کمالوندی

کمالوندی

 

Komandan Pasukan Garda Revolusi Islam Iran, IRGC mengatakan, kekuatan Amerika Serikat berada di ambang keruntuhan dan semakin mendekati akhir usianya.

IRIB (18/5/2019) melaporkan, Komandan IRGC Mayjen Hossein Salami, Sabtu (18/5) menuturkan, alasan utama kekalahan Amerika dapat dilacak dalam filsafat politik negara ini, di antara yang paling menonjol adalah kebiasaannya mengikat, membuat tergantung dan menyandera negara dan bangsa lain.

Mayjen Salami menilai posisi Republik Islam Iran dan rakyatnya sekarang baik dan meyakinkan. Menurutnya, kekuatan Iran digunakan untuk mencapai kejayaan dan stabilitas.

Pada saat yang sama Komandan IRGC menyebut perang informasi Iran dan Amerika adalah sebuah kenyataan serius.

"Iran dalam perang informasi mampu mengalahkan musuh," ujarnya. 

Salami menegaskan, Iran dalam perang melawan musuh, tidak pernah sedetikpun lalai dari manuver Amerika, memusatkan perhatian pada musuh, dan mengidentifikasi strategi serta pola perilaku musuh.

 

Seorang pejabat senior pemerintahan Presiden Donald Trump mengatakan, Amerika Serikat sedang "duduk di dekat telepon" menunggu panggilan dari Iran, tetapi belum mendengar pesan dari Tehran bahwa mereka bersedia untuk menerima tawaran Trump guna perundingan langsung.


"Kami pikir mereka harus turun dan datang ke negosiasi," kata pejabat itu, yang menolak disebutkan namanya, kepada sekelompok kecil wartawan seperti dilansir Reuters, Jumat (17/5/2019).


Pekan lalu dilaporkan bahwa setelah Trump secara terbuka meminta Iran untuk menelepon di tengah meningkatnya ketegangan dengan Tehran, Gedung Putih menghubungi Swiss untuk berbagi nomor telepon kepada Tehran.


Iran segera merespon tawaran tersebut. Wakil Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran Sayid Abbas Araghchi mengatakan, solusinya tidak terletak pada mediasi atau panggilan telepon dan AS juga memiliki nomor telepon kami.

Kamis lalu, Trump mendesak Iran untuk menyetujui pembicaraan dengan AS yang bertujuan mengakhiri program nuklirnya sementara juga mengisyaratkan bahwa AS dapat menggunakan kekuatan militer untuk melawan Iran.


Saat ditanya apakah ada indikasi dari Iran bahwa mereka siap untuk terlibat perang, pejabat itu mengatakan pada hari Jumat, "Belum. Kami sedang duduk di dekat telepon."

Hubungan antara Iran dan AS kian memanas setelah Amerika mengirimkan kapal induk bersama satuan tugas pembom ke Teluk Persia.


Pemberangkatan armada kapal perang dan pesawat pembom itu disebut sebagai bentuk pesan kepada Republik Islam Iran.

Kelompok serang yang diberangkatkan AS ini meliputi kapal induk USS Abraham Lincoln, kapal jelajah rudal USS Leyte Gulf dan kapal perusak dari Skuadron 2.


AS pada Selasa, 7 Mei 2019 juga mengirim beberapa pesawat pembom B-52 ke Teluk Persia untuk mencegah serangan apa pun yang diklaimnya bermungkinan sedang dipersiapkan oleh Iran.

Pembom B-52 adalah pesawat berukuran besar dengan jarak terbang yang jauh serta mampu membawa rudal jelajah dan bom nuklir.


Namun The New York Times dan Reuters melaporkan pada hari Jumat bahwa Trump kemudian menginstruksikan pemerintahannya untuk menghindari konfrontasi militer dengan Iran.

Saat rapat pada Rabu pagi di Situation Room, Trump mengirim pesan ke para ajudannya itu bahwa dia tidak ingin kampanye tekanan AS melawan Iran meledak menjadi konflik terbuka. 

 

Personil militer Venezuela bersama Presiden Nicolas Maduro berpartisipasi dalam "Pawai Kesetiaan" sambil berteriak, kami tunggu Amerika Serikat dengan senjata di tangan.

