کمالوندی
Informasi Intelijen: Mossad Dalangi Kerusuhan Irak
Surat kabar Lebanon mengutip sumber yang dekat dengan perdana menteri Irak mengabarkan, berdasarkan informasi keamanan akurat yang dikumpulkan dalam beberapa hari terakhir, dinas intelijen rezim Zionis Israel dan kedutaan besar Amerika Serikat di Baghdad, menyelewengkan demonstrasi damai rakyat di Irak.
Fars News (8/10/2019) melaporkan, kini situasi di ibukota Irak relatif aman setelah dalam beberapa terakhir dilanda demonstrasi berdarah.
Surat kabar Lebanon, Al Akhbar, Selasa (8/10) memberitakan, kontak telepon di antara perwakilan demonstran di satu sisi, dan pemerintah serta partai politik di sisi lain, berhasil meredakan aksi unjuk rasa berdarah di Baghad menjelang peringatan Arbain Imam Hussein as yang semakin dekat.
Menurut Al Akhbar, sumber yang dekat dengan PM Irak mengatakan, berdasarkan informasi intelijen yang dikumpulkan beberapa hari terakhir, dinas intelijen Israel, Mossad bersama sejumlah orang yang disewa Kedubes Amerika, menunggangi demonstrasi warga Irak dan mengubah aksi damai menjadi kerusuhan.
Dubes Inggris: Kerusuhan Irak Bukan Konspirasi Asing
Duta besar Inggris untuk Irak mengabaikan kemungkinan keterlibatan pihak asing dalam demonstrasi yang berujung kerusuhan di Irak baru-baru ini dan menuturkan, dalam menganalisa peristiwa ini pandangan bahwa kerusuhan adalah hasil konspirasi asing, harus dikesampingkan.
Fars News (8/10/2019) melaporkan, John Wilks di laman Twitternya terkait kerusuhan Irak menulis, pendapat bahwa demonstrasi ini adalah konspirasi, tidak diperlukan.
Berbeda dengan Wilks, Penasihat Keamanan Nasional Irak, Falih Al Fayyadh, Senin (7/10) mengatakan bahwa upaya musuh untuk mengacaukan Irak, gagal. Menurutnya, kami katakan kepada musuh dan para aktor di balik konspirasi ini, upaya mereka akan gagal, tidak ada tempat untuk kudeta di Irak.
Dubes Inggris untuk Irak menutup mata atas keterlibatan pihak asing dalam kerusuhan Irak dan menuturkan, demonstran sudah ada sejak lama di Irak, selain itu tuntutan mereka juga konstitusional.
Ia kemudian mengeluarkan statemen provokatif dan mengatakan, Irak harus mendukung rakyatnya menghadapi pasukan keamanan nasional.
IRGC: Kami Adalah Satu dari 5 Negara Terkuat di Bidang Drone
Amir Ali Hajizadeh, Komandan Dirgantara Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran dalam sebuah jumpa pers pada Sabtu (21/9) mengklaim bahwa kekuatan pertahanan Iran khususnya di bidang pesawat tanpa awak dan rudal merupakan salah satu yang terkuat di dunia saat ini.
Ia mengingatkan kepada para musuh untuk berhati-hati dalam mengambil langkah. Pasalnya, bila mereka gegabah, Hajizadeh mengancam, Iran tanpa ragu akan memberikan balasan yang telak.
“Kami hari ini, setelah 40 tahun pasca kemenangan Revolusi Islam, yang mana telah mendapatkan pengakuan dari para musuh, telah melihat banyak kemajuan di berabagai aspek, khususnya di bidang pesawat tanpa awak,” buka Hajizadeh.
“Kami merupakan salah satu dari lima negara terkuat di bidang drone. Saat ini, kami telah mencapai pencapaian yang sempurna dalam pembuatan radar dan sistem pertahanan udara. Kami mampu menghadapi segala macam seragan pesawat-pesawat canggih musuh.
“Di bidang rudal, hari ini kami adalah yang terbaik di kawasan dan juga termasuk beberapa negara terkuat di dunia.
“Para musuh kami harus mengambil pelajaran dari apa yang telah mereka saksikan di masa lalu dan sejarah Iran. Dan mereka harus mengganti perilaku mereka saat berhadapan dengan Iran.
“Kami masih tetap berdiri menentang sebagaimana 40 tahun yang lalu. Bila musuh melakukan sedikit kesalahan, maka pasti kami akan memberikan jawaban yang telak untuk mereka,” tutup Komandan Dirgantara IRGC.
Rudal Hizbullah yang Superio
Tweet salah satu pendukung gerakan resistensi Lebanon, Hizbullah, mampu menarik perhatian sosok-sosok penting Zionis. Bahkan salah satu surat kabar rezim Zionis dalam laporannya menjabarkan keunggulan rudal Mukawamah Lebanon.
