کمالوندی

کمالوندی

Rabu, 06 November 2019 18:17

Kisah Abu Nawas; Menjebak Pencuri

 

Pada zaman dahulu orang berpikir dengan cara yang amat sederhana. Dan karena kesederhanaan berpikir ini seorang pencuri yang telah berhasil menggondol seratus keping lebih uang emas milik seorang saudagar kaya tidak sudi menyerah.

Hakim telah berusaha keres dengan berbagai cara tetapi tidak berhasil menemukan pencurinya. Karena merasa putus asa pemilik harta itu mengumumkan kepada siapa saja yang telah mencuri harta milikny merelakan separo dari jumlah uang emas itu menjadi milik sang pencuri bila sang pencuri bersedia mengembalikannya. Tetapi pencuri itu malah tidak berani menampakkan bayangannya.

Kini kasus itu semakin ruet tanpa penyelesaian yang jelas. Maksud baik saudagar kaya itu tidak mendapat tanggapan-tanggapan yang sepantasnya dari sang pencuri. Maka tidak bisa disalahkan jika saudagar itu mengadakan sayembara yang berisi barang siapa yang berhasil menemukan pencuri uang emasnya, ia berhak sepenuhnya memiliki harta yang dicuri.

Tidak sedikit orang yang mencoba tetapi semuanya kandas. Sehingga pencuri itu bertambah merasa aman tenteran karena ia yakin jati dirinya tak akan terjangkau. Yang lebih menjengkelkan adalah ia berpura-pura mengikuti sayembara. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa menghadapi orang seperti ini bagaikan menghadapi jin. Mereka tahu kita, sedang kita tidak. Seorang penduduk berkata kepada hakim tersebut.

Mengapa tuan hakim tidak minta bantuan Abu Nawas saja?

Bukankah Abu Nawas sedang tidak ada di tempat?  Kata hakim itu balik bertanya.

Kemana dia?  Tanya orang itu.

Ke Damakus?  Jawab hakim.

Untuk keperluan apa?  Orang itu ingin tahu.

Memenuhi undangan pangeran negeri itu? Kata hakim.

Kapan ia kembali?  Tanya orang itu lagi.

Mungkin dua hari lagi?  Jawab hakim.

Kini harapan tertumpu sepenuhnya di atas pundak Abu Nawas.

Pencuri yang selama ini merasa aman sekarang menjadi resah dan tertekan. Ia merencanakan meninggalkan kampung halaman dengan membawa serta uang emas hasil curiannya. Tetapi ia membatalkan niat karena dengan menyingkir keluar daerah sama halnya dengan membuka topengnya sendiri. Ia lalu bertekad tetap tinggal apapun yang akan terjadi.

Abu Nawas telah kembali ke Baghdad karena tugasnya telah selesai. Abu Nawas menerima tawaran mengikuti sayembara menemukan pencuri uang emas. Hati pencuri uang emas itu tambah berdebar tak karuan mendengar Abu Nawas menyiapkan siasat.

Kesesokan harinya semua penduduk dusun diharuskan berkumpul di depan gedung pengadilan. Abu Nawas hadir dengan membawa tongkat dalam jumlah besar. Tongkat-tongkat itu mempunyai ukuran yang sama panjang. Tanpa berkata-kata Abu Nawas membagi-bagikan tongkat-tongkat yang dibawa dari rumahnya.

Setelah masing-masing mendapat satu tongkat, Abu Nawas berpidato, ?Tongkat-tongkat itu telah aku mantrai. Besok pagi kalian harus menyerahkan kembali tongkat yang telah aku bagikan. Jangan khawatir, tongkat yang dipegang oleh pencuri selama ini menyembunyikan diri akan bertambah panjang satu jari telunjuk. Sekarang pulanglah kalian?

Orang-orang yang merasa tidak mencuri tentu tidak mempunyai pikiran apa-apa. Tetapi sebaliknya, si pencuri uang emas itu merasa ketakutan. Ia tidak bisa memejamkan mata walaupun malam semakin larut. Ia terus berpikir keras. Kemudian ia memutuskan memotong tongkatanya sepanjang satu jari telunjuk dengan begitu tongkatnya akan tetap kelihatan seperti ukuran semula.

Pagi hari orang mulai berkumpul di depan gedung pengadilan. Pencuri itu mersa tenang karena ia yakin tongkatnya tidak akan bisa diketahui karena ia telah memotongnya sepanjang satu jari telunjuk. Bukankah tongkat si pencuri akan bertambah panjang satu jari telunjuk? Ia memuji kecerdiakan diri sendiri karena ia ternyata akan bisa mengelabui Abu Nawas.

Antrian panjang mulai terbentuk. Abu Nawas memeriksa tongkat yang dibagikan kemarin. Pada giliran si pencuri tiba Abu Nawas segera mengetahui karena tongkat yang dibawanya bertambah pendek satu jari telunjuk. Abu Nawas tahu pencuri itu pasti melakukan pemotongan pada tongkatnya karena ia takut tongkatnya bertambah panjang.