Kantor berita Sputnik (18/5/2019) melaporkan, Pawai Kesetiaan digelar saat kunjungan Presiden Venezuela Nicolas Maduro ke negara bagian Aragua pada hari Jumat (17/5).

Para tentara Venezuela berteriak, hanya yang bertarung yang berhak, kalian (Amerika) tidak akan pernah menginvasi negara kami. Dengarkan gringo (orang asing) kecil, kami siap. Dengan senjata di tangan, kami sedang menunggumu.

Dalam pawai itu Maduro bersama personil dan kendaraan militer Venezuela berjalan kaki lebih dari satu kilometer. (

 

Menteri Luar Negeri Jerman mengumumkan penolakan Uni Eropa atas kebijakan-kebijakan Amerika Serikat yang anti-Iran dan menyebut kebijakan semacam itu tidak akan berhasil.

Menlu Jerman Heiko Maas, Sabtu (18/5/2019) dalam wawancara dengan surat kabar Jerman, Passauer Neue Presse, PNP menilai keluarnya Amerika secara sepihak dari kesepakatan nuklir Iran, JCPOA sebagai langkah keliru.

Ia menuturkan, Uni Eropa lebih percaya kepada dialog daripada peningkatan eskalasi perang urat saraf.

Sementara itu Juru bicara kebijakan luar negeri Partai Hijau Jerman, Omid Nouripour kepada surat kabar Jerman, Die Welt, Sabtu (18/5) memprotes kementerian luar negeri negara ini karena keterlambatannya dalam menjalankan mekanisme dukungan transaksi perdagangan dengan Iran atau INSTEX. 

Jumat, 17 Mei 2019 21:06

Memperingati 71 Tahun Hari Nakba

 

Tanggal 15 Mei 2019 adalah peringatan ke-71 tahun Hari Nakba. Memperingati Hari Nakba, warga Palestina melakukan aksi demo dan bersamaan dengan itu, aksi pawai akbar "Hak Kembali" telah memasuki tahun kedua.

Sementara Amerika Serikat berusaha meresmikan rencana Kesepakatan Abad, rezim Zionis Israel terpaksa menerima gencatan senjata hanya 4 hari setelah menggelar perang baru di Gaza. Di sisi lain, pemerintah rekonsiliasi nasional di Palestina juga telah mengganti tempatnya dengan pemerintah yang searah dengan Gerakan Fatah dan meningkatkan perbedaan di antara kelompok-kelompok Palestina.

Pengusiran warga Palestina
Tanggal 15 Mei, hari pembentukan Zionis Israel pada tahun 1948. Hari yang memperingati pengusiran ratusan ribu warga Palestina dari tanah kelahirannya dan dikenal dengan nama Hari Nakba. Bangsa Palestina merayakan 15 Mei setiap tahun Hari Nakba sebagai simbol pengusiran paksa, penghancuran tatanan sosial dan budaya mereka oleh Zionis Israel, dan setiap tahun menandai 15 Mei dengan unjuk rasa dan menekankan substansi penjajah dan kriminal rezim Zionis Israel. Nakba sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti penderitaan. Warga Palestina biasanya menggunakan istilah "Nakba" untuk menggambarkan peristiwa bencana yang terjadi setelah pendudukan wilayah pendudukan.

Demonstrasi Hari Nakbah tahun 2019 diselenggarakan dalam situasi ketika usia langkah ilegal pemerintah Amerika Serikat memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke al-Quds memasuki satu tahun. Donald Trump pada Desember 2017, memperkenalkan Quds sebagai ibukota baru Zionis Israel dan mengumumkan bahwa ia juga akan memindahkan kedutaan AS ke Quds pada 14 Mei 2018, memperingati ke-70 tahun pembentukan rezim Zionis Israel.