Salah satu akun twiter Hizbullah pada hari Minggu kemaren, 15/9, mengunggah foto rudal baru. Di bawahnya tertulis bahwa rudal ini mampu melenyapkan semua kapal perang lawan. Demikian The Jerusalem Post melaporkan.
“Rudal baru kami ini mampu menghanguskan semua kapal perang dan perlengkapan yang ditanam di dalamnya”, tulis salah satu pendukung Hizbullah.
Kapal perang INS Hanit.
Uzi Rubin, Engineer Israel yang dikenal sebagai bapak rudal rezim Zionis, mengungkapkan kekhawatirannya atas superioritas rudal resistensi Lebanon, Hizbullah, dan menjelaskan, “Dalam perang, diutamakan mempertahankan tempat-tempat strategis”.
Rubin mengingatkan perang 33 hari tahun 2006. “Waktu itu, Hizbullah menembakkan ratusan roket ke wilayah pendudukan Palestina setiap hari. Secara keseluruhan roket yang ditembakkan berjumlah sekitar 4000”, jelasnya.
Menurut Bapak rudal Israel, saat ini kemampuan roket Hizbullah sudah meningkat dan mereka mampu menembakkan 1000 atau 1500 roket per hari. “Jumlah yang gila”, lugasnya.
Dalam laporan, The Jerusalem Post menjelaskan bahwa di bulan Agustus Hizbullah menyebarkan video rudal anti-kapal perang yang berhasil menenggelamkan kapal INS Hanit milik AL Israel pada perang 2006. Serangan tersebut juga membunuh 4 tentara Israel.
Sumber-sumber di Beirut juga menjelaskan satu bagian dari operasi Mukawamah Lebanon, yaitu menghancurkan drone Zionis dalam taktik balasan terakhir kemaren.
Surat kabar Al Joumhouria, cetakan Lebanon, menukil sumber dekat dengan Hizbullah dan melaporkan, “Pokok arti dan pesan dari jatuhnya drone Israel adalah Hizbullah telah mengendalikan kaedah perang. Hizbullah yang menentukan perang untuk pertama kalinya”.
Surat kabar lintas kawasan, Raialyoum cetakan London, juga menanggapi pengakuan Israel tentang jatuhnya drone Zionis dan menjelaskan, “Ini adalah perhitungan baru yang berhasil diciptakan oleh pemimpin Hizbullah”.
Khawatir Hadapi Iran, Pentagon Mundur Alon-alon
Washington Post melansir sebuah makalah mengenai kebijakan Kementerian Pertahanan AS dengan tema; Pasca Serangan ke Kilang Minyak Saudi, Pentagon Tekankan Mawas Diri.
Washington Post membahas tiga masalah dalam makalahnya kali ini. Pertama membahas tuduhan tak relevan Mike Pompeo terhadap Iran mengenai serangan ke Aramco. Kedua menjelaskan strategi Trump mengenai serangan merugikan Yaman, dan ketiga Washington Post membahas kekhawatiran Kemenhan AS tentang konflik dengan Iran.
Jubir Militer serta Komite Kerakyatan Yaman, Yahya Saree’, pada hari sabtu menegaskan bahwa 10 unit drone telah menembak dua kilang minyak Aramco, Buqayq dan Khurais. Tetapi Menteri Luar Negeri AS menuduh Iran sebagai dalang tanpa bukti jelas.
Menukil sumber dari Kemenhan AS, Washington Post menjelaskan, “Petinggi Pentagon menyarankan semua pihak agar menahan diri dalam mereaksi serangan terakhir. Dan mereka mengingatkan perang penuh biaya dengan Iran”.
“Petinggi militer AS menegaskan agar mawas diri dalam melangkah. Mereka mundur untuk menurunkan tensi panas. Satu situasi, yang menurut analisa petinggi militer AS, akan berubah menjadi perang berdarah dengan Iran. Karena Pentagon berupaya menghindari perang di Timteng dan merubah arah ke perseteruan versus China”, tulis Washington Post.
Salah satu petinggi Pentagon, yang tidak ingin disebutkan namanya, kepada Washington Post menjelaskan bahwa tidak ada satupun pangkalan, maupun pasukan AS yang menjadi sasaran dalam serangan Yaman. “Dengan demikian, maka tidaklah layak bagi AS untuk bertindak. Jika pemerintahan Trump memutuskan langkah militer, mereka harus mencari dasar hukum kebijakan tersebut”, jelasnya.
Pejabat Kemenhan AS menambahkan, “Ketika konflik versus Iran di luar kendali, maka ini akan membahayakan paling sedikitnya 70 ribu tentara di bawah Centcom di Kawasan, dari Mesir hingga Pakistan”.
“Perundingan terus berjalan di AS, kemungkinan besar petinggi Pentagon akan mengambil langkah yang lebih hati-hati, seperti menambah pasukan AS di Timteng dan menambah kekuatan pertahanan AS”, tulis Washington Post melanjutkan.