Pencuri itu diadili dan dihukum sesuai dengan kesalahanya. Seratus keping lebih uang emas kini berpindah ketangan Abu Nawas. Tetapi Abu Nawas tetap bijaksana, sebagian dari hadiah itu diserahkan kembali kepada keluarga si pencuri, sebagian lagi untuk orang-orang miskin dan sisanya untuk keluarga Abu Nawas sendiri.

Rabu, 06 November 2019 18:17

Kisah Abu Nawas; Cara Mudah Berkebun

 

Sudah beberapa kali Abu Nawas membuat baginda raja hampir celaka. Akan tetapi ia selalu dapat meloloskan diri dari jeratan hukuman yang mengancamnya. Karena sudah tidak ada cara lain yang tepan untuk menghukum Abu Nawas, baginda pun menggunakan kekuasaan absolutnya untuk memenjarakan Abu Nawas meski tanpa alasan alasan yang jelas.

Suatu hari cuaca sangat cerah, Abu Nawas dan istrinya pergi berkebun di ladang milik mereka yang tidak jauh dari rumah.

Sambil menyeka keringat yang mulai membasahi kening dan sekujur tubuhnya, Abu Nawas berkata pada istrinya,

“Wahai Istriku !! Kita sudah mencangkul dari pagi, hingga siang hari begini, tapi baru sepertiga bagian saja yang bisa kita cangkul!!”

Istrinya hanya tersenyum sambil menjawab,

“Iya suamiku!! Kita harus lebih bekerja keras agar dua hari lagi kita dapat menanam bibit kentang Kita.”

Abu Nawas dan istrinya tidak tahu kalau pengawal kerajaan sedang mencarinya. Terdengar suara teriakan para pengawal yang berteriak-teriak memanggilnya semakin dekat dengan kebunnya.

Alangkah terkejutnya ia ketika ia mendekat, tiba-tiba ia langsung ditangkap oleh para pengawal layaknya seorang penjahat.

“Hai apa-apaan ini lepaskan Aku, apa salahku?” Kata Abu Nawas sambil berontak berusaha melawan.

Para pengawal tidak memperdulikan dan segera mengikat tangan Abu Nawas. Sedangkan istri Abu Nawas hanya bisa menagis melihat suaminya dibawa oleh para pengawal itu tanpa mengetahui penyebabnya.

Akhirnya Abu Nawas ditangkap dan dibawa kepenjara kerajaan.

Setelah menempuh perjalanan panjang, sampailah mereka ke penjara kerajaan. Segera Abu Nawas dijebloskan dalam penjara yang sempit dan gelap.

Abu Nawas hanya bisa merenungi nasibnya sambil berpikir bagaimana caranya supaya ia dapat keluar dari penjara itu. Ia teringat istrinya dirumah, kasihan istrinya tentu ia merasa sedih dan bingung atas kejadian yang menimpanya kini. Abu Nawas juga teringat ladangnya yang belum selesai ia tanami kentang, dan membayangkan betapa repotnya sang istri mengurus ladang seorang diri.

Setelah beberapa hari dipenjara, Abu Nawas menemukan ide. Segera ia menulis surat untuk istrinya di rumah, dan isi surat itu berbunyi,

“Istriku tercinta,

Jangan bersedih dengan keadaanku sekarang ini, Aku baik-baik saja. Kamu jangan kuatir bagaimana kamu menghidupi dirimu sendirian.

Istriku tercinta,

Ketahuilah kalau Kita masih punya simpanan harta karun yang berupa emas, permata dan berlian. Semua itu Aku kubur di ladang milik kita. Cobalah Kau gali pasti Kau akan menemukannya. Gunakanlah untuk mencukupi kebutuhan keluarga kita selama aku masih di sini.”

Setelah selesai menuliskan surat tersebut, Abu Nawas meminta penjaga untuk mengantarkan surat itu kepada istrinya. Penjaga yang dititipi surat itu penasaran dan membuka surat Abu Nawas untuk istrinya tersebut. Setelah mengetahui isi surat tersebut, sang penjaga melaporkan kepada baginda.

Begitu membaca surat Abu Nawas untuk istrinya tersebut, tanpa menunggu lama ia memerintahkan beberapa pengawalnya untuk pergi ke ladang Abu Nawas. Para pengawal tersebut diperintahkan untuk menggali ladang  milik Abu Nawas dan mengambil harta karun yang dimaksud Abu Nawas.

Baca juga: Kisah Abu Nawas; Menjebak Pencuri

Tidak berapa lama kemudian sampailah para pengawal itu di ladang Abu Nawas. Tanpa permisi mereka langsung menggali ladang tersebut. Istri Abu Nawas merasa sangat heran melihat banyak pengawal kerajaan yang menggali ladang kentangnya.

Sudah seluruh tanah di ladang milik Abu Nawas digali tapi tidak ada harta karun yang dijumpai. Akhirnya para pengawal itu memutuskan untuk menghentikan penggalian dan kembali ke kerajaan untuk melaporkannya pada baginda.

Istri Abu Nawas merasa heran, benarkah para pengawal itu sudah sangat baik membantunya mencangkul ladang selama suaminya dipenjara.