Selama setahun terakhir, peristiwa penting telah terjadi di Palestina. Protes "Hak Kembali" yang dimulai pada 30 Maret 2018 (Hari Bumi) masih terus berlanjut. Demonstrasi ini diadakan pada hari Jumat setiap minggu. Sejauh ini, 58 minggu telah berlalu sejak demonstrasi. Kementerian Kesehatan Palestina mengumumkan bahwa 304 warga Palestina telah gugur syahid dalam serangan dan penembakan oleh tentara Zionis Israel sejak awal 30 Maret 2018, yang 59 di antaranya adalah martir anak-anak dan 10 orang wanita. Selain itu, 17.301 orang terluka selama demonstrasi.

Rakyat Palestina akan mengadakan peringatan Hari Nakba ke-71 ketika rencana Amerika Kesepakatan Abad akan diresmikan. Jason Greenblatt, utusan Amerika Serikat untuk Asia Barat, pada 12 Mei dalam sebuah wawancara dengan Fox News, menekankan bahwa rencana perdamaian yang disebut Kesepakatan Abad akan diresmikan setelah Ramadhan dan setelah pembentukan pemerintahan baru rezim Zionis serta bersamaan dengan hari raya diturunkannya Taurat, Shavuot.

Greenblatt menekankan bahwa masalah pertama dan terakhir bagi Amerika Serikat adalah untuk mengamankan Zionis Israel dan tidak akan pernah acuh tak acuh terhadap masalah ini.

Bagian penting dari rencana Kesepakatan Abad ini telah dilaksanakan selama setahun terakhir, termasuk menyerahkan Quds ke Zionis Israel, Dataran Tinggi Golan Suriah ke Zionis Israel, dukungan untuk yahudisasi al-Quds dan dukungan terhadap pembangunan pemukiman zionis. Sementara itu, salah satu fokus rencana Amerika yang baru terbongkar menunjukkan bahwa Amerika Serikat sedang merencanakan negara Palestina baru tanpa kemampuan angkatan bersenjata dan militer.

Hossein Ruivaran, pengamat masalah Palestina dalam masalah ini mengatakan, "Amerika Serikat menuntut perlucutan senjata dari kelompok-kelompok perlawanan dan tidak ingin Palestina mmiliki kekuatan militer. Sejatinya, di Palestina nanti hanya akan memiliki anggota polisi kota sesuai rencana Kesepakatan Abad."

Rencana rasis ini, yang jelas melayani kepentingan Zionis Israel, dan selain mempeluas geografi daerah yang diduduki Zionis Israel, akan menempatkan Palestina dalam kondisi terlemah. Rencana ini jelas menghadapi penentangan dari faksi-faksi Palestina. Jihad Islam dan Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) telah membentuk Front Nasional Palestina untuk menentang rencana Amerika Kesepakatan Abad ini, dan kementerian luar negeri dan pemerintah baru Palestina telah meminta negara-negara Arab untuk menentang rencana tersebut.

Salah satu perkembangan paling penting di Palestina menjelang Hari Nakba adalah perang 4 hari Zionis Israel melawan Jalur Gaza. Rezim pendudukan Israel melancarkan serangan di Jalur Gaza pada 3 Mei. Dalam 4 hari perang, 25 orang gugur syahid dan 154 lainnya terluka. Serangan rudal Zionis Israel dihadapkan dengan respon tegas dari faksi-faksi Palestina. Dalam 4 hari, kelompok-kelompok perlawanan Palestina menembakkan sekitar 700 roket dari Jalur Gaza ke daerah-daerah pendudukan yang memiliki kekuatan penghancur tinggi. Empat warga Israel telah terbunuh dan lebih dari 140 lainnya cedera dalam serangan rudal. Akibat serangan balasan kuat kelompok-kelompok Muqawama penduduk di wilayah yang berdekatan dengan Jalur Gaza mengalami ketakutan luar biasa, sehingga setidaknya 35% waga zionis yang tinggal di daerah-daerah ini dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka dikhawatirkan oleh serangan rudal.

Menyusul respons tegas oleh kelompok-kelompok perlawanan Palestina terhadap serangan Zionis Israel, rezim ini terpaksa menerima mediasi Mesir dan gencatan senjata dengan kelompok-kelompok perlawanan. Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Zionis Israel menerima gencatan senjata, yang pada Oktober 2018, setelah hanya dua hari, terpaksa untuk menerima gencatan senjata dengan kelompok-kelompok perlawanan. Gencatan senjata api yang membubarkan kabinet Netanyahu dan menyebabkan pemilihan parlemen awal.