James Stavridis, Jenderal purnawirawan bintang 4 AS, yakin bahwa Washington mencari pendukung untuk mengecam Iran di DK PBB.
Menurut mantan Komandan AS di NATO tersebut, pemerintahan Trump akan terus berupaya menekan Iran dengan boikot atau serangan rudal atau menyerang daerah-daerah energi Iran dengan diam-diam.
Selanjutnya Washington Post melaporkan suara kontra dan penolakan Kongres AS atas langkah militer versus Iran apapun bentuknya.
“Pemerintahan Trump terus menganalisa pilihan-pilihan yang ada di atas meja, namun mereka jangan melupakan suara Kongres. Karena sebagian Legislatif saat ini berupaya untuk memotong tangan militeris pemerintahan Trump”, tambah Washington Post.
Terakhir Washington Post menerangkan, meskipun para petinggi yakin bahwa tidak akan ada langkah militer, namun ada kemungkinan Gedung Putih memerintahkan Pentagon untuk menganalisa situasi serangan terakhir secara mendadak.
Kepolisian Prancis Tahan 106 Aktivis Rompi Kuning
Pihak kepolisian Prancis telah menangkap lebih dari 106 demonstran Rompi Kuning. Demonstrasi terjadi pada Sabtu, 21 September 2019, setelah sebelumnya pihak kepolisian menembakkan gas air mata kepada demonstran.
Otoritas Prancis menyebutkan 7.500 polisi telah dikerahkan di Paris untuk mengamankan demonstrasi Yellow Vest.
Demonstrasi Rompi Kuning terjadi yang bersamaan dengan digelarnya aksi unjuk rasa melawan perubahan iklim.
“Kami diperlakukan seperti penjahat,” kata Brigitte, seorang wanita yang ditangkap saat demonstrasi.
Baca Juga: Hubungan Telpon Bin Salman dan Emmanuel Macron
Pihak berwenang telah melarang demonstrasi di beberapa kota seperti Champs-Elysees yang merupakan salah satu pusat pariwisata.
Beberapa pengunjuk rasa tidak mengindahkan larangan itu. Hal tersebut menyebabkan ketegangan dengan polisi yang memaksa mereka menggunakan gas air mata untuk membubarkannya.
Macron menyerukan agar tetap tenang dan mengatakan bahwa tidak mengapa jika orang ingin mengekspresikan diri.
Gerakan Rompi Kuning berdiri sekitar 10 bulan yang lalu. Gerakan ini muncul sebagai reaksi atas kebijakan pajak dan fiskal yang sangat bertentangan dengan kebutuhan rakyat Prancis.
Dua Jurnalis Tertembak Tentara Israel dalam Demo Gaza
Dua orang jurnalis Palestina, Ahmed Shawer dan Abdul Rahman al-Kahlout menderita luka-luka akibat terkena tembakan tentara Israel dalam aksi March or Returns ke-75 di Nablus dan perbatasan Jalur Gaza. Masing-masing dari jurnalis tersebut merupakan koresponden dan juru kamera Palestine TV.
Shawer dilaporkan terkena tembakan tersebut saat sedang menjalankan tugasnya di distrik Kafr Qaddoum, Nablus, Tepi Barat. Saat ini Shawer sedang mendapat perawatan medis dari tim Palang Merah Palestina yang berjaga di lokasi kejadian. Tim medis menyatakan bahwa keadaanya stabil.
Sementara itu, Al-Kahlout terkena tembakan di kaki kanan saat sedang bertugas meliput demo March of Returns di garis batas Jalur Gaza.
Dampak Keputusan Saqifah bagi Umat Islam
Langkah-langkah yang diambil oleh sekelompok sahabat di kota Madinah dan Saqifah Bani Sa'idah, telah melenceng dari ketetapan yang sudah diumumkan oleh Rasulullah Saw di Ghadir Khum.
Isu krusial yang disampaikan Rasulullah dalam khutbahnya di Ghadir Khum adalah masalah kepemimpinan (imamah) Sayidina Ali as. Menurut kitab al-Ghadir, khutbah Rasulullah di Ghadir Khum dinukil oleh lebih dari 110 sahabat, 84 tabi'in, serta 360 ulama dan perawi dari Syiah dan Sunni.
Di salah satu bagian khutbahnya, Rasulullah berkata, "Sesungguhnya Malaikat Jibril as sudah tiga kali turun kepadaku dan menyampaikan salam Tuhanku serta memerintahkan agar berdiri di tempat perkumpulan ini untuk menyampaikan pada kalian baik yang berkulit putih maupun berkulit hitam, bahwa sesungguhnya Ali bin Abi Thalib adalah saudaraku, washiku, khalifahku bagi umatku, dan imam setelahku.