Abu Nawas yang mendengar kejadian itu, tertawa terpingkal-pingkal, ia kemudian kembali menulis surat untuk istrinya dan sesuai dugaan Abu Nawas, kembali surat itu diserahkan kepada baginda terlebih dahulu.

Adapun isi dari surat kedua Abu Nawas,

“Istriku tercinta,

Baginda Raja sudah sangat baik mengirimkan para pengawalnya untuk membantu kita mengolah tanah di ladang. Sekarang ladang kita sudah dicangkul semua.

Sekarang kamu tentu lebih mudah menanam kentang, tidak usah repot lagi mencangkul ladang sebegitu luas.

Sabarlah istriku, Aku akan cepat pulang karena baginda adalah orang yang bijaksana. Beliau tahu kalau aku tidak beralah. Pasti sebentar lagi Aku akan dibebaskan.”

Setelah membaca isi surat Abu Nawas, baginda merasa malu kepada dirinya sendiri.

Sebagai seorang Sultan yang berkuasa tidak sepantasnyalah beliau penjarakan Abu Nawas dengan alasan yang tidak jelas, meski beliau sangat ingin. Beliau sadar akan kekeliruannya itu, kemudian memerintahkan pengawalnya untuk membebaskan Abu Nawas dari penjara.

Rabu, 06 November 2019 18:16

Kisah Abu Nawas; Tanya Satu Jawab Tiga

 

Kisah Abu Nawas; Suatu hari dalam sebuah diskusi bersama dengan para murid-muridnya, Abu Nawas tiba-tiba dicecar pertanyaan oleh beberapa muridnya dengan pertanyaan yang sama.

Mula-mula salah seorang muridnya bertanya,

Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau dosa-dosa kecil?

Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil. Jawab Abu Nawas.

Mengapa? Tanyanya kembali.

Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan.  Kata Abu Nawas.

Murid pertama puas dengan jawaban Abu Nawas karena ia memang yakin begitu.

Kemudian murid kedua menanyakan pertanyaan yang sama dengan sebelumnya di atas,

Orang yang tidak mengerjakan keduanya.  Jawab Abu Nawas.

Mengapa?  Tanya murid kedua.

Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan!  Kata Abu Nawas.

Murid kedua langsung bisa menerima dan memahami jawaban Abu Nawas tersebut.

Kembali murid ketiga bertanya dan masih dengan pertanyaan yang sama sebelumnya. Abu Nawas pun kembali menjawab,

Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar.

Mengapa? Kata murid ketiga.

Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu.  Jawab Abu Nawas.

Baca Juga: Hadiah Bagi Jebakan Jitu

Murid ketiga itu puas dengan jawaban Abu Nawas. Akan tetapi Abu Nawas kembali ditanyai oleh beberapa murid lain yang belum memahami jawaban-jawaban Abu Nawas tersebut,

Wahai guru! Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda?

Itu karena manusia itu dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak, dan tingkatan hati.  Jawab Abu Nawas

Apakah tingkatan mata itu? Tanya murid kembali.

Anak kecil yang melihat bintang dilangit, ia mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya menggunakan mata.

Apakah tingkatan otak?  Tanya murid Abu Nawas.

Orang pandai yang melihat bintang, ia mengatakan bintang itu besar karena ia memiliki pengetahuan. jawab Abu Nawas.

Lalu apakah tingkatan hati itu?  Tanya mereka kembali.

Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. Ia tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar, melainkan dengan ke Maha Besaran Allah.  Jawab Abu Nawas.

Kini para murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda.

Rabu, 06 November 2019 18:15

Belajar Metode Dakwah Dari Sawah

 

Setiap manusia mempunyai karakter yang berbeda-beda. Ada yang ramah, sopan, keras, tengil, pelit, dan lain sebagainya. Maka dari itu cara berdakwahnya pun berbeda antara satu sama lain.

NUOnline mengabarkan bahwa menjelang sepertiga malam, kira-kira pukul dua dini hari, setelah menempuh perjalanan dari sore, kami berhenti sejenak sekedar mengisi perut, sebelum pulang ke desa masing-masing.

Sambil menikmati ayam dan lele bakar di sebuah warung Lamongan, di depan kantor kecamatan, kami berbincang dan berbagi cerita pengalaman dengan kiai kami, yang sudah berusia 70-an.

Ada santri paling sepuh di antara kami, yang pengalaman bersama Kiai lebih banyak, apalagi dia ikut rewang (membantu) di tambak dan sawah, sehingga pelajaran yang ia terima lebih kaya. Bukan hanya di surau pesantren, tapi juga di tambak dan sawah.

Ia bercerita, dulu pernah diajari oleh Kiai metode mencangkul. Ada tiga metode yang dicontohkan Kiai: mencangkul dengan cara miring, tegak dan membungkuk.

Santri itu disuruh Kiai mencoba apa yang telah dicontohkan. Namun sampai beberapa kali, menurut penilaian Kiai, santri tersebut belum bisa melakukannya secara tepat.

