak perduli terhadap keadaan yang terjadi, bahkan terhadap dirinya sendiri, kecuali hal-hal fisik yang kelihatan dari luar saja.
Mengenai masalah ini, Al-Quran surat Al-Araf ayat 179 menegaskan, "Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang tidak sadar dan lalai,".
Masyarakat yang lalai akan merasa tidak membutuhkan ilmu dan pengetahuan, bahkan tidak perlu diingatkan maupun disadarkan. Oleh karena itu, mereka tidak melangkahkan kakinya di jalan menuju kebenaran.
Kebangkitan Iman Husein untuk menyadarkan umat Islam, terutama masyarakat Irak yang tenggelam dalam kelalaian. Imam Husein menyalakan obor nilai-nilai al-Quran yang disampaikan kepada masyarakat untuk membangkitkan kesadaran mereka mengenai ajaran sejati Islam yang telah diselewengkan oleh dinasti Umayah.
Di salah satu pidatonya, Imam Husein menyitir surat al-Anam ayat 157, "Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat. Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksa yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling,".
Perilaku Ahlul Bait senantiasa bersandar kepada Al-Quran. Demikian juga dengan Imam Husein. Selain menbacanya, bahkan menjelang kesyahidannya ketika dikepung pasukan musuh, Imam Husein juga mengamalkan nilai-nilai agung dalam al-Quran dan mengajarkannya kepada yang lain.
Dalam masalah kepemimpinan umat Islam, Imam Husein memandang pemimpin sangat berpenting dalam sebuah masyarakat, bangsa dan negara. Salah satu syarat pertama dan paling utama dari pemimpin dalam pandangan Imam Husein adalah keimanan dan pengamalan nilai-nilai ilahi.
Pandangan tersebut sesuai dengan al-Quran surat An-Nisa ayat 105 yang berbunyi, "Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat,".
Persyaratan lain dari seorang pemimpin adalah merakyat dan mengarahkan masyarakat, terutama pejabat negara untuk mematuhi aturan ilahi. Berbagai ayat dalam al-Quran menjelaskan mengenai masalah ketaatan kepada aturan Allah swt, termasuk dalam masalah pemerintahan dan penolakan terhadap aturan selain itu.
Imam Husein berulangkali menyatakan bahwa Yazid tidak memiliki persyaratan untuk memimpin umat Islam. Bahkan, ia tidak memperhatikan masalah Islam dari sisi luarnya sekalipun, seperti minuman keras yang diharamkan dalam Islam, tidak pernah diperhatikan oleh Yazid.
Meskipun mengklaim sebagai pemimpin Islam, tapi Yazid secara terbuka minum-minuman keras. Tidak hanya, berbagai perbuatan lain yang dilarang dalam Islam dilakukan oleh Yazid.
Sepak terjang Yazid menyebabkan tersebarkan kerusakan di tubuh umat Islam ketika itu. Sebab mereka tidak mengamalkan al-Quran dan sebaliknya menjauh dari kitab suci ilahi tersebut.
Imam Husein dengan kebangkitannya datang untuk memberikan petunjuk kepada masyarakat supaya beriman kepada Allah swt dan menjalankan aturan-Nya. Seluruh pijakan perjalanan Imam Husein dalam perjuangannya bertumpu pada Al-Quran. Oleh karena itu, sejak awal kebangkitan Imam Husein dari tanah suci Mekah dan Madinah ke Karbala semata-mata karena mencari keridhaan Allah dan menunaikan perintah al-Quran.
Ketika Imam Husein siap untuk menghadapi Yazid, Muhammad bin Hanafiah datang menemui beliau. Setelah memberikan hormat kepada suadaranya, Muhammad bin Hanafiah menyampaikan maksudnya supaya Imam Husein mengurungkan niat untuk berperang menghadapi Yazid.
Tapi permohonan tersebut dijawab dengan baik oleh Imam Husein. Beliau berkata, "Saudaraku, walau aku tidak mendapatkan satu tempat pun di dunia ini, tapi akan tetap akan melawan Yazid bin Muawiyah,"
Kemudian, Imam Husein menulis surat wasiat yang menjelaskan dengan baik mengenai tujuannya datang ke Karbala. Di akhir wasiatnya, sebelum berangkat ke Karbala, Imam Husein mengutip al-Quran surat Hud ayat 88 yang berbunyi, "… dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali,".
Imam Husein bersama keluarga dan pengikutnya syahid di Karbala dibantai oleh pasukan Yazid. Dilihat sepintas, Imam Husein tampak kalah secara fisik. Tapi hari ini, kita melihat fakta sebaliknya.