Kedudukan dia di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku. Dia sebagai pemimpin kalian setelah Allah dan Rasul-Nya…
Ketahuilah wahai manusia! Sesungguhnya Allah telah menetapkan Ali sebagai wali dan imam kalian, dan telah mewajibkan kepada setiap orang dari kalian untuk mentaatinya. Sah keputusan hukum yang diambilnya, dan berlaku kata-katanya. Terlaknat orang yang menentangnya, dan memperoleh rahmat orang yang mempercayainya.
Namun apa yang terjadi di Saqifah bertentangan dengan perintah Allah. Di saat Imam Ali as dan beberapa sahabat sedang mempersiapkan pemakaman Nabi Saw, sebagian pemuka Anshar yang dipimpin Sa'd bin 'Ubadah berkumpul di Saqifah untuk memilih pemimpin setelah Nabi.
Saqifah adalah sebutan untuk bangunan yang memiliki teras dan wadah berkumpul bagi sebuah kabilah. Hampir semua kabilah di Arab memiliki tempat seperti ini untuk dipakai sebagai balai musyawarah untuk memutuskan berbagai kepentingan umum.
Tempat yang dipakai oleh tokoh Muhajirin dan Anshar untuk memilih khalifah waktu itu adalah milik Bani Sa'idah dari Khazraj, sehingga ia dikenal sebagai Saqifah Bani Sa'idah.
Sebelum Islam datang, Bani Sa'idah secara rutin menggelar pertemuan di tempat itu dan setelah Nabi Saw hijrah ke Madinah, Saqifah mereka kehilangan fungsinya. Saqifah ini baru dihidupkan kembali ketika para tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di sana untuk menentukan khalifah pengganti Nabi Saw.
Sebagian sejarawan meyakini bahwa musyawarah kaum Anshar di Saqifah – setelah wafatnya Nabi Saw – hanya untuk memilih pemimpin untuk kota Madinah. Namun, kedatangan orang-orang Muhajirin telah menggeser egenda musyawarah ke arah pemilihan khalifah untuk umat Islam.
Para tokoh Saqifah bergerak menyimpang dari jalur yang ditetapkan oleh Nabi Saw mengenai sosok pemimpin umat setelah wafatnya. Mereka telah menambah daftar panjang pembangkangannya terhadap perintah Rasul. Keputusan mereka telah menjauhkan Imam Ali as dari haknya sebagai pemimpin umat selama 25 tahun.
Semua aktor yang membentuk gerakan agama-politik – sejak awal periode kenabian Muhammad Saw di Mekkah sampai berakhirnya masa kekhalifahan Usman bin Affan – selalu hadir dalam berbagai peristiwa dan memainkan peran dalam urusan pemerintahan dan kekhalifahan.
Lebih tragis lagi bahwa beberapa alumni Saqifah Bani Sa'idah membunuh karakter Imam Ali as dan membangun opini di masyarakat bahwa Ali mengincar kekuasaan, tetapi kalah dari rivalnya dan tidak punya pilihan lain kecuali menjauh dari poros kekuasaan. Padahal, Imam Ali as telah memilih bersabar dan menutup mata dari hak sahnya demi menjaga keutuhan kaum Muslim dan wilayah teritorial Islam.
Seseorang yang sinis datang menemui Imam Ali as dan berkata, "Wahai putra Abu Thalib, engkau sangat menginginkan posisi khalifah dan lebih rakus dari orang lain."
Imam Ali membantah fitnah dan tuduhan miring itu dan berkata, "Demi Allah, engkau malah lebih serakah, walaupun lebih jauh, sementara aku lebih layak dan lebih dekat (dengan Rasulullah Saw). Aku menuntutnya sebagai hakku, sedang engkau menghalangi antara aku dan hak itu, dan sekarang engkau hendak memalingkan wajahku darinya. Apakah orang yang menginginkan haknya dianggap lebih rakus atau mereka yang mengincar hak orang lain?" (Kitab Nahjul Balaghah, khutbah 171).
Mungkin sebagian bertanya, jika Ali as menganggap posisi imamah sebagai haknya, mengapa ia memilih diam dalam menghadapi situasi saat itu? Mengapa ia tidak bangkit untuk membela hak yang diberikan Tuhan kepadanya?
Beginilah jawaban Imam Ali as atas pertanyaan penting itu, "Aku melihat kesabaran lebih baik daripada memecah barisan kaum Muslim dan pertumpahan darah mereka, sebab masyarakat baru memeluk Islam…(Nahjul Balaghah, khutbah 119)
Makam Imam Ali as di kota Najaf, Irak.
Imam Ali as memilih bersabar dan memprioritaskan maslahat Islam dan kaum Muslim, meski ia mengetahui bahwa dirinya – atas perintah Allah Swt – telah diangkat sebagai khalifah pada hari Ghadir Khum, dan dirinya lebih layak untuk memimpin umat daripada orang lain.