Baca juga: Kisah Abu Nawas; Cara Mudah Berkebun

Kiai menyuruh santrinya berpikir, lalu kira-kira Kiai berkata:

“Metode mencangkul yang bermacam-macam itu sesuaikanlah dengan keadaan tanah. Apakah tanah itu keras atau lunak, itu beda cara mencangkulnya. Tanah itu sama dengan manusia, ada yang keras atau kaku, ada yang lunak, ada yang labil. Cara mengajak atau mengarahkan mereka juga beda, seperti mencangkul tadi.”

Santri pun tertegun atas nasihat Kiai. “Sampai sekarang saya belum menangkap jelas nasihat beliau itu,” kata santri mengenang.

Aku yang mendengarkan tertegun pula. Tak menyangka sebelumnya, Kiai akan menautkan cara mencangkul dan metode mengajak manusia kepada kebaikan: dakwah.

Rabu, 06 November 2019 18:15

Kisah Abu Nawas; Sandal Ajaib

 

Suatu hari, Abu Nawas berangkat menuju pasar untuk berjualan mencari rezeki tambahan. Sesampainya di pasar ia langsung menggelar tikar sebagai lapaknya berjualan. Kebetulan pada hari itu ia berjalan sandal yang diberi nama “ajaib”

Abu Nawas mulai berteriak-teriak menawarkan barang dagangannya kepada para orang-orang di pasar.

“Sandal ajaib…sandal ajaib….sandal ajaib !!” Teriak Abu Nawas berkali-kali di pasar.

Sesaat kemudian datang seorang pemuda menghampirinya dan melihat-lihat barang dagangannya.

“Silahkan Tuan, mau membeli sandal?” Tanya Abu Nawas.

“Ya,,,apakah ini sandal ajaib?” Tanya pemuda.

“Tentu saja tuan.” Jawab Abu Nawas.

“Saya ingin mencari sandal yang bisa merubah hidupku yang miskin ini.” Kata pemuda itu.

“Apa maksud tuan?” Tanya Abu Nawas lagi.

“Saya ini sudah lama hidup miskin dan ingin sekali kaya raya. Saya ingin membeli barang yang bisa memberikan saya keberuntungan.” Kata pemuda itu.

Sejurus kemudian Abu Nawas menunjukkan salah satu sandal ajaibnya. Ia mengatakan bahwa sandal itu akan membuat pemiliknya dari tidak berada menjadi berada.

Karena tertarik dengan kata-kata Abu Nawas, tanpa berpikir panjang pemuda itu langsung membeli sandal ajaib yang dijual Abu Nawas.

Baca juga: Kisah Abu Nawas; Tanya Satu Jawab Tiga

Pemuda itu langsung memakai sandal ajaib tersebut kemudian meninggalkan Abu Nawas dan berkeliling kampung dengan harapan semoga keberuntungan segera berpihak kepadanya.

Pemuda tersebut terus menerus berjalan mengitari kampung-kampung dengan menggunakan sandal “ajaib”nya tersebut. Namun, harapannya tidak kunjung terwujud juga. Bukannya keberuntungan, si pemuda malah mendapat kemalangan. Ia hampir saja dihakimi warga, karena dikira pencuri yang sedang wara-wiri mengintai mangsa.

Hari sudah menjelang sore, dengan perasaan marah dan kecewa ia akhirnya mencari Abu Nawas meminta pertanggungjawabannya. Setelah bertanya sana-sini, akhirnya ia menemukan Abu Nawas.

“Assalamu’alaikum…” Sapa pemuda itu.

“Wa’alaikum salam…, eh ternyata Tuan, bagaimana kabar Tuan?” Tanya Abu Nawas.

“Kabar buruk. Aku tidak merasakan keberuntungan apa-apa setelah memakai sandal ini.Malahan hampir saja aku celaka dihajar warga kampung gara-gara dikira pencuri. padahal engkau sudah mengatakan jika sandal ini akan membawa keberuntungan kepada pemiliknya. Mana buktinya??” Protes si pembeli.

“Seingat saya,  tidak pernah saya mengatakan seperti itu Tuan?” Sanggah Abu Nawas.

“Saya hanya mengatakan bahwa sandal ini akan membuat orang yang tidak berpunya menjadi berpunya. buktinya adalah tuan sebelumnya belum memiliki sanda “ajaib” sekarang sudah memilikinya.” Kata Abu Nawas.

Mendengar penjelasan Abu Nawas, pemuda itu diam, ia akhirnya sadar bahwa dirinya sedang salah menafsirkan.

“Lalu mengapa engkau mengatakan bahwa sandal ini ajaib?” Tanya pemuda.

“Oh….jika itu memanglah namanya sandal Ajaib bukan sandalnya yang ajaib.”Jawab Abu Nawas.

“Jangan percaya kepada barang ajaib, karena percaya pada sesuatu selain Allah SWT bisa membuat kita syirik dan akan mendapatkan kesusahan di dunia dan akhirat kelak. Buktinya yang Tuan alami ini hari ini, oleh karena itu, segeralah bertobat kepada Alloh SWT.” Tambah Abu Nawas.