Perang empat hari membuktikan bahwa Zionis Israel tidak memiliki taktik dan strategi perang karena hanya memiliki agenda membombardir dan untuk pertahanan, mereka berharap banyak dari Iron Dome, sebuah sistem yang permeabilitasnya telah berulang kali terbukti. Dalam perang, sistem Kubah Besi (Iron Dome) hanya dapat menghancurkan sekitar 200 roket dari sekitar 700 roket. Dalam nada yang sama, penulis dan analis Yasser Ezuddin menyatakan, "Kerugian rezim Zionis sebagai akibat dari serangan rudal perlawanan Palestina setelah penyebaran dan penempatan sistem rudal Kubah Besi jauh lebih banyak dari ketika sistem ini tidak ada. Ini hanya memiliki satu makna bahwa perlawanan Palestina dalam perang ini beberapa langkah di depan rezim Zionis. "

Sementara tekad Amerika Serikat dan Zionis Israel untuk menghentikan perjuangan Palestina telah meningkat dan langkah-langkah praktis telah diambil untuk mencapai tujuan-tujuan rezim Israel, perbedaan antara kelompok-kelompok Palestina telah meningkat, dan muncul perbedaan gerakan Fatah dengan Jihad Islam dan Hamas. Dalam hal ini, Rami Hamdallah mengundurkan diri pada 30 Januari 2019 sebagai perdana menteri Pemerintah Persatuan Nasional Palestina. Mahmoud Abbas, Pemimpin Otoritas Palestina pada 10 Maret 2019 memperkenalkan Mohammad Shtayyeh sebagai perdana menteri baru. Mohammad Shtayyeh telah memperkenalkan kabinet baru Palestina setelah sebulan.

Sejak pengunduran diri Rami Hamdallah, Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) dan Jihad Islam telah memprotes. Alasan utama protes itu adalah bahwa Rami Hamdullah adalah perdana menteri Pemerintah Persatuan Nasional dan mengundurkan diri tanpa sepengatahuan Hamas dan Jihad Islam. Pengunduran diri ini meruntuhka konsensus nasional dan meningkatnya perbedaan antara kelompok-kelompok Palestina. Menyusul diperkenalkannya kabinet baru, gerakan Hamas, dalam sebuah pernyataan menyebut kabinet "Shtayyeh" merupakan kelanjutan dari kebijakan "menghapus" dengan tujuan merealisasikan kepentingan Gerakan Fatah dan memberi konsesi lebih kepada gerakan ini ketimbang kepentingan bangsa Palestina.

Dalam pernyataan itu, Hamas menekankan, "Kabinet Mohammad Shtayyeh adalah kabinet separatis yang tidak memiliki legitimasi nasional dan memperkuat kondisi untuk kesenjangan yang semakin lebar antara Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai awal dari implementasi rencana Kesepakatan Abad."

Tidak diragukan lagi, perbedaan dan pertikaian antara kelompok-kelompok Palestina adalah masalah yang dikejar dan digunakan oleh Zionis Israel dan Amerika Serikat untuk memajukan Kesepakatan Abad. Sementara beberapa negara Arab telah sepakat dengan rencana Kesepakatan Abad ini dan mereka juga berusaha untuk menyelaraskan negara-negara Arab lainnya dan Otoritas Palestina.

Khatib Jumat Tehran mengatakan, pemikiran Revolusi Islam dan front perlawanan adalah pengecualian dan merupakan sebuah kekuatan yang tengah tumbuh. Menurutnya, pemikiran ini membuka kemungkinan untuk meningkatkan kekuatan Islam dan menurunkan pengaruh Amerika Serikat di kawasan.

Khatib Jumat Tehran, Hujatulislam Mohammad Hassan Abu Torabi Fard dalam khutbah Jumatnya (17/5/2019) menilai ekonomi dalam masyarakat Muslim sebagai hal yang penting dan prioritas.