Ketika periode kekuasaan khalifah kedua berakhir, Imam Ali as diundang untuk menghadiri musyawarah sebuah dewan yang beranggotakan enam orang dan Usman bin Affan terpilih sebagai khalifah berkat suara Abdurrahman bin Auf. Ketika itu Imam Ali as berkata, "Kalian tahu bahwa aku lebih layak dari semua untuk posisi khalifah. Demi Allah, selama urusan kaum Muslim berjalan dan hanya aku yang tersakiti, maka aku tidak akan menentang kalian." (Nahjul Balaghah, khutbah 72)
Setelah wafatnya Nabi Saw, seluruh perhatian Imam Ali as tercurahkan pada dua isu utama yaitu: pertama menjaga agama Islam sebagai hasil kerja keras dan perjuangan Rasulullah Saw selama 23 tahun, dan kedua mempertahankan persatuan dan kesolidan kaum Muslim.
Imam Ali as mengetahui dengan baik bahwa musuh dari dalam dan luar, sedang berusaha untuk merusak persatuan dan kekuatan masyarakat Muslim sehingga bisa mencapai tujuan mereka yaitu, menghancurkan Islam dan kaum Muslim.
Menurut satu riwayat, Sayidah Fatimah Az-Zahra as suatu hari berkata kepada suaminya Imam Ali, "Mengapa engkau tidak membela hakmu?" Mendengar itu, Imam Ali langsung memakai baju perang untuk melawan orang-orang yang merampas haknya. Suara adzan terdengar dari masjid dan pekikan kalimat La Ilaha illallah Muhammadur Rasulullah membahana. Ali menolehkan wajahnya ke Fatimah sambil berkata, "Apakah engkau ingin seruan tauhid dan kenabian ini tetap terdengar? Jika engkau sependapat denganku, maka kita harus bersabar, jika tidak aku akan keluar dan menumpas semua penentangku."
Sayidah Fatimah memilih diam sebagai tanda setuju dengan keputusan suaminya itu. Sebab bagi mereka, menjaga agama Islam lebih penting dari apapun dan mereka terlibat aktif di berbagai kesempatan untuk menjaga semua pencapaian yang diraih kaum Muslim.
Penyimpangan Saqifah dan Tragedi Karbala
Salah satu dampak dari keputusan syura Saqifah adalah melencengnya jalur gerakan umat Islam dari ketetapan Nabi Muhammad Saw di Ghadir Khum yaitu pengangkatan Imam Ali as sebagai khalifah dan pemimpin kaum Muslim.
Selama 25 tahun, Imam Ali memilih bersabar demi menjaga Islam dan persatuan masyarakat Muslim yang baru dibangun oleh Rasulullah, dan tidak mengambil tindakan apapun dalam menghadapi konspirasi yang dilakukan oleh orang-orang yang haus kekuasaan.
Tentu saja, Imam Ali pada berbagai kesempatan menyampaikan khutbah untuk menunjukkan bagaimana perintah Allah Swt dilanggar oleh sekelompok sahabat sehingga gerakan umat Islam melenceng dari jalurnya.
Bid’ah dan penyimpangan yang diwariskan oleh syura Saqifah mengantarkan keluarga Bani Umayyah ke tampuk kekuasaan dan posisi khalifah jatuh ke tangan orang-orang seperti, Mu’awiyah dan Yazid.
Peristiwa Saqifah sebenarnya sudah pernah diprediksi oleh Rasulullah Saw. Beberapa hari sebelum wafat, Nabi menyebut peristiwa itu sebagai “fitnah” dan memberikan solusi agar tidak terperosok ke jurangnya. Beliau berkata, “Fitnah akan dikobarkan tak lama setelah kepergianku. Dalam situasi seperti itu, bergabunglah dan melangkahlah bersama Ali bin Abi Thalib, karena ia orang pertama yang beriman kepadaku dan orang pertama yang mendatangiku pada hari kiamat. Ali adalah siddiq al-akbar dan al-faruq umat ini yaitu pemisah antara kebenaran dan kebatilan, ia adalah pemimpin agama yang sesungguhnya.” (Kitab Asad al-Ghabah, jilid 5, hal 287)
Salah satu pertanyaan penting yang muncul mengenai kedudukan Ahlul Bait khususnya Imam Ali as adalah keutamaan apa yang disandang oleh mereka sehingga dianggap layak menjadi pemimpin umat sepeninggal Rasulullah?