Akhirnya dengan perasaan malu, pemuda itu pergi begitu saja tanpa sepatah katapun. Ia menya dari jika ia telah melakukan kesalahan karena mengharap sesuatu kepada selain Allah SWT dan tanpa berusaha, mulai saat itu pun ia langsung bertobat.

 

Anak yang soleh adalah sebuah harta yang sangat berharga bahkan lebih berharga dari setiap dollar yang kita punya. Itu semua karena mempunyai anak soleh selain mampu berikan kebahagiaan di dunia juga mampu beri kebahagiaan di akhirat. berikut ini adalah salah satu cerita hikmah tentang anak soleh.

Nu Online mengabarkan bahwa suatu hari seorang alim bermimpi bertemu dengan para ahli kubur. Dalam mimpinya ia melihat para ahli kubur sedang berebut dan memungut berbagai macam bingkisan yang berserakan. Tak lama kemudian ia melihat ada satu orang yang sedang duduk acuh tidak tergiur sama sekali dengan berbagai barang berharga yang sedang diperebutkan tersebut. Orang alim ini pun dibuat heran dan penasaran.

“Mengapa anda diam saja tidak seperti mereka mengambil barang-barang itu?” tanya sang alim kepada orang tersebut.

Mendapat pertanyaan itu, ia langsung menjawab bahwa mereka yang sedang sibuk itu sedang mengambil ‘paket kiriman’ dari umat Islam yang mendoakan ahli kubur berupa bacaan Al-Qur’an, sedekah dan doa.

“Saya sendiri tidak butuh ‘bingkisan’ itu sebab saya sudah punya semuanya,” jawab laki-laki itu dengan mantap.

“Dari mana Anda bisa mendapatkan barang-barang itu?” tanya sang alim yang tambah penasaran.

“Saya punya anak yang berjualan kue di pasar X, setiap hari dia selalu mengirim bacaan Al-Qur’an dan doa kepadaku,” jawabnya

Tidak lama kemudian, sang alim ini terbangun dari tidurnya dan semua yang terjadi dalam mimpinya itu sangat jelas teringat hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengunjungi pasar X dan mencari seseorang yang menjual kue.

Berangkatlah sang alim ini menuju pasar X dan tidak perlu waktu lama untuk menemukan penjual kue di sana. Firasat orang alim ini semakin kuat ketika melihat mulut penjual kue ini tidak henti-hentinya bergerak seperti sedang membaca sesuatu.

“Saya melihat mulut Anda dari tadi tidak berhenti bergerak, kalau boleh tahu apa yang sedang dibaca?” tanya orang alim itu.

“Oh, saya sedang membaca Al-Qur’an dan dikirimkan khusus untuk orang tuaku yang sudah meninggal,” jawabnya.

Jawaban itu cukup memuaskan sang alim sebab apa yang disampaikan penjual kue itu ternyata memiliki hubungan dengan mimpi yang dialaminya kemarin.

Beberapa waktu kemudian, sang alim ini kembali bermimpi sebagaimana sebelumnya, namun ada sesuatu yang berbeda. Ia melihat orang yang dulu hanya duduk manis, sekarang juga ikut memungut ‘bingkisan’ dengan para ahli kubur lainnya. Sang alim tak sempat berkomunikasi, sebab orang itu terlihat begitu sibuk.

Ketika sudah bangun dari tidurnya, sang alim ini sedikit kebingungan hingga akhirnya ia memutuskan untuk kembali menemui sang penjual kue di pasar.

Namun saat sampai di pasar, sang alim tidak menemukan penjual kue itu sebab menurut informasi yang didapat, penjual kue yang waktu itu selalu membasahi bibirnya dengan bacaan Al-Qur’an ternyata sudah meninggal dunia.

Akhirnya sang alim pun menyimpulkan bahwa orang yang di mimpi pertama hanya duduk manis kemudian di mimpi kedua sibuk berebut ‘bingkisan’ itu ternyata sudah tidak lagi mendapat kiriman doa dari anaknya.

Dzikir yang berisi doa dan bacaan ayat suci Al-Quran atau juga sedekah yang dilakukan orang hidup kemudian ‘dikirimkan’ untuk orang yang sudah meninggal dunia sesungguhnya bisa sampai dan memberi manfaat bagi ahli kubur. Hal ini dibahas dalam kitab I’anatut Thalibin jilid 2 halaman 143.

Syaikh Bakri Syata Ad-Dimyati, sang penulis kitab tersebut mengutip hadits Rasulullah dan pendapat para ulama dalam membahas pentingnya ziarah dan mengirim doa untuk orang meninggal dunia sebagaimana kisah inspiratif ini.

Rabu, 06 November 2019 18:13

Kisah Abu Nawas; Menyindir Pejabat

 

Suatu ketika Abu Nawas menerima undangan untuk sebuah jamuan makan malam oleh baginda. Dalam undangan tersebut, ia diminta untuk berpidato mengisi acara jamuan dengan tausyiah agama.