Nama Imam Husein dan perjuangannya tetap abadi, sedangkan Yazid hilang ditelan sejarah, dan namanya masuk dalam jajaran orang-orang lalim yang dikecam sepanjang sejarah. Sebagaimana janji al-Quran kebenaran akan tegak dan kebatilan akan binasa.
Manifestasi Al-Quran dalam Kebangkitan Imam Husein (1)
Peristiwa Karbala merupakan salah satu revolusi unik yang sulit dicarikan bandingannya dalam sejarah. Meskipun harus ditebus dengan kesyahidan beliau dan keluarga serta pengikutnya, tapi perjuangan Imam Husein berhasil membongkar kebohongan propaganda rezim lalim yang berlindung di balik nama Islam.
Salah satu parameter untuk menilai benar atau tidaknya perjuangan Imam Husein adalah al-Quran sebagai sumber ajaran Islam. Al-Quran dan Ahlul Bait merupakan dua manifestasi dari sebuah hakikat. Satu sisi menunjukkan rahmat, dan kecintaan Allah swt. Di sisi lain, menunjukkan hidayat Allah swt kepada umat manusia.
Imam Husein adalah salah satu manifestasi dari manusia unggul tersebut yang memiliki hubungan cinta dengan Sang Pencipta, dan yang kehidupannya terikat dengan al-Quran. Imam Husein mendapat bimbingan langsung Rasulullah Saw, Sayidah Fatimah dan Imam Ali bin Abi Thalib.
Sejak usia dini beliau telah mengenal dan mempelajari al-Quran. Rasulullah Saw dalam hadis terkenal Tsaqalain, menyebut Ahlul Bait-nya dan al-Quran saling terikat dan bersabda: "Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka : kitab Allah (al-Quran) dan itrahku (Ahlul Bait) dan keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiku di telaga surga."
Mengingat Ahlul Bait memiliki hubungan yang sedemikian kuat dengan al-Quran, maka tafsir al-Quran juga harus dicari dalam ucapan dan amal mereka, karena khazanah kemuliaan dan keutamaan al-Quran tersimpan dalam wujud mereka.
Di kalangan para Imam dan Aulia Allah, Imam Husein merupakan manifestasi dari harga diri, kebebasan, kepemimpinan, jihad dan kesyahidan. Nilai-nilai tersebut dijalankan Imam Husein dengan bersandar kepada Al Quran dan contoh terbaik orang yang menjalankan Al-Quran, yaitu Rasulullah Saw.
Meskipun masih kecil ketika itu, Imam Husein selama enam tahun hidup bersama Rasulullah Saw dan mendapatkan bimbingan langsung dari beliau.
Tidak hanya itu, ayahnya, Imam Ali adalah murid sekaligus sahabat paling setia Rasulullah Saw. dan Ibunya, Sayidah Fatimah adalah puteri Rasulullah saw. Kehadiran orang-orang besar yang tidak pernah terpisah dari Al-Quran ini di sekitar Imam Husein membimbing jalan hidup beliau.
Imam Husein memahami dengan baik al-Quran yang menjadi samudera keagungan ilmu dan pengetahuan, sekaligus petunjuk kehidupan umat manusia.
Mengenai masalah ini, Imam Husein berkata, "Kitab ilahi terdiri dari empat isi: teks, rumus dan simbol, anugerah dan hakikat. Teks kalimat untuk masyarakat umum. Rumus dan simbol untuk hamba Allah khusus. Anugerah kelembutan untuk aulia Allah. Sedangkat hakikat untuk para Nabi,".
Puncak dari kebangkitan Imam Husein adalah peristiwa Asyura yang terjadi pada 61 Hijriah. Peristiwa besar tersebut menjadi perhatian besar para ulama dan pemikir besar dunia. Berbagai karya telah dihasilkan. Tidak hanya buku, tapi juga karya seni dengan media yang beraneka ragam.
Dari sekian banyak analisis mengenai perjuangan Imam Husein di Karbala, salah satunya menyoroti masalah hubungan al-Quran dengan perjuangan Imam Husein.
Perjalanan hidup Imam Husein berhubungan erat dengan al-Quran sehingga pada detik-detik akhir hidupnya di padang gersang Karbala, beliau tetap memberikan nasehat dengan ayat-ayat al-Quran. Bahkan, beliau menunjukkan kepada pasukan Yazid tentang akibat yang akan mereka alami dengan membacakan ayat-ayat ilahi.