Jawaban terbaik atas pertanyaan ini bisa ditemukan dari penjelasan Rasul Saw sendiri. Suatu hari ketika sekelompok sahabat termasuk Abu Bakar berkumpul bersama Nabi, beliau menghadap ke arah mereka dan berkata, “Siapa di antara kalian seperti Nabi Adam dari segi intelektualitas, seperti Nuh dari segi pemahaman, dan semisal Ibrahim dari segi hikmah dan ilmu? Pada saat itu Imam Ali as datang dan Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, siapa yang engkau maksud?” Rasul bersabda, “Apakah engkau tidak mengenalinya?” Abu Bakar berkata, “Allah dan Rasulnya lebih tahu.” Rasul bersabda, “Maksudku adalah Abu al-Hasan Ali bin Abi Thalib dimana semua sifat itu berkumpul bersamanya.” Abu Bakar kemudian berkata, “Sungguh hebat dan selamat atasmu wahai Abu al-Hasan dan tidak ada yang seperti dan sebanding denganmu.” (Al-Manaqib, bab 7, hal 44-45)
Rasulullah Saw bersabda, "Hasan dan Husein adalah imam, baik dalam keadaan bangkit atupun berdamai."
Ucapan khalifah kedua dalam memuji Imam Ali juga layak untuk disimak. Saat menjelang ajal, Umar bin Khattab berkata kepada Ibnu Abbas, “Tidak ada keraguan bahwa orang yang paling layak untuk menyeru masyarakat mengamalkan al-Quran dan sunnah Rasulullah adalah temanmu Ali. Demi Allah, jika kepemimpinan ada di tangannya, ia akan membimbing umat ke jalan yang terang dan jalan lurus hidayah.” (Syarah Nahjul al-Balaghah Ibn Abi al- Hadid, jilid 6, hal 7-326)
Selain Abu Bakar dan Umar bin Khattab, khalifah ketika (Usman bin Affan) juga berkata, “Suatu hari aku sedang memandang wajah Ali. Kemudian ia bertanya kepadaku, mengapa engkau memandangku seperti itu? Aku berkata kepadanya bahwa aku mendengar Rasulullah bersabda, “Memandang wajah Ali adalah ibadah.” (Tarikh Dimasyq, jilid 2, hal 392)
Di berbagai kitab induk Ahlu Sunnah, ditemukan banyak ucapan dari ketiga khalifah tersebut yang mengakui keutamaan Ali bin Abi Thalib. Disebutkan bahwa mereka secara rutin meminta pandangan Ali as dalam mengeluarkan sebuah hukum fikih dan peradilan atau dalam situasi-situasi genting sehingga tidak terjadi kesalahan. Sebuah riwayat masyhur menyebutkan Umar sebanyak 70 kali berkata, “Sekiranya tidak ada Ali, Umar akan binasa.”
Bahkan dari Mu’awiyah – orang yang paling memusuhi Ali as – juga diriwayatkan bahwa seseorang datang menemui Mu’awiyah dan bertanya sesuatu kepadanya. Mu’awiyah tidak tahu jawabannya dan berkata, “Bertanyalah kepada Ali karena ia lebih pintar dariku.”
Orang tersebut berujar, “Jawaban darimu akan membuatku lebih senang.” Mu’awiyah menjawab, “Apa yang engkau ucapkan! Engkau membenci seseorang dimana Rasulullah – seperti burung memberi makan untuk anaknya – telah mengenyangkan dia dengan banyak ilmu dan pengetahuan. Rasulullah juga berkata kepadanya, “Engkau adalah dariku dan kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, namun tidak ada nabi setelahku.” (Fadhail al-Shahabah, jilid 2, hal 675)
Dengan adanya semua bukti tentang keutamaan Imam Ali as, lalu mengapa para tokoh Saqifah tetap menutup matanya atas semua hakikat ini? Padahal, mereka sendiri mengakui kelayakan dan kepatutan Imam Ali untuk memimpin umat Islam. Mengapa mereka menyusun skenario licik untuk menyingkirkan Imam Ali dari haknya ini?
Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditemukan pada ayat 14 surat An-Naml. “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”
Saqifah adalah puncak penyimpangan dimana kurang dari setengah abad setelahnya, dampak-dampak dari keserakahan ini menyebabkan cucu Rasulullah Saw dan para sahabatnya gugur syahid di Karbala.
Meski dampak dari penyimpangan ini awalnya berjalan lamban, namun setelah kekhalifahan berubah menjadi kerajaan di era Mu’awiyah, dampak penyimpangan ini semakin terlihat dan terasa di tengah umat.
Penyimpangan yang terjadi di Saqifah menjadi sempurna setelah berubahnya kekhalifahan menjadi kerajaan. Kebijakan para penguasa terutama Mu’awiyah, telah menjauhkan masyarakat dari agama dan menenggelamkan mereka dalam urusan duniawi. Imam Ali dan Imam Hasan secara perlahan kehilangan basis massa. Mu’awiyah memaksakan berbagai perang dan melanggar kesepakatan damai, dan pada akhirnya kedua figur mulia itu meneguk cawan syahadah.