Abu Nawas datang ke istana lebih awal menghadiri undangan baginda. karena itu, Abu Nawas dipersilahkan duduk di bagian depan. Di depan, ia seakan-akan seperti menjadi tamu yang sangat istimewa.

Baca juga: Kisah Abu Nawas; Sandal Ajaib

Beberapa saat kemudian, para undangan yang lain mulai berdatangan satu per satu langsung menempati kursi-kursi yang disediakan. Kemudian, menyusul para pejabat kerajaan yang datang dan langsung menuju kursi yang paling depan. Akan tetapi, salah seorang pejabat yang hadir sedikit terlambat  sangat terkejut melihat kursi paling depan sudah penuh dan salahsatunya sudah diisi oleh Abu Nawas.

pejabat tersebut langsung protes keras pada panitia penyelenggara makan malam.

“Kenapa saya yang lebih terhormat berada di belakang dan justru Abu Nawas yang hanya rakyat biasa berada di depan?” Protes pejabat tersebut.

“Tuan seharusnya menanyakan langsung kepada Abu Nawas sendiri?” Kata salah seorang panitia.

Karena merasa posisinya disamakan dengan orang biasa, pejabat tersebut tidak terima. Ia berjalan ke depan menghampiri Abu Nawas kemudian berbisik padanya bahwa yang pantas duduk di kursi itu adalah dirinya yang merupakan pejabat kerajaan terhormat.

“Wahai Abu Nawas, kamu tidak pantas duduk di sini, karena kursi depan seharusnya diisi oleh pejabat seperti saya.” Tegas pejabat itu dengan sombong.

Mendengar teguran pejabat yang merendahkannya, Abu Nawas membela diri. Maka terjadilah perdebatan diantara mereka, hingga para tamu lain juga mendengarnya.

“Saudara pejabat yang terhormat, pada kenyataannya Anda itu tidak lebih dari seorang pesulap,” kata Abu Nawas mulai angkat bicara.

“Wah, tidak bisa begitu, saya adalah pejabat kerajaan bukan pesulap. Engkau yang pesulap,” Cetus pejabat tersebut.

Semua tamu yang hadir dibuat tegang dan tertuju pada mereka berdua.

“Sekalipun saya adalah pesulap, tapi ketika naik panggung, saya bisa bertindak sesuai janji. Saat saya berjanji mengubah sapu tangan menjadi kelinci, maka bim salabim, sapu tangan itu benar-benar berubah menjadi kelinci.” Kata Abu Nawas.

“Apa maksudmu? Apa hubungannya denganku?” Tanya pejabat.

“Anda seperti seorang pesulap yang gagal di atas panggung, berjanji mengubah bunga menjadi kelinci tapi anda tidak berhasil mewujudkannya !!? Kata Abu Nawas yang membuat suasana semakin panas.

“Apa maksudmu?”  Tanya pejabat itu marah.

“Sebelum menjadi pejabat Anda berjanji akan merubah nasib rakyat kecil menjadi lebih baik. Tapi, setelah menjadi pejabat, keadaan rakyat kecil sama saja seperti sebelum Anda menjadi penjabat.”  Jelas Abu Nawas.

Wajah Pejabat tersebut menjadi merah, ia diam terdunduk dipermalukan Abu Nawas di depan para tamu yang hadir. Abu Nawas kembali bertanya padanya,

“Nah, kalau begitu, mana yang lebih lebih pantas duduk di sini?”  Tanya Abu Nawas kembali.

Pejabat tersebut tidak menjawab pertanyaan Abu Nawas, Dengan perasaan kesal dan malu pejabat itu langsung beranja meninggalkan Abu Nawas dan duduk di belakang.

 

Pada saat malam Takbiran, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib terlihat sibuk membagi-bagikan gandum dan Kurma. Beliau bersama istrinya, Sayyidah Fathimah az-Zahra putri Rasulullah Saw, Sayyidina Ali menyiapkan tiga karung gandum dan dua karung Kurma. Terihat, Sayyidina Ali memanggul gandum, sementara istrinya Sayyidah Fatimah menuntun Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein. Mereka sekeluarga mendatangi kaum fakir miskin untuk disantuni.

Esok harinya tiba Shalat ‘Idul Fitri. Mereka sekeluarga khusyuk mengikuti Shalat jama’ah dan mendengarkan khutbah. Selepas khutbah ‘Id selesai, keluarga Rasulullah Saw itu pulang ke rumah dengan wajah berseri-seri.

Sahabat beliau, Ibnu Rafi’i bermaksud untuk mengucapkan selamat ‘Idul Fitri kepada keluarga putri Rasulullah Saw. Sampai di depan pintu rumah, alangkah tercengang Ibnu Rafi’i melihat apa yang dimakan oleh keluarga Rasulullah itu.

Sayyidina Ali, Sayyidah Fatimah, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein yang masih balita, dalam ‘Idul Fitri makanannya adalah gandum tanpa mentega, gandum basi yang baunya tercium oleh sahabat Nabi itu.