Ia menambahkan, Republik Islam Iran meski disanksi selama empat dekade, mampu melakukan langkah-langkah besar di bidang ekonomi dan sebagian besar infrastruktur ekonomi Iran bahkan tidak dimiliki oleh beberapa negara maju.

armada laut Iran
Khatib Jumat Tehran menerangkan, pejabat tinggi Amerika yang mengusulkan sanksi terhadap Iran, hari ini mengakui bahwa jika Iran memanfaatkan kapasitas-kapasitas yang dimilikinya, maka sanksi tidak akan efektif.

Torabi Fard menegaskan, orang-orang Amerikalah yang terjebak dalam kemiskinan, Iran kuat karena melangkah di jalan yang benar dengan yakin dan kekuatan dalam negerinya kokoh, dan Insyaallah suatu hari nanti akan menjadi salah satu kekuatan besar ekonomi dunia. 

 

Khatib Shalat Jumat di Tehran Hujjatul Islam wal Muslimin Sayid Mohammad Hassan Abutorabi-Fard menggambarkan nasihat dan rekomendasi Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei tentang pentingnya untuk mengandalkan generasi muda, sebagai peta jalan bagi pembangunan dan untuk mencapai ekonomi yang lebih kuat.

Hal itu disampaikan Abutorabi-Fard dalam khutbah kedua Shalat Jumat di Universitas Tehran, Tehran, ibu kota Republik Islam Iran, Jumat (17/5/2019).

Dia menyinggung nasihat Ayatullah Khamenei tentang kepercayaan kepada generasi muda dan individu yang berbakat, inovatif dan termotivasi di berbagai sektor ekonomi dan teknis. Menurutnya, ini adalah kunci untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan.

"Jika kita mengikuti instruksi seperti itu, kita akan segera bisa mengatasi masalah ekonomi, sosial dan budaya kita," ujarnya.

Imam Shalat Jumat di Tehran itu menuturkan ekonomi yang kuat akan membuka pintu gerbang untuk pembangunan dan pertumbuhan.

Pada bulan Februari 2019, Ayatullah Khamenei mengeluarkan pernyataan terperinci berjudul fase kedua Revolusi Islam pada kesempatan peringatan 40 tahun Kemenangan Revolusi Islam 1979.

Menurut Abutorabi-Fard, fase kedua Revolusi Islam adalah peta jalan untuk memantapkan revolusi guna mencapai peradaban Islam.

Di bagian lain khutbahnya, Abutorabi-Fard menyinggung sanksi Amerika Serikat terhadap Republik Islam.

Dia mengatakan, Iran meski disanksi selama empat dekade, namun mampu melakukan langkah-langkah besar di bidang ekonomi dan sebagian besar infrastruktur ekonomi negara ini bahkan tidak dimiliki oleh beberapa negara maju.

Khatib Jumat Tehran menerangkan, pejabat tinggi Amerika yang mengusulkan sanksi terhadap Iran, hari ini mengakui bahwa jika Iran memanfaatkan kapasitas-kapasitas yang dimilikinya, maka sanksi tidak akan efektif.

"Orang-orang Amerika lah yang terjebak dalam kemiskinan, Iran kuat karena melangkah di jalan yang benar dengan yakin dan kekuatan dalam negerinya kokoh, dan Insyaallah suatu hari nanti akan menjadi salah satu kekuatan besar ekonomi dunia," pungkasnya. (

Jumat, 17 Mei 2019 21:03

Shalat Jumat di Tehran, 17 Mei 2019

 

Shalat Jumat di Tehran, ibu kota Republik Islam Iran, 17 Mei 2019 diselenggarakan di Universitas Tehran, dan diimami oleh Hujjatul Islam wal Muslimin Sayid Mohammad Hassan Abutorabi-Fard.


Imam dan Khatib Shalat Jumat di Tehran dalam khubah kedua, menggambarkan nasihat dan rekomendasi Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei tentang pentingnya untuk mengandalkan generasi muda, sebagai peta jalan pembangunan dan untuk mencapai ekonomi yang lebih kuat.


Abutorabi-Fard menyinggung nasihat Ayatullah Khamenei tentang kepercayaan kepada generasi muda dan individu yang berbakat, inovatif dan termotivasi di berbagai sektor ekonomi dan teknis. Menurutnya, ini adalah kunci untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan.