Perlu dicatat bahwa pada periode kekuasaan Mu’awiyah, ia belum berani terang-terangan berbicara tentang penghancuran Islam dan masih menampakkan dirinya sebagai sosok pembela agama. Namun kondisi ini berubah total setelah Yazid naik takhta menggantikan ayahnya, Mu’awiyah. Ia adalah pria pemabuk dan terang-terangan berbuat maksiat, ia secara terbuka berbicara tentang agenda penghapusan Islam dan pentingnya menghidupkan era Jahiliyah.
Penyimpangan besar ini memaksa Imam Husein as untuk bangkit melakukan perbaikan dan menegakkan amar makruf dan nahi munkar. Ia mempersembahkan nyawanya demi menghidupkan ajaran agama dan sunnah Rasulullah Saw. Darah dan pengorbanannya telah menghidupkan kembali Islam yang lurus di tengah umat.
Kedudukan Ahlul Bait dan Perampasan Hak Ali as
Tragedi Asyura tidak dilakukan oleh musuh-musuh al-Quran dan Ahlul Bait, tetapi para pelakunya adalah orang-orang Muslim yang haus kekuasaan. Oleh sebab itu, penting untuk diketahui kapan peristiwa itu dimulai dan siapa saja pelakunya.
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa para tokoh Saqifah melakukan gerakan-gerakan terencana untuk merebut kekuasaan dari Ahlul Bait pasca wafatnya Rasulullah Saw. Kita juga sudah mengetahui berbagai hadis dan kesaksian para khalifah tentang kedudukan tinggi Ahlul Bait Nabi, terutama Imam Ali as.
Lalu, mengapa para tokoh Saqifah tetap mengabaikan semua realitas meskipun ada banyak riwayat yang berbicara tentang keutamaan Ahlul Bait. Mereka sendiri juga mengakui kelayakan, kepatutan, dan keunggulan Imam Ali as untuk posisi imamah dan pemimpin umat Islam. Para tokoh Saqifah dengan sebuah skenario licik menyingkirkan Imam Ali as dari hak sahnya selama 25 tahun.
Sekarang kita akan menukil ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang kedudukan Ahlul Bait sehingga menjadi jelas bahwa para pembangkang tidak hanya melawan perintah Nabi Saw, tetapi juga menolak tunduk pada perintah Allah. Mereka memilih sebuah jalan yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Salah satu ayat al-Quran yang berbicara tentang kedudukan tinggi Ahlul Bait dan menekankan kesucian mereka dari segala dosa adalah ayat 33 surat al-Ahzab atau yang dikenal dengan Ayat Tathir. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."
Ayat ini berbicara mengenai kehendak/iradah Allah untuk mensucikan Ahlul Bait dari dosa dan segala jenis kotoran dan noda, baik itu dalam bentuk pikiran maupun perbuatan seperti syirik, kufr, nifaq, kebodohan, dan segala bentuk dosa.
Mayoritas ulama tafsir Syiah dan Sunni sepakat bahwa maksud dari Ahlul Bait Nabi adalah Ali bin Abi Thalib, Sayidah Fatimah az-Zahra, Imam Hasan, dan Imam Husein as.
Ayat lain yang menunjukkan perhatian khusus Allah kepada Ahlul Bait adalah Ayat Mubahalah. Menurut buku-buku referensi Syiah dan Sunni, Rasulullah Saw telah menjelaskan semua dalil untuk membuktikan kebatilan akidah kaum Nasrani Najran dan meminta mereka untuk meninggalkan akidah batil itu seperti keyakinan bahwa Isa al-Masih sebagai anak Tuhan. Namun, para pembesar Nasrani Najran menolak meninggalkan akidah yang berbau syirik itu dan mereka mengusulkan mubahalah yaitu berdoa kepada Tuhan dan memohon agar siapa saja yang sesat dijauhkan dari rahmat-Nya dan dibinasakan. Rasulullah pun – atas izin Allah – menerima tantangan itu.
Istilah mubahalah sendiri sudah dikenal luas oleh masyarakat Arab dan para penganut agama langit sebagai sarana untuk membuktikan kebenaran.
Di hari berikutnya, Rasul datang ke arena mubahalah dengan membawa orang-orang yang paling mulia dan paling dekat dengannya. Melihat pemandangan itu, para pembesar Nasrani Najran mulai ragu dan memutuskan untuk membatalkan mubahalah.
Al-Quran mengabadikan peristiwa ini dalam surat Ali-Imran ayat 61, "Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta."
Para ulama tafsir memiliki pandangan yang sama ketika menafsirkan ayat ini. Maksud dari kata Abnaana adalah Imam Hasan dan Imam Husein as, Nisaana yaitu Sayidah Fatimah as, dan maksud dari Anfusana adalah Imam Ali as yang setara kedudukannya dengan jiwa Rasulullah Saw.