Seketika itu Ibnu Rafi’i berucap Istighfar, sambil mengusap-usap dadanya seolah ada yang nyeri di sana. Mata Ibnu Rafi’i berlinang butiran bening, perlahan butiran itu menetes di pipinya.

 

Kecamuk dalam dada Ibnu Rafi’i sangat kuat, setengah lari ia pun bergegas menghadap Rasulullah Saw.
Sesampainya tiba di depan Rasulullah, “Ya Rasulullah, ya Rasulullah, ya Rasulullah, putri baginda dan cucu baginda,” ujar Ibnu Rafi’i. “Ada apa wahai sahabatku?” tanya Rasulullah.

“Tengoklah ke rumah putri baginda, ya Rasulullah. Tengoklah cucu baginda Hasan dan Husein.”

“Kenapa keluargaku?”

“Tengoklah sendiri oleh baginda, saya tidak kuasa mengatakan semuanya.”

Rasulullah Saw pun bergegas menuju rumah Sayyidah Fatimah. Tiba di teras rumah, tawa bahagia mengisi percakapan antara Sayyidina Ali, Sayyidah Fatimah dan kedua putranya.

Mata Rasulullah pun berlinang. Beliau menangis melihat keluarga putri tercinta dan dua cucunya yang hanya makan gandum basi dihari Raya Idul Fitri.

Di saat semua orang berbahagia, di saat semua orang makan yang enak-enak. Keluarga Rasulullah Saw penuh tawa bahagia dengan hanya makan gandum yang baunya tercium tak sedap.

“Ya Allah, Allahumma Isyhad…Ya Allah, Allahumma Isyhad… (Ya Allah saksikanlah, saksikanlah) Di hari ‘Idul Fitri keluargaku makanannya adalah gandum yang basi. Mereka membela kaum papa, ya Allah. Mereka mencintai kaum fuqara dan masakin. Mereka relakan lidah dan perutnya mengecap makanan basi, asalkan kaum fakir-miskin bisa memakan makanan yang lezat. Allahumma Isyhad, saksikanlah ya Allah, saksikanlah,” bibir Rasulullah berbisik lembut.

Sayyidah Fathimah tersadar kalau di luar pintu rumah, sang ayah sedang berdiri tegak. “Duhai ayahnda, ada apa gerangan ayah menangis?”

Rasulullah tak tahan mendengar pertanyaan itu. Setengah berlari ia memeluk putri kesayangannya sambil berujar,
“Surga untukmu, Nak…Surga untukmu.”

Demikianlah, menurut Ibnu Rafi’i, keluarga Rasulullah Saw pada hari ‘Idul Fitri menyantap makanan yang basi dan bau.

Ibnu Rafi’i berkata, “Aku diperintahkan oleh Rasulullah Saw agar tidak menceritakan tradisi keluarganya setiap ‘Idul Fitri dan aku pun simpan kisah itu dalam hatiku.

Namun, selepas Rasulullah Saw wafat, aku takut dituduh menyembunyikan Hadits, maka aku ceritakan hal ini agar menjadi pelajaran bagi segenap kaum Muslimin.”

(Musnad Imam Ahmad, jilid 2, hlm. 232).

Allahumma Shalli ‘Alaa Sayyidina Muhammad Wa ‘Alaa Aali Sayyidina Muhammad.

Rabu, 06 November 2019 18:11

Keajaiban Membaca Basmalah Setiap Hari

 

Bacalah Basmalah ketika kita hendak beraktifitas dan di setiap pekerjaan kita. Percayalah selain aktifitas kita akan berjalan lancar juga akan berkah. Selain itu dengan membaca Basmalah, inshaAllah akan ada pahala di setiap pekerjaan yang kita lakukan.

NuOnline mengabarkan bahwa ada seorang perempuan yang bersuamikan seorang lelaki munafik. Perempuan itu selalu mengucap basmalah sebelum melakukan sesuatu, baik ucapan maupun perbuatan.

Suaminya suatu saat berujar, “Sungguh aku akan mempermalukannya sebab kebiasaannya itu.”

Kemudian ia memberikan sebuah bungkusan kepada istrinya untuk disimpan.

Istrinya pun menaruh bungkusan itu pada suatu tempat dan menguncinya.

Suaminya berusaha agar istrinya lupa. Lalu ia mengambil bungkusan itu beserta isinya dan membuangnya ke dalam sumur.

Kemudian ia bertanya kepada istrinya tentang bungkusan itu.

Istrinya langsung menuju tempat penyimpanan bungkusan tersebut seraya mengucapkan bismillâhirrahmânirrahîm.

Allah Ta’ala memerintahkan malaikat Jibril agar lekas turun dan mengembalikan bungkusan itu ke tempatnya semula.

Kemudian istrinya mengambil bungkusan itu.

Ternyata bungkusan tadi tetap pada tempatnya semula.

Sang suami pun terheran-heran dan akhirnya dia bertobat kepada Allah Ta’ala.

Kisah ini bisa dibaca dalam kitab An-Nawadir karya Syaikh Ahmad Syihab al-Din Ibn Salamah al-Qalyubi (w. 1069 H), pada bab “Keutamaan Basmalah”.