"Jika kita mengikuti instruksi seperti itu, kita akan segera bisa mengatasi masalah ekonomi, sosial dan budaya kita," kata Abutorabi-Fard.

Imam Shalat Jumat di Tehran itu menuturkan ekonomi yang kuat akan membuka pintu gerbang untuk pembangunan dan pertumbuhan.


Pada bulan Februari 2019, Ayatullah Khamenei mengeluarkan pernyataan terperinci berjudul fase kedua Revolusi Islam pada kesempatan peringatan 40 tahun Kemenangan Revolusi Islam 1979.

Menurut Abutorabi-Fard, fase kedua Revolusi Islam adalah peta jalan untuk memantapkan revolusi guna mencapai peradaban Islam.


Di bagian lain khutbahnya, Abutorabi-Fard menyinggung sanksi Amerika Serikat terhadap Republik Islam.

Dia mengatakan, Iran meski disanksi selama empat dekade, namun mampu melakukan langkah-langkah besar di bidang ekonomi dan sebagian besar infrastruktur ekonomi negara ini bahkan tidak dimiliki oleh beberapa negara maju.


Khatib Jumat Tehran menerangkan, pejabat tinggi Amerika yang mengusulkan sanksi terhadap Iran, hari ini mengakui bahwa jika Iran memanfaatkan kapasitas-kapasitas yang dimilikinya, maka sanksi tidak akan efektif.


"Orang-orang Amerika lah yang terjebak dalam kemiskinan, Iran kuat karena melangkah di jalan yang benar dengan yakin dan kekuatan dalam negerinya kokoh, dan Insyaallah suatu hari nanti akan menjadi salah satu kekuatan besar ekonomi dunia," pungkasnya. 

 

Uni Eropa menjawab ancaman Presiden Amerika Serikat terkait kebijakan pertahanan mandiri Eropa dan menolak seluruh protes dan permintaan Washington dalam masalah ini.

Majalah mingguan Jerman, Der Spiegel, Kamis (16/5/2019) menulis, dalam surat balasan Uni Eropa untuk Amerika yang dikirim hari Kamis (16/5), Uni Eropa menolak sepenuhnya permintaan Amerika untuk mengubah kebijakan pertahanannya.

Jawaban resmi Uni Eropa atas surat berbau ancaman Amerika itu menyebutkan, kami ingin menyelesaikan kesalahpahaman ini.

Surat balasan itu tidak ditandatangani Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini, tapi oleh wakilnya dan direktur jenderal pasar dalam negeri di Komisi Eropa.

Amerika meminta negara-negara Eropa meninjau ulang proyeknya untuk membentuk sebuah unit pertahanan Eropa independen, jika tidak maka Washington akan menindak tegas Uni Eropa.

Menurut Gedung Putih rencana Uni Eropa itu dapat mengganggu kerja sama konstruktif antara NATO dengan Uni Eropa.

 

Surat kabar Amerika Serikat Wall Street Journal menulis, Washington keliru menafsirkan manuver Tehran, dan langkah-langkah yang dianggap ancaman dari Iran sebenarnya bermuatan pertahanan.

Wall Street Journal, Jumat (17/5/2019) mengutip statemen beberapa pejabat Amerika menulis, informasi-informasi terbaru yang diperoleh Washington menunjukkan bahwa Tehran bersiap menyerang balik karena merasa terancam oleh Amerika.

kapal perang Iran
Beberapa pejabat Amerika mengatakan, Presiden Donald Trump kepada penasihat seniornya termasuk di departemen pertahanan mengaku tidak ingin terjun ke dalam konfrontasi militer dengan Iran, namun beberapa pejabat lain mengungkap adanya perbedaan pendapat tajam di pemerintahan Trump terkait interpretasi tentang kesiapan militer Iran dan pasukan dukungannya.

Beberapa pejabat Gedung Putih mengklaim bahwa informasi ini muncul dari langkah Iran yang sedang mempersiapkan serangan preemptive atau sedang merencanakannya, dan masalah ini disinyalir menjadi alasan lawatan Menteri Luar Negeri Amerika Mike Pompeo ke Irak.