Setelah kematian Muawiyah, Imam Husein ditekan oleh penguasa Madinah untuk berbaiat kepada Yazid. Di hadapan tekanan tersebut dan dalam menjawab tuntutan penguasa Madinah, Imam Husein menyebut dirinya dan Ahlul Bait sebagai khazanah risalah dan imamah, serta menyebut Yazid sebagai orang yang fasiq. Kemudian kepada penguasa Madinah, Imam Husein as berkata, "Dia adalah orang yang fasiq, lalu bagaimana mungkin aku berbaiat kepadanya?"
Menghadapi tekanan penguasa Madinah, Imam Husein kemudian berkata, "Aku dari keluarga suci sebagaimana Allah telah menurunkan ayat tentang mereka kepada Rasulnya: Sesungguhnya Allah berkehendak melenyapkan dosa dari kalian, wahai Ahlul Bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya." (al-Ahzab ayat 33)
Imam Husein tetap menghadapi tekanan dari penguasa Madinah dan akhirnya beliau bersama rombongan keluarganya keluar dari Madinah menuju Mekkah selain untuk menunaikan haji juga untuk menghindari bahaya.
Ketika itu Imam Husein membacakan ayat 21 surat al-Qasas: "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu." Doa inilah yang dibaca Nabi Musa ketika terbebas dari cengkeraman Firaun.
Setibanya di Mekah, Imam Husein kembali mengucapkan doa yang juga diucapkan oleh Nabi Musa dan disebutkan dalam al-Quran: Dan tatkala ia menghadap kejurusan negeri Mad-yan ia berdoa (lagi): "Semoga Tuhanku membimbingku ke jalan yang benar".
Pembacaan ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa Imam Husein di masanya sama seperti Nabi Musa, sendirian dan menghadapi ancaman dari pemerintah zalim, juga menunjukkan puncak ketidakpedulian umat Islam saat itu dalam mendukung Ahlul Bait Nabi.
Imam Husein yang tidak dapat menerima kezaliman dan kesewenang-wenangan Yazid serta pendistorsian hukum dan sunnah Islam oleh manusia fasiq itu, memutuskan untuk menyadarkan para pemimpin kabilah Arab. Beliau di Mekkah menulis dua surat untuk warga Basrah dan Kufah.
Kepada warga Basrah beliau menulis, "Sesungguhnya Rasulllah Saw telah diutus untuk kalian dengan al-Quran dan aku menyeru kalian kepada al-Quran dan sunnah Rasul Saw karena mereka telah menyimpangkan sunnah dan menghidupkan kembali bid'ah! Jika kalian mengikutiku, maka aku akan membimbing kalian ke jalan kebahagiaan dan kebebasan."
Kepada warga Kufah, Imam Husein menulis, "... bukan pemimpin kecuali jika seseorang yang mengamalkan kitab Allah Swt (al-Quran), menegakkan keadilan, menjadikan kebenaran sebagai pilar hukum masyarakat dan menjaga dirinya tetap berada di jalan lurus Allah Swt."
Imam Husein datang ke Karbala menentang Yazid yang lalim, tidak lain dari perjuangannya untuk menegakkan nilai-nilai al-Quran.
Ampunan dan Kebesaran
“... Aku telah meremehkan perintah maulaku; bila beliau mempertanyakanku, aku tidak berhak untuk protes. Meski Hasan bin Ali adalah seorang pemaaf, namun aku harus menyiapkan diri untuk dihukum. Karena dengan demikian, bertahan menghadapi hukuman maulaku, akan terasa lebih ringan...namun...namun..."
Demikianlah apa yang terlintas dalam pikiran budak Imam Hasan dan seketika itu juga Imam Hasan memanggilnya. Sang budak dengan langkah pelan-pelan menuju pada Imam Hasan as. Dia berpikir bagaimana caranya meminta maaf kepada maulanya. Begitu berhadap-hadapan dengan beliau, sang budak terpikir:
“Maulaku adalah orang yang akrab dengan al-Quran. Maka aku akan meminta bantuan al-Quran untuk menyelamatkan diriku.”
Saat itu juga terlintas dalam pikirannya untuk mengatakan, “Wal Kazdiminal Ghaizha.”
Imam Hasan tersenyum dan berkata, “Aku telah menekan kemarahanku.”
Sang budak tahu bahwa jalan keluarnya terlah terjawab. Dengan lebih tenang dia berkata, “Wal ‘Afina ‘Aninnas.”
Imam Hasan berkata, “Aku telah mengabaikan kesalahanmu.”