 

 الحكاية الأولى: في فضل البسملة

حكي: أن امرأة كان لها زوج منافق وكانت تقول على كل شيء من قول أو فعل باسم الله، فقال زوجها لأفعلن ما أخجلها به فدفع إليها صرة وقال لها: احفظيها، فوضعتها فى محل وغطتها. فغافلها وأخذ الصرة وأخذ ما فيها ورماها في بئر في داره، ثم طلبها منها، فجاءت إلى محلها وقالت باسم الله، فأمر الله تعالى جبريل أن بنزل سريعا ويعيد الصرة إلى مكانها فوضعت يدها لتأخذها فوجدتها كما وضعتها، فتعجب زوجها وتاب إلى الله تعالى

Rabu, 06 November 2019 18:11

Kisah Abu Nawas; Melarang Ruku Dan Shalat

 

Suatu hari, baginda raja Harun Al Rasyid sangat murka kepada Abu Nawas, ia ingin sekali menghukum berat Abu Nawas bahkan memancungnya. Bagaimana tidak, Baginda menerima informasi bahwasanya Abu Nawas telah berani menyebar fitnah melarang rukuk dan sujud di dalam ibadah shalat dan menuduh baginda raja sebagai orang yang suka fitnah.

Baginda yang sudah sangat marah kemudian memerintahkan pengawal istana untuk menangkap Abu Nawas dan menghadirkan dia ke istana untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Setelah Abu Nawas diseret keistana, baginda kemudian bertanya kepadanya,

“Wahai Abu Nawas, apakah benar engkau berpendapat rukuk dan sujud tidak diperlukan di dalam shalat?” Tanya baginda.

“Benar, Baginda Raja !” Jawab Abu Nawas dengan santai.

Meski baginda ingin sekali memancung Abu Nawas karena jawabannya itu, beliau masih berupaya sabar dan kembali mengajukan pertanyaan lain kepada Abu Nawas,

“Benarkah engkau berkata kepada orang-orang bahwa aku adalah orang yang suka fitnah?” Tanya baginda.

“Benar Paduka !”  Jawab Abu Nawas kembali dengan santai.

Kali ini baginda tidak bisa lagi membendung amarahnya, dengan sangat marah baginda berkata kepada Abu Nawas,

“Wahai Abu Nawas, Engkau pantas dihukum mati karena telah melanggar Syariat Islam dan menyebarkan fitnah tentang junjunganmu !”  Kata baginda geram.

“Tunggu dulu baginda !!, janganlah tergesa-gesa mengambil keputusan. Izinkan hamba sedikit membela diri” Pinta Abu Nawas.

“Baiklah, jelaskan sekarang!” Kata baginda.

“Memang hamba akui dua pendapat tadi. Akan tetapi sepertinya, kedua pendapat hamba tersebut datang kepada paduka dalam keadaan tidak lengkap dan seolah-olah hamba bersalah dan melanggar syariat Islam, hamba merasa difitnah.” Jelas Abu Nawas.

“Wahai Abu Nawas, apa maksudmu? Kenapa engkau membela diri jika mengaku bersalah?” Tanya baginda.

Abu Nawas kemudian segera memberikan penjelasan rinci,

“Ampun Paduka yang mulia, Hamba memang melarang rukuk dan sujud dalam shalat, tapi bukanlah shalat lima waktu atau shalat lainnya, melainkan shalat jenazah. Memang pada waktu itu hamba sedang menjelaskan shalat jenazah.” Jelas Abu Nawas.

Baginda Raja Harun Al Rasyid mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Abu Nawas. Meski sebelumnya emosinya mulai muncul, namun raja membenarkan apa yang menjadi pendapat Abu Nawas tersebut.

“Lalu bagaimana tentang pernyataanmu tentangku yang suka fitnah?” Tanya baginda.

“Oh, jika hal tersebut kebetulan pada saat itu hambasedang menjelaskan tentang Surat Al-Anfal ayat 28 yang berbunyi sebagai berikut:

Artinya:

“dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

“Nah,baginda sebagai seorang raja yang memiliki harta banyak dan sebagai seorang ayah yang menyayangi anak-anak baginda, baginda termasuk orang-orang yang menyukai fitnah (cobaan/ujian) itu, karena baginda menyayangi harta dan anak-anak baginda.” Lanjut Abu Nawas.

Mendengar penjelasan Abu Nawas, baginda merasa malu. karena kata-kata Abu Nawas tersebut bukan hanya untuk pembelaan diri semata, melainkan sebuah sindiran dan teguran terhadapnya yang selama ini terlalu larut dalam kesenangan dunia semata. padahal kenikmatan yang ia dapatkan itu adalah ujian dari Allah SWT.

Baginda raja akhirnya meminta maaf kepada Abu Nawas karena telah berburuk sangka kepadanya. Hal itu terjadi karena beberapa orang pegawai kerajaan tidak senang melihat kedekatan Abu Nawas dengan baginda. Oleh sebab itu mereka sengaja menyampaikan informasi yang salah agar Abu Nawas celaka.