Ayat lain yang secara langsung berbicara tentang posisi imamah Ali bin Abi Thalib as adalah ayat 55 surat al-Maidah yang populer dengan Ayat Wilayah (kepemimpinan). “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”
Pada suatu hari seorang fakir datang ke Masjid Nabawi dan meminta bantuan, namun tidak ada seorang pun yang memberinya. Ia pun mengangkat tangannya ke langit sambil berkata, "Tuhanku, saksikanlah bahwa aku berada di Masjid Nabi-Mu dan meminta pertolongan, tapi tidak ada seorang pun yang menolongku." Pada saat itulah, Ali as yang sedang rukuk memberikan isyarat dengan jari kelingking tangan kanannya. Orang fakir itu pun mendekat ke arahnya dan mengeluarkan cincin dari jari Imam Ali as, kemudian ayat tersebut turun.
Mayoritas ulama tafsir Syiah dan Sunni sepakat bahwa satu-satunya orang yang berbuat demikian adalah Ali bin Abi Thalib as. Allah menurunkan ayat itu untuk memperkenalkan kedudukan Ali as kepada para pencari kebenaran. (Tafsir al-Kabir, hal 431 dan Ihqaq al-Haq, jilid 2, hal 399)
Seluruh nabi tidak meminta upah apapun kepada masyarakat dalam berdakwah, karena mereka menjalankan misinya secara tulus dan semata-mata untuk Allah. Rasulullah juga tidak mengharapkan apapun dari masyarakat sejak ia diutus. Namun, para sahabat datang dan menawarkan diri dengan berkata, “Jika engkau butuh materi; uang atau yang lain maka berapa pun yang engkau butuhkan akan kami berikan.” Saat itulah turun ayat 23 surat Ash-Syura yaitu “Katakanlah (Wahai Rasulullah) bahwa aku tidak meminta upah apapun dari kalian (atas risalah yang dibawa), kecuali kecintaan terhadap kerabatku.”
Ayat ini menunjukkan bahwa perintah untuk mencintai Ahlul Bait adalah bukan keinginan Rasul sendiri, tetapi kehendak dan perintah Allah. Namun, para tokoh Saqifah bukan hanya mengabaikan kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi, tetapi mereka juga telah memusuhinya.
Ayat-ayat tersebut membuktikan tentang kesucian, kedudukan tinggi, kemuliaan, dan keutamaan Ahlul Bait Nabi as. Orang-orang yang dipertaruhkan oleh Rasulullah untuk membuktikan kebenaran risalahnya di hari mubahalah hanya Ali, Sayidah Fatimah, dan kedua putra mereka. Satu-satunya keluarga yang wajib untuk dicintai atas perintah Allah Saw adalah Ahlul Bait Nabi as.
Namun, peristiwa Saqifah Bani Sa'idah dan keputusan lain yang diambil setelahnya, bertentangan dengan perintah Allah mengenai kedudukan Ahlul Bait yang sudah dijelaskan dalam al-Quran.
Pada kesempatan ini, kami akan mengutip beberapa kalimat singkat dari khutbah Sayidah Fatimah az-Zahra as yang disampaikan pada hari-hari terakhir kehidupannya, yang dikenal dengan Khutbah Fadakiyah. Khutbah ini disampaikan di Masjid Nabawi di Madinah.
Sayidah Fatimah as berkata, “… Ketika Rasulullah ada di antara kalian, beliau paling menanggung dan merasakan penderitaan dan di jalan ini, Ali adalah pribadi yang selalu menjadi teman dan penolongnya. Terkadang kalian hidup dengan tenang, Ali melemparkan dirinya ke mulut naga untuk membela agama Allah. Akhirnya, berkat perjuangan Nabi Muhammad Saw dan Ali, mereka berhasil memastikan agama Islam dan kalian sampai pada kemuliaan dan kehormatan ini.
Ketika Nabi Saw masih hidup, semua masalah ini dibanggakan dan diterima oleh semua orang. Tapi begitu beliau pergi, apa yang terjadi di antara kalian? Setelah ayahku meninggal kecenderungan kalian akan kemunafikan mulai tampak, bukannya mengingat komitmen kalian kepada Rasulullah, amanah yang diserahkan kepada kalian mulai dilupakan bukannya dijaga. Seakan-akan hanya nama dari Islam kalian yang tinggal dan kalian melupakan hakikat Islam.
Sekarang, orang-orang ini telah mengambil kendali kekuasaan di tangannya dan syaitan telah mengangkat kepalanya dari tempat penyembunyiannya, mengajak kalian pada kejahatan.
Kemudian kalian mulai merebut hak-hak orang lain dan memasuki musim semi yang bukan milik kalian dan kalian melakukan semua ini tidak lama setelah meninggalnya Nabi, sementara kesedihan kepergiannya masih sangat dalam di hati kami.”



