Sang budak merasa dirinya berhasil dan bergumam, “Aku akan melepaskan peluruku yang terakhir, seraya berkata, “Wallahu Yuhibbul Muhsinin.” (QS. Ali Imran: 134)
Kali ini Imam Hasan berkata, “Aku membebaskanmu di jalan Allah, agar aku termasuk orang-orang yang berbuat baik.”
Tidak Membalas Keburukan dengan Keburukan
Salah satu dari budak Imam Hasan as sangat buruk akhlaknya. Namun Imam Hasan senantiasa memperlakukannya dengan baik dalam upaya dia bisa menjadi baik dan menyesali perilaku buruknya.
Imam Hasan memiliki seekor kambing di rumahnya. Dengan berjalannya waktu beliau menyayangi kambing itu. Suatu hari beliau tahu bahwa kaki kambing itu patah. Hatinya trenyuh melihat kambing itu dan bertanya kepada budaknya, “Mengapa kaki kambing ini jadi begini?”
Sang budak menjawab, “Aku yang mematahkannya.”
Dengan takjub Imam Hasan as berkata, “Mengapa engkau menzaliminya?”
Dengan nada congkak budak itu menjawab, “Karena aku ingin menyakitimu.”
Imam Hasan as sejenak berpikir dan berkata, “Ringkasi barang-barangmu dan pergilah dari rumah ini, dari saat ini engkau bebas.”
Budak itu terkejut dan berkata, “Mengapa Anda bebaskan aku?!”
Imam Hasan as berkata, “Agar aku menjawab perbuatan burukmu dengan perbuatan baik.”
Budak itu menundukkan kepalanya dan terdiam, sepertinya dia benar-benar malu.
Semua Kasih Sayang Ini?!
Seorang lelaki mendengar banyak cerita tentang kasih sayang dan kedermawanan Imam Hasan as. Namun dia ragu untuk menyelesaikan masalahnya, apakah harus pergi menemui Imam Hasan ataukah tidak. Pada akhirnya dia mengambil keputusan untuk mendatangi beliau.
Imam saat itu sedang duduk di masjid dan lelaki ini masuk mendekatinya. Imam tahu bahwa lelaki ini punya satu keperluan. Oleh karena itu beliau tersenyum padanya dengan penuh kasih sayang seraya berkata, “Hai lelaki! aku berpikir engkau ada masalah?” sebelum lelaki itu menjawab, Imam Hasan berkata, “Bersabarlah sedikit, aku akan menyelesaikan masalahmu.”
Imam Hasan memerintahkan kepada salah satu sahabatnya, “Berikanlah uang supaya dia bisa menyelesaikan masalahnya!”
Sabahat beliau memberikan uang kepada lelaki yang membutuhkan itu dan menyenangkan hatinya. Lelaki yang membutuhkan itu tidak percaya bahwa masalahnya bisa terselesaikan secepat ini. Dia menghadap kepada Imam Hasan dan berkata, “Wahai Putra Rasulullah! Aku merasa takjub bahkan Anda tidak menanyakan apa masalahku. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana aku harus menyampaikan masalahku kepada Anda!”
Imam Hasan as berkata, “Ksatria yakni membantu seseorang yang membutuhkan sebelum orang tersebut menyampaikan masalahnya. Perbuatan seperti ini mencegah jatuhnya harga diri seorang mukmin dan tidak mengalirkan keringat malu di dahinya.”
Lelaki itu tidak tahu apa yang harus dikatakannya untuk menjawab kasih sayang Imam Hasan. Butir-butir keringat memenuhi dahinya; namun keringat ini bukan keringat malu.
Memenuhi Hajat Seorang Mukmin
Begitu seorang lelaki menyampaikan masalahnya kepada Imam Hasan as, beliau langsung memakai sepatunya dan pergi menyelesaikan masalahnya. Di pertengahan jalan, mereka menyaksikan Imam Husein as sedang mengerjakan salat. Imam Hasan berkata kepada lelaki tersebut, “Mengapa engkau tidak mendatangi saudaraku untuk menyelesaikan masalahmu?”
Lelaki itu menjawab, “Beliau sedang sibuk salat dan ibadah, dan saya tidak ingin mengganggu beliau.”
Imam Hasan as berkata, “Sepertinya masalahmu harus selesai melalui bantuanku. Bagaimanapun juga, bila Husein mendapatkan taufik ini, memenuhi hajatmu baginya lebih besar dari satu bulan menjalani i’tikaf.” (Emi Nur Hayati)